• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perhitungan Faktor Emisi Co2 Pltu Batubara dan Pltn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perhitungan Faktor Emisi Co2 Pltu Batubara dan Pltn"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERHITUNGAN FAKTOR EMISI CO

2

PLTU BATUBARA DAN PLTN

Rizki Firmansyah Setya Budi, Suparman

Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN) – BATAN Jl. Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta12710 Telp./Fax: (021) 5204243, Email : rizkifirmansyah@batan.go.id

Masuk: Direvisi: Diterima:

ABSTRAK

PERHITUNGAN FAKTOR EMISI CO2 PLTU BATUBARA DAN PLTN. Perubahan iklim adalah fenomena global akibat kegiatan manusia karena penggunaan bahan bakar fosil untuk mendukung kegiatan industri maupun produksi listrik. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca (GRK) terutama gas karbon dioksida (CO2). Salah satu cara mengurangi

kandungan CO2 di udara adalah dengan menggunakan pembangkit listrik yang mempunyai faktor

emisi CO2 rendah. Tujuan penelitian adalah untuk menghitung dan membandingkan faktor emisi

PLTU Batubara dan PLTN guna mengetahui waktu membangkitkan energi listrik pada level

tertentu. Metodologi yang digunakan adalah pengumpulan dan pengolahan data sekunder

dilanjutkan dengan perhitungan faktor emisi, analisis dan perbandingan faktor emisi. Dalam studi ini menggunakan data PLTU Batubara Banten, PLTU Indramayu, PLTU Rembang dan PLTN tipe PWR kapasitas 1000 MWe. Hasil penelitian diperoleh faktor emisi untuk masing-masing pembangkit adalah PLTU Banten 1,033 kg/kWh, PLTU Indramayu 1,002 kg/kWh, PLTU Rembang 1,136 kg/kWh, dan PLTN 0 kg/kWh. Nilai rata-rata faktor emisi adalah 1,05 kg/kWh. Pembangkitan daya sebesar 1700 MWyr dengan menggunakan PLTU Banten, Indramayu, dan Rembang akan

menghasilkan CO2 sebesar 16 ribu kTon, namun bila pembangkitan daya tersebut diganti dengan 2

unit PLTN 1000 MWe akan mengurangi CO2 sebesar 16 ribu kTon.

Kata kunci: Faktor emisi CO2, PLTU batubara, PLTN.

ABSTRACT

CALCULATION OF CO2 EMISSION FACTOR FOR COAL POWER PLANT AND

NUCLEAR POWER PLANT. Climate change is a global phenomenon that caused by human activity that use fosil fuel to support industry activity and electricity generation. That activity is the

main source of green house gas (GHG) emission, especialy CO2 emission. Using power plant which

has low CO2 emission factor is the solution to reduce CO2 emission. The objective of the study is to calculate CO2 emission factor of coal power plant (CPP) and nuclear power plant (NPP). With the

emission factor, the value of CO2 emission can be calculated easily. The methodology are collected and

processed data, calculated emission factor, analysis and comparation emission factor, conclusion. CPP that had been use are Banten CPP, Indramayu CPP, and Rembang CPP. NPP that had been use is

NPP 1000 MWe. Based on the calculation, CO2 emission factor each power plant is Banten CPP

1,033 kg/kWh, Indramayu CPP 1,002 kg/kWh, Rembang CPP 1,136 kg/kWh and NPP 1000 MWe 0

kg/kWh. The average CO2 emission factor of three CPP is 1,05 kg/kWh. Electricity generation in the

value 1700 Mwyr using the three CPP make 16 thousand kTon of CO2 emission. If that generation

replace by 2 unit NPP 1000 MWe, will reduce CO2 emission 16 thousand kTon.

(2)

1.

PENDAHULUAN

Isu tentang pemanasan global (peningkatan temperatur permukaan bumi) hangat dibicarakan saat ini. Fenomena yang ditandai dengan peningkatan temperatur permukaan bumi ini disebabkan oleh meningkatnya kandungan gas rumah kaca (karbon dioksida, metan, nitrogen oksida, sulfur heksaflourida, HFC, dan PFC)[1]. Dari ke enam gas rumah kaca tersebut, karbon dioksida (CO2) memberikan kontribusi terbesar terhadap pemanasan global diikuti oleh gas metan (CH4). Lebih dari 75% komposisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir adalah CO2 sehingga apabila kontribusi CO2 dari berbagai kegiatan dapat dikurangi secara signifikan, maka ada peluang bahwa dampak pemanasan global terhadap perubahan iklim akan berkurang[2].

Peningkatan temperatur permukaan bumi akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang berdampak besar terhadap kelangsungan hidup manusia. Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia akibat penggunaan sumber bahan bakar fosil untuk mendukung kegiatan industri maupun memproduksi listrik. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2). Gas ini memiliki kemampuan menyerap panas matahari yang dipancarkan kembali ke bumi dan menyebabkan pemanasan atmosfer[3].

Tingkat kematian dini (premature death) di dunia pada umumnya diakibatkan oleh polusi udara pada tiap tahunnya yang semakin meningkat, dan apabila tidak ada usaha untuk mengendalikannya pencemaran udara tersebut diperkirakan akan bertambah[4]. Salah satu cara untuk mengurangi polusi udara khususnya kandungan CO2 dalam udara adalah dengan menggunakan pembangkit listrik yang rendah emisi CO2. Emisi yang dihasilkan setiap pembangkit berbeda-beda tergantung faktor emisinya. Semakin besar faktor emisi pembangkit tersebut semakin besar emisi CO2 yang dihasilkan. Pembangkit listrik berbahan bakar fosil mempunyai emisi CO2 yang cukup besar karena dalam menghasilkan energi listrik dilakukan pembakaran rantai karbon.

Data faktor emisi suatu pembangkit listrik sangat penting untuk menghitung besarnya emisi CO2 per pembangkitan energi listrik yang satuannya adalah kg/kWh. Dengan diketahuinya faktor emisi CO2 sebuah pembangkit, akan dengan cepat diketahui banyaknya kg emisi CO2 yang dihasilkan ketika pembangkit tersebut memproduksi energi listrik (kWh) pada level tertentu, yaitu dengan cara mengkalikan faktor emisi tersebut dengan energi yang dibangkitkan. Jika faktor emisinya tidak diketahui, maka diperlukan perhitungan energi bahan bakar yang dipakai dan laju bahan bakarnya. Namun sangat disayangkan bahwa data mengenai faktor emisi CO2 setiap pembangkit di Indonesia sulit diperoleh dan walaupun data itu ada hanyalah data rata-rata dari beberapa pembangkit yang ada di Indonesia.

Tujuan penelitian adalah untuk menghitung faktor emisi PLTU Batubara dan membandingkannya dengan PLTN. Alasan pemilihan jenis pembangkit, yaitu PLTU Batubara dan PLTN karena keduanya merupakan pembangkit pemikul beban dasar dan berkontribusi besar dalam pembangkitan energi listrik yang menimbulkan emisi CO2. Selain itu energi nuklir adalah sumber energi potensial, berteknologi tinggi, berkeselamatan handal, ekonomis, dan merupakan sumber energi alternatif yang layak untuk dipertimbangkan dalam perencanaan energi jangka panjang[5].

2.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: pengumpulan dan pengolahan data, perhitungan faktor emisi, analisis dan perbandingan faktor emisi. PLTU Batubara yang digunakan dalam kasus penelitian ini adalah PLTU Banten, PLTU Indramayu, dan PLTU Rembang. Selanjutnya dibandingkan terhadap PLTN tipe PWR kapasitas 1000 MWe.

(3)

2.1. Perhitungan Faktor emisi CO2

Dalam perhitungan faktor emisi CO2 pembangkit listrik diperlukan data jumlah emisi CO2 suatu pembangkit. Seperti diketahui terdapat dua macam cara perhitungan jumlah emisi CO2, yaitu: perhitungan berdasarkan reaksi stoikhiometri dan neraca massa suatu proses. Cara ke dua dilakukan berdasarkan faktor yang sudah terdokumentasi dan faktor ini merupakan rasio yang digunakan untuk menghubungkan emisi terhadap pengukuran aktivitas suatu sumber emisi. Metode perhitungan yang digunakan adalah metode neraca sistem. Skema perhitungan emisi CO2 dengan metode neraca massa ditunjukkan pada Gambar 1[2].

Gambar 1. Skema Neraca Massa[2].

Rumus perhitungan emisi CO2 menggunakan skema neraca massa, seperti persamaan berikut[2]:

Emisi CO2 = laju bahan bakar x % C bahan bakar x 44/12 x waktu operasi......(1) Selanjutnya laju bahan bakar diperoleh menggunakan persamaan berikut ini:

Laju bahan bakar = Energi bahan bakar /(Net calorivic value x waktu operasi)...(2) Sedangkan energi bahan bakar diperoleh berdasarkan perhitungan dengan persamaan berikut:

Energi bahan bakar = Energi listrik yang dibangkitkan / efisiensi termal...(3) Apabila diperhatikan lebih cermat, persamaan 1 dan 2 mengandung satu variabel yang sama dan dapat dihilangkan, yaitu waktu operasi. Pada persamaan 2, laju bahan bakar diperoleh dengan menggunakan faktor pembagi waktu operasi sedangkan pada persamaan 1, laju bahan bakar akan dikalikan kembali dengan waktu operasi. Dengan kata lain, waktu operasi dapat dihilangkan dalam persamaan 1 dan 2. Hilangnya waktu operasi pada persamaan 2 menyebabkan laju bahan bakar akan berubah menjadi konsumsi bahan bakar. Persamaan 2 akan menjadi seperti persamaan 4 dibawah ini.

Konsumsi Bahan Bakar = Energi Bahan Bakar / Net Calorivic Value...(4) Selanjutnya persamaan 1 akan berubah menjadi persamaan berikut:

Emisi CO2 = konsumsi bahan bakar x % C bahan bakar x 44/12...(5) - Konsumsi bahan bakar

- Komposisi bahan bakar (% karbon)

- Nilai kalor bahan bakar LHV - Kebutuhan listrik - Kapasitas produksi - Waktu operasi Perhitungan Emisi GRK dari Sistem Energi - Jumlah emisi (ton CO2/ tahun) - Intensitas emisi atau

Faktor emisi

(ton CO2/ ton produk) - Intensitas energi

(GJ/ ton produk)

(4)

Berdasarkan nilai kalorinya, jenis batubara di Indonesia dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu antrasit (kalori sangat tinggi), bituminous (kalori tinggi), sub-bituminous (kalori sedang), lignit (kalori rendah)seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Pembagian Sumber Daya Batubara Indonesia Berdasarkan Nilai Kalor[6].

Pada Gambar 2 terlihat bahwa sebagian besar (62%) batubara Indonesia memiliki kalori sedang, sedangkan 13% berkalori tinggi, dan jenis tersebut digunakan untuk ekspor dan untuk proses industri seperti baja dan semen. Untuk proses pembangkitan energi listrik menggunakan batubara berkalori sedang dan rendah[7].

Tabel 1 menunjukkan nilai net calorivic value (NCV) dan %C yang terkandung dalam batubara berkalori sedang dan rendah di Indonesia. Berdasarkan data nilai jumlah emisi CO2 tersebut dapat dihitung faktor emisi pembangkit.

Tabel 1. Faktor Emisi Batubara Berkalori Sedang dan Rendah di Indonesia[2]

Bahan Bakar NCV

(Tjoule/kTon) % karbon

Batubara Bituminous (Sedang) 25,8 66,6

Batubara Sub-bituminous (rendah) 18,9 49,5

Pada penelitian ini, diasumsikan bahwa PLTU Banten, PLTU Indramayu, dan PLTU Rembang menggunakan batubara berjenis kalori sedang (bituminous).

PLTN tidak memiliki % karbon (%C = 0%), karena dalam proses pembangkitan panas yang digunakan untuk memutar turbin, PLTN tidak menggunakan pembakaran senyawa karbon tetapi menggunakan energi panas yang dihasilkan dari reaksi fisi uranium[8]. Berdasarkan data BATAN, bahan bakar nuklir mempunyai burn up (calorivic value) 45000 MWd/ton atau senilai dengan 3.888.000 TJoule/kTon. Nilai tersebut diasumsikan sebagai NCV dari bahan bakar nuklir.

Perhitungan faktor emisi pembangkit dilakukan dengan menggunakan persamaan 6. Faktor emisi berbanding lurus dengan emisi CO2 yang dihasilkan dan berbanding terbalik dengan energi yang dibangkitkan.

Faktor Emisi CO2 = Emisi CO2 / Energi yang dibangkitkan....(6)

2.2. Validasi Hasil Perhitungan

Validasi hasil perhitungan penelitian dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan terhadap faktor emisi pembangkit (PLTU) yang ada di Indonesia yang dilaporkan UNDP (Tabel 2)[9].

(5)

Tabel 2. Faktor Emisi PLTU di Indonesia

Jenis Bahan Bakar Faktor Emisi CO2 (kg/kWh)

PLTU

Batubara 1,140

Gas Alam 0,678

HSD 1,053

MFO 0,876

Sedangkan untuk PLTN, UNDP belum memberikan data faktor emisinya karena PLTN di Indonesia masih belum beroperasi. Dengan mempertimbangkan proses pembangkitan panas yang tidak menggunakan pembakaran senyawa karbon, maka diasumsikan PLTN di Indonesia tidak memiliki faktor emisi (faktor emisi = 0 kg/kWh). Faktor emisi PLTN tersebut akan digunakan untuk memvalidasi hasil perhitungan faktor emisi pada penelitian ini.

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh energi listrik yang dibangkitkan masing-masing pembangkit dalam satu tahun seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Perhitungan tersebut dilakukan dengan cara mengalikan kapasitas terpasang dengan faktor kapasitas pembangkitnya. Faktor kapasitas adalah perbandingan antara jumlah jam beroperasi pembangkit dalam 1 tahun dengan jumlah jam dalam 1 tahun (1 tahun = 8760 jam), sehingga apabila pembangkit tersebut dalam 1 tahun hanya beroperasi selama 7008 jam, maka faktor kapasitasnya adalah 80% (7008 jam/ 8760 jam = 0,8).

3.1. Data Pembangkit

Data PLTU Batubara yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. Sedangkan data untuk PLTN 1000 MWe dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung energi listrik yang dibangkitkan dan konsumsi batubara dari masing-masing pembangkit.

Tabel 3. Data PLTU Batubara[4]

Parameter Satuan PLTU Banten PLTU Indramayu PLTU Rembang

Kapasitas MWe 600 990 630

Jam Operasi Jam 7.008 7.008 7.008

Faktor Kapasitas % 80 80 80

Efisiensi Termal % 33 34 30

PLTU Batubara Banten, Indramayu, dan Rembang adalah PLTU Batubara yang dimiliki oleh Indonesia Power dan Pembangkitan Jawa Bali dan berlokasi di daerah Banten, Indramayu, dan Rembang. Ke tiga PLTU Batubara tersebut tidak lepas dari permasalahan lingkungan khususnya dalam menangani permasalahan pencemaran udara yang ditimbulkannya[4]. Perbedaan efisiensi termal disebabkan karena teknologi dan umur pembangkit yang tidak sama.

Tabel 4. Data PLTN[5]

Parameter Satuan PLTN

Kapasitas MWe 1000

Faktor Kapasitas % 85

(6)

Tabel 5. Produksi Energi Listrik per Tahun Pembangkit Kapasitas (MWe) Faktor kapasitas (%) Produksi Listrik (MWyr) (GWh) PLTU Banten 600 80 480 4204,8 PLTU Indramayu 990 80 792 6937,9 PLTU Rembang 630 80 504 4415,0 PLTN 1000 85 850 7446,0

Menggunakan data efisiensi termal dan produksi energi listrik dari masing-masing pembangkit, dapat dihitung jumlah energi bahan bakar yang dibutuhkan untuk membangkitkan energi listrik tersebut (persamaan 3). Tabel 6 menunjukkan energi bahan bakar yang dibutuhkan setiap pembangkit.

Tabel 6. Energi Bahan Bakar Setiap Pembangkit

Pembangkit Produksi

Listrik(kWh)

Efisiensi Termal (%)

Energi Bahan Bakar

(MWyr) (GWh)

PLTU Banten 4204800000 33 1455 12741,8

PLTU Indramayu 6937920000 34 2329 20405,6

PLTU Rembang 4415040000 30 1680 14716,8

PLTN 7446000000 33.4 2545 22293,4

Energi bahan bakar yang dibutuhkan berbanding lurus dengan produksi listrik dan berbanding terbalik dengan efisiensi termal. Semakin besar efisiensi termal, semakin kecil energi bahan bakarnya karena kemampuan teknologi untuk mengubah energi termal ke energi listrik semakin meningkat. Efisiensi termal sangat ditentukan oleh jenis turbin yang dipakai dan teknologi yang dipakai dalam pembangkit listrik tersebut.

Menggunakan persamaan 2, dapat dihitung laju bahan bakar setiap pembangkit. Laju bahan bakar sangat ditentukan oleh nilai NCV bahan bakar. Semakin besar nilai NCV, maka semakin sedikit laju bahan bakarnya. Nilai NCV menunjukkan nilai energi yang terkandung dalam bahan bakar. Semakin tinggi nilai NCVnya maka makin tinggi pula bahan bakar tersebut menyimpan energi panas yang dapat digunakan membangkitkan energi listrik. Tabel 7 menunjukkan laju bahan bakar setiap pembangkit.

Tabel 7. Laju Bahan Bakar Setiap Pembangkit

Pembangkit NCV Laju Bahan Bakar

(ton/tahun) (Tjoule/kTon) (kWh/kg) PLTU Banten 25.8 7.2 1.777.928 PLTU Indramayu 25.8 7.2 2.847.300 PLTU Rembang 25.8 7.2 2.053.507 PLTN 3888000 1080000 21

Jumlah emisi CO2 yang dihasilkan setiap pembangkit dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 1. Tabel 8 menunjukkan emisi CO2 yang dihasilkan oleh setiap pembangkit. PLTN tidak menghasilkan emisi CO2 karena tidak memiliki %C dalam bahan bakarnya. Emisi terbesar dihasilkan oleh PLTU Indramayu, hal itu disebabkan karena PLTU Indramayu mempunyai kapasitas terbesar diantara PLTU lainnya sehingga dengan faktor

(7)

kapasitas yang sama, PLTU Indramayu menghasilkan energi listrik yang paling besar. Untuk menghasilkan energi listrik yang besar dibutuhkan energi bahan bakar yang besar pula dan sebanding dengan emisi yang dihasilkannya.

Tabel 8. Emisi CO2 Setiap Pembangkit

Pembangkit Emisi CO2 (kTon)

PLTU Banten 4341,7

PLTU Indramayu 6953,1

PLTU Rembang 5014,6

PLTN 0

Dalam studi ini perhitungan emisi CO2 PLTN tidak meliputi LCA (life cycle analysis), namun emisi CO2 hanya dihitung pada proses pembangkitan energi listrik saja. Perhitungan faktor emisi dilakukan dengan menggunakan persamaan 4. Tabel 9 menunjukkan hasil perhitungan faktor emisi setiap pembangkit. Faktor emisi terbesar dimiliki oleh PLTU Rembang, hal itu disebabkan karena PLTU Rembang memiliki efisiensi paling rendah. PLTU Indramayu memiliki emisi CO2 terbesar, namun memiliki faktor emisi terkecil dibandingkan jenis PLTU lainnya, hal itu disebabkan karena PLTU Indramayu memiliki efisiensi termal yang paling tinggi dibandingkan PLTU lainnya. Dengan kata lain bahwa besar kecilnya faktor emisi ditentukan oleh efisiensi termalnya.

Tabel 9. Hasil Perhitungan Faktor Emisi Setiap Pembangkit

Pembangkit Faktor Emisi CO2 (kg/kWh)

PLTU Banten 1.033

PLTU Indramayu 1.002

PLTU Rembang 1.136

PLTN 0.000

3.2 Validasi Hasil Perhitungan

Validasi hasil perhitungan dilakukan dengan cara membandingkan hasil perhitungan dengan data faktor emisi pembangkit di Indonesia. Tabel 10 menunjukkan perbandingan hasil perhitungan dengan data faktor emisi yang ada.

Tabel 10. Perbandingan Perhitungan dengan Data Faktor Emisi di Indonesia

Pembangkit Faktor Emisi CO2 (kg/kWh) Hasil Perhitungan Data di Indonesia

PLTU Banten 1.033 1.14

PLTU Indramayu 1.002 1.14

PLTU Rembang 1.136 1.14

PLTN 0.000 0.00

Hasil perhitungan tidak berbeda jauh dengan data faktor emisi pembangkit yang ada. Perbedaan faktor emisi PLTU Batubara terjadi karena perhitungan menggunakan data UNDP dilakukan untuk semua pembangkit PLTU Batubara di Indonesia. Dengan kata lain hasil dari UNDP adalah rata-rata faktor emisi seluruh PLTU Batubara di Indonesia, sehingga

(8)

mengakibatkan adanya perbedaan pada nilai efisiensi termal dan berpengaruh pada nilai faktor emisi pembangkitnya. Perbedaan yang tidak terlalu besar tersebut menunjukkan bahwa hasil perhitungan faktor emisi pada penelitian ini dikategorikan valid dan dapat dipertanggung jawabkan.

Untuk membangkitkan energi listrik sebesar 1776 MWyr menggunakan ke tiga PLTU Batubara, akan dihasilkan emisi CO2 sebesar16.309 kTon CO2, sedangkan PLTN tidak menghasilkan emisi CO2. Pembangkitan energi listrik menggunakan PLTU Batubara sebesar 1700 MWyr dapat digantikan dengan menggunakan PLTN 1000 MWe sebanyak 2 unit, dan penggantian tersebut akan mengurangi emisi CO2 sebesar 16 ribu kTon.

4.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh faktor emisi untuk masing-masing pembangkit adalah sebagai berikut: PLTU Banten 1,033 kg/kWh, PLTU Indramayu 1,002 kg/kWh, PLTU Rembang 1,136 kg/kWh, dan PLTN 0 kg/kWh. Faktor emisi CO2 rata-rata adalah 1,05 kg/kWh, dan faktor tersebut dipengaruhi oleh efisiensi termal pembangkit, NCV bahan bakar yang digunakan, dan kandungan karbon (% C) dalam bahan bakar. Pembangkitan daya sebesar 1700 MWyr dengan menggunakan PLTU Banten, Indramayu, dan Rembang akan menghasilkan CO2 sebesar 16 ribu kTon. Bila pembangkitan daya tersebut diganti dengan 2 unit PLTN 1000 MWe maka emisi CO2 akan berkurang sebesar 16 ribu kTon.

Data faktor emisi PLTU Batubara dan PLTN ini sangat membantu untuk menghitung emisi CO2 dalam sebuah perencanaan sistem kelistrikan opsi nuklir. Perencanaan sistem kelistrikan opsi nuklir merupakan salah satu misi dari Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN) BATAN.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. NURMAINI, “Peningkatan Zat-Zat Pencemar Mengakibatkan Pemanasan Global”, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, Sumatera Utara, 2001.

[2]. _______, “Petunjuk Teknis Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Sektor Industri”, Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, 2012.

[3]. RIZKI, F.S.B., DJATI H.S., ELOK S.A., “Peran PLTN untuk Menurunkan Emisi CO2 dalam Perencanaan Pengembangan Sistem Kelistrikan Sumatera Bagian Utara”, Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir 2012, Jakarta, 2012.

[4]. NASRULLAH, M., MASDIN, “Penerapan Biaya Eksternalitas dalam Biaya Pembangkitan Listrik di Indonesia”, Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir 2011, Jakarta, 2011

[5]. NASRULLAH, M., “Analisis Komparasi Ekonomi PLTN dan PLTU Batubara untuk Bangka Belitung”, Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir 2011, Jakarta, 2011

[6]. HADIYANTO, “Anatomi Sumber Daya Batubara Serta Asumsi Pemanfaatan Untuk PLTU di Indonesia”, Badan Geologi KESDM, 2006.

[7]. _______, “Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN (Pesero) 2012-2012, PT. PLN (Pesero), 2012.

[8]. RIZKI, F.S.B., SUPARMAN, DJATI H.S., “Analisis Emisi CO2 pada Studi Perencanaan Pengembangan Pembangkit Listrik Wilayah Bangka Belitung dengan Opsi Nuklir”, Jurnal Pengembangan Energi Nuklir 2012, Jakarta, 2012

[9]. _______, “Indonesia Microturbine Technology Application Project”, United Nation Development Programe, USA, 2007.

Gambar

Gambar 1. Skema Neraca Massa [2] .
Gambar 2. Pembagian Sumber Daya Batubara Indonesia Berdasarkan Nilai Kalor [6] .  Pada  Gambar  2  terlihat    bahwa  sebagian  besar  (62%)  batubara  Indonesia  memiliki  kalori  sedang,  sedangkan 13%  berkalori  tinggi,  dan  jenis  tersebut digunakan
Tabel 3. Data PLTU Batubara [4]
Tabel 5. Produksi Energi Listrik per Tahun  Pembangkit  Kapasitas   (MWe)  Faktor kapasitas (%)  Produksi Listrik (MWyr)  (GWh)   PLTU Banten  600  80  480  4204,8  PLTU Indramayu  990  80  792  6937,9  PLTU Rembang  630  80  504  4415,0  PLTN  1000  85  8
+2

Referensi

Dokumen terkait

MS: Tidak boleh. Semua pernikahan muslim harus di KUA. Kaum nasrani harus di gereja. Setelah itu baru dicatatkan. KUA dan Kantor Catatan Sipil hanya mencatat, tidak

Air limbah yang berasal dari output DAF Transfer Tank dipompa menuju ke Cooling tower untuk menurunkan suhu dan dialirkan ke Bak Aerasi A dan B melalui Flow Distribution

Maksudnya mahasiswa dalam mengajar didampingi oleh guru pembimbing yang bersangkutan. Praktikan mengajar didepan kelas, sedangkan guru pembimbing mengawasi dari

Prebiotik terdiri dari zat yang tidak bisa dicerna yang memberikan efek fisiologis yang menguntungkan bagi host, yang secara selektif merangsang pertumbuhan

Penulis telah mengkaji dan menemukan jawaban dari hubungan keutamaan Kristus terhadap masa depan ciptaan dalam Kolose 1:15-23 serta kontribusinya bagi

Suatu adegan film terdiri dari rangkaian shot. Masing-masing direkam dalam berbagai sudut pandang yang kemudian digabungkan. Penggabungan tiap shot untuk membentuk suatu

Kedua, meskipun buku ini cukup baik dalam menjelaskan penggunaan pengukuran jaringan untuk ketiga level analisis seperti individu, kelompok dan sistem namun pada

Penelitian yang dilakukan oleh Danik Kusumawardani dengan judul Sistem Pendukung Keputusan Penerima Bantuan Rumah Layak Huni Dengan Menggunakan Metode Weighted Product