• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS WARMADEWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS WARMADEWA"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

1

PELAKSANAAN PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN CAMPURAN (STUDI KASUS PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI SINGARAJA)

Nama : Agus Teresna Witaskara

NPM : 1310122026

UNIVERSITAS WARMADEWA

2016

(2)

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Perceraian Dalam Perkawinan Campuran (Studi

Kasus Perceraian Di Pengadilan Negeri Singaraja”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. I Nyoman Putu Budiartha, SH., MH. selaku Dekan Fakultas

Hukum,Universitas Warmadewa

2. Ibu Ida Ayu Putu Widiati, SH., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

3. Ibu A. A. Sagung Laksmi Dewi, SH., MH. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

4. Bapak I Ketut Sukadana, SH., MH. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

5. Bapak Dr. I Nyoman Putu Budiartha, SH., MH. selaku dosen pembimbing I atas waktu, bimbingan, masukan dan motivasi selama

(3)

3

proses penyusunan skripsi, serta yang telah banyak menuntun dan memberikan pengarahan kepada penulis.

6. Bapak I Wayan Arthanaya, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing II atas waktu, bimbingan, masukan dan motivasi selama proses penyusunan skripsi, serta yang telah banyak menuntun dan memberikan pengarahan kepada penulis.

7. Bapak/Ibu Tim Penguji Proposal dan Skripsi yang telah memberikan penilaian serta masukan perbaikan bagi penulis.

8. Keluarga tercinta atas dukungan dan motivasinya selama proses penyusunan skripsi.

9. Teman-teman tercinta yang telah membantu serta memberi dukungan selama proses penyusunan hingga skripsi ini terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak sempurna yang disebabkan karena keterbatasan kemampuan serta pengalaman penulis. Namun demikian skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi yang berkepentingan.

Denpasar, Agustus 2017

(4)

4 ABSTRAK

Perkawinan campuran antara warga Negara Indonesia dengan warga Negara asing banyak terjadi baik yang berlangsung di Indonesia maupun di luar negeri. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur mengenai ketentuan perkawina0n campuran serta syarat sahnya di Indonesia. Perkawinan campuran beda kewarganegaraan memiliki permasalahan yang sangat kompleks berkaitan dengan ketentuan hukumnya. Akibat hukum dari perkawinan campuran beda kewarganegaraan akan beragam mengingat ada unsur asing yakni kewarganegaraan asing. Perselisihan pada pasangan perkawinan campuran beda kewarganegaraan yang berujung pada perceraian memerlukan perhatian tata hukum yang harus digunakan dalam penyelesaian perkara perceraiannya.

Penelitian ini mengkaji studi kasus perceraian perkawinan campuran. Lokasi penelitian adalah di Pengadilan Negeri Singaraja periode tahun 2016. Kasus yang di analisis adalah kasus gugatan cerai atas perkawinan campuran yang terjadi di luar negeri, dengan hasil Keputusan dari Pengadilan Negeri Singaraja dengan No Putusan 449/Pdt.G/2015/PN.Sgr. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis normatif, dimana peneliti menjelaskan secara kualitatif normatif pelaksanaan perceraian perkawinan campuran. Hasil penelitian menjelaskan bahwa status dan keabsahan perkawinan campuran yang tidak diregistrasikan kembali di Indonesia adalah tidak memiliki kekuatan hukum di Indonesia. Kewenanangan Pengadilan Negeri Singaraja memutuskan perkara perceraian perkawinan campuran adalah berwenang, karena perkawinan campuran yang di ajukan gugatan cerainya telah sah di Indonesia.

Kata Kunci :

- PerkawinanCampuran yang Tidakdiregistrasikembali - PerceraianPerkawinanCampuran

(5)

5

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7 1.3 Tujuan Penelitian ... 7 1.4 Kegunaan Penelitian ... 8 1.5 Metodelogi Penelitian ... 8 1.5.1 Jenis Penelitian ... 9 1.5.2 Sumber Data ... 9

1.5.3 Teknik Pengumpulan Data ... 10

1.5.4 Analisis Data... 10

1.6 Kajian Pustaka ... 11

1.6.1 Perkawinan dan Syarat Perkawinan ... 14

1.6.2 Perkawinan Campuran ... 14

1.6.3 Perceraian ... 17

1.6.4 Perceraian pada Perkawinan Campuran ... 24 BAB II STATUS DAN KEABSAHAN PERKAWINAN CAMPURAN

(6)

6

2.1 Syarat-syarat Sahnya Perkawinan Campuran ... 29 2.2 Status dan Keabsahan Perkawinan Campuran yang dilakukan di Luar

Negeri Tanpa registrasi kembali di Indonesia……… 31 BAB III KEWENANGAN PENGADILAN UNTUK MEMUTUSKAN PERKARA PERCERAIAN CAMPURAN

3.1 Posisi Kasus Dan Analisis ... 39 3.1.1 Posisi Kasus ... 39 3.1.2 Analisis Putusan Pengadilan Negeri Singaraja

Terhadap Perceraian Perkawinan Campuran ... 50 3.2 Kewenangan Pengadilan Negeri Singaraja Untuk

Memutuskan Perkara Perceraian Perkawinan

Campuran ... 54 BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan ... 58 4.2 Saran – Saran ... 59 DAFTAR PUSTAKA

(7)

7 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup.Kehidupan bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.

Indonesia merupakan salah satu negara yang masyarakatnyabersifat pluralistik dengan berbagai ragam suku maupun agama, halini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika.Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok – kelompok masyarakat yang berbeda.Interaksi manusia dalam masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif.Salah satu hubungan manusia yang individual adalah hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan perkawinan.1

Seiring dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks.Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering

1H. Lili Rasjidi, SH., S.Sos, LL.M dan Ira Thania Rasjidi, SH, MH, Dasar-Dasar

(8)

8

tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat, contohnya adalah perkawinan campuran, perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara

pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda.2

Perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama merupakan dua perkawinan yang berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama.3Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.Pada saat sekarang ini masyarakat pada umumnya sudah tidak memperhatikan kaidah – kaidah yang ada dan berlaku di masyarakat maupun Negara dan juga status perkawinan hasil perkawinan tersebut masih sukar untuk ditentukan.

Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinannya.Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan perundangan – undangan yang mengatur perkawinan di Indonesia. Sebagai sebuah instrumen hukum, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 di samping merupakan sandaran atau ukuran tingkah laku atau kesamaan sikap (standard of conduct), juga berfungsi sebagai suatu perekayasaan untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih sempurna (as

2Ibid, hlm 81 3Ibid, hlm 90.

(9)

9

a tool of social engineering) dan sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya suatu tingkah laku (as a tool of justification). Fungsi tersebut ditegakkan dalam rangka memelihara hukum menuju kepada kepastian hukum dalam masyarakat.4

Perkawinan campuran merupakan hal umum yang terjadi dikalangan masyarakat Indonesia.Perkawinan campuran antara warga Negara Indonesia dengan warga Negara asing banyak terjadi baik yang berlangsung di Indonesia maupun di luar negeri.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur mengenai ketentuan perkawinan campuran serta syarat sahnya di Indonesia. Perkawinan campuran beda kewarganegaraan memiliki permasalahan yang sangat kompleks berkaitan dengan ketentuan hukumnya. Akibat hukum dari perkawinan campuran beda kewarganegaraan akan beragam mengingat ada unsur asing yakni kewarganegaraan asing. Perselisihan pada pasangan perkawinan campuran beda kewarganegaraan yang berujung pada perceraian memerlukan perhatian tata hukum yang harus digunakan dalam penyelesaian perkara perceraiannya. Perceraian perkawinan campuran beda kewarganegaraan dapat dilakukan di Indoensia maupun di luar negeri bedasarkan asas

(10)

10

hukumPasal 18 A.B ,bahwasegala bentuk peristiwa hukum yang terdapat unsur asing didalamnya dilaksanakan menurut hukum dari tempat dilaksanakannya peristiwa hukum tersebut (locus regit actum). Sebagai contoh kasus perceraian yang terjadi antara Ibu.Y “Penggugat” dengan Mr.X “Tergugat”.Yang mana Penggugat mengajukan kasus perceraian terhadap Tergugat tersebut diatas dan telah mendapatkan Keputusan dari Pengadilan Negeri Singaraja dengan No Putusan 449/Pdt.G/2015/PN.Sgr. yang berisikan bahwa Pengadilan Negeri Singaraja menolak gugatan penggugat seluruhnya.

Di dalam pernikahan yang terjadi antara mereka, Penggugat sudah menikah sejak lama dengan Tergugat, namun hingga saat ini, hubungan mereka tersebut belum dikaruniai seorang anak.Dalam duduk perkara juga dijelaskan bahwa setelah Penggugat dan Tergugat menikah, mereka melakukan beberapa kali perjalanan ke Bali untuk berlibur. Hingga pada bulan April tahun 2014 mereka kembali datang kebali sekaligus berinvestasi dengan membeli sebidang tanah yang rencananya akan dibanguni sebuah bangunan, sejak saat itulah mereka lebih sering tinggal di Bali dikarenakan banyaknya aktifitas yang harus dilakukan di Bali dari Bulan April tahun 2014 dibanding harus kembali ke Negara Tergugat. Namun dikarenakan, Tergugat sudah mulai menunjukan sikap yang kurang baik terhadap Penggugat dimana Tergugat juga sudah berterus terang kepada Penggugat bahwa dirinya telah

(11)

11

memiliki perempuan lain selain Penggugat, dan dari hubungannya dengan perempuan lain tersebut, Tergugat sudah dikaruniai seorang anak.Sejak itulah sering terjadi pertengkaran diantara mereka. Melihat situasi dan kondisi rumah tangga antar Penggugat dengan Tergugat yang sudah tidak harmonis lagi, dan sejak tahun 2014 tersebut Penggugat telah berpisah tempat tinggal dengan Tergugat hingga sekarang, Penggugat berinisiatif untuk melakukatan Gugatan Perceraian kepada Tergugat dimana sesuai dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa apabila keadaan rumah tangga yang sudah tidak harmonis dan tidak ada kemungkkinan untuk dirukunkan kembali dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 huruf F, Penggugat pun melakukan Gugatan Perceraian di Pengadilan Negeri Singaraja. Dimana Penggugat dan Tergugat adalah berdomisili di Kabupaten Singaraja, Bali.

Perkawinan Penggugat dengan Tergugat tersebut adalah sebuah perkawinan yang dilakukan di Negara Denmark dengan Akta Perkawinan No :19546/05 dan dikuatkan juga dengan Surat Keterangan dari Kantor Kedutaan Republik Indonesia di Kopenhagen Denmark dan telah dilaporkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Buleleng Nomor 5108-KW-27072015-0054 Pada tanggal 27 Juli 2015. Gugatan Cerai Penggugat sudah

(12)

12

diterima oleh Pengadilan Negeri Singaraja pada tanggal 8 Oktober 2016 dalam Register 449/Pdt.G/2016/PN.Sgr.

Dalam proses persidangan perceraian gugatan cerai tersebut, Mr. X “Tergugat” mengajukan jawaban yang pada pokoknya mengajukan eksepsi/tangkisan mengenai Kewenangan mengadili. Tergugat dengan tegas menolak dan membantah dalil-dalil gugatan Penggugat. Tergugat dalam eksepsinya menyatakan bahwa Akta Perkawinan Penggugat dan Tergugat No.19546/5 yang dikeluarkan oleh Negara Denmark tidak tunduk pada UU Negara Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, oleh karena itu menurut Tergugat, gugatan cerai yang di ajukan Penggugat yang memohon kepada Pengadilan agar menyatakan Perkawinan Penggugat dengan Tergugat adalah sah sesuai dengan Akta Perkawinan No. 19546/5 yang merupakan Produk Hukum Negara Denmark yang mengakui adanya perkawinan beda agama di Pengadilan Negeri Singaraja adalah keliru dan tidak beralasan hukum. Atas eksepsi Tergugat telah diputuskan oleh

Pengadilan Negeri Singaraja dalam Putusan Sela

Nomor.449/Pdt.G/2015/PN.Sgr yang memutuskan menolak eksepsi

Tergugat.Studi kasus perceraian di Pengadilan Negeri Singaraja inilah yang mendorong peniliti untuk mengkaji pelaksanaan perceraian dalam perkawinan campuran.

(13)

13 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam proporsal ini adalah :

1) Bagaimana Status dan Keabsahan Perkawinan Campuran yang dilakukan di luar negeri tanpa registrasi kembali di Indonesia?

2) Bagaimana Kewenangan Pengadilan Negeri Singaraja untuk memutuskan perkara perceraian perkawinan campuran ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjabaran latar belakang, dan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut

1) Tujuan Umum

Tujuan umum dari studi kasus ini adalah untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai status dan keabsahan perkawinan campuran di Indonesia, serta prosedur pengambilan keputusan perceraian perkawinan campuran di Pengadilan.

(14)

14

Tujuan khusus dari studi kasus ini adalah untuk menambah wawasan, ilmu pengetahuan, serta pengalaman penulis dan juga sekaligus untuk menyelesaikan Proposal dengan bahan dari studi kasus ini.

1.4 Kegunaan Pernelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut

1) Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari studi kasus ini adalah diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum keperdataan pada umumnya dan mengenai status dan keabsahan perkawinan campuran di Indonesia, serta prosedur perceraiannya. 2) Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari studi kasus ini adalah agar dapat memberikan tambahan referensi bagi penelitian selanjutnya mengenai perkawinan campuran.

1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan yang merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen,

(15)

15

yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.Dalam penelitian hukum normatif, hukum yang tertulis dikaji dari berbagai aspek seperti aspek teori, filosofi, perbandingan, struktur/ komposisi, konsistensi, penjelasan umum dan penjelasan pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum.

1.5.2 Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan dua sumber bahan hukum sebagai berikut

1) Sumber Hukum Primer

Bahan hukum primer penelitian ini adalah perundangan –undangan yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, khususnya perkawinan campuran beda kewarganegaraan meliputi

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975; c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(16)

16

Bahan hukum sekunder berupa berbagai bahan kepustakaan yang diperoleh melalui buku-buku, karya tulis ilmiah, laporan-laporan dan literatur-literatur.

1.5.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Pengumpulan bahan hukum dilakukan berdasarkan bahan-bahan serta informasi yang dapat memberi petunjuk mengenai bahan hukum primer dan sekunder yang relevan.

1.5.4 Analisis Hukum

Analisis hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yaitu data – data hukum yang diperoleh setelah disusun secara sistematis untuk kemudian dianalisis secara normatif dalam bentuk uraian, diberikan interpretasi kualitatif dan argumentasi hasil, agar dapat ditarik kesimpulan untuk dapat dicapai kejelasan mengenai permasalahan yang akan diteliti. Hasil penelitian kepustakaan akan dipergunakan untuk menganalisis permasalahan, kemudian permasalahan akan dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan.

(17)

17 1.6 Kajian Pustaka

1.6.1 Perkawinan dan Syarat Perkawinan

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian tersebut jelaslah terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki dua aspek yaitu :

1) Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat “ikatan lahirbatin”, artinya perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan itu.

2) Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya membentuk keluarga dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting.5

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar

5

(18)

18

masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental (ke-orangtua-an).Hal mana berarti lebih sempit dari tujuan perkawinan menurut Hukum Adat yang masyarakatnya menganut system kekerabatan yang bersifat patrinial (ke-bapak-an) seperti orang Batak, Lampung, Bali, dan sebagainya.7

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan untuk

6

Ibid, hlm 14

(19)

19

kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai

adat budaya kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.8

Tujuan perkawinan untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan dimaksud masih berlaku hingga sekarang, kecuali pada masyarakat yang bersifat parental, dimana ikatan kekerabatannya sudah lemah seperti berkalu dikalangan orang Jawa dan juga bagi keluarga-keluarga yang melakukan perkawinan campuran antara suku bangsa atau antara agama yang berbeda.

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, syarat melangsungkan perkawinan adalah hal-hal yang harus dipenuhi jika akan melangsungkan sebuah perkawinan. Syarat-syarat tersebut yaitu:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai ; 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 Tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia;

3) Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 Tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 Tahun. Kalau ada

(20)

20

penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

4) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

5) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.

6) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

1.6.2 Perkawinan Campuran

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memberikan definisi tentang perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan adalah : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang- Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan antara seorang warga negara RI dengan seorang yang bukan warga negara

(21)

21

RI, sehingga padanya termasuk perkawinan antara sesama warga negara RI yang berbeda hukum dan antara sesama bukan warga negara RI.

Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur asing. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya.9

Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam perkawinan campuran, yaitu :

1) Perkawinan Campuran Antar Golongan (Intergentiel)

Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan. Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.

2) Perkawinan Campuran Antar Tempat (Interlocal)

Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat.Misalnya, orang Minang kawin dengan orang Jawa.

9 Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo.Sendi-Sendi Hukum Perdata International

(22)

22

3) Perkawinan Campuran Antar Agama (Interreligius)

Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan.Misalnya orang Islam dengan orang Kristen.

Berkaitan dengan status sang istri dalam perkawinan campuran, terdapat asas10, yaitu :

1) Asas Mengikuti

Sang istri mengikuti status suami baik pada waktu perkawinan dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawinan berjalan.Perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka masing-masing (suami dan istri) bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan.

2) Asas Persamarataan

Perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka masing-masing (suami dan istri) bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan.

1.6.3 Perceraian

Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka

(23)

23

berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami isteri. Perceraian tidaklah begitu saja terjadi tanpa melalui rentetan prosedur hukum melalui lembaga peradilan, baik melalui pengadilan agama bagi yang beragama islam, maupun pengadilan negeri bagi yang beragama selain Islam.

Perceraian menurut Subekti adalah “Penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”.Jadi pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan baik dengan putusan hakim atau tuntutan Suami atau istri.Dengan adanya perceraian, maka perkawinan antara suami dan istri menjadi hapus. Namun Subekti tidak menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu dengan kematian atau yang lazim disebut dengan istilah “cerai mati”.11Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan isteri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan isteri tersebut.

Pasal 39 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memuat ketentuan imperative bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Sehubungan dengan pasal ini, Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa walaupun perceraian

11

(24)

24

adalah urusan pribadi, baik itu atas kehendak satu di antara dua pihak yang seharusnya tidak perlu campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah, tetapi demi menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami (karena pada umumnya pihak yang superior dalam keuarga adalah pihak suami) dan juga untuk kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga peradilan.12

Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa dengan adanya ketentuan yang menyatakan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, maka ketentuan ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia, termasuk juga bagi mereka yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menharuskan perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan, namun ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak pada khususnya, seluruh warga negara, termasuk warga Negara beragama Islam, wajib mengikuti ketentuan ini. Selain itu, sesuai dengan asas dalam hukum positif Indonesia yang menyatakan bahwa peraturan itu berlaku bagi seluruh warga negara, kecuali peraturan menentukan lain. Sendangkan Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan ketentuan lain menyangkut masalah perceraian ini.

(25)

25

Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.Undang-undang di Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenal 2 (dua) jenis gugatan perceraian, diantaranya:

1) Cerai Talak, yaitu cerai khusus bagi yang beragama Islam, di mana suami (pemohon) mengajukan permohonan kepada pengadilan agama untuk memperoleh izin menjatuhkan talak kepada isteri. Berdasarkan agama Islam, cerai dapat dilakukan suami dengan mengikrarkan tala kepada isteri, namun agar sah secara hukum, suami mengajukan pemohonan mejatuhkan ikrar talak terhadap termohon di hadapan Pengadilan Agama. Talak merupakan metode perceraian paling sederhana, dan secara hukum hanya bisa dilaksanakan oleh suami karena alasan tertentu atau tanpa alasan sama sekali, meskipun secara moral keliru atau secara hukum berdosa, pada prinsipnya secara hukum seorang suami bisa menceraikan isterinya melalui pernyataan sedehana: “Saya menceraikan kamu” .

2) Cerai Gugat, yaitu gugatan cerai yang diajukan oleh isteri (penggugat) terhadap suami (tergugat) kepada Pengadilan Agama dan berlaku pula pengajuan gugatan terhadap suami oleh isteri yang beragama Islam di Pengadilan Negeri. Cerai gugat inilah yang mendominasi jenis perceraian, jadi, jika isteri yang mengajukan gugatan cerai dinamakan

(26)

26

“cerai gugat”, dan jika suami yang mengajukan gugat cerai dinamakan “cerai talak”, dalam hukum Islam, hak cerai terletak pada suami, oleh karena itu di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri ada istilah cerai talak, sedangkan pada putusan pengadilan sendiri ada cerai gugat yang disebut sebagai cerai inisiatif isteri, bahkan ada perkawinan yang putus karena li’an (sumpah laknat suami-isteri karena tuduhan zina), khuluk (cerai gugat, fasikh, dan sebagainya).

Sebagai hukum perceraian, ada beberapa dasar pertimbangan berikut ini

1) Faktor Ideal

Pancasila Sebagai Cita Hukum dan Norma Fundamental Negara , Faktor ideal yang determinan dan menjadi sumber hukum material dan menentukan substansi atau isi hukum perceraian dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksananya adalah Pancasila.

2) Faktor Kemasyarakatan

Kebutuhan Hukum dan Keyakinan tentang Agama dan Kesusilaan dalam Masyarakat Menurut Penjelasan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, sesuai dengan ladasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkadung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

(27)

27

sedangkan di lain pihak harus dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini.13

3) Peraturan Perundang-undangan

Definisi peraturan perundang-undangan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undang- Perundang-undangan adalah “Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum yang dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan oleh Peraturan Perundang-undangan”. Fungsi peraturan perundang-undangan, menurut J.J.H Bruggink, ialah menetapkan kaidah atau memberikan bentuk formal terhadap kaidah yang telah diberlakukan kepada para subjek hukum.Secara teoritis, peraturan perundang-undangan merupakan instrumen untuk melakukan positivisasi kaidah yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang.14

Putusnya perkawinan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan:

(1) Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

13

Muhammad Syaifudin, Op.Cit . Hlm 53

(28)

28

(2) Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 199 KUH Perdata.

(3) Pasal 113 sampai dengan Pasal 128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

4) Putusan Pengadilan atau Yurispudensi (Case Law)

Putusan Pengadilan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sumber hukum terpenting setelah peraturan perundang-undangan, sebagaimana terfleksi dari Pasal 39 Ayat (1) yang memuat ketentuan imperatif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ini berarti bahwa tidak ada perceraian, jika tidak ada putusan pengadilan.Sebaliknya, tidak ada putusan pengadilan, jika tidak ada perkara perceraian.

Putusan pengadilan mengenai perceraian yang diharuskan oleh Pasal 39 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat menjadi yurispudensi, dalam arti jika semua hakim di pengadilan menggunakan metode penafsiram yang sama terhadap suatu norma-norma hukum perceraian dalam peraturan perundang-undangan dan menghasilkan kejelasan yang sama pula serta diterapkan secara terus menerus dan teratur terhadap perkara atau kasus hukum perceraian yang berlaku umum yang

(29)

29

harus ditaati oleh setiap orang seperti halnya undang-undang dan jika perlu dapat digunakan paksaan oleh alat-alat Negara supaya hukum perceraian yang dibentuk oleh hakim di pengadilan tersebut betul-betul ditaati. Hukum perceraian yang terbentuk dari putusan-putusan hakim pengadilan seperti itu dinamakan yurisdpudensi atau hukum dari putusan hakim.

5) Hukum Adat yang bersumber dari Kebiasaan dalam Masyarakat (Customary Law)

Hukum adat yang bersumber dari kebiasaan dalam masyarakat yang dipahami sebagai aturan hukum tidak tertulis oleh warga masyarakat, adalah faktor determinan menentukan substansi atau isi hukum perceraian. Kebiasaan harus berproses secara bertahap dan lama, yang terlebih dahulu harus ada perbuatan faktual yang dilakukan secara berulang-ulang, untuk kemudian diikuti sebagian terbesar warga masyarakat dengan kesadaran dan keyakinan yang kuat bahwa perbuatan factual itu memang sesuai dengan pola sikap hidup bersama masyarakat (opinion juris sive necessitaatis), barulah kebiasaan itu menjadi hukum tidak tertulis.

(30)

30

1.6.4 Perceraian Pada Perkawinan Campuran

Pertengkaran atau perselisihan biasa terjadi pada hubungan suami-istri, dan hal tersebut juga dapat terjadi pada pasangan perkawinan campuran.Pertengkaran atau perselisihan pada perkawinan campuran dapat menjadi suatu bencana yang berujung pada perceraian.Masalah perceraian pada perkawinan campuran terkait masalah hokum antar tata hukum, mengingat adanya perbedaan kewarganegaraan membawa perbedaan hukumperdata diantara kedua pasangan perkawinan campuran.Hal ini terjadi pada perkawinan campuran yang masing-masing pasangan suami istri tersebut tetap mempertahankan kewarganegaraan aslinya, oleh karena bagi mereka berlaku hukum nasional yang berbeda.Indonesia termasuk Negara yang memperbolehkan terjadinya perceraian, tetapi denga persyaratan tertentu yaitu apabila terpenuhinya alasan-alasan yang secara limitative telah ditentukan didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perceraian yang terjadi pada pasangan perkawinan campuran berbeda kewarganegaraan dalam hal ini apabila salah satu kewarganegaraan Indonesia dan yang lainnya berkewarganegaraan asing memerlukan suatu perhatian mengenai hukum mana yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan perceraian tersebut.Perceraian perkawinan campuran

(31)

31

dihadapi.Permasalahan formal dengan persyaratan yang harus dilaksanakan untuk memenuhi ketentuan beracara menurut peraturan perudangan yang berlaku.Masalah materiil dalam perceraian perkawinan campuran adalah hukum siapa atau hukum mana yang diterapkan untuk perceraian tersebut, mengingat unsur asing yang terkandung dalam perkawinan campuran yaitu salah satu berkewarganegaraan asing.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (pasal 63 ayat (1) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (pasal 2 ayat (2)), dinyatakan bahwa pengadilan yang berwenang memeriksa perkara dalam hal terjadi sengketa adalah tergantung pada hukum cara pelangsungan perkawinan. Jika perkawinan dilangsungkan menurut agama Islam, maka perkara putusnya perkawinan ditangani oleh Pengadilan Agama. Jika pelangsungan perkawinan menurut hukum agama selain islam, maka perkaranya ditangani oleh Pengadilan Negeri. 15

Syarat-syarat perceraian perkawinan campuran ada 2 yaitu syarat formil dan syarat materil.Syarat formil perceraian perkawinan campuran adalah syarat yang berhubungan dengan syarat yang harus dilaksanakan untuk memenuhi ketentetuan beracara menurut peraturan perundangan –

15

Ichitijanto.Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia.Cet.1.Jakarta : Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI.2003. Hal.191.

(32)

32

undangan yang berlaku. Pasal 18 A.B ayat (1) berbunyi “ cara tiap perbuatan hukum ditinjau menurut Undang-Undang (hukum) dari Negara atau tempat, dimana perbuatan itu dilakukan”. Ketentuan tersebut mengandung unsur Lex Loci Celebrationis, bahwa suatu perbuatan hukum harus dilaksanakan menurut ketentuan/ tata cara yang berlaku di Negara dimana perbuatan tersebut dilakukan. Ketentuan ini memberi jalan bagi pasangan perkawinan campuran yang berkewarganegaraan asing yang tinggal di Indonesia untuk melaksanakan perceraiannya dengan tata cara yang berlaku di Indonesia berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya.

Pasal 20 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menyebutkan bahwa bagi warga Negara Indonesia yang akan mengajukan permohonan perceraian terhadap suami atau istri yang berkediaman di luar negeri, baik diketahui tempat tinggalnya atau tidak, bahwa gugatan perceraian dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggal tergugat. Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa perkara perceraian pada perkawinan campuran adalah Pengadilan Negeri oleh karena Pengadilan inilah yang memiliki wewenang untuk memeriksa mengenai perkara-perkara antara mereka yang tidak beragama islam.

(33)

33

Ketentuan pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa bagi suami istri warga Negara Indonesia yang tinggal di luar negeri dapat mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan di tempat kediaman mereka. Tata cara penyelengaraan perceraian pada perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan yang berlaku bagi perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya. Sedangkan perceraian yang dilaksanakan diluar negeri dilaksanakan dengan mengikuti tata cara yang berlaku di Negara setempat dimana mereka tinggal.

Syarat materil perceraian perkawinan campuran adalah syarat yang berhubungan dengan hukum materil apa yang harus diberlakukan oleh hakim dalam menyelesaikan perceraian pada perkawinan campuran yang melibatkan pasangan yang berkewarganegaraan berbeda. Para hakim dalam menghadapi masalah ini akan memberikan pertimbangan hukum mengenai hukum mana yang harus diterapkan dalam menyelesaikan perceraian tersebut. Hakim dalam menentukan hukum materil yang harus diterapkan

dalam perkara perceraian pada perkawinan campuran, harus

mempertimbangkan HATAH berkenaan dengan pilihan hukum.Sangat penting diperhatikan apakah hukum masing-masing pihak menunjuk pada

(34)

34

hukum tempat dilangsungkan perceraian ataukah hukum yang berlaku berdasarkan kewarganegaraan para pihak.

Hakim dalam menentukan masalah materil ada dua tugas yang harus dilakukan, yang pertama adalah menunjuk hukum siapa yang akan digunakan dengan mempertimbangkan kaidah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang ada, dan yang kedua adalah menentukan kaidah hukum positif yang akan digunakan. Dalam hal Hakim menggunakan hukum materil bersumber dari hukum perkawinan nasional Indonesia, maka yang berlaku padanya adalah ketentuan perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya.

(35)

35 BAB II

STATUS DAN KEABSAHAN PERKAWINAN CAMPURAN 2.1 Syarat – Syarat Sahnya Perkawinan Campuran

Syarat sahnya suatu perkawinan diatur dalam pasal 6 hingga pasal 12 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat perkawinan terbagi menjadi

syarat-syarat intern (materiil) dan syarat-syarat perkawinan ekstern

(formal).16Syarat intern berkaitan dengan para pihak yangakan

melangsungkan perkawinan.Sedangkan syarat ekstern berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan.Syarat syarat intern terdiri dari:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (pasal 6 ayat (1) UU perkawinan.

2) Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing masing calon belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan).

3) Bagi pria harus bisa mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 Tahun, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh

16

R. Soetojo. Prawiroharmidjojo.Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan

(36)

36

penngadilanatau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan).

4) Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (pasal 9 Jo. Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU perkawinan).

5) Bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kali dan seterusnya, undang-undang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 haribagi yang putus perkawinanya karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya (pasal 10 dan 11 UU perkawinan).

Ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan yang dilangsungkan diluar negeri hanya terdapat dalam dua pasal yaitu pasal 83 dan 84 KUH Perdata.Perkawinan diluar negeri dapat terjadi antara WNI dengan WNI yang ditunduk kepada KUH Perdata, serta antara WNI dengan WNA, yang ketentuan–ketentuan perkawinan tersebut masuk ruang lingkup Hukum Perdata International. Menurut pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat

(37)

37

perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

Syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi oleh seorang WNI diluar Negeri sama dengan syarat perkawinan yang dilangsungkan di dalam negeri. Jika perkawinan tersebut dilangsungkan di Negara-negara yang menganut asas Hukum Perdata Indonesia sama dengan yang di anut Indonesia, misalkan beberapa Negara Eropa Kontinental, maka perkawinan tersebut sah bila memenuhi syarat-syarat materil yang berdasarkan hukum nasional masing-masing pihak, sedangkan formalitas dilangsungkan

perkawinan mengikuti kaidah locus regit actum yaitu sesuai dengan

ketentuan hukum dari tempat dilangsungkannya perkawinan tersebut.17Agar

dapat dinyatakan sah, perkawinan campuran yang dilakukan di luar negeri harus didaftarkan untuk dicatat oleh pejabat yang berwenang, sesuai dengan aturan pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2.2 Status dan Keabsahan Perkawinan Campuran yang dilakukan di Luar Negeri tanpa registrasi kembali di Indonesia

Perkawinan campuran yang dilakukan di luar negeri antara warga

negara Indonesia dengan warga negara Indonesia atau warga

(38)

38

negara Indonesia dengan warga negara asing yang dilangsungkan di luar negeri dasar hukumnya adalah pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, menyebutkan tentang perkawinan yang harus dilaksanakan oleh seorang warga negara Indonesia secara kumulatif, bukan alternatif secara terpisah dan berdiri sendiri. Penjabaran dasar hukum perkawinanan campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian kedua tentang perkawinan di luar Indonesia pasal 56 :

(1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di

negara perkawinan itu dilangsungkan dan bagi

warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan ini.

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.

Beberapa penjabaran pengaturan perkawinan campuran di Indonesia dijabarkan sebagai sebagai berikut :

1) Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran pasal 57 :

(39)

39

“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihakberkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran Pasal 58 :

”Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku”.

3) Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran Pasal 59 ayat (2) :

“Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini”.

4) Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuranPasal 60 :

(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan

(40)

40

oleh hukum yang berlaku bagipihak masing-masing telah dipenuhi.

(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yangberlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

5) Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran Pasal 61 :

(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

(2) Barang siapa yang melangsungkan perkawinan

campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 di telaah bahwa perkawinan campuran memiliki alur yang berbeda dengan perkawinan

(41)

41

umumnya di Indonesia. Perkawinan campuran yang di lakukan di Indonesia akan berbeda status dan keabsahannya dengan perkawinan campuran yang dilakukan di luar negeri atau dengan kata lain di langsungkan di luar Indonesia. Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia harus mengikuti hukum perkawinan Indonesia, karena menurut Pasal 18 A.B. (Algemee Bel Palingen Van Wet Geving), maka segala bentuk peristiwa hukum yang terdapat unsur asing didalamnya dilaksanakan menurut hukum dari tempat dilaksanakannya peristiwa hukum tersebut (locus regit actum). Salah satu aturan hukum perkawinan Indonesia adalah perkawinan dilaksanakan dihadapan petugas yangberwenang (Petugas Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil) dan pencatatan perkawinan (Pasal 2ayat 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974).Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan di KUA (untuk yangberagama Islam) atau di Kantor Catatan Sipil (untuk selain beragama Islam).Pencatatan perkawinan harusdilaksanakan maksimal 60 hari setelah perkawinan itu dilaksanakan. Walaupun pasal 16 A.B. mengatur status dan wewenang seseorang harus dinilai menurut hukum nasionalnya (lex patriae, WNA harus dinilai berdasar hukum nasional negara asalnya), selama WNA tersebut tidak pindah status warga negara menjadi WNI, maka segala aturan hukum yang berlaku di Indonesia otomatis mengikat kedua belah pihak, baik WNI maupun WNA (locus regit actum).

(42)

42

Perkawinan campuran yang dilakukan di luar negeri status dan keabsahannya didasari oleh hukum perkawinan yang berlaku.Pasal 16 A.B. menyebutkan bahwa WNI, dimanapun ia berada akan tunduk pada hukum Indonesia, tapi Pasal 18 A.B. menyebutkan bahwa WNI tunduk pada hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan (lex loci celebrationis). Menjelaskan dua pasal diatas yang seperti saling bertentangan dan bertabrakan satu sama lain, Prof. Zulfa Djoko Basuki berpendapat bahwa untuk sahnya perkawinan, diperlukan dua syarat, yatu syarat formal dansyarat material. Syarat formal diatur dalam pasal 18 A.B. yakni tunduk pada hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan (lex loci celebrationis), jika perkawinan dilangsungkan di negara yang berlaku perkawinan sipil, maka perkawinan harus dilakukan secara sipil. Sedangkan untuk syarat materiil, berlaku pasal 16 A.B. misalnya mengenai batas usia menikah, berlaku hukum nasional (dalam hal ini Indonesia).18

Syarat sahnya perkawinan campuran menurut pasal Pasal 56 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan, dan bagi WNI yang melaksanakan perkawinan tersebut tidak melanggar ketentuan UU perkawinan. Pasal 56 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974

18

Prof. Zulfa Djoko Basuki .Bunga Rampai Kewarganegaraan Dalam Persoalan

(43)

43

menyatakan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil mereka berdomisili.

Perkawinan campuran yang dilakukan diluar negeri harus mengikuti

prosedur yang berlaku di Negara perkawinan tersebut

dilangsungkan.Perkawinan campuran tersebut harus dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat dengan memenuhi syarat berupa fotokopi:

a. Bukti pencatatan perkawinan/akta perkawinan dari negara setempat; b. Paspor Republik Indonesia; dan/atau

c. KTP suami dan isteri bagi penduduk Indonesia.

Jadi selama para pihak telah melaksanakan pencatatan perkawinan di luar negeri sesuai hukum yang berlaku di negara tersebut, maka perkawinan adalah sah dengan segala akibat hukumnya.Akibat hukum yang dimaksud misalnya status anak, harta perkawinan, pewarisan, hak dan kewajiban suami-istri bila perkawinan berakhir karena perceraian dan sebagainya.

Apabila perkawinan campuran yang dilakukan diluar negeri tidak diregistrasikan kembali di Indonesia maka status dan keabsahannya tidak diakui di Indonesia. Berdasarkan Pasal 56 ayat (2) disebutkan bahwa dalam

(44)

44

waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, suratbukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil mereka berdomisili. Jika pelaporan lewat dari jangka waktu 1tahun tersebut akan dikenai denda administratif sesuai peraturan daerah setempat. Sebagai lex spesialis, UU No. 23 Tahun 2006 yang telah dirubah dengan UU No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 2006) menempatkan pencatatan peristiwa kependudukan, seperti perkawinan sebagai kewajiban. Berdasarkan Undang-undang ini, perkawinan WNI yang dilangsungkan di luar negeri wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada perwakilan RI.Jika di negara tersebut tidak dikenal pencatatan perkawinan bagi orang asing, maka pencatatan dilakukan perwakilan RI.Oleh perwakilan RI perkawinan itu dicatatkan dalam Register Akta Perkawinan lalu terbitlah Kutipan Akta Perkawinan.Jika pasangan tersebut kembali ke Indonesia, mereka harus melapor ke instansi pelaksana perkawinan di tempat tinggalnya paling lambat 30 hari setelah tiba di Indonesia.Bila pasangan yang melakukan perkawinan campuran tidak meregistrasi kembali di Indonesia maka akta nikah yang dikeluarkan oleh pejabat di Negara berlangsungnya perkawinan campuran tersebut belum memiliki kekuatan hukum di Indonesia.

(45)

45 BAB III

KEWENANGAN PENGADILAN UNTUK MEMUTUSKAN PERKARA PERCERAIAN CAMPURAN

3.1 Posisi Kasus Dan Analisis 3.1.1 Posisi Kasus

Para Pihak :

- Pengaju gugatan cerai / Penggugat : Ibu Y ( WNI) - Termohon gugatan cerai / Tergugat : Mr.X (WNA)

Duduk Perkara :

1. Bahwa Penggugat dengan Tergugat telah melangsungkan perkawinan secara sah di Negara Denmark tepatnya di Odense Kommune pada tanggal 21 April 2005 sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan No : 19546/05 yang dikuatkan pula dengan surat keterangan Nomor 333/kons/VII/2015 dari Kantor Kedutaan Republik Indonesia di Konpehagen Denmark yang mana kutipan Akta dimaksud telah pula dilaporkan Perkawinannya pada Kantor Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kabupaten Buleleng Nomor : 5108-KW-27072015-0054 pada tanggal 27 Juli 2015 ;

(46)

46

2. Bahwa setelah perkawinan Penggugat dan Tergugat tinggal bersama di Negara Denmark, dan kehidupan Rumah Tangganya berjalan harmonis rukun dan bahagia, sehingga pada tahun 2008 sempat mereka berdua (Penggugat dan Tergugat) dating ke bali dalam rangka liburan dan tinggal hanya beberapa minggu di bali kemudian mereka berdua kembali lagi kenegara asalnya Tergugat yaitu di Denmark;

3. Bahwa selama perkawinan berlangsung antara Penggugat dengan Tergugat hingga kini tidak dikaruniai keturunan anak ;

4. Bahwa oleh karena antara Penggugat dengan Tergugat ingin melakukan kegiatan investasi di Bali, sehingga Penggugat dengan Tergugat kemudian memutuskan untuk kembali lagi dating ke bali, tepatnya pada tanggal 1 Juli 2011 mereka berdua membeli sebidang tanah yang rencana untuk dibangun, itupun Penggugat dengan Tergugat juga tidak lama kemudian kembali lagi ke Negara asal Tergugat sehingga seiring waktu mereka mondar-mandir keluar negeri dan dating kembali ke bali ;

5. Bahwa sejak saat itulah antara Penggugat dan Tergugat sering dating ke bali bahkan Penggugat dengan Tergugat sering pula tinggal di bali, namun ketika Penggugat dan Tergugat sudah mulai

(47)

47

banyak beraktifitas di bali mengurus investasinya di bali, tepat pada April 2014 mulailah Tergugat menunjukkan sikap kurang baik terhadap Penggugat dimana Tergugat berterus terang telah memiliki perempuan lain selain Penggugat, maka sejak saat itulah sering terjadi percekcokan secara terus menerus antara Penggugat dengan Tergugat bahkan Tergugat dari hasil hubungannya dengan perempuan lain telah lahir seorang anak, maka rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat mulai renggang;

6. Bahwa oleh karena situasi dan kondisi rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak harmonis lagi dan selalu adanya pertengkaran, maka kemudian tepatnya pada tahun 2014 antara Penggugat dengan Tergugat telah berpisah tempat tinggal hingga sekarang, dimana Penggugat hidup sendiri sedangkan Tergugat tinggal bersama perempuan idamannya hingga sekarang ;

7. Bahwa mengingat keadaan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat yang sudah tidak harmonis lagi dan tidak ada kemungkinan untuk rukun kembali, maka menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 19 huruf F Penggugat berhak untuk mengajukan gugatan perceraian pada Pengadilan Negeri Singaraja

(48)

48

agar perkawinan Penggugat dengan Tergugat yang telah dilaksanakan di Denmark sesuai kutipan Akta Perkawinan Nomor : 19546/05 dan telah dilaporkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Buleleng Nomor : 5018-KW-27072015-0054 tertanggal 27 Juli 2015 sah putus karena perceraian;

8. Bahwa untuk menjamin kepastian hukum dari perceraian antara Penggugat dengan Tergugat, Penggugat mohon agar Majelis Hakim Yang Terhormat memerintahkan kepada Juru Sita Pengadilan Negeri Singaraja untuk mengirimkan salinan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Buleleng.

Dan berdasarkan hal tersebut, pihak penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Singaraja agar memberi Putusan yang amarya berbunyi :

1. Mengabulkan Gugatan Penggugat seluruhnya;

2. Menyatakan hukum bahwa Perkawinan diantara mereka berdua adalah sah;

3. Menyatakan hukum bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat adalah Sah putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya;

(49)

49

4. Memerintahkan kepada juru sita Pengadilan Negeri Singaraja untuk menyampaikan salinan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Buleleng;

5. Menghukum Tergugat untuk membayaw semua biaya perkara yang timbul dalam perkara ini;

ATAU :

Apabila Pengadilan berpendapat lain, Penggugat mohon Putusan yang seadil-adilnya “Ex Aquo Et Bono”.

Menimbang bahwa sesuai Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dengan menunjuk Luh Suantini, S.H.,M.H, Hakim pada Pengadilan Negeri Singaraja sebagai mediator;

Menimbang, bahwa berdasarkan laporan Mediator tanggal 3 Desember 2015 rupanya perdamaian tersebut tidak berhasil;

Menimbang, bahwa oleh karena itu pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat;

Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat tersebut, Tergugat telah mengajukan jawaban yang pada pokoknya sebagai berikut :

(50)

50 Dalam Eksepsi :

- Menerima Eksepsi Tergugat seluruhnya : Bahwa Pengadilan Negeri Singaraja tidak memiliki wewenang mengadili perkara aquo. Karena Tergugat mendasarkan bahwa perkawinan Penggugat dengan Tergugat adalah produk hukum Negara Denmark yang merupakan perkawinan beda agama dan tidak tunduk pada hukum Perundang-undangan perkawinan di Indonesia;

- Menyatakan hukum gugatan Penggugat tidak dapat diterima;

Dalam Pokok Perkara :

- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

- Menghukum Penggugat untuk membayar semua biaya yang timbul akibat perkara ini;

Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Singaraja :

1. Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana terurai diatas. Karena sebagian dalil-dalil gugatan Penggugat telah dibantah atau disangkal oleh Tergugat, maka dalam upaya penyelesaian perkara, berdasarkan ketentuan Pasal 283 Rbg dan Pasal 1865 KUH Perdata tentang pembagian beban pembuktian, berdasarkan alat-alat bukti yang sah sesuai Pasal 284

(51)

51

R.Bg (Pasal 1866 KUH Perdata) yaitu bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah; Dalam perkara perdata, bukti surat / tulisan merupakan bukti yang pertama dan utama. Sementara surat sebagai alat bukti, menurut hukum di bagi 3 (tiga) yaitu (1) akta otentik, (2) akta bawah tangan, (3) surat-surat lainnya; Menimbang bahwa berdasarkan dalil gugatan dan dalil bantahan para pihak maka didapat fakta hukum yang menjadi dalil tetap yaitu bahwa baik Penggugat dan Tergugat sama-sama mengakui bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah menikah di luar Negeri yaitu Negara Denmark tepatnya di Odense Kommune pada tanggal 21 April 2005 sesuai dnegan Kutipan Akta Perkawinan No : 1954/05;

2. Menimbang Ketentuan pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa Perkawinan di Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di

negara perkawinan itu dilangsungkan dan bagi

warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan ini , dan ayat (2) disebutkan bahwa Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan

(52)

52

mereka harus didaftarkan di kantor pencatat perkawinan tempat tinggal mereka. Pasal 70 ayat (1) Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, pencatatan Perkawinan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia dilakukan pada instansi yang berwenang di Negara setempat. Pasal 73 Perpres No.25 Tahun 2008 selanjutnya mengatur bahwa setelah kembali ke Indonesia, perkawinan sedemikian harus dilaporkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Menimbang dari surat bukti (P1-P4) Penggugat didapat fakta hukum bahwa Penggugat dengan Tergugat telah melangsungkan perkawinan secara sah di Negara Denmark tepatnya di Odense Kommune pada tanggal 21 April 2005 sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan No : 19546/05 yang dikuatkan pula dengan surat keterangan Nomor 333/kons/VII/2015 dari Kantor Kedutaan Republik Indonesia di Konpehagen Denmark yang mana kutipan Akta dimaksud telah pula dilaporkan Perkawinannya pada Kantor Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kabupaten Buleleng Nomor : 5108-KW-27072015-0054 pada tanggal 27 Juli 2015. Fakta hukum tersebut didukung dalil tetap yakni pengakuan Penggugat dan

(53)

53

Tergugat yang membenarkan bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah menikah di luar Negeri yaitu Negara Denmark tepatnya di Odense Kommune pada tanggal 21 April 2005 sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan No : 1954/05, maka karena perkawinan Penggugat dan Tergugat dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku maka, Majelis berpendapat perkawinan yang dilakukan antara Penggugat dan Tergugat sah menurut hukum;

3. Majelis Hakim mempertimbangkan apakah dengan adanya perkawinan yang sah tersebut Penggugat dapat mengajukan persoalan hukum dalam hal ini gugatan cerai di Negara Indonesia khususnya Pengadilan Negeri Singaraja dimana para pihak tinggal atau berdomisili. Kewenangan mengadili dalam putusan Sela Majelis Hakim telah mempertimbangkan secara jelas, bahwa meskipun Penggugat melakukan perkawinan di luar negeri akan tetapi Penggugat masih merupakan warga Negara Indonesia dengan telah pula dicatatkan kembali perkawinannya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Buleleng, sehingga Majelis berpendapat bahwa Penggugat tunduk dan patuh pada hukum Indonesia. Dan

(54)

54

Pengadilan Negeri Singaraja berwenang mengadili gugatan perceraian aquo.

4. Gugatan Pokok Penggugat adalah mengajukan gugatan tentang “putusnya perkawinan” terhadap Tergugat. Menimbang ketentuan pasal 19 f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat diputuskan dengan perceraian apabila terdapat alasan-alasan yang kuat dan antara suami-istri tidak mungkin didamaikan lagi untuk rukun dalam rumah tangga. Dalil gugatan Penggugat menyatakan bahwa sejak April 2014 kondisi rumah tangga Penggugat dengan Tergugat tidak harmonis lagi, yang ditadai dengan adanya sikap kurang baik Tergugat, adanya pengakuan Tergugat bahwa ada perempuan lain dan telah lahir seorang anak atas hubungan Tergugat dengan perempuan tersebut, yang berujung pada seringnya terjadi percekcokan secara terus menerus. Untuk membuktikan dalil tersebut dipersidangan Penggugat mengajukan alat bukti surat berupa fotocopy vielsesattest, fotocopy surat keterangan Nomor 333/kons/VII/2015, fotocopy Pelaporab Perkawinan di Luar Negeri Nomor : 5108-KW-27072015-0054, dan fotocopy terjemahan akta

(55)

55

perkawinan Nomor : 19546/05, namun setelah Majelis cermati semua bukti surat tersebut tidak ada satu bukti suratpun yang menunjukkan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sering terjadi percekcokan , dan tidak adanya bukti pendukung lain berupa saksi yang mengetahui apakah benar sebab musabab percekcokan sebagaimana didalilkan Penggugat sedemikian rupa hingga terjadi perceraian merupakan pilihan terakhir tidak bisa terjawab. Berdasarkan fakta tersebut Majelis menilai Penggugat tidak serius

dalam pembuktian, sehingga berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis berpendapat Penggugat tidak mampu untuk membuktikan dalil gugatannya sehingga tidak cukup alasan untuk melakukan perceraian dengan Tergugat sebagaimana ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Masalah pokok dalam dalil gugatan Penggugat adalah masalah perceraian, sehingga meskipun antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perkawinan secara sah sedangkan Penggugat tidak dapat membuktikan alasan perceraian sebagaimana ketentuan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka Majelis berkesimpulan tidak terdapat cukup alasan bagi Penggugat untuk

(56)

56

mengajukan gugatan tentang “putusnya perkawinan” terhadap Tergugat, sehingga Majelis berpendapat gugatan Penggugat ditolak untuk seluruhnya.

PUTUSAN MAJELIS HAKIM PENGADILAN NEGERI SINGARAJA :

Dalam Eksepsi :

1. Menolak Eksepsi Tergugat

Dalam Pokok Perkara :

1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya

2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang sampai hari ini ditetakan sejumlah Rp 986.000 (Sembilan ratus delapan puluh enam ribu rupiah)

3.1.2 Analisis Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Terhadap Perceraian Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran yang telah dicatatkan kembali di Indonesia, salah satu keuntungannya adalah kemudahan pengajuan gugatan cerai di Indonesia.Pengadilan yang berwenang berdasarkan ketentuan pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalan

(57)

57

Pengadilan Negeri.Secara umum prosedur pengajuan gugatan cerai di Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut :

1) Gugatan Cerai dapat diajukan oleh pihak suami maupun pihak istri yang nantinya akan berkedudukan sebagai penggugat. Gugatan cerai tersebut dapat diajukan langsung oleh pihak penggugat maupun dengan menggunakan jasa kuasa hukum yaitu pengacara;

2) Gugatan didaftarkan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak tergugat. Jika pasangan suami istri tersebut masih tinggal bersama maka diajukannya ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan bersama suami istri tersebut; 3) Namun jika penggugat dan tergugat sudah tidak tinggal bersama dan

tempat kedudukan tergugat tidak diketahui pasti, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang masuk dalam wilayah hukum tempat tinggal penggugat;

4) Gugatan dapat diajukan ke pengadilan dalam wilayah tempat tinggal penggugat berlaku juga dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar negeri.

Proses Persidangan dalam Pengadilan sebagai berikut :

1) Setelah gugatan diterima dan diproses lebih lanjut, pihak pengadilan akan melakukan pemanggilan kepada pihak penggugat dan tergugat

(58)

58

untuk menghadiri persidangan; Baik proses persidangan di pengadilan negeri ataupun di pengadilan agama, para pihak akan diminta untuk melakukan mediasi dengan dipimpin oleh seorang mediator yang ditunjuk oleh Majelis Hakim;

2) Jika perdamaian tidak berhasil dicapai dalam tahap mediasi maka proses pemeriksaan atas permohonan cerai talak atau gugatan cerai akan dilanjutkan. Namun Majelis Hakim akan terus mengupayakan terjadinya perdamaian dalam setiap tahap persidangan.

3) Dalam proses persidangan tersebut majelis hakim akan menanyakan alasan-alasan perceraian yang diajukan penggugat dan hal-hal yang dimintakan dalam gugatan tersebut. Pihak tergugat akan diberikan kesempatan untuk menanggapi gugatan tersebut yang dapat disampaikan secara lisan ataupun tertulis.

4) Pada tahap pembuktian para pihak akan diminta untuk menyerahkan bukti-bukti yang dapat berupa bukti tertulis dan saksi-saksi.

5) Setelah melalui proses pembuktian, majelis hakim akan bermusyawarah untuk kemudian memberikan putusannya atas gugatan cerai tersebut.

6) Setelah para pihak menerima salinan putusan dari pengadilan tahap akhir dalam proses perceraian yaitu dengan melakukan pengurusan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji statistik t untuk kondisi pertama (EratingA) yaitu pengambilan keputusan etis bila dilema etis dihadapi oleh orang lain pada kelompok Mahasiswa S1 Akuntansi

Sesuai dengan era globalisasi dan pergeseran paradigma di bidang kesehatan yang ditandai dengan need pengguna rumah sakit serta mengantisipasi persaingan di

Hal ini berarti rerata kadar progesteron pada kedua kelompok setelah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna ( P <0,05) yang mengindikasikan bahwa pemberian

ASDP Indonesia Ferry (persero) mengelola 36 pelabuhan penyeberangan dan 126 unit armada kapal jenis ro-ro yang siap beroperasi untuk melayani penyeberangan di seluruh

Maksila ini terjadi dari 2 bagian yaitu maksila bagian belakang (maksila proper) dan bagian depan antara regio kaninus kiri dan kanan disebut : premaksila. Pada waktu bayi usia 1

kebolehan mengamalkan kemahiran mendengar yang aktif dan memberi maklum balas, kebolehan membuat pembentangan secara jelas dengan penuh keyakinan dan bersesuaian

Adapun syarat mengikuti program MULIA yakni menyerahkan fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau identitas resmi lainnya, mengisi formulir aplikasi MULIA,

Mereka ( kaum empiris ) mengambil sikap tegas pada metafisika, bagi Lock metafisika tidak mampu menjelaskan basis fundamental filsafat atau Epistimologi ( bagaimana realitas itu