• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Petani: Sebuah Entitas Sosial Khas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Petani: Sebuah Entitas Sosial Khas"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Petani: Sebuah Entitas Sosial Khas

Sosiologi pedesaan mencoba memberikan pemahaman mengenai unsur-unsur dalam struktur sosial masyarakat pedesaan dengan ciri-ciri spesifiknya yang meliputi ciri sosial, politik, kultural, dan ekonomis. Secara lugas ini berarti bahwa pedesaan dengan ciri geografis dan kultural yang lebih dekat pada ciri pertanian memberikan perhatian yang khusus terhadap posisi petani sehingga dianggap perlu untuk memahami lebih lanjut tentang petani dalam kajian politik pedesaan. Fokus kajian sosiologi pedesaan mencoba memberikan gambaran tentang bagaimana unsur-unsur dalam sebuah struktur sosial memberi andil terhadap gambaran umum petani pedesaan. Hal tersebut dimaksudkan agar gambaran utuh mengenai kondisi yang dialami petani dapat terbaca sehingga tidak menghasilkan penafsiran yang keliru.

Ketika pemahaman tersebut berusaha dimunculkan, maka perhatian pertama diarahkan pada pendefinisian petani sesuai dengan konteks pedesaan Indonesia yang memiliki ciri-ciri khusus baik dari sisi geografis, kultural, ekonomi, politik, dan sebagainya. Beberapa diangkat dari definisi para ahli sosiologi yang menggambarkan bagaimana petani memandang kehidupan serta bagaimana pola-pola relasi yang dikembangkan agar bertahan dalam kehidupannya.

Petani dalam Dimensi Struktur Sosial

Scott (1994) mengemukakan tesis bahwa petani merupakan golongan komunitas kecil yang memiliki prinsip ‘safety first’ yang merupakan konsekuensi dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Prinsip ini kemudian mempengaruhi pengaturan teknis, sosial dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Dalam menjalankan kehidupan ekonominya, petani subsisten akan merasa lebih dekat dengan pola subsistennya jika memiliki sarana subsisten yaitu sawah meskipun dalam jumlah yang terbatas. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon

(2)

perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian dimana petani tidak akan betah bekerja di sektor tersebut.

Kondisi demikian beran gkat dari posisi petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap nrimo terhadap berbagai kondisi, bahkan ketika dihadapkan pada pertentangan politik. Sikap nrimo tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan keberadaan mereka. Petani kemudian membentuk kekuatan internal antar sesamanya sebagai perekat menghadapi berbagai tantangan. Sistem ekonomi dikembangkan hanya dalam lingkungan intern, misalnya biaya-biaya sosial yang dikeluarkan dalam bentuk hajatan, bantuan untuk tetangga yang kesulitan, dan lain -lain.

Perdebatan tentang pertautan petani dalam relasi antar subyek membawa kembali pada sudut pandang sosiologi. Kajian sosiologis menempatkan petani sebagai bagian dari struktur masyarakat yang lebih bes ar. Sumbangan Scott (1993) tentang relasi sosial yang dibangun petani dengan aktor lain melahirkan prinsip “safety first” untuk menyelamatkan diri dari kekuatan lain.

Kritik Popkin (1986) terhadap Scott menyatakan bahwa petani memiliki apek-aspek rasionalitas untuk menunjang kelangsungan kehidupan mereka. Selama masih ada tingkat-tingkat ekonomi ganda, keinginan untuk maju dari satu tingkat ke tingkat selanjutnya, dan keinginan untuk menghindari kejatuhan, para petani akan selalu terlibat baik dalam asuransi maupun dalam perjudian yakni investasi yang aman atau penuh resiko. Meskipun secara teoritis paparan Popkin merupakan kritik atas tesis Scott, namun prakteknya, masih terdapat prinsip ‘mencari aman’ yang muncul dalam investasi yang dijalankan dimana petani cenderung akan memilih investasi pribadi untuk kesejahteraan masa depan melalui anak dan tabungan daripada berinvestasi, dan mengandalkan resiprositas dan asuransi masa depan yang berasal dari desa.

Pemaparan tentang definisi petani membawa diskusi pada bagaimana keterkaitan komunitas kecil tersebut dalam keterhubungannya dengan sistem masyarakat lain dalam hal sosial, ekonomi, dan politik. Dari beberapa definisi serta gambaran kondisi petani, ada beberapa benang merah yang dapat menjadi arahan untuk memahami petani secara lebih lanjut terkait dengan sosial, politik, budaya dan juga ekonomi. Pembedaan antara peisan dan farmer menarik dikaji

(3)

dalam konteks Indonesia tanpa melupakan ciri-ciri petani secara umum. Pembedaan tersebut terletak pada beberapa hal diantaranya adalah orientasi produksi; strategi hidup; nilai-nilai hidup yang dianut; sistem ekonomi; integrasi dengan struktur sosial diatasnya baik dalam ekonomi maupun politik; dan pola adaptasi ekologis menghasilkan struktur pertanian yang tidak seragam.

Lain halnya dengan Pearse (1968) yang melahirkan respon aktif petani untuk mempertahankan keterlibatan dengan dunia luar. Keterhubungan petani dengan struktur ekonomi yang lebih besar berimplikasi pada adaptasi yang bermuara pada perubahan karakter petani. Keterlibatan petani dengan kapitalisme mendorong petani melakukan perubahan orientasi ekonomi yang cenderung mengedepankan aspek rasionalitas. Terkait dengan hal tersebut kemudian muncul konsep depeasantisasi dimana petani terintegrasi kedalam sistem ekonomi kapitalis sehingga ada perubahan pola kultural dan struktural.

Pendekatan dimensi perubahan sosial dalam meninjau perkembangan karakter dan orientasi petani dalam tatanan sosial yang lebih kompleks diungkapkan oleh Migdal (1974). Migdal melakukan pendekatan kajian tersebut dari dimensi perubahan sosial. Perubahan sosial dan ekonomi diintegrasikan kedalam teori tentang partisipasi petani dalam politik dan revolusi. Tulisan Migdal memaparkan dengan gamblang karakter dari keterlibatan petani dalam ruang politik. Inisiatif keterlibatan petani dalam arena politik lebih banyak diinisiasi oleh non-petani. Dengan demikian keterlibatan petani dalam arena yang lebih besar belum berasal dari inisiatif lokal.

Gambaran tersebut didukung oleh tulisan Friedmann (1 992) tentang peasant dalam konteks sistem ekonomi global. Tulisan tersebut memudahkan melihat keterkaitan petani dengan sistem ekonomi dunia. Ketika petani terintegrasi dalam ekonomi, pada saat itu ciri-ciri kehidupan petani dalam berbagai segi akan mengad aptasikan diri sedemikian rupa sehingga perubahan -perubahan yang muncul akan terkait dengan sistem ekonomi dan juga budaya. Keterlibatan petani dengan kapitalisme memberikan pengaruh kepada petani terutama dalam hal perubahan orientasi produksi, penyesuaian strategi hidup yang dilakukan serta berubahnya nilai-nilai hidup yang dianut.

(4)

Meski secara gamblang dipaparkan perjalanan petani hingga sampai pada keterkaitan dengan sistem ekonomi global, namun petani tetap menjadi entitas yang termarjinalkan. Fenomena demikian sesungguhnya menunjukkan bahwa petani masih berada dalam kerangka kungkungan struktural. Kondisi demikian didefinisikan oleh Soetomo (1997) sebagai kekalahan petani.2 Kesadaran bahwa kemiskinan petani tercipta akibat tekanan struktural mulai menguat sejak konstelasi politik berubah dari represif menjadi terbuka. Periode ini ditandai sejak turunnya Soeharto pada tahun 1998. Iklim reformasi membuka celah terbentuknya organisasi petani dengan dukungan perubahan orientasi yang lebih mengarah pada

political community.

Gerakan Sosial: Sejarah, Perkembangan dan Mekanisme

Harper (1989) memahami gerakan sosial sebagai kolektifitas -kolektifitas yang tidak konvensional dengan berbagai tingkatan organisasi yang berusaha mendorong maupun mencegah perubahan. Asal perubahan dikemukakan oleh Sztompka (1994) berasal dari bawah. Sebagai gerakan manifes dari bawah, gerakan sosial ini dicirikan oleh bersatunya orang-orang untuk mengorganisir diri dalam tujuannya membuat perubahan dalam masyarakat. Dalam perubahan sosia l, gerakan sosial bisa menjadi penyebab, efek maupun mediator yang mempengaruhi jalannya perubahan sosial.

Gerakan sosial mencakup komponen bertindak bersama dengan tujuan perubahan pada masyarakat walau dengan derajat organisasi formal yang rendah sebaliknya unsur spontanitasnya amat tinggi atau cenderung non-institusional (Sztompka,1994)3. Dalam kerangka Hayami dan Kikuchi (1987), tindakan kolektif ini diperlukan untuk merubah pranata atau institusi. Namun perubahan

2

Soetomo (1997) mengungkapkan bahwa kekalahan petani disebabkan oleh dua faktor; pertama, faktor alam (natural resource). Dalam hal ini mengemuka sebuah diskusi tentang perbedaan karakter yang tercipta yang muncul akibat perbedaan konteks ekologis, antara dataran tinggi dan dataran rendah. Jika dikaitkan dengan pengorganisasian, jelas terdapat hubungan antara keduanya. Kedua, faktor struktural. Terbentuknya kemiskinan struktural dipandang sebagai akibat yang dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: a) petani kecil merupakan kelompok marjinal karena keikutsertaannya dalam sistem sosial telah meletakkan mereka sebagai elemen yang dibuat bergantung tak berdaya sepenuhnya; b) pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak-pihak diluar petani; c) petani terasing dari jaringan-jaringan informasi aktua l mengingat keterbatasan kemampuan kognitif mereka, sistem transportasi yang belum sempurna, dan perbedaan kultur serta posisi inferior.

3

Dalam hal ini Sztompka berbeda dengan Harper (1989), dimana menurut Harper istilah social movement terkait dengan derajat formalitas yang tinggi.

(5)

pranata menurut mereka tidak harus melalui transformasi mendadak dan menyeluruh, melainkan bisa melalui penyesuaian yang terus-menerus. Definisi gerakan sosial menggambarkan bahwa gerakan massa dalam berbagai variasi bentuk mengisyaratkan adanya keinginan perubahan. Hoffer (1988) mengemukakan pentingnya orang-orang yang termarjinalkan dalam mengungkapkan ide perubahan sosial4.

Potret Gerakan Sosial

Kajian Fauzi (2005) tentang gerakan rakyat di beberapa Negara Dunia Ketiga berhasil memotret bentuk-bentuk karakter perlawanan. Perlawanan dimulai dengan konfrontasi terhadap dominasi pemerintah, pengusaha, atau penguasa. Strategi yang dikembangkan adalah mobilisasi rakyat, bahkan kasus Indonesia menunjukkan gerakan rakyat dilakukan dengan cara mengkonstruksi kembali identitas etnis. Buku tersebut memprofilkan dinamika ringkas masing-masing gerakan, terutama dalam 3 (tiga) pokok utama yang membingkai gerakan masing-masing, yakni (i) tafsir atas situasi yang dimusuhi, (ii) kesempatan politik yang memungkinkan para aktor gerakan menetapkan pilihan -pilihan strategis; dan (iii) pilihan jenis aksi kolektif yang diandalkan para pelaku gerakan (Fauzi, 2005: 7-8).

Selain Fauzi (2005), tulisan Fakih (2000) juga mencoba menggambarkan perlawanan terhadap pemerintah dengan melihat keterkaitan antara arus besar model pembangunan dengan tumbuhnya gerakan sosial. Meski kajian keduanya menyandarkan pada kasus LSM - bukan organisasi petani - sebagai sumbangan pemikiran tentunya patut dipertimbangkan. Hanya, perlu merujuk pada kasus organisasi petani yang berpola gerak an rakyat. Fakih menggambarkan bahwa arus besar paradigma developmentalism turut membentuk karakter gerakan sosial (Fakih, 2000). Developmentalism menjadi landasan gerakan sosial. Hanya saja pada era 1970-an gerakan sosial berangkat dari upaya mencari alternatif/metode mengimplementasikan aspek metodologis dan teknis pembangunan tanpa pertanyaan kritik atas dasar filosofis pembangunan itu sendiri. Diskursus gerakan sosial dalam konteks pembangunan diramaikan oleh tulisan Korten (2001) yang

4

Peranan kaum tersingkir dan kaum yang termarjinalkan dapat ditingkatkan terutama karena pemahaman mereka terhadap kekinian dalam pandangan Hoffer sangat kurang sehingga berani menghancurkan tatanan hidup yang telah mapan. Disamping itu, kenyataan bahwa didapati tidak ada/terbatas peluang untuk maju dengan struktur yang ada menambah derajat motivasi gerakan.

(6)

menggarisbawahi masalah pembangunan yang dalam perspektif dialektis menunjukkan saling keterkaitan antara persoalan eksploitasi, dominasi dan penindasan politik. Masih dalam tulisan Korten, gerakan sosial diposisikan dalam upaya perjuangan transformasi yang menyangkut tiga persoalan dasar yakni masalah keadilan, kesinambungan sumber daya alam, dan partisipasi. Dengan demikian gerakan sosial menjadi prasyarat untuk melakukan transformasi hingga mencapai alternatif pembangunan berorientasi rakyat (people-centered

development)

Kontinuum Gerakan Petani: Dari Protes ke Mobilisasi ke Organisasi

Hollnsteiner (1979) mengemukakan bahwa organisasi berangkat dari basic

needs dan basic interest. Dalam perkembangannya, pola pendekatan gerakan yang

dikembangkan akan menyesuaikan dengan kebutuhan yang dirasakan. Ketika analisis pembentukan organisasi berangkat dari dua hal yakni basic needs dan

basic interest di atas dikaitkan dengan tulisan tentang ciri petani, tidak salah

ketika Dobrowolski (1958 dalam Shanin, 1971) mengatakan bahwa kecenderungan manusia untuk mempertahankan eksistensinya dapat dikaitkan dengan dua hal yaitu: human relationship dan existence of natural environment.

Ciri umum kontinuum perkembangan aksi kolektif petani yang dimulai dari protes -mobilisasi-organisasi merupakan suatu pola adaptasi atas kebutuhan yang ingin dicapai dan kondisi politik pada masa perlawanan. Penelusuran historis menemukan bahwa protes, mobilisasi dan organisasi identik dengan konstelasi politik dalam kurun waktu tertentu yang dicirikan oleh tipe penguasa. Wolf (1985) bahkan menerangkan gerakan-gerakan protes dalam bentuk yang sederhana dikalangan petani seringkali berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan lebih samarata dibandingkan dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkis. Mitos-mitos tentang kelahiran kejayaan suatu peradaban menuju pada pembentukan tatanan baru seringkali dapat memobilisasi kaum tani untuk beberapa waktu menimbulkan sebuah huru hara.

Tinjauan atas berbagai literatur menunjukkan respon permasalahan petani diwujudkan dalam tipe perlawanan yang beragam. Dalam terminologi gerakan sosial, organisasi dipandang sebagai stadium lanjut dari aksi protes dan mobilisasi. Gerakan protes sebagai tahap awal perlawanan lahir atas

(7)

ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada. Teori gerakan sosial melihat fenomena ini sebagai respon psikologis atas kondisi tertentu. Perkembangan lanjut garis kontinuum sampai pada upaya mobilisasi petani. Mobilisasi ini dibangun oleh kalangan menengah pada kurun waktu 1980 -an hingga 1990 -an ketika petani mulai dilibatkan dalam aksi. Keterlibatan tersebut menunjukkan satu ciri mobilisasi dimana petani tidak memiliki inisiatif dalam membangun gerakan.

Pada kontinuum akhir, perkembangan gerakan petani bergulir pada pendekatan baru yang melibatkan petani dalam manajemen langsung. Dalam hal ini petani kemudian ditempatkan dalam suatu bentuk organisasi yang lebih tersistematis dengan inisiatif yang berangkat dari orang luar maupun petani itu sendiri. Organisasi petani dalam konteks ini merujuk pada sebuah kondisi dimana sifat perlawanan yang muncul dimanifestasikan dalam bentuknya yang lebih tersistematisasi. Sistematisasi gerakan diperlukan terkait dengan lawan yang mempunyai karakter sistematis. Muara gerakan dalam bentuk organisasi merupakan wujud adaptasi atas kebutuhan yang ingin dicapai dan situasi politik yang dihadapi.

Pemahaman terhadap upaya mobilisasi petani pada kurun waktu tertentu diilhami oleh sebuah dinamika yang muncul di kalangan menengah. Untuk merespon masalah yang dihadapi, pada era ini petani telah tersadarkan namun belum mengambil peran penting dalam manajemen gerakan. Inisiatif tindakan aksi-demonstrasi lebih banyak muncul dari NGO. Tipe organisasi yang berangkat dari sudut pandang kepentingan pemerintah (organisasi lokal maupun nasional bentukan pemerintah) turut memperkuat aspek mobilisasi massa. Era mobilisasi secara teoritis didefinisikan sebagai gerakan radikal yang didukung oleh orang-orang diluar petani.

Mekanisme Gerakan Sosial

Menurut Harper (1989), paling tid ak terdapat empat dimensi yang dapat dipergunakan untuk membedakan macam gerakan sosial. Dimensi pertama, meliputi gerakan umum yang berkembang dari sentimen luas dalam masyarakat, namun tidak terakumulasi serta memiliki tujuan yang tidak jelas dan gerakan spesifik, memiliki tujuan, ideologi dan organisasi yang terfokus. Dimensi kedua, terkait dengan gerakan sosial radikal yang bertujuan menciptakan perubahan

(8)

fundamental pada sistem, d ikonfrontasikan dengan reforma yang bertujuan menghasilkan perubahan ringan dalam sistem. Dimensi ketiga, perbedaan gerakan sosial instrumental bertujuan untuk mengubah struktur sementara dan ekspresif bertujuan untuk mengubah karakter dan perilaku individu. Dimensi keempat, gerakan sosial sayap kanan adalah gerakan yang konservatif bertujuan untuk mengembalikan jaman keemasan di masa lalu dan sebaliknya dengan gerakan sosial sayap kiri.

Dimensi kedua dan ketiga tersebut dapat dibuat tipologi gerakan sosial seperti Tabel 1. di bawah ini.

Tabel 1. Matriks Tipe Gerakan Sosial

Dimensi Instrumental Ekspresif

Reforma, permutasi dari pengaturan

sosial yang ada reformatif alternatif

Radikal , perubahan signifikan dari

pengaturan sosial yang ada transformatif redemtif Sumber: Harper, 1989:128

Dalam pandangan Harper (1989), terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana dan mengapa muncul gerakan sosial dan kondisi apakah yang dapat merangsang gerakan sosial?. Pendekatan pertama adalah penjelasan psikologis, dengan fokus pada karakteristik agregat dari individu-individu yang terlibat dalam gerakan sosial. Model penjelasan ini dibagi menjadi dua, yaitu penjelasan irasionalitas dan rasionalitas partisipan gerakan sosial. Dalam pandangan penjelasan irasionalitas, partisipan gerakan sosial adalah orang-orang yang mencari kompensasi terhadap rasa frustrasi dalam kehidupan mereka. Sedangkan penjelasan psikologis yang lebih kontemporer menyatakan bahwa, keikutsertaan dalam gerakan sosial dilandasi oleh perhitungan rasional keterlibatan partisipan dalam gerakan sosial.

Selanjutnya dalam penjelasan psikologi sosial, munculnya gerakan sosial terkait dengan kondisi-kondisi sosial serta disposisi psikologis. Dua penjelasan paling populer dalam pandangan Harper adalah penjelasan deprivasi relatif5 atau

5

Penjelasan deprivasi relatif ini menjelaskan mengapa orang-orang yang terlibat dalam gerakan sosial bukan berasal dar i mereka yang paling terdeprivasi secara obyektif. Sedangkan dalam teori ketegangan status, motivasi para partisipan dalam gerakan sosial dilandasi oleh ancaman statusnya dalam masyarakat. Status sekelompok orang mulai terancam manakala kelompok yang semula terpinggirkan mulai memperoleh posisi penting dalam masyarakat.Gerakan sosial yang dilandasi oleh ketegangan status merupakan gerakan yang hendak mencegah dan mengembalikan arah sejarah masa lampau yang lebih menguntungkan partisipan

(9)

teori ketegangan status. Penjelasan struktural mengenai gerakan sosial lebih menekankan upaya-upaya untuk menjelaskan perkembangan gerakan sosial, dihubungkan dengan struktur yang lebih luas dimana gerakan tersebut berkembang. Terdapat tiga pendekatan dalam penjelasan struktural; pertama, penjelasan kaitan perilaku kolektif dan gerakan sosial, yang melahirkan

“Value-Added” Theory yang dikembangkan oleh Smelser. Kedua, The Resource Mobilization Perspective. Ketiga, tradisi Marxian yang melahirkan penjelasan

aliran Peranc is tentang gerakan sosial yaitu penjelasan Neo -Marxian oleh penulis seperti Alain Touraine dan Manuel Castells.

Berbeda dengan penjelasan perilaku kolektif (Social Movement and

Collective Behavior) yang menyatakan bahwa gerakan sosial berasal dari perilaku

massa yang spontan, pendekatan struktural berkeyakinan bahwa gerakan sosial merupakan kelanjutan dari organisasi-organisasi yang berupaya untuk memproduksi reforma sosial dan berupaya untuk memperoleh pengaruh terhadap struktur masyarakat yang telah mapan. Kritik terhadap pemikiran di atas dikemukakan oleh aliran pemikiran neo-Marxian Perancis6.

Merujuk pandangan bahwa organisasi petani merupakan sebuah upaya memperkuat basis sebagai jawaban atas hegemoni pusat, organisasi berbasis lokal kemudian menjadi respon atas pola pendekatan pemerintah dan implikasi yang ditimbulkannya. Organisasi petani juga menjadi wadah aspirasi mensikapi permasalahan struktural yang muncul di tingkat petani. Harper (1989) meninjau gerakan sosial demikian dengan menggunakan pendek atan struktural yang menekankan upaya-upaya untuk menjelaskan perkembangan gerakan sosial dihubungkan dengan struktur yang lebih luas dimana gerakan tersebut berkembang. Pendekatan struktural menyarankan perlunya aspek ekonomi, politik dan ideologi dalam memandang fenomena dalam masyarakat.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Hannigan dalam Harper (1989), terdapat dua dimensi yang membentuk karakter gerakan sosial, yaitu: (1) derajat kesadaran

6

Dalam pemikiran Neo-Marxian Perancis, dengan tokoh Touraine dan Castells, berargumen bahwa konsepsi Marx tentang basis dan superstruktur tidak memadai lagi untuk menjelaskan keadaan masyarakat industri maju. Mereka kemudian mengusulkan bahwa masyarakat harus dipandang sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga tingkat, yaitu ekonomi, politik dan ideologi, dimana kontradiksi berkembang di dalam maupun antar level. Dalam pandangan pemikir Neo-Marxian, gerakan sosial dapat tumbuh dari protes-protes moral yang spontan sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur-struktur yang telah mapan. Yang membuat pemikiran Neo-Marxian Perancis ini lebih dekat dengan penjelasan perilaku kolektif adalah penekanannya pada asal gerakan sosial yang non institusional.

(10)

bahwa diperlukan perubahan anti-institusional, dan (2) derajat tumbuhnya kesadaran akan identitas kelompok diantara partisipan. Dengan menggunakan dua dimensi tersebut, Hannigan membuat sebuah matriks tentang tipe gerakan sosial seperti terlihat pada Tabel 2. di bawah ini.

Tabel 2. Matriks Tipe Gerakan Sosial Menurut Aliran Neo -Marxian Perancis

Kesadaran Identitas Kelompok

Tinggi Rendah Tinggi Gerakan Pembebasan

Sosial Gerakan Revolusioner Kesadaran

Anti- Institusional

Rendah Gerakan Kultural Gerakan reforma profesional Sumber: Harper, 1989:141

Perlawanan Petani

Dalam konteks sosiologi agraria, struktur agraria dipahami sebagai pola hubungan antar subyek agraria dan antara subyek agraria dengan obyek agraria (Sitorus, 2002). Relasi agraria yang muncul melibatkan tiga aktor yakni pemerintah, komunitas, dan swasta yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumber-sumber agraria (SSA). Salah satu faktor yang menimbulkan “kemarahan” petani yakni perubahan struktur agraria yang lebih disebabkan karena pengelolaan agraria cenderung berubah dari pengelolaan subsisten/primitif menuju sistem pengelolaan yang berorientasi kapitalis. Perubahan tersebut berimplikasi pada pola-pola pengelolaan agraria yang dilakukan oleh para pengguna agraria atau subyek agraria. Dalam hubungan agraria, subyek agraria yang dimaksud dikenakan pada tiga stakeholders yaitu: komunitas, pemerintah dan swasta. Hubungan ketiga subyek dengan sumber agraria memunculkan suatu pola hubungan produksi yang bentuk dan derajat eksploitasinya terhadap komunitas tergantung dari tingkat dominasi dari salah satu stakeholder. Hubungan demikian menghasilkan berbagai model pemanfaatan agraria yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing subyek agraria.

Pada berbagai komunitas, petani selalu dihadapkan pada permasalahan -permasalahan struktural yang menggiring petani pada benturan dengan aktor-aktor eksternal. Komunitas yang akan dikaji adalah komunitas masyarakat lahan kering

(11)

yang tinggal di lahan upland dengan ciri permasalahan struktural yang sama. Petani di kawasan Salatiga menghadapi persoalan struktural terutama ketika petani mengalami masalah dengan pasar atau ketergantungan terhadap input pertanian yang harganya makin tinggi.

Sebagai upaya menghadapi permasalahan struktural, petani mengembangkan pengorganisasian terkait dengan tipe permasalahan yang akan direspon. Mengapa respon atas permasalahan struktural menjadi demikian penting? Fakta empiris menunjukkan bahwa permasalahan struktural akan melahirkan kemiskinan yang berangkat dari hubungan petani dengan kelembagaan supra lokal. Dari banyak kasus juga diperoleh fenomena bahwa hubungan agraria yang terbentuk antara petani dan pemerintah/swasta cenderung menciptakan ketergantungan. Sebagai contoh, mengapa di Salatiga muncul organisasi yang berbasis produksi sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi ketergantungan petani terhadap pasar dan harga input-input pertanian yang relatif tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa dimensi hubungan agraria menyumbang peran yang besar terhadap terbentuknya organisasi petani.

State of the Art Gerakan Perlawanan Petani

Berbagai literatur menjelaskan permasalahan yang dihadapi kaum tani seringkali direspon melalui perlawanan kaum tani dalam konteks gerakan sosial. (Suhartono, 1995; Kartodirdjo, 1984; Scott, 1993; Pelzer, 1991). Kajian tersebut berpijak pada teori gerakan sosial yang menempatkan petani sebagai pihak yang melawan ketidakadilan yang terjadi. Suhartono (1995) menggambarkan bentuk-bentuk protes petani melalui gerakan perkecuan atau bandit yang dari sisi masyarakat yang termarjinalkan dianggap sebagai tindakan heroik yang membantu masyarakat. Karakteristik utama pola perlawanan tipe ini adalah kecu bergerak sendiri dan daerah jangkauannya masih bersifat lokal. Secara spasial, skala operasional perbanditan lebih bersifat terbatas dan lokal, dan tidak tampak adanya jaringan (Suhartono, 1995). Alasan dibalik perlawanan petani dikemukakan melalui tulisan Scott (1993) sebagai respon atas tercerabutnya prinsip subsistensi yang selama ini menjadi sandaran kehidupan petani. Hubungan patron-klien yang memudar turut memicu perlawanan petani dan konflik vertikal.

(12)

Rangkaian kajian gerakan petani diramaikan oleh tulisan Kartodirdjo (1984) tentang pemberontakan petani di Banten. Berbagai gerakan petani di hampir semua karesidenan di Jawa memperlihatkan karakteristik yang sama. Pemberontakan -pemberontakan itu bersifat tradisional, lokal atau regional, dan berumur pendek7. Pada dasarnya, pemberontakan petani mengantarkan pembahasan pada bangkitnya petani melawan tirani kekuasaan yang membelenggu ruang gerak petani. Pemberontakan juga dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional yang mulai diintervensi oleh nilai-nilai kapitalisme. Dalam konteks agraria, tulisan Pelzer (1991) tentang sengketa antara petani dan perkebunan melahirkan bentuk perlawanan yan g tidak kalah menarik dan turut menyumbang deretan perlawanan kaum tani di masa kolonialisme.

Memasuki era baru, perlawanan petani banyak dipicu oleh ketimpangan struktur agraria yang dihasilkan oleh perbedaan kepentingan para stakeholders terhadap sumber-sumber agraria yang ada. Tindakan represif pemerintah orde baru menyumbang deretan kasus perlawanan petani. Meski literatur dan fakta menunjukkan perlawanan petani pernah menjadi alat yang ampuh dalam melawan pemerintah, namun dalam banyak hal tidak ditemukan sifat perlawanan petani yang terorganisir dengan baik.

Beberapa literatur menunjukkan bahwa kasus perlawanan petani yang muncul menunjukkan bahwa perlawanan petani tidak serta merta terkait dengan pengorganisasian petani. Perlawanan petani hanya sebagai simbol protes terhadap kondisi yang ada tanpa disertai pembentukan organisasi petani sebagai basis massa. Organisasi petani dalam bentuk yang nyata baru muncul pada periode 1952-1959 ketika muncul Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi dengan partai sejenis yaitu pemuda rakyat, SOBSI, Gerwani, Lekra, dan HSI untuk bersama-sama membangun Partai Komunis Indonesia (PKI) (Mortimer,1974). Barisan Tani Indonesia sebagai organisasi petani, seperti halnya organisasi lain

7

Sebagai gerakan so sial, pemberontakan- pemberontakan itu semuanya tidak menunjukkan ciri-ciri modern seperti organisasi, ideologi-ideologi modern, dan agitasi yang meliputi seluruh negeri. Pemberontakan lebih bersifat lokal dan tak mempunyai hubungan satu sama lain. Implikasi atas hal tersebut adalah tidak disusunnya rencana-rencana yang realistis seandainya pemberontakan berhasil. Ketidakmampuan membangun organisasi juga dipengaruhi oleh tidak terciptanya hubungan antara pemimpin agama yang saat itu menjadi pemimpin gerakan petani.

(13)

merupakan alat kepentingan partai yang saat itu sangat diperlukan. Dalam hal ini kegiatan yang ada dalam BTI diarahkan pada kepentingan partai.

Gambaran organisasi petani dilanjutkan pada kurun waktu 1980 -an. Pada masa orde baru, gerakan dan organisasi petani mengalami tantangan yang keras terkait dengan arah politik pemerintah yang bertujuan mempertahankan status quo. Rezim orde baru melakukan pendiktean terhadap partai politik sekaligus melakukan penggembosan terhadap kekuatan dan kemandirian organisasi massa. Aturan tidak tertulis menyatakan bahwa semua organisasi massa harus berada di bawah pengawasan pemerintah. Khusus untuk petani, semua organisasi dipaksa digabung dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai upaya pemerintah menghegemoni kekuatan petani (Firmansyah, dkk. 1999).

Pertengahan tahun 1980 mulai bangkit gerakan petani yang ditujukan pada perlawanan. Petani mulai berkenalan dengan organisasi mahasiswa dan mulai melakukan kegiatan aksi dan demonstrasi. Ciri gerakan pada masa ini lebih pada kegiatan memobilisasi petani untuk aksi-aksi tertentu yang bersifat insidental dengan tipe kegiatan demonstrasi. Fenomena tersebut berlanjut pada sekitar tahun 1997-an, kondisi politik dan moneter Indonesia turut menyumbang lahirnya pengorganisasian di tingkat petani yang juga dipicu oleh konstelasi politik dan kondisi moneter di Indonesia. Karakteristik organisasi pada era ini masih spontan dan sporadis tanpa pengorganisasian yang jelas. Aksi dan demonstrasi baru dilakukan ketika muncul permasalahan yang dihadapi petani.

Petani mengembangkan perlawanan dalam berbagai bentuk dan sesuai dengan karakternya sebagai petani. Scott (1993) menyatakan bahwa petani dapat melakukan perlawanan sehari-hari atas kekuasaan yang lebih besar. Dilatarbelakangi adanya suatu konsep dasar tentang peningkatan bargaining

position ketika dihadapkan pada relasi sosial yang lebih kompleks yang menekan

petani, maka perlu ada suatu perlawanan. Definisi Scott tentang perlawanan merujuk pada “perlawanan (resistence) penduduk desa dari kelas yang lebih rendah adalah tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak, penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas -kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk

(14)

mengajukan tuntutan -tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan” (Scott, 1993).

Penjelasan definisi tersebut sampai pada pemahaman bahwa 1) tidak ada keharusan bagi perlawanan untuk mengambil bentuk aksi bersama. 2) tujuan -tujuan dibentuk kedalam definisi itu. 3) definisi tentang perlawanan yang relatif longgar yang dikemukakan Scott membawa pada pengakuan terhadap bentuk perlawanan simbolis atau ideologis (misalnya gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan, penarikan kembali sikap hormat) sebagai bagian yang terpisahkan dari perlawanan berdasarkan kelas.

Berbagai literatur tentang bentuk perlawanan yang dilancarkan petani tentang perlawanan dalam definisi Scott misalnya dikemukakan oleh (Heryanto, 2000) tentang perlawanan dalam kepatuhan sebagai protes petani dalam merespon doktrin ideologi stabilitas kesatuan negara jaman Soeharto, atau tulisan Samandawai (2001) tentang Mikung, sebuah komunitas yang menarik diri dari program-program pembangunan dengan cara mendorong kemandirian di tingkat komunitasnya.

Perdebatan tentang definisi perlawanan ini sampai pada upaya membuat satu garis batas yang jelas antara perlawanan yang bersifat politis dengan perlawanan sehari-hari. Apabila kedua perspektif ini digabungkan, akan tampak sebuah dikotomi antara perlawanan sesungguhnya di satu pihak dan “tanda-tanda kegiatan” yang bersifat insidental, bahkan epifenomenal. Perlawanan yang sesungguhnya, bersifat 1) terorganisasi, sistematis, dan kooperatif. 2) berprinsip atau tanpa pamrih, 3) mempunyai akibat -akibat revolusioner, dan/atau 4) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Dengan penjelasan di atas, ada kecenderungan untuk menegaskan bahwa perlawanan yang bersifat politis harus diwujudkan dalam bentuk yang lebih sistematis.

Masih dalam buku yang sama, Scott (1993) kemudian memaparkan tanda-tanda sebuah organisasi yang bersifat insidental yaitu: 1) tidak terorganisasi, tidak sistematis dan individual, 2) bersifat untung -untungan dan ‘berpamrih’ (nafsu akan kemudahan), 3) tidak mempunyai akibat -akibat revolusioner, dan/atau 4) dalam maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem

(15)

dominasi yang ada. Ciri perlawanan tipe ini ketika dikonfrontasikan dengan tipe perlawanan yang bersifat politis seolah -olah memperlihatkan kenyataan bahwa tipe perlawanan yang bersifat epifenomenal - tipe perlawanan kedua - tidak mempunyai arti apa-apa dalam kerangka gerakan.

Satu alternatif pemikiran kemudian dikemukakan tentang bagaimana memandang bentuk perlawanan yang muncul dari sebuah organisasi yang relatif lebih baik namun tidak dilakukan secara radikal. Organisasi sebagai ciri perlawanan yang bersifat politis (m enurut Scott) masih memerlukan sudut pandang lain ketika secara kontekstual petani yang terlibat dalam persoalan struktural perlu menerapkan strategi lain agar perlawanan yang dikembangkan oleh komunitas yang bersangkutan menjadi tidak tampak. Perlawanan tersembunyi dalam konteks Indonesia menjadi penting terkait dengan doktrin pembangunan yang masih mengedepankan ideologi pembangunan dengan segala doktrin modernis/developmentalis -nya. Dengan kata lain, perlawanan insidental bahkan bersifat epifenomenal dalam terminologi yang dikemukakan Scott, menemukan bentuknya yang lain dalam konteks gerakan di Indonesia.

Organisasi Petani: Respon Petani atas Kondisi Sosio -Ekonomi Politik Organisasi Petani: Konflik dan Produksi sebagai Basis

Dewasa ini konflik pertanahan menjadi isu yang marak menyangkut persoalan akses sumberdaya agraria antar subyek agraria. Konflik tersebut tidak saja dipicu oleh ketimpangan akses tetapi juga karena terusiknya masyarakat petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apa yang dikemukakan Scott tentang perlawanan petani tampaknya menjadi signifikan dalam menerangkan kasus perlawanan petani. Thesis yang diungkapkan oleh Scott menyatakan bahwa ketika batas subsistensi petani dilanggar maka diperkirakan muncul gerakan perlawanan untuk merebut kembali apa yang diambil.

Peningkatan konflik pertanahan dari waktu ke waktu menunjukkan perkembangan data yang cukup signifikan. Data KPA menunjukkan angka 1.920 kasus sengketa tanah yang melibatkan 1.284.557 KK dengan luas tanah yang disengketakan sekitar 10.512.938,41 ha. Berdasarkan fakta dan pertimbangan urgensi masalah tersebut di atas, penyelesaian konflik agraria memungkinkan dibentuknya kelembagaan yang menyangkut perjuangan masyarakat sekitar

(16)

perkebunan. Berbagai literatur menunjukkan bahwa petani melakukan pengorganisasian dilatarbelakangi oleh berbagai sebab diantaranya adalah sosial, ekonomi, politik, dan kekuasaan yang cenderung memarjinalkan keberadaan dirinya.

Sebuah fenomena menarik ketika petani yang biasanya sulit diorganisir, pada tahun-tahun 1990-an ‘mendadak’ melakukan upaya-upaya menata diri dalam bentuk organisasi. Selain alasan konstelasi politik yang menguat kearah reformasi - untuk organisasi petani yang berangkat dari kasus tanah - tampaknya transformasi agraria menjadi motivasi utama melakukan pengorganisasian. Transformasi agraria selalu menyangkut perubahan organisasi sosial produksi, yaitu perubahan hubungan sosial didalam proses produksi, misalnya dari hubungan klien-patron menjadi hubungan buruh-majikan. Perubahan demikian menyangkut perubahan didalam sistem dan struktur penguasaan faktor-faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja, dan modal. Transformasi agraria dapat mengakibatkan petani menjadi termarjinalkan, terdesak ke kawasan yang tidak subur atau miskin sumberdaya. Sebagian besar sumberdayanya jatuh ketangan subyek agraria lain, negara atau melalui negara ke tangan swasta.

Dari tiga tipe struktur agraria (Wiradi, 2000) konteks Indonesia seharusnya mengarah pada tipe populis/neo -populis dimana sumber -sumber agraria dikuasai oleh keluarga/rumah tangga pengguna. Perjuangan gerakan rakyat untuk sampai pada struktur agraria yang populis mengarahkan pada tindakan pengorganisasian. Kesadaran tumbuhnya organisasi itu disadari maupun tidak merupakan suatu proses panjang menuju terwujudnya reforma agraria dimana konsep tanah untuk penggarap (land to the tiller) benar-benar diperjuangkan dan penghapusan ketimpangan pemilikan lahan dan peningkatan akses petani terhadap lahan. Seperti yang diungkapkan oleh Suhendar (2002) bahwa upaya perwujudan land

reform by leverage memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. adanya organisasi petani yang kuat. Land reform by leverage dilakukan atas dorongan dan tekanan organisasi petani. Untuk melakukan tekanan dibutuhkan organisasi petani yang kuat, baik ditingkat lokal tempat kebijakan operasional diputuskan maupun ditingkat nasional.

(17)

2. pemerintah terdesentralisasi. Dalam sistem pemerintahan sentralistik, proses pengambilan keputusan dilakukan secara terpusat sehingga keberagaman lokal tidak terakomodasi.

3. adanya political representatif dari petani.

Secara ideal, keberadaan organisasi yang kuat dapat terbentuk dari terciptanya jaringan antara petani dengan lembaga lain di luar petani terutama pembuat kebijakan, sehingga gerakan petani yang muncul dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan pada aras pemerintah. Namun satu hal yang juga tidak boleh terlupakan adalah bagaimana organisasi yang lebih besar tersebut membuat basis perjuangan melalui pembentukan organisasi-organisasi tani lokal yang merupakan subyek agraria yang terkait erat dengan sumberdaya lahan.

Alasan lain menyangkut pembentukan organisasi diluar konflik lahan adalah alasan peningkatan pendapatan. Dengan demikian produksi menjadi basis terbentuknya organisasi petani. Aspek produksi menjadi kajian yang menarik karena dalam sebuah struktur sosial yang sudah mapan, beberapa literatur menunjukkan bahwa organisasi sulit terbentuk karena faktor keamanan telah dicapai dalam struktur masyarakat tersebut. Dalam hal ini petani memiliki prinsip kapitalis murni sehingga kegiatan produksi menjadi prioritas penting. Rasionalitas petani yang diungkapkan Popkin menunjukkan bahwa petani cenderung berusaha memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin untuk meningkatkan produksi (Popkin, 1986). Berangkat dari alasan demikian, maka organisasi tani dianggap menjadi sebuah kegiatan yang dapat menghabiskan waktu.

Jika demikian halnya, maka ada anggapan bahwa petani yang tingkat subsistensinya telah stabil, dia merupakan kapitalis-kapitalis kecil yang berusaha memanfaatkan setiap detik waktunya untuk meningkatkan surplus hingga tidak ada peluang untuk menata diri dalam bentuk kegiatan. Namun dari fakta yang ditemukan di lapang, tampak bahwa organisasi menjadi bagian dalam komunitas petani berciri demikian. Bahkan organisasi petani yang dilatarbelakangi oleh produksi digambarkan sebagai organisasi yang solid dan sistematis.

Mengapa organisasi dengan tipe seperti ini relatif lebih solid? Beberapa pandangan mengemukakan bahwa organisasi ini memfokuskan diri pada ikatan sosial, komunikasi, dan struktur organisasi (Bebbington dan Carol dalam Britt

(18)

2003). Namun demikian ada bantahan terhadap pandangan di atas dimana organisasi yang menggunakan pendekatan sektoral dengan menggunakan isu-isu ekonomi jika dikaitkan dengan perlawanan petani tidak akan sampai pada upaya gerakan merebut sumberdaya. Pendekatan yang biasa dilakukan meliputi kegiatan yang bersifat ekonomis, seperti menumbuhkan kelompok usaha simpan pinjam, usaha bersama produksi, usaha pengadaan pupuk, pertanian organik, dll menyebabkan isu-isu besar seperti masalah petani yang tidak bertanah, berlahan sempit atau tidak meratanya penguasaan akses atas tanah, dsb tidak tersentuh.

Menelaah berbagai akar masalah sebagai motivasi terbentuknya organisasi petani, benang merah yang muncul adalah terbentuknya organisasi petani sebagai strategi perlawanan. Perlawanan yang muncul menemukan perbedaan bentuk ketika dihadapkan dengan konteks masalah dan konteks pemahaman konsep perlawanan. Untuk itulah kemudian muncul tipe organisasi yang menerapkan advokasi dalam pola -pola gerakan yang cenderung bersifat radikal. Disisi lain muncul organisasi yang melakukan politik perlawanan dengan strategi yang lebih halus untuk menghindari resistensi yang kuat dari elit birokrasi. Jika dilihat dalam sudut pandang reforma agraria, kedua strategi ini sesungguhnya bermuara pada terciptanya transformasi masyarakat dalam upaya mencapai keadilan agraria. Perbedaan hanya pada prioritas pilihan masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Komunit as satu melihat bahwa persoalan land tenure dapat menjadi pintu masuk untuk dapat mencapai keadilan agraria. Sedangkan yang lain melihat bahwa persoalan land tenancy menjadi sebuah persoalan mendesak untuk segera diselesaikan. Sekali lagi ini hanya masalah prioritas, terkait konteks masalah dan pemahaman akan ideologi perlawanan yang dianut komunitas yang bersangkutan. Dalam beberapa hal, strategi tersebut harus dapat saling melengkapi karena naif ketika melihat persoalan petani hanya dari satu sudut pandang. Diyakini dalam berbagai literatur (Koentjaraningrat, 1984; Tjondronegoro, 1984; Scott, 1993; Wolf, 1985; Fauzi, 1999; dll) bahwa petani sebagai sebuah entitas sosial mengalami berbagai persoalan yang multidimensional.

Organisasi Komunitas

Intervensi pemerintah dalam mentransfer program -program pembangunan disalurkan melalui organisasi formal. Organisasi ini berfungsi sebagai

(19)

perpanjangan tangan pemerintah. Sebagai turunan dari paradigma modernis/developmentalis, organisasi ini diarahkan untuk mendukung terintegrasinya komunitas kedalam sistem kapitalis/pasar dominan. Dalam paradigma modernisasi, organisasi bentukan pemerintah merupakan bentuk lanjut dari konsep modernisasi yang paternalistik dan topdown di era 1950 hingga 1960. Respon atas karakter pembangunan yang bersifat topdown dilakukan melalui pendekatan CD.

Kontinuum lanjut dari CD dikemukakan oleh Hollnsteiner (1979) sebagai

Community Organization (CO). Konsep CD tipe petani muncul dalam kondisi

politik yang relatif bebas di tahun 1998. Berbeda dengan CD tipe pemerintah, CD petani lebih mengarahkan pada upaya memperjuangkan prasyarat sendiri untuk dapat membangun kemandirian. Ditilik dari ciri tersebut, maka CO bisa dikategorikan sebagai sebuah upaya perlawanan yang mengadopsi desain CD. Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, perlu dilihat bangunan organisasi dan karakter yang muncul. Dengan demikian dalam penelitian ini akan dikaji tentang penyebab dan kemunculan, tujuan, strategi & aktivitas, jaringan yang dibangun serta implikasi terhadap persoalan yang dihadapi. CD gaya petani menghasilkan kemandirian petani yang berbasis pada kebutuhan dan permasalahan nyata yang dirasakan petani. Dalam perkembangannya, model CD diwujudkan dalam bentuk organisasi rakyat dengan mengembangkan pemberdayaan, empowerment, partisipasi, dan lain -lain.

Sebagai kritik atas production-centered development, patut disayangkan bahwa CD belum mencapai hasil yang maksimal. Konsep partisipasi masih merujuk pada proses integrasi komunitas untuk melayani golongan tertentu. Cooke dan Kothari (2002) mengemukakan partisipasi sebagai tirani baru dalam mengkooptasi komunitas dan masih tetap menciptakan ketergantungan pada struktur pasar global. Sebuah alternatif melibatkan komunitas secara sungguh-sungguh harus dibangun hingga bermuara pada kemandirian. Hal ini berangkat dari sebuah fenomena dimana komunitas sebagai satu unit lokal selalu menjadi sasaran berbagai proyek dan ideologi global. Dengan demikian, sebagai satu komunitas yang sudah terjalin dengan dunia global, karakter perlawanan yang dikemukakan Scott (1993) tidak mencukupi untuk menjelaskan fenomena yang

(20)

terjadi pada organisasi petani di Salatiga. Tipe perlawanan dalam kajian Scott terbatas pada aksi boikot, komunitas menolak tunduk pada struktur sosial yang lebih mapan, serta tidak memberikan alternatif solusi atas persoalan yang terjadi.

Dalam kerangka gerakan dan pembangunan, pengorganisasian petani menjadi bagian dari proses penguatan petani. Pengorganisasian petani dalam konteks pembangunan menunjukkan CO merupakan tipe pengorganisasian yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari pengorganisasian berciri CD, Hollnsteiner (1979). Dalam kerangka CO, organisasi petani lebih dipandang sebagai paradigma baru dalam mengorganisir petani. Hal ini terkait dengan ketidakpuasan atas bentuk organisasi pada masa orde baru yang menghasilkan organisasi yang lebih berciri topdown dan hanya memenuhi kebutuhan stakeholder tertentu. Organisasi komunitas melakukan pendekatan memobilisasi orang untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk paksaan, menganalisis dan mengembangkan strategi untuk mengurangi prinsip -prinsip top down dari pemerintah. Dalam prosesnya, anggota organisasi tipe ini tumbuh dalam bentuk yang lebih efisien, memiliki kesadaran pribadi dan memiliki kapasitas untuk menolong kehidupan di masa depan.

Sejak masa orde baru, konsep organisasi petani dimaknai pemerintah dalam konteks pembangunan. Kepentingan yang diusung adalah menggulirkan agenda pembangunan secara topdown. Dengan begitu, hingga tahun 1990-an organisasi petani di tingkat lokal merupakan perpanjangan tangan pemerintah. Campur tangan pemerintah memunculkan kegagalan ketika ditingkat lokal kurang terjadi penjalinan fungsi antara bentuk-bentuk organisasi formal dengan lembaga tradisional.

Pandangan lain mencoba mengemukakan bahwa lembaga ditingkat lokal yang berangkat dari kebutuhan komunitas dapat menjadi alat bagi petani untuk mencapai tujuan tertentu dalam hubungannya dengan aktor luar. Hasil penelitian Firmansyah dkk (1999) membuktikan bahwa organisasi yang dibentuk oleh petani dapat secara efektif dan efisien membangun kekuatan petani di tingkat lokal. Keberhasilan dibuktikan melalui makin banyaknya organisasi petani yang tumbuh dan berhasil mencapai tujuan organisasinya. Organisasi yang tumbuh dibangun dengan berbagai is u awal pembentukan organisasi tergantung tipe akar masalah

(21)

yang dihadapi petani. Strategi perlawanan yang muncul akan menemukan perbedaan bentuk ketika dihadapkan dengan konteks masalah dan ideologi aktivis (melahirkan pilihan radikal atau halus). Perbedaan pilihan pintu masuk, dalam konteks tujuan besar reforma agraria bermuara pada terciptanya transformasi masyarakat dalam upaya mencapai keadilan agraria.

Merujuk posisi organisasi dalam perkembangan gerakan, organisasi merupakan perkembangan lanjut dari gerakan sosial. Dalam terminologi gerakan, organisasi/terbentuknya organisasi merupakan satu fase tersendiri setelah sebuah komunitas terlebih dahulu mengalami fase protes dan mobilisasi. Tahapan tersebut berangkat dari karakter petani pada masa tersebut. Dalam kerangka gerakan, pengorganisasian petani juga sebagai bagian dari proses penguatan struktural organisasi. Kecenderungannya, dalam gerakan, sebuah aksi kolektif menjadi organisasi berangkat dari tipe masalah yang menyangkut kasus tanah/konflik. Isu yang dibangun berimplikasi pada ciri aksi yang dipilih yakni bersifat spontan dan sporadis dan terkadang primordial.

Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa pembentukan organisasi petani mengalami hambatan terutama ketika dikaitkan dengan sifat dan karakter petani. Wolf (1985) mengemukakan ciri dan karakter petani dari sudut pandang antropologis lebih memperlihatkan satu tatanan petani yang terikat dengan ekologi dan tidak melakukan usaha dalam skala ekonomi. Meski secara sosial mereka terkait dengan tatanan sosial yang lebih kompleks namun masih bekerja secara sendiri-sendiri sehingga sulit diorganisir. Hal ini senada dengan Scott (1994) yang menganalogikan petani sebagai sekarung kentang yang berada dalam satu karung namun satu sama lain terpisah. Dalam hal ini sangat berbeda dengan karakter buruh industri yang terbuka dan lebih terbiasa dengan organisasi dan pengorganisasian.

Organisasi Vis a Vis Institusi

Terminologi institusi dan organisasi seringkali dapat saling dipertukarkan tanpa merubah makna dan definisi diantara keduanya (Uphoff, 1986). Hal tersebut mengacu pada definisi bahwa institusi merupakan kompleks norma dan perilaku yang terdapat dalam nilai-nilai kolektif. Dalam hal ini penjelasan bahwa institusi

(22)

dapat berada dalam organisasi mengacu pada pokok pikiran bahwa institusi sebagai norma akan melekat pada bangun organisasi.

Esman dan Uphoff’s (1984) memberikan perhatian pada pentingnya organisasi lokal sebagai variabel pokok dalam pembangunan pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi dibangun atas dasar kebutuhan dan kepentingan tertentu tergantung kesepakatan diantara pendirinya. Sebagai organisasi lokal, anggota dapat mengambil tugas dengan sifat yang multidimensi, khusus, maupun tugas yang menyangkut kebutuhan anggota.

Perkembangan organisasi dibahas oleh Selznick dalam Etzioni (1985), perhatian yang mendalam terhadap masalah intern akan menyebabkan organisasi lebih banyak memikirkan dirinya sendiri sehingga tidak lagi melayani tujuannya semula. Kondisi ini memungkinkan organisasi melakukan penggantian, penambahan, dan perluasan ruang lingkup tujuan. Kecenderungan mencari tujuan baru dilakukan apabila tujuan telah tercapai atau tidak tercapai. Hal demikian menunjukkan kebutuhan yang sangat mendalam untuk tetap mempertahankan eksistensi organisasi yang telah dibentuk.

Tipe ideal organisasi digambarkan dalam buku Etzioni (1985) dimana pembentukan organisasi akan terkait dengan tujuan kelompok dalam mendirikan organisasi. Etzioni menerangkan bahwa organisasi sebagai unit sosial (atau pengelomp okkan manusia) yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu akan mengembangkan strategi dalam memenuhi tujuan yang ditetapkan.

State of the art pembahasan teoritis tentang organisasi dimulai sejak

lahirnya teori klasik administrasi atau aliran manajemen ilmiah (scientific

management). Aliran ini lebih menekankan bahwa manusia berorganisasi

dilandasi oleh alasan ekonomi. Pendekatan ekonomis menghasilkan karakter organisasi yang cenderung formal dan kaku dengan definisi pembagian kerja yang tegas. Dari aliran ini muncul ciri khas organisasi formal yang merupakan cetak biru pembentukan organisasi (Etzioni, 1985).

Aliran di atas oleh sebagian orang dianggap terlalu kaku sehingga muncul kritik yang melahirkan aliran baru yaitu aliran hubungan manusia. Ide aliran hubungan manusia lebih menekankan kepada elemen emosional, tidak berencana

(23)

serta non-rasional dalam perilaku organisasi. Aliran ini mementingkan rasa persahabatan dan pengelompokkan peker ja bagi kemajuan organisasi. Aliran ini dalam perkembangannya melahirkan konsep organisasi informal. Ciri informal tersebut terkadang dipandang sebagai apa yang tersirat di balik struktur organisasi yang formal; selain itu tidak jarang dipandang juga sebag ai bagaimana hakekat kehidupan organisasi sebenarnya yang justru sangat berbeda dengan cetak biru maupun bagan-bagan yang telah tersedia.

Dua aliran di atas menyajikan sebuah realitas dikotomis antara tipe organisasi formal dan informal. Pada prakteknya, di tingkat komunitas lokal dikotomi demikian tidak ditemukan karena dalam banyak hal seringkali formal dan informal selalu menjadi bagian dari sebuah organisasi. Dalam kerangka teoritis, telaah terhadap dua karakter melahirkan tradisi ketiga yakni organisas i yang merupakan gabungan antara organisasi formal dan informal dengan konsep organisasi yang lebih lengkap dan terpadu.

Etzioni (1985) memberikan definisi organisasi sebagai unit sosial (atau pengelompokkan manusia) yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh anggota organisasi. Sampai saat ini ditemukan fakta bahwa organisasi menjadi wadah komunitas dalam upaya mengelola kegiatan hingga sampai pada tujuan yang telah ditetapkan.

Terkait dengan arah penelitian yang bersifat eksploratif, penelitian ini bertujuan menemukan pola-pola pembentukan organisasi petani. Penelitian Firmansyah dkk (1999) menemukan bahwa karakteristik organisasi yang selama ini muncul adalah 1) dibangun atas dasar kebersamaan, 2) ketergantungan pada peran aktivis/kyai/tokoh, 3) gerakan lebih terorganisir sebagai respon atas penguasa atau lawan yang terorganisir.

Karakter demikian tidak pelak lagi mempunyai dua implikasi; melemahkan atau justru memperkuat organisasi. Untuk lebih mendalam ketika melihat keberadaan organisasi, perlu penjelasan lebih lanjut tentang karakter organisasi. Organisasi yang dibentuk dari konflik tanah biasanya menggunakan isu kasus dengan ciri organisasi hanya cukup untuk bertahan hidup, bersifat sporadis, memiliki daerah cakupan terbatas serta belum terorganisir. Sedangkan organisasi yang dibentuk dari produksi atau peningkatan pendapatan berciri

(24)

membangun kemandirian, melepaskan diri dari struktur pemerintah, dan menggunakan isu ekonomi dalam berorganisasi.

Namun demikian, apapun bentuk atau tipe organisasi, yang jelas keberhasilan organisasi tidak lepas dari bentuk -bentuk strategi organisasi yang dapat dianalisis berdasarkan karakter dan jaringan yang dibentuk oleh organisasi. Setiap bentuk strategi organisasi harus diarahkan bagi penguatan hak atas tanah dan pengelolaan sumber-sumber agraria. Pada akhirnya karakteristik yang terbangun akan mengarah pada upaya penguatan kedudukan petani.

Dengan mempelajari penyebab timbulnya organisasi berbasis konflik, tampak bahwa organisasi tipe ini menunjukkan sebuah sifat organisasi yang belum terstruktur karena muncul tergantung tipe persoalan pada saat itu. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian yang sama bahwa salah satu kelemahan mendasar gerakan petani pada dekade 1980-an adalah terletak dalam kenyataan bahwa gerakan -gerakan tersebut belum terorganisir dengan baik sehingga mudah ditumpas dan dikalahkan. Kondisi ini yang memicu aktivis melakukan pengorganisasian secara intensif sehingga lahirlah serikat petani di berbagai daerah. Meski kesiapan berorganisasi telah dipupuk sejak periode 1980-an, kenyataan masih menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga persoalan besar yang masih dihadapi petani terkait dengan pengorganisasian, diantaranya (Firmansyah, 1999): pertama, persoalan daya tahan. Daya tahan petani dalam aktivitas gerakan relatif terbatas, menyangkut ketersediaan sarana ekonomi dalam mendukung kegiatan. Kedua, ketergantungan pada tokoh. Peralihan peran tokoh mengalami pergeseran dari dekade 1980-an dengan gerakan petani pada masa kolonial. Kep emimpinan pada dekade 1980-an dipegang oleh kaum muda, sedangkan pada masa kolonial tokoh dipegang oleh kaum elit. Namun demikian fenomena tetap menunjukkan bahwa ketika tokoh menghilang, petani serta merta kehilangan semangat melanjutkan perjuangan. Ketiga, persoalan kemampuan berorganisasi dan manajemen gerakan.

Persoalan di atas makin rumit jika tidak segera disikapi dengan penataan manajemen organisasi. Pada beberapa bentuk organisasi diluar tipe konflik, manajemen lebih diarahkan pada peningkatan kapasitas organisasi. Dengan demikian karakter organisasi yang muncul menjadi berbeda dimana organisasi

(25)

tipe ini lebih fokus pada penataan perkembangan kegiatan dan aktivitas anggota. Pengorganisasian pada organisasi yang tumbuh dari persoalan non-konflik dikerangkai oleh paradigma bahwa perjuangan kemandirian petani harus pula didukung oleh sistem organisasi yang baik, tidak sekedar menyandarkan pada gerakan perlawanan yang frontal/keras. Dalam pandangan organisasi yang tumbuh dari persoalan non-konflik, perjuangan petani tetap mengarah pada reforma agraria dengan dua jalan yang berbeda.

Menjadi penting untuk kemudian melihat sejauh mana organisasi yang memiliki manajemen organisasi yang lebih solid mampu mendefinisikan gerakan dalam setiap langkah-langkah berorganisasi. Dalam hal ini manajemen dan karakter organisasi yang dibangun tidak dipahami sebatas peningkatan kapasitas, tetapi lebih dari itu merupakan strategi menciptakan perlawanan. Dengan demikian pemaknaan bangunan organisasi petani tidak dipandang secara sempit. Pilihan atas pendekatan CD dalam membangun sebuah organisasi terkait dengan pilihan yang dianggap sesuai dengan konteks masalah. Dalam kepentingan tersebut, pendamping (biasanya NGO atau orang maju dalam komunitasnya) cenderung memilih organisasi yang telah ada.

Pengalaman pengorganisasian petani masa orde baru memperlihatkan konsep organisasi petani dimaknai oleh pemerintah dalam konteks pembangunan. Pembentukan organisasi petani pada masa ini lebih untuk menghubungkan kepentingan pemerintah dengan komunitas lokal. Dengan demikian organisasi di tingkat lokal seringkali hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam menggulirkan agenda-agenda pembangunan yang bersifat top down. Dalam pembahasan yang agak berbeda, organisasi seringkali diarahkan pada sebuah organisasi bentukan pemerintah untuk merespon program -program pembangunan dari atas (Israel, 1990; Cernea, 1988). Program pembangunan yang diintroduksikan ke tingkat desa membawa serta ideologi baru tentang peran masyarakat lokal dalam proyek pembangunan. Alasan ini yang mendorong pemerintah membentuk organisasi petani untuk memfasilitasi pembangunan di tingkat desa.

Israel (1990) dalam tulisannya tentang program irigasi bank dunia memaparkan kelembagaan irigasi yang dibangun oleh pemerin tah. Dalam

(26)

pemaparannya, Israel mengemukakan bahwa organisasi di tingkat komunitas diperlukan pemerintah untuk mensosialisasikan proyek pembangunan. Senada dengan tulisan Cernea (1988) yang membahas terbentuknya organisasi di tingkat petani namun dengan pendekatan topdown . Dengan begitu, sampai tahun 1990-an organisasi petani yang ada merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam berbagai bidang misalnya pertanian dengan kelompok tani-nya, demikian juga kehutanan dengan KTH-nya.

Tulisan Tjondronegoro (1984) kemudian menunjukkan bahwa pembangunan dengan pendekatan dari atas hanya menegasikan keberadaan lembaga lokal. Ketika program masuk ke masyarakat, muncul organisasi bentukan pemerintah. Seperti yang dikemukakan di awal bahwa organisasi dengan ciri demikian tidak cukup efektif memenuhi kebutuhan di tingkat lokal. Organisasi bentukan lebih berorientasi pada kekuasaan dan pemerintah sehingga gagal menjadi bagian dari masyarakat. Penelitian Tjondronegoro (1984) berhasil menunjukkan bahwa di tingkat lokal ada relung sodality yang terbangun di tingkat dukuh. Sodality inilah yang kemudian menjadi solusi atas ketidakberhasilan pembangunan melalui organisasi melalui pendekatan alternatif kelembagaan.

Pandangan lain mencoba mengemukakan bahwa lembaga di tingkat lokal dan berangkat dari kebutuhan komunitas itu sendiri dapat menjadi alat bagi petani untuk mencapai tujuan tertentu dalam hubungannya dengan aktor luar. Hasil penelitian Firmansyah dkk (1999) membuktikan bahwa organisasi yang dibentuk oleh petani dapat leb ih efektif dan efisien dalam membangun kekuatan petani di tingkat lokal. Keberhasilan dibuktikan melalui makin banyaknya organisasi petani yang tumbuh dan berhasil mencapai tujuan organisasinya.

Hipotesis Pengarah

Untuk sampai pada analisis tentang organisasi petani, penelitian ini menggunakan hipotesis pengarah yang sekaligus digunakan sebagai pedoman peneliti menggali fakta-fakta lapang yang sesuai dengan pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini.

1. Perlawanan petani dan organisasi petani mengusung ide kedaulatan petani sebagai respon marjinalisasi masyarakat petani.

(27)

2. Konteks ekonomi dan politik akan menyumbang pada bentuk organisasi yang dibangun, sekaligus pola-pola perlawanan yang dikembangkan oleh organisasi yang bersangkutan.

3. Karakter perlawanan mempunyai watak, dan moda aksi yang terkait dengan konteks permasalahan dan paradigma pembangunan skala nasional dan global.

Kerangka Pemikiran

Analisis perlawanan petani dalam pandangan Harper (1989) dapat dilakukan dengan menggunakan tiga pend ekatan yaitu bagaimana, mengapa, dan dalam kondisi apakah sebuah organisasi8 bisa muncul. Konteks sosial yang memicu perlawanan harus dilihat secara holistik. Komunitas harus dipandang sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga tingkat, yaitu ekonomi, politik dan ideologi dimana kontradiksi berkembang di dalam maupun antar aras.

Jalinan aspek ekonomi, politik, dan ideologi harus dipahami sebagai basis pijakan menganalisis konteks sosial dibangunnya perlawanan melalui pembentukan organisasi petani. Alternatif memindahkan pola perlawanan - akibat pengaruh konteks sosial komunitas - dari radikal menuju perlawanan halus dan lebih berciri CD perlu melihat konfigurasi kekuasaan negara atas faktor ekonomi dan politik sebagai dasar analisis. Dengan kata lain, perlawanan petani yang berangkat dari persoalan spesifik melahirkan pendekatan organisasi yang khas pula. Pilihan atas bangunan organisasi pada akhirnya menjadi strategi lanjut dari organisasi untuk mengembangkan perlawanan.

Sebagai organisasi yang mempunyai tujuan memperkuat posisi petani dan memperjuangkan kedaulatan petani, karakter perlawanan harus mengarah pada perlawanan yang berkelanjutan. Dengan demikian dalam penelitian ini akan dikaji tentang penyebab dan kemunculan, tujuan, strategi & aktivitas, jaringan yang dibangun serta implikasi terhadap persoalan yang dihadapi. Pendekatan pengembangan komunitas gaya petani menghasilkan kemandirian petani yang berbasis pada kebutuhan dan permasalahan nyata yang dirasakan petani. Dalam hal ini organisasi sebagai bentuk perlawanan yang bersifat politis masih

8

Organisasi dapat didefinisikan sebagai manifestasi perlawanan petani. Melalui organisasi petani dapat melawan tekanan struktural yang muncul. Organisasi juga bisa dianggap sebagai perkembangan lanjut strategi perlawanan yang dikembangkan petani.

(28)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah EKONOMI Pola pertanian konvensio nal menuju pertanian alternatif

Penguatan, pengakuan serta perlindungan yang adil atas hak petani terhadap akses keadilan dan kesempatan

Karakter perlawanan • Pendekatan CD • Pendekatan transformasi

gerakan rakyat

• Memindahan perlawanan radikal menjadi halus • Menjalin hubungan

dengan pemerintah sebagai langkah taktis

Organisasi

mengalami kontinum perkembangan, fokus pada isu advokasi hak atas tanah Organisasi yang dibentuk

dari produksi atau income generating, berciri: • Menggunaka n isu

ekonomi • Mensistematisasi

gerakan rakyat • Melepaskan diri dari

struktur pemerintah • Membangun kemandirian Dipicu krisis moneter Dipengaruhi konteks politik negara/global POLITIK • Tekanan struktural • Akses terhadap input pertanian • Peningkatan eksploitasi • Kemerosotan status sosial

• Pola pengelolaan sumber-sumber agraria

• Ketergantungan pada kekuatan eksternal (pasar, input pertanian mahal) Dimensi masalah petani secara umum Dipengaruhi ideologi aktivis

Terkait konteks sosio-ekonomi dan politik (permasalahan) petani

Memperkuat posisi petani menghadapi dominasi negara dalam berbagai kebijakan baik ekonomi dan politik dalam bentuk akses dan

kontrol

PERLAWANAN TERSAMAR Melawan di bawah payung slogan-slogan

pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi kearah struktur partisipatif

Production Center Development

(29)

memerlukan sudut pandang lain untuk memahami secara utuh. Ketika petani terlibat dalam persoalan struktural maka perlu diterapkan strategi lain agar perlawanan yang dikembangkan oleh komunitas yang bersangkutan tidak tampak dan tidak menimbulkan penolakan dari pihak yang dilawan. Penyamaran ini, dalam konteks Indonesia menjadi penting terkait ideologi pembangunan dengan segala doktrin modernis/developmentalis-nya.

Jika dikaitkan dengan pemaparan Korten (2001) dapat dikemukakan bahwa organisasi mengarah pada paradigma people-centered development dan merujuk pada upaya transformasi pembangunan. Dalam sumbangan pemikiran Korten, organisasi dengan karakter demikian dapat dikategorikan kedalam organisasi rakyat generasi keempat yang bicara tentang konsep atau ideologi strategi alternatif pembangunan dan melihat bahwa masalah dasar pembangunan tidak lagi berskala lokal/nasional, tetapi global. (Gambar 1.)

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah  EKONOMI Pola pertanian konvensio nal menuju pertanian alternatif

Referensi

Dokumen terkait

Guru meminta siswa secara berkelompok merancang percobaan sesuai dengan LKS dengan alat dan bahan yang sudah disediakan diantaranya adalah: magnet permanen, kawat lurus

Pilar pertama yang tebawah adalah pilar bantuan sosial (social assistance) bagi mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk

Jumlah manfaat terutang dan tertanggung yang sebenarnya tidak dijamin dan tergantung pada tingkat imbal hasil yang sebenarnya (tunduk pada tingkat imbal hasil terjamin minimum) pada

of Malaya.. • Hanya terdapat beberapa jenis Iaman web sistem kalendar yang menyediakan menu-menu pilihan kepada pengguna untuk berinteraksi dengan pentadbir seperti

Hal menarik lainnya yang ada dalam gerakan sosial petani Jepang adalah bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat bawah khususnya petani dan samurai

Oleh karenanya, jawaban pertanyaan atas bagaimana peranan hukum selama ini terkait masih terjadinya krisis multidimensi yang melanda bangsa kita akhir-akhir ini dapatlah

Berbagai literatur tentang bentuk perlawanan yang dilancarkan petani tentang perlawanan dalam definisi Scott misalnya dikemukakan oleh (Heryanto, 2000) tentang perlawanan

Latih sponsor eksekutif dan asisten mengenai beberapa kemampuan Office 365 untuk membantu mereka menunjukkan cara bekerja dengan cara yang baru dan lebih efektif dalam