• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAMAN KOMPONEN KIMIA DAN DIMENSI SERAT KAYU REAKSI MELINJO (Gnetum gnemon Linn) NOVIYANTI NUGRAHENI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAMAN KOMPONEN KIMIA DAN DIMENSI SERAT KAYU REAKSI MELINJO (Gnetum gnemon Linn) NOVIYANTI NUGRAHENI"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

NOVIYANTI NUGRAHENI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

iii

KERAGAMAN KOMPONEN KIMIA DAN DIMENSI SERAT

KAYU REAKSI MELINJO (Gnetum gnemon Linn)

NOVIYANTI NUGRAHENI E24104053

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan IPB

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

RINGKASAN

NOVIYANTI NUGRAHENI. E24104053. Keragaman Komponen Kimia dan Dimensi Serat Kayu Reaksi Melinjo (Gnetum gnemon Linn) Dibawah bimbingan DEDED SARIP NAWAWI

Kayu merupakan produk alam yang sangat komplek hasil dari pertumbuhan pohon. Diantara berbagai sifat kayu, salah satu cacat kayu yang sering ditemui adalah kayu reaksi. Apabila selama pertumbuhannya, pohon mendapatkan pengaruh mekanis dari luar, tumbuhan berkayu akan membentuk kayu reaksi yang dikenal sebagai kayu tekan (compression wood) pada kayu daun jarum (softwood) dan kayu tarik (tension wood) pada kayu daun lebar (hardwood). Kayu tekan terbentuk pada bagian bawah batang miring atau bengkok yang ditandai dengan terbentuknya jaringan kayu yang lebih lebar, sedangkan kayu tarik terbentuk sebaliknya. Kayu reaksi telah diketahui memiliki perbedaan dalam sifat anatomi, sifat fisis, dan sifat kimia dibanding kayu normal. Ditinjau dari sifat kimianya, kayu tekan pada kayu daun jarum dikenal dengan kandungan lignin yang lebih tinggi dan selulosa yang lebih rendah dibanding kayu normalnya, sedangkan kayu tarik jenis kayu daun lebar memiliki kandungan selulosa yang lebih tinggi dan lignin yang lebih rendah dibanding kayu normal.

Gnetum gnemon L adalah salah satu jenis kayu yang termasuk ke dalam kelompok gimnospermae sebagaimana jenis kayu softwood lainnya, akan tetapi jaringan kayunya memiliki pori (vessel) yang merupakan tipikal dari jenis kayu hardwood kelompok angiospermae. Oleh karena itu seringkali jenis kayu ini disebut sebagai jenis kayu transisi antara softwood dan hardwood. Oleh karena itu menjadi sangat menarik untuk diteliti, apakah jenis kayu ini akan merespon pengaruh mekanis dari luar dengan membentuk kayu reaksi berupa kayu tekan seperti halnya jenis kayu softwood, atau sebaliknya berperilaku seperti halnya kayu hardwood yang membentuk kayu tarik, dengan sifat kimianya yang khas kayu daun lebar. Perbedaan respon kayu ini dalam membentuk kayu reaksi akan mengakibatkan perbedaan sifat kimia yang dimilikinya dan pada akhirnya akan berimplikasi pula terhadap kesesuaian dalam pemanfaatan kayu ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik komponen kimia dan dimensi serat kayu reaksi G. gnemon serta kayu oppositnya, dan implikasinya terhadap kemungkinan pemanfaatan jenis kayu ini sebagai bahan baku pulp dan kertas. Sampel kayu diperoleh dari pohon yang tumbuh miring, dan contoh uji diambil dari empat bagian searah melingkar batang, masing-masing bagian kayu reaksi, kayu opposit, dan bagian kayu antara kayu reaksi dan kayu oppositnya. Analisis kimia kayu dilakukan dengan merujuk pada standar TAPPI (Technical Association of Pulp and Paper Industry) dan analisis dimensi serat kayu menggunakan metoda maserasi. Penilaian kualitas kayu berdasarkan sifat kimia dan dimensi seratnya dilakukan dengan merujuk pada kriteria persyaratan sifat kayu untuk bahan pulp dan kertas dan kriteria penilaian serat kayu Indonesia untuk bahan baku pulp dan kertas.

Secara visual, kayu G. gnemon membentuk kayu reaksi pada bagian sisi bawah batang pohon yang miring seperti halnya kayu daun jarum (softwood),

(4)

v

akan tetapi secara umum bagian kayu reaksi memiliki kandungan selulosa, Į-selulosa, holoselulosa yang lebih tinggi, dan lignin lebih rendah dibanding bagian kayu oppositnya. Fenomena ini sama seperti yang terjadi pada kayu reaksi dari jenis kayu daun lebar umumnya. Oleh karena itu, walaupun pembentukan jaringan kayu reaksi seperti pola kayu daun jarum tetapi karakteristik kimianya lebih menyerupai kayu daun lebar. Hal ini ditunjang oleh karakteristik seratnya yang memiliki sifat dari jenis kayu daun lebar. Jaringan yang terbentuk pada kayu reaksi melinjo mempunyai serat yang pendek, dinding sel yang tebal dan jumlah pori yang semakin sedikit dibandingkan dengan kayu oppositnya. Karakteristik ini menunjukkan ciri-ciri dari kayu reaksi dari jenis kayu daun lebar atau hardwood (Sjostrom 1991, Fengel Wegener 1985, Rowell 1984, Tsoumis 1991).

Kandungan komponen kimia kayu reaksi melinjo menunjukkan nilai selulosa 42%, Į-selulosa 23,93%, dan holoselulosa 81,60% lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian oppositnya dengan nilai selulosa 41,36%, Į-selulosa 20,42% dan holoselulosa 80,08%. Kandungan lignin lebih rendah pada bagian kayu reaksi (22,45%) dibanding dengan bagian kayu oppositnya yaitu sebesar 23,40%. Berdasarkan kandungan holoselulosanya yang tinggi dan lignin yang rendah, jenis kayu melinjo memiliki potensi yang baik sebagai bahan baku pulp dan kertas; akan tetapi karena nilai Į-selulosanya rendah dan karakteristik serat yang hanya termasuk ke dalam kualitas III berdasarkan kriteria penilaian serat kayu Indonesia untuk bahan baku pulp dan kertas; maka pulp dari jenis kayu ini tidak sesuai untuk produk kertas yang mensyaratkan kualitas kekuatan lembaran yang tinggi.

Kata kunci : kayu reaksi, opposit, Gnetum gnemon L, komponen kimia, dimensi serat.

(5)

Variation of Chemical Components and Fiber Dimension in

the Reaction Wood of Gnetum gnemon L.

Noviyanti Nugraheni1and Deded Sarip Nawawi2

INTRODUCTION. Wood is a biological product produced by influencing of genetic and environmental factors. When a tree has been getting external forces such as wind and gravity, tree produce a special wood tissue referred to as reaction wood. Softwood produced a compression wood formed in the lower side of leaning stem, however, hardwood produced a tension wood in the upper side of leaning stem. Reaction wood has been known having difference in anatomical, physical and chemical properties compare to normal wood. Compression wood found to be higher in lignin content and lower in cellulose content than normal wood, however, tension wood has a higher of cellulose and lower of lignin compare to normal wood. Gnetum gnemon L. is one wood species belong to gymnosperm, however, this wood species found to have vessel in its wood tissue as a typical of hardwood. It is interesting to know whether this wood species produce compression wood or tension wood during its reaction wood formation. The aim of this research is to investigate the characteristic of chemical component and fibers properties of Gnetum gnemon L. This information will be needed in relation to utilize of this wood as a fiber resources for pulp and paper production. METHODS. The analysis of wood component was conducted according to TAPPI standard, and fiber dimension measurement was done by maceration method. Wood samples were taken from the leaning stem of Gnetum gnemon L, and test specimen were prepared from four different part along periphery direction of wood disk; i.e. reaction wood, opposite wood, and side wood part. RESULTS. Gnetum gnemon L tree formed the reaction wood tissue in the lower side of its leaning stem, which, is similar to softwood species. In the other hand, from chemicals properties of point view this wood species seem to be similar with hardwood species. Reaction wood tissue of Gnetum gnemon L has a higher in cellulose and Į-cellulose, and lower in lignin content compare to opposite wood. This tendency was similar with tension wood of hardwood species. It was in agreement with anatomical properties, which, reaction wood has a fewer of vessel, shorter and ticker of fiber than opposite wood. According to Indonesia wood fiber classification for pulp and paper, Gnetum gnemon wood is fulfill of requirement as raw material for medium grade of pulp and paper products.

Advisor,

Deded Sarip Nawawi, Ir, M.Sc.

1. Student of Forest Product Department Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University

2. Lecturer of Forest Product Department Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University

(6)

vii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Keragaman Komponen Kimia dan Dimensi Serat Kayu Reaksi Melinjo ”(Gnetum

gnemon Linn)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan

dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2008

Noviyanti Nugraheni NRP E24104053

(7)

Judul Skripsi : Keragaman Komponen Kimia dan Dimensi Serat Kayu Reaksi Melinjo (Gnetum gnemon Linn)

Nama : Noviyanti Nugraheni

NIM : E24104053

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Ir. Deded Sarip Nawawi, MSc NIP. 131967242

Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131578788

(8)

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas segala berkat dan angerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan dukungan dari berbagai pihak, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Keragaman Komponen Kimia dan Dimensi Serat Kayu Reaksi Melinjo (Gnetum gnemon Linn)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik komponen kimia dan dimensi serat kayu reaksi Gnetum gnemon L serta kayu oppositnya, sehingga dapat meningkatkan pemanfaatannya terutama sebagai bahan serat untuk pembuatan pulp dan kertas. Penyusunan skripsi dilakukan atas dasar penelitian yang dilakukan selama dua bulan yaitu dari bulan Mei 2008 hingga Juni 2008 di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ir. Deded Sarip Nawawi, MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini, kedua orang tua penulis dan keluarga yang telah banyak memberikan kasih sayang, semangat serta dukungan doa dan dana, staf pengajar dan teknisi Laboratorium Kimia Hasil Hutan, dan semua pihak yang telah membantu kelancaran hingga selesainya karya ilmiah ini.

Bogor, Agustus 2008

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 5 November 1986, sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Markus Haryanto (ayah) dan Nurani Krisdiawati (ibu).

Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1992 di SD Negeri Kedawung I dan selesai pada tahun 1998. Setelah itu pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Kroya hingga selesai pada tahun 2001, dan melanjutkan ke SMU Negeri 1 Kroya Cilacap hingga tamat pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan ditetapkan sebagai mahasiswa Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti praktek Pengenalan dan Pengolahan Hutan pada bulan Juli-Agustus 2007 di Kampus Praktek Umum Universitas Gadjah Mada KPH Getas, BKPH Baturaden dan BKPH Cilacap. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) selama dua bulan di PT. Injakayu Terpadu Gunung Putri Bogor Jawa Barat. Selama kuliah penulis juga aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan diantaranya adalah sebagai staf Human Resource Development IFSA LC IPB dan staf kelompok minat ekonomi industry Himasiltan (2005-2006).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah dengan judul ”Keragaman Komponen Kimia dan Dimensi Serat Kayu Reaksi Melinjo (Gnetum gnemon Linn)” dibawah bimbingan Ir. Deded Sarip Nawawi, MSc

(10)

xi

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberi dukungan selama menyelesaikan tugas akhir ini, dianaranya kepada:

1. Bapak, alm. Ibu dan lia (adik), juga keluarga besar penulis untuk kasih sayang, motivasi, dukungan dan perhatiannya.

2. Ir. Deded Sarip Nawawi, Msc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran, dan semangatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Rizky Nugraha atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis. 4. Teman-teman seperjuangan (THH’41) dan seluruh warga Fahutan atas

kebersamaannya dalam suka dan duka.

5. Seluruh dosen, staf dan teman-teman di Keluarga Besar Kimia Hasil Hutan (Pak Atin, bibi, mas Wawan, Ali, Rendra, Edo, Adi, Sandy, Patria, Hanif, Gokma, Zee, Farika, K’Puy) atas kerjasama, informasi, sharing dan kekompakannya.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Hasil Hutan.

7. Teman-teman pengurus PF Fahutan’41 (Andri, Bety, Kety, Lilis, Melincah) serta Bang Gustaf dan Kak Ike atas kebersamaannya dalam melayani.

8. Seluruh penghuni Pondok Surya (Gendis, Fath, Siska, Wiwin, Citra dll) atas kebersamaan sebagai satu keluarga, perhatian, kekompakan dan untuk semua fasilitas pendukung yang telah disediakan bagi penulis

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang ... 1 1. 2.Tujuan penelitian ... 2 1. 3. Manfaat penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Kayu reaksi... 3

2. 2. Kayu tarik ... 3

2. 3. Kayu tekan... 4

2. 4. Gnetum gnemon Linn ... 5

2. 5. Komponen kimia struktural kayu ... 5

2. 6. Komponen kimia non-struktural kayu... 7

2. 7. Dimensi serat dan turunan dimensi serat... 8

2. 7.1. Dimensi serat ... 8

2. 7.2. Turunan dimensi serat... 9

III. BAHAN DAN METODE 3. 1. Waktu dan tempat penelitian ... 11

3. 2. Bahan dan alat ... 11

3. 2.1. Bahan penelitian ... 11

3. 2.2. Alat penelitian ... 11

3. 3. Metode penelitian 3. 3. 1. Identifikasi kayu reaksi... 12

3. 3. 2. Persiapan bahan baku ... 12

3. 4.1. Penentuan komponen kimia structural kayu 3. 4.1. Kadar selulosa ... 12

3. 4.2. KadarĮ-selulosa... 13

(12)

ii

3. 4.4. Kadar lignin ... 14

3.5. Penentuan komponen non-struktural kayu 3. 5.1. Kelarutan dalam air ... 14

3. 5. 2. Kelarutan dalam NaOH 1%... 15

3. 5. 3. Kelarutan dalam etanol-benzene (1:2)... 15

3. 5. 4. Kadar abu kayu... 16

3. 6. Pengukuran dimensi serat 3. 6..1. Pembuatan slide maserasi... 16

3. 6.2. Pembuatan slide mikrotom ... 17

3. 6.3. Perhitungan turunan dimensi serat ... 17

3. 7. Analisis data ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Pembentukan kayu reaksi ... 19

4. 2. Komponen kimia struktural kayu ... 19

4. 2. 1. Selulosa... 19

4. 2. 2. Alpha-selulosa ... 21

4. 2. 3. Holoselulosa ... 23

4. 2. 4. Lignin ... 25

4. 3. Komponen kimia non- struktural kayu... 27

4. 3. 1. Kelarutan dalam air ... 26

4. 3. 2. Kelarutan dalam NaOH 1%... 27

4. 3. 3. Kelarutan dalam etanol-benzene (1:2)... 28

4. 3. 4. Kadar abu... 29

4. 4. Dimensi serat dan turunannya 4. 4. 1. Dimensi serat ... 30

4. 4. 2. Turunan dimensi serat ... 32

4. 5. Jumlah pori dan diameter pori... 34

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1. Kesimpulan... 36

5. 2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA... 37

(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Komponen Kimia Struktural Kayu Reaksi Gnetum gnemon L

pada Posisi Melingkar Batang ... 20 2. Komponen Kimia Non-Struktural kayu reaksi Gnetum gnemon L

pada arah melingkar batang... 25 3. Dimensi serat kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar... 30 4. Jumlah pori/mm2dan diameter serat pada arah melingkar batang ... 34

(14)

iv

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Pengambilan contoh uji... 11

2. Penampang melintang batang Gnetum gnemon L setelah ditebang dan slide mikrotom sisi melintang kayu reaksi

Gnetum gnemon L... 19 3. Keragaman kadar selulosa kayu reaksi Gnetum gnemon L

pada arah melingkar batang ... 21

4. KeragamanĮ-Selulosa kayu reaksi Gnetum gnemon L

pada arah melingkar batang ... 22

5. Keragaman kadar holoselulosa kayu reaksi Gnetum gnemon L

pada arah melingkar batang ... 23

6. Keragaman lignin kayu reaksi Gnetum gnemon L

pada arah melingkar batang ... 25

7. Keragaman kelarutan dalam air dingin kayu reaksi

Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang ... 27 8. Keragaman kelarutan dalam air panas kayu reaksi

Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang ... 28 9. Keragaman kelarutan dalam NaOH 1% kayu reaksi

Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang ... 28 10. Keragaman kelarutan dalam Etanol-Benzene (1:2)

kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang ... 29

11. Keragaman kadar abu kayu reaksi Gnetum gnemon L

pada arah melingkar batang ... 31

12. Keragaman panjang serat, tebal dinding serat dan diameter lumen

kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang ... 32

13. Keragaman runkel ratio, daya tenun, flexibility ratio dan coefisien of rigidity kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah

melingkar batang... 33

14. Keragaman jumlah pori /mm2 dan diameter pori kayu reaksi

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Data persentase komponen kimia kayu reaksi

Gnetum gnemon L... 39 2. Data persentase kelarutan ekstraktif kayu reaksi

Gnetum gnemon L... 40 3. Data dimensi serat kayu reaksi Gnetum gnemon L……….………41

4. Data Jumlah pori/mm2kayu reaksi Gnetum gnemon L………..…...45

5. Diameter pori pada posisi melingkar batang kayu reaksi

Gnetum gnemon L... 46 6. Klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia ... 47

7. Persyaratan sifat kayu untuk bahan pulp dan kertas ... 47

8. Kriteria penilaian serat kayu Indonesia untuk bahan baku

(16)

I. PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Kayu merupakan salah satu produk alam, mempunyai sifat yang sangat kompleks yang merupakan hasil proses pertumbuhan pohon (Surjokusumo et al. 1984). Sifat kompleks tersebut dapat terjadi dalam jenis yang sama dari pohon berbeda, maupun dalam satu batang pohon. Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi pertumbuhan pohon dan berpengaruh pula terhadap kualitas kayu. Kayu yang biasanya dikehendaki oleh manusia dalam penggunaanya adalah kayu normal, dengan diameter besar dan silindris.

Cacat kayu yang sering dijumpai adalah kayu reaksi (reaction wood). Kayu reaksi terjadi apabila pohon mendapat pengaruh dari luar sehingga mengganggu keseimbangan alaminya dan pohon membentuk jaringan khusus. Walaupun kayu reaksi yang dibentuk dalam kayu daun lebar berbeda dengan kayu reaksi yang dibentuk dalam kayu daun jarum, tetapi fungsi kayu reaksi sama yaitu untuk mengembalikan batang atau cabang ke posisi semula (Haygreen dan Bowyer 2003).

Kayu reaksi baik berupa kayu tekan atau tarik, berbeda dalam sifat anatomi, kimia dan fisis dari kayu normal dan seringkali merugikan dalam penggunaanya. Dari aspek kimia, kayu tekan diketahui mengandung lignin dan galaktan lebih tinggi dibandingkan kayu normal dan dari aspek anatomi kayu tekan memiliki kerapatan tinggi, dinding sel lebih tebal, warna lebih gelap, serat lebih pendek dan susut longitudinal 10-15% lebih tinggi dari kayu normal (Wilson 1981). Sementara itu, kayu tarik diketahui mengandung selulosa yang lebih tinggi, lignin dan poliosa yang lebih rendah, vessel yang lebih sedikit dan kecil dibanding kayu normal (Fengel dan Wegener 1995). Keragaman komponen kimia tersebut mempunyai arti penting karena menentukan kegunaan suatu jenis kayu.

Melinjo (Gnetum gnemon L.) adalah suatu jenis tanaman berbiji terbuka (Gymnospermae) dari famili Gnetaceae yang berasal dari asia tropik, batangnya kokoh, mempunyai serat yang kuat dan buahnya bisa dimanfaatkan sebagai makanan. Melinjo mempunyai karakteristik unik karena walaupun kayu ini termasuk ke dalam jenis gymnospermae akan tetapi dilihat dari struktur

(17)

anatominya, mempunyai pori (vessel) yang merupakan ciri khas kayu hardwood dari kelompok angiospermae dan seringkali pula jenis kayu ini disebut sebagai jenis kayu transisi antara softwood dan hardwood. Hingga saat ini belum diketahui dengan jelas apakah jenis kayu ini akan merespon pengaruh mekanis dari luar dengan membentuk kayu reaksi berupa kayu tekan seperti halnya jenis kayu softwood, atau sebaliknya berperilaku seperti halnya kayu hardwood yang membentuk kayu tarik, dengan sifat kimianya yang khas, kayu daun lebar. Perbedaan respon kayu ini dalam membentuk kayu reaksi akan mengakibatkan perbedaan sifat kimia yang dimilikinya dan pada akhirnya akan berimplikasi pula terhadap kesesuaian dalam pemanfaatan kayu ini.

1. 2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik komponen kimia dan dimensi serat kayu reaksi Gnetum gnemon L serta kayu oppositnya, sehingga dapat meningkatkan pemanfaatannya, terutama sebagai bahan serat untuk pembuatan pulp dan kertas.

1. 3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat; (1) menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu kayu sebagai bahan baku, (2) dalam rangka penggunaan kayu reaksi melinjo secara tepat, karena pengetahuan tentang sifat kimia dan dimensi serat merupakan salah satu sifat dasar kayu sebagai dasar pertimbangan penggunaan kayu sebagai bahan serat.

Informasi tentang kandungan komponen kimia kayu seperti selulosa, Į selulosa, holoselulosa, hemiselulosa, lignin dan ekstraktif kayu reaksi Gnetum gnemon L. dapat membantu dalam usaha pemanfaatan kayu tersebut sebagai bahan baku serat untuk pembuatan kertas.

(18)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Kayu Reaksi ( Reaction wood )

Sebagai produk dari organisme hidup, kayu merupakan hasil produk biologis pohon dengan berbagai keragaman sifatnya. Sifat dan kualitas kayu secara alami sangat ditentukan oleh sifat genetik dan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya. Apabila pohon mendapat pengaruh luar yang menggangu keseimbangan alaminya, seperti oleh angin, atau tekanan dan beban mekanis lainnya, pohon akan membentuk jaringan khusus yang disebut kayu reaksi (Sjostrom 1991, Walker 1993, Rowell 1984).

Pada kayu daun jarum, kayu reaksi dikenal dengan istilah kayu tekan (compression wood) yang terbentuk pada bagian bawah batang pohon yang miring atau cabang, sedangkan pada kayu daun lebar terjadi reaksi jaringan pada bagian atas batang pohon atau cabang, dan ini dikenal sebagai kayu tarik (tension wood). Pada penampang cross section untuk bagian pangkal pohon akan terlihat eccentric (Kollman dan Cote 1968). Fungsi dari jaringan ini adalah untuk memulihkan atau menyeimbangkan batang atau cabang dari tekanan ke kondisi awalnya.

2. 2. Kayu Tarik

Kayu daun lebar yang termasuk dalam angiospermae membentuk kayu reaksi yang disebut kayu tarik. Perbedaan mendasar yang ditunjukkan dalam struktur kayu yang termasuk pada angiospermae yaitu ditemukan sel pembuluh dan mempunyai struktur lebih komplek serta variasi tipe sel yang lebih besar dalam tiap sel (Pandit dan Ramdan 2002). Kayu tarik terbentuk pada bagian atas batang yang melengkung atau miring, walaupun tidak selalu ditemui pada setiap jenis. Kayu tarik terkonsentrasi pada area yang lebar berwarna lebih putih/terang dibanding dengan kayu normal, sedangkan pada kayu tropis, kayu tarik berwarna lebih gelap, kalu digergaji menghasilkan permukaan yang kasar. Perbandingan volume serat dengan sel pembuluh lebih tinggi dengan ukuran diameter vessel yang lebih kecil (Rowell 1984).

Selulosa kayu tarik umumnya lebih tinggi, dengan lignin dan poliosa lebih sedikit. Menurut Scurfield (1973) dalam Haygreen dan Bowyer (1989), susunan

(19)

dinding sel tergantung pada tingkat perkembangan suatu sel tertentu pada saat miringnya batang. Sel-sel yang telah membentuk lapisan S1 dan S2 dalam dinding sekunder akan segera menghentikan perkembangan yang normal bila batang miring dan berganti dengan lapisan gelatinous (Lapisan G) sehingga menyebabkan meningkatnya selulosa.

2. 3. Kayu Tekan

Dalam kayu daun jarum yang termasuk dalam gymnospermae, kayu reaksi sering juga disebut kayu tekan. Perbedaan mendasar yang ditunjukkan dalam struktur kayunya yaitu pada gymnospermae tidak ditemukan sel pembuluh dan mempunyai struktur lebih sederhana serta variasi tipe sel yang lebih kecil (Pandit dan Ramdan 2002). Kayu reaksi terbentuk pada sisi tekan (sisi bawah) batang yang miring. Kayu tekan juga terbentuk hampir secara universal dalam cabang-cabang, yang berfungsi untuk mempertahankan sudut cabang. Sifat kayu tekan sangat berbeda dengan kayu dewasa yang normal. Trakeid kayu tekan kira-kira 30% lebih pendek dari pohon normal. Kayu tekan mengandung selulosa 10% lebih sedikit dan lignin serta hemiselulosa 8-9% lebih banyak dari kayu normal (Kollman dan Cote 1968). Faktor ini mengurangi kesesuaian kayu tekan untuk pembuatan pulp dan kertas.

Penyusutan longitudinal kayu tekan umumnya 1-2% (dibandingkan 0,1-0,2% untuk kayu normal) dan bahkan dapat mencapai 6-7%. Kayu tekan sering memiliki lingkaran tahun yang sangat lebar pada sisi bawah atau sisi tekan batang yang miring tersebut, dengan lingkaran yang jauh lebih sempit pada sisi yang berlawanan pada empulur. Pada tingkat mikroskopik dapat dilihat secara longitudinal ujung-ujung trakeida kayu tekan bengkok dan terlipat. Dalam potongan melintang, sel ini lebih membulat dari pada segi empat dan mempunyai ruang antar sel yang tegas diantaranya. Analisis dinding trakeida kayu tekan menunjukan hanya lapisan S-1 dan S-2 yang terdapat dalam dinding primer, dengan sudut mikrofibril S-2 yang lebih besar menghasilkan penyusutan longitudinal yang besar (Wardrop dan Dadswell 1950 dalam Haygreen dan Bowyer 1989).

(20)

5

Kayu tekan hanya memiliki 30% selulosa, dibandingkan dengan kandungan selulosa pada kayu normal yang mencapai 42%, dengan kandungan lignin lebih tinggi 40% (Timell 1981 dalam Siau 1984). Pada kayu tekan mengandung lebih sedikit selulosa kristalin bila dibandingkan dengan kayu normal (Tanaka et al. 1981 dalam Siau 1984).

2. 4. Kayu Melinjo (Gnetum gnemon Linn)

Melinjo (Gnetum gnemon L.) adalah suatu spesies tanaman berbiji terbuka (Gymnospermae) berbentuk pohon yang berasal dari Asia tropik dan Pasifik Barat. Melinjo merupakan tumbuhan tahunan berbentuk pohon yang berumah dua (dioecious) dari famili Gnetaceae. Batangnya kokoh dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Daunnya tunggal berbentuk oval dengan ujung tumpul.

Melinjo (Gnetum gnemon L.) adalah tanaman tahunan yang tumbuh dengan baik di daratan rendah dan tinggi yang tidak lebih dari 1200 m dpl. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada tanah liat, lempung dan tanah berpasir. Tumbuhan melinjo mulai berbuah pada umur 3~4 tahun. Kulit tanaman ini juga berguna, yaitu dapat diolah menjadi tali. Suatu macam serat yang berkualitas tinggi dihasilkan dari kulit batang bagian dalam kulit ini dimanfaatkan sebagai tali panah yang terkenal di pulau Sumba, juga untuk tali pancing atau jaring, berkat ketahanannya terhadap air laut (Harley dan Elevitch 2006)

2. 5. Komponen Kimia Struktural Kayu

Komponen kimia kayu dibedakan menjadi komponen-komponen makromolekul utama dinding sel yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin, yang terdapat pada semua kayu, dan komponen-komponen minor dengan berat molekul kecil (ekstraktif dan zat-zat mineral), yang biasanya lebih berkaitan dengan jenis kayu tertentu dalam jenis dan jumlahnya. Perbandingan dan komposisi kimia lignin dan hemiselulosa berbeda pada kayu daun jarum dan kayu daun lebar, sedangkan selulosa merupakan komponen yang seragam pada semua kayu (Fengel dan Wegener 1995).

Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan bahwa kayu adalah suatu karbohidrat yang tersusun atas karbon, hidrogen dan oksigen. Kayu mengandung

(21)

senyawa an-organik yang tetap tinggal setelah terjadi pembakaran tinggi. Residu semacam ini dikenal dengan abu. Unsur-unsur penyusun kayu itu tergabung dalam sejumlah senyawa organik : selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kollman dan Cote (1989) menyatakan bahwa pada kayu daun lebar dan kayu daun jarum normal, mengandung 42±2% selulosa. Lignin pada kayu daun lebar 18-25%, sedang pada kayu daun jarum 25-35%.

Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit ȕ-D-glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan glikosida (1ĺ4). Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intra dan inter molekul. Berkas-berkas molekul selulosa membentuk agregat bersama-sama membentuk mikrofibril yang mengandung tempat-tempat yang sangat teratur (kristalin), diselingi dengan tempat-tempat yang kurang teratur (amorf). Mikrofibril membentuk fibril-fibril dan akhirnya serat-serat (Sjostrom, 1991). Menurut Casey (1980), selulosa dalam kayu berikatan dengan banyak zat lain yang berbeda antara lain hemiselulosa dan lignin. Pemisahan selulosa dari zat pengotor berguna dalam proses pembuatan pulp karena terlalu banyak zat lain dalam pulp akan menurunkan kualitas dari pulp tersebut.

Dalam setiap metode isolasi, selulosa tidak dapat diperoleh dalam keadaan murni, namun hanya diperoleh sebagai hasil yang kurang murni yang biasanya disebut ɲ-selulosa. Istilah ini dinyatakan oleh Cross dan Bevan pada tahun 1912 untuk selulosa kayu yang tidak larut dalam natrium hidroksida kuat. Menurut Casey (1980), kertas yang memiliki kandungan Į-selulosa yang tinggi atau viskositas yang tinggi, pada umumnya mengandung serat berkualitas tinggi dan dikarakterisasi memiliki derajat stabilitas yang tinggi.

Lignin adalah suatu polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi, tersusun atas unit-unit fenilpropana. Lignin sangat stabil dan sukar dirubah dan mempunyai bentuk yang bermacam-macam, sehingga susunan lignin yang pasti dalam kayu tetap tidak menentu. Lignin terdapat diantara sel-sel dan didalam dinding sel. Lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan berfungsi untuk memberikan ketegaran pada sel. Lignin juga berpengaruh dalam memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan kandungan air kayu dan

(22)

7

mempertinggi sifat ketahanan kayu terhadap serangan cendawan dan serangga (Haygreen dan Bowyer 1989). Achmadi (1990) menyebutkan bahwa lignin dapat dibagi dalam kelompok menurut unsur strukturalnya, yaitu :

1.Lignin guaiasil : terdapat pada kayu daun jarum (23-32%), dengan prazat koniferil alkohol.

2.Lignin guaiasil-siringil : merupakan ciri kayu daun lebar (20-28%,pada kayu tropis> 30%), dengan prazat koniferil alkohol : sinapil alkohol, nisbah 4:1 sampai 1:2.

2. 6. Komponen Kimia Non-Struktural Kayu

Ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan non polar. Dalam arti yang sempit ekstraktif merupakan senyawa yang larut dalam pelarut organik. Senyawa-senyawa karbohidrat dan anorganik yang larut dalam air juga termasuk dalam senyawa yang dapat diekstraksi (Fenger dan Wegener 1995).

Ekstraktif dapat dibagi menjadi fraksi lipofilik, dan fraksi hidrofilik, walaupun batasannya kurang jelas, yang termasuk fraksi lipofilik adalah lemak, lilin, terpena, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi. Fraksi hidrofilik meliputi senyawa fenolik (tanin, lignin, stilbena), karbohidrat terlarut, vitamin, protein, vitamin, garam anorganik (Achmadi 1990)

Kandungan dan komposisi ekstraktif berbeda diantara spesies kayu, berdasarkan letak geografi dan musim. Pada sisi lain, komposisi ekstraktif dapat digunakan untuk determinasi kayu-kayu tertentu yang sukar dibedakan secara anatomi. Ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel parenkim jari-jari ; jumlah yang rendah juga terdapat dalam lamela tengah, interseluler dan dinding sel trakeid dan serabut libiform. Ekstraktif juga dapat mempengaruhi kekuatan pulp, perekatan dan pengerjaan kayu akhir maupun sifat-sifat pengeringan (Fengel dan Wegener 1995).

2. 7. Dimensi Serat dan Turunan Dimensi Serat 2. 7. 1. Dimensi Serat

Serat adalah tipe sel longitudinal yang bertangung jawab terhadap fungsi penyokongnya pada kayu daun lebar. Serat merupakan sel yang memanjang

(23)

dengan ujung tertutup dan biasanya berdinding tebal. Dalam banyak kasus, persentase volume serat yang tinggi menunjukkan berat jenis yang tinggi pula (Wangaard 1981). Pada kayu daun lebar terdapat 2 tipe serat yaitu serat trakeid dan serat libiform. Keduanya bervariasi dalam diameter, panjang, ketebalan dinding sel, dan volume. Panjang serat rata-rata bervariasi dari 0,64 hingga 2,30 mm dan persentase volume serat kayu daun lebar berkisar dari 34,7 hingga 75,7% (Panshin dan de Zeeuw 1980 dalam Higuci 1985). Panjang serat bervariasi dipengaruhi oleh jenis kayu, posisi, batang, umur, dan tempat tumbuh. Panjang serat ke arah tinggi bertambah mulai dari pangkal batang sampai mencapai maksimum pada ketinggian tertentu dan selanjutnya bertambah pendek sampai pucuk. Selain itu dengan bertambahnya umur pohon, ukuran panjang serat cenderung bertambah (Pandit 2002).

Panjang serat berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik kertas seperti kekuatan dan kekakuan, khususnya kekuatan sobek yang akan menurun seiring dengan menurunnya panjang serat. Serat panjang memungkinkan terjadinya ikatan antar serat yang lebih luas, tetapi dengan semakin panjang serat maka kertas akan semakin kasar (Casey 1980). Semakin panjang serat kayu akan memperluas permukaan ikatan antar serat pada saat penggilingan sehingga menghasilkan jalinan antar serat yang lebih kuat.

Pengaruh diameter serat, tebal dinding, dan kekakuan pada sifat-sifat kertas sangat komplek. Diameter serat berpengaruh terhadap sifat kekuatan pulp, pembentukan lembaran, ikatan antar serat, dan kekuatan serat dalam lembaran. Serat dengan diameter besar dan tipis mampu memberikan ikatan antar serat yang kuat dengan kekuatan lembaran yang tinggi. Ada dua pengertian diameter , yaitu diameter serat dan diameter lumen. Besar kecilnya perbandingan antara keduanya disebut flexibility ratio. Perbandingan ini berhubungan parabolis dengan kekuatan tarik. Kekuatan jebol dan tahanan regang lebih dipengaruhi oleh perbandingan panjang serat dengan diameternya. Jika serat fleksibel, maka kertas akan menjadi lebih kompak dengan ruang pori yang relatif kecil. Jika serat relatif kaku, kertas akan menjadi porous, terbuka, dan memiliki ikatan yang jelek.

Tebal dinding serat juga menentukan terhadap sifat-sifat kertas. Dinding serat yang tebal menyebabkan terbentuknya lembaran yang kasar dan tebal,

(24)

9

kekuatan sobek yang tinggi tetapi kekuatan jebol, tarik dan lipat relatif rendah. Dinding serat yang tebal ini diperoleh dari kayu yang berkerapatan tinggi. Semakin tinggi kerapatan suatu jenis kayu maka akan semakin tinggi tebal dinding selnya.

Serat berdinding tipis mudah melembek dan menjadi pipih sehingga memberikan permukaan yang luas bagi terjadinya ikatan antar serat. Serat dengan dinding tebal sukar melembek dan bentuknya tetap membulat pada saat pembentukan lembaran. Struktur tersebut menyulitkan dalam penggilingan dan akan masih memberikan kekuatan sobek rendah tapi kekuatan tarik, jebol dan kekuatan lipatnya tinggi (Casey 1980).

2. 7. 2. Turunan Dimensi Serat

Kualitas serat merupakan salah satu dasar penelitian untuk mengetahui kemungkinan penggunaan suatu jenis kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas. Penetapan kualitas serat ini diantaranya berdasarkan pada nilai dimensi serat serta nilai-nilai turunannya.

Runkle Ratio, adalah perbandingan antara dua kali tebal dinding serat dengan diameter lumen. Serat dengan runkel ratio rendah menunjukkan bahwa serat tersebut memiliki dinding yang tipis tetapi diameter lumen yang besar. Pulp yang dihasilkan mudah digiling dan memiliki daerah ikatan antar serat yang lebih luas sehingga akan menghasilkan lembaran pulp dengan kekuatan jebol, tarik dan lipat yang tinggi.

Muhlsteph Ratio, adalah perbandingan antara luas penampang tebal dinding serat dengan luas penampang lintang serat yang berpengaruh terhadap kerapatan lembaran pulp. Serat kayu dengan Muhlstep ratio yang tinggi mempunyai luas permukaan yang lebih kecil sehingga luas daerah ikatan dan kontak antar serat menurun. Hal ini menyebabkan lembaran pulp yang dihasilkan cenderung menghasilkan ketahanan tarik dan ketahanan retak yang rendah (Tamolang dan Wangaard 1961 dalam Sofyan et al. 1993).

Daya Tenun (felting power/slenderness), adalah perbandingan antar panjang serat dengan diameter serat. Semakin tinggi nilai daya tenun maka sifat serat cenderung lebih lentur. Daya tenun serat ini berpangaruh terhadap kekuatan

(25)

sobek kertas. Serat yang berdinding tipis akan cenderung memberikan kekuatan sobek yang rendah. Dalam menjalin ikatan antar serat yang lebih baik diinginkan panjang serat yang relatif besar karena berperan meningkatkan kekuatan sobek kertas. Hal ini disebabkan karena gaya sobek akan terbagi dalam luas yang panjang. Diameter serat menunjukkan kelangsingan serat. Serat yang langsing mudah membentuk jalinan sehingga terbentuk lembaran dengan sifat-sifat yang baik.

Flexibility Ratio, adalah perbandingan antara diameter lumen dengan diameter serat. Jika nilai perbandingannya tinggi, tebal dinding serat relatif tipis dan mudah berubah bentuk. Kemampuan berubah bentuk ini menyebabkan persinggungan antara permukaan serat lebih leluasa sehingga terjadi ikatan antar serat yang lebih baik.

Coefficient of Rigidity, adalah perbandingan antara tebal dinding serat dengan diameter serat. Koefisien ini mempunyai hubungan yang negatif dengan kekuatan tarik kertas.

(26)

11

III. BAHAN DAN METODE

3. 1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2008, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

3. 2. Bahan dan Alat 3. 2. 1. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah satu gelondong kayu reaksi dari jenis kayu melinjo yang diambil dari pohon yang tumbuh miring. Contoh uji diambil dalam bentuk disk dan dibagi menjadi empat bagian dengan jarak yang sama dengan posisi melingkar batang (Gambar 1). Bahan yang digunakan untuk menentukan komponen kimia kayu adalah NaClO2, CH3COOH, NaOH, HNO3, Na2SO3,asam sulfat, etanol, benzene, safranin, KClO3, alkohol dan aqua destilata.

Gambar 1 Pengambilan contoh uji

3. 2. 2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah willey mill, saringan, soxhlet, waterbath/penangas air, labu Elenmeyer, gelas ukur, pipet, oven, kertas

90° 270°

(27)

saring, aluminium foil, pH meter, cawan Petri, corong, timbangan, desikator, mikroskop, tabung reaksi, cover glass, kuas, alat tulis.

3. 3. Metode Penelitian

3. 3. 1. Identifikasi Kayu Reaksi

Jenis kayu reaksi yang terbentuk pada melinjo diidentifikasi secara visual. Jika jaringan yang lebih lebar terbentuk pada bagian atas permukaan batang dinyatakan sebagai kayu tarik, sedangkan apabila jaringan lebih lebar terbentuk pada bagian bawah batang yang miring dinyatakan sebagai kayu tekan.

3. 3. 2. Persiapan Bahan Baku

Sampel kayu melinjo dibagi menjadi empat bagian kelompok dengan jarak yang sama dalam posisi melingkar. Masing-masing bagian dibuat serpihan-serpihan kecil dan digiling setelah dalam kondisi kering udara. Sampel kayu untuk analisis kimia disiapkan dalam bentuk partikel halus untuk memungkinkan reaksi yang sempurna antara kayu dengan larutan pereaksi yang digunakan dalam analisis. Kayu digiling sampai didapatkan ukuran partikel 40-60 mesh. Serbuk kemudian disimpan dalam wadah tertutup.

3. 4. Penentuan Komponen Kimia Struktural Kayu 3. 4. 1. Kadar Selulosa

Pengukuran kadar selulosa dilakukan dengan metode Cross dan Bevan. Serbuk holoselulosa sebanyak 1 gram (A), dimasukkan kedalam labu Elenmeyer 300 ml, lalu ditambahkan 250 ml aquades panas dan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 80°C selama 4 jam. Setelah pemanasan sampel disaring dengan kertas saring dan dikeringudarakan. Sampel yang telah dikeringudarakan lalu ditambahkan HNO33,5% sebanyak 125 ml. Setelah itu sampel dipanaskan diatas waterbath pada suhu 80°C selama 12 jam lalu disaring dan dikeringudarakan. Sampel ditempatkan dalam labu Elenmeyer 300 ml, lalu ditambahkan larutan campuran NaOH : Na2SO3 (20 gr : 20 gr dalam 1 liter) sebanyak 125 ml dan dipanaskan diatas waterbath pada suhu 50°C selama 2 jam. Selanjutnya sampel disaring hingga filtrat tidak berwarna, lalu ditambahkan 50 ml NaClO2 10% dan

(28)

13

dicuci dengan aquades panas hingga berwarna putih. Sampel lalu dibilas dengan CH3COOH 10 % sebanyak 100 ml, kemudian dicuci hingga bebas asam dengan aquades panas. Sampel dioven pada suhu 103±2°C lalu ditimbang sampai beratnya konstan.

Kadar selulosa :

% Selulosa = ×100% A

B

B : Berat selulosa (gram) A : Berat serbuk awal (gram)

3. 4. 2. KadarĮ-Selulosa

Serbuk selulosa sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam elenmeyer 125 ml, lalu ditambahkan 16 ml NaOH 17,5% dan dibiarkan sampai 45 menit. Sampel disaring dan dibilas dengan 125 ml NaOH 8% dimana penyaringan diusahakan dalam waktu 5 menit, lalu sampel disaring dan dicuci dengan 40 ml CH3COOH 10% dan aquades panas hingga bebas asam. Sampel dioven pada suhu 103±2°C dantimbang.

KadarĮ-selulosa :

%Į-selulosa = ×100% A

B

B = BeratĮ-selulosa (gram) A = Berat serbuk awal (gram)

3. 4. 3. Kadar Holoselulosa

Penentuan kadar holoselulosa dilakukan dengan metode Browning (1967). Serbuk kayu bebas ekstraktif sebanyak 2,5 gram dimasukkan kedalam elenmeyer 500 ml, lalu ditambahkan 100 ml aquades, 1 gram NaClO2dan 1 ml asam asetat (CH3COOH). Sampel dipanaskan dengan waterbath pada suhu 70-80°C selama 5 jam dan pada setiap jam ditambahkan 1 gram NaClO2dan 0,2 ml asam asetat. Setelah pemanasan selesai, sampel disaring dan dicuci dengan aquades panas. Sampel holoselulosa dioven pada suhu 103±2°C lalu ditimbang sampai beratnya konstan.

(29)

% holoselulosa = ×100% A

B

B = Berat holoselulosa (gram) A = Berat serbuk awal (gram)

3. 4. 4. Kadar Lignin klason

Pengujian kadar lignin dilakukan berdasarkan TAPPI T 222 om 88. Serbuk bebas ekstraktif sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam gelas piala 100 ml, lalu ditambahkan 15 ml asam sulfat dingin 72% secara perlahan sambil diaduk tiap 15 menit (suhu dijaga tetap pada 20±1°). Sampel direaksikan selama 2 jam. Sampel kemudian diencerkan hingga mencapai konsentrasi 3% dengan menambahkan aquades hingga volume campuran 575 ml. Larutan kemudian dipanaskan dengan waterbath pada suhu 100°C selama 4 jam dengan volume yang dijaga tetap dengan menambahkan aquades panas. Larutan diendapkan, disaring dan dicuci dengan aquades panas hingga bebas asam. Kertas saring berisi endapan lignin dioven pada suhu 103±2°C, didinginkan dan ditimbang.

Kadar Lignin :

% Lignin = ×100% A

B

B = Berat Lignin (gram) A = Berat serbuk awal (gram)

3. 5. Penentuan Komponen Kimia Non-Struktural Kayu 3. 5. 1. Kelarutan Kayu dalam Air

Pengujian ini berdasarkan TAPPI T 207 om-88. Pengujian kelarutan kayu dalam air dingin bertujuan untuk melarutkan zat-zat ekstraktif seperti gula, gum, atau zat warna. Serbuk kayu sebanyak 2 gram, diekstrak dengan 300 ml aquades dingin dalam elenmeyer 500 ml, selama 48 jam pada suhu kamar. Setelah itu serbuk disaring melalui kertas saring dan dicuci dengan air dingin. Pengeringan dilakukaan pada oven bersuhu 103±2°C sampai beratnya konstan dan ditimbang.

Pengujian kelarutan kayu dalam air panas bertujuan untuk melarutkan zat-zat ekstraktif seperti gula, gum, atau zat-zat warna pati. Serbuk kayu sebanyak 2 gram, diekstrak dengan 100 ml aquades panas dalam elenmeyer 250 ml. Sampel

(30)

15

dipanaskan diatas waterbath selama 3 jam dan diaduk sesekali. Setelah reaksi sampel disaring dan dicuci dengan air panas. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103±2°C sampai beratnya konstan dan ditimbang.

Kadar zat ekstraktif larut air dingin dan air panas :

% kelarutan = − ×100% A BKT E BKT A BKT

BKT A = Berat kering serbuk awal (gram)

BKT E = Berat kering serbuk setelah ekstraksi (gram)

3. 5. 2. Kelarutan Kayu dalam NaOH 1%

Pengujian ini berdasarkan pada TAPPI T 212 om-93. Serbuk kayu sebanyak 2 gram diekstrak dengan 100 ml NaOH 1% pada suhu 100°C selama 1 jam sambil diaduk pada setiap 5, 10, 15, dan 25 menit pertama. Selanjutnya sampel disaring, dicuci dengan aquades panas, hingga filtrat tidak berwarna. Sampel dibilas dengan 25 ml asam asetat 10% sebanyak 2 kali, dan dicuci dengan air panas sampai bebas asam. Pengeringan dilakukan dengan oven bersuhu 103±2°C hingga beratnya konstan.

Kadar zat ekstraktif yang larut dalam NaOH 1 % :

% kelarutan = − ×100% BKTA

BKTE BKTA

3. 5. 3. Kelarutan Kayu dalam Etanol-Benzene (1:2)

Pengujian ini berdasarkan pada standar TAPPI T 204 om 88. Serbuk kayu sebanyak 10 gram dimasukkan kedalam kertas saring yang dibuat seperti thimbel, yang telah diketahui beratnya. Thimbel dimasukkan kedalam sokhlet dan diekstraksi dengan 300 ml etanol-benzene (1:2) selama 6-8 jam. Setelah itu thimbel dicuci dengan etanol, hingga larutan bening, dan diangin-anginkan. Thimbel dioven pada suhu 103±2°C hingga beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif yang larut dalam etanol benzene (1:2) :

% kelarutan = − ×100% BKTA

BKTE BKTA

(31)

3. 5. 4. Kadar Abu Kayu

Penentuan kadar abu dilakukan dengan standar TAPPI 211 om-93. Serbuk kayu sebanyak 1 gram ditimbang (Bo) dalam cawan porselen yang sudah diketahui beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600°C selama 6 jam. Setelah itu sampel dikeluarkan dari tanur dan dinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kadar abu (%) = ×100% A

B

B = Berat Abu (gram)

A = Berat serbuk awal (gram)

3. 6. Pengukuran Dimensi Serat 3. 6. 1. Pembuatan Slide Maserasi

Pengukuran dimensi serat dilakukan dengan membuat slide maserasi dengan metode Schultze dengan bantuan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer. Dimensi serat yang diukur adalah panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal dinding yang masing-masing pengukuran dilakukan terhadap 25 serat untuk masing-masing contoh uji, lalu dicari reratanya. Pengukuran dimensi serat dilakukan dengan metode Schultze dengan urutan kerja:

a. Contoh uji dipotong-potong menjadi potongan berukuran kecil sebesar batang korek api agar penetrasi bahan kimia ke dalam kayu lebih cepat sehingga serat-serat mudah lepas.

b. Potongan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan diberi sedikit KClO3 (kira-kira seujung pisau kecil) dan ditambahkan sedikit larutan HNO350% sampai potongan kayu terendam dan ditutup. c. Tabung reaksi yang telah berisi contoh dan larutan dipanaskan beberapa

menit sampai mendidih dan warnanya menjadi putih kekuning-kuningan. d. Tabung dan isi didinginkan beberapa menit pada suhu kamar dan

dipindahkan keatas kertas saring.

(32)

17

f. Serat yang telah bebas asam dipindahkan kedalam petri dish atau biasa juga menggunakan tabung film. Kemudian diberi pewarna untuk mempermudah pengukuran.

g. Serat dipindahkan dengan menggunakan bantuan kuas, lalu secara perlahan-lahan ditutup dengan cover glass dan diukur dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer.

3. 6. 2. Pembuatan Slide Mikrotom

Pembuatan sediaan mikrotom menurut metoda yang umum dilakukan di laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, IPB dengan urutan sebagai berikut:

a. Contoh kayu berukuran 2cm x 2cm x 5cm dibentuk lalu direbus sampai lunak kemudian disayat.

b. Pembuatan sayatan untuk mengetahui jumlah dan ukuran pori dilakukan pada arah bidang melintang dengan menggunakan pisau mikrotom dan spencer dengan tebal sayatan 12-20—m selanjutnya sayatan direndam dalam alkohol dengan konsentrasi 50%

c. Selanjutnya sampel sayatan direndam berturut-turut dengan alkohol 30%, 20%, 10% lalu dengan aquades

d. Serat kemudian diberi safranin dan disimpan selama 6-8 jam

e. Safranin dibuang dan dibilas berturut-turut dengan alkohol 30%,50%,70%,90% dan kemudian diamati dibawah mikroskop.

3. 6. 3. Perhitungan Turunan Dimensi Serat :

Nilai turunan dimensi serat dihitung berdasarkan nilai dimensi serat. Turunan dimensi serat yang dihitung meliputi :

a. Runkle ratio (RR). RR = I W × 2

W = tebal dinding serat; l = diameter lumen

b. Daya tenun DT =

d L

L = panjang serat; d = diameter serat

(33)

d. Flexibility Ratio (FR) FR = d I e. Coefficient of Rigidity CR = d W 3. 7. Analisis Data.

Data yang dikumpulkan diperoleh berdasarkan hasil observasi sifat kimia dan dimensi serat. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Sedangkan analisis terhadap nilai rata-rata dan kecenderungan hubungan antar perameter dengan visual grafik.

(34)

19

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Pembentukan Kayu Reaksi

Kayu melinjo, digolongkan ke dalam kelompok kayu Gymnospermae sama seperti halnya jenis kayu softwood. Penampang lintang batang pohon miring menunjukkan bahwa kayu reaksi melinjo membentuk seperti kayu tekan dengan daerah yang lebih lebar terdapat pada bagian bawah (Gambar 2). Hal ini sama dengan pembentukan kayu reaksi yang terjadi pada kayu daun jarum (softwood), akan tetapi berdasarkan pengamatan mikroskopis terhadap slide mikrotom penampang melintang kayu, terlihat bahwa sel-sel yang menyusun kayu Gnetum gnemon L lebih komplek dengan sel pembuluh hampir bulat yang sering disebut juga sebagai pori atau vessel. Struktur anatomi seperti ini menyerupai struktur dasar dari jenis kayu hardwood dari kelompok Angiospermae (Pandit 2007).

Gambar 2 Penampang melintang batang dan slide mikrotom cross action kayu reaksi Gnetum gnemon L. (Keterangan 1 sel serat; 2 sel jari-jari; 3 pori)

4. 2. Komponen Kimia Struktural Kayu 4. 2. 1. Selulosa

Komponen kimia struktural kayu reaksi Gnetum gnemon L pada posisi melingkar batang; kadar selulosa, Į selulosa dan holoselulosa mencapai kadar tertinggi pada bagian kayu reaksi dan terendah pada bagian kayu opposite, sedangkan untuk kadar lignin mencapai nilai terendah dibagian kayu reaksi dan meningkat kearah bagian oppositnya (Tabel 1). Karakteristik seperti ini menjadi

(PSXOXU







ƒ



ƒ

ƒ

ƒ

(35)

dasar bahwa kayu reaksi yang terbentuk pada kayu reaksi melinjo menyerupai sifat dari kayu tarik yang merupakan tipikal kayu daun lebar (hardwood).

Tabel 1. Komponen kimia struktural kayu reaksi Gnetum gnemon L pada posisi melingkar batang

Komponen Kimia Struktural Posisi sampel (derajat) Kadar Selulosa (%) KadarĮ Selulosa (%) Kadar Holoselulosa (%) Kadar Lignin (%) 0° 41,36 20,42 80,08 23,40 90° 41,42 21,86 80,18 23,60 180° 43,47 23,93 81,60 22,45 270° 41,76 21,10 80,18 24,20 Rata-rata 42,00 21,83 80,19 23,41

Keterangan: 0° : Bagian kayu opposite; 180° : Bagian kayu reaksi

Kayu reaksi melinjo memiliki kadar selulosa rata-rata 42,00% dan menurut klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia termasuk ke dalam kelas sedang (Anonimus 1976). Kayu reaksi melinjo memiliki kadar selulosa lebih tinggi dibandingkan bagian oppositnya, secara bertahap dari bagian kayu opposit kadar selulosa semakin meningkat dengan kadar tertinggi pada bagian kayu reaksi (Gambar 3).

Tsoumis (1991) menjelaskan bahwa kayu opposit dari kayu beech memiliki komposisi kimia yang tidak berbeda dengan kayu normal. Oleh karena itu dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kayu tarik melinjo mengandung selulosa yang lebih tinggi dari kayu normalnya. Tingginya kandungan selulosa ini kemungkinan besar disebabkan adanya lapisan gelatinous layer (G-layer) yang umumnya terbentuk pada dinding sel kayu tarik. G-layer ini terbentuk menggantikan lapisan dinding sel S3 atau S2 dan S3 yang mengandung selulosa yang tinggi dengan derajat kristalisasi yang tinggi pula. Selain itu pada lapisan sel dengan kandungan G-layer juga hanya terjadi proses lignifikasi yang terbatas (Tsoumis 1991).

(36)

21

Gambar 3 Keragaman kadar selulosa kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang (Ket. 0°: kayu opposit, 180°: kayu reaksi).

Keberadaan selulosa dalam kayu dapat digunakan sebagai penduga besarnya rendemen pulp yang dihasilkan dalam proses pemasakan serpih kayu. Kadar selulosa berbanding lurus dengan rendemen pulp, daya afinitas terhadap larutan dan warna pulp yang dihasilkan. Kadar selulosa yang tinggi akan menghasilkan rendemen pulp yang tinggi, afinitas yang lebih besar terhadap air sehingga memudahkan pembentukan ikatan antar serat dan warna yang dihasilkan lebih putih. Semakin tinggi kadar selulosa maka semakin baik mutu kayu sebagai bahan baku pulp.

Jayme dan Hardes (1953) dalam Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan bahwa kayu tarik memerlukan perlakuan khusus dalam proses pembuatan pulp, dan pulp yang mengandung kayu tarik menghasilkan kertas yang lebih lemah daripada pulp normal. Kekuatan pulp kayu tarik sebanding dengan kekuatan pulp kayu normal setelah dikenai perlakuan penghalusan (Haygreen dan Bowyer 1989).

4. 2. 2. Alpha-Selulosa

KadarĮ-Selulosa kayu Gnetum gnemon L yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 52,38% dari total selulosa atau 21,83% dari total berat kering kayu. Kayu reaksi melinjo memiliki kadar Į-selulosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian oppositenya. Dari arah bagian opposit secara bertahap kadar Į-Selulosa meningkat dengan kadar tertinggi berada pada bagian reaksinya (Gambar 4). Perbedaan kandungan Į-Selulosa ini terkait dengan tinggi rendahnya

(37)

kandungan kristalin dalam selulosa. Kandungan kristalin selulosa dalam kayu tarik umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kayu oppositnya (Sjostrom 1991, Rowell 1984), sebagai akibat dari G layer dalam kayu tarik yang mengandung selulosa dengan tingkat kristalinitas yang tinggi (Fengel dan Wegener 1995, Sjostrom 1991)

Gambar 4 Keragaman Į-Selulosa kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang (Ket. 0°: kayu opposit, 180°: kayu reaksi).

Alpha-selulosa merupakan bagian dari selulosa yang tahan dan tidak terlarut oleh larutan basa kuat (NaOH 17,5%). Kemurnian selulosa sering dinyatakan melalui parameter Į-selulosa, walaupun sesungguhnya Į-selulosa bukanlah selulosa murni karena masih ada gula lain yaitu mannan dan glukomannan yang tahan terhadap alkali (Achmadi 1990). Pada umumnya, Į-selulosa yang dihasilkan tergantung pada spesies kayu dan terutama pada prosedur isolasi dan metoda penentuan. Fengel dan Wegener (1995) memperoleh Į-selulosa yang masih mengandung 10% mannan, 1,5% xilan dan 1,5% sisa lignin, setelah mengekstraksi holoselulosa kayu spruce dengan 5% dan 17,5% Natrium hidroksida.

Kadar Į-selulosa dalam kayu dapat menduga besarnya Į-selulosa dalam pulp tetapi nilainya akan berbeda tergantung proses pemasakan yang digunakan. Jika kadar Į-selulosa yang dihasilkan dari proses pembuatan pulp mempunyai nilai sebesar ini, maka pulp tersebut tidak cocok untuk pembuatan pulp rayon karena nilainya terlalu rendah. Kertas yang memiliki kandunganĮ-Selulosa yang tinggi atau vikositas tinggi biasanya mengandung serat berkualitas tinggi dan memiliki derajat stabilitas yang tinggi. Oleh karena itu kayu reaksi melinjo kurang

(38)

23

cocok sebagai bahan rayon dan produk lainnya yang memerlukan kekuatan yang cukup tinggi.

4. 2. 3. Holoselulosa

Kayu reaksi Gnetum gnemon L memiliki kadar holoselulosa yang nilainya lebih tinggi dari kayu oppositnya (Gambar 5). Kadar holoselulosa terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang sangat dibutuhkan dalam pembuatan pulp dan kertas. Kandungan selulosa yang tinggi pada kayu reaksi, berpengaruh pada tingginya kandungan holoselulosa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat keteraturan kandungan holoselulosa. Hal ini dapat disebabkan oleh tidak terdapatnya kecenderungan yang jelas dari kandungan hemiselulosa, seperti halnya yang ditemukan pada kayu reaksi sengon (Hadi 2007), atau mungkin juga karena daerah kayu reaksi tidak tersusun seluruhnya atas jaringan kayu reaksi. Jaringan semacam ini tercampur dengan jaringan normal, dan proporsi kayu reaksi tergantung pada derajat kemiringan batang (Haygreen dan Bowyer 1989). Hal serupa disampaikan oleh Pansin dan de Zeeuw (1980) bahwa kayu tarik dapat terbentuk dengan susunan yang menyebar pada potongan melintang batang atau keberadannya sulit dikenali. Hal ini diduga menyebabkan terjadinya keragaman komposisi kimia pada daerah reaksi mempunyai kecenderungan tidak jelas.

Gambar 5 Keragaman kadar holoselulosa kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang (Ket. 0°: kayu opposit, 180°: kayu reaksi).

Berdasarkan pada persyaratan sifat kimia untuk bahan baku pulp dan kertas, maka kayu reaksi melinjo yang memiliki kandungan holoselulosa rata-rata sebesar 80,19% sangat baik digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas karena memiliki kadar holoselulosa yang tinggi. Kadar holoselulosa yang tinggi

(39)

memberikan banyak keuntungan pada proses pembuatan pulp dan kertas. Kayu dengan kadar holoselulosa yang tinggi akan dapat digiling dengan cepat dan menghasilkan pulp dengan rendemen yang tinggi.

Kadar holoselulosa dalam kayu menyatakan jumah dari senyawa polisakarida dalam kayu (seullosa dan hemiselulosa). Menurut Harris (1985) dalam Gusmailina et al (1986), polisakarida merupakan polimer dari molekul monosakarida yang mempunyai unsur karbon, hidrogen dan oksigen dengan rantai lurus atau bercabang. Dalam kayu senyawa ini banyak terdapat pada bagian dinding sekunder yang berfungsi untuk memperkuat tekstur yang didalamnya mengandung senyawa glukomanan, arabinosa, galaktosa, glukoronoxylan, glukosa, asam uronat dan xylosa.

4. 2. 4. Lignin

Karakteristik utama kayu reaksi dapat diketahui dari kandungan ligninnya. Kayu reaksi Gnetum gnemon L memiliki kandungan lignin rata-rata yang rendah dengan nilai terendah pada bagian kayu reaksi. Dari arah kayu opposit secara bertahap kadar lignin ini menurun dan mencapai nilai terendah pada bagian kayu reaksi (Gambar 6). Hal ini sama dengan perilaku kayu daun lebar dalam merespon pengaruh mekanis dari luar yaitu dengan membentuk lapisan G-layer yang kaya akan selulosa dengan derajat kristalin yang tinggi, dan tingkat delignifikasi yang rendah.

Walaupun kayu melinjo termasuk pada jenis kayu daun jarum yang membentuk kayu tekan, namun sifat kimia yang dihasilkan khususnya lignin menggambarkan sifat yang identik dengan kayu daun lebar. Hal ini diduga terkait dengan komposisi jaringan kayu dan struktur lignin yang menyerupai jenis kayu daun lebar.

Gambar 6 Keragaman lignin kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang (Ket. 0°: kayu opposit, 180°: kayu reaksi).

(40)

25

Kandungan lignin yang tinggi kurang disukai dalam industri pulp dan kertas. Lignin merupakan bagian komponen utama kayu yang sangat tidak diharapkan kehadirannya karena kadar lignin yang tinggi dapat menurunkan sifat fisik pulp dan menyebabkan pulp berwarna gelap sehingga meningkatkan konsumsi bahan kimia dalam proses pemutihan (Casey 1980). Selain itu kehadiran material non-selulosa, khususnya lignin dalam jumlah yang tinggi dapat menyebabkan pulp berwarna kuning dan kerusakan pada kertas cetak jika disimpan dalam waktu yang lama.

4. 3. Komponen Kimia Non-struktural Kayu

Keragaman komponen kimia non struktural kayu reaksi Gnetum gnemon L pada posisi melingkar disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komponen kimia non-struktural kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang Kelarutan (%) Sampel Uji Air Dingin Air

Panas NaOH 1% Ethanol:Benzene

Kadar Abu 0° 14,40 15,23 24,85 8,82 0,14 90° 14,12 14,88 24,35 8,42 0,18 180° 14,85 15,73 25,17 9,33 0,15 270° 13,92 15,18 24,55 7,50 0,13 Rataan 14,32 15,25 24,73 8,52 0,15

Keterangan: 0°: Bagian kayu opposite; 180°: Bagian kayu reaksi

Kelarutan komponen kimia non-struktural terbesar terjadi pada bagian kayu reaksi dan menurun pada daerah kayu opposit. Persentase kelarutan terbesar dimiliki oleh sampel yang diuji pada NaOH 1%, diikuti kelarutan dalam air panas, kelarutan dalam air dingin dan terakhir kelarutan dalam etanol-benzene. Hal yang sama terjadi pada pengujian kadar abu yang memiliki kadar yang lebih besar pada bagian kayu reaksi dan menurun pada bagian kayu opposit.

4. 3. 1. Kelarutan Kayu dalam Air

Kelarutan kayu dalam air dingin menggambarkan besarnya komponen tanin, gum, karbohidrat dan zat warna yang terlarut. Kelarutan kayu reaksi Gnetum gnemon L dalam air dingin terbesar dimiliki oleh bagian kayu reaksi,

(41)

walaupun tidak terdapat kecenderungan yang jelas (Gambar 7). Hal ini diduga karena rendahnya proses lignifikasi yang terjadi serta tingginya pembentukan polisakarida dalam kayu reaksi seperti halnya pembentukan selulosa dan hemiselulosa.

Gambar 7 Keragaman kelarutan dalam air dingin kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang (Ket. 0°: kayu opposit, 180°: kayu reaksi).

Ekstraksi dalam air panas bertujuan untuk melarutkan zat-zat ekstraktif seperti tanin, gam, gula atau zat warna dalam kayu serta pati. Kelarutan kayu melinjo dalam air panas ini tidak terdapat kecenderungan yang cukup jelas, dengan nilai terbesar pada kayu reaksi dan menurun pada kayu opposit (Gambar 8). Kelarutan kayu dalam air panas cenderung lebih tinggi dibanding kelarutan kayu dalam air dingin, karena air panas memiliki kemampuan selain melarutkan bahan yang terlarut dalam air dingin juga dapat mengekstrak pati. Secara umum, selisih dari kedua nilai tersebut dapat digunakan sebagai penduga besaran kandungan pati dalam kayu.

Gambar 8 Keragaman kelarutan dalam air panas kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang (Ket. 0°: kayu opposit, 180°: kayu reaksi).

(42)

27

4. 3. 2. Kelarutan Kayu dalam NaOH 1%

Kelarutan kayu reaksi Gnetum gnemon L dalam NaOH 1% tertinggi pada bagian kayu reaksi tetapi tidak terdapat kecenderungan yang jelas dari arah bagian kayu opposit ke arah kayu reaksi (Gambar 9). Hal ini diduga terjadi karena terdapatnya senyawa berbobot molekul rendah yang sejalan dengan tingginya kadar hemiselulosa dan rendahnya kadar Į-selulosa. Hemiselulosa merupakan fraksi poliskarida yang bersifat mudah larut, sedangkanĮ-selulosa adalah selulosa yang paling tahan terhadap pelarut karena sifat kristalinnya. Pengujian kelarutan dalam NaOH 1% dapat digunakan untuk menduga proporsi karbohidrat dan lignin dengan berat molekul rendah, dan tingkat degradasi komponen kimia kayu oleh organisme perusak kayu atau akibat proses pengolahan tertentu, misalnya dalam proses pulping. Oleh sebab itu, dalam pembuatan pulp dan kertas nilai ini harus rendah yang menunjukkan kerusakan terhadap polimer selulosa rendah.

Gambar 9 Keragaman kelarutan dalam NaOH 1% kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang (Ket. 0°: kayu opposit, 180°: kayu reaksi).

4. 3. 3. Kelarutan Kayu dalam Ethanol-benzen

Komponen kimia kayu yang terlarut dalam Etanol-Benzene adalah lemak, resin dan minyak (Anonim, 1995 dalam Pari et al. 2001). Besarnya kadar ekstraktif ini tidak terdapat perbedaan dan kecenderungan yang jelas, tetapi kelarutan terbesar terdapat pada bagian kayu reaksi (Gambar 10).

(43)

Gambar 10 Keragaman kelarutan dalam Etanol-Benzene (1:2) kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang (Ket. 0°: kayu opposit, 180°: kayu reaksi).

Perlakuan ekstraksi ethanol-benzen dapat digunakan pula sebagai prosedur untuk menyiapkan sampel kayu bebas ekstraktif. Hal ini karena hampir semua zat ekstrakstif mampu dikeluarkan dengan campuran pelarut ini. Walaupun untuk lebih menyempurnakan penyiapan kayu bebas ekstraktif sering kali diperlukan juga tahapan ekstraksi tambahan seperti ekstraksi ethanol 95% dan ekstraksi dengan air panas.

4. 3. 4. Kadar Abu

Abu merupakan residu dari hasil pembakaran yang terdiri dari senyawa anorganik seperti CaO, SiO2, Al2O3, MgO, Na2O, K2O dan TiO2.Oleh karena itu, abu kayu dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan katalis dalam proses gasifikasi. Pada umumnya unsur yang terdapat dalam abu dengan jumlah yang tinggi adalah garam karbohidrat, sulfat, fosfat dan silikat dari kalium, kalsium dan magnesium (Feldmar 1978).

Kadar abu yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan ketidakteraturan pada arah melingkar batang. Kadar abu yang diperoleh dari masing-masing sampel tidak mempunyai selisih yang cukup signifikan. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang cukup besar antara jaringan dalam kayu reaksi (Gambar 11). Tsoumis (1991) menyatakan bahwa kandungan abu kayu daun jarum sekitar 0,02%-1,1%.

(44)

29

Gambar 11 Keragaman kadar abu ) kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang (Ket. 0°: kayu opposit, 180°: kayu reaksi)

4. 4 Dimensi Serat dan Turunannya

Keragaman dimensi serat kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Dimensi serat kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar

posisi kayu panjang serat Ɏ serat tebal dinding serat Ɏ lumen Runkel ratio Daya tenun Muhlsthep ratio Flexibiliti ratio Coefisien of rigidity 0° 1028 29.17 5.59 18 0.7 35.66 2.02 0.61 0.19 90° 1190 26.77 6.27 13.09 1.05 48.09 3.48 0.52 0.24 180° 887.5 26.66 6.38 13.89 1.05 35.68 3.42 0.51 0.24 270° 1293.5 26.54 7.18 12.18 1.32 50.2 4.75 0.46 0.27 rataan 1099.75 27.29 6.36 14.29 1.03 42.41 3.42 0.53 0.24

Keterangan: 0°: Bagian kayu opposite; 180°: Bagian kayu reaksi

Panjang serat, diameter serat dan diameter lumen kayu reaksi Gnetum gnemon L memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan bagian oppositnya. Nilai ini berbanding terbalik dengan tebal dinding serat yang memiliki nilai lebih tinggi pada bagian kayu reaksi dibanding kayu oppositnya. Serat yang terdapat pada bagian kayu reaksi memiliki serat yang lebih pendek dengan diameter serat lebih kecil dan berdinding sel lebih tebal dibandingkan serat pada bagian kayu oppositnya, sedangkan untuk turunan seratnya mempunyai nilai runkel ratio, muhlsteph ratio dan koefisien of rigidity yang lebih tinggi pada bagian kayu reaksi dibanding bagian kayu oppositnya. Nilai ini berbanding terbalik dengan fleksibiliti ratio yang rendah pada bagian reaksi dan tinggi pada bagian oppositnya.

(45)

4. 4. 1. Dimensi Serat

Berdasarkan kriteria penilaian serat kayu Indonesia untuk bahan baku pulp dan kertas, nilai panjang serat kayu reaksi Gnetum gnemon masuk pada kelas mutu II. Panjang serat rata-rata terendah dimiliki oleh bagian kayu reaksi dan meningkat pada bagian opposit, tetapi terdapat ketidakteraturan panjang serat pada arah melingkar batang (Gambar12). Hal ini dapat diduga karena kayu reaksi sukar diidentifikasi karena daerah-daerah kayu reaksi jarang tersusun seluruhnya atas jaringan kayu reaksi. Jaringan semacam ini tercampur dengan jaringan normal, dengan proporsi kayu reaksi tergantung pada derajat kemiringan batang (Haygreen dan Bowyer 1989). Nurcahyo (2006) menyebutkan bahwa serat dari kayu yang mengalami cacat kayu tarik ringan dan tarik berat mengalami pemendekan panjang serat yang besar dari serat kayu normal.

Tebal dinding sel semakin meningkat pada arah melingkar batang dimulai dari bagian opposite, tetapi tidak signifikan. Ketebalan dinding sel kayu reaksi lebih tebal dibanding dengan kayu opposite. Menurut Tsoumis (1976), secara mikroskopis kayu tarik berbeda dari kayu normal terutama di dalam struktur seratnya. Pada kayu tarik, dinding sel seratnya sangat tebal, kadang-kadang hampir memenuhi seluruh lumennya.

(46)

31

Gambar 12 Keragaman panjang serat, tebal dinding serat dan diameter lumen kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang (Ket. 0°: kayu opposit, 180°: kayu reaksi)

Diameter lumen serat mengalami penurunan dari arah opposit ke arah kayu reaksi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rais (2006) yang menemukan bahwa diameter lumen kayu tarik mengalami perubahan dari kayu sengon normal ke kayu sengon tarik menjadi lebih kecil.

Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), dalam sejumlah sel, porsi S-2 dan S-3 dinding sel tidak ada, dan lapisan gelatin (G) terletak di sebelah dalam lapisan dinding primer (P) dan lapisan S-1. Susunan dinding sel tergantung pada tingkat perkembangan suatu sel tertentu pada saat miringnya batang. Sel-sel yang telah membantuk lapisan S-1 dan S-2 dinding sekunder akan segera terhenti perkembangannya yang normal apabila batang miring dan akan berganti dengan perkembangan lapisan G.

4. 4. 2. Turunan Dimensi Serat

Nilai runkel ratio, daya tenun dan koefisien kekakuan kayu reaksi Gnetum gnemon L, memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan kayu oppositnya. Berdasarkan kriteria penilaian serat Indonesia maka nilai Runkel ratio kayu reaksi Gnetum gnemon L masuk kedalam kelas mutu III, yang berarti bahwa pulp yang dihasilkan mempunyai kekuatan jebol, tarik dan lipat yang rendah. Menurut Tamolang dan Wangaard (1961) dalam Sofyan et al. (1993), serat dengan Runkel ratio yang rendah menunjukkan bahwa serat tersebut memiliki dinding yang tipis tetapi diameter lumen yang besar. Pulp yang dihasilkan mudah digiling dan

(47)

memiliki daerah ikatan antar serat yang lebih luas sehingga akan menghasilkan lembaran pulp dengan kekuatan jebol, tarik dan lipat yang tinggi.

Daya tenun kayu reaksi Gneum gnemon L masuk dalam kelas mutu III dengan nilai sedikit lebih besar dibanding dengan oppositnya walaupun tidak terdapat keteraturan yang cukup jelas. Semakin tinggi nilai daya tenun maka sifat serat cenderung lebih lentur. Serat berdinding tipis akan cenderung memberikan kekuatan sobek yang rendah. Hal ini disebabkan karena gaya sobek akan terbagi dalam luas yang panjang. Diameter serat menunjukkan tingkat kelangsingannya. Serat yang langsing mudah membentuk jalinan sehingga terbentuk lembaran dengan sifat-sifat yang baik (Tamolang dan Wangaard 1961 dalam Sofyan et al. 1993).

Kayu reaksi Gneum gnemon L memiliki nilai Muhlsteph ratio yang masuk pada kelas mutu III dan nilainya lebih tinggi dibanding bagian oppositnya. Serat kayu dengan nilai Muhlsteph ratio yang tinggi memiliki luas permukaan yang lebih kecil sehingga luas daerah ikatan kontak antar serat menurun. Hal ini menyebabkan lembaran kertas yang dihasilkan cenderung memiliki ketahanan tarik dan ketahanan retak yang rendah.

Nilai flexibility ratio kayu reaksi Gnetum gnemon L masuk pada kelas mutu III. Nilai ini semakin rendah dan terbanding terbalik dengan runkel ratio, daya tenun dan Coefisien of rigidity. Hal ini berarti kemampuan berikatan antar serat menurun pada kayu reaksi. Serat dengan flexibility ratio tinggi, tebal dindingnya relatif tipis dan mudah berubah bentuk. Kemampuan berubah bentuk ini menyebabkan persinggungan antar permukaan serat lebih leluasa dan mudah ditarik kedalam kontak yang dekat satu sama lain yang dekat dengan tegangan permukaan ketika permukaan air dihilangkan pada tahap pembuatan dan pengeringan kertas. Hal ini mendukung terjadinya ikatan antar serat yang lebih sempurna sehingga menghasilkan lembaran dengan sifat kekuatan yang baik, porositas yang rendah dan kerapatan kertas yang tinggi. Fleksibilitas kertas juga mempengaruhi beberapa sifat penting kertas lainnya seperti opasitas, permeabilitas udara, penyerapan cairan dan ketahanan lemak (Casey 1980).

Gambar

Gambar 1 Pengambilan contoh uji
Gambar 2 Penampang melintang batang dan slide mikrotom cross action kayu reaksi Gnetum gnemon L
Tabel 1. Komponen kimia struktural kayu reaksi Gnetum gnemon L pada posisi melingkar batang
Gambar 3 Keragaman kadar selulosa kayu reaksi Gnetum gnemon L pada arah melingkar batang (Ket
+7

Referensi

Dokumen terkait