• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al GHAZALI ULAMA SUFI DAN FILOSOF Oleh : Wahyu Hidayat Lc. M.Ag. Abstraksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Al GHAZALI ULAMA SUFI DAN FILOSOF Oleh : Wahyu Hidayat Lc. M.Ag. Abstraksi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

38

Al GHAZALI ULAMA SUFI DAN FILOSOF Oleh : Wahyu Hidayat Lc. M.Ag

Email: wahyusadrainstitute@gmail.com Abstraksi

Berbicara mengenai ulama yang paripurna ini membangkitkan kembali kepada kita sejarah kejayaan intelektual Islam masa lampau. Figur yang sangat kharismatik, unik dan moderat ini, gagasan dan ide-ide intelektualnya telah menjadi rujukan ilmiah keislaman yang tidak hanya digandrungi didunia Islam semata bahkan diterima pula di dunia barat. Ia lah simbol Rohaniwan Muslim yang senantiasa memberikan sumbangan pemikiran terhadap segala persoalan umat. Sementara disisi lain tidak sedikit pula yang menghardik dan mencaci-makinya, dianggapnya sebagai biang kerok kemerosotan Islam, pemikirannya justru menjadi sumber dari stagnasi dan kejumudan berpikir umat akhir zaman, bahkan sebagian lagi berpendapat bahwa al Ghazali tidak lain hanyalah sebagai seorang ulama yang tidak pernah konsisten dalam pemikirannya, terbawa oleh arus kekuasaan dan kepentingan. Wajar memang tokoh utama tak mesti memiliki satu kepribadian ia lahir dari kondisi zaman dan umat yang sedang gila-gilanya mengkaji dan menelaah ilmu-ilmu keislaman di tangannya lah terjadi proses turbulensi pemikiran umat.

Maka dari itu lewat makalah ini penulis ingin mencoba memahami gagasan dan pemikiran serta jejak intelektual sang sufi secara umum agar terbangun suatu gambaran yang utuh tentangnya.

Kata Kunci :Al Ghazali, Sufi, Filosouf. Ihya ulumudin : Jalan Sufi Ghazali

Sepintas mungkin agak aneh terniang di telinga kita, bahwa kitab yang dipahami oleh umat penganutnya sebagai pegangan untuk masyarakat sufi ini diberi judul Ihya al Ulum ad Diin yang artinya penghidup ilmu-ilmu agama. Bukankah dalam pandangan sufi yang paling diutamakan adalah amaliah nyata dalam kesucian bathin yang damai dan penuh keikhlasan. Sementara ilmu adalah aktivitas akal dan budidaya logika yang seringkali justru melahirkan sikap congkak dan kecenderungan “berkilah”, jika itu menjadi tanda tanya bagi keanehan yang pertama maka keanehan berikutnya adalah buku tersebut banyak dituding sebagai yang paling bertanggung jawab atas tragedi kemunduran dunia intelektual dan pemikiran Islam dengan akibat yang sangat jauh yang hingga sampai sekarang masih banyak diratapi umat ini1.

Dari berbagai kajian atas tangga-tangga kehidupan yang dititi al Ghazali (450-505 H) Nampak bahwa karya Ihya ini hampir sepenuhnya dapat dikatakan sebagai rekaman lengkap

1

(2)

39

hasil pengalaman dan perantauan intelektual dalam usahanya mencari apa yang dipahaminya sebagai hakikat kebenaran. Diawali dengan berguru kepada seorang sufi teman sang ayah kemudian dilanjutkan dengan Imam Haramain Abu Hasan Maali al Juwaini (419-478 H) sang ahli fiqh Syafii sekaligus ulama kalam bermazhab Asya’ri. Digelutinya ilmu kalam, fiqh, hadist dan qur’an, ini semua belum memuaskan hasrat intelektual Al Ghazali, dimasukinya dunia kebatinan (Ismailiyah) dan kemudian juga lantaran kecewa ia mengubah haluan untuk mengkaji pemikiran elit kaum filsafat.Tentu pada awalnya ia penuh harap karena seperti di propagandakan oleh para penganjurnya dikatakan bahwa prestasi filsafat adalah setara dengan prestasi kenabian (nubuwah). Bedanya, prestasi filsafat lebih merupakan konsumsi untuk kalangan elit, sedang prestasi kenabian merupakan konsumsi kalangan awam yang berpikir sederhana. Namun ternyata bagi al Ghazali filsafat bukan saja tidak lebih istimewa dibanding dengan kajian keislaman yang lainnya, justru filsafat dianggapnya telah menimbulkan guncangan yang begitu hebat atas kejiwaannya. Dalam ukuran tertentu ia konon benar-benar telah menjadi “gila”dan hampir saja berhenti dari perantauannya2.Tetapi dengan bimbingan Tuhan ia dapat menemukan kembali energi spritualitas dan totalitas ruhaninya yang mengantarkannya kepada beningnya dunia sufisme3.

Lewat perjalanan intelektualnya, al Ghazali menunjukan kepada kita sebuah sikap sejati seorang yang haus akan dahaga keilmuan. Seperti diketahui tahapan intelektual yang dilaluinya mulai dari kajian fiqh, kalam, aqidah hingga filsafat di pelajarinya dengan sunguh-sungguh4. Ilmu-ilmu tersebut bukanlah dunia pemikiran murni yang hanya ditekuni dengan piranti intelektualitas yang dingin, melainkan pula melibatkan unsur dan dimensi terdalam dari diri al Ghazali seperti keyakinan dan emosinya yang begitu kuat mewarnai dan menghiasi pemikirannya. Ia masih mampu untuk mengambil jarak yang cukup untuk dapat melakukan analisa-kritik secara bebas namun wajar. Hasil dari sikap kritisnya tersebut terhadap semua perjalanan dan pengalaman intelektualnya yang selama ini telah direguknya adalah di tulisnya sebuah kitab yang baginya dianggap sebagai jalan sufisme sebagai cara untuk mencapai ketenangan dan sampai kepada hakikat kebenaran Tuhan.

2

.Seyed Amir Ali, Api Islam (terj), (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hal. 691. 3

.Al Ghazali, Munqiz Adh Dhalal. (Egypt, Dar An Nashr, 1972), hal. 50 4

. Kita dapat lihat beberapa hasil karyanya merupakan pikiran dan pandangannya yang lahir dari kesungguhan dan orisinalitas intelektualnya terhadap sebuah wacana utama dari arus keilmuan yang berkembang dimasanya. Seperti : Ihya Ulumuddin, Kimiya Saadah, (Tasawuf). Al Iqtisad Fii Al Itiqad, Al Jaam

Al Awaam,(Kalam). Miyar Ilmi, Maqasid al Falasifah, Tahafut Falasifah (Filsafat) Al Wasiit, Al Wajizz, (Fiqh) Al Mustasfa fii ushul Fiqh (ushul fiqh). Lihat.Abdul Husain Zarin Kub, Farar az Madreseh: Darboreye Zendegi va Andiseh ye Abu Hamid Ghazali, (Tehran : Amir Kabir Published, 1391 HS), hal146-150.

(3)

40

Kitab Ihya yang tersusun atas empat jilid besar ini mengkaji secara komprehensip tentang empat bidang kehidupan manusia dalam upayanya mencari kebenaran sejati. Diantaranya adalah; Ubudiyat (Jalan komunikasi spritual antara Tuhan dengan hamba-Nya) Muamalat ( Jalan komunikasi dan inter-relasi antar-sesama makhluk Tuhan), Muhlikat ( Jalan yang membawa petaka bagi makhluk Tuhan.), Munjiyat (Jalan yang membawa keselamatan bagi Makhluk Tuhan). Masing-masing bidang ini dirinci dalam sepuluh sub bab disertai dengan penjelasn panjang dari masing-masing pembahasannya. Sesuai dengan namanya karya al Ghazali yang sekilas nampak mirip dengan ensiklopedia ini diawali dengan kajian yang sangat intuitif tentang berbagai persepsi dasar yang menyangkut dunia keilmuan. Memperoleh inspirasi dari doa yang selalu diulang-ulang oleh Nabi Muhammad SAW “Duhai Tuhan, hamba berlindung kepada-Mu dari Ilmu yang tidak bermanfaat”. al Ghazali menolak anggapan bahwa ilmu itu netral dan bebas nilai. Setelah menjelaskan tentang hakikat ilmu dan hal-hal yang terkait, al Ghazali kemudian berangkat pada suatu uraian lain yang hampir tak ada celah untuk dibantah tentang ilmu yang seperti apa yang wajib, yang perlu (sunah) dan yang boleh (jaiz) disamping ilmu-ilmu yang sebaiknya ditinggalkan kecuali bagi orang-orang tertentu saja, sebagaimana ilmu ada yang baik dan buruk dan dengan analogi ini ada juga pemilik ilmu (ulama) yang baik dan buruk. Menariknya untuk mengimbangi terminologi ulama su’ (ulama buruk) al Ghazali tidak memakai istilah ulama kheir atau ulama shahih melainkan digunakannya istilah ulama akhirat. Artinya apa, bahwa yang dipahami al Ghazali tentang ulama buruk tidak lain adalah ulama yang pijakan keilmuannya terletak pada suatu kepentingan yang dianggap berseberangan dengan nilai-nilai ukhrawi atau dengan kata lain ulama yang di sebut buruk adalah ulama duniawi dan sebaliknya ulama yang baik adalah ulama akhirat5.

Namun apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ilmu yang baik tersebut dan ulama yang memiliki ilmu itu dikategorikan sebagai ulama akhirat. Dalam uraiannya tentang macam-macam ilmu yang terkesan agak “jlimet” tersebut Al Ghazali telah membuat pemisahan teoritis antara ilmu yang bersumber pada dalil naqli dengan ilmu yang lahir dan bersumber dari argumentasi logis dan hukum tatanan alam. Walaupun secara samar al Ghazali telah menegaskan perihal tentang keunggulan ilmu jenis pertama atas jenis yang kedua tersebut, akan tetapi faktor penentu yang membuat suatu ilmu unggul atas yang lain justru terletak pada keputusan moral yang diambil oleh sang penuntut ilmu itu sendiri di dalam menjawab pertanyaan untuk apa ilmu itu dicari. Ilmu dengan nilai relatif ini adalah

5

(4)

41

ilmu yang dari sudut objek kajiannya terbatas dan merasa telah cukup hanya pada ranah fenomena lahiriah (eksoteris) sedang dari sudut instrument penyerapannya masih terikat oleh daya penalaran yang ditopang oleh bantuan inderawi dan yang termasuk dalam kategori ilmu disini adalah suatu jenis cabang ilmu yang kita kenal sekarang dengan ilmu-ilmu umum6.

Maka dari itu al Ghazali dengan jalan sufisme tersebut menawarkan sebuah pendekatan syariat yang tidak semata-mata bersifat formal. Apabila kita perhatikan bahwasanya di hampir semua bagian dalam Ihya Ulumuddin jilid pertama dan setengah bagian dari jilid yang kedua membahas tentang maslah fiqihyah mulai dari soal wudhu, sholat, puasa sampai haji. Namun tidak seperti lazimnya pendekatan fiqh yang kecenderungannya legal-formal dan berkutat pada hal yang ; wajib, sah, batal dan terlarang tetapi lebih dari itu al Ghazali membahas topik-topik tersebut dengan sentuhan spritualitas dan semangat ruhani sebagai esensi dan ruh dari perbuatan tersebut.Sebagai contoh, wudhu misalnya yaitu perbuatan untuk menunaikan ibadah ritual sholat. Menurut al Ghazali proses berwudhu seseorang yang terdiri dari usapan dan basuhan air ke anggota tubuh tertentu, mestilah dipandang sebagai simbol hakiki atas proses pensucian diri dari noda-noda batin akibat ulah anggota tubuh yang zahir secara keseluruhan. Demikian juga sholat janganlah dianggap semata-mata sebagai ritual gerak-gerik akrobatik yang harus ditunaikan secara pas dan berurutan, melainkan lebih dari itu sholat adalah sebagai media dan jalan komunikasi spiritual antara hamba dan Tuhannya. Menurut al Ghazali, sejauh mana seorang ulama memiliki ilmu yang dihiasi dengan kesadaran spiritual dapat dinilai dengan seberapa dekat atau pada tingkat kedekatan yang bagimana sang ulama tersebut dengan sang Kholiq serta tekadnya untuk mengambil jarak terhadap gemerlap keduniaaan di lain pihak.

Bagi al Ghazali semangat sufistik merupakan upaya revolusioner dalam pendalaman agama, baik dalam hal pemahaman, penghayatan dan pengamalannya.Karena pada dasarnya agama memang muncul sebagai jawaban atas panggilan manusia yang bersifat dalam atau ruhani. Dari sudut pemikiran ini maka semangat sufistik sesuatu yang bersifat “deeply” dari setiap sistem keagamaan. Agama tanpa adanya semangat dimensi sufistik akan menjadi absurd dan gersang dan bisa menjadi tidak menarik bagi agama itu sendiri terhadap kalangan yang masih memiliki kesadaran ruhani. Namun meskipun demikian semangat sufistik sebagai harkat pendalaman agama dan capaian-capaian keruhaniannya yang setinggi apa pun tidak

6

.Pada masa itu ilmu agama seperti Fiqh, Kalam dan Filsafat dan cabng-cabangnya bisa dikatakan masih pada masa puncak perkembangannya ketimbang ilmu-ilmu umum. lihat,G.Makdisi. “The Sunny Revival” dalam Richard (ed) “Islamic Civilization” , (Birmingham : Oxford Press,1973), hal.158

(5)

42

boleh tumbuh dan berkembang secara liar yang kemudian merusak tatanan syariat. Seperti tingginya eksisten spiritual seorang manusia tidak membuat dia mencabik-cabik serta memusnahkan raganya, melainkan menurut al Ghazali bahwasanya sufisme harus menitik beratkan pada kesucian jiwa-ruhani dan keluhuran budi sebagai perwujudan paling otentik dari nilai keberagamaan seseorang.

Ghazali dan Filsafat Islam

Sebagaimana diketahui bahwasanya al Ghazali dengan gelarnya sebagai Hujjatul Islam (Sang Argumentator/Pembela Islam) diklaim sebagai ilmuwan Islam yang sangat anti dan menentang dunia filsafat dan hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Apabila kita membaca karyanya yang berjudul Tahafut al Falasifah (Kerancuan para Filosouf) dan beberapa kitab lainnya seperti Maqasid al Falasifah (Tujuan para Filosouf) agak nampak memang ketidaksukaan Al Ghazali terhadap ilmu aqliyah yang satu ini. Namun disisi lain orang-orang Eropa7 abad pertengahan memandang figur al Ghazali dengan mengkaji bukunya yang berjudul Maqasid al Falasifah memiliki pandangan lain yang berbeda dengan para ilmuwan muslim. Dalam kitab Maqasid al Falasifah karya al Ghazali sebenarnya menyampaikan auto kritik pandangan filsafat Ibnu Sina oleh sebab itu itu ada 3 pembahasan utama yang terkait dengan Ilmu pengetahuan dalam filsafat Ibnu Sina (w .1037 M ) yaitu tema mengenai : Logika, Alam dan Ketuhanan, maka dari itu orang Eropa menanggap al Ghazali sebagai seorang Filosouf Paripatetik. “Pengkafiran” Al Ghazali terhadap Ibnu Sina dan Al Farabi (w.950 M) terkait pada dua puluh pokok masalah filsafat8 yang dipegang pandapatnya oleh Ibnu Sina dan Al Farabi yang kemudian terakumulasi dalam tiga tema besar dan hal ini pula yang menjadikan perbedaan paradigma Filsafat Ibnu Sina dan Al Farabi berbeda dengan Ibnu Rusyd (w.1198 M). Lewat Kitab Tahafut at Tahafut (kerancuan-kerancuan filsafat) yang merupakan jawaban tegas atas kritik dan pandangan al Ghazali yang tertuang dalam kitabnya Tahafut al Falasifah, yang menarik adalah bahwasanya ada kesamaan visi diantara al Ghazali dan Ibnu Rusyd terkait penentangan mereka berdua terhadap Ibnu Sina dan Al Farabi. al Ghazali mengatakan dan diamini oleh Ibnu Rusyd “Bahwasanya filsafat terkadang membahayakan agama”.

7

Di antaranya adalah Dominicus Gundisallimus di Toledo tahun 1145 M kedalam bahasa Latin menterjemahkannya menjadi Logica et Philosophia Al-Gazelis Arabis.

8

Sebagaimana yang ditulsi Al Ghazali dalam bukunya Tahafut al Falasifah, pengkafirannya para filosouf terkait dengan pandangan-pandangan filosouf seperti ; Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan mempunyai subtansi basit namun tidak memiliki hakikat (mahia), Tuhan tidak mengetahui Juziyaat (hal yang partikuler), Tuhan tidak diberi sifat Jins (genus) dan al fasl (diferentia), Alam tidak bermula, Alam kekal, Tidak ada kebangkitan Jasmani, Lihat. Al Ghazali, Tahafut Falasifah, (.Egypt, Dar Al Maarif, 1961), hal.120.

(6)

43

Apabila kita membaca dengan seksama kitab Tahafut al Falasifah disana di sebutkan bahwa “ Para fuqaha (ahli fikih) tidak semuanya mengkirtik dan alergi terhadap Filsafat”, al Ghazali sendiri dengan secara jujur dan sungguh-sungguh menganalisa filsafat lewat kacama filosouf dan tidak mencampur adukannya dengan pembahasan teologi9. Walaupun sama-sama dimaklumi bahwasanya al Ghazali memang dikenal pula sebagai teolog. Perlu disadari bahwasanya dalam dirinya kecintaan dan keyakinannya terhadap ilmu mantiq sangatlah tinggi hal itu tercermin dalam karya-karya beliau yang notabene terkait dengan dunia logika diantaranya kitabnya yang berjudul : Mi’yar al Ilm, al Qishtas al Mustaqim, Mihakk al Nazar Fii Al Mantiq dan yang lainnya. Begitu juga dengan konsep ajaran naturalisme Yunani dan poltik Yunani, al Ghazali sangat meyakini dan menerimanya. Akan tetapi ketika memasuki ranah yang lebih luas terkait pembahasan Ilahiyah (Tuhan). Beliau sangat keras menentang dan mengkritik habis Tuhannya kaum filosouf dan sebagian kritiknya tersebut menjadi penentangan al Ghazali yang paling fundamental. Pertanyaannya kemudian adalah “Apakah seseorang yang menentang dan mengkritik satu persoalan dari sekian banyak persoalan-persoalan dalam dunia filsafat dianggap dan di cap sebagai orang yang anti filsafat?

Kedudukan al Ghazali dalam sejarah filsafat Islam menuai bebarapa pro dan kontra para filosouf di dalam memandang sebagian masalah dan persoalan-persoalan dalam kajian filsafat banyak yang berbeda pandangan dan hal ini adalah hal yang wajar dan bukan dianggap sebagai sesuatu yang anti filsafat. Dalam hal ini bukanlah kita berada di pihak al Ghazali yang kemudian membelanya dengan mengatakan dari seseorang yang anti filsafat lalu menjadikannya tokoh yang sangat filisofis. Namun kita hanya berusaha mencoba menelusuri tentang kedudukan al Ghazali dalam sejarah perkembangan filsafat Islam. Peran apa saja yang telah disumbangkan al Ghazali di dalam dunia filsafat Islam, apa memang benar al Ghazali tokoh yang justu berada diluar lingkaran filsafat Islam, hal inilah yang menjadikan sebuah pertanyaan yang tidak berakhir dengan sebuah jawaban melainkan juga sebuah kegundahan yang dialami oleh para pemikir Islam kontemporer saat ini.

Muhammad Abdul al Jabiri seorang filosof berkebangsaan Maroko dalam bukunya yang berjudul Nahnu wa Turats10 (Kita dan Tradisi ) memberikan catatan penting yang kemudian mengisyarakan secara langsung kepada para pembacanya yang lewat bukunya tersebut beliau mencaci maki pandangan filsafat Ibnu Sina, tidak hanya itu saja kelebihan

9 Al Ghazali, Tahafut Falasifah, (Egypt, Dar Al Maarif, 1961), hal.132 10

Muhammad Abed al Jabiri, Nahnu wa Turats ; Qiraah muashirah fii Turatsina al Falsafi, (Beirut: Markaz Dirasah al Wihdah al Arabiyah, 1990), hlm 20

(7)

44

buku ini justru menguraikan bagaimana perbedaan pandangan filsafat Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, penentangan yang tajam Ibnu Rusyd kepada Ibnu Sina hingga di kafirkannya Ibnu Sina, kemudian dibahas mengenai keunggulan filsafat Islam dibandingkan dengan filsafat Yunani serta diuraikannya benang merah antara perbedaan yang mendasar diantara para filosouf Muslim seraya mengatakan : “Setelah Al Farabi yang dimulai dari abu Zaid Balkhi (w. 985M) Hingga Abu Hasan Amiri (w.992M) sampai dengan Ibnu Sina dan seterusnya mereka inilah yang dikenal dengan sebutan para Filosouf Timur dan mereka ini semua berhadapan dengan para filososuf Barat (Baghdad). Al Jabiri kemudian melanjutkan bahwasanya dalam dunia Islam ada dua kutub pemikiran filsafat islam yang berbeda ;

1. Filsafat Paripatetik Baghdad,

2. Filsafat Timur Khorasan.

Para Filosouf yang pertama mengadopsi dengan baik dan bahkan meyakini seutuhnya pemikiran Aristoteles, sebaliknya para Filosouf Timur tidak “menangkap” dengan baik pemikiran Aristoteles bahkan cenderung menjauhinya. Masih dalam pandangan al Jabiri Filosouf Timur ahli Khorasan mengkritik fondasi pemikiran ideologi dan pandangan masyarakat Persia kuno, bahwasanya ajaran para filosouf timur ini adalah memadukan agama dengan pemikiran filsafat yang menarik adalah para filosof timur dan barat ini adalah pengagum setia filsafat Platonisme yang sangat meyakini kebenaran pandangan dan ajaran Plato (w. 347SM). Dari sini kita dapat sadari bahwasanya sejarah filsafat Islam telah terkotak-kotakan tidak hanya dalam ruang lingkup ajaran dan pandangan melainkan juga terpisahkan dalam batasan geografis yang membuat peta jalan (road map) filsafat Islam terpisah dan berbeda satu sama lain. Terpisahnya filsafat Islam ini dimulai dari jamannya al Farabi dan meluas hingga masa Suhrawardi (w.1234M). Masih dalam bukunya tersebut al Jabiri menjelaskan perbedaan yang mencolok antara Ibnu Sina dan al Ghazali tidaklah terlalu jauh. Bahwasanya al Ghazali dalam membahas sesuatu selalu menggunakan pendekatan ta’wil (rasional) dan hal itu merupakan metode didalam menggali pemahaman keilmuannya sebagaimana al Ghazali selalu ungkapkan bahwasanya setiap yang zhahir (luar) memiliki dimensi bathin (dalam) begitu juga sebaliknya dan hal ini merupakan bagian cara berpikir filosofis al Ghazali.

Maka dari itu dari sini kita tidak bisa mengatakan bahwasanya al Ghazali bukanlah seorang filosouf, sejarah filsafat Islam merupakan titik temu antara agama dan filsafat,

(8)

45

persoalan-persoalan inti, pertentangan antara agama dan filsafat telah dimulai pada masa munculnya ilmu ini. teringat akan ucapan al Farabi yang mengatakan “ Agama adalah filsafat dan filsafat adalah agama”, hingga hampir disetiap karyanya Al Farabi selalu memadukan antara agama dan filsafat11, namun apakah al Farabi mampu menyelesaikan jawaban atas persoalan-persoalan filsfat dan agama dimasanya itu lain lagi persoalannya. Selain al Ghazali, bahwasanya dalam sejarah filsafat Islam ada figur-figur yang di klaim sebagai anti filsafat diantaranya Fakhrur Razi (w. 1184M) mereka berdua ini di kategorikan oleh Khaji Nashiruddin Thusi (w.1272M) dan Suhrawardi dikenal sebagai para penanya hebat dan penolong bagi orang-orang yang berada dilintasan filsafat .

Jika pandangan al Ghazali dalam pemikiran para filosouf lainnya memiliki pengaruh yang kuat, sebagai tokoh yang menghasilkan beberapa karya ilmu logika yang fundamental mengapa kita kepada al Ghazali secara jujur tidak berani mengatakan bahwasanya al Ghazali merupakan tokoh filosouf Islam sejati dan bukan sebagai figur stagnasi dan kemunduran pemikiran Islam. Jika dalam sejarah filsafat Islam ada sebuah fase dimana fase tersebut merupakan bagian dari kesatuan peristiwa kita melihatnya atau dalam kacamata lain jika dalam sebuah lingkaran al Ghazali berada pada titik garis lingkaran itu sendiri kemudian dihapusnya garis itu maka yang terlihat adalah sebuah garis yang terputus dan tidak akan membentuk lingkaran yang sempurna. Maka jelaslah begitu pentingnya posisi dan kedudukan al Ghazali dalam sejarah Filsafat Islam.

Penutup.

Imam al Ghazali telah mewariskan tinta emas bagi gerak dan dinamika intelektual dalam sejarah pemikiran Islam. Gagasan dan ide-idenya tentang kajian tasawuf, teologi bahkan filsafat menjadi rujukan utama pengagumnya. Tak pelak al Ghazali bahkan dianggap sebagai ulama pengganti dan pewaris sejati sang khatamun nabiyin Muhammad SAW. Lewat tangannya di damaikanlah dua kutub keilmuan Islam yang selalu berseteru teologi, filsafat dan fiqh menjadi harmoni, doktrin dan ajaran nya menampilkan karakter wajah intelektual Islam yang lembut dan santun bukan Islam yang keras dan ketus. Karya-karya ilmiahnya yang terdiri atas berbagai bidang ilmu keagaamaan telah dia tuliskan dan tak terhitung dengan jari, dimana ini semua dihasilkannya melalui proses perjalanan intelektual dan

11

(9)

46

pencarian spritual yang didapatkannya dengan penuh kesabaran dan kesungguhan, seolah al Ghazali hendak ingin menunjukan kepada kita bahwa pencarian akan hakikat kebenaran tidaklah sekali jadi dan tak langsung matang, banyak jalan yang harus ditempuh melalui proses panjang yang berliku, disaat itulah ketika didapatkannya kebenaran dan diterimanya keyakinan maka munculah sebuah ketenangan batin yang tidak bisa digambarkan betapa luasnya ilmu Tuhan.

Terkait dengan kitab Ihya Uulumuddin ditulisnya dengan maksud dan tujuan untuk mengurangi dosis formalisme-legal dalam beragama, karena dengan beragama yang seperti demikian akan menghilangkan sisi esoteris dan moral etis ajaran agama itu sendiri, baginya Ilmu agama bukanlah alat untuk mengejar kepentingan profan, mencari kedudukan dan popularitas tapi jauh dari itu ilmu agama dan ulamanya harus bisa menampilkan dan membangun keluhuran akhlaq dan kebersihan hati. Kitab Ihya bukanlah tulisan Ilmiah yang dianggap sebagai penyebab kemunduran dan stagnasi pemikiran umat, Secara doktrinal ajaran tasauwuf al Ghazali lewat karya magnum-opusnya tersebut dapat memberikan solusi terhadap problem masyarakat di zamannya dan masa kini terutama terkait dengan fenomena kehampaan spritual, keterasingan ruhani kemerosotan moral yang secara psikologis mengalami penderitaan yang sangat akut dan yang terpenting al Ghazali mencoba mengingatkan kita untuk selalu menjaga keseimbangan aktifitas duniawi dengan gerak ukhrawi melalui kontemplasi ruhani.

Dalam dunia filsafat, al Ghazali melalui Tahafut Falasifah nya hendak ingin menyadarkan kita bahwasannya ilmu rasio yang satu ini bukanlah konsumsi masyarakat awam, banyak yang mesti direvisi ulang terkait dengan ilmu ini agar umat tidak galau dan resah dalam beragama. Pembahasan dan segala perdebatan yang dikaji dalam ranah filsafat terkait dengan masalah Tuhan yang mencakup eksistensi dan esensi-Nya, wujud alam, kebangkiatan jasmani dan sebagainya ternyata tidak dapat menjangkau dan mendekatkan umat kepada Tuhan tapi justru semakin menjauhkan umat dari Tuhan, al Ghazali bukanlah tipe seorang yang begitu antipati, membenci dan memaki ilmu filsafat dan para filosoufnya. “Pengkafirannya” kepada para filosouf merupakan refleksi kegundahan nya yang semakin memuncak ditambah dengan kegamangan umat yang tak tahu harus kemana dan mau dibawa kemana umat ini dalam beragama agar tidak jatuh lebih dalam ke kubangan gelap dan semakin sesat.

(10)

47

Daftar Pustaka

Abdul Husain Zarin Kub, Farar az Madreseh: Darboreye Zendegi va Andiseh ye Abu Hamid Ghazali, (Tehran : Amir Kabir Published, 1391 HS)

Al Farabi, Ara- al Madinah al-Fadhilah (Egypt : Dar Al Maarfi, 1981) Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Kairo: Dar A Hadist, 1992 )

_________,Munqidz adh Dhalal, (Egypt, Dar An Nashr, 1972) _________, Tahafut Falasifah, (Egypt, Dar Al Maarif, 1961)

Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad (Terj), (Bandung : Pustaka, 1984)

G.Makdisi. “The Sunny Revival” dalam Richard (ed) “Islamic Civilization” , (Birmingham : Oxford Press,1973)

Seyed Amir Ali, Api Islam (terj), (Jakarta : Bulan Bintang, 1978)

Muhammad Abed al Jabiri, Nahnu wa Turats ; Qiraah Muashirah fii Turatsina al Falsafi, (Beirut: Markaz Dirasah al Wihdah al Arabiyah, 1990)

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan rasio nilai tambah tahu ukuran kecil adalah sebesar 43,77%, artinya 43,77 persen dari nilai output (tahu besar) merupakan nilai tambah yang diperoleh dari

SMA, tetapi lebih difokuskan pada upaya memberikan diskripsi atau gambaran tentang efektifitas penyelenggaraan pendidikan kesetaraan program paket C setara SMA di

Pada formula satu digunakan essence orange dan sunset yellow sehingga menghasilkan warna oranye dan bau jeruk. Pada formula 2 digunakan essence strawberry dan

Pasaman Barat, hasil wawancara dengan Jainul Abidin selaku Kepala Kantor bahwa dalam melaksanakan apa yang menjadi tujuan dari Unit Layanan Modal Mikro (ULaMM) Syariah adalah

flow, job description, informasi mengenai trend-trend yang sedang berlaku di pasaran, permasalahan yang terjadi dan solusi yang digunakan untuk mengatasi permasalahan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan

Selain itu, spesies ini mampu memproduksi buah dalam jumlah besar, memiliki siklus hidup yang panjang, potensi tinggi dalam penyebaran melalui air, tahan semprotan garam,

Peneliti juga melihat dalam penelitian ini bahwa, demam berdarah dengue terjadi bukan hanya karena dari 1 fakror seperti masyarakat yang tidak melakukan