• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSIDING PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN GLOBAL UNIMA IAPA INTERNATIONAL SEMINAR & ANNUAL CONFERENCE 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSIDING PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN GLOBAL UNIMA IAPA INTERNATIONAL SEMINAR & ANNUAL CONFERENCE 2015"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PROSIDING

UNIMA IAPA INTERNATIONAL SEMINAR

& ANNUAL CONFERENCE 2015

PERAN PEMERINTAH DAERAH

DALAM PERSAINGAN GLOBAL

Editor:

Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si

Dr. Marthinus Mandagi, M.Si

27-29

September

2015

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MANADO

2015

(2)

P R O S I D I N G

“PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN

GLOBAL”

KERJASAMA PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI

NEGARA FIS UNIMA DAN INDONESIAN ASSOCIATION FOR

PUBLIC ADMINISTRATION (IAPA)

Editor:

Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si

Dr. Marthinus Mandagi, M.Si

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MANADO

(3)

“PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN

GLOBAL”

© Penulis

Reviewer:

Linna Miftahul Jannah

M. R. Khairul Muluk

Falih Suaedi

Sintaningrum

Perancang Sampul:

Jesica Karouw

Penata Letak:

Jeane Mantiri

Diterbitkan atas kerjasama:

Program Studi Ilmu Administrasi Negara FIS UNIMA dan Indonesian

Association For Public Administration (IAPA)

ISBN 978-602-73770-1-1

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2 :

1.

Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan

atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa

mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72 :

1.

Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing

paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau

pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima

milyar rupiah).

2.

Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum

suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud

(4)

pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(5)

KATA PENGANTAR

Administrasi Negara/Publik menjadi salah satu jurusan yang saat ini popular dan tersorot. Kami

yang berada di Program Studi Universitas Negeri Manado mempromosikan Program Studi kami

dengan membuat Seminar Internasional, kami juga menjadi tuan rumah dalam konfrensi tahunan

Indonesian Association for Public Administration (IAPA).

“Peran Pemerintah Dalam Persaingan Global” menjadi tema dari seminar ini, kami

menghadirkan Dr. James Cullin (Humber Bussinness School Canada), Mary Heather White

(Manager SEDS Field), Prof. Samrit Yossomsakdi, Ph.D (Vice President PAAT Thailand), and

Erica Larson (Boston University) serta Roberta dan Naomi (Napoli University Itali) sebagai

pembica utama dalam seminar ini.

Dari tema diatas, kami membuat pokok-pokok atau sub tema yang akan dibahas:

1. Enhancing Public Trust dan Ethics

2. Developing Local Competitiveness

3. Developing Innovative Public Service

4. Integration Of Public Policy

Kami juga menghadirkan beberapa pembahasan khusus oleh PSPA dan IAPA yaitu Comparative

Village Between Indonesian and the Philippines and Comparative Disaster Management

between Indonesia and the Philippines.

Seminar ini dipersiapkan atau kerjasama dari Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan

Anggota IAPA.

Hormat Kami,

Panitia UNIMA IAPA International

Seminar & Annual Conference 2015

(6)

PENGANTAR EDITOR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas perkenan-Nya sehingga penyusunan

Prosiding Seminar International kerja sama Indonesian Association for Public Administration

(IAPA) dengan dengan tema: “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global.”

dapat

diselesaikan dengan baik. Seminar International ini diselenggarakan pada tanggal 27 – 29

September 2015.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang

paling dalam kepada para penulis/kontributor yang telah memberikan sumbangsih pikiran yang

dituangkan dalam artikel, sehingga memungkinkan prosiding ini dapat dirampungkan dengan

baik. Diucapkan terima kasih pula kepada jajaran Panitia UNIMA IAPA International Seminar &

Annual Conference 2015, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu

dan sumbangan pemikirannya.

Besar harapan kami, kiranya proceeding ini, terutama tulisan-tulisannya dapat memberikan

sumbangan pemikiran yang kreatif dan kritis ke depan bagi perkembangan Ilmu Administrasi

Publik, terutama bagi pembangunan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang sama-sama kita

cintai.

Kami sangat menantikan sumbangan saran atau kritik yang membangun bagi

penyempurnaan prosiding ini, akhirnya, kami mengucapkan terima kasih atas segala saran dan

masukan yang diberikan.

Selamat membaca.

Tondano, September 2015

Editor,

Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si.

Dr. Marthinus Mandagi, M.Si.

(7)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………...

i

Pengantar Editor ………...

ii

Daftar Isi………...

iii

Otonomi Daerah: Kajian Perspektif Desentralisasi Fiskal Dan Penerapan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Galih W. Pradana, Trenda Aktiva Oktariyanda………..

1

Legislasi Desa: Tantangan dan Peluang Pembuatan Kebijakan Desa Pasca Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Muhammad Yasin………

11

Peranan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.

Petrus Kase………..

21

Menentukan Pemimpin Daerah yang Berintegritas

Devie S. R. Siwij………..

35

Developing Local Competitiveness through Developing City Branding (Case Study Binjai

City, North Sumatera).

Septiana Dwiputrianti………..

44

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pengaturan Penggunaan

Jalan Umum Dan Jalan Khusus Di Provinsi Riau.

Febri Yuliani……….

63

Evaluasi Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) Di Kecamatan Bolaang

Timur Kabupaten Bolaang Mongondow

Abdul Rahman Dilapanga……….

68

Kinerja Aparatur Pemerintah Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara

Jeane Mantiri………..

76

Evaluasi Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Di Desa

Penfui Timur, Kabupaten Kupang.

(8)

iv

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Petrus Kase………..

86

Integrasi Kebijakan UMKM Guna Meningkatkan Daya Saing Lokal (Kemitraan UMKM

Provinsi Jawa Timur).

Noviyanti………

99

Kebijakan Perspektif Gender Dalam Mewujudkan Sumber Daya Manusia Unggul (Strategi

Pemerintah Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean)

Yuni Lestari………..

119

Efektivitas Hubungan Kerjasama Antar Pemerintahan (Studi Kasus Kebijakan Pendidikan

Gratis Pada Pendidikan dasar dan Menengah di Provinsi Sulawesi Selatan).

Sangkala………...

134

Mengembalikan Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Insiatif Publik: Antara Optimis dan Utopis.

Muhammad Ichsan Kabullah………...

147

Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (Studi Kebijakan Publik Pada

Penyelenggaraan Pemilihan Umum Di Kota Kotamubagu Provinsi Sulawesi Utara)

Fitri Herawati Mamonto………..

169

Lahir Procot Pulang Bawa Akta: Inovasi Layanan Publik sebagai Pemenuhan Hak Anak di

Kabupaten Banyuwangi.

Lina Miftahul Jannah………..

179

Reformasi Birokrasi Pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta.

Rizki Pratiwi, Endang Sutarti Mardiana, Arsid………..

189

Konstruksi Model Perilaku Pelayanan Street-Level Birokrasi Pada Puskesmas Di Kota

Makassar

Abdul Mahsyar………...

197

Mengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia Untuk Meningkatkan Kualitas

Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Perkotaan: Studi di Puskesmas Kota Surabaya.

Falih Suaedi……….

215

Optimalisasi Outcome Anggaran untuk Menciptakan Trust dalam Pengalokasian Belanja

Pelayanan Publik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Hendri Koeswara……….

224

Peran Komisi Pelayanan Publik ( KPP ) Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal Terhadap

Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Jawa Timur.

(9)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

v

Dian Arlupi Utami, Prasetyo Isbandono, Agus Prasetyawan, Weni Rosdiana, Agung

Listiadi………

242

Pembentukan City Branding Di Kota Tangerang Selatan

Izzatusholekha……….

289

Inovasi Pemerintah Dalam Pengembangan Pariwisata Melalui Pengembangan Ekonomi

Kreatif Di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau

Mustiqowati Ummul Fithriyyah……….

302

Rekonstruksi Model Penilaian Kinerja Aparatur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di

Provinsi Gorontalo.

Asna Aneta dan Yulianto Kadji……….

313

Mewujudkan Governance Networks melalui Program The Sunan Giri Award di Kabupaten

Gresik.

Muhammad Farid Ma‟ruf, Tauran, Yuni Siti Aisah………...

324

Mewujudkan Administrator Publik Yang Beretika Dalam Perspektif Administrasi Islam

Di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau (Studi Kasus Di Kantor Badan Promosi dan

Pelayanan Terpadu)

Afrinaldy Rustam, Rodi Wahyudi………..

336

Penerapan ‗Good Governance‘ dalam Penempatan Pekerja Migran Perempuan Antar

Bangsa.

Lely Indah Mindarti...

352

E-Governance Sebagai Alternatif Solusi Menghilangkan Konflik Sengketa Tumpang

Tindih Lahan Pertambangan Batu Bara Di Provinsi Kalimantan Timur

Himawan Nuryahya dan Secilia Fammy Rukhamah………...

376

Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Perindustrian

Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Dan Penanaman Modal Kota

Gorontalo.

Zuchri Abdussamad………..

406

Meningkatkan Kemampuan Kelembagaan Untuk Menyongsong Asean Economic

Community: Suatu Perspektif Administrasi Negara

(10)

vi

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Membangun Kepercayaan Publik Pada Birokrasi.

(11)

242

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Peran Komisi Pelayanan Publik ( KPP ) Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Jawa Timur

Dian Arlupi Utami, Prasetyo Isbandono, Agus Prasetyawan,

Weni Rosdiana, Agung Listiadi

Universitas Negeri Surabaya

dian_unesa@yahoo.com

HP.081330109556

Abstrak: Dalam rangka mewujudakan good governance yang terkait dengan pelayanan publik, maka pemerintah membuat beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang pelayanan publik. Pelaksanaan pelayanan publik tentunya tak lepas dari keluhan-keluhan dan pengaduan masyarakat yang merasa tidak/belum puas atas pelayanan pemerintah. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur menjadi pijakan bagi lahirnya lembaga baru yang bernama Komisi Pelayanan Publik ( KPP ).

Setelah melakukan analisis, maka dapat disimpulkan bahwa,KPP berperan dalam penanganan pengaduan sekaligus sebagai tugas utama KPP dimana dari tahun ketahun peran ini berjalan dengan baik. KPP berupaya melakukan kerjasama dengan 34 lembaga yang terletak di Kabupaten/Kota menjadi langkah strategis dalam optimalisasi peran KPP dalam menjalankan tugasnya.

Beberapa rekomendasi dari Tim Peneliti yaitu, supaya Gubernur menghimbau Bupati/Walikota membuat Perda tentang lembaga pengaduan ( bagi yang belum ada ), perlu pembaharuan MoU yang pernah dibuat tahun 2006, keberadaan KPP perlu dipublikasikan lebih luas, perlu MIS ( Manajemen Informasi Sistem ) dalam pengelolaan pengaduan,dan yang tidak kalah penting adalah komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengoptimalkan peran KPP.

Kategori :Public Administration Sciences Kata Kunci: lembaga pengawas, pelayaan publik

I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, terjadi perkembangan yang luar biasa di bidang pelayanan publik, baik perkembangan yang terjadi pada tataran perumusan kebijakan atau peraturan perundangan tentang

(12)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

243

pelayanan publik, implementasi kebijakan tentang pelayanan publik dan/atau penyelenggaraan pelayanan publik, kualitas dan kuantitas yang menjadi substansi pelayanan publik, kelembagaan pelayanan publik, tuntutan atau harapan publik akan pelayanan publik yang dapat memenuhi kebutuhannya, standar pelayanan publik, sampai dengan pengawasan pelayanan publik bahkan sengketa pelayanan publik.

Pada saat yang sama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat diikuti dengan kian ketatnya kompetisi di segala bidang membawa konsekuensi terjadinya perubahan di berbagai bidang. Kondisi ini selanjutnya diikuti dengan tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Imbasnya, peran organisasi terutama organisasi pemerintah dituntut untuk dapat mewujudkan kehidupan masa depan yang lebih baik, maka reformasi tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi wacana yang menarik.

Sebagai langkah konkrit pemerintah untuk mewujudkan good gavernance yang terkait dengan pelayanan publik di daerah, maka pemerintah membuat beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang pelayanan publik diantaranya dengan ditetapkannya : (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, (2) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Keterbukaan Informasi Pulik, (3) Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, (4) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara, dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal maupun terhadap sejumlah Pedoman Teknis lainnya.

Bahkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah sebagai tindak lanjut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, maka Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Republik Indonesia mengeluarkan instruksi kepada semua Gubernur, Ketua DPRD dan Bupati/Wali Kota di seluruh Indonesia untuk segera membentuk Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pelayanan Publik di daerah dengan surat Nomor : B/988/M-PAN/5/2005 tanggal 25 Mei 2005 perihal Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik.

Sebagai respon atas Inpres tersebut, Jawa Timur selanjutnya membuat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur. Hadirnya Perda 11 Tahun 2005 ini merupakan babakan baru bagi peningkatan kualitas pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur. Menariknya lagi, hadirnya Perda 11 Tahun 2005 mendahului langkah pemerintah pusat yang saat itu belum memiliki Undang Undang yang mengatur tentang pelayanan publik. Kehadiran perda 11 tahun 2005 ini terbukti ampuh dalam ikut serta mendorong semua pihak untuk melakukan pembenahan dan peningkatan kualitas pelayanan publik masing-masing. Keberadaan Komisi Pelayanan Publik yang merupakan amanah dari Perda 11 Tahun 2005 seolah telah menjadi ikon baru bagi Jawa Timur dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, suatu lembaga yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka menjadi konsekuensi logis dan yuridis untuk dilakukannya perubahan Perda Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik. Maka pada tahun 2001 lahirlah Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang merupakan revisi terhadap Peraturan Daerah Nonor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur.

(13)

244

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentunya masih membutuhkan pengaturan-pengaturan lebih lanjut yang terkait dengan teknis maupun pedoman pelaksanaannya. Apalagi penyelenggaraan tata pemerintahan yang terkait dengan pelayanan publik.

Kebutuhan pengaturan tersebut pada tingkat pemerintah daerah dapat diwujudkan dengan pembentukan Perda. Pembentukan Perda Nonor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur ini, kemudian menjadi sangat penting karena salah satu indikator kesiapan daerah dalam merespon otonomi daerah, adalah ketika daerah mampu merumuskan dan membentuk kebijakan dan atau Perda. Dalam konteks ini, keterlibatan dan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan fungsi legislasinya sangat dibutuhkan. Karena DPRD sebagai representative fungtion, diharapkan dapat lebih aspiratif dan berpihak pada kepentingan rakyat sehingga produk hukum yang dihasilkan mencerminkan komitmen keberpihakan kepada kepentingan orang banyak melalui proses yang partisipatif dengan melibatkan stakeholder yang terkait.

Keluhan muncul karena sesuatu yang alami, semata-mata adalah sintestis dari masalah pelayanan. Beberapa hal yang menyebabkan keluhan antara lain: (1) organisasi pelayanan gagal mewujudkan kinerja yang dijanjikan, (2) pelayanan yang tidak efisien, (3) pelayanan yang diberikan secara kasar atau tidak membantu, (4) gagal menyampaikan info perubahan kepada pelanggan, (5) banyaknya pelayanan yang tertunda, (6) ketidak-sopanan/ketidak-ramahan aparat pelayanan, (7) pelayanan yang tidak layak/tidak wajar, (8) aparat pelayanan yang tidak kompeten, (9) aparat pelayanan yang apatis/tidak adanya atensi, (10) Organisasi pelayanan tidak responsif terhadap kebutuhan dan keinginan serta harapan pelanggan.

Dalam rangka merespon pengaduan atau keluhan inilah kemudian Perda Nomor 8 Tahun 2011 (dulu Perda Nomor 11 Tahun 2005) tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur menjadi pijakan bagi lahirnya lembaga baru yang bernama Komisi Pelayanan Publik (KPP).

Komisi Pelayanan Publik yang selanjutnya disingkat KPP adalah lembaga yang dibentuk

berdasarkan peraturan daerah yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal atas penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, baik yang dilakukan pemerintah daerah, korporasi dan pihak-pihak lain yang mendapat dukungan dana sebagian atau seluruhnya dari APBD (Pasal 1 Ayat 13 Perda 8/2011).

Kebijakan awal yang membidani lahirnya KPP adalah Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2008 lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI), baru pada tahun 2009 disahkan Undang-Undang Nomor 25 tentang Pelayanan Publik.

Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi

penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik).

(14)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

245

Meskipun keluhan yang diungkapkan masyarakat sering dijumpai, namun pada Laporan Tahunan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur yang disampaikan oleh Ketua KPP Jatim M.M. Khoirul Anwar, menyatakan bahwa masyarakat Jawa Timur masih takut mengadu pada saat dilayani secara tidak baik oleh sebuah instansi pemerintah. Hal ini terbukti dari kecilnya jumlah pengaduan ke KPP Jatim. Selama tahun 2010 jumlah pengaduan ke KPP Jatim hanya 176 laporan, dengan rincian sebagai berikut; laporan pelayanan di bidang pertanahan 53 aduan (30%), laporan Pelayanan Kependudukan 33 aduan (18%), laporan Administrasi Pemerintahan 14 aduan (14%), laporan Pelayanan lain-lain rata-rata 3-7 aduan. Berdasarkan wilayah tempat pelapor; Surabaya sebanyak 81 pelapor (46%), Sidoarjo 9 pelapor (5%), Bondowoso 8 pelapor (5%), dan daerah lain 2-4 pelapor (Laporan SCBD Provinsi Jawa Timur, 2011).

Ada dugaan bahwa belum terjadi keseimbangan antara jumlah anggota masyarakat yang memiliki

keluhan akan pelayanan publik, dengan jumlan anggota masyarakat yang menyampaikan keluhan kepada KPP. Akibatnya KPP tidak mengetahui bahwa ada keluhan dan atau KPP tidak menjalankan peran sebagai mediator penyelesaian keluhan publik. Hal ini berimplikasi pada tidak/belum optimalnya peran KPP dalam menjalankan tugas sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur. Sementara itu dapat diketahui bahwa KPP relatif memiliki semangat untuk berkinerja terbaik, berusaha merangkul sejumlah pemangku kepentingan, serta berusaha untuk mempertanggungjawabkan penyelesaian atas pengaduan yang ada. Semangat KPP yang demikian belum cukup menjadi faktor katalis terjadinya optimalisasi pelaksanaan tugas KPP jika masyarakat tidak memberikan dukungan maksimal. Semangat KPP yang demikian dapat dilihat dari kutipan pemberitaan berikut ini.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, di penghujung 2013 ini Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur, Kembali melaksanakan kegiatan Sosialisasi dan Laporan Kinerja akhir Tahun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, laporan kinerja lembaga yang dibentuk berdasarkan Perda Jatim No. 08 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Publik ini, mendesain acara yang bersifat tematik. “Membangun Sinergi Mewujudkan Pelayanan Publik Prima di Jawa Timur” merupakan tema yang diimplementasikan dalam berbagai bentuk kegiatan yang dihelat sejak selasa (16/12/2013) hingga Jumat ini (20/12/2013). Beberapa acara yang dihelat selain laporan akhir tahun adalah Focus Disscusion Group (FGD) yang melibatkan unsur penyelenggara dan pemangku kepentingan lain dalam pelayanan publik, audiensi ke Gubernur dan DPRD Jawa Timur serta Publikasi laporan kepada masyarakat melalui beberapa media dan instrumen.

Yang menarik, dalam rangka kebersamaan dan jejaring dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik di Jawa Timur, acara FGD tersebut juga disertai dengan penandatanganan “Komitmen bersama dalam mewujudkan pelayanan publik prima di Jawa Timur. Penanda tanganan ini sendiri dilakukan di kertas berpigura. Secara terpisah peserta kedua FGD akan menanda tangani dokumen yang telah disediakan panitia. “Tujuan dari diselenggarakannya ketiga rangkaian acara tersebut adalah untuk memperoleh gambaran tentang kondisi pelayanan publik di Jatim dari berbagai perspektif, untuk melakukan pemetaan permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pelayanan publik di Jatim dan untuk mengetahui best practice dan inovasi yang telah

(15)

246

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

dilakukan sebagai bahan rujukan dan replikasi pelaksaan pelayanan publik di Jatim,” papar Hardly Stefano Ketua KPP Jatim kepada Brainmetro.com, Selasa (17/12/2013). Selain itu, Hardly menambahkan tujuan dari diselenggarakannya acara tersebut adalah untuk merumuskan rencana aksi mendorong peningkatan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik di Jatim sekaligus sebagai momentum awal adanya pembangunan sinergitas berkelanjutan antar pemangku kepentingan (stakeholders) yang berkaitan dengan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang diharapkan masyarakat (Brainmetro.com, 2013).

Pada saat yang sama dalam pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM), ada kecenderungan anggota masyarakat selaku konsumen kurang diberi ruang untuk memberikan masukan program yang seharusnya disusun untuk meningkatkan pelayanan publik. Pelibatan masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai hal, salah satunya adalah melalui survey kepuasan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

Disebutkan bahwa untuk membandingkan indeks kinerja unit pelayanan secara berkala diperlukan survei secara periodik dan berkesinambungan. Dengan demikian dapat diketahui perubahan tingkat kepuasan masyarakat dalam menerima pelayanan publik. Jangka waktu survei antara periode yang satu ke periode berikutnya dapat dilakukan 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) bulan atau sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.

Ketiadaan pelibatan masyarakat dalam mengevaluasi pelayanan yang diberikan pemerintah, jelas akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara pelayanan yang diterima dan harapan masyarakat. Akibatnya stigma pelayanan yang buruk masih akan tetap melekat karena ketidaktanggapan pemerintah.

Maksud dan tujuan diterbitkannya peraturan tersebut adalah untuk mengetahui tingkat kinerja unit pelayanan secara berkala sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik selanjutnya. Bagi masyarakat, Indeks Kepuasan Masyarakat dapat digunakan sebagai gambaran tentang kinerja pelayanan unit yang bersangkutan.

Namun jika mempelajari hasil pengukuran sejumlah lembaga penyelenggara pelayanan publik terhadap IKM-nya, maka hampir pasti hasil pengukuran mencapai nilai yang relatif tinggi, artinya kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik juga rekatif tinggi. Ironinya, keluhan publik juga masih mengemuka. Pada kasus demikian dapat diduga bahwa pengukuran IKM tidak dapat menjadi instrument andal untuk menjadi alat pengawasan pelayanan publik, sebab bisa jadi proses pengukurannya mengalami kekeliruan dan/atau ketidaktepatan.

Ketika IKM tidak dapat menjadi instrument pengukuran yang efektif, dan ketika KPP relatif belum dapat menjalankan tugasnya sebagai lembaga engawas eksternal, maka masa depan penyelenggaraan pelayanan publik sungguh mencemaskan. Dalam kerangka inilah dipandang perlu melakukan penelitian dengan judul : Kajian Optimalisasi Pelaksanaan Tugas Komisi Pelayanan Publik (KPP) sebagai Lembaga Pengawas Eksternal Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Jawa Timur.

(16)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

247

1.2 Rumusan Masalah

Suatu penelitian hendaknya menfokuskan perhatian pada upaya menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab sejumlah pertanyaan penelitian atau permasalahan penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal ?

2. Apa faktor penghambat dan faktor pendukung yang dihadapi KPP dalam pelaksanaan tugas dalam hal :

a. menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik; b. membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat

non litigasi;

c. melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik; dan

d. menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat.

3. Apa saran publik dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal

terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur? Meliputi : a. Pengguna pelayanan publik

b. Penyelenggara pelayanan publik c. Anggota KPP

d. Anggota Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur e. Pengamat Pelayanan Publik

4. Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam rangka

melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur?

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Penelitian Terdahulu

Berikut ini disajikan tentang hasil sejumlah penelitian terdahulu yang menjadi pijakan atau referensi atas dilaksanakannya penelitian ini, yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu untuk topik yang relevan.

a. Penyusunan Sistem Informasi Manajemen Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint) (SCBD Jawa Timur, 2011)

Setidaknya terdapat tiga langkah penyelesaian complain yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yaitu: (1) semua complain yang masuk dicatat, dikelompokkan, dan dianalisis menurut frekuensi dan keseriusannya, (2) kepada pelanggan ditanyakan tentang komplan yang dapat memberi dampak terbesar bagi mereka, (3) dapat ditemukan complain yang paling penting dan solusi yang tepat untuk mengatasinya.

Manajamen complain yang efektif memiliki arti strategis bagi organisasi dalam upaya membangun hubungan yang memuaskan dan menguntungkan dengan komsumen. Namun demikian, manajemen tidak selalu

(17)

248

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

dengan mudah dapat mengetahui tanggapan pelanggan atas pelayanannya. Organisasi tidak bisa mengukur respons pelanggannya hanya dari data-data formal. Pelanggan juga bisa enggan untuk melakukan pengaduan secara resmi ke organisasi. Keengganan pelanggan untuk melakukan complain dipengaruhi oleh berbagai factor baik yang bersifat personal maupun yang berasal dari system organisasi.

Organisasi dapat mengatasi hambatan-hambatan dengan berbagai cara antara lain dengan:

1. Menetapkan dan mengimplementaskan standar kinerja yang dikomunikasikan kepada pelanggan.

2. Mengkomunikasikan betapa pentingnya pemulihan layanan ini kepada seluruh jajaran organisasi mulai

dari CEO sampai karyawan lini depan.

3. Melatih pelanggan mengenai cara menyampaikan complain baik melalui brosur, pamphlet maupun

semacam buku petunjuk khusus berisi informasi lengkap mengenai prosedur penyampaian dan penanganan complain.

4. Memanfaatkan dukungan teknologi seperti customer call centers dan internet untuk memberikan

kemudahan dan akses 24 jam yang cepat serta relative murah bagi setiap pelanggan.

Mengukur Efektivitas Manajemen Komplain. Penilaian atas suatu manajemen komplain yang efektif

didasarkan pada karakteristik karakteristik utama berikut:

1. Komitmen: pihak manajemen dan semua anggota organisasi lainnya memiliki komitmen yang tinggi untuk

m endengarkan dan menyelesaikan masalah komplain dalam rangka peningkatan kualitas produk dan jasa.

2. Visible: manajemen menginformasikan secara jelas dan akurat kepada pelanggan dan karyawan tentang

cara penyampaian komplain dan pihak-pihak yang dapat dihubungi.

3. Accessible: perusahaan menjamin bahwa pelanggan secara bebas, mudah, dan murah dapat menyampaikan

komplain, misalnya dengan menyediakan saluran telepon bebas pulsa atau amplop berperangko.

4. Kesederhanaan: prosedur komplain sederhana dan mudah dipahami pelanggan.

5. Kecepatan: setiap komplain ditangani secepat mungkin. Rentang waktu penyelesaian yang realistis

diinformasikan kepada pelanggan. Selain itu, setiap perkembangan atau kemajuan dalam penanganan komplain yang sedang diselesaikan senantiasa dikomunikasikan kepada pelanggan yang bersangkutan.

6. Fairness: setiap komplain mendapatkan perlakuan sama atau adil, tanpa membeda-bedakan pelanggan.

7. Konfidensial: keinginan pelanggan akan privasi dan kerahasiaan dihargai dan dijaga.

8. Records: data mengenai komplain disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan setiap upaya perbaikan

berkesinambungan.

9. Sumber daya: perusahaan mengalokasikan sumber daya dan infrastruktur yang memadai untuk

pengembangan dan penyempurnaan sistem penanganan komplain, termasuk di dalamnya adalah pelatihan karyawan.

10. Remedy: pemecahan dan penyelesaian yang tepat (seperti permohonan maaf, hadiah, ganti rugi, refund) untuk setiap komplain ditetapkan dan diimplementasikan secara konsekuen.

(18)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

249

Pada akhirnya penelitian research-action ini merekomendasikan diberlakukannya SIM Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint) ini mempunyai kelebihan:

1.

Masyarakat dapat mengajukan keluhan secara online

2.

Data keluhan dapat dikelola secara lebih terintegrasi dan lintas sektoral

3.

Data dan laporan yang disediakan telah memenuhi kebutuhan tentang informasi pelayanan publik, dalam

hal ini pelayanan terhadap keluhan masyarakat.

Untuk dapat menjalankan SIM Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint) ini secara lebih baik, maka diperlukan pembenahan dalam hal komitmen serta payung hukum untuk memperlancar pelaksanaan sistem informasi ini.

b. Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Terpadu di Provinsi Jawa Timur (LPPM Universitas Negeri Surabaya, 2011)

Penelitian ini adalah penelitian institusional yang dilakukan di empat (4) tempat atau institusi, yakni di UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan. Permasalahan yang dicarikan jawabannya dalam penyelenggaraan penelitian ini adalah ―Aspek-aspek apakah yang sudah, sedang, dan akan dilakukan oleh UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan dalam kaitannya dengan pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu?‖.

Berdasarkan hasil analisis data sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan, bahwa:

1. Ke empat sampel dan/atau tempat daerah penelitian ini sudah membentuk Unit Pelayanan Perizinan

Terpadu, dengan nama (nomenklatur lembaga) yang berbeda-beda, dimana Provinsi Jawa Timur membentuk Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu (UPT-P2T) berdasarkan Peraturan Gubernur; Kota Malang membentuk Badan Pelayanan Perizinan terpadu (BP2T) berdasarkan Peraturan Daerah; serta Kota Madiun dan Kabupaten Pemekasan membentuk Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KP2T) berdasarkan Peraturan Daerah.

2. Ke empat sampel dan/atau daerah tempat penelitian ini sudah memiliki komitmen yang kuat untuk

memberikan Pelayanan Perizinan Terpadu. Ini terbukti dari jumlah jenis izin yang sudah dilayani penerbitannya oleh sampel dan/atau tempat penelitian ini, yakni sebagai berikut: UPT-P2T Provinsi Jawa Timur melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 205 jenis izin; BP2T Kota Malang melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 15 jenis izin; KP2T Kota Madiun melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 18 jenis izin dan 5 izin diantaranya penerbitan izinnya harus mendapat rekomendasi Walikota; dan KP2T Kabupaten Pamekasan melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 15 jenis izin. Dinamika atau perbedaan jumlah perizinan yang dilayani oleh masing-masing daerah ini dipengaruhi oleh kebutuhan publik akan perizinan yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain, disamping oleh kewenangan yang ada sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

3. Tugas, Fungsi, dan kewenangan UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota

(19)

250

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah.

4. Struktur Oragnisasi UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan

KP2T Kabupaten Pamekasan belum disesuaikan dengan Lampiran PERMENDAGRI Nomor 20 Tahun 2008 (Lihat Lampiran 3-1).

5. Standard Operating Procedure (SOP) UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T

Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan belum disesuaikan dengan PERMENPAN Nomor: PER/21/M.PAN/11/2008 Pedoman Penyusunan Standar Operational Prosedur (SOP) Administrasi Pemerintahan (lihat Lampiran 3-2).

6. Ketersediaan sumber daya (Sarana & Prasarana, SDM, dan Dana) di UPT-P2T Provinsi Jawa Timur,

BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan sudah cukup memadai dan/atau tidak pernah sampai mengganggu proses pelaksanaan tugas dan fungsi instansi yang dimaksud.

7. Keberadaan keberadaan UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan

KP2T Kabupaten Pamekasan adalah sangat mempermudah dan/atau memperpendek waktu proses penerbitan izin, karena menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi, keamanan, dan kepastian secara optimal, serta mendapat dukungan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terkait.

8. Strategi dan kebijakan pelayanan yang diterapkan pada UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota

Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan adalah masih diorientasikan pada upaya meningkatkan kualitas pelayanan prima, sebagaimana yang dimaksud dalam PERDA Provnsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 dan Peraturan Pelaksanaannya.

Sejalan dengan kesimpulan di depan, Tim Peneliti merekomendasikan bahwa UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan perlu melakukan tindakan penguatan kelembagaan, yakni sebagai berikut:

1. Provinsi Jawa Timur perlu meninjau ulang Peraturan Gubernur Nomor 71 Tahun 2010 tertanggal

27 September 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Nomor 77 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu (lihat Lampiran 3-3 dan Lampiran 3-4). Dalam arti, menurut PERMENDAGRI Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu Di Daerah, lembaga penyelenggara pelayanan perizinan terpadu semestinya berbentuk Badan dan atau Kantor, bukan UPT yang berada di bawah suatu SKPD (Lihat Lampiran 3-1. Status kelembagaan ini memiliki implikasi pada status atau eselonering kepemimpinan dan posisi koordinatif di lingkungan Pemerintah Daerah. Dalam peninjauan ulang ini juga dipandang perlu untuk meningkatkan status hukum Peraturan Gubernur yang memayungi keberadaan lembaga P2T tersebut menjadi Peraturan Daerah.

(20)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

251

2. Struktur Organisasi UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun,

dan KP2T Kabupaten Pamekasan perlu ditinjau ulang dan/atau disempurkan atau disesuaikan dengan Lampiran PERMENDAG RI Nomor 20 Tahun 2008 (Lihat Lampiran 3-1).

3. Standard Operating Procedure (SOP) UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang,

KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan perlu ditinjau ulang dan/atau disempurnakan atau disesuaikan dengan Permenpan Nomor : PER/21/M.PAN/11/2008 (lihat Lampiran 3-2).

4. Adalah sangat bijak, bilamana Pemerintah: Provinsi Jawa Timur, Kota Malang, Kota Madiun,

dan Kebupaten Pamekasan tidak memaknai Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 dan Permenpan No: PER/21/M.PAN/11/2008 sebagai himbauan, tetapi memaknainya sebagai peraturan perundangan yang harus ditaati.

5. Adalah sangat bijak, bilamana: Pemerintah dan/atau UPT-P2T Provinsi Jawa Timur; Pemerintah

Daerah dan/atau BP2T Kota Malang; Pemerintah Daerah dan/atau KP2T Kota Madiun; dan Pemerintah Daerah dan/atau KP2T Kebupaten Pamekasan juga menerapkan alternatif strategi dan kebijakan.

Pemerintah sebagai pemegang mandat kedaulatan dan pengaturan dari rakyat bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pelayanan publik sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Posisi negara adalah sebagai pelayan rakyat (publik servant) atau pemberi layanan, sedangkan rakyat memiliki hak-hak atas pelayanan negara pemerintah.

Pengejawantahan hal tersebut dapat dilihat dengan pemberian otonomi kepada daerah. Hakikat penyelenggaraan otonomi daerah, bertujuan untuk mendekatkan rakyat dengan pemerintahnya. Implementasi hal tersebut, termanifestasikan dengan perubahan paradigma tata pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada DPRD sebagai lembaga perwakilan dan penerima mandat kedaulatan rakyat untuk mewakili dan memperjuangkan segala kepentingan rakyat.

2.2. Pengertian Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal. Peran didasarkan pada preskripsi ( ketentuan ) dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut. ( Friedman, M, 1998 : 286 ) Pengertian

2.3. Institutional and Attitudinal Reform

Abad 21 ditandai dengan globalisasi yang merambah hampir semua aspek kehidupan manusia. Revolusi dalam bidang teknologi informasi semakin mempercepat kecenderungan ini. Dunia kita menjadi begitu kecil. Manusia menjadi terkoneksi secara global, melintasi batas ruang dan waktu. Namun globalisasi itu tidak berlangsung begitu saja. Dia membawa perubahan besar dalam pola kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam

(21)

252

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

manajemen pemerintahan. Globalisasi tak lepas dari kompetisi dunia global yang makin keras, yang mensyaratkan peningkatan daya saing.

Di tengah kondisi demikian, birokrasi kita bukannya menutup mata dan tak bergeming dari realita itu. Beragam inovasi dan kebijakan telah pula dihasilkan guna meningkatkan kinerja pelayanan mereka. Anehnya, meskipun reformasi telah bergulir selama tiga belas tahun, citra tentang birokrasi ambtenaar masih belum juga berubah. Alhasil, carut marut birokrasi yang terus berkembang mengantarkan kita pada satu kesimpulan ada yang kurang pas dengan reformasi birokrasi.

Salah satu kelemahan pembaharuan yang terjadi di berbagai negara (Caiden, 1982) adalah ketika pembaharuan itu hanya bersifat institusional, misalnya pembaharuan undang-undang dan peraturan, pembaharuan struktur kelembagaan, pembaharuan sarana dan prasarana, pembaharuan sistem dan prosedur kerja; sementara pada saat yang sama tidak dilakukan pembaharuan sikap dan perilaku dari para pelaksana. Menurut Caiden, keadaan demikian akan mengarah pada ketidakefektifan tujuan pembaharuan; dan secara ekstrim ia menyebutnya sebagai malapraktik pembaharuan. Kasus demikian, menurut hasil kajiannya terutama terjadi pada organisasi-organisasi di sejumlah negara berkembang.

Lebih lanjut Caiden menegaskan bahwa tujuan utama pembaharuan adalah melakukan perubahan secara terencana menuju keadaan yang lebih baik dari semula. Karenanya, pembaharuan disebut efektif jika pada kurun waktu yang direncanakan, keadaan yang lebih baik benar-benar terjadi. Sebaliknya, pembaharuan disebut mengalami kegagalan apabila pada kurun waktu yang direncanakan, keadaan tetap seperti sedia kala dan atau bahkan keadaan menjadi lebih buruk dari sebelum diselenggarakannya pembaharuan.

Pada tataran ini, lahirnya peraturan perundangan yang baru, dalam perspektif pembaharuan relevan disebut sebagai pembaharuan kelembagaan (institutional reform), yang perlu diikuti dengan pembaharuan sikap/perilaku (attitudinal reform) jika pembaharuan dikehendaki dapat mencapai efektifitasnya. Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh pemerintah di berbagai belahan dunia dalam mengelola organisasi birokrasinya seiring upaya menjalankan perannya sebagai penyelenggara pemerintahan dan penyelenggara pelayanan publik adalah persoalan krisis sumber daya. Persoalan tersebut, dapat dilihat (diantaranya) dari munculnya sejumlah istilah berikut : kelangkaan sumber daya, menipisnya sumber daya, keterbatasan sumber daya, dan sebagainya. Persoalan ini pada akhir tahun 1980-an sempat menjadi bahan diskusi hangat di kalangan para akademisi maupun pembuat kebijakan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa sumber daya memegang peran vital bagi perjalanan suatu negara, bahkan bagi keberlanjutan kehidupan manusia di planet bumi ini.

Dalam kerangka ini pada tahun 1992 Osborne & Gaebler (melalui karya besarnya : Reinventing

Government), menawarkan konsepnya yang revolusioner, tentang mewirausahakan birokrasi, sebagai upaya

melakukan transformasi semangat wirausaha ke dalam organisasi publik. Tidak lain dan tidak bukan konsep tersebut ditujukan untuk mencapai dua hal sekaligus : (1) meningkatkan kinerja birokrasi dalam menjalankan peran pelayanan publik (publik service), (2) menciptakan efisiensi birokrasi, yang ditujukan (diantaranya) untuk mengatasi krisis sumber daya yang sedang dihadapi pemerintah.

Gagasan Osborne & Gaebler tersebut menjadi tonggak sejarah terjadinya perubahan paradigma pemerintahan sekaligus perubahan paradigma kebijakan publik yang dilahirkannya. Implikasinya, wajah baru kebijakan publik pun bermunculan, adalah kebijakan publik yang berbasis kewirausahaan, adalah kebijakan

(22)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

253

publik yang tidak semata-mata melahirkan konsekuensi pemerintah untuk berperilaku ―membelanjakan‖, namun juga ―menghasilkan‖.

Tidak dapat dipungkiri bahwa secara konvensional-ortodoks, kebijakan publik lebih terformat ke dalam konvensi kegiatan yang menghabiskan sumber daya ketimbang menghasilkan atau memproduk sumber daya. Konvensi inilah nampaknya yang menjadi pemicu fenomena kelangkaan atau menipisnya atau krisis sumber daya yang terjadi pada organisasi pemerintah.

Kesepakatan terhadap ajakan Osborne & Gaebler kini menjadi fenomena baru kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintahan negara-negara di berbagai belahan dunia. Hakekatnya : pembuat kebijakan dituntut untuk berparadigma ganda dalam membuat kebijakan publik. Artinya kebijakan yang dibuat sejauh mungkin diusahakan untuk memiliki dua perspektif secara bersamaan, yaitu perspektif sosial (social heavy) dan ekonomi (economic heavy).

Perspektif sosial diarahkan agar pemerintah tetap dapat menjalankan peran sosialnya, misalnya sebagai penyedia pelayanan publik, pencipta kesejahteraan dan pemerataan, agen perubahan, dan fungsi-fungsi sosial lainnya. Pada saat yang sama peran pemerintah dalam perspektif ekonomi juga berjalan, ditunjukkan oleh kemampuan pemerintah untuk menciptakan unit-unit kegiatan ekonomi produktif yang menghasilkan, sebagai ―nafas‖ yang dapat menghidupi berjalannya peran sosial yang harus dimainkan. Berjalannya peran pemerintah dalam perspektif ganda ini bersifat solutif terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan keterbatasan sumber daya. Inilah tantangan baru bagi para pembuat kebijakan publik di abad ini.

Mengadopsi dua gagasan, yakni gagasan Osborne & Gaebler tentang perlunya mewirausahakan birokrasi, dan gagasan Caiden akan perlunya dua pilar simultan dalam pembaharuan administrasi publik; dapat disimpulkan bahwa jika pelayanan publik (sesuai standar pelayanan prima) oleh birokrasi pemerintah memang dikehendaki tercipta, maka tidak ada pilihan lain kecuali : ada pembaharuan sikap/perilaku para pelaksana pelayanan, dengan menggunakan sejumlah konsep pelayanan (misalnya) konsep pelayanan yang selama ini telah diimplementasikan oleh kalangan pelaksana pelayanan pada organisasi privat.

Pengalaman Caiden menunjukkan bahwa salah satu penyebab kegagalan gerakan pembaharuan terhadap kinerja organisasi pemerintah di berbagai negara terutama disebabkan oleh gagalnya pemerintah di negara tersebut untuk melakukan pembaharuan sikap dan perilaku dari segenap sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam institusi pemerintah tersebut.

Salah satu penyebab lemahnya kinerja pelayanan publik terjadi karena birokrasi kita tenggelam dalam paradigma pelayanan yang mereka buat sendiri, yang justru cenderung mengabaikan aspirasi publik sebagai obyek pelayanan itu sendiri. Padahal, belum optimalnya peran pemerintah dalam memberikan pelayanan yang paripurna berakibat pada minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Selain itu, kemiskinan yang terus melembaga juga tak dapat dilepaskan dari terhambatnya akses pelayanan yang seharusnya ikut dinikmati dan dimanfaatkan oleh warga yang berdiam di kantong-kantong kemiskinan.

Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kondisi ini. Pertama, masalah kelembagaan dan manajemen pelayanan. Sampai sejauh ini, belum ada kesepakatan tentang pelembagaan fungsi pemerintah serta kriterianya. Akibatnya, terjadi kekaburan tugas dan tanggung jawab instansi pemerintah. Inefisiensi,

(23)

254

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

kelambatan, ketidakmerataan pelayanan dan fasilitas sosial, overhead cost yang tinggi, serta ketidakpastian biaya yang harus dikeluarkan masyarakat menjadi fenomena umum.

Kedua, masalah profesionalisme dalam sikap, manajerial, teknis dan administratif. Masalah-masalah ini berdampak pada perilaku aparat yang lambat, terutama dalam mengikuti perkembangan teknologi,

e-governement, paperless, efisiensi kerja, serta pola kerja yang kompetitif. Pemerintah pun cenderung sulit untuk

menggerakkan partisipasi masyarakat serta menciptakan iklim yang kondusif guna merangsang peran swasta dalam penyediaan pelayanan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh pemerintah.

Ketiga, masalah keuangan pemerintah. Pemerintah memiliki keterbatasan sumber pendapatan dalam membiayai pelayanan dan pembangunan secara menyeluruh. Pemerintah pun dipaksa untuk mencari solusi alternatif. Salah satunya melalui peningkatan partisipasi dan kerjasama dengan pihak swasta dalam pengadaan pelayanan. Untuk itu dibutuhkan sikap birokrasi yang proaktif dan bukannya reaktif, yang masih merupakan kecenderungan perilaku birokrasi saat ini.

Keempat, masalah radius pelayanan. Banyaknya jenis pelayanan, terutama di kota/daerah yang sulit dibatasi secara administrasi pemerintahan, pada akhirnya menyulitkan administrasi pelayanan dan koordinasi pembangunan. Untuk itu diperlukan kerjasama antar daerah dalam rangka pengelolaan berbagai pelayanan yang ada sehingga manfaatnya bisa dirasakan bersama.

Dalam praktiknya, empat masalah di atas dapat diantisipasi melalui reaktualisasi pemerintahan, utamanya di tingkat daerah, dengan strategi penguatan pemerintah daerah yang tepat. Strategi penguatan tersebut bermanfaat dalam mempercepat proses sustainabilitas pemerintah daerah itu sendiri, yang mengurangi ketergantungan daerah pada bantuan dari pemerintah pusat maupun provinsi. Strategi ini dijalankan melalui reaktualisasi kewenangan daerah, restrukturisasi kelembagaan pemerintah, reposisi dan relokasi personil yang cermat, penataan manajemen keuangan, pemberdayaan DPRD sebagai fungsi kontrol eksekutif, dan perbaikan manajemen pelayanan. Dalam kerangka demikian, perampingan kelembagaan pemerintah menjadi keniscayaan, meskipun reformasi kelembagaan itu bukan pekerjaan mudah. Sebagai langkah awal, pemerintah perlu melakukan evaluasi kelembagaan berdasarkan tugas-tugas yang diemban oleh dinas-dinas terkait. Evaluasi ini diarahkan untuk melihat permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan tugas kelembagaan tersebut.

Beberapa permasalahan itu di antaranya: pertama, adanya beberapa penugasan yang tumpang tindih, baik antar organisasi, maupun antara satuan tugas organisasi. Kedua, terdapat ketimpangan antara volume kerja dengan besaran struktur organisasi; ketiga, terdapat beberapa satuan organisasi yang kurang didukung oleh sumber daya (aparat, anggaran dan sarana) yang sesuai kebutuhan; dan keempat, koordinasi pelaksanaan tugas kurang optimal karena belum adanya mekanisme kerja yang baku.

Berangkat dari empat permasalahan tersebut, penataan kelembagaan yang dikembangkan oleh pemerintah daerah harus diletakkan dalam kerangka peran pemerintah, yang terdiri atas fungsi pengaturan, pelayanan publik, dan pemberdayaan, guna meningkatkan profesionalitas lembaga dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Penataan tersebut juga diwujudkan dalam model subsidiarity, di mana masyarkat dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, penataan kelembagaan dilaksanakan juga untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan kewenangan pemerintah, dengan memperhatikan kemampuan potensi daerah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemahaman pemerintah terhadap penataan

(24)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

255

kelembagaan yang tidak dipahami sebatas penataan struktur semata, melainkan juga sebagai pelembagaan jaringan kerjasama (networking) yang adaptif dalam persoalan demokrasi. Model pemerintahan yang birokratis dan kaku disingkirkan. Di samping mempermudah koordinasi, pemerintah daerah juga akan menjadi responsif terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

Tindak lanjut dari keseluruhan hal di atas adalah penataan lembaga itu sendiri. Perhatian utama diletakkan pada signifikansi tugas yang diemban organisasi berikut ketimpangan antara volume kerja dengan besaran struktur organisasi. Karenanya, perampingan bagi satuan organisasi yang volume kerjanya terlampau sedikit adalah sebuah tuntutan logis, misalnya dari sub dinas menjadi seksi. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya pengembangan organisasi, misalnya dari kantor menjadi badan. Selain itu, satuan organisasi yang lebih efisien berdiri sendiri dapat dikembangkan menjadi organisasi perangkat daerah, seperti dari sub dinas menjadi kantor. Pemerintah pun tidak perlu ragu untuk membentuk organisasi baru jika memang terdapat tuntutan pelayanan fungsi baru dari pemerintah.

Pada akhirnya, keseluruhan penataan kelembagaan tersebut ditujukan untuk membangun organisasi pemerintah daerah yang fleksibel, tahan banting dan adjustable atas setiap perubahan situasi yang berkembang di masyarakat. Organisasi itu nantinya diharapkan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul kemudian, sekaligus mampu melakukan lompatan ke depan untuk menjawab berbagai dinamika tersebut dan mewujudkan tata pemerintahan yang efektif, aspiratif dan efisien.

Di sisi lain, reformasi kelembagaan tersebut berjalan beriringan dengan keharusan untuk membangun ukuran kinerja birokrasi itu sendiri. Komitmen serta dukungan yang tinggi dari para pengambil keputusan serta pembuat kebijakan di tubuh birokrasi menjadi prasyarat mutlak. Dedikasi ini dilaksanakan secara bertahap, yang dimulai dari institusi yang sudah cukup stabil, dalam arti tidak sedang dalam proses perubahan ataupun pergantian personil. Transparansi pun diperlukan sebagai jembatan informasi kepada seluruh stakeholder birokrasi, baik internal, apalagi khalayak eksternal.

Partisipasi masyarakat tak boleh dikesampingkan. Setelah penguatan internal dilakukan, birokrat perlu berdialog dengan masyarakat guna menyusun indikator masing masing jenis layanan. Indikator ini tidak lepas dari faktor pembiayaan yang dibutuhkan berikut sumber dana itu. Langkah ini ditindaklanjuti dengan sosialisasi indikator secara mendetail hingga dipahami oleh publik. Tentu aja tolok ukur penilaian kinerja itu harus yang tepat dan mudah dioperasionalkan. Semakin sederhana alat ukurnya, semakin mudah pula implementasi dan evaluasinya. Pemerintah pun secara transparan dan berkala harus menginformasikan hasil implementasinya kepada publik. Dengan demikian, masyarakat dapat menyampaikan komplainnya dengan terarah dan tepat sasaran.

2.4.Reformasi Birokrasi dan Good Governance

Konsep good governance ini munculnya karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang selama ini dipercaya sebagai penyelengggara urusan publik. Pendekatan penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralis, non partisifatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik pada rezim-rezim terdahulu, harus diakui telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati pada rezim yang berkuasa. Menurut Edelman, hal seperti ini merupakan era anti birokrasi, era anti pemerintah, serta era anti institusi.

(25)

256

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Implikasi nyata dari fenomena semakin rendahnya kepercayaan publik pada pemerintah ini, berujung pada posisi administrasi publik yang sulit serta tidak menguntungkan. (Edelman dalam Wibowo 2004:5).

Good governance sudah lama menjadi mimpi bagi banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman

mereka mengenai good governance berbeda-beda, namun sebagian besar dari mereka setidaknya membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak diantara mereka yang membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semkin rendah, dan pemerintahan semakin peduli dengan kepentingan warga.

Mengingat pengembangan good governance memiliki kompleksitas yang tinggi dan kendala yang besar maka diperlukan sebuah langkah yang strategis untuk memulai praktik good governance. Agus Dwiyanto menyarankan praktik governance sebaiknya dimulai dari sektor pelayanan publik (Dwiyanto 2005:3). Pelayanan publik dipilih sebagai penggerak utama karna upaya mewujudkan nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik

governance yang baik dalam pelayanan publik dapat dilakukan lebih nyata dan mudah. Nilai-nilai seperti

efesiensi, partisipasi dan akuntabilitas dapat diterjemahkan secara relatif lebih mudah dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good

governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki

kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia.

Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah ,

warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik.

Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik yang berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima sebab pelayanan publik merupakan fungsi utama pemerintah yang wajib diberikan sebaik-baiknya oleh pejabat publik.

Salah satu upaya pemerintah adalah dengan melakukan penerapan prinsip-prinsip Good Governance, yang diharapkan dapat memenuhi pelayanan yang prima terhadap masyarakat. Terwujudnya pelayanan publik

(26)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

257

yang berkualitas merupakan salah satu ciri Good Governance. Untuk itu, aparatur Negara diharapkan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efesien. Diharapkan dengan penerapan Good

Governance dapat mengembalikan dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian Good governance yaitu

penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat dari segi fungsional, aspek governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efesien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau justru sebaliknya dimana pemerintahan tidak berfungsi secara efektif dan efesien. Penekanan baru dari konsep governance adalah pemaknaannya yang tidak lagi menunjuk penggunaan kekuasan secara eksklusif pada pemerintahan, tetapi juga merujuk pada penggunaan kekuasaan pada institusi atau organisasi yang berada diluar pemerintahan. Selain itu defenisi governance juga memberikan penekanan pada fungsi yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga aktor-aktor lain yaitu civil society, dan pasar atau sektor privat. Governance merupakan sebuah bentuk mekanisme, proses, hubungan dan jaringan institusi yang kompleks, dimana warga negara dan kelompok-kelompok yang ada mengartikulasikan kepentingannya. Hal ini mempunyai implikasi bahwa hampir semua organisasi, asosiasi, atau lembaga dalam masyarakat mempunyai pengaruh dan juga dipengaruhi oleh fungsi-fungsi governance.

Governance menurut defenisi dari World Bank adalah ―the way state power is used in managing economic and social resources for devolepment and society”. Suatu cara digunakan didalam mengatur sumber

daya sosial dan ekonomi untuk pembangunan dan masyarakat". Sementara UNDP (United Nation Development

Program) mendefenisikannya sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation‟s affair at all levels”. Latihan dari politis, ekonomi, dan otoritas administratif untuk mengatur

suatu urusan bangsa pada semua tingkat". Berdasarkan defenisi terakhir, governance mempunyai tiga kaki, yaitu:

1. Economic governance (Penguasaan ekonomi) meliputi proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi terhadap equity (Kekayaan), proverty (properti), dan quality of live ( Kualitas hidup).

2. Political governance (Penguasaan politik) adalah proses keputusan untuk formulasi kebijakan.

3. Administrative governance (Penguasaan administrasi) adalah sistem implementasi proses kebijakan (Sedarmayanti 2003:4-5).

Oleh karena itu, institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintah),

private sector (sektor swasta), dan society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya

masing-masing. State berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, private sector menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik.

Selain itu, OECD (Organization for Economic Coorporated Development) yaitu organisasi untuk kerjasama ekonomi pembangunan dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efesien, penghindaran korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan rencana kerja (RENJA) Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tanjung Jabung Barat didasarkan atas berbagai perkembangan dan perubahan lingkungan strategis Dinas

lingkungan dalam rumah (keberadaan langit-langit, keberadaan kasa ventilasi, kerapatan dinding rumah, suhu dalam rumah), faktor risiko lingkungan luar rumah

farmasi dan petugas gudang farmasi sesuai dengan permintaan yang sudah diajukan ke PPTK (Pejabat Pembuat Teknis Kegiatan) obat/BMHP Saya akan berkoordinasi dan bekerja sama

Jika kegiatan penerimaan perbekalan farmasi tidak dilakukan dengan baik dan teliti, maka dapat dapat menimbulkan kerugian rumah sakit akibat jumlah obat yang diterima tidak

Dalam pelaksanaan praktik jasa auditing, masyarakat masih ada yang meragukan tingkat keahlian audit, kompetensi serta independensi yang dimiliki oleh para Akuntan Publik di

Platt dan Platt (2002) mendefinisikan financial distress sebagai tahapan penurunan kondisi keuangan suatu perusahaan sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Tujuan

Diharapkan dengan memperhatikan masalah tanggung jawab sosial ( Corporate Social Responsibility ) diatas yang telah dijelaskan, maka akan lebih berdampak positif terhadap

lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut : Bagian selanjutnya adalah komponen sistem Sistem Tanki Bertekanan. Sistem kerja pressure vessel yang memanfaatkan udara