• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

23

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ALAT PENGERING JAGUNG PIPILAN

 

Penelitian mengenai pegeringan jagung pipilan telah banyak dilakukan dengan berbagai metode dan berbagai alat pengering. Pada penelitian ini, alat pengering yang digunakan adalah pengering tipe tumpukan (Batch Dryer) dimana udara lingkungan digunakan sebagai media pengering. Gambar 14 merupakan alat pengering jagung pipilan yang telah didisain.

  Gambar 14. Alat pengering tipe tumpukan (Batch Dryer) Adapun bagian-bagian dari alat pengering tipe tumpukan ini terdiri dari: a) Bak penampung

Bak penampung yang telah dirancang terbuat dari pipa paralon dengan diameter 19.5 cm dengan tinggi 100 cm dan kapasitas 22.5 kg. Bagian dasar tabung di tutup/tempel dengan mengunakan kasa yang kerengangannya lebih kecil daripada biji jagung pipilan yang akan dikeringkan. Dinding luar bak penampung diinsulasi menggunakan glasswool dan kemudian ditutup dengan menggunakan alumunium foil sehingga panas dari luar tidak mempengaruhi panas di dalam bak penampung. Pada dinding bak penampung terdapat tiga lubang pengambilan sampel kadar air yaitu bagian bawah, tengah dan atas dengan diameter 1cm dengan jarak antar lubang 36 cm dan lima lubang pengukuran suhu dengan diameter 4 mm dengan jarak antar lubang adalah 18 cm.

b) Blower

Blower berfungsi sebagai penghisap (pengambil) udara lingkungan dan kemudian menghembuskan/mengalirkan udara tersebut ke tumpukan jagung. Untuk meyalurkan udara lingkungan tersebut ke bak penampung (tumpukan jagung) digunakan penyambung pipa Alat kontrol kipas

dan pembacaan sensor Tabung penampung Lubang inlet Lubang pengukuran kecepatan udara masuk Penghubung antara bak penampung dengan kipas Lubang pengukuran kecepatan udara keluar Kipas Penyangga/ dudukan Lubang pengambilan sampel kadar air

(2)

24 paralon berdiameter 10.16 cm ke 20.32 cm sebagai penghubung antara kipas dan bak penampung. Adapun spesifikasi blower yang digunakan adalah sebagai berikut:

¾ Blower = 1 phase ¾ laju udara = 410 m3/jam ¾ RPM = 2800 ¾ Daya = 90 Watt ¾ Tegagan = 220Volt c) Penyangga/Dudukan

Penyangga/ dudukan pada alat pengeringan ini terbuat dari besi beton tulangan dengan diameter 1.5 cm. Penyangga terdiri dari tiga buah kaki dengan tinggi 70 cm seperti terlihat pada Gambar 14.

d) Lubang Pengukuran kecepatan angin

Pada alat pengering jagung pipilan ini terdapat dua lubang pengukuran kecepatan angin yaitu pada lubang inlet (masuknya udara) dan pada outlet (lubang tumpukan jagung paling atas/ setelah melewati tumpukan paling atas) yang dirancang dengan menggunakan karton seperti terlihat pada Gambar 14.

B. SISTEM KENDALI

B.1 Perangkat Keras Sistem Kendali (Hardware)

Sistem kendali untuk strategi pengendalian didisain meliputi rangkaian catu daya, rangkaian pengaturan kecepatan putar blower (zero crossing), rangkaian pembacaan sensor SHT11, SHT75 dan rangkaian LCD. Sistem kendali di desain pada dua buah papan akrilik. Untuk rangkaian catu daya, rangkaian LCD dan rangkaian pembacaan sensor di desain pada papan akrilik yang berukuran 50 cm x 50 cm dengan menggunakan 2 buah trafo CT 2A sebagai sumber catu daya untuk rangkaian-rangkaian tersebut. Sedangkan untuk rangkaian zero crossing yang terdiri dari mikrokontroler low cost micro system ver. 2.2, IC LM 339, IC MOC 3021 dan BTA 41 di desain pada papan akrilik berukuran 18 cm x 20 cm dengan menggunakan 1 buah trafo CT 2A sebagai sumber catu daya. Gambar 15 merupakan rangkaian sistem kendali untuk pembacaan sensor. LCD, catu daya dan Gambar 16 merupakan rangkaian zero crossing.

Gambar 15. Rangkaian pembacaan sensor, LCD dan catu daya

Gambar 16. Rangkaian pengaturan putaran blower (zero crossing)

(3)

25 Sistem kendali ini menggunakan dua buah mikrokontroler yaitu mikrokontroler DT51 petrafuzz ver 3.3 dan mikrokontroler low cost micro system ver. 2.2. Mikrokontroler DT51 petrafuzz ver 3.3 bertugas untuk mendeteksi nilai suhu dan kelembaban sensor SHT11 dan SHT75, mengkonversi nilai output suhu dan kelembaban yang dideteksi sensor menjadi nilai suhu dan kelembaban yang sebenarnya dengan persamaan (6) dan (7), menampilkan nilai tersebut pada LCD, serta bertugas menggolah data suhu dan RH yang dideteksi sensor menjadi nilai kadar air kesetimbangan (Me) dengan menggunakan persamaan EMC Henderson. Nilai Me inilah yang digunakan sebagai acuan strategi pengendalian (untuk pengaturan lebar pulsa (tegangan) atau tingkat kecepatan kipas). Sedangkan mikrokontroler DT-51 low cost micro system ver. 2.2 bertugas untuk menerima nilai tegangan (sinyal biner ‘0’ atau ‘1’) yang dikirim oleh mikrokontroler DT51 petrafuzz ver 3.3. Gambar 17 merupakan modul mikrokontroler DT-51 Low Cost Micro System ver 2.2 dan Gambar 18 merupakan mikrokontroler DT51 Petrafuzz ver 3.3.

Gambar 17. Modul mikrokontroler DT-51 Low Cost Micro System ver 2.2

Gambar 18. Modul mikrokontroler Petrafuzz ver 3.3

B.2 Modul SHT11 dan SHT75

Sensor yang digunakan pada penelitian ini ada 3 buah modul sensor yaitu satu modul sensor SHT11 dan dua modul sensor SHT 75. Modul sensor SHT11 (Gambar 19) memiliki 8 buah pin, tetapi hanya 4 pin yang digunakan yaitu pin 1 yang berfungsi sebagai jalur Data, pin 3 berfungsi sebagai jalur SCK, pin 4 berfungsi sebagai jalur Ground, pin 8 berfungsi sebagai jalur +5VDC. Keempat pin tersebut dihubungkan ke rangkaian catu daya dengan trafo CT 2A untuk pengaktifan sensor. Sedangkan modul SHT75 (Gambar 20) memiliki 4 pin yaitu pin1 berfungsi sebagai jalur SCK, pin 2 berfungsi sebagai jalur +5VDC, pin 3 berfungsi sebagai jalur Ground, sedangkan pin 4 berfungsi sebagai jalur Data. Pin SCK digunakan untuk Serial Clock Input yang diberi tegangan +5VDC yang dihubungkan secara seri dengan resistor 10 kΩ. Pin 1 dari kedua modul SHT75 dihubungkan ke port 1 pin 4 dan port 1 pin 6 sedangkan pin 4 pada kedua modul dihubungkan ke port 1 pin 5 dan port 1 pin 7 pada DT51 petrafuzz ver 3.3. Gambar 21 akan memperlihatkan jalur penghubung antara mikrokontroler DT51 petrafuzz ver 3.3 dengan pin pada sensor SHT 75.

(4)

26 Gambar 19. Module SHT11

Gambar 20. Modul SHT75

Gambar 21. Jalur penghubung antara SHT75 dengan port pada mikrokontroler SCK DATA Pin Data Pin SCK Pin Ground Pin +5VDC

(5)

27

B.3 Modul

LCD

Pada sistem kendali ini, modul LCD terhubung dengan port tersendiri yaitu port LCD (P1) pada DT51 petrafuzz ver 3.3 sehingga mempermudah pemasangan (Gambar 20). Pemasangan dilakukan menggunakan kabel pelangi 16 pin yang ujungnya dipasang konektor untuk dihubungkan ke LCD dan ujung lainnya dipasang ke port LCD pada DT51 petrafuzz ver 3.3 dengan menggunakan IDC. Jenis LCD yang digunakan adalah LMB162AFC yang memiliki 16 karakter dan 2 baris dengan spesifik seperti dijelaskan pada Tabel 7 di bawah ini.

Gambar 22. Rangkaian LCD yang terhubung dengan port pada Mikrokontroler Tabel 7 Spesifikasi pinpada LCD tipe LMB162AFC

No. Pin Simbol Detail

1 GND Ground

2 VCC Supply Voltage +5V

3 Vo Contrast Adjustment

4 RS 0→Control input, 1→Data input

5 R/W Read/Write

6 E Enable

7 to 14 D0 to D7 Data

15 VB1 Backlight +5V

16 VB0 Backlight Ground

B.4 Zero Crossing (Pengendali Kecepatan Blower)

Driver blower merupakan rangkaian yang terdiri atas pembanding tegangan (voltage comporator), triac optoisolator, dan mikrokontroler. Rangkaian pembanding menggunakan IC LM 339, BTA dan MOC 3021.

Sumber tegangan kontrol device bersumber dari listrik AC 220V yang dihubungkan ke trafo CT 2A untuk menurunkan tegangan. Kemudian dari trafo dihubungkan ke rangkaian catu daya untuk mengubah tegangan AC menjadi DC dengan pertimbangan lebih aman untuk perangkat kendali. IC pengatur tegangan yang digunakan pada catu daya adalah IC regulator 7805/7809 untuk keluaran 5 dan 9 VDC. Kemudian dari rangkaian catu daya dialirkan ke perangkat kendali. Trafo dan rangkaian catu daya dapat dilihat pada Gambar 23.

(6)

28 Gambar 23. Trafo dan Catu daya

Selanjutnya jalur mikrokontroler terhubung dengan rangkaian driver blower (zero crossing) yang berperan penting sebagai switching ON-OFF dan lima tingkat kecepatan putar blower lainnya pada sistem kontrol ini. Pemilihan komponen disesuaikan dengan rancangan switching yang diinginkan, dalam hal ini switching listrik AC dan beban yang akan di switching (actuator) berupa motor listrik AC 1 dengan daya 90W sehingga sesuai dan kemampuan beroperasi. Gambar 24 merupakan blower yang digunakan pada penelitian ini.

Gambar 24. Blower

Komponen-komponen utama penyusun rangkaian zero crossing, yaitu IC LM 339, IC MOC 3021, BTA 41 lazim digunakan dengan konstruksi quad-comparators berfungsi untuk deteksi zero crossing (kondisi dimana terjadi perubahan dari ‘1’ ke ‘0’ atau sebaliknya pada gelombang pulsa), pembangkit gelombang segiempat dan waktu delay. Kemudian tegangan keluaran dari LM 339 dihubungkan ke salah satu pin dari mikrokontroler DT-51 Low Cost Micro Sistem yang nantinya bertugas mengecek terdeteksinya kondisi zero crossing dan tegangannya ditahan dengan nilai ‘0’ atau ‘1’ selama waktu tertentu, tergantung tegangan keluaran yang diharapkan. Komponen MOC 3021 dan BTA 41 merupakan pasangan trigger dan triac yang lazim digunakan untuk switching AC. MOC 3021 berfungsi sebagai pemacu triac dalam switching listrik AC statis dan kaki katode dari MOC 3021 dihubungkan pula ke salah satu pin mikrokontroler untuk mengirimkan sinyal biner ’0’ atau ‘1’. Untuk pengaturan putaran blower pada beberapa tingkat kecepatan putar digunakan timer yang berfungsi untuk mengatur lebarnya pulsa. Gambar 25 merupakan penyusun rangkaian zero crossing dan Gambar 26 merupakan rangkaian LM339.

(7)

29 Gambar 25. Rangkaian zero crossing Gambar 26. Rangkaian IC LM339

C. PERANGKAT LUNAK SISTEM KENDALI (SOFTWARE)

Pengaktifan beberapa modul seperti sensor SHT11, SHT75, LCD dan zero crossing dilakukan dengan menyusun perintah dalam bahasa C yang ditulis dalam software Uc51 versi 3.48 sekaligus berfungsi sebagai kompiler yang akan mengkonversi bahasa C ke dalam file berekstensikan .hex.

Penulisan program yang pertama adalah pembacaan LCD 16 x 2 yang telah dihubungkan pada mikrokontroler DT51 Petrafuz pada port LCD. Downloader DT51 merupakan software yang berfungsi untuk mendownload program yang berekstensikan .hex ke dalam modul DT51 Petrafuz. Kabel yang digunakan untuk koneksi antara downloader dengan modul mikrokontroler DT51 Petrafuz adalah kabel serial to USB. Penulisan program yang kedua adalah program pembacaan SHT11 dan SHT75. Setiap 2 detik nilai pembacaan sensor yang telah berbentuk digital akan dikirim dan ditampilkan dalam LCD. Selain itu, nilai suhu dan kelembaban yang dideteksi sensor akan diproses lagi sehingga menghasilkan nilai kadar air kesetimbangan yang kemudian dikirim ke mikrokontroler DT-51 low cost micro system melalui jalur interrupt sebagai pengendali zero crossing. Penulisan program berikutnya adalah program pengaturan putaran blower (zero crossing), bahasa program yang telah dikonversi ke dalam file berekstensikan .hex kemudian didownload ke dalam mikrokontroler DT-51 low cost micro system menggunakan AT89_USB_ISP_Software dan kabel yang digunakan untuk koneksi antara downloader dengan modul mikrokontroler DT-51 low cost micro system adalah DT-HiQ AT 89 USB ISP. Pemograman dirancang untuk mengaktifkan Timer pada mikrokontroler dan mengatur waktu kerja Timer tersebut untuk digunakan sebagai kontrol. Timer yang digunakan merupakan pencacah biner. Pengaturan kerja memerlukan register khusus yang tersimpan dalam FR (Function Register). Missal Timer0 diakses melalui register TL0 (Timer0 low byte) dan register TH0 (Timer0 High Byte) Perhitungan: Asumsi 65535-TH0TL0 =100 T= {65535-(TH0TL0)}x1µs TH0TL0 = 65535-100 = 65435 TH0TL0 = 65435/256 = 255 sisa 155 Jadi TH0 = 255

TL0 =155/16bit = 9 sisa 11 (nilai 11 dalam biner adalah B) Jadi TL0 = 9B

(8)

30 Diasumsikan 65535 – TH0TL0 adalah 100 maka nilai maksimal Timer yang digunakan 100µs. Nilai TH0 diisi maksimum 255 dan sisanya (65535-65280) dibagi dengan 256 sehingga didapat TL0 yaitu 9 dengan sisa 11 dimana sisa 11 bernilai B dalam biner sehingga nilai TL0 = 9B.

Ada enam tingkat kecepatan putar kipas dan pada kondisi kipas tidak berputar (off) yang digunakan dalam penelitian ini dimana nilai timer yang menjadi acuan untuk tingkat kecepatan tersebut. Adapun enam tingkat laju aliran udara yang diperoleh dari pengukuran pada alat pengering dengan menggunakan beban 22.5 kg yaitu Timer0 untuk nyala kipas maksimal (0.455 m3/s), Timer30 (kecepatan 5 = 0.398 m3/s), Timer35 (kecepatan 4 = 0.347 m3/s), Timer40 (kecepatan 3 = 0.272 m3/s), Timer45 (kecepatan 2 = 0.169 m3/s), Timer50 (kecepatan 1 = 0.136 m3/s). sedangkan Timer66 untuk kipas tidak berputar (mati).

D. STRATEGI PENGENDALIAN

Strategi pengendalian pada sistem kendali ini terdiri dari pembacaan suhu dan kelembaban yang dideteksi sensor kemudian nilai tersebut diolah dengan persamaan EMC Henderson sehingga menghasilkan nilai kadar air kesetimbangan (Me). Nilai Me inilah yang menjadi acuan untuk pengaturan lebar pulsa (tingkat kecepatan putar kipas). Gambar 27 skema strategi pengendalian.

Gambar 27. Skema strategi pengendalian

Nilai Suhu dan RH Penghubung SHT75 Penghubung SHT11 Penghubung SHT75 Mikrokontroler DT51Petrafuz Diolah menggunakan persamaan 1 Dihubungkan Mengalirkan udara ke tumpukan jagung 1. M1 > M3 ÆKipas Nyala max (Timer0)

2. M3>M2 ÆKipas Tidak nyala (Timer66)

3. 0

0.2ÆTimer50

4. 0.2

0.4ÆTimer45

5. 0.4

0.6ÆTimer40

6. 0.6

0.8ÆTimer35

7. 0.8

1ÆTimer30

Me1, Me2 dan Me3

Dikirim ke Port 1 Mikrokontroler DT51 Low Cost IC LM339 Pengaturan lebar pulsa (memutuskan/ menghubung-kan listrik)

(9)

31

E. UJI KINERJA ALAT PENGERINGAN TANPA SISTEM KENDALI

Pada penelitian ini, sebelum dilakukan pengeringan dengan sistem kendali, terlebih dahulu dilakukan pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali sebagai pembanding untuk pengeringan dengan sistem kendali. Pada pengeringan tanpa menggunakan sistem kendali ini dilakukan satu kali dimana udara lingkungan dialirkan secara kontinyu (terus-menerus) menggunakan blower 1phase dengan kecepatan angin 2.34 m/s meskipun RH lingkungan lebih tinggi dibanding RH di dalam pengering hingga mencapai kadar air jagung yang diinginkan yaitu ±14 % b.b.

E.1 Perubahan Suhu dan RH

Pada pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali diperoleh suhu rata-rata tumpukan jagung pipilan selama proses pengeringan sekitar 29.96oC, dimana suhu terendah selama proses pengeringan adalah 26.5oC dan suhu tertinggi adalah 36.9 oC. Selama proses pengeringan suhu lingkungan cenderung fluktuatif dikarenakan cuaca yang berfluktuasi. Suhu lingkungan rata-rata selama proses pengeringan adalah 29.7 oC, dimana suhu tertinggi yang tercatat adalah 36oC dan suhu terendah adalah 25.7oC. Selama proses pengering berlangsung dapat dikatakan secara umum bahwa kondisi cuaca cerah pada hari pertama dan ketiga, sedangkan pada hari kedua cuaca mendung dan hujan. Gambar 28 memperlihatkan grafik fluktuasi suhu lingkungan dengan suhu pengering terhadap bertambahnya waktu selama pengeringan.

Gambar 28. Perubahan suhu lingkungan dan suhu pengering terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali

Berdasarkan grafik, pada jam ke-0 samapai pada jam ke-4.5 (pukul 18:51 wib), jam ke-18 (pukul 08:21 wib) hingga jam 25.5 (pukul 15:51) dan jam 44 (pukul 10:21) sampai jam ke-46.5 (pukul 15:21) suhu lingkungan potensial untuk pengeringan. Sedangkan pada jam yang lain suhu lingkungan lebih rendah dibandingkan suhu tumpukan rata-rata di dalam pengering sehingga tidak potensial untuk mengeringkan jagung pipilan. Pada jam 27 (pukul 17:21) hingga jam ke-40 (pukul 06:21) terlihat suhu lingkungan mengalami penurunan yang drastis. Hal tersebut

24 26 28 30 32 34 36 38 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Suhu ( oC)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib

(10)

32 dikarenakan pada saat itu terjadi hujan. Berdasarkan data suhu hasil pengujian pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali, dapat disimpulkan bahwa sistem kendali pada pengeringan sangat penting, sehingga pengeringan hanya berlangsung ketika suhu lingkungan pontensial sebagai media pengeringan sehingga pada kondisi suhu yang tidak potensial, sistem kendali dapat meminimalkan konsumsi energi kipas dan mencegah terjadinya kenaikan kadar air karena kipas tidak mengalirkan udara (off).

Berdasarkan metoda pengambilan data, terdapat lima titik pengukuran suhu tumpukan seperti terlihat pada Gambar 13 diatas. Gambar 29 menunjukkan perubahan suhu terhadap waktu pada lima tingkatan tumpukan jagung pipilan.

Gambar 29. Grafik perubahan suhu terhadap waktu pada lima tingkatan selama proses pengeringan tanpa sistem kendali

Berdasarkan grafik diatas, dari jam ke-0 (pukul 14:21wib) hingga jam ke-3.5 (pukul 17:51wib) suhu tumpukan pada setiap tingkatan pada tumpukan jagung mengalami peningkatan. Namun, pada jam ke-4 (pukul 18:21wib) hingga jam ke-16 (07:51wib) suhu cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan pengukuran dilakukan pada malam hari dimana suhu lingkungan pada malam hari lebih rendah dibandingkan suhu pada siang hari sehingga udara yang dialirkan pada tumpukan jagung mengakibatkan suhu tumpukan pada setiap tingkatan mengalami penurunan. Pada jam berikutnya yaitu pada jam ke-16.5 (pukul 06:51wib) suhu kembali mengalami peningkatan sampai suhu rata-rata mencapai 33.68 oC. Peningkatan suhu terjadi hingga pada jam ke-27 (pukul 17:21wib). Pada jam berikutnya, suhu menurun drastis hingga mencapai suhu 29.96 oC dan terus menurun secara perlahan hingga suhu 28.42 oC. Penurunan suhu terjadi hingga pada jam ke-40 jam (pukul 06:21wib). Suhu kembali mulai naik kembali pada jam ke-41 (pukul 07:21wib) hingga mencapai 34.2 oC sampai pada jam ke-46.5 (pukul 12:51wib) dan pengeringan berhenti karena kadar air rata-rata telah mencapai 13.93%b.b.

Berdasarkan grafik di atas, suhu 1 lebih tinggi dibandingkan dengan suhu yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan titik pengukuran suhu 1 terletak paling dekat dengan inlet (udara lingkungan

25 27 29 31 33 35 37 39 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Suhu t um pukan ( oC)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib

(11)

33 yang masuk ke dalam tumpukan pengering), sehingga suhu 1 relatif mendekati suhu lingkungan. Suhu 5 relatif lebih rendah dibandingkan suhu yang lainnya, hal tersebut dikarenakan letak pengukuran suhu 5 berada paling jauh dari inlet dibandingkan suhu yang lainnya. Seperti terlihat pada grafik, dengan semakin jauh titik pengukuran suhu terhadap inlet maka suhu pada tingkatan itu cenderung lebih rendah. Gambar 30 menunjukkan fluktuasi RH terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali.

Gambar 30. Hubungan antara RH terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali. Besarnya RH berbanding terbalik dengan kemampuan udara menyerap uap air sehingga semakin rendah RH maka semakin tinggi kemampuan udara dalam menyerap uap air dan laju pengeringan semakin cepat. Selama proses pengeringan, RH lingkungan pada siang hari jauh lebih tinggi dibandingkan dengan RH tumpukan jagung lapisan atas. Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa terjadi perbedaan yang sangat drastis antara RH lingkungan dan RH tumpukan jagung lapisan atas pada jam ke-0 (pukul 14:21wib) hingga jam ke-3.5 (pukul 17:51wib). Pada grafik terlihat pada jam ke-27 (pukul 17:21) wib hingga jam ke-40.5 (pukul 06:51wib) terjadi kenaikan RH lingkungan secara drastis sementara RH tumpukan jagung lapisan atas berubah namun tidak terlalu signifikan. Kenaikan RH lingkungan tersebut hingga mencapai RH 98% dikarenakan terjadi hujan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem kendali untuk proses pengeringan sangat penting agar pengeringan dapat berlangsung lebih baik dan efektif yaitu ketika RH lingkungan sangat potensial untuk pengeringan. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa RH lingkungan tertinggi tercatat 97.65%, terendah 55.25% dengan rata-rata selama pengeringan sebesar 82.12%. sedangkan RH tertinggi tumpukan jagung lapisan atas adalah 91.67%, RH terendah adalah 72.64% dengan RH rata-rata selama pengeringan sebesar 85.76%. Adapun selisih rata-rata RH lingkungan dan RH tumpukan jagung lapisan atas adalah 3.64%.

Kelembaban mutlak merupakan salah satu acuan dalam proses pengeringan. Ketika kelembaban mutlak lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan kelembaban mutlak tumpukan lapisan atas maka maka akan terjadi proses pengeringan sehingga laju pengeringan akan semakin cepat dan sebaliknya, jika kelembaban mutlak lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kelembaban mutlak tumpukan lapisan atas maka terjadi proses pembasahan sehingga terjadi

40 50 60 70 80 90 100 110 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Kelem bab an Relatif (%)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib

(12)

34 peningkatan kadar air. Gambar 31 memperlihatkan hubungan antara kelembaban mutlak terhadap waktu.

Gambar 31. Hubungan antara kelembaban mutlak terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali.

Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa pada awal proses pengeringan hingga pada jam ke-40 kelembaban mutlak lingkungan cenderung lebih rendah daripada kelembaban mutlak tumpukan jagung lapisan atas sehingga pada kondisi ini terjadi proses pengeringan. Namun pada saat tertentu yaitu jam ke-7 (pukul 21:21wib), jam ke-22 (pukul 12:21wib) hingga jam ke-24 (pukul 14:21wib) dan diatas jam ke-40 (pukul 06:51wib) kelembaban mutlak lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban mutlak jagung lapisan atas. Pada kondisi ini terjadi proses pembasahan sehingga terjadi peningkatan kadar air jagung.

E2. Perubahan

Kadar

Air

Pada pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali, jagung pipilan yang digunakan adalah jagung varietas hybrida yang diperoleh dari balai BALITRO di daerah Cimanggu dengan kadar air jagung rata-rata adalah 20.48% b.k dengan beban 22.5kg. Berdasarkan hasil pengujian dengan sistem kendali pada alat pengering tipe batch dengan suhu lingkungan rata-rata 36oC, dan RH lingkungan rata-rata 72.64% mampu menurunkan kadar air hingga kadar air akhir rata-rata 16.08%b.k yaitu terjadi penurunan kadar air sebesar 4.40% dengan waktu 46.5 jam. Gambar 32 menunjukkan perubahan kadar air rata-rata dan kadar air pada lapisan bawah, tengah dan atas terhadap waktu pengering.

0.018 0.019 0.02 0.021 0.022 0.023 0.024 0.025 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Kelem bab an Mu tlak (g uap/ kg u.k)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib

(13)

35 Gambar 32. Hubungan antara kadar air rata-rata lapisan terhadap waktu selama proses pengeringan

tanpa sistem kendali

Berdasarkan metode pengambilan data yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat tiga titik pengukuran kadar air yaitu lapisan bawah, tengah dan atas tumpukan jagung pipilan. Berdasarkan grafik terlihat bahwa terjadi perbedaan penurunan kadar air disetiap lapisan. Lapisan bawah telah mencapai kadar air 12.7%b.b setelah pengeringan sekitar 24 jam, tetapi kadar air lapisan tengah dan atas hanya mencapai 15.9%b.b dan 16.1%b.b. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan ketinggian sehingga besar kecepatan aliran udara pada lapisan bawah, tengah dan atas yang berbeda. Menurut Ramelan (1996), suhu dan kelembaban relatif merupakan salah satu faktor yang menentukan proses pengeringan. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses pengeringan.

Berdasarkan hasil pengujian ini dapat diketahui bahwa pengeringan akan berlangsung lama dan penurunan kadar air yang tidak seragam pada setiap lapisan. Dengan pengujian ini diketahui nilai kadar akhir pada lapisan bawah sebesar 12.7%b.b, lapisan tengah 14%b.b, dan lapisan atas sebesar 15.1%b.b.

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa dengan bertambahnya waktu maka kadar air jagung akan menurun. Pada waktu 27 jam (pukul 17:21 wib) terjadi kenaikan kadar air, hal tersebut dikarenakan terjadi hujan deras sehingga suhu udara lingkungan menurun diikuti RH yang meningkat. Dengan keadaan tersebut menyebabkan udara yang dihembuskan ke tumpukan jagung memiliki Me yang tinggi sehingga kadar air jagung pipilan meningkat.

10 12 14 16 18 20 22 24 26 0 10 20 30 40 50 60 Kadar air lapisan (%b.k)

Waktu pengeringan (jam) Mulai 14:21 wib-12:51 wib

(14)

36

F. UJI KINERJA ALAT PENGERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN

SISTEM KENDALI

F.1 Perubahan Suhu dan RH

Berdasarkan hasil pengujian pengeringan dengan menggunakan sistem kendali pada alat pengering diperoleh nilai suhu lingkungan dan suhu tumpukan jagung berfluktuasi selama pengeringan berlangsung. Nilai suhu lingkungan tertinggi yang tercatat selama proses pengeringan adalah 40.6oC, suhu terendah adalah 27.9oC sehingga suhu lingkungan rata-rata adalah 33oC. Sedangkan suhu rata-rata tumpukan di dalam pengering adalah 31.5oC dimana suhu tertinggi yang tercatat adalah 39.6oC dan suhu terendah adalah 27.1oC. Gambar 33 akan memperlihatkan fluktuasi suhu lingkungan dan suhu tumpukan rata-rata di dalam pengering selama proses pengeringan berlangsung. Selama pengeringan berlangsung dapat dikatakan bahwa kondisi cuaca cerah dan terkadang mendung.

Gambar 33. Fluktuasi suhu terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali Pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali dimulai pada pukul 09:29 wib. Berdasarkan grafik terlihat bahwa pada awal proses pengeringan suhu lingkungan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tumpukan rata-rata di dalam pengering. Pada kondisi ini udara lingkungan sangat potensial untuk digunakan sebagai media pengeringan. Namun pada jam ke-7.5 (pukul 16:59wib) suhu lingkungan lebih rendah dibandingkan suhu tumpukan rata-rata didalam pengeringan sampai pada jam ke-22 (pukul 07:21wib) sehingga pada kondisi ini udara lingkungan tidak potensial untuk media pengeringan. Pada jam berikutnya suhu lingkungan mulai kembali naik dan lebih tinggi dibandingkan suhu tumpukan hingga pada jam ke-27 (12:29). Gambar 34 menunjukkan perubahan suhu tumpukan di lima tingkatan terhadap waktu.

26 28 30 32 34 36 38 40 42 0 5 10 15 20 25 30 Suhu ( oC)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib

(15)

37 Gambar 34. Perubahan suhu tumpukan terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem

kendali

Suhu 1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut menunjukkan suhu tumpukan jagung mulai dari tumpukan terbawah sampai yang teratas. Berdasarkan grafik terlihat bahwa suhu 1 lebih tinggi dibandingkan dengan suhu yang lainnya, sedangkan suhu 4 dan 5 lebih rendah dibandingkan yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan udara lingkungan yang masuk akan mengenai tumpukan terbawah lebih dulu lalu mengalir ke bagian atas sehingga suhu 1 cenderung sama dengan suhu udara lingkungan yang masuk. Selama proses pengeringan suhu yang tertinggi pada suhu 1 adalah 39.6oC dan suhu terendah adalah 30oC. Sedangkan pada suhu 5 (tumpukan teratas), suhu tertinggi adalah 33.4oC dan suhu terendah 27.5oC. Perubahan RH terhadap waktu dapat dilihat pada Gambar 35.

Gambar 35. Hubungan antara RH terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali 25 27 29 31 33 35 37 39 41 0 5 10 15 20 25 30 Suhu ( oC)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib

Suhu 1 Suhu 2 Suhu 3 Suhu 4 Suhu 5

35 45 55 65 75 85 95 105 0 5 10 15 20 25 30 Kelem bab an relatif (%)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib

(16)

38 Berdasarkan pengujian, diperoleh data yang menunjukkan bahwa RH lingkungan tertinggi yang tercatat adalah 93.43%, RH terendah adalah 39.47% sehingga RH lingkungan rata-rata adalah 69.71%. Sedangkan RH rata-rata setelah melewati tumpukan jagung lapisan atas 84.48% dimana RH tertinggi yang tercatat adalah 97.77% dan RH terendah adalah 60.53%.

Berdasarkan grafik terlihat bahwa pada jam ke-0.5 (pukul 09:59 wib) hingga pada jam ke-7 (pukul 16:51 wib) dan pada jam ke-22.5 (pukul 07:59 wib) hingga pada jam ke-31.5 (pukul 16:59wib) RH lingkungan jauh lebih rendah dibandingkan RH tumpukan lapisan atas. Pada kondisi tersebut udara lingkungan sangat potensial sebagai media pengering. Namun sebaliknya jika RH lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan RH tumpukan jagung lapisan atas maka pada kondisi tersebut udara lingkungan tidak potensial sehingga kipas tidak berputar (mati). Terlihat pada grafik bahwa pada jam ke-7.5 (pukul 16:59 wib) hingga jam ke-8.5 (pukul 17:59 wib), jam ke-9.5 (pukul 18:59 wib) hingga jam ke-13 (pukul 22:29 wib) dan pada jam ke-14 (pukul 23:29 wib) hingga jam ke-21.5 (pukul 06:59 wib) RH lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan RH tumpukan lapisan atas. Gambar 36 menunjukkan hubungan antara kelembaban mutlak terhadap waktu.

Gambar 36. Hubungan kelembaban mutlak terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali

Berdasarkan grafik terlihat bahwa selama proses pengeringan berlangsung cenderung terjadi pengeringan. Hal tersebut terjadi dikarenakan kelembaban mutlak pada lingkungan relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelembaban pada tumpukan jagung lapisan atas. Namun pada jam ke-17 (pukul 02:59 wib) hingga pda jam ke-22.5 (pukul 07:59 wib) terjadi fluktuasi pembasahan dan pengeringan. Hal tersebut dikarena kelembaban mutlak pada lingkungan lebih tinggi dibandingkan kelembaban mutlak pada tumpukan jagung lapisan atas.

0.017 0.018 0.019 0.02 0.021 0.022 0.023 0.024 0.025 0.026 0 5 10 15 20 25 30 Kelem bab an m utlak ( g uap/ kg u.k)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib

(17)

39

F.2 Hubungan

Kadar

Air

Kesetimbangan Terhadap Putaran Kipas

Berdasarkan nilai suhu dan RH yang dideteksi oleh sensor saat proses pengeringan berlangsung, dengan menggunakan persamaan EMC Henderson (Thompson, 1967) diperoleh nilai Me pada lingkungan, tumpukan pada lapisan bawah dan tumpukan pada lapisan atas jagung pipilan yang dikeringkan. Kemudian nilai Me tersebutlah yang dijadikan perbandingan untuk penentuan tingkat kecepatan putar kipas (strategi pengendalian kipas) seperti yang telah dijelaskan pada Gambar 5 diatas. Gambar 37 memperlihatkan fluktuasi nilai kadar air kesetimbangan terhadap waktu dan terhadap kecepatan putar kipas. Jika kondisi kipas dalam kondisi berputar maksimal (2.24m/s) maka akan bernilai 1 pada grafik, sedangkan jika kipas dalam keadaan tidak berputar (mati) maka akan bernilai 0. Jika kipas berputar pada kecepatan angin 1.96 m/s akan bernilai 0.5, kecepatan angin 1.71 m/s bernilai 0.4, kecepatan angin 1.34 m/s bernilai 0.3, kecepatan angin 0.83 m/s bernilai 0.2 dan kecepatan angin 0.67 m/s akan bernilai 0.1.

Gambar 37. Hubungan antara kadar air kesetimbangan terhadap waktu dan putaran kipas selama proses pengeringan dengan sistem kendali

Berdasarkan grafik terlihat bahwa bahwa kadar air kesetimbangan berubah dengan bertambahnya waktu. Pada awal proses pengeringan terlihat Me lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan Me pada tumpukan lapisan bawah maupun lapisan atas jagung yaitu pada jam ke-0 sampai pada jam ke-6. Pada kondisi tersebut terlihat bahwa kipas menyala maksimal (1). Sedangkan pada jam selanjutnya Me lingkungan terlihat sama dengan kadar air kesetimbangan tumpukan lapisan bawah yaitu pada jam ke- 6 sampai pada jam ke-8. Pada kondisi tersebut kipas berputar pada range 0.1, 0.5 dan maksimal (1). Hal tersebut terjadi karena terkadang Me lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan Me tumpukan pada lapisan atas tetapi lebih tinggi dari Me tumpukan pada lapisan bawah. Namun pada jam selanjutnya hingga jam ke-22 (pukul 07:29 wib) terlihat bahwa Me lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan Me pada tumpukan lapisan bawah dan lapisan atas jagung yang dikeringkan. Pada kondisi ini kipas lebih cenderung

-0.1 0.2 0.5 0.8 1.1 1.4 1.7 2 2.3 2.6 2.9 3.2 3.5 3.8 4.1 4.4 4.7 5 5.3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 0 5 10 15 20 25 30 Put aran Ki pas Kadar ai r keset im bangan (%)

Waktu Pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib

Me Tumpukan Bawah Me Tumpukan Atas

(18)

40 tidak menyala. Tetapi pada jam ke 12.5 dan jam ke-21 kipas berputar pada range 0.5. Pada jam berikutnya hingga pada jam ke-27 (pukul 12:29 wib) Me lingkungan lebih rendah daripada Me pada tumpukan lapisan atas dan Me pada tumpukan lapisan bawah jagung sehingga pada kondisi tersebut kipas berputar pada kecepatan maksimal (1) dan pada range 0.1-0.5. Hal ini membuktikan bahwa strategi pengedalian telah bekerja sesuai dengan yang diharapkan.

Laju aliran udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi lamanya proses pengeringan. Semakin cepat laju aliran udara maka proses pengeringan akan lebih cepat dan sebaliknya. Pada pengujian dengan menggunakan sistem kendali ini, titik pengukuran kecepatan angin ada dua titik yaitu pada lubang masuknya udara lingkungan dan pada lubang setelah melewati tumpukan jagung paling atas. Berdasarkan data yang diperoleh laju aliran udara setelah melewati tumpukan jagung paling atas sangat rendah dibandingkan dengan laju udara masuk. Hal tersebut disebabkan terdapat cela-cela disekitar penghubung antara kipas dan penyambung pipa paralon. Selain itu, udara juga keluar pada lubang-lubang pengambilan sampel kadar air. Namun pada jam ke-8.5 laju aliran udara inlet cenderung sama dengan laju aliran setelah melewati tumpukan jagung paling atas. Pada kondisi tersebut kipas dalam keadaan tidak berputar (mati).

F.3 Perubahan

Kadar

Air

Pada pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali, jagung yang digunakan adalah jagung hybrida yang diperoleh dari kelompok petani di desa iwul kec. Parung, Bogor dengan kadar air awal jagung rata-rata adalah 25.26 %b.k. dengan beban 21.5kg. pada saat pengujian, terjadi kerusakan pada sensor SHT11 sehingga menyebabkan pembacaan nilai suhu dan kelembaban menjadi error. Namun proses pengeringan masih tetap berlanjut sampai pada jam ke-20 yaitu pada pukul 08:34 wib (stop). Berdasarkan hasil pengujian pada kondisi ini dengan sistem kendali pada alat pengering tipe batch dengan suhu lingkungan rata-rata 31.32oC, dan RH lingkungan rata-rata 76% mampu menurunkan kadar air sebesar 2% hingga kadar air mencapai 23.24 dengan lama waktu pengeringan yaitu 20 jam. Gambar 38 menunjukkan perubahan kadar air jagung terhadap waktu pengeringan

Gambar 38. Perubahan kadar air terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali tahap I. 19 20 21 22 23 24 25 26 27 0 5 10 15 20 25 Kadar air (%b.k)

Waktu pengeringan (jam) Mulai 10:06 wib - 08:34 wib

(19)

41 Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa pada awal pengeringan hingga pada jam ke-9.5 penurunan kadar air pada lapisan bawah sangat drastis. Namun pada pada lapisan atas terjadi kenaikan kadar air. Hal tersebut dikarenakan kandungan air pada lapisan bawah yang diuapkan mengalir ke bagian atas sebagian terserap oleh tumpukan jagung pada lapisan atas. Pada jam berikutnya terjadi fluktuasi kadar air, hal tersebut dikarenakan sensor SHT11 pada tumpukan jagung lapisan atas error sehingga putaran kipas tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Sensor yang digunakan mengalami kerusakan ketika sensor yang digunakan terjatuh ke lantai akibat hembusan angin yang kuat. Untuk itu, sensor tersebut diganti dengan sensor SHT75.

Kemudian pengeringan dilanjutkan pada esok harinya yaitu pada pukul 09:29 wib. Dengan suhu lingkungan rata-rata 33.67oC, dan RH lingkungan rata-rata 65.88% mampu menurunkan kadar air sebesar 4.69 % dengan lama waktu pengeringan yang efektif yaitu 13.5 jam (kipas berputar maksimal). Gambar 39 menunjukkan perubahan kadar air jagung terhadap waktu pengeringan dan terhadap putaran kipas.

Gambar 39. Perubahan kadar air terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali tahap II

Berdasarkan grafik terlihat bahwa pada kondisi kipas yang berputar maksimal pada awal pengeringan, kadar air pada tumpukan lapisan bawah mengalami penurunan drastis dibandingkan dengan kadar air pada tumpukan lapisan tengah dan lapisan atas. Kondisi tersebut berlangsung pada awal pengeringan yaitu pada jam ke-0 hingga pada jam ke-6. Sedangkan pada jam ke-6.5 kipas berputar pada range 0.2 kadar air pada lapisan bawah mengalami kenaikan kadar air tetapi pada lapisan tengah terjadi penurunan kadar air. Hal tersebut dikarenakan pada saat itu kadar air kesetimbangan lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air kesetimbangan pada tumpukan lapisan bawah namun lebih rendah dibandingkan dengan kadar air kesetimbangan pada tumpukan lapisan atas. Namun pada jam ke-7.5 kipas kembali berputar maksimal sehingga terjadi penurunan kadar air disetiap lapisan. Pada jam berikutnya, kipas cenderung tidak berputar (mati) hingga pada jam ke-22, tetapi pada jam ke-8, ke-12 dan ke-21 kipas berputar pada range 0.5. Pada kondisi tersebut terjadi penaikan dan penurunan kadar air namun tidak signifikan. Kemudian kadar air pada lapisan tengah dan lapisan mengalami penurunan secara drastis pada jam ke-22 hingga pada jam ke-27. pada kondisi tersebut kipas lebih cenderung berputar maksimal hingga kadar air jagung rata-rata 16.08%b.k. 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4 2.6 2.8 3 3.2 3.4 3.6 3.8 4 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 0 5 10 15 20 25 30 Put aran Ki pas Kadar air (%b.k)

Waktu pengeringan (jam) waktu 09:29 wib-12:29 wib

k.a Lap. Atas k.a Lap. Tengah

(20)

42

G. PENURUNAN KADAR AIR TANPA SISTEM KENDALI DAN

MENGGUNAKAN SISTEM KENDALI

Gambar 40 menunjukkan penurunan kadar air tanpa sistem kendali dan menggunakan sistem kendali selama proses pengeringan.

Gambar 40. penurunan kadar air tanpa sistem kendali dan menggunakan sistem kendali selama proses pengeringan terhadap waktu.

Berdasarkan grafik, dengan waktu pengeringan selama 27 jam terlihat bahwa pengeringan dengan sistem kendali dapat menurunkan kadar air awal jagung rata-rata 20.89%b.k hingga mencapai kadar aikhir rata-rata 16.08%b.k. sedangkan pengeringan tanpa sistem kendali hanya mampu menurunkan dari kadar air jagung rata-rata 20.48%b.k hingga mencapai kadar air akhir 18.13%b.k dan setelah pada jam ke-46.5 kadar air jagung mencapai 16.20%b.k. Pada pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali terjadi kenaikan kadar air jagung yang cukup signifikan yaitu pada jam 4.5 hingga jam 9, jam 12 hingga jam 15 dan jam 22.5 hingga jam ke-40.5. Hal tersebut terjadi dikarenakan udara lingkungan yang dialirkan ke dalam tumpukan tidak dikontrol sehingga ketika udara lingkungan tidak potensial yaitu suhu rendah dan kelembaban tinggi, kipas masih terus mengalirkan udara tersebut. Pada pengeringan dengan sistem kendali juga terlihat terjadi kenaikan kadar air namun tidak terlalu signifikan.

14 15 16 17 18 19 20 21 22 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Kadar air (%b.k)

Waktu pengeringan (jam)

(21)

43

H. KONSUMSI ENERGI LISTRIK SELAMA PROSES PENGERINGAN

TANPA SISTEM KENDALI DAN MENGGUNAKAN SISTEM

KENDALI

Pada proses pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali, pengeringan dilakukan pada kadar air awal jagung pipilan rata-rata 20.48%b.k dengan suhu lingkungan berkisar antara 25.7oC - 36 oC dan RH lingkungan rata-rata 55.25% - 97.65% dapat mengeringkan jagung hingga mencapai kadar iar akhir rata-rata16.08%b.k dan lama pengeringan 46.5 jam. Konsumsi energi yang digunakan (energi listrik untuk penyalaan kipas) selama proses pengeringan ini sebesar 7.59 MJ atau 4.288MJ/kg air yang diuapkan.

Pada pengujian dengan menggunakan sistem kendali pengeringan dengan suhu lingkungan berkisar antara 27.9oC – 40.6 oC, dan RH lingkungan antara 39.47% - 93.43% dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama pengeringan dimulai 25.26%b.k sampai kadar air 23.24%b.k dengan lama pengeringan efektif (kondisi kipas menyala) adalah 20 jam dan konsumsi energi listrik yang digunakan adalah 1.959 atau 4.520 MJ/kg air yang diuapkan. Tahap kedua pengeringan dimulai dari kadar air awal rata-rata sebesar 20.89%b.k hingga mencapai kadar air 16.20%b.k dengan lama pengeringan efektif (kondisi kipas menyala) yaitu 12.15 jam dan dengan konsumsi energi listrik sebesar 2.593 MJ atau 2.002 MJ/kg air yang diuapkan. Strategi pengendali yang telah didesain secara umum berfungsi dengan baik dan konsumsi energi listrik yang digunakan serta waktu pengeringan pada pengujian dengan sistem kendali lebih rendah dan lebih cepat dibandingkan dengan pengujian tanpa sistem kendali. Konsumsi energi listrik selama proses pengeringan jagung pipilan berlangsung dengan dan tanpa menggunakan sistem kendali dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Konsumsi energi listrik yang digunakan selama proses pengeringan jagung pipilan dengan

dan tanpa menggunakan sistem kendali.

Pengeringan Jagung pipilan Kadar air awal rata-rata (%b.k) Kadar air akhir rata-rata (%b.k) Waktu pengeringan efektif (jam) Total energi listrik (MJ) selama proses pengeringan Energi listrik (MJ/kg air yang diuapkan) Tanpa sistem kendali 20.48 16.08 46.5 7.59 4.288 Dengan sistem kendali • Tahap I • Tahap II 25.26 20.89 23.24 16. 20 20 12.15 1.959 2.011 4.520 1.553

Berdasarkan data pada tabel diatas, pengeringan jagung pipilan dengan menggunakan sistem kendali menggunakan energi listrik yang lebih rendah dan waktu pengeringan yang lebih cepat dibandingkan pengeringan tanpa sistem kendali. Namun pengeringan dengan sistem kendali pada

(22)

44 tahap pertama tidak efisien karena konsumsi energi yang digunakan lebih besar, penurunan kadar air yang terjadi kecil dan waktu pengeringan yang lama. Hal tersebut dikarenakan sensor yang digunakan error sehingga tidak berfungsi dengan baik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada pengeringan dengan sistem kendali pada tahap II, pengeringan dimulai pada kadar air awal dan akhir rata-rata yang hampir sama dengan kadar air awal dan akhir rata-rata pada pengeringan tanpa sistem kendali. Berdasarkan data, energi yang digunakan dan lamanya pengeringan lebih rendah dan singkat dibandingkan dengan pengeringan tanpa sistem kendali. Pengeringan dengan sistem kendali energi yang digunakan adalah 2.011 MJ atau 1.553 MJ/kg air yang diuapkan dengan waktu pengeringan maksimal 10.517 jam sedangkan pengeringan tanpa sistem kendali energi yang digunakan sebesar 7.59 MJ atau 4.288 MJ/kg air yang diuapkan dengan lama pengeringan 46.5 jam.

Gambar

Gambar 15. Rangkaian pembacaan sensor,  LCD dan catu daya
Gambar 17. Modul mikrokontroler DT-51  Low Cost Micro System ver 2.2
Gambar 20. Modul SHT75
Gambar 22. Rangkaian LCD yang terhubung dengan port pada Mikrokontroler  Tabel 7 Spesifikasi pinpada LCD tipe LMB162AFC
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kapasitansi dapat dihitung dari data hasil pengujian cyclic voltametry berupa kurva arus (A)-potensial (volt), Sehingga diperoleh nilai kapasitansi kapasitor elektrokimia WO 3 di

Seluruh jenis layanan administrasi akademik dan kemahasiswaan program perkuliahan kelas reguler yang ditangani layanannya secara terpadu yaitu: Pengelolaan surat

Adapun bentuk rancangan output dari Sistem Informasi Akuntansi Pengaruh biaya Operasional Berbanding Pendapatan Operasional Terhadap Laba Rugi ( Studi Kasus Bank

Seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai suatu hal, cenderung akan mengambil keputusan yang lebih tepat berkaitan dengan masalah yang

Segala aspek visual yang ada di cover majalah TIME edisi Person of The Year 2016 & Man of The Year 1941 yang telah dianggap dapat menjelaskan konstruksi media

Bertitik tolak dengan hasil penelitian yang berkaitan dengan hubungan kesegaran jasmani dengan status gizi siswa Sekolah Dasar Negeri 18 Kumanis Kecamatan Sumpur Kudus

Hasil: Prosedur restrain yang diakukan di UPIP sebagian besar kurang sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, diikat dalam waktu lebih dari 4 jam, Pelaksanaan

Seperti yang dikemukakan diatas, budaya globalisasi sedang melanda dunia, tak terkecuali Inodonesia. Segala aspek secara tidak langsung mendapatkan pengaruh