• Tidak ada hasil yang ditemukan

20070823 Perlindungan HAM kepastian hukum Romli Atmasasmita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "20070823 Perlindungan HAM kepastian hukum Romli Atmasasmita"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Teks Ceramah Ilmiah

Perlindungan HAM, Kepastian Hukum dan Keadilan

Di Dalam RUU KUHP

Oleh:

 

Romli

 

Atmasasmita

 

 

 

 

 

 

 

La u n c h in g B u k u d a n W e b

(2)

Perlindungan HAM, Kepastian Hukum dan Keadilan Di Dalam RUU KUHP

Romli Atmasasmita

1

Pengantar

Penyusunan RUU KUHP yang t el ah berlangsung kurang lebih 30(t igapul uh) t ahun t elah sel esai

dan akan diaj ukan Pemerint ah kepada Dewan Perwakilan Rakyat . Sekalipun proses penyusunan

t elah selesai dilaksanakan oleh t im penyusun yang t erdiri dari para Ahl i hukum pidana

Indonesia t erkemuka akan t et api t idak luput dari kelemahan-kelemahan dan j uga harus diakui

t erdapat kel ebihan-kelebihannya. Rancangan KUHP ini merupakan karya anak bangsa Indonesia

set elah sekian lamanya digunakan KUHP warisan pemerint ah Hindia Belanda dengan beberapa

perubahan seperlunya. Pert anyaan pert ama yang harus disampaikan saat ini, adalah,

bagaimana ket ent uan pasal-pasal dalam RU KUHP t ent ang perl indungan Hak Asasi Manusia

(HAM), dan seberapa j auh ket ent uan-ket ent uan t sb mencerminkan asas kepast ian hukum?

Dua pert anyaan mendasar ini akan diuraikan j awabannya dalam bent uk analisis hukum normat if

dan sosiologis.

Analisis Ketentuan RUU KUHP tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

Sej alan dengan ket ent uan t ent ang HAM di dalam UUD 1945 (Bab XA) seharusnya seluruh

perat uran perundang-undangan yang berlaku saat ini menyesuaikan dengan ket ent uan

mengenai perlindungan HAM t sb. Tuj uan penyesuaian t sb adalah agar t idak ada l agi ket ent

uan-ket ent uan di dalam perat uran perundang-undangan yang bert ent angan dengan UUD 1945 dan

Perubahannya. Perlu dipahami t erl ebih dulu apa makna ” penyesuaian” dengan ket ent uan di

dalam UUD 1945 t sb? Makna ” penyesuaian” t sb adal ah suat u proses harmonisasi ket ent uan

perat uran perundang-undangan yang t engah berlaku sepanj ang mengenai perlindungan HAM.

Makna kalimat ” penyesuaian” memiliki konsekuensi ” perubahan” ; dan makna perubahan

adalah seharusnya perubahan ket ent uan perundang-undangan ke arah yang lebih baik dari

ket ent uan perat uran perundang-undangan sebelumnya. Penegasan kalimat ” lebih baik” perlu

digaris bawahi yait u pert ama, masalah krit eria at au t olok ukur yg l ebih baik, karena kal imat

t ersebut bersif at relat if t ergant ung dari perubahan wakt u dan t empat (geographis). Kedua,

kal imat t ersebut tidak harus bermakna, ” lebih unggul” at au ” berkualit as t inggi” mel ebihi

kemaj uan perkembangan implement asinya di negara lain. Dengan kat a lain, makna ” lebih

baik” seharusnya diukur dari sisi ket erbat asan suat u negara baik dari sisi sosial, kul t ural ,

(3)

Bert it ik t ol ak dari pemikiran t sb di at as, dapat dikat akan bahwa implement asi ket ent uan

perlindungan HAM di negara maj u t idak harus dapat disamai oleh perkembangan implement

asi-nya di Indonesia. Hal ini perlu disampaikan sehubungan dengan perasi-nyat aan di dalam Dekl arasi

Bangkok (Bangkok Decl arat ion, t ahun?) yang mencerminkan bahwa negara anggot a ASEAN

t et ap mendukung dan melaksanakan pemaj uan dan perlindungan HAM akan t et api

implement asinya disesuaikan dengan kondisi geographis dan sosial budaya set empat

(masing-masing negara). Penegasan ini sekaligus mencerminkan pul a masih dianut nya pandangan

relat ivisme HAM oleh sebagian besar negara anggot a ASEAN dibandingkan pandangan HAM

yang bersif at absolut ; yang mana dalam kenyat aan merupakan sesuat u hal yang t idak mudah

unt uk menempat kannya sebagai ” t he l iving law f or all nat ion” . Saat ini implement asi

pandangan HAM universal di seluruh negara t ermasuk negara maj u dan dikenal sebagai negara

sponsor pemaj uan dan perlindungan HAM (Amerika Serikat dan negara2 t ergabung dal am Uni

Eropa) masih bersif at ” t rial and error” ; bahkan kenyat aan membukt ikan t idak konsist en di

dalam pemaj uan dan perlindungan t sb. Berbagai kasus pel anggaran HAM oleh Amerika Serikat di

Guant anamo, dan dal am peperangan di Irak t elah membukt ikan hal t sb. Rusia dan Cina j uga

t elah t idak konsist en dalam memaj ukan dan melindungi HAM di negaranya masing-masing;

kasus penghilangan paksa orang-orang yang t idak disukai at au bersebrangan secara polit ik

dengan pemerint ah Put in, s sepert i t erhadap seorang j urnalis wanit a t erkenal mengkrit isi

kebij akan polit ik Put in, dan pembunuhan seorang agen int elij en Rusia yang membel ot ke AS. Di

Indonesia, kasus pembunuhan Munir j uga t elah membukt ikan masalah inkonsist ensi t erhadap

pemaj uan dan perl indungan HAM. Kasus sensos pers di Indonesia yang t el ah dit iadakan dengan

berlakunya UU Pokok Pers (t ahun?) selain merupakan kemaj uan di bidang hak dan kebebasan

menyampaikan inf ormasi dan menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh UUD 1945 dan

Perubahannya, j uga masih ada beberapa kasus pencemaran nama baik at au penghinaan

t erhadap presiden yang masih t erj adi. Put usan MA dalam kasus Maj alah Tempo merupakan

suat u kemaj uan berart i sekalipun dalam kasus lain MA masih belum konsist en menerapkan

hukum HAM, sepert i dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Lest e. Semua perist iwa di dalam

negeri dan di negara lain di at as menunj ukkan bahwa, t ampaknya pandangan HAM universal

belum dianut sepenuhnya yang pada gilirannya berdampak t erhadap implement asi pemaj uan

dan perlindungannya. Cont oh konkrit mengenai paham part ikularist ik t ent ang HAM j uga masih

dianut di dalam perundang-undangan pidana di Belanda dan j uga di dalam Konvensi HAM Eropa.

Sebagaimana dij el askan di dalam Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP Belanda masih membat asi

” kebebasan pers” dal am art i bahwa, yang dilindungi adalah pencet ak dan penerbit nya

(4)

lengkap maka mereka akan bebas dari penunt ut an kecuali sebaliknya.2 Padanan t erhadap

kedua pasal t sb adalah Pasal 61 dan Pasal 62 KUHP. Larangan dan sanksi pidana t erhadap

penerbit dan pencet ak masih diat ur dalam KUHP Belada dalam Pasal 418-420 KUHP, adalah

padanan Pasal 483-485 KUHP Indonesia. Larangan sensor pun t el ah dit et apkan di dalam

Konst it usi Belanda pada Pasal 7 dan Pasal 10 Konvensi Uni Eropa; akan t et api di Konst it usi

Belanda t sb dit egaskan bahwa, masih ada kekecualiannya yait u t idak menghilangkan t anggung

j awab set iap orang berdasarkan undang-undang yang berl aku( ”No one needs prior permission

for through . . . the press experssing thoughts or sentiments, notwithstanding

everyone/ s responsibility under the law” ). Dij elaskan lebih j auh makna, ” responsibilty

under the law untuk suatu publikasi” yait u dapat dipert anggungj awabkan scara

perdat a(ant ara l ain dengan mel akukan gugat an perdat a unt uk t indak pidana pencemaran nama

baik oleh korban t erhadap penulis dan at au penerbit nya). Dikat akan lebi h j auh bahwa, larangan

sensor t idak mengenyampingkan kemungkinan bagi pengadilan unt uk menet apkan ” inj unct ion”

t erhadap penerbit an t sb.3

Begit upul a Konvensi HAM Eropa pada Pasal 10 menegaskan, set iap orang memiliki hak secara

bebas menyampaikan pendapat . Hak Kebebasan menyampaikan pendapat dan menerima sert a

menyebarluaskan inf ormasi dan gagasan-gagasan t anpa ada int ervensi oleh alat kekuasaan dan

t anpa pembat asan t erit orial . Pasal ini t idak dapat mencegah Negara unt uk menet apkan

perizinan unt uk penyiaran, t elevisi at au perf il man. Dal am ayat 2 dari Pasal 10 dit egaskan

t erdapat 7(t uj uh) t uj uan unt uk mana dibolehkannya pembat asan t erhadap hak dan kebebasan

t eersebut di at as, sebagaimana diuraikan di bawah ini.

The exercise of t hese freedoms¸ since it carries it dut ies and responsibilit ies, may be subj ect t o such formalit ies, condit ions, rest rict ios or penalt ies as ae prescribed by law and are necessary in a democrat ic societ y, in t he int erest of nat ional securit y, t errit orial int egrit y or public safet y, for t he prevent ion of disorder or crime, for t he prot ect ion of healt h or morals, for t he prot ect ion of t he reput at ion or right s of ot hers, for prevent ing t he disclosure of informat ion received in confidence, or for maint aining t he aut horit hy and impart ialit y of t he j udiciary”. Keij zer, menegaskan bahwa “ pembat asan-pembat asan” yang dibolehkan menurut Alinea kedua Pasal 10 t sb adalah, hanya dapat dibenarkan j ika

dipenuhi 3(t iga) persyarat an, yait u, (1) pembat asan t sb harus dit et apkan dalam

undang-undang; (2) persyarat an t sb harus memiliki t uj uan yang dibenarkan secara hukum (lihat

2

(5)

ket uj uh t uj uan pembat asan di at as), dan (3) harus ada keperluan yang signif ikan unt uk

melaksanakan pembat asan. Persyarat an ket iga ini sangat krusial dalam art i bahwa pembat asan

t sb harus memenuhi asas proprosional it as, yait u sej auh manakah pembat asan t sb memang

memenuhi t unt ut an kebut uhan masyarakat (baca: bukan pemerint ah! ).4

Pada t at aran kebij akan legislat if di Indonesia, masalah pemaj uan dan perlindungan HAM di

Indonesia t elah mengalami kemaj uan dibandingkan dengan keadaan Indonesia sebelum

ref ormasi bahkan dengan negara-negara lain. Hal ini t erbukt i dari berbagai UU yang t el ah

dihasil kan pasca era ref ormasi 1998, sepert i UU Nomor 35 t ahun 1999 t ent ang HAM, UU Nomor

26 t ahun 2000 t ent ang Pengadil an HAM, dan berbagai UU yang t elah mengesahkan berlakunya

konvensi2 int ernasional t ent ang HAM (hak polit ik, hak sosial dan hak ekonomi, dan

penghapusan diskriminasi at as et nis, agama dan ras; dan hak anak sert a wanit a). Berkait an

dengan kebij akan legislat if dalam bidang hukum pidana, pemerint ah t el ah membent uk Tim

RUU KUHP dan RUU KUHAP unt uk menyesuaikan KUHP dan KUHAP yang berlaku dengan

perkembangan sosial , ekonomi, polit ik dan budaya saat ini t erut ama dalam kait an pemaj uan

dan perl indungan HAM sert a perkembangan lint as kej ahat an t ransnasional abad 21 ini.

Prof . Mul adi sebagai Ket ua Tim RUU KUHP t el ah menegaskan bahwa, para pakar yang t erlibat

dalam perumusan KUHP t elah menyerap aspirasi yang bersif at mul t idimensional baik yang

berasal dari elemen-elemen suprast rukt ural . inf rast rukt ural, akademis maupun aspirasi

int ernasional. Dikat akan j uga t idak dilupakan aspirasi yang berasal dari budaya bangsa (elemen

part ikul arist ik). Sel anj ut nya dal am mengemukakan asas-asas hukum pidana yang dianut dal am

Buku I, Muladi menggaris bawahi 17(t uj ubelas) but ir pemikiran yang dipandang sebagai

menj iwai asas-asas hukum pidana dalam RUU KUHP. Dalam kait an dengan HAM dij elaskan

bahwa RUU KUHP t elah mencipt akan hukum pidana yang manusiawi (humanit arian criminal l aw) baik unt uk kepent ingan masyarakat , kepent ingan pelaku maupun kepent ingan korban

kej ahat an.5 Selanj ut nya dij elaskan bahwa, sif at hukum pidana yang semula merupakan hukum

pidana perbuat an (daadst raf recht ) yang dipengaruhi Aliran Klasik set el ah Revolusi Perancis

disempurnakan menj adi hukum pidana pelaku yang j uga berorient asi kepada pelaku

(daad-dader st raf recht ); pidana yang semula bert uj uan unt uk pembalasan(ret ribut ion) dit uj ukan

kearah yang lebih bermanf aat .6 Terkait kepada Konvensi t ent ang Hak Anak, dij elaskan bahwa

secara khusus (RUU KUHP, sic) diat ur t ent ang, ” Pidana dan Tindakan Bagi Anak” dalam Bab

t ersendiri(Bab Keempat , Pasal 106 sd 123); dan dit ent ukan j uga bat as minimum umum

4

Keizer,ibid 5

Dikutip dari “Kumpulan Tulisan tentang RUU KUHP”; Panitian Penyusunan RUU Tentang KUHP Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI; Tahun 2004;halaman 4

(6)

pert anggungj awaban pidana, yait u 12 t ahun. Pidana mat i t et ap dipert ahankan namun diat ur

dalam pasal t ersendiri sebagai ” pidana yang bersif at khusus” dan sel al u diancamkan al t ernat if .

Pidana mat i dij at uhkan sebagai ” upaya t erakhir unt uk mengayomi masyarakat ” (Pasal 80 RUU

KUHP). Dengan syarat -syarat t ert ent u j uga dimungkinkan penerapan ” Pidana Mat i Percobaan”

(condit ional deat h penalt y) di dalam Pasal 82 RUU, di mana pidana mat i dimungkinkan diubah

menj adi pidana seumur hidup at au pidana penj ara 20 t ahun.

Bert it ik t olak dari penj elasan Ket ua Tim RUU KUHP t ersebut di at as, dapat dikat akan bahwa,

t im penyusun masih menggunakan pendekat an yuridis normat if dengan t et ap t idak

meninggalkan t uj uan pemidanaan klasik dan berusaha unt uk mengalokasikan f akt or sosio-kult ur

bangsa Indonesia. Di sisi l ain, t im penyusun secara gambl ang menyinggung pent ingnya

perlindungan HAM akan t et api dalam perumusannnya masih t et ap ” mempert ahankan st at

us-quo” t erut ama misal nya, ket ent uan pidana mat i; kej ahat an t erhadap ket ert iban umum,

khususnya Pasal 154 (Pasal 284 -285 RUU KUHP); dan Pasal 157 (Pasal 286 RUU KUHP), akan

t et api rumusan t indak pidana dalam RUU diubah, dari Delik Formil(cukup dengan t erbukt i

adanya perbuat an), menj adi Delik Mat eriel (pidana hanya dij at uhkan j ika t imbul akibat dari

perbuat an yang dit uduhkan). Namun demikian perubahan rumusan t indak pidana t sb, t idak

mengubah esensi dari rumusan t sb dikait kan dengan wewenang aparat kepolisian yang

merupakan perpanj angan t angan pemerint ah yang j uga rent an t erhadap int ervensi kekuasaan

dalam proses penegakan hukum. Upaya Tim Penyusun unt uk mempert imbangkan sisi

perlindungan HAM (hak unt uk menyat akan pendapat secara bebas) di sat u sisi dan kewaj iban

pemerint ah unt uk memelihara ket ert iban t el ah menghasilkan rumusan yang menit ikberat kan

kepada ” muncul nya akibat yang dapat merugikan kepent ingan masyarakat yang lebih luas” .

Dalam kait an ini, dokt rin hukum pidana mengenal berbagai t eori mengenai hubungan

sebab-akibat (causal relat ionship), sepert i, t eori condit io sine qua non (Von Buri) , t eori Relevansi

(Van Hamel dan Langemeyer), dan t eori ekuival ensi (Von Kries) yang sudah t ent u akan

memepngaruhi cara pandang alat kekuasaan membukt ikan adanya hubungan kausal suat u

kasus, dan kemudian menent ukan dapat dit unt ut t idaknya seseorang pelaku. Ket ika alat -al at

kekuasaan menent ukan kausa t ersebut maka sulit unt uk dij amin t idak akan st eril dari

kepent ingan polit ik pemegang kekuasaan at au int ervensi dari pemegang kekuasaan, t erut ama

dal am kasus-kasus kej ahat an t erhadap ket ert iban umum. Mengapa? Hal ini sangat t ergant ung

dari subj ekt ivit as cara pandang dan kedalaman wawasan dan ilmu penget ahuan hukum sert a

ket elit ian para penyidik kepol isian yang t idak j arang t elah t erj adi melanggar obj ekt ivit as

(7)

Persoal annya, adalah bagaimana prediksi impl ement asi di dalam prakt ik penegakan hukum?

Prediksi bahwa, implement asi rumusan t indak pidana t ersebut t idak akan mengubah paradigma

aparat ur penegak hukum di dalam memandang perbuat an yang dit uduhkan sebagai penghinaan

at au delik pers t idak t erhindarkan karena persoalan ” t rauma polit ik penegakan hukum masa

l al u” yang t el ah menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan bel aka. Tampaknya, posisi

st at us-quo masih dianut Tim penyusun RUU KUHP dengan pert imbangan , bahwa prinsip

” et at isme” masih relevan dan pent ing dalam kont eks kehidupan masyarakat domest ik dalam

masa t ransisi menuj u ke arah demokrasi. Dal am kont eks menuj u masyarakat demokrasi posisi

t sb masih dapat dipahami, akan t et api kiranya ” kecurigaan” (suspicious) al at -al at kekuasaan

dalam memandang dinamika kehidupan masyarakat t idak selalu harus dit anggapi secara apriori

dari kaca mat a kepent ingan pemegang kekuasaan semat a-mat a. Posisi t sb j uga harus dit imbang

dari sisi aspirasi nilai-nilai demokrasi yang memang memerlukan ” kepercayaan penuh” yang

bersif at resiprosit as sert a simbios mut ualist ik ant ara rakyat dan pemerint ahnya. Namun

demikian adakah visi dan misi yang j elas t uj uan dan prospek kehidupan dan diperansert akan

pemerint ah pasca era ref ormasi 1998 sampai saat ini; inilah t it ik persoalan bangsa ini kedepan

di dalam memasuki dan menit i kehidupan demokrat isasi di segala sekt or kehidupan

masyarakat .

Tentang Masalah Kepastian Hukum dan Keadilan

Kepast ian Hukum akan selalu merupakan ikon dan sekal igus j at i diri hukum sej ak masa Yunani

yang lampau sampai saat ini, dan masih di kumandangkan dan diaj arkan sebagai asas dan

t uj uan hukum yang bersif at universal dan abadi, dan sekal igus sering dipert ent angkan dengan Keadilan. Tim Penyusun RUU KUHP t elah mengadopsi kedua asas t sb secara kurang

proporsional karena dinyat akan di dalam Pasal 12 RUU KUHP dit egaskan bahwa, penerapan hukum ol eh hakim sej auh mungkin mengut amakan keadilan di at as kepast ian hukum. Rumusan

Pasal 12 RUU KUHP t sb mencoba unt uk memberikan perlakuan yang sama t erhadap kedua asas

dimaksud namun j uga diberikan t ekanan kepada hakim, bahwa keadilan memiliki ” nilai

t ambah” dibandingkan dengan kepast ian hukum. Sepint as rumusan t ersebut ” cukup cant ik” dan

” enak dipandang” , akan t et api t im penyusun j uga t elah t idak bersikap realist ik t erhadap

” keadil an nyat a” dalam masyarakat yang sesungguhnya keadilan it u t idak pernah t erwuj udkan

baik di negara maj u maupun di negara berkembang. Sebagai cont oh, peradilan Nuremberg,

sering secara sinis disebut , ” Vict or’ s Just ice” , bukan ” l egal j ust ice” at au ” int ernat ional

j ust ice” sekalipun akibat Peranf g Dunia Ke Dua sangat mengerikan dalam sej arah peradaban

bangsa-bangsa. Peradil an Yugoslavia dan Rwanda sering disebut ” Peradilan Pemegang Vet o”

karena ada ket idak adilan ket ika t ent ara Amerika Serikat dal am perang Viet nam dan t idak

(8)

t ent ara Amerika dan sekut unya dalam perang Irak. Mengapa bisa t erj adi? Hal ini disebabkan

pandangan t ent ang keadilan akan selalu mengalami perubahan sit uasional dan bersif at

kont ekst ual dalam perkembangan kehidupan masyarakat . Von Savigny sej ak lama t elah

memperingat kan kit a, bahwa ” hukum selalu t ert inggal dari perkembangan masyarakat nya” ;

dan at as pendapat t sb kit a dapat menarik kesimpulan bahwa nilai keadilan yang diharapkan

lahir dari penerapan hukum t idak akan konst an sif at nya namun ia akan selalu dinamis. Pada

t it ik ini maka kit a harus bert anya t ent ang sej auh manakah relevansi rumusan Pasal 12 RUU

KUHP t ersebut dal am kont eks masyarakat Indonesia yang kini t engah mengalami perkembangan

masa t ransisi menuj u demokrasi. Bukankah dengan ket ent uan t ersebut t idak akan memudahkan

para hakim ” menemukan” keadil an, bahkan mungkin kepast ian hukum-lah yang akan l ebih

mudah dit erapkan daripada keadil an it u sendir i. Biarkanlah ” keadilan” it u berada pada

pandangan masyarakat menurut t empat dan wakt u t ert ent u. Rumusan ket ent uan Pasal 12 RUU

KUHP t ersebut – yang merupakan isi Bab II, di bawah ” Tindak Pidana dan

Pertanggungj awaban Pidana”yang merupakan asas ut ama Hukum Pidana, j ust ru akan

menimbul kan ” ket idakpast ian hukum dan ket idakadilan” baru di dalam prakt ik peradilan

pidana di Indonesia di masa yad. Kit a dapat dibayangkan set iap put usan Hakim akan selalu

diuj i dengan t ol ok ukur seberapa j auh, para hakim t elah mengut amakan ” keadilan” lebih besar

daripada ” kepast ian hukum” ; suat u pert anyaan mendasar t erhadap hakekat hukum, dan

bersif at f ilosof is yang t idak akan kunj ung selesai dan bermasalah.

Keadil an dalam kont eks kul t ur dan sosio-geograpis Indonesia harus dimaknai sebagai

” Perdamaian” (Peace) yang akan j auh lebih dapat dipahami secara sadar karena ia sesuai

dengan kebiasaan dan hukum adat yang hidup sej ak lama di dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. Dalam t at aran pragmat isme kehidupan set iap bangsa, t erbukt i, perdamaian it u

relat if lebih mudah dicapai dan t erj angkau daripada keadilan. Mengapa kit a selalu harus

bert umpu pada keadil an sedangkan kit a selalu menut up mat a bahwa keadil an sepanj ang

sej arah peradaban t idak pernah ada, karena it ul ah pernah ada pendapat (?) yang mengat akan

bahwa, keadilan it u adalah ket idakadil an t ert inggi. Perdamaian sebagai t uj uan hukum baru

akan melengkapi asas sekaligus t uj uan umat manusia membent uk hukum(nasional dan

int ernasional) sehingga seharusnya asas dan t uj uan hukum it u adalah, keadilan untuk

mencapai perdamaian (j ustice for peace) daripada t uj uan unt uk mencapai keadilan semat

a-mat a; apalagi j ika sel al u mempert ent angkan ant ara keadilan dengan kepast ian hukum.

RUU KUHP masih menganut ideologi kant ianisme yang memang di dal am sej arah hukum pidana

(9)

j j uga mempert imbangkan pul a ideologi ut il it arian baik dari perspekt ip kepent ingan pelaku,

korban dan masyarakat luas. Sel ain it u j uga t elah dianut pendekat an vikt imologi dengan

mengut amakan prinsip resorat ive j ust ice. Hal ini dapat dit emukan pada ket ent uan mengenai

pemulihan korban kej ahat an dan pidana kerj a sosial yang bersif at ” non-punit ive” . Dapat

dikat akan bahwa, t im penyusun berusaha membuat masakan ” gado-gado” dari semua aliran

yang berkembang dari aliran kl asik (t ert ua) yang bersif at ret ribut if kepada aliran modern

(baru) yang bersif at rest orat ive.

Set iap RUU baru sel alu memiliki kelemahan-kel emahan baik dari sisi f ilosof is, yuridis, maupun

sosiologis, dan sudah t ent u RUU KUHP t idak luput dari kelemahan t sb. Namun lebih baik ada

upaya pembaruan daripada t idak ada sama sekali; masih ada wakt u dan ruang unt uk publik

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa Spirulina dapat digunakan sebagai immunostimulator, yang dapat membentuk/meningkatkan atau merangsang timbulnya

[r]

Berdasarkan dari hasil penelitian, analisis dan pembahasan mengenai faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian perilaku seks berisiko pada remaja tunarungu di

[r]

Pengaruh Corporate Governance, Ukuran Perusahaan dan Struktur kepemilikan Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di BEI (2008-2010) Manajemen laba,

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19 Tahun 2015 tentang Pembelian Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Air Dengan Kapasitas Sampai Dengan 10 MW

Dapat disimpulkan bahwa penerapan model Numbered Head Together (NHT) berbantuan media puzzle dapat meningkatkan keterampilan mengajar guru dan hasil belajar siswa pada tema

[r]