• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tahun 2011, Demonstrasi besar-besaran telah terjadi di jantung kota New York hingga tiga hari. Sebuah aksi yang dapat mengumpulkan lebih dari 700 massa untuk memprotes penggunaan kekuatan yang berlebihan dan perlakuan tidak adil terhadap kaum minoritas, seperti diskriminasi kalangan muslim, penyitaan rumah, angka pengangguran yang tinggi, dan kebijakan bailout pada 2008. (Tempo, Mengapa Wall Street diguncang Demo besar-besaran, 2011). Kelompok yang menamakan diri sebagai Occupy Wall Street itu hingga berkemah di luar sebuah plaza di Distrik Finansial Manhattan selama hampir dua pekan. Alhasil, aksi tersebut menginspirasi aksi protes lainnya yang dilakukan di kota lain seperti di Los Angeles yang mana aksi tersebut juga dilakukan di tempat yang dianggap strategis, yaitu Balai Kota.

Demonstrasi sebagai proses komunikasi menjadi media yang paling efektif yang dilakukan untuk memberikan respons masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi (J, 2012, hal.67). Demonstrasi menimbulkan efek opini publik yang dapat digunakan sebagai senjata menggiring kebijakan publik. Ekspresi politik dan hak asasi masyarakat di dalam kegiatan demonstrasi juga dijamin oleh konstitusi.

Demonstrasi sering kali menginspirasi aksi yang sama. Setelah Presiden Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat menggantikan Barack Obama, sebuah aksi protes besar terjadi dihari pertamanya menjabat karena hasil eleksi presiden dimenangkan oleh seseorang yang dinilai sebagai anti-woman dan juga melalaikan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam visi dan misi di masa kampanyenya. Demonstrasi yang mampu memobilisasi 550.000 masyarakat Washington tersebut dilakukan pertama kali di tahun 2017 dengan Long March di jalanan menuju tempat yang dinamakan Jantung Kota Washington. Aksi protes tersebut berhasil membangkitkan keinginan kota hingga negara lain untuk melakukan bentuk demonstrasi serupa. Tidak terkecuali, kota-kota besar di Indonesia.

10 Maret 2018, Saya berada dalam barisan Women’s March 2018 Batch Yogyakarta. Aksi yang berhasil menarik lebih dari 300 orang turun ke jalan Malioboro untuk melakukan Long March menuju Titik Nol Kilometer tersebut membawa semangat protes yang tidak jauh berbeda dengan Women’s March di Washington, bahkan isu-isu yang diangkat dalam aksi protes tersebut dinilai relevan di Indonesia dengan maraknya kasus pelecehan seksual, kriminalisasi perempuan lewat Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP),

(2)

2 perebutan tanah di Kulonprogo, hingga pernyataan Rektor UNY yang menolak mahasiswinya memakai cadar.

Aksi demonstrasi tersebut dilakukan dengan melakukan Long March dari Jalan Abu Bakar Ali (parkiran Malioboro) menuju Titik Nol Kilometer. Selama melakukan Long March para aktor demonstran menyerukan maksud protes mereka dengan berbagai atribut yang dibawa seperti poster, papan yang bergambar atau bertulisan, dan juga sebuah mobil pick up yang mengiringi kami sampai di lokasi Titik Nol Kilometer. Di Tengah Titik Nol Kilometer tersebut, seluruh peserta demonstran melingkar, membalikkan poster yang dibawa tadi untuk ditunjukkan kepada orang-orang yang melewati jalan tersebut.

Selain Titik Nol Kilometer, lokasi yang banyak dipilih untuk demonstrasi di Jogjakarta adalah Perempatan monument Tugu Jogja yang menghubungkan antara Jalan Jendral Sudirman, Jalan Margo Utomo, Jalan Pangeran Diponegoro dan Jalan A.M Sangaji. Selain itu juga Bundaran Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terletak di sebelah selatan Kompleks Kampus UGM, dan Pertigaan UIN yang menghubungkan antara Jalan Laksda Adi Sucipto dengan Jalan Timoho.

Sebagai sebuah proses komunikasi, demonstrasi membutuhkan tempat sebagai elemen subtansial. Tempat dan gerakan di dalamnya adalah sebuah medium untuk menyampaikan pesan. Seperti yang dikatakan Paul Routledge berikut:

Sebagai situs kontestasi, medan perlawanan bukan hanya tempat fisik tetapi juga ekspresi fisik (pembangunan barikade dan parit) yang tidak hanya mencerminkan kecerdikan taktis gerakan , tetapi juga memberkahi ruang dengan campuran makna - baik itu simbolik, spiritual, ideologis, budaya atau politik. Dengan demikian medan perlawanan bersifat metaforis dan literal. Ini merupakan landasan geografis tempat konflik terjadi dan ruang representasional untuk memahami dan menafsirkan tindakan kolektif. (Routledge, 1996, hal.157).

Demonstrasi dan tempat demonstrasi adalah objek penting bagi sub-bidang studi komunikasi geografi, dimana ia adalah studi komunikasi yang berkonsentrasi pada hubungan ruang dan komunikasi, seperti yang dikatakan oleh Falkheimer & Jansson (2006) bagaimana komunikasi memproduksi sebuah ruang dan bagaimana ruang membentuk sebuah komunikasi (seperti dikutip dalam Dhona, 2018, hal. 4).

Masyarakat sudah umum menyebut tempat tertentu sebagai tempat demonstrasi karena intensnya demonstrasi di sebuah tempat. Misalnya Titik 0 Kilometer di Kota

(3)

3 Yogyakarta. Dalam kasus ini bagaimana komunikasi memproduksi identitas dan atau ruang tertentu dapat dijelaskan dengan lebih mudah, namun bagaimana ruang memproduksi pola demonstrasi sebagai sebuah tindakan komunikasi barangkali adalah hal yang kurang mendapatkan penjelasan.

Keunikan studi komunikasi geografi adalah ruang yang memberi ciri tertentu pada demonstrasi, juga dibentuk oleh tindakan komunikasi. Komunikasi Geografi memang bersandar pada asumsi bahwa ruang adalah produk sosial (Levebfre, 1991). Ketika ruang dibentuk oleh elemen lain, maka studi komunikasi geografi, menekankan komunikasi/mediasi sebagai elemen penting pembentuk ruang. Artinya, hubungan ruang dan komunikasi haruslah resiprokal atau timbal-balik.

Dalam Kasus Titik Nol Kilometer sebagai tempat demo, bukan hanya Titik Nol yang membentuk pola demostrasinya, tetapi bagaimana Titik Nol sendiri terbentuk dan kemudian bagaimana peran komunikasi dalam pembentukan Titik 0 sebagai sebuah tempat yang particular.

Untuk meneliti ruang dan demonstrasi, sebagai sebuah proses komunikasi, penelitian ini akan mengambil Titik Nol Kilometer yang berlokasi di Kota Yogyakarta. Titik Nol Kilometer dipilih sebagai objek penelitian karena merupakan lokasi steategis yang digunakan sebagai lokasi demonstrasi Woman’s March Yogyakarta 2018 dan ratusan aksi telah dilakukan di tempat tersebut, serta menjadi lokasi yang terkenal sebagai lokasi demonstrasi di Yogyakarta.

Penelitian tentang demonstrasi dalam studi komunikasi di Indonesia masih terpaku pada bagaimana pola komunikasi atau sebaliknya, studi ruang sebelumnya tidak menyentuh pada keterlibatan media atau bagaimana media turun berperan dalam proses pembentukan ruang sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan. Tidak hanya itu, dengan konsep dan teori yang digunakan, penelitian ini menjadi menarik untuk diteliti karena mengangkat bagaimana kaitan media dengan ruang dan juga sebaliknya.

Oleh karenanya, penelitian ini akan menggunakan konsep mediatisasi. Komunikasi Geografi sendiri memiliki tiga bidang yang dikaji, pertama mengenai representasi-representasi ruang atau proses media ruang (mediation of space). Kedua adalah ruang yang termediasi (mediatisation of space) yang mengkaji aktivitas dan kondisi material yang dimana tindakan dari perilaku tersebut yang membuat ruang menjadi terdefinisikan. Dalam kaitannya dengan media, symbol-simbol yang diberikan oleh media mampu memberikan efek pada pembentukan ruang. Ketiga adalah pengalaman keruangan individu yang termediatisasi (mediatized sense of space), yakni logika individu atau kelompok yang terkena terpaan media dalam mendefinisikan

(4)

4 suatu ruang. Ketiga bidang tersebut sebenarnya mengikuti dimensi ruang produksi sosial yang pertama kali diformasikan oleh Henri Lefebvre (1991).

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian tentang Titik Nol Kilometer Yogyakarta sebagai ruang publik, dimana salah satu kegiatan publik yang dijalankan di tempat tersebut adalah demonstraasi. Lebih jauh penelitian ini melihat bahwa identitas Titik Nol Kilometer sebagai tempat demonstrasi pada akhirnya turut memproduksi demonstrasi yang merupakan efek dari mediatisasi. Jika diandaikan, maka demonstrasi adalah pesan yang diekspresikan melalui Titik Nol Kilometer sebagai mediumnya, yang pada akhirnya medium tersebut turut mengkonstruk bagaimana pesan tersebut. Oleh karenanya rumusan masalah pada penelitian ini adalah Bagaimana mediatisasi demonstrasi di Titik Nol Kilometer Yogyakarta?

Mediatisasi menurut Jansson adalah kajian terhadap aktivitas dan kondisi material yang terjadi dalam ruang yang membuatnya terdefinisikan oleh media. Misalnya, praktik dan aktivitas rumah sebagai bagian penting dari pendifinisian rumah, kegiatan belanja dan leisure pada pendefinisian mall, atau bahkan adanya praktik visualisasi perempuan dengan bikini pada majalah pria dewasa yang dengan hal itu majalah pria dewasa dapat dikatakan sebagai “ruang bagi pria yang telah dewasa” (Dhona, 2018). Dengan konsep yang digunakan, peneliti ingin mengetahui bagaimana media mendefinisikan sebuah ruang sehingga menjadi sebuah ruang demonstrasi dan menjelaskan praktik demonstrasi yang terjadi di sebuah ruang sehingga dikatakan sebagai “ruang bagi mereka yang melakukan demo”.

Maka, dengan rumusan masalah tersebut penelitian ini akan mengambil Titik Nol Kilometer sebagai tempat demonstrasi populer yang ada di Jogjakarta.

Pertanyaan penelitian yang dapat diturunkan dari rumusan masalah tersebut adalah : 1. Bagaimana produksi ruang Titik 0 Kilometer?

2. Bagaimana demonstrasi di Yogyakarta dan peran komunikasi/media dalam membentuk demonstrasi?

(5)

5 C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui produksi ruang Titik 0 Kilometer.

2. Mengetahui peran komunikasi/media dalam membentuk demonstrasi di Yogyakarta 3. Mengetahui mediatisasi dalam demonstrasi di titik 0 kilometer.

D. Manfaat Penelitiaan

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini memberikan kontribusi dalam membahas demonstrasi, sebuah tipe komunikasi politik, namun dalam perspektif komunikasi geografi.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini berfokus terhadap pemikiran Henri Lefebvre dan Doreen Massey mengenai pembentukan ruang social. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan masukan tentang ruang social yang dihasilkan dari relasi-relasi terhadap suatu power yang diproduksi secara terus menerus. Sehingga mampu memberikan kontribusi kepada pembaca dalam memahami hal tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. E. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini akan lebih banyak membahas mengenai ruang produksi sosial, seorang tokoh yang menginspirasi penulis dan menjadikannya landasan gagasan dalam penelitian ini adalah Henri Lefevbre. Maka peneliti juga berfokus pada penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan pemikiran Henri Lefebvre. Dalam pencarian naskah-naskah akademik tersebut peneliti menemukan pembanding terhadap penelitian ini.

Pertama, Buku Space of Contention Spatialities and Social Movements pada bagian pertama berjudul Place and Space : Sites of Mobilization membahas tentang bagaimana karakteristik suatu tempat dan ruang mampu mempengaruhi kemampuan para subjek demonstrasi untuk mengajukan tantangan kolektif kepada lawan-lawan politik. Tulisan dari pemikiran Walter Nicholls, Byron Miller dan Justin Beaumonts yang dirilis pada tahun 2013 ini mengilustrasikan bagaimana actor-aktor tersebut mampu memelihara solidaritas,

(6)

6 memperkuat ikatan dan membektuk suatu identitas kolektif. Negara berperan dalam melakukan tindakan-tindakan represif di tengah usaha actor demonstran tersebut membangun kekuatan mereka di berbagai tempat.

Donatella della Porta, Maria Fabbri dan Gianni Piazza menulis Putting Protest in Place, Contested and Liberated Spaces in Three Campaigns dan dipublikasikan di tahun 2013. Penelitian ini memaparkan hasil yang dikaji pada tiga bentuk demonstrasi; No Tav, No Bridge, No Dal Molin yang dilakukan di Italia. Pemaparan yang ditulis oleh peneliti menunjukkan adanya kontestasi penggunaan ruang tertentu dan juga bagaimana ruang-ruang baru yang digunakan sebagai medan perlawanan diciptakan sehingga kampanye protes berkembang di sekitar ruang yang diperebutkan namun juga menciptakan ruang bebas mereka sendiri.

Penelitian ke-tiga ditulis oleh Galatia Puspa Sani dalam bentuk thesis dengan judul Ruang dan Representasi Sosial Malioboro di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013. Objek dari penelitian ini adalah Malioboro dimana konsep produksi ruang yang ditulis oleh Henri Lefebvre menjadi dasar pemikiran penelitian ini. Ruang-ruang dalam lanskap kota tersebut menurut peneliti tumbuh dari factor pariwisata, ekonomi, dan sejarah. Penelitian ini menggunakan metode Sosiologi Visual oleh sebab itu data-data yang disajikan beruba bentuk-bentuk visual dua dimensi dan dibaca melalui teori reproduksi ruang Henri Lefebvre. Hasil penelitian ini adalah ruang social Malioboro tidak menempati batas lingkup tertentu melainkan Malioboro itu sendiri adalah ruang social. Malioboro sebagai ruang social juga memiliki karakteristik yang lentur, artinya Malioboro mampu mentransformasikan hegemoni atas ruang menjadi relasi yang setara. Penelitian ini memiliki kesamaan landasan teori yang digunakan yaitu teori Ruang Produksi Sosial milik Henri Lefebvre. Tentunya tidak menyentuh pembahasan ruang demonstrasi karena memiliki objek yang berbeda dengan penelitian ini dan tidak membahas mengenai terpaan media di dalamnya.

Penelitian ke empat ditulis oleh Deborah G. Martin dan Byron Miller dalam jurnal Mobilization: An International Quarterly: June tahun 2003 dengan judul Space and Contentious Politics (Ruang dan Kontestasi Politik). Dalam karya yang ditulis berdasarkan pandangan-pandangan ruang menurut McAdam, Tarrow, Lili, dan juga Lefebvre, Martin dan Miller menyetujui bahwa proses spasial tidak dapat dipisahkan dari proses sosial. Dimana perspektif spasial juga mampu menghasilkan pemahaman mengenai cara orang mempersepsikan, membentuk, dan bertindak pada peluang dan keluhan.

(7)

7 Penelitian ke lima ditulis oleh Stephanus Novi P dalam skripsi yang berjudul Produksi dan Kontestasi Ruang Sosial Yogyakarta (Kajian Produksi Ruang dan Kontestasi Sosial dalam Asrama Barisan Mahasiswa Kaimana di Yogyakarta) di Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini membahas mengenai fenomena keruangan yang dirasakan pendatang asal Indonesia Timur di Yogyakarta di Asrama yang terletak di Jalan Sidikan, Umbulharjo, Yogyakarta. Dibalik Asrama yang tinggali oleh mahasiswa yang berasal dari Kaimana, Papua Barat, perhatian khusus yang diberikan masyarakat Yogyakarta mempengaruhi kegiatan Bamana di asrama tersebut akibat konflik masa lalu antara keduanya. Penelitian yang menggunakan hasil observasi dan wawancara dengan metode kualitatif ini memperlihatkan proses kritis produksi ruang Henri Lefebvre dan kontestasi ruang sosial yang terjadi di dalam asrama Bamana di Yogyakarta. Penelitian ini juga menjelaskan bagaimana kontrakan Pak Tono yang juga disewa oleh anggota Bamana dan asrama menjadi representasi ruang Bamana. Penelitian ini juga memaparkan kepentingan milik Pak Tono mendominasi proses produksi ruang di mana kontrakan tersebut digunakan sebagai alat produksinya. Tersingkirnya asrama Bamana dari akses tengah kota juga berdampak dari proses kontestasi dalam arena produksi ruang Bamana tersebut.

Penelitian ke enam yaitu Kuasa dan Ruang Demokrasi (Studi Kasus: Pemagaran Monumen Nasional) Fakultas Teknik Porgram Studi Arsitektur Universitas Indonesia. Penelitian yang ditulis oleh Frestiana Manurung tahun 2009 mengungkap fenomena pemagaran Monumen Nasional sebagai sebuah representasi kuasa dalam ruang publik. Penelitian ini mengupas hubungan antara representasi kuasa dalam ruang public serta pemaparan sejarah kuasa dan representasinya di Jakarta,. Hipotesis skripsi ini adalah bahwa Pemagaran Monas merupakan bentuk representasi kuasa dalam ruang publik. Frestiana menilai kuasa tersebut membatasi aktivitas dan mempengaruhi perilaku orang-orang yang hidup di sekitarnya.

Penelitian ke tujuh, Skripsi dengan judul Peranan Mahasiswa Universitas Indonesia dalam Gerakan Reformasi di Indonesia Tahun 1998 yang ditulis oleh Rosidi Rizkiandi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Ilmu Sejarah 2013. Penelitiannya membahas peranan gerakan mahasiswa dalam reformasi dan perkembangan gerakan mahasiswa Indonesia. Gerakan yang diuraikan dalam skripsi ini adalah aksi-aksi demonstrasi yang diperjuangkan, yang dilakukan oleh dua kelompok internal mahasiswa UI yaitu Senat Mahasiswa Universitas Indonesia dan Kesatuan Aksi Keluarga Besar Universitas Indonesia. Demo

(8)

8 Dari ke tujuh tinjauan pustaka tersebut, Peneliti meninjau bahwa kajian ilmu yang dibahas adalah disiplin ilmu yang mengulik tentang ruang, studi sejarah tentang pergerakan, namun belum ada pembahasan tentang keruangan sekaligus pergerakannya, apalagi keruangan dan peran media dalam menjadikannya sebagai lokasi demo. Sehingga penelitian ini adalah penelitian pertama yang membahas terkait peran media dalam membentuk ruang demonstrasi. F. Kerangka Teori

1. Komunikasi Geografi

Komunikasi Geografi adalah lapangan studi komunikasi/media yang berkonsentrasi pada bagaimana komunikasi memproduksi ruang dan bagaimana ruang memproduksi komunikasi. Sebuah lapangan studi komunikasi yang mengkaji bagaimana ruang diproduksi oleh komunikasi dan bagaimana komunikasi juga turut diproduksi oleh ruang itu. (Falkheimer & Jansson, 2006, hal 7.) Pernyataan tersebut menegaskan adanya hubungan antara komunikasi dan geografi yang selama ini sering dipisahkan atau hanya dianggap sebagai ilmu multisdisiplin. Komunikasi Geografi melihat bagaimana komunikasi mempengaruhi individu mempersepsi dan memperlakukan ruang, meskipun tidak semua wilayah kajian Ilmu Komunikasi dipelajari dalam Geografi Komunikasi. Menurut Bambang Saeful (2006) Ruang yang menjadi tempat terjadinya komunikasi tidak hanya menjadi hal yang dipentingkan dalam Geografi Komunikasi. Aliran atau transmisi informasi atau pesan, kuantitas dan kualitas aliran informasi antar ruang, serta distribusi fasilitas media komunikasi dan efek media masa terhadap tingkah laku keruangan manusia. (hal.5)

Gagasan keruangan yang diyakini oleh Edward Relph (1976) terkait geografi klasik yang memandang Ruang sebagai sesuatu yang tetap (seperti dikutip dalam Komunikasi Geografi, hal. 6) atau placelessness dibantah oleh Komunikasi Geografi Paul C Adam dan Andree Jansson (2012, hal. 31). Kemudian Jansson dan Falkheimer (2006) membaginya dalam tiga bagian yang terinsipirasi dari Konsep Triad yang dicetuskan oleh Henry Lefebvre (1984) dalam buku The Production of Space (hal. 33).

1. Mediasi ruang (mediation of space) sebuah kajian mengenai mediasi simbolik, seperti pagar, besi, aspal, lampu kota dan segala representasi yang menunjukan sebuah ruang. Bagaimana tindakan komunikasi dalam membranding, memberitakan dan menginformasikan sebuah ruang dengan simbolik.

2. Mediatisasi Ruang (mediatisation of space) yaitu kajian terhadap aktivitas dan kondisi material dalam ruang dengan tindakan yang mendefinisikan ruang tersebut.

(9)

9 Bagaimana logika komunikasi/media turut mempengaruhi atas ruang dan penyerapan dan ketergantungan pada simbol-dimbol dari media berefek pada pembentukan ruang

3. Pengalaman Keruangan yang termediatisasi, bagaimana logika media

mempengaruhi cara orang merasakan ruang. Cara seseorang mempraktikan atau mengalami ruang itu sendiri digerakan oleh logika yang diinginkan oleh media. Lefebvre sendiri meyakini bahwa ruang adalah hasil interaksi sosial dimana ruang terbentuk dan tidak dapat dianggap menjadi hal yang ada begitu saja. Ruang adalah arena pertarungan untuk memulai atau mempertahakan dominasi untuk melanggengkan hegemoni atas pemanfaatan ruang tersebut, dan olehnya dibagi ke dalam Konsep Triad Produksi Ruang: 1. Spatial Practices atau Praktik Spasial yang melihat produksi dan reproduksi hubungan spasial antar objek dan produk turut menjamin berlangsungnya kontinuitas produksi ruang sosial dan kohesivitasnya. Mencakup interaksi-interaksi sosial yang menjadikan ruang diproduksi dan direproduksi.

2. Representations of Space atau Representasi Ruang yang melihat pola hubungan produksi dan tatanan dalam ranah imaji, dalam konteks ini subjek yang dimaksud adalah arsitek, ahli tata kota, dll.

Lefebvre (1991) mengatakan “Representasi ruang adalah abstrak, tetapi juga berperan dalam praktik sosial dan politik..” (hal. 41).

Representasi ruang mencakup ranah gagasan dan verbal termasuk deskripsi, definisi dan teori yang berkaitan dengan ruang tersebut, seperti peta, denah, dan simbol-simbol. (Scmid, 2008, hal. 52).

3. Representational of Space atau Ruang Representational berkaitan dengan

bagaimana orang-orang yang menggunakan ruang dan saling berinteraksi melalui praktik dan bentuk visualisasi di dalam ruang tersebut, serta bagaimana mereka melakukan hal di luar sasaran dari imajinasi yang diharapkan. Ruang representasional ini merupakan kebalikan dari Representasi Ruang (Schmid, 2008, hal. 52).

Produksi ruang juga dapat dilihat melalui pendekatan fenomenologis diantaranya adalah perceived, conceived, dan lived space yang dimana perceived adalah Praktik Spasial, conceived adalah Representasi Ruang dan lived space adalah Ruang Representasional.

(Perceived) Ruang yang dirasa (atau praktik-praktik khusus) merujuk pada "ruang material kehidupan sehari-hari di mana produksi dan reproduksi terjadi" (Martin dan Miller

(10)

10 2003: 146); (Conceived) Ruang yang dipahami merujuk pada representasi ruang yang dikonstruksi secara sosial melalui wacana, makna, dan tanda (dominan dan alternatif); dan (Lived) Ruang Hidup, atau ruang representasional, di mana Perceived dan Conceived berinteraksi.

2. Mediatisasi

Diskursus mengenai Mediatisasi telah muncul di abad 20-an, yang dikenal dengan “Penelitian Komunikasi Massa”. Ernest Manheim (1993) dalam The Bearers of Public Opinion menulis tentang “mediasi hubungan manusia langsung” yang menggambarkan perubahan hubungan sosial dalam modernitas, perubahan tersebut ditandai oleh apa yang disebut sebagai “media massa”. Jurgen Habermass (1988) telah menggunakan istilah Mediatisasi untuk menggambarkan sub-proses kolonialisasi dunia, namun tidak merujuk pada media komunikasi tetapi simbolik secara umum yaitu kekuasaan dan uang. Sedangkan John B. Thompson (1995) dalam bukunya yang berjudul “Media & Modernity” memaknai mediatisasi sebagai mediasi budaya yang semakin tidak dapat diubah oleh media massa yang dilembagakan. Hingga akhirnya, Friedrich Krotz (1995), memunculkan Mediatisasi untuk pertam kali sebagai konsep “Komunikasi Mediatisasi”, dan juga dianggapnya sebagai metaproses (2007;2008). Mediasi menunjukkan proses perubahan yang dibentuk oleh media. Perubahan mungkin memiliki karakter transformasi, karena perubahan yang dikeluarkan oleh media dapat mengubah arah, bentuk atau karakter dari kegiatan sosial atau budaya aktual (Lundby, 2009, hal. 11).

Terdapat dua tradisi dalam Mediatisasi, pertama yaitu tradisi Institusionalis, di mana media diposisikan sebgai institusi sosial independen dengan seperangkat aturan mereka sendiri, mengacu pada adaptasi dari beragam bidang sosial dan atau system politik. Logika Media disatu sisi mengambil bentuk representasi yang tidak dimediasi, dan di sisi lain dilakukan oleh actor non-media. Tradisi yang kedua yaitu sosial-konstruktivis di mana media merupakan bagian dari segala proses pembangunan realitas sosial dan budaya. Mediatisasi mengacu pada proses kontruksi realitas sosial-budaya dengan komunikasi (Berger & Luckmann, 1967). Mediatisasi (Mediatization) mencerminkan bagaimana proses mediasi (mediation) telah berubah dengan munculnya berbagai jenis media. Konsep mediasi menggambarkan momen komunikasi yang sangat mendasar sebagai interaksi simbolik. Berbeda dengan Mediasi, Mediatisasi jauh lebih spesifik dalam menganalisis peran berbagai media dalam proses perubahan sosial-budaya.

(11)

11 Andre Jansson (2017) mengangkat Mediatisasi dalam Mediatisation of Space yang mengkaji aktivitas dan kondisi material yang terjadi dalam ruang, yang dengan tindakan tersebut ruang terdefinisikan (hal. 32). Mediatisation of Space adalah salah satu dari tiga bidang kajian yang diformasikan oleh Jansson, seperti yang dua bidang kajian lainnya telah dijelaskan pada sub-bab di atas. Bidang kajian ini mengikuti pemikiran dari Henri Lefebvre. Media memberikan pengaruh dalam penyerapan dan ketergantungan pada symbol-simbol untuk mendefinisikan suatu ruang.

Terdapat garis pembeda dalam mendefinisikan mediasi dan mediatisasi. Meskipun konsep mediasi sendiri juga begitu luas, namun perbedaan yang terletak antara mediasi dan mediatisasi perlu ditekankan dalam penelitian ini. Menurut Knut Lundby (2009) mediatisasi menunjuk pada perubahan hubungan sosial (societal changes) dalam masyarakat modern lanjut yang kontemporer dan peran media serta komunikasi yang termediasi dalam transformasi-transformasi ini (hal. 251). Stig Hjavard (2008) menyampaikan waktu merupakan elemen penting dalam mediatisasi (Lundby, dalam buku Mediatization of Communication, hal. 204) Proses mediatisasi sendiri berhubungan erat dengan ketergantungan dengan media dan juga logika media (logic media). Artinya interaksi sosial yang terjadi dalam dan antar institusi terpengaruhi oleh dan menggunakan media karena Mediatisasi adalaha bagaimana logika media terserap dalam institusi lain, lapangan dan system kehidupan sosial lainnya (Hepp, 2013, hal. 40).

3. Terrainst and Places of Resistance

Menurut Paul Routledge, demonstrasi tumbuh dalam sebuah hal yang dia sebut sebagai Terrainst of Resistance atau medan resistensi, sebuah ruang kontestasi yang memiliki multiplisitas keragaman hubungan antara kekuatan hegemoni dengan kontra-hegemoni, hubungan dominasi, penaklukan, eksploitasi dan resistensi. Menurutnya demonstrasi sendiri adalah suatu kegiatan yang menciptakan ruang itu sendiri dengan memanipulasi ruang untuk membentuk ruang-ruang yang baru. Ruang memiliki hubungan dengan kelompok resistensi yang ada di dalamnya, dan sebaliknya, hubungan aksi gerakan memberikan hubungan dan mengartikulasikan tempat-tempat perlawanan mereka. Sehingga ruang dapat diklaim, dipertahankan, digunakan secara strategis, dan / atau ditinggalkan. Dalam protes atau aksi perlawanan dapat dilakukan dalam lingkup individu hingga aksi kolektif. Menurut Elkins (1992) Tindakan kolektif seringkali mengambil bentuk gerakan yang mencakup organisasi sukarela atau yang sekarang kita ketahui dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat

(12)

12 (LSM), Non-Governmental Organization (NGO), hingga beragam jaringan informal yang saling berafilisasi. (Routledge, dalam buku Terrain of Resistance, hal. 517)

Medan Resistensi merepresentasi berbagai makna simbolik, proses komunikatif, wacana politik, keagamaan, pengaturan fisik, keinginan dan harapan yang dibayangkan hingga praktik budaya, sosial dan ekonomi yang saling berkaitan. Melihat bagaimana medan resistensi terbentuk harus dapat diketauhi berdasarkan tingkatan kekuatan strategis, gerakan hingga makna yang sesuai dengan konteks spasial dan sejarah dalam konflik tersebut. Dalam penelitiannya, Routledge melihat bagaimana Gerakan Baliapal muncul pada tahun 1985 dalam melawan keputusan pemerintah India untuk membangun National Testing Range (NTR) atau lokasi pembuatan peluru oleh militer di area Baliapal di Orissa utara, tepatnya di pantai Teluk Bengal India.

Routledge mengkaji, tindakan masyarakat Baliapal dalam melakukan protes tersebut membentuk Medan Resistensi mereka sendiri. Gerakan dengan melakukan beragam metode seperti persuasi, melakukan ‘dharnas’ yang artinya ‘duduk dalam protes’ yang saat dilakukan di luar kantor distrik dan di luar kantor polisi dan terus menerus mengadakan banyak demonstrasi. Ideologi yang digunakan dalam mengartikulasikannya adalah beetu maati yang artinya tanah kita, bumi kita, lahan kita, mereka memanfaatkan dimensi budaya dan ekonomi dari realitas keseharian para petani. Sehingga sentimen budaya sense of place tempat tersebut adalah tanah bertani, yang menjadi tuntutan politik yang mutlak melalui keagamaan dan mitos sebagai alatnya. Ideologi diartikulasikan dalam lagu, drama, dan beragam ekspresi budaya lainnya yang saling memotivasi perlawanan Baliapal. Pemerintah memberikan tanggapannya dengan strategi yang mencakup rayuan dan mediasi. Rayuan dalam bentuk rehabilitasi, kompensasi dan membunjuk para petani untuk meninggalkan rumah dan tanah mereka. Hingga pada akhirnya gerakan tersebut mampu membatalkan pembangunan NTR di tahun 1993 dan para petani dapat melakukan kegiatannya kembali. Gerakan sosial menempati lingkungan yang di antaranya berdiri medan-medan perlawanan yang saling terkait, antar agensi gerkaan sosial yang digunakan yang mana medan tersebut dimanifestasikan dalam berbagai ‘ruang’, seperti ruang fisik dan territorial jalan, bangunan, ruang kolektif.

Bagi rakyat Baliapal, tempat perlawanan mereka lebih dari sebuah tempat yang memiliki nama di peta, karena situs di mana mereka melawan militer saat itu menjadi bukti bahwa mereka telah mempertahankan Ibu Bumi, di mana tanah desa yang mereka tinggali merupakan Ibu dan di tempat itulah mereka dilahirkan. Sebagai anak mereks memiliki

(13)

13 kewajiban untuk mempertahankan dengan melakukan pembangunan barikade, pembentukan balok jalan, dan marun sena. Melalui gerakan Baliapalis kemudian mereka mampu mengklaim hutan dan desa-desa di Orissa utara dan menciptakan ruang yang dapat mempertahankan mereka dari penggusuran pemerintah. Hal itu secara simbolik dilakukan dengan membangun barikade, blok jalan, dan secara kebudayaan dengan lagu, drama, ingatan dan ideology mereka. Pengakuan dan pertahanan ruang itu menjadi bagian penting dalam strategis gerakan.

4. Normalisasi Praktik Sosial

Pandangan Foucault terkait kekuasaan sendiri bersifat produktif dan tidak terlihat. Power ada dimanapun manusia hidup dan menyebar di setiap aspek kehidupan. Salah satu jenis kekuasaan tersebut adalah Disiplin. Dengan kata lain, kekuasaan ditegakkan oleh pendisiplinan yang bekerja melalui normalisasi. Munculnya modernitas, Power tidak akan menemukan dirinya secara efektif mengendalikan segala aspek dalam masyarakat yang semakin kompleks. Dalam buku Normativity and Normalization yang ditulis oleh Dianna Taylor, Foucault menganggap norma memainkan peran mendasar dalam kemunculan sebuah legitimasi. Norma tersebut berjalan melalui normalisasi yang pada akhirnya dia berfungsi untuk menghasilkan sebuah hal yang bersifat normal tersebut. Cara-cara normalisasi akan melanggengkan hubungan kekuasaan yang norma temukan dalam legitimasi, sehingga merkea yang meliaht produksi tersebut menganggapnya sebagai hal yang alami. (Taylor, 2009, hal. 49)

Dalam kaitannya dengan mediatisasi dan ruang demonstrasi, media mengubah hingga merampas norma-norma sosial pada tingkat praktik sehari-hari. Normalisasi beroperasi melalui akal sehat dan dengan kemudian berkontribusi pada pemeliharaan sistem (Jannson, 2013, 278). Penelitian ini mengadopsi dua konsep normalisasi berikut, dan mengimpelementasikannya dalam melihat ruang demonstrasi yang di-mediatisasi dan membentuk sebuah normalisasi ritme dan ritual.

G. Metodologi Penelitian 1. Paradigma

Menurut Denzin dan Lincoln (1994, hal. 107) paradigma dipandang sebagai seperangkat keyakinan-keyakinan dasar (basic believes) yang berhubungan dengan yang pokok atau prinsip. Penelitian ini menggunakan Paradigma Kritis (critical paradigm) sebuah

(14)

14 kerangka berpikir yang meletakkan semua teori sosial yang memiliki implikasi dan berpengaruh terhadap perubahan sosial. Paradigma Kritis memiliki tiga asumsi dasar (Littlejohn, 1999).

Pertama, segala prinsip dasar ilmu sosial bersifat interpretif. Peneliti harus memahami pengalaman manusia sesuai konteksnya untuk dapat menginterpretasikannya dalam memahami bagaimana kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, paradigma ini mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usaha untuk mengungkap struktur-struktur yang tersembunyi, dan memahami bagaimana kelompok yang ditindas mampu mengambil sebuah tindakan untuk mengubah keadaan yang tertindas. Ketiga, paradigm kritis berupaya untuk menggabungkan teori dan tindakan (praksis).

Bagi paradigma kritis tugas ilmu sosial adalah justru melakukan penyadaran kritis masyarakat terhadap sistem dan struktur sosial yang cenderung “mendehumanisasi” atau mem- bunuh nilai-nilai kemanusiaan (Fakih, 2001, hal.7), hal ini lah yang juga disebut sebagai counter hegemony oleh Gramsci.

Demonstrasi adalah aktivitas komunikasi sebagai bentuk protes, melawan pemerintah dan menuntut keadilan dari kelompok yang berkuasa, namun dalam critical paragidm melihat demonstrasi di Titik Nol Kilometer membutuhkan suatu pemikiran analisis yang lebih kritis untuk menyadarinya, terlebih beragam praktik komunikasi yang kita terima sifatnya tidak kita sadari, salah satunya apakah demonstrasi yang dilakukan dalam sebuah ruang Titik Nol Kilometer merupakan counter-hegemony yang digunakan untuk melawan ketidakadilan dari penguasa atau justru semata-mata menjadi praktik atau bentuk protes yang mustahil keluar dari struktur dan sistem yang mengekangnya?

2. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang betujuan untuk memahami suatu masalah kemanusiaan yang didasarkan pada penyusunan suatu gambaran yang kompleks dan menyeluruh menurut pandangan dari narasumber secara rinci. Seperti yang ditulis oleh Bogdan dan Taylor (1922) dalam Basrowi dan Suwandi (2008, hal. 1) bahwa prosedur penelitian yang menghasilkan data deksriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati serta menggunakan data empiris.

(15)

15 H. Metode Pengumpulan Data

1. Studi Literature

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan teknik penyusunan sistemasis dengan melakukan studi literature pada buku-buku yang membahas tentang Demonstrasi di Titik Nol Kilometer, Komunikasi Geografi, dan Studi terkait Demonstrasi. Serta Dokumentasi yang berupa foto dan teks yang berkaitan dengan praktik Demonstrasi di Titik Nol Kilometer.

Sumber data yang didapat merupakan data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber lapangan di mana data diperoleh langsung dari sumber di lapangan.

2. Observasi

Observasi dilakukan secara alamiah dengan turun ke lapangan, mengamati, dan merasakan sebagai actor demonstran yang dilakukan di Titik Nol Kilometer. Peneliti juga mendapatkan informan wawancara dalam kegiatan observasi.

3. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam yang juga menjadi data primer dari penelitian ini dilakukan dengan para aktivis di tahun 1970-an, actor demonstrasi di tahun 2018, actor aksi demonstrasi Women’s March 2018 Batch Yogyakarta dan buku-buku, jurnal-jurnal, serta dokumen lain yang berhubungan dengan Spatial dan Komunikasi Politik. Terdapat lima tahapan wawancara mendalama yang dilakukan di penelitian ini

a. Mengumpulkan data dari informan

b. Melakukan analisis hasil atau temuan dari wawancara

c. Melakukan interpretasi terhadapan pengalaman dari informan d. Memberikan penjelasan secara naratif hasil wawancara e. Membuat laporan penelitian

(16)

16 4. Tempat Pencarian Data

a. Indonesia Visual Art Archipelago (IVAA)

b. Peneliti melakukan pencarian data teks dan foto terkait aksi yang dilakukan di Titik Nol Kilometer di IVAA pada tanggal 2 Februari 2019. IVAA adalah sebuah lembaga nirlaba yang didirikan pada tahun 1996 di Yogyakarta dan menjadi laboratorium kreatif. Selain menyelenggarakan program edukasi dan seni visual, IVAA juga melakukan pendokumentasian yang menunjang peneliti untuk mendapatkan data yang dibutuhkan untuk melengkapi penelitian ini. IVAA memiliki ribuan data dan segala arsip yang berhubungan dengan kegiatan seni yang ada di Indonesia dan Internasional yang terkumpul selama lebih dari 10 tahun. c. Library Center Yogyakarta

d. Selain IVAA, peneliti mengunjungi Library Center Yogyakarta untuk mendapatkan data dan informasi terkait Demonstrasi yang dilakukan di masa pra hingga reformasi pada tanggal 24 November 2018. Peneliti menelusuri seluruh teks yang ada di tahun 1969 hingga 2002 yang ada dimuat oleh Koran Lokal Yogyakarta. Koran yang dipilih peneliti untuk mendapatkan data teks yang dibutuhkan adalah Koran Kedaulatan Rakyat.

e. Aksi Women’s March Yogyakarta 2018 dan 2019.

f. Untuk memperlengkap hasil temuan dan menyesuaikan data literature dengan yang terjadi di lapangan, Peneliti terjun langsung ke dalam aksi yang dilakukan di Titik Nol Kilometer. Aksi yang dipilih adalah Women’s March Yogyakarta karena aksi tersebut di tahun 2018 menjadi aksi global yang dilaksanakan di Jogja dan memilih lokasi Titik Nol Kilometer sebagai panggung aksi mereka. Di lain sisi, Women’s March memang mendapatkan perhatian besar dari Media, sehingga peneliti tertarik bagaimana pengaruh media dalam aksi ini dan membuktikan apa yang peneliti temukan dari data literature dan wawancara terkait mediatisasi yang terjadi di lapangan.

I. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Analisis kritis Michel Foucault. Konsep wacana yang melihat realitas sosial sebagai discursive field atau arena

(17)

17 diskursif yang merupakan kompetisi bagaimana makna dan pengorganisasian institusi serta proses-proses sosial diberi makna melalui cara-cara yang khas (dalam Istilah wacana diambil dari kata “discourse” secara luas digunakan dalam teori dan analisis sosial untuk merujuk berbagai cara menstrukturkan pengetahuan (knowledge) dan praktek sosial (Social Practice) (Brown and Yule, 1983; Coulthard, 1977).

wacana merujuk pada berbagai cara yang tersedia untuk berbicara atau menulis untuk menghasilkan makna yang didalamnya melibatkan beroperasinya kekuasaan untuk menghasilkan objek dan efek tertentu. (Weedon, 1987, hal. 108).

Dari pernyataan tersebut wacana merupakan apa yang didefiniskkan sebagai pengetahuan (knowledge) dan karena itu pengetahuan merupakan kekuasaan (power). Kekuasaan menurut Foucault bukanlah milik dan dilekatkan secara subjektif pada negara atau kelompok tertentu saja. Kekuasaan adalah strategi dan bekerja melalui strategi. Strategi yang menjadi sarana untuk saling mendominasi dari satu kelas ke kelas yang lain. Penelitian ini meyakini pemikiran Foucault bahwa strategi kuasa bekerja melalui Normalisasi (Normalitation). Menurut Foucault, wacana mengkonstruksikan topik, mendefinisikan dan memproduksi objek-objek pengetahuan, mengatur cara suatu topik bisa dibicarakan dengan berarti, dan juga mempengaruhi bagaimana ide-ide diubah menjadi praktik dan digunakan sebagai bentuk keteraturan.

Karakteristik analisis wacana kritis (Eryanto, 2005, hal. 15-17), diantaranya adalah tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi. Tindakan wacana adalah bentuk interaksi yang harus dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan dan diekspresikan secara terkontrol/sadar. Konteks yaitu wacana diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Sehingga wacana harus mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti situasi, peristiwa, latar dan kondisi. Historis adalah wacana memerlukan pemahaman mengenai sisi historis. Kekuasaan, yaitu setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau apapun adalah bentuk pertarungan kekuasaan, sehingga tidak bersifat alamiah. Terakhir, Ideologi tidak bisa lepas dalam pembentukan sebuah wacana sehingga setiap teks memiliki pengaruh dalam wujud percakapan, teks, dan lain lain.

Dalam Analisis Wacana milik Michel Foucault (1994), metode analisis terbagi menjadi

dua; genealogi kuasa dan arkeologi pengetahuan. Analisi genealogi kuasa memiliki tugas memeriksa rangkaian wacana yang terbentuk, hubungan kesejarahan antara kuasa dengan wacana (hal.384). Sedangkan dalam genealogi analisis meliputi bagaimana wacana terbentuk,

(18)

18 hubungan kesejarahan antara kuasa dengan wacana namun tidak menyelidiki konspirasi melalui kesadaran para aktornya (Ritzer, 2003, hal.78-80). Arkelogi pengetahuan menurut Foucault mengkaji peristiwa-peristiwa wacana dan pernyataan-pernyataan yang diutarakan atau dituliskan.

Peneliti menggunakan model analisis wacana kritis karena analisis ini tidak semata-mata memperhatikan aspek kebahasaan, namun dapat memaparkan dimensi linguistik kewacanaan fenomena sosial dan kultural, serta proses perubahan dalam modernitas dan menghubungkannya dengan konteks kondisi sosial. Demonstrasi tidak hanya dilihat melalui teks-teks namun melalui teks-teks yang menjadi wacana tersebut, sehingga peneliti mampu menyusun bagaimana praktik sosial yang terjadi menyusun dunia sosial lainnya. Apa yang tersembunyi dalam suatu teks sebagai pesan komunikasi dan menginterpretasikannya untuk membedah praktik kekuasaan yang terjadi dalam kondisi sosial tersebut.

Berikut adalah tahapan-tahapan dalam mengolah data yang digunakan penulis dalam penelitian ini:

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan ketika melakukan penelitian saat di lapangan. Mereduksi data bukan berarti merangkum, namun memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting dan dicari tema serta pola. Dengan demikian data yang telah direduksi akan emmeberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2008, hal. 247)

2. Penyajian Data

Langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti setelah mereduksi data adalah penyajian data. Penyajian data dilakukan dengan bentuk uraian singkat, bagan, atau hubungan antara kategori.

3. Penarikan Kesimpulan

Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan. Gagasan Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2008, hal. 252), awal yang didapatkan masih bersifat sementara dan akan berubah ketika tidak ditemukannya bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data

(19)

19 berikutnya. Kesimpulan yang disertakan bukti-bukti valid dan konsisten yang bersumber dari pengumpulan data, maka kesimpulannya merupakan kesimpulan kredibel. (Miles dan Huberman dalam Sugiyono, 2008, hal. 2)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

and you can see from the radar screen – that’s the screen just to the left of Professor Cornish – that the recovery capsule and Mars Probe Seven are now close to convergence..

meninggalkan pasar tersebut dan apabila monopoli sudah terbentuk akan menyulitkan penjuan lain untuk masuk ke pasar tersebut karena penjual lain harus menghasilkan pada tingkat

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI