• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata,"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang–Undang Hukum Perdata, perjanjian didefenisikan sebagai:

“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.18

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan juga terlalu luas.19

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Kelemahannya antara lain:

Frase tersebut dapat dilihat dalam perumusan “satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, dan bukan dari dua belah pihak. Frase ini seharusnya dirumuskan dengan “saling mengikatkan diri”, sehingga terjalin makna konsensus antara pihak-pihak.

2. Kata “perbuatan” mencakup tanpa konsensus.

18

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 91.

19

(2)

Dalam pengertian “perbuatan” tercakup tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung makna suatu konsensus. Oleh karenanya, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut dinilai terlalu luas karena kata perjanjian dapat mencakup juga dalam perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Adapun yang dimaksudkan dalam perjanjian ini hanyalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaaan yang bersifat kebendaan.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tidak disebutkan batasan tujuan untuk mengadakan perjanjian. 20

Untuk memperjelas pengertian perjanjian itu sendiri, maka harus diperhatikan dalam doktrin (teori lama), dimana yang disebut perjanjian adalah: “perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.21

Para ahli hukum memberikan suatu pengertian perjanjian yang berbeda-beda. Menurut Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian adalah: ”Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal

20

Abdulkadir Muhammad, op. cit, hlm 224. 21

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm 15.

(3)

dalam lapangan harta kekayaan”, Persetujuan ini merupakan arti yang pokok dalam dunia usaha dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang. Sedangkan Subekti memberikan pengertian perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.22

Apabila diperinci makna dalam definisi-definisi yang dirumuskan oleh para sarjana ahli hukum dan doktrin yang berkembang, maka perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 23

1. Ada pihak – pihak, sedikitnya dua orang (subjek), 2. Ada persetujuan antara pihak – pihak (konsensus), 3. Ada objek yang berupa benda,

4. Ada tujuan yang bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan), 5. Ada bentuk tertentu (lisan atau tulisan).

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang yang sah diakui dan diberi akibat hukum (legally concluded contract ).24

22

Joko Hartanto, http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/ HASH2ed0/ b3c28f12.dir/doc.pdf, diakses pada 14 November 2010.

23

(4)

Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian dianggap sah apabila mengikat kedua belah pihak dan memenuhi syarat-syarat perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

Syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Sepakat mereka yang mengikatkan diri artinya pihak-pihak yang mengikatkan perjanjian ini mempunyai persesuaian kehendak tentang hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan. Kata sepakat ini lahir dari kehendak yang bebas dari kedua belah pihak, mereka menghendaki secara timbal balik. Dengan kata sepakat maka perjanjian tidak dapat ditarik secara sepihak saja namun atas kehendak kedua belah pihak.

Menurut Sudikno Mertokusumo, ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan:25

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis; b. Bahasa yang sempurna secara lisan;

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

24

Ibid, hlm 229. 25 Ibid.

(5)

e. Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuannya adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian hari. 26

a. Salah pengertian (dwaling) atau kekeliruan;

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepakat yang dimaksud adalah perjanjian atau perikatan yang timbul atau lahir sejak tercapainya kesepakatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian tidak dianggap sah jika kesepakatan itu diberikan karena:

b. Pemerasan atau dipaksakan (dwang); c. Adanya penipuan (bedrog).

Persetujuan yang diberikan karena salah pengertian, paksaan dan penipuan, disebut dengan “persetujuan kehendak yang cacat” (wilsgebrek). Terhadap persetujuan yang demikian dapat dilakukan pembatalan

(vernietigbaar), tapi bukan batal dengan sendirinya. Hal ini tidak mengurangi

pendapat, bahwa terhadap persetujuan yang diperoleh dengan dwaling, dwang

26

(6)

dan bedrog mereka anggap “batal dengan sendirinya” (Van Rechts Wege

Nietig).27

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan artinya orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap”, sedangkan orang – orang yang tidak termasuk cakap hukum dalam membuat persetujuan diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu :

a. Orang-orang yang belum dewasa.

Pada umumnya seseorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun.28

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Orang-orang yang disebut Pasal 1330 KUH Perdata tersebut apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi istri

27

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hlm 25. 28

(7)

harus ada izin suaminya. Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo SEMA No.3 Tahun 1963.29

3. Suatu hal tertentu

Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu barang yang jelas atau tertentu. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, jumlahnya walaupun tidak diharuskan oleh undang-undang. Menurut Pasal 1334 KUH Perdata, objek itu bisa terdiri dari barang yang di “harapkan” dimasa yang akan datang.

Isi Pasal 1334 KUH Perdata : “barang – barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepas suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan mengenai suatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan Pasal 169, 176, dan 178”.

4. Suatu sebab yang halal (causa)

Pada Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian causa yang halal (geoorloofde oorzaak). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya

29

(8)

disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam Pasal 1337 KUH Perdata disebutkan “ suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Kata ‘causa’ berasal dari bahasa latin artinya sebab. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, namun yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang ialah isi perjanjian itu, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.30

Hoge Raad (1927) mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. Contoh, A menjual sepeda motor kepada B. tetapi sepeda motor yang dijual A itu adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak

30

(9)

mencapai tujuan dari pihak B. karena B menginginkan barang yang dibelinya itu adalah barang yang sah.31

Para ahli tidak memiliki kesatuan pandangan tentang pembagian perjanjian. Masing-masing ahli mempunyai pandangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Berikut jenis-jenis perjanjian tersebut:

C. Jenis- Jenis Perjanjian

32

1. Perjanjian menurut sumbernya

Perjanjian berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan perjanjian yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian dari sumber hukumnya menjadi lima macam, yaitu:

a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti perkawinan;

b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;

c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;

d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan

bewijsovereenkomst;

31

Salim H.S, op. cit., hlm 25 32

(10)

e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan

publiekrechtelijke overeenkomst.

2. Perjanjian menurut namanya

Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1319 KUH Perdata; artikel 1355 NBW. Dalam Pasal 1319 KUH Perdata dan Artikel 1355 NBW, disebutkan 2 (dua) macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama).

Kontrak nominaat adalah kontrak yang dikenal dalam KUH Perdata. Terdapat 15 (lima belas) jenis perjanjian nominaat yang diatur di dalam KUH Perdata, seperti jual–beli, tukar–menukar, sewa–menyewa, perjanjian melakukan pekerjaan, persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam–meminjam, bunga tetap/abadi, perjanjian untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan utang, dan perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUH Perdata. Contohnya seperti leasing, beli sewa, franchise, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain.

Selain dari 2 jenis kontrak di atas, Vollmar mengemukakan jenis kontrak campuran, yaitu kontrak atau perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam titel I, II

(11)

dan IV. Berdasarkan jenis kontrak ini, di dalam perjanjian ini terdapat ketentuan – ketentuan khusus yang sebagian menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, misalnya pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) yang menyewakan kamar-kamar (sewa-menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Kontrak ini disebut juga dengan Contractus Sui

Generis.

3. Perjanjian menurut bentuknya.

Dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata, maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu kontrak lisan dan kontrak tertulis.

a. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan saja (Pasal 1320 KUH Perdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian itu telah terjadi. Yang termasuk kedalam perjanjian ini adalah perjanjian konsensual dan riil.

Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang terjadi apabila ada kesepakatan para pihak, sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (seperti adanya penyerahan barang).

(12)

b. Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat para pihak dalam bentuk tulisan. Contoh ketentuan ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah, yang harus dilakukan dengan akta notaris.

Kontrak tertulis dapat dibagi dalam 2 (dua) macam yaitu dalam bentuk akta dibawah tangan dan akta notaris. Akta dibawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangkan akta autentik adalah merupakan akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris.

4. Perjanjian timbal balik

Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Menurut Achmad Ichsan, perjanjian ini terbagi atas dua macam yaitu, perjanjian persetujuan sepihak dan timbal balik.

Dalam persetujuan sepihak hanya terdapat satu pihak yang dibebani kewajiban pokok, sedangkan yang lainnya hanya berhak. Prestasi hanya dipenuhi oleh satu pihak, untuk mana ia terikat. Contohnya perjanjian jaminan, penghibahan.

(13)

Sedangkan pada perjanjian timbal balik, kedua belah pihak saling berkewajiban dan saling berhak, sehingga keduanya wajib memberikan prestasi. Contohnya perjanjian jual beli, sewa–menyewa.33

5. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan alas hak yang membebani

Menurut Vollmar, penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian yang menurut hukum hanya menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian yang disamping prestasi pihak yang satu dan senantiasa ada kontra prestasi dari pihak lain, yang menurut hukum saling berhubungan. Misalnya, A menjanjikan kepada B sesuatu dengan jumlah tertentu, B menyerahkan sebuah benda tertentu kepada A.34

Perjanjian dengan alas hak yang membebani terbagi dalam dua bagian yaitu: 35

a. Persetujuan pembalasan ialah persetujuan yang menekankan bahwa berhadapan dengan prestasi pihak yang satu ada keharusan prestasi dari pihak yang lain, seperti persetujuan jual beli, sewa–menyewa.

33

Achmad Ichsan, Hukum Perdata 1B, (Jakarta : P.T Pembimbing Masa, 1969) , hlm 28. 34

Salim H.S, op. cit., hlm 20. 35

(14)

b. Persetujuan aleatoir ialah persetujuan dalam mana kewajiban pihak satu atau pihak kedua-duanya tergantung kepada kejadian yang belum pasti akan terjadi, seperti perjanjian asuransi.

6. Perjanjian berdasarkan sifatnya

Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke

overeenkomst) dan perjanjian obligatoir.

Dalam pemilikan selalu terdapat persetujuan penyerahan barang yang disebut perjanjian obligatoir, yang menimbulkan hak perseorangan. Seperti pembeli mempunyai hak untuk menuntut penyerahan terhadap penjualnya, sedangkan penyerahannya sendiri disebut dengan persetujuan kebendaan.36

7. Perjanjian berdasarkan aspek larangannya

Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi 13 (tiga belas) jenis, antara lain : 37

a. Perjanjian oligopoli,yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat

36 Ibid. 37

(15)

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat;

b. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang bersangkutan. Pengecualian dari ketentuan ini adalah suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan dan suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku;

c. Perjanjian dengan harga yang berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antar pelaku usaha, yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang seharusnya dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda;

d. Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang di bawah harga pasar. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;

e. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan. Persyaratannya adalah penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat;

(16)

f. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat; g. Perjanjian pemboikotan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghalangi pelaku usaha lain melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri;

h. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan jasa, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;

i. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

j. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama

(17)

menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan;

k. Perjanjian integrasi vertikal, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung. Perjanjian ini dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat;

l. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu; m. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara

pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya di luar negeri dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

D. Wanprestasi dan Akibatnya dalam Perjanjian

Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi prestasi. Dan jika debitur tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa, maka ia

(18)

dianggap melakukan ingkar janji. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah keadaan dimana debitur tidak memenuhi prestasi (ingkar janji) yang telah diperjanjikan.

Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu:38

1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian

2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, di luar kemampuan debitur. Debitur dalam pengertian ini dianggap tidak bersalah.

Dalam membicarakan wanprestasi, kita tidak bisa terlepas dari masalah pernyataan lalai (ingerbrekke stelling) dan kelalaian (verzuim). 39Wanprestasi terbagi atas tiga bentuk, antara lain : 40

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali

Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasinya sama sekali;

2. Memenuhi prestasinya tetapi tidak tepat waktunya

38

http://cahganteng86.blogspot.com/2009/11/makalah-wanprestasi.html, diakses pada tanggal 20 Desember 2010.

39

M. Yahya Harahap., op.cit, hlm 60. 40

http://cahganteng86.blogspot.com/2009/11/resikowanprestasiforcemajor-definisi.html, diakses pada tanggal 20 Desember 2010.

(19)

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan menurut Subekti, wanprestasi ada empat macam, yaitu :41

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;

c. Melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Apabila terjadi wanprestasi, ada kemungkinan bahwa pihak yang berhak masih menuntut adanya pelaksanaan dari perjanjian itu. Apabila hal ini sama sekali tidak dimungkinkan, maka adanya wanprestasi ini dapat mempunyai akibat-akibat sebagai berikut :42

41

R. Subekti, loc. cit. 42

(20)

1. Resiko terhadap sesuatu benda, yang menurut undang-undang menjadi tanggung jawab dari kreditur, berpindah kepada debitur apabila ini telah terbukti melakukan mora debitoris.

2. Dengan adanya wanprestasi dapat diadakan tuntutan ganti rugi.

3. Untuk persetujuan–persetujuan timbal balik, tuntutan memuat Pasal 1266 (pemutusan persetujuan) dapat dilakukan.43

4. Bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dapat juga diadakan tuntutan hak reklame.

Dalam hal wanprestasi dapat menimbulkan akibat keharusan atau kemestian bagi debitur membayar ganti rugi/schadevergoeding. Hal ini dapat dilihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 21 Mei 1973 No. 70 HK/ Sip/1972 : apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan jual beli.44

Sedangkan tentang ganti rugi dapat kita lihat dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang berisi “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu”.

43

Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan – persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa unutk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya. Jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.

44

(21)

Mengenai ganti rugi, terdapat pengecualian terhadap debitur yang karena

overmacht atau karena toeval tidak berkesempatan melakukan kewajibannya

(menyerahkan, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu), maka ganti rugi itu ditiadaan. Pengecualian terhadap ganti rugi ini terdapat di dalam Pasal 1245 KUH Perdata, yang menyatakan “ tidaklah biaya ganti rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja, si berutang berhalangan memberikan, atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”. Jadi alasan untuk bebas dari pemberian ganti rugi adalah adanya overmacht bagi pihak debitur.

Kewajiban ganti rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti rugi baru efektif menjadi kemestian debitur setelah debitur dinyatakan lalai. Dengan kata lain harus ada pernyataan lalai dari kreditur (debitur harus berada dalam

in gebrekke stelling atau in mora stelling).45

Pernyataan berada dalam keadaan lalai ini ditegaskan dalam Pasal 1243 KUH Perdata, yang berbunyi “penggantian pengongkosan, kerugian dan bunga, baru merupakan kewajiban yang harus dibayar debitur, setelah ia untuk itu ditegur kealpaannya melaksanakan perjanjian, akan tetapi sekalipun sudah ditegur ia tetap juga melalaikan peringatan dimaksud”. Dari ketentuan di atas terdapat asas umum

45 Ibid.

(22)

bahwa untuk lahirnya kewajiban ganti rugi, debitur harus terlebih dahulu diletakkan dalam keadaan lalai, melalui prosedur peringatan/pernyataan lalai.

Mengenai kapan seseorang baru dapat dikatakan lalai atau wanprestasi, dapat kita lihat dari Pasal 1238 KUH Perdata, yang menyebutkan : ”si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang telah ditentukan”.

Menurut Subekti, ada empat sanksi yang dapat dikenakan kepada debitur yang lalai, yaitu:46

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau disebut ganti rugi; 2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; 3. Peralihan resiko;

4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim.

Pada Pasal 1240 dan 1241 KUH Perdata, diatur mengenai pihak yang berhak dapat menuntut :

1. Penghapusan hak-hak yang telah dilakukan oleh pihak wajib yang merupakan pelanggaran janji

2. Mengerjakan sendiri hal-hal yang harus dilakukan oleh pihak wajib atas biayanya.47

46

(23)

Isi Pasal 1240 KUH Perdata : “Dalam pada itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tidak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu”.

Pasal 1241 KUH Perdata “Apabila perikatan tidak dilaksanakannya, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berutang”.

E. Eksekusi dan Jenis-Jenisnya

Istilah eksekusi dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pelaksanaan putusan. Eksekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi merupakan tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi dapat pula diartikan menjalankan putusan pengadilan, yang melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau

47

(24)

menjalankan secara sukarela. Eksekusi dapat dilakukan setelah mempunyai kekuatan hukum tetap. 48

Pedoman tentang tata cara eksekusi diatur di dalam HIR atau RBG, yaitu terdapat dalam Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat RBG. Pada bagian tersebut telah diatur pasal – pasal tata cara menjalankan putusan pengadilan mulai dari :49

1. Tata cara peringatan (aanmaning); 2. Sita eksekusi (executoriale beslag); dan 3. Penyanderaan (gijzeling).

Cara–cara menjalankan eksekusi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 RBG. Namun pada saat sekarang, tidak semua ketentuan pasal-pasal ini berlaku. Yang masih berlaku adalah Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240 dan Pasal 258 RBG. Sedangkan Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal 257 RBG yang mengatur tentang sandera (gijzeling), tidak lagi diberlakukan secara efektif. Seorang debitur yang dihukum untuk membayar utangnya berdasarkan putusan

48

Victor M Situmorang, Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan

Eksekusi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), hlm 119.

49

(25)

pengadilan tidak lagi dapat disandera sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan.50

Eksekusi dapat dibedakan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :

Di samping itu, terdapat lagi Pasal 180 HIR atau Pasal 191 RBG yang mengatur tentang pelaksanaan putusan secara serta–merta (uitvoerbaar bij voorraad) atau provisionally enforceable (to have immediately effect), yaitu pelaksanaan putusan segera dapat dijalankan lebih dahulu, sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun ketentuan pasal–pasal tersebut tidak terlepas dari peraturan lain seperti yang terdapat dalam asas-asas hukum, yurisprudensi, maupun praktik peradilan sebagai alat pembantu memecahkan penyelesaian masalah eksekusi yang timbul, seperti memecahkan masalah eksekusi antara instansi pengadilan dengan PUPN, tidak bisa dipecahkan tanpa mengaitkan aturan pasal-pasal eksekusi dengan Undang-Undang Nomor 49 Prp/1960, sebagai sumber hukum yang mengatur kewenangan parate eksekusi (parate executie) yang dilimpahkan undang–undang kepada instansi PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara). Selain itu, peraturan yang berhubungan erat dengan eksekusi adalah Peraturan Lelang No.189 / 1980 (Vendu Reglement St.1908 / no.189).

51

50

Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal 257 RBG yang mengatur tentang sandera (gijzeling), tidak lagi diberlakukan secara efektif dengan diterbitkannya SEMA Nomor 2 Tahun 1964 pada tanggal 22 Januari 1964. Namun cara penerapan penyanderaan pada SEMA tersebut dianggap tidak realistis, karena terdapat celah bagi debitur untuk terbebas dari kesalahannya dengan cara licik. Maka untuk menyempurnakan SEMA Nomor 2 Tahun 1964 tersebut, diterbitkan PERMA Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.

(26)

1. Eksekusi Riil, yaitu eksekusi yang hanya mungkin terjadi berdasarkan putusan pengadilan untuk melakukan suatu tindakan nyata atau riil yang :

c. Telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (res judicata);

d. Bersifat dijalankan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad, provisionally

enforceable);

e. Berbentuk provisi (interlocutory injunction); f. Berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan.

2. Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas bentuk akta yang gunanya untuk melakukan pembayaran sejumlah uang yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, berupa:

f. Grosse akta pengakuan hutang; g. Grosse akta hipotek;

h. Crediet verband ; i. Hak Tanggungan ; j. Jaminan Fidusia

51

Referensi

Dokumen terkait

Hasil akhir dari penelitian ini didapatkan bahwa sistem pendukung keputusan dengan metode SAW mampu mengatasi permasalahan dalam menyeleksi calon penerima bantuan

Deasy Christia Sera, 111314253007, Efektifitas Peer-Assisted Learning Srategies (PALS) Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pada Anak Kelas III Sekolah Dasar,

Bapak Karmawan S.E., M.Sc selaku Ketua Jurusan Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung serta sebagai dosen Pembimbing pendamping yang telah berkenan

tahap pra lapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap pelaksanaan, tahap analisis data, dan tahap pelaporan. Hasil penelitian: 1) Jenis kesulitan belajar pada mata

Kebijakan keuangan negara da- lam pandemic antara lain Pasal 2 (1) huruf d Perpu 1/2020 “ melakukan tindakan yang be- rakibat pengeluaran atas beban Anggaran

Berdasarkan simpulan tersebut di atas, maka saran yang dapat disampaikan sebagai berikut. 1) Kepada praktisi pendidikan khususnya guru matematika di SDN 9 Sesetan

1) Pada sektor unggulan, pemerintah daerah tingkat II harus menjaga stabilitas pertumbuhan dari sektor unggulan tersebut, sebab sektor unggulan tersebut merupakan