KARAKTERISTIK BISKUIT COKLAT DARI CAMPURAN TEPUNG PISANG BATU (Musa balbisiana colla) DAN TEPUNG TERIGU PADABERBAGAI TINGKAT
SUBSTITUSI
The Characteristics Of Chocolate Biscuits Processed From Wheat Flour And Musa Balbisiana
Colla Flour At Different Levels Of Substitution
Siti Nurdjanah1, Nanti Musita2, Dwi Indriani3
e-mail: nurdjanah_thp@unila.ac.id
1)
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Lampung, Jln. S. Brodjonegoro 1 Bandar Lampung 35145, Telp. (0721) 781820
2) BalaiRiset dan Standarisasi Industri , Lampung 3)
Mhasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRACT
The use of wheat flour as a main ingredient in processed food products in Indonesia will increase the dependence of wheat flour import. This can be reducedpartly by using local foodsource such as balbisiana banana (pisang batu). The purpose of this research was to obtain formulation of balbisiana banana flour and wheat flour to produce biscuit with the best organoleptic propeties. The experiment was arranged in a Random Complete Block Design (RCBD) , non factorial with three replications. The single factor used was the formulation of
balbisiana banana flour and wheat, consisted of six levels 90:10 (F1), 85:15 (F2), 80:20 (F3),
75:25 (F4), 70:30 (F5) dan 65 : 35 (F6). The data were analyzed using Barlett test to find homogenity, furthermore the Tuckey test was used to test the additivity, and then tested using ANOVA. The mean separation was further analysis using Honest Significant Difference test (HSD) at 5% level of significance. The results showed that the substitution of wheat ffour with
balbisiana banana flour had significant effect on color, texture, overall acceptance and
commercial potential, but i had no significant effect on the taste. The best biscuit was found in F2 treatment (85% balbisiana banana flour : 15% wheat flour) with the criteria: water , ash, fat, protein, and , carbohydrate contents were 1,4%, 2,6%, f 20,7%, 5,7%, 69,6% respectively. The glycemic index (GI) , total dietary fiber and total phenol were 21,1%, 32,3% and 2,8 ppm.
Key words : biscuit, balbisiana banana, glycemic index, dietary fiber, duo trio banana, glycemic index, dietary fiber
PENDAHULUAN
Lampung merupakan provinsi yang menyumbang lebih dari 681 ribu ton pisang tahun 2009 (BPS, 2009). Sulistyaningsih (2009) melaporkan bahwa tanaman pisang dikelompokkan menjadi pisang liar dan pisang budidaya. Pisang liar umumnya mempunyai banyak biji dan belum banyak dimanfaatkan. Salah satu jenis pisang liar adalah Musa balbisiana Colla atau pisang batu Penelitian terdahulu diketahui kadar pati resisten pisang batu lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pisang lainnya, yaitu sebesar 39,35 % (Musita, 2008),
mengandung senyawa fruktooligosakarida
(FOS) sehingga dapat dikembangkan
menjadi minuman prebiotik (Musita et al., 2009) dn dapat menjadi salah satu sumber polifenol antioksidan (Ovando-Martinez
et.al, 2008). Biskuit merupakan salah satu
produk pangan olahan makanan yang
berbahan baku utama tepung terigu.
Pemanfaatan tepung pisang batu sebagai pensubstitusi tepung terigu untuk bahan baku
biskuit diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan penggunaan tepung terigu dan juga dapat meningkatkan nilai ekonomis pisang batu.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Pisang batu (Musa balbisiana Colla) tua, tepung terigu merk Segitiga Biru, gula halus cap Ratu, soda kue merk Koepoe-Koepoe, margarin merk Blue Band, telur, coklat bubuk cap Van Houten, garam halus, vanili cap Tjapung dan bahan-bahan kimia lain yang digunakan untuk analisis. Peralatan yang digunakan antara lain pisau, toples berukuran 10 L, baskom plastik, oven, mixer, gilingan pemipih, cetakan, timbangan, loyang alumunium, cawan porselain, tanur, desikator, labu Kjeldal, alat destilasi lengkap dan alat-alat lain untuk analisis.
Metode Penelitian
Percobaan ini dilakukan dalam RAKL dengan faktor tunggal yang terdiri dari enam taraf formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan, yaitu 90 : 10 (F1), 85 : 15 (F2), 80 : 20 (F3), 75 : 25 (F4), 70 : 30 (F5) dan 65 : 35 (F6) dengan tiga kali ulangan. Data yang diperoleh diuji kesamaan ragamnya dengan
uji Bartlet dan kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey. Data dianalisis dengan sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat. Analisis data dilanjutkan menggunakan uji BNJ pada taraf 5%.
Pelaksanaan Penelitian dan Pengamatan
Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahap, yaitu pembuatan tepung pisang batu dan pembuatan biskuit. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu sifat organoleptik yang meliputi rasa, kerenyahan, warna, peneriman keseluruhan, dan pendapat panelis tentang potensi komersialisasi biskuit. Biskuit dengan sifat organoleptik terbaik dilakukan uji pembedaan duo trio dengan biskuit kontrolnya (100% terigu) dan uji proksimat yang meliputi kadar air (AOAC, 1990), kadar protein (mikro kjeldhal), kadar abu (AOAC, 1990), kadar lemak (AOAC, 1990), kadar karbohidrat (Winarno, 1992), penentuan kadar fenol (metode Folin – Ciocalteu), Glikemik Indeks (Dubois et al., 1956 dan Frey et al., 2003), kadar serat pangan (Asp et al., 1993) dan kajian finansial.
Tabel 1. Formulasi biskuit
Bahan (g)
Perlakuan (tepung pisang batu : tepung terigu) F1 (90:10) F2 (85:15) F3 (80:20) F4 (75:25) F5 (70:30) F6 (65:35 ) Tepung pisang batu 135 127,5 120 112,5 105 97,5 Tepung terigu 15 22,5 30 37,5 45 52,5 Gula halus 100 100 100 100 100 100 Telur 45 45 45 45 45 45 Margarin 85 85 85 85 85 85 Vanili 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 Baking soda 2 2 2 2 2 2 Garam 2 2 2 2 2 2 Coklat bubuk 20 20 20 20 20 20 Total 404,4 404,4 404,4 404,4 404,4 404,4
Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung pisang batu Sumber : Welly (2003) yang dimodifikasi
Gambar 2. Diagram alir pembuatan biskuit
Sumber : Welly (2003) yang dimodifikasi dengan penambahan bahan yang berbeda pada tahap pembuatan adonan II
Pisang batu
Pengupasan Kulit pisang batu
Pencucian
Pengirisan melintang dengan ketebalan 3-5 mm
Air
Penggilingan
Tepung pisang batu halus
Pengeringan pada suhu 50oC selama 24 jam
Pengayakan dengan ayakan 60 mesh
45 g telur dihomogenkan
Dihomogenkan dengan mixer selama ± 5-10 menit 100 g gula halus, 85 g margarin, 20 g coklat bubuk Adonan I 2 g baking soda, 0,4 g vanili, 2 g garam Biskuit
Adonan dipipihkan dengan menggunakan kayu pemipih Adonan II
formulasi tepung pisang : tepung terigu (9:1, 8,5:1,5, 8:2, 7,5:2,5, 7:3 dan 6,5: 3,5)
Dicetak menggunakan cetakan dengan diameter 3 cm dan tebal 0,3 cm
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Organoleptik
Warna
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu berpengaruh sangat
nyata terhadap warna biskuit. Tabel 2 menunjukkan semakin banyak proporsi tepung pisang batu yang digunakan, maka penilaian panelis terhadap warna biskuit semakin menurun. Penurunan intensitas warna pada biskuit tepung pisang disebabkan karena peningkatan proporsi tepung pisang yang digunakan.
Tabel 2. Skor warna produk biskuit tepung pisang batu pada berbagai perbandingan
Perlakuan Skor
F5 (tepung pisang batu 70%) 4,38a
F6 (tepung pisang batu 65%) 4,28a
F4 (tepung pisang batu 75%) 3,95a
F3 (tepung pisang batu 80%) 3,60ab
F2 (tepung pisang batu 85%) 3,53ab
F1 (tepung pisang batu 90%) 2,84b
BNJ0,05 = 1,056
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Jujur (BNJ) taraf 5%.
Pembentukan warna coklat juga terjadi karena adanya reaksi non enzimatik yang disebabkan reaksi maillard. Menurut Winarno (1992), reaksi maillard adalah reaksi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer dari protein. Catrien et al. (2008) melaporkan bahwa reaksi maillard berlangsung pada suasana basa (pH 9,0-10,5), sementara pada suasana asam (pH 2,65-7,17) tidak berjalan dengan baik. Pada pH rendah banyak grup amino yang terprotonasi atau bermuatan positif (-NH3+) sehingga hanya sedikit asam
amino yang tersedia untuk reaksi maillard (Eriksson, 1981). Penurunan intensitas warna pada biskuit tepung pisang batu disebabkan karena tepung pisang batu memiliki pH yang rendah dibandingkan pH tepung terigu, yaitu 5,08 (pH terigu 5,97) (data belum
dipublikasikan). Oleh karena itu
penambahan proporsi tepung pisang batu pada biskuit menyebabkan pH adonan biskuit menurun sehingga reaksi maillard tidak berjalan dengan baik.
Kerenyahan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formulasi tepung pisang
batu dan tepung terigu berpengaruh sangat nyata terhadap kerenyahan biskuit. Tabel 3 menunjukkan semakin banyak proporsi tepung pisang batu yang digunakan, maka penilaian panelis terhadap kerenyahan biskuit semakin menurun. Hal ini disebabkan penggunaan tepung pisang batu dalam
pembuatan biskuit menurunkan efek
shortening yang diberikan oleh margarin,
karena tepung pisang batu memiliki daya serap minyak yang tinggi, yaitu 23,5% (data belum dipublikasikan). Margarin yang
ditambahkan dalam masing-masing
formulasi memiliki jumlah yang sama, yaitu 21% dari total bahan yang digunakan sehingga peningkatan penggunaan tepung pisang batu akan menyerap lemak yang sebagian besar berasal dari margarin. Hal ini menyebabkan menurunnya efek shortening pada adonan karena kurangnya lemak yang dibutuhkan oleh adonan untuk memberikan efek shortening sehingga adonan yang dihasilkan untuk masing-masing formulasi memiliki tingkat kekerasan atau kekalisan yang berbeda-beda. Oleh karena itu tingkat kerenyahan biskuit yang dihasilkan akan semakin keras seiring dengan penurunan efek shortening dan peningkatan penggunaan tepung pisang batu.
Tabel 3. Skor kerenyahan produk biskuit tepung pisang batu pada berbagai perbandingan.
Perlakuan Skor
F5 (tepung pisang batu 70%) 4,07a
F6 (tepung pisang batu 65%) 3,93a
F4 (tepung pisang batu 75%) 3,82a
F3 (tepung pisang batu 80%) 3,80a
F2 (tepung pisang batu 85%) 3,48ab
F1 (tepung pisang batu 90%) 2,62b
BNJ0,05 = 0,992
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Jujur (BNJ) taraf 5%.
Selain itu penggunaan telur yang hanya sebesar 11% dari total bahan yang digunakan juga tidak mampu meningkatkan tekstur biskuit, karena menurut Matz dan Matz (1978), telur dapat melembutkan tekstur biskuit dengan daya emulsi dari lesitin yang
terdapat dalam kuning telur dan
pembentukan adonan yang kompak karena adanya daya ikat dari putih telur. Selain itu
lesitin dalam adonan biskuit dapat
menambah efek shortening dari lemak sehingga peningkatan penggunaan telur dapat memperbaiki tekstur biskuit yang dihasilkan.
Rasa (Tingkat Kemanisan)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu tidak berpengaruh terhadap skor rasa manis biskuit.
Tabel 4. Skor rasa produk biskuit tepung pisang batu pada berbagai perbandingan.
Perlakuan Skor
F4 (tepung pisang batu75%) 3,42a
F6 (tepung pisang batu 65%) 3,31a
F5 (tepung pisang batu 70%) 3,27a
F3 (tepung pisang batu 80%) 3,16a
F2 (tepung pisang batu 85%) 3,13a
F1 (tepung pisang batu 90%) 2,84a
BNJ0,05 = 0,952
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Jujur (BNJ) taraf 5%.
Tepung pisang dan tepung terigu memiliki
rasa yang cenderung tawar sehingga
perbandingan tepung pisang dan tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan biskuit tidak mempengaruhi rasa biskuit yang dihasilkan. Rasa manis biskuit tepung pisang batu berasal dari penambahan gula halus sebanyak 40% dari total bahan yang digunakan untuk masing-masing formulasi sehingga rasa biskuit yang dihasilkan untuk seluruh perlakuan tidak berbeda nyata.
Penerimaan Keseluruhan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit. Uji BNJ 5% menunjukkan bahwa skor tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit pada penggunaan tepung pisang sebesar 65-85% dari total tepung yang digunakan tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan tingkat kesukaan produk biskuit yang menggunakan tepung pisang sebesar 90% dari total tepung yang digunakan.
Tabel 5. Skor tingkat kesukaan panelis terhadap produk biskuit tepung pisang batu pada berbagai perbandingan.
Perlakuan Skor
F6 (tepung pisang batu 65%) 3,47a
F5 (tepung pisang batu 70%) 3,47a
F4 (tepung pisang batu 75%) 3,38a
F3 (tepung pisang batu 80%) 3,20ab
F2 (tepung pisang batu 85%) 2,98ab
F1 (tepung pisang batu 90%) 2,24b
BNJ0,05 = 0,847
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Jujur (BNJ) taraf 5%.
Penerimaan keseluruhan merupakan parameter yang dinilai panelis terhadap keseluruhan kombinasi dari parameter sebelumnya, yaitu rasa, tekstur, dan warna dari biskuit tepung pisang. Penurunan skor ini berkaitan dengan penambahan penggunaan tepung pisang batu yang juga menurunkan penilaian panelis terhadap warna dan kerenyahan biskuit yang dihasilkan. Semakin tinggi penambahan tepung pisang batu yang
digunakan, maka warna biskuit yang
dihasilkan cenderung kurang menarik dan tekstur yang dihasilkan tidak renyah sehingga warna dan kerenyahan merupakan parameter
yang mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit.
Potensi Komersialisasi
Penilaian potensi komersialisasi dilakukan setelah panelis menilai penerimaan keseluruhan atau tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit dengan cara meminta pendapat panelis tentang potensi komersialisasi biskuit. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu berpengaruh sangat nyata terhadap pendapat panelis tentang potensi komersialisasi biskuit tepung pisang batu. Tabel 6. Skor potensi komersialisasi terhadap produk biskuit tepung pisang
batu pada berbagai perbandingan.
Perlakuan Skor
F6 (tepung pisang batu 65%) 3,53a
F5 (tepung pisang batu 70%) 3,40a
F4 (tepung pisang batu 75%) 3,38a
F3 (tepung pisang batu 80%) 3,18ab
F2 (tepung pisang batu 85%) 2,98ab
F1 (tepung pisang batu 90%) 2,36b
BNJ0,05 = 0,818
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Jujur (BNJ) taraf 5%.
Pendapat panelis terhadap potensi komersialisasi biskuit juga dipengaruhi oleh penilaian tingkat kesukaan atau penerimaan keseluruhan panelis terhadap biskuit dari masing-masing perlakuan. Semakin tinggi tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit
dari masing-masing formulasi, maka
menurut panelis semakin tinggi pula potensi komersialisasi biskuit untuk dikembangkan.
Pemilihan Perlakuan Terbaik
Pada penelitian ini, penentuan perlakuan terbaik berdasarkan hasil skor uji organoleptik yang meliputi warna, rasa, tekstur, penerimaan keseluruhan, dan potensi komersialisasi.
Tabel 7. Rekapitulasi hasil uji organoleptik biskuit tepung pisang berbagai formulasi
N
o Parameter
Perlakuan (tepung pisang batu : tepung terigu) F1 (90: 10) F2 (85:15) F3 (80:20) F4 (75:25) F5 (70:30) F6 (65:35 ) 1 Warna 2,844b 3,533ab 3,600ab 3,955a 4,378a 4,267a 2 Tekstur 2,622b 3,467ab 3,800a 3,822a 4,067a 3,933a 3 Rasa 2,844a 3,133a 3,156a 3,422 a 3,267a 3,311a 4 Penerimaan keseluruhan 2,244 b 2,978ab 3,200ab 3,378a 3,467a 3,467a 5 Potensi komersialisa si 2,356b 2,978ab 3,178ab 3,378a 3,400a 3,533a Keterangan :
1. Huruf a dan b merupakan nilai tengah uji BNJ pada taraf 5%.
2. Nilai tengah yang diikuti dengan huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda menurut uji BNJ pada taraf 5%.
Tabel 7 menunjukkan bahwa untuk parameter warna, tekstur, rasa, penerimaan keseluruhan dan potensi komersialisasi formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan F6, F5, F4, F3 dan F2 65:35 tidak berbeda nyata. Melihat pengoptimalan pemanfaatan tepung pisang batu dalam pembuatan biskuit dan nilai
organoleptik yang dihasilkan, maka
formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) dijadikan sebagai perlakuan terbaik. Karakteristik biskuit F2 yang dimiliki secara berturut – turut, yaitu berwarna coklat, bertekstur agak renyah, dan memiliki rasa agak manis. Penerimaan keseluruhan untuk formulasi F2 (85:15) adalah agak suka dan menurut panelis biskuit F2 agak potensial untuk karakteristik potensi komersialisasi.
Uji Pembedaan Duo Trio
Biskuit dengan formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) merupakan biskuit
yang memiliki perlakuan terbaik
dibandingkan dengan biskuit berbahan baku
100% tepung terigu dengan menggunakan uji pembedaan duo trio yang meliputi warna, rasa, dan tekstur. Hasil dari penilaian uji pembedaan duo trio dapat dilihat pada Tabel 8.
Uji duo trio dilakukan oleh 20 orang panelis semi terlatih. Biskuit berkode sampel 375 adalah biskuit yang sama dengan R atau biskuit kontrolnya, sedangkan biskuit berkode 029 adalah biskuit tepung pisang batu (F2). Menurut Meilgaard et al. (2007), uji pembedaan duo trio dengan 20 orang panelis harus memiliki penilaian benar minimal 15 orang panelis pada α = 0,05.
Tabel 15 menunjukkan bahwa sebanyak 17 panelis menjawab benar bahwa warna biskuit F2 berbeda dengan biskuit R dan 3 panelis menjawab salah. Sebanyak 15 panelis menjawab benar bahwa rasa dan tekstur biskuit F2 berbeda dengan biskuit R dan 5 panelis menjawab salah Hal ini
menunjukkan bahwa biskuit dengan
penggunaan tepung pisang batu sebanyak 85% dari total tepung yang digunakan (F2) berbeda dengan biskuit kontrolnya (R) yang terbuat dari 100% tepung terigu baik dari segi warna, rasa atau tekstur.
Tabel 8. Hasil uji pembedaan duo trio formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2)
Parameter Kode sampel Berbeda dengan R*
Warna 375 3 029 17 Rasa 375 5 029 15 Kerenyahan 375 5 029 15
*Biskuit berbahan baku 100% tepung terigu
Analisis Proksimat
Hasil analisis proksimat biskuit formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan
perbandingan 85:15 (F2)dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil analisis proksimat biskuit formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2)
Parameter Hasi Uji SNI 01-2973-1992
Mutu dan Cara Uji Biskuit
Kadar Air 1,42% Maks 5%
Kadar Abu 2,57% Maks 1,6%
Kadar Lemak 20,71% Min 9,5%
Kadar Protein 5,66% Min 9%
Kadar Karbohidrat
by different
69,64% Min 70%
Kadar Air
Biskuit yang dibuat dari tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) mempunyai kadar air sebesar 1,42%. Hal ini berarti kadar air biskuit F2 telah memenuhi syarat mutu SNI biskuit, yaitu maksimal 5%. Kadar air pada biskuit
merupakan karakteristik yang akan
mempengaruhi penerimaan konsumen
terutama terhadap tekstur atau tingkat kerenyahan biskuit. Biskuit tepung pisang memiliki kadar air yang cukup rendah karena biskuit diproses dengan cara pemanggangan
pada suhu 1500C sehingga proses
pemanggangan mampu menguapkan dan menurunkan jumlah kadar air dalam adonan biskuit. Selain itu kadar air yang rendah diharapkan mampu meningkatkan masa simpan suatu produk sehingga biskuit menjadi lebih tahan lama, karena menurut Winarno (1992), sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan beberapa cara
seperti pengeringan untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan.
Kadar Abu
Biskuit yang dibuat dari tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) mempunyai kadar abu sebesar 2,57% dan berada di atas batas maksimal kadar abu dalam SNI biskuit, yaitu maksimal 1,6%. Hal ini disebabkan karena tepung pisang batu memiliki kadar abu yang lebih tinggi di bandingkan tepung terigu. Kadar abu tepung pisang batu adalah 5,3 % (Musita
et al., 2009), sedangkan menurut SNI
3751-2009, kadar abu maksimal tepung terigu yang digunakan untuk bahan makanan adalah 0,70%. Selain itu proporsi tepung yang digunakan pada pembuatan biskuit F2 juga lebih banyak tepung pisang batu, yaitu 85% dan tepung terigu yang hanya 15% sehingga menyebabkan kadar abu biskuit F2 relatif cukup tinggi.
Kadar Lemak
Biskuit yang dibuat dari formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) mempunyai kadar lemak sebesar 20,71% dan telah memenuhi syarat mutu kadar lemak dalam SNI biskuit, yaitu minimal 9,5%. Kadar lemak yang cukup tinggi pada biskuit F2 disebabkan karena penggunaan bahan baku yang banyak mengandung lemak seperti margarin dan coklat bubuk. Margarin memiliki kadar lemak yang tinggi, yaitu min 80% (SNI 3541-2002) dan penggunaannya sebanyak 21% dari seluruh total bahan yang digunakan
dalam pembuatan biskuit, sedangkan
menurut Mulato, et al. (2008) coklat bubuk memiliki kandungan lemak sebesar 10-22%. Oleh karena itu biskuit yang dihasilkan memiliki kandungan lemak yang relatif tinggi. Lemak dan minyak hampir terdapat didalam semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda. Lemak dan minyak sering ditambahkan dengan sengaja kedalam bahan pangan dengan tujuan seperti memperbaiki tekstur dan citarasa bahan pangan .
Kadar Protein
Biskuit yang dibuat dari formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) menghasilkan kadar protein sebesar 5,66% dan belum memenuhi syarat mutu kadar protein dalam SNI biskuit, yaitu minimal 9%. Hal ini disebabkan karena tepung pisang batu memiliki kadar protein yang lebih rendah di bandingkan tepung terigu. Kadar protein tepung pisang batu adalah 4,8% (Musita et
al., 2009), sedangkan kadar protein tepung
terigu menurut Situngkir (2010) adalah 10,69% dan penggunaanya pun hanya 15% dari total tepung yang digunakan. Selain itu penambahan jumlah protein juga diperoleh dari penggunaan telur, tetapi penggunaan telur dalam adonan biskuit hanya sebesar 11% dari seluruh total bahan yang digunakan sehingga belum mampu memenuhi jumlah kadar protein biskuit yang sesuai SNI.
Menurut Racmawan (2008), proses
pemanggangan dengan suhu tinggi dapat
menyebabkan protein menurun akibat
terjadinya degradasi protein dan reaksi antara gugus amino dengan gula pereduksi. Racmawan (2008) melaporkan bahwa proses pemanggangan menurunkan kadar protein sereal tepung ubi dan tepung kacang hijau yang seharusnya 8-12% menjadi 3-5,6%, karena menurut Winarno (1992), pada saat
pemanggangan dapat terjadi proses
pencoklatan non-enzimatis, yaitu reaksi antara asam- asam amino dengan gula pereduksi pada bahan.
Kadar Karbohidrat by difference
Analisis kadar karbohidrat biskuit yang dibuat dari tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) dilakukan dengan menggunakan metode
by difference. kadar karbohidrat biskuit F2
adalah 69,64%. Nilai ini sedikit berada di bawah batas minimum SNI biskuit yang mana menetapkan kadar karbohidrat minimal biskuit adalah 70%. Kadar karbohidrat tepung pisang batu memang lebih rendah, yaitu 47,6-49,8% (Musita et al., 2009) jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat tepung terigu, yaitu 75,36% (Situngkir,
2010). Selain itu tambahan jumlah
karbohidrat pada biskuit juga diperoleh dari gula yang ditambahkan sebesar 40% dari total bahan yang digunakan, walaupun biskuit tepung pisang batu belum dapat mencapai batas minimal kadar karbohidrat pada SNI biskuit 2973-1992. Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat juga berperan dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, dan tekstur (Winarno, 1992).
Glikemik Indeks (GI)
Hasil analisis gikemik indeks (GI) biskuit yang dibuat dari tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) menghasilkan kadar gikemik indeks sebesar 21,06%. Glikemik indeks (GI) merupakan indeks atau tingkatan
meningkatkan kadar gula darah dalam tubuh. Nilai glikemik indeks dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tinggi jika nilai GI (70-100), menengah (55-69), dan rendah ( <55) (Miller
et al., 1996). Hal ini mengindikasikan bahwa
biskuit F2 termasuk pangan yang memiliki nilai glikemik indeks rendah (<55). Menurut Widowati (2007), mengkonsumsi pangan yang memiliki nilai glikemik indeks (GI) rendah membuat peningkatan kadar gula dalam darah berlangsung lambat dan kenaikan gula darahnya rendah. Hal ini akan cocok bagi penderita diabetes melitus yang membutuhkan makanan dengan daya cerna yang lambat, yaitu yang memiliki nilai glikemik indeks (GI) rendah. Oleh karena itu, biskuit formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu ini mempunyai potensi untuk
dikembangkan sebagai makanan yang
kemungkinan dapat mengurangi peningkatan gula darah dalam tubuh. Salah satu contoh
camilan sehat yang dibuat dari tepung
kacang kedelai, yang telah
dikomersialisasikan, memiliki nilai GI 23-28% (Anonim, 2012). Biskuit substitusi residu pati jagung terfermentasi dengan tepung terigu (90:10) memiliki nilai GI 40% (Seprina, 2010), sedangkan nilai glikemik indeks dari cookies dan donat yang dibuat dari tepung bekatul terturut-turut adalah 31% dan 39% (Saputra, 2008). Biskuit yang dibuat dari tepung pisang batu ternyata memiliki nilai GI yang lebih rendah
dibandingkan beberapa contoh produk
makanan terebut sehingga dapat
dikembangkan menjadi camilan sehat.
Kadar Serat Pangan (dietary fiber)
Hasil kadar serat pangan biskuit formulasi tepung pisang batu dengan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Kadar serat pangan biskuit formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2)
Parameter Hasil
Insoluble Dietary Fiber (IDF) 31,78%
Soluble Dietary Fiber (SDF) 0,49%
Total Dietary Fiber (TDF) 32,27%
Dietary fiber merupakan komponen dari
jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil (Winarno, 1992). Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa biskuit F2 memiliki kadar serat pangan tidak larut (IDF) yang lebih besar dibandingkan kadar serat pangan larut (SDF). Serat pangan tidak larut yang tinggi dalam tepung pisang batu banyak diperoleh dari biji pisang batu yang diikutkan pada proses pembuatan tepung pisang batu, sedangkan serat pangan larut diperoleh dari kadar pektin dan FOS yang terdapat didalam daging pisang batu. Serat pangan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan. Serat pangan total (total dietary fiber) terdiri dari komponen serat pangan
larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber).Gum dan pektin merupakan sumber serat pangan larut dan surnber serat pangan tidak larut adalah selulosa, lignin, dan sebagian besar
hemiselulosa. Serat pangan banyak
memberikan efek menyehatkan pada tubuh
seperti mencegah timbulnya senyawa
karsinogenik penyebab kanker usus besar, diabetes, dan obesitas (Muchtadi, 2001).
Total Fenol
Hasil analisis total fenol biskuit F2, tepung pisang batu dan biskuit berbahan baku 100% tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Total fenol biskuit tepung pisang batu, tepung pisang batu dan biskuit tepung terigu.
Sampel Hasil (ppm)
Tepung pisang batu 3,83
Biskuit tepung pisang batu : tepung terigu F2 (85:15) 2,83
Biskuit tepung terigu (100%) 2,67
Hampir semua tanaman mengandung
senyawa-senyawa fenol yang bentuknya berbeda-beda satu sama lainnya. Fenol umumnya terdapat dalam bentuk asam fenolik, flavonoid, asam kumarat, dan asam tannat. Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa biskuit formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu dengan perbandingan 85:15 (F2) menghasilkan total fenol yang lebih besar dari biskuit yang hanya berbahan baku tepung terigu. Hal ini menyatakan bahwa substitusi tepung pisang batu dalam pembuatan biskuit mampu menaikkan nilai total fenol yang terkandung dalam biskuit. Total fenol tepung pisang batu menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai total fenol biskuit F2. Penurunan jumlah fenol pada biskuit F2 dari total fenol tepung pisang batu diduga karena terjadinya degradasi fenol selama proses pengolahan tepung pisang batu menjadi biskuit dan juga karena pencampuran dengan tepung terigu. Senyawa fenol yang dipanaskan pada suhu 600C dapat menurunkan kandungan beberapa jenis senyawa fenol secara nyata (Subeki, 1998).
KESIMPULAN
Hasil uji organoleptik biskuit dengan formulasi tepung pisang batu dan tepung terigu perbandingan 90:10 (F1), 85:15 (F2), 80:20 (F3), 75:25 (F4), 70:30 (F5), dan 65:35 (F6) berbeda nyata pada tekstur, warna, penerimaan keseluruhan, potensi komersialisasi, dan tidak berbeda nyata pada rasa. Biskuit formulasi 85:15 (F2) ditetapkan sebagai perlakuan terbaik berdasarkan nilai
organoleptik yang dihasilkan dan
optimalisasi pemanfaatan tepung pisang batu dengan karakteristik berwarna coklat, bertekstur agak renyah, memiliki rasa agak manis, agak disukai panelis dan agak potensial untuk dikembangkan. Hasil analisis
proksimat biskuit formulasi 85:15 (F2) adalah kadar air 1,4%, kadar abu 2,6%, kadar lemak 20,7%, kadar protein 5,7%, kadar karbohidrat 69,6%, glikemik indeks (GI) 21,1%, serat pangan total 32,3% dan total fenol 2,8 ppm.
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan teimakasih kepada Ir. Fibra Nurainy, M.T.A. atas saran yang telah diberikan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
.
Anonim. 2012. Glycemic Index (GI).
http://www.soyjoy.co.id/about-soy/benefits/glycemic-index-gi. Diakses pada 8 Februari 2012
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of Assosiaciation of Official Analytical Chemists. AOAC Inc. Washington DC.1141 hal
Asp, N.G., C.G. Johanson, H. Halimer, and M. Siljestrom. 1983. Rapid Enzimatic Assay of Insoluble and Soluble Dietary Fiber. Journal Agricultural Food Chemistry. Vol 33 (3): hal 476-482. Dalam : Annisa Seprina. 2010. Kajian Substitusi Tepung Terigu dan Residu Ekstraksi Pati Jagung (Zea mayz L.) dalam Pembuatan Biskuit Berserat. Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung
Badan Pusat Statistik. 2009. Produksi
Buah-Buahan Menurut Provinsi.
http:/bps.go.id. Diakses pada 3 Januari 2011
Catrien, Y.S. Surya dan T. Ertanto. 2008. Reaksi Maillard Pada Produk Pangan. PKM Institute Pertanian Bogor. Bogor Driyani, Y. 2007. Biscuit Crackers Substitusi
Tepung Tempe Kedelai Sebagai
Tinggi. Skripsi Universitas Negeri Semarang. Semarang
Dubois, M., K. A. Gilles, J. K. Hamilton, P. A. Rebers and F. Smith. 1956. Colorimetric Method For Determination Of Sugars and Related Substantec. Division Of Biochemistry, University Of Mine Sota. St. Paul. Minn. Vol 28 (3): hal 350-356
Eriksson, C. 1981. Maillard Reaction in Food : Chemical, Physiological and Technological Aspect. Pergamon press,
Oxford. Dalam : Catrien, Yusi
Stephanie. Surya dan Tomi Ertanto. 2008. Reaksi Maillard Pada Produk Pangan. PKM Institute Pertanian Bogor. Bogor
Matz, S. A. dan T.D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI
Publishing Co. Inc. Westport,
Connecticut.
Meilgaard, M., G. V. Civille and B. T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques Third Edition. CRC Press. New York. 387 hal
Muchtadi, D. 2001. Sayuran Sebagai Sumber
Serat Pangan Untuk Mencegah
Timbulnya Penyakit Degeneratif. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol XII no. 1
Musita, N. 2008. Kajian dan Karakteristik Pati Resisten dari Berbagai Jenis Pisang. Tesis Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Musita, N., S. Nurdjanah, A.B. Lestari dan Refniati. 2009. Pengembangan Produk
Minuman Prebiotik dengan
Memanfaatkan Fruktooligosakarida
Pisang Batu. Laporan Penelitian. Departemen Perindustrian.
Ovando-Martinez, M., S. Sayago-Ayerdi, E. Agama-Acevedo, I. Goni and L. A. Bello-Perez. 2009. Unripe Banana Flour As an Ingredient to Increase The Undigestible Carbohydrate of Pasta. Food Chemistry. Vol 113: hal 121-126. Rachmawan, A. I. 2008. Sereal Berbahan
Baku Ubi Jalar Terfortifikasi Kacang
Hijau Dan Analisis Kandungan Gizinya.
Skripsi Universitas Pendidikan
Indonesia. Jakarta.
Saputra, I. 2008. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Cookies dan Donat Tepung Terigu yang Disubstitusi Parsial dengan Tepung Bekatul, Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor
Seprina, A. 2010. Kajian Substitusi Tepung Terigu dan Residu Ekstraksi Pati Jagung (Zea mayz L.) dalam Pembuatan Biskuit Berserat. Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung
Subeki. 1998. Pengaruh Cara Pemasakan
Terhadap Kandungan Antioksidan
Beberapa Macam Sayuran Serta Daya Serap dan Retensinya Pada Tikus Percobaan. Tesis Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sulistyaningsih, D.L. 2009. Pisang-Pisang Liar Sang Sumber Plasma Nutfah.
http://blog.cgi.htm. Diakses pada 13 Juni 2011
Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dalam : Effri Welly. 2003. Pengaruh Proporsi Tepung Sukun ( Artocarpus communis) Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik Biskuit. Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung
Swain, T. and Hillis, W. E. 1959. The
Phenolic Constituents of Prunus
Domestica. I. The Quantitative Analysis Of Phenolic Constituents. Food. Agric. Vol 10 hal 63-68.
Welly, E. 2003. Pengaruh Proporsi Tepung
Sukun ( Artocarpus communis)
Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan
Organoleptik Biskuit. Skripsi
Universitas Lampug. Bandar Lampung Widowati, S. 2007. Sehat dengan Pangan
Indeks Glikemik Rendah. Warta
Penelitian dan Pengembangan