• Tidak ada hasil yang ditemukan

Collusive Monopsony dalam Peraturan Huku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Collusive Monopsony dalam Peraturan Huku"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

I.1 Latar Belakang

Kemajuan teknologi, sebagai cambuk kemajuan aspek lain di dunia secara universal, tidak dapat lagi dipungkiri. Keseluruhan aspek kehidupan menjadi berkembang dengan sangat cepatnya, karena alih informasi yang juga semakin mudah, termasuk ekonomi di dalamnya. Kemajuan teknologi serta kemudahan alih informasi, membawa kita beberapa langkah ke sebuah peradaban baru, yaitu era global. Kondisi ekonomi di era ini, semakin memicu terjadinya persaingan yang ketat antar pelaku usaha. Henry Clan, mengungkapkan “Off all human powers operating on the affairs of mankind, none is greater than that of

competition”1, bahwa sebenarnya persaingan memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, persaingan usaha memiliki dua aspek, yakni aspek positif dan aspek negative. Menurut Thomas J Anderson, bentuk aspek positif persaingan usaha adalah2:

a. Persaingan merupakan sarana untuk melindungi para pelaku ekonomi terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan.

b. Persaingan mendorong alokasi dan relokasi sumber-sumber daya ekonomi sesuai keinginan konsumen.

c. Persaingan bisa menjadi kekuatan untuk mendorong penggunaan sumber daya ekonomi dan metode pemanfaatan secara efisien.

1 Ditha Wiradiputra, Materi Kuliah Hukum Persaingan Usaha. Universitas Indonesia.

2005 mengutip daro Modul untuk Retooling Program Under Employee Graduates at Priority Disciplines under TPSDP DIKTI. Tanggal 14 September 2004, Jakarta. Diunduh dari

www.google.com tanggal 17 September 2012.

2 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Cetakan II, Ghalia Indonesia, Bogor,

2004,h.16-17, mengutip dari Thomas J Anderson, Our Competitive System and Public Policy, South Western Publishing Company, Cincinnati, p. 17-21

(2)

d. Persaingan juga bisa merangsang peningkatan mutu, pelayanan, proses produksi dan teknologi.

Dengan adanya persaingan, pelaku usaha berusaha mempertahankan eksistensinya melalui sebuah praktik curang dan persaingan usaha yang tidak sehat. Perbuatan demikian, tentu membawa dampak negatif bagi kesemua aspek dan lini masyarakat, mulai dari konsumen, pelaku usaha lain, dan pemerintah. Hal tersebut merupakan contoh nyata dari aspek negatif persaingan usaha menurut Thomas J Anderson3, yaitu apabila dilakukan oleh pelaku ekonomi yang tidak jujur, bisa bertentangan dengan kepentingan public. Keadaan seperti ini, telah berlangsung sekitar tiga dasawarsa, mengingat seringnya terdapat perlakuan khusus dari penguasa atau pemerintah pada pelaku usaha tertentu yang merupakan bagian dari praktik-praktik KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) di masa itu.

Banyaknya perilaku penguasa yang terkesan melakukan intervensi terhadap beberapa kebijakan pelaku usaha di Indonesia, dan mengakibatkan kesenjangan sosial, masyarakat khususnya pelaku usaha, pasca reformasi besar-besaran tahun 1998, menghendaki sebuah peraturan hukum agar mewujudkan demokrasi ekonomi yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, yakni menghindari persaingan usaha yang tidak sehat, pemusatan kekuatan ekonomi, sehingga merugikan masyarakat luas dan bertentangan dengan keadilan. Disamping merupakan tuntutan nasional, adanya pengaturan mengenai fair competition law juga merupakan tuntutan sebagai kebutuhan rambu-rambu yuridis dalam hubungan bisnis antar bangsa4 mengingat telah banyak negara-negara yang menerapkannya

3Ibid., h. 17-18

4 Rachmadi Usman Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2007,

(3)

dalam sistem perekonomian. Hadirnya Hukum Persaingan Usaha menjadi angin segar dalam dunia perekonomian Indonesia. Sesuai dengan ruang lingkupnya, maka Hukum Persaingan Usaha dapat diklasifikasikan sebagai hukum ekonomi. Karena erat kaitannya dengan ekonomi, maka dalam Undang-Undang Persaingan Usaha, materi ilmu ekonomi khususnya ekonomi industri turut serta dituangkan. Hukum Persaingan Usaha beserta Undang-Undang Persaingan Usaha merupakan

lex speciallis dari Hukum Perdata.

Kebutuhan akan suatu kepastian hukum untuk menjamin keadilan hukum merupakan suatu urgensi tersendiri. Menurut Sutan Remy Sjahdjeni, ada beberapa alasan yang menyebabkan Undang-Undang Persaingan Usaha lahir pada masa Orde Baru, yaitu5 :

a. Pemerintah kala itu menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan sebagai lokomotif pembangunan, khususnya apabila diberikan perlakuan khusus bagi perusahaan-perusahaan tersebut. Perlakuan khusus yang dimaksud adalah proteksi yang dapat menghalangi perusahaan lain dalam bidang lain atau bidang usaha yang sama, dengan kata lain memberikan posisi Monopoli.

b. Pemberian monopoli tersebut karena perusahaan yang bersangkutan bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan. Pemerintah merasa tanpa fasilitas monopoli, akan sulit untuk mendapatkan investor. Dengan kata lain, Monopoli merupakan nilai jual atas suatu investasi bagi pemerintah.

Jul 1998, , 36 diakses di http://pustaka2.ristek.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/97412 tanggal 29 November 2012, pukul 13.03 WIB

(4)

c. Menjaga berlangsungnya praktik KKN demi kepentingan kroni-kroni mantan Presiden Suharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa masa itu.

Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat selanjutnya disebut Undang-Undang Persaingan Usaha, pada tanggal 8 Juli 1999 dan mulai diberlakukan pada tanggal 5 Maret 2000, ternyata tidaklah lazim. Undang-Undang Persaingan Usaha adalah Undang-undang pertama yang lahirnya dari inisiatif DPR, karena sejatinya pembentukan sebuah Undang-undang merupakan inisiatif dari pemerintah yang selanjutnya dibahas oleh DPR,dan kemudian disahkan oleh DPR.

Asas dan tujuan, adalah hal penting yang harus diperhatikan untuk dapat memahami makna suatu peraturan perundang-undangan, sebagai sebuah refleksi bagi bentuk pengaturan serta norma yang ada di dalamnya. Asas dari Undang-Undang Persaingan Usaha, diatur dalam Pasal 2 bahwa “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.”. Sedangkan tujuan dari Undang-Undang Persaingan Usaha diatur pada Pasal 3, yaitu :

a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

c. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan

(5)

Sebagai sebuah asas dan tujuan, kedua pasal tersebut tidak dapat dikenakan secara langsung kepada pelaku usaha melainkan sebagai landasan dari interpretasi agar tidak terjadi beda penafsiran. Hal-hal yang dimuat dan diatur dalam Undang-Undang Persaingan Usaha dapat dilaksanakan seefisien mungkin.

Perundang-undangan Persaingan Usaha di Indonesia, secara keseluruhan tidak hanya melindungi persaingan usaha, melainkan persaingan itu sendiri. Bagi pelaku usaha Undang-Undang Persaingan Usaha, merupakan “level of playing field” untuk berusaha, bersaing secara sehat, serta mempermudah untuk masuk dalam pangsa pasar tertentu6. Sehingga, pelaku usaha kecil dan menengah dapat serta merta memasuki pasar yang sama dengan para pelaku usaha besar, tentunya tanpa meninggalkan prinsip bersaing secara sehat dan jujur. Menurut Hamid Chalid7 suatu undang-undang memiliki kriteria agar dapat dikategorikan sebagai sebuah undang-undang yang baik, yakni :

a. Secara filosofis, undang-undang itu dapat menciptakan keadilan bagi masyarakat;

b. Secara sosiologis, undang-undang akan memberi manfaat bagi yang menundukkan diri secara sukarela kepadanya;

c. Secara yuridis, undang-undang akan menciptakan kepastian hukum.

Apabila ukuran keberhasilan suatu undang-undang tersebut diterapkan pada Undang-Undang Persaingan Usaha, maka, akan didapat suatu kondisi, bahwa 8 :

6 L Budi Kagramanto, Mengenal hukum Persaingan Usaha, Edisi Revisi, Laros, Sidoarjo,

2012, h, 12 mengutip dari R Shyam Khemani, A framework For the Design and Implementation of Competition Law and Policy, World Bank, Washington DC, USA & OECD, 1999, 6-8

7Ibid., h, 29, mengutip dari Hamid Chalid, Telaah kritis UU no 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Kuliah Umum Persaingan Usaha, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 2001.

(6)

a. Fungsi Undang-Undang Persaingan Usaha sebagai alat kontrol sosial, yaitu berfungsi menjaga kepentingan umum serta mencegah adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di tanah air.

b. Fungsi Undang-Undang Persaingan Usaha sebagai alat rekayasa sosial, bahwa undang-undang tersebut berusaha untuk :

Sebagai upaya realisasi dari fungsi undang-undang dan pengawasannya serta agar berjalan lebih operasional, diperlukan suatu lembaga yang menjadi syarat mutlak, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Persaingan Usaha. Dalam pasal tersebut, diinstruksikan pembentukan sebuah susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Selanjutnya, dibentuklah Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999. Tugas-tugas KPPU kemudian diatur dalam pasal selanjutnya, yaitu Pasal 35 Undang-Undang Persaingan Usaha yang ditegaskan dalam aturan Pasal 4 Keppres No 75 Tahun 1999, yakni :

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha seperti : Oligopoli, Diskriminasi Harga, Penetapan Harga, Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, dan Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri;

b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli, dan atau pesaingan usaha tidak sehat seperti : Monopoli, Monopsoni, Penguasaan Pasar, dan Persekongkolan.

c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat seperti : Posisi Dominan, Jabatan Rangkap, Pemilikan Saham, Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan.

(7)

e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli san atau persaingan usaha tidak sehat.

f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang Persaingan Usaha.

g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada Presiden dan Wakil Presiden.

Pembentukan KPPU secara garis besar berdasarkan dua alasan utama, yaitu alasan filosofis dan alasan sosiologis. Alasan filosofis antara lain dibutuhkannya sebuah lembaga yang mengawasi jalannya sebuah peraturan dan mendapat kewenangan dari negara dengan tujuan agar dapat bertindak lebih independen. Sedangkan alasan sosiologis, telah menurunnya citra pengadilan di mata masyarakat, sehingga perlu dihadirkan lagi sebuah lembaga alternatif yang mampu menyelesaikan sengketa khususnya persaingan usaha tidak sehat, yang mendapat kepercayaan masyarakat.

Sebagai sebuah lembaga yang sifatnya administratif, maka terhadap sebuah pelanggaran atas monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, KPPU dapat menjatuhkan sanksi berupa sanksi administratif, hal tersebut diatur dalam aturan Pasal 47 Undang-Undang Persaingan Usaha. Salah satu contoh sanksi administrasi dapat berupa pembatalan perjanjan hingga penghentian kegiatan tersebut.

Menurut keseluruhan substansi Undang-Undang Persaingan Usaha, dapat ditarik suatu garis besar hal-hal yang berkaitan dengan pasar dan perlu diatur di dalamnya, antara lain :

(8)

2) Kegiatan yang dilarang.

3) Penyalahgunaan posisi dominan. 4) Komisi perngawas persaingan usaha 5) Tata cara penanganan perkara 6) Sanksi-sanksi

7) Perkecualian-perkecualian.

Berdasarkan substansi Undang-Undang Persaingan Usaha khususnya aturan Bab IV, mengatur jenis kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Persaingan Usaha, yaitu :

a. Monopoli b. Monopsoni c. Penguasaan Pasar d. Persekongkolan.

(9)

susu di Jawa Timur)9. Dengan adanya penguasaan sebesar 95% maka PT Nestle merupakan monopsonist. Ketergantungan peternak sapi perah di Jawa Timur terhadap PT Nestle Indonesia sangat tinggi (dengan tingkat ketergantungan 95%)10. Keadaan ini yang melahirkan kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi peternak, karena posisi tawar mereka sangat lemah dalam halnya penentuan harga, persyaratan transaksi maupun kualitas.

Seringkali, KPPU mengalami kesulitan terkait dengan pembuktian praktik monopsoni karena selain harus secara nyata berdampak pada terjadinya praktik monopsoni, terdapat pengecualian lain yang juga diatur dalam Undang-Undang Persaingan Usaha.

Melihat pada beberapa kasus yang terjadi di negara lain, khususnya Amerika Serikat, yang dengan mudah dibuktikan bahwa terjadi suatu praktik monopsoni, sangatlah menarik minat untuk mengetahui konsep dan teori bentuk perilaku monopsoni serta akibat yang ditimbulkan oleh praktik monopsoni. Selanjutnya untuk mempermudah pemahaman, akan dilakukan analisa atas beberapa kasus-kasus yang diindikasikan memiliki kaitan dengan praktik monopsoni di Indonesia. Dan akan dilakukan studi komparasi dengan penanganan kasus monopsoni yang terjadi di Amerika Serikat.

I.2 Rumusan Masalah

9 Sutrisno Iwantono, Konsentrasi Industri dan Pasar Tidak Sempurna di Sektor Pertanian,

jurnal di akses di www.google.com pada tanggal 28 Januari 2013, pukul 3.43 p.m. h.6

(10)

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Analisa konsep monopsoni dalam hal harga dan non-harga (pricing dan

non-pricing)

2. Praktik – praktik yang mengarah pada collusive monopsony menurut Hukum Persaingan Usaha.

I.3 Penjelasan Judul

Collusive Monopsony dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia, merupakan kesatuan judul untuk tulisan ini. Sesuai dengan judul tersebut, penulis akan menganalisa berdasarkan teori praktik monopsoni khususnya mengenai

collusive monopsony, yang terjadi pada iklim persaingan usaha di Indonesia. Analisa tersebut berdasarkan praktik turunan yang diakibatkan adanya praktik

collusive monopsony.

Hasil analisa tersebut selanjutnya akan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya Undang-Undang Persaingan Usaha. Penulis serta pembaca akan mengetahui dan memahami praktik collusive monopsony dan turunannya yang melanggar Hukum Persaingan Usaha, khususnya Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dan penanganan perkara untuk praktik

collusive monopsony.

I.4 Alasan Pemilihan Judul

(11)

berkeinginan membahas macam praktik monopsoni yang diduga terjadi dalam persaingan usaha di Indonesia, namun belum banyak pihak yang mengetahui tergolong dalam jenis praktik monopsoni mana perjanjian maupun praktik tersebut dan, dampak-dampak praktik tersebut dalam iklim persaingan usaha di Indonesia serta pengaturannya dalam perspektif Hukum Persaingan Usaha Indonesia.

I.5 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk :

1. Memahami dan menganalisa konsep monopsoni dalam hal price fixing

dan non-price fixing.

2. Mengetahui dan memahami pengaturan praktik-praktik yang mengarah pada collusive monopsony dalam perspektif Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.

I.6 Metode Penulisan

I.6.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu pendekatan masalah yang mempunyai maksud dan tujuan untuk mengkaji perundang-undangan dan peraturan hukum yang berlaku juga buku-buku konsep teoritis ataupun sumber lainnya kemudian dikorelasikan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

(12)

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab isu hukum yang dihadapi.

I.6.2 Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, adalah sebagai berikut :

a. Statute approach (Pendekatan Peraturan Perundang-undangan) adalah penelitian hukum dengan cara menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang ditangani.11 Peraturan Perundang-undangan yang digunakan antara lain : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Keppres No. 75 Tahun 1999 tentang Tugas dan Wewenang KPPU, Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel, Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara dan Peraturan Perundang-undangan lain yang mengatur tentang Hukum Persaingan Usaha, atau setidak-tidaknya terkait dengan Hukum Perdata di Indonesia .

b. Conceptual approach (Pendekatan Konseptual) yaitu pendekatan penelitian hukum yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.12 Pendekatan secara konseptual ini didukung melalui pengayaan atas konsep teori

11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ke 5, Kencana Premada Media

Group, Jakarta, 2009. h.93

(13)

melalui literatur-literatur yang mengulas mengenai Hukum Persaingan Usaha pada umumnya, dan Monopsoni pada khususnya.

c. Case approach yaitu pendekatan terhadap rumusan masalah melalui kasus yang sudah diputus melalui putusan KPPU. Pendekatan melalui kasus ini, bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan dengan konsep teori, perbandingan, dan substansi lainnya. Pendekatan ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman bagi penulis dan sekaligus pembaca dalam mempelajari hukum persaingan usaha pada umumnya dan monopsoni pada khususnya.

I.6.3 Sumber Bahan Hukum

a. Sumber bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan skripsi berupa sumber hukum perundang-undangan, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Hukum Persaingan Usaha, khususnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. b. Sumber bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi

kepustakaan termasuk karya ilmiah, pendapat sarjana hukum yang terdapat dalam berbagai literatur buku-buku hukum, artikel-artikel, serta tulisan di internet yang relevan serta terkait dengan tulisan ini.

(14)

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dengan mencari bahan hukum yang terkait dengan permasalahan atau kasus yang diangkat dalam tulisan. Setelah diperoleh, maka dilakukan studi kepustakaan dengan mempelajari dan menganalisa sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder yang berkaian dengan masalah dalam tulisan ini.

I.6.5 Analisa Bahan Hukum

Analisa bahan hukum dilakukan dengan mengklasifikasi dan menganalisa sumber bahan hukum yang telah diperoleh, secara sistematis melalui pembagian bab serta sub bab sesuai dengan rumusan masalah, agar pembahasan serta pemahaman oleh pembaca akan lebih mudah.

I.7 Pertanggungjawaban Sistematika.

Pertanggungjawaban sistematika bertujuan agar penulisan skripsi ini mencapai pembahasan yang sistematis yang terdiri dari 4 (empat) bagian, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :

(15)

Pertama-tama pada Bab kedua ini akan dibahas mengenai konsep dan prinsip larangan monopsoni yang diambil dari peraturan perundang-undangan dan buku-buku teoritis, yang selanjutnya akan dikaitkan dengan rumusan masalah yang pertama yaitu, dampak dari segi harga dan non harga ( price dan non-pricing) dari kegiatan monopsoni tersebut.

Bab ketiga, membahas tentang rumusan masalah yang kedua yaitu menjabarkan komparasi antara Praktik Monopsoni yang dianut di Indonesia dengan Praktik Monopsoni yang dilakukan di Amerika Serikat khususnya praktik

collusive monopsony melalui pendekatan Rule of Reason dan Per Se Ilegal. Bab ketiga, membahas tentang rumusan masalah yang kedua yaitu menjabarkan komparasi antara Praktik Monopsoni yang dianut di Indonesia dengan Praktik Monopsoni yang dilakukan di Amerika Serikat khususnya praktik collusive monopsony melalui pendekatan Rule of Reason dan Per Se Ilegal. Pendekatan komparasi yang dilakukan, menggunakan analisa kasus-kasus praktik collusive monopsony yang telah diputus oleh pihak yang berwenang di kedua negara tersebut. Studi komparasi akan berdasarkan pendekatan yang diteraokan dalam perumusan pasal dan penggunaan interpretasi oleh hakim dalam penyelesaian perkara.

(16)

diharapkan dapat bermanfaat untuk mendorong penegakkan hukum bisnis ditinjau dari hukum positif di Indonesia, khususnya Hukum Persaingan Usaha.

BAB II

DAMPAK PERILAKU MONOPSONI DITINJAU

DARI

PRICING

DAN

NON-PRICING

2.1 Konsep Monopsoni.

Monopsoni adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal.13. Aryeh Friedman dalam jurnalnya memberikan pengertian “Monopsony/ Oligopsony defined the ability of a buyer or a group of buyes it reduce the purchase price of a purchased item usually an input below the

competitive level usually by restricting its purchases of the item.”14 dapat juga 13 Rachmadi Usman, Op. cit h.72

(17)

dimaknai apabila monopsoni merupakan suatu kondisi dimana terjadi pembelian dengan mengurangi harga dari barang dan atau jasa yang sama dibawah harga kompetitornya melalui pembatasan jumlah pembelian.

Pengertian monopsoni dalam Black’s Law Dictionary adalah “A market situation in which one buyer control the market”15, berdasarkan pengertian tersebut, istilah monopsoni digunakan untuk menggambarkan suatu struktur pasar, yang menyatakan seorang pembeli memiliki kontrol atas pasar tersebut. Kekuasaan dan kekuatan untuk melakukan kontrol, didasari dengan kemampuan pembeli atau sekelompok pembeli tersebut mendapatkan harga yang lebih rendah dibandingkan harga pada pasar yang kompetitif.

Monopsony involves an exercise of market power on the buy side of the market”16. Bahwa praktik monopsoni merupakan sisi pembeli dari praktik monopoli. Praktik monopsoni oleh pelaku usaha adalah dengan mengurangi pembeliannya pada input, yang mengurangi harga komoditi tersebut dibawah harga kompetitif. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Natalie Rosenfelt, bahwa “A monopsonist exercises its market power by reducing its purchase of an input, thereby decreasing its input price below compatitive level”17

Dalam monopoli, penguasaan atas pasar dilakukan oleh pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual suatu komoditi tertentu. Sedangkan dalam monopsoni, penguasaan pasar besar untuk suatu komoditi tertentu dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pembeli atau penerima pasokan atas komoditi tersebut.

15 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary,9th. Ed, St. Paul-Minnesota, West

Publishing Co,. 2004,h 1098

16 Natalie Rosenfelt, The Verdict of Monopsony, 2008. p.2 mengutip dari Roger D Blair &

Jeffrey L Harrison, Antitrust Policy and Monopsony, 1991. p. 297-298

(18)

Dalam kedua praktik ini, jumlah barang yang ditransaksikan akan mengalami sebuah pembatasan hingga penurunan yang akan mempengaruhi keuntungan pelakunya. Keuntungan itu didapat oleh pelaku usaha melalui pembatasan penjualan sehingga ketika kebutuhan masyarakat meningkat untuk suatu komoditi tertentu, dengan sedikitnya persediaan komoditi di pasaran, pelaku usaha dapat mempermainkan harga atas komoditi tersebut. Keadaan demikianlah yang selanjutnya disebut sebagai monopoli. Sedangkan monopsoni, keuntungan didapatkan ketika monopsonist mampu mempengaruhi biaya untuk produksi suatu komoditi, sehingga mampu mempengaruhi harga beli atas komoditi tertentu di bawah harga pasar. Dengan rendahnya harga yang didapatkannya, pelaku usaha tersebut mampu membeli komoditi tersebut dengan kekuasaan penuh.

Jika keuntungan dalam monopoli dapat terlihat secara langsung begitu pula dengan kerugian bagi konsumen. Maka dalam monopsoni keuntungan bagi pelaku usaha masih terlihat samar begitu pula dengan kerugian yang akan dirasakan oleh konsumen. Dalam paper-nya, John Clifford menulis ”.... the exercise of market power by a monopsonist may not result in any obvious harm to

consumers.”18 Dalam praktik monopsoni yang secara langsung bersinggungan dengan kerugian yang ditimbulkan adalah pihak supplier atau pihak lain sebelum konsumen komoditi tersebut. “Generally, a monopsony is more likely to occur in a market for inputs than for end-products”19. Transfer keuntungan adalah hal yang membedakan praktik monopoli dengan monopsoni. Menurut Laura Alexander

18 John Clifford and Sorcha O’Carroll, Monopsony and Predatory Pricing : The Canadian Landscape is Wide Open.). p, 1.

(19)

dalam jurnalnya, “Because in monopsony, the wealth is transferred not up-stream from consumers to sellers, as it is in monopoly, but downstream, from input

suppliers to manufacturers”20. Ringkasnya, praktik monopsoni terjadi pada hulu dalam kegiatan usaha atau dengan nama lain upstream. Namun, tak menutup kemungkinan terjadinya praktik monopsoni pada hilir atau downstream.

Sebuah praktik monopsoni pada akhirnya akan mampu melahirkan praktik yang dilarang lainnya, yaitu monopoli. Demikian itu, karena dalam monopsoni, ketika seseorang menjadi pembeli tunggal atas suatu komoditi baik barang maupun jasa, maka ia menjadi satu-satunya atau setidaknya menjadi penguasa atas komoditi bersangkutan. Kemampuan menguasai tersebut, akan berpengaruh pada kemampuan pelaku usaha untuk melakukan penjualan tunggal atas komoditi barang atau jasa. Pada fase inilah, pelaku usaha monopsoni akan menjadi

monopolist untuk komoditi tertentu. Pada kondisi ini potensi kerugian yang dialami masyarakat akan timbul dan turut menumbuhkan potensi persaingan usaha tidak sehat.

Larangan mengenai monopsoni di Indonesia diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Persaingan Usaha. Definisi monopsoni diletakkan pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Persaingan Usaha, bahwa monopsoni adalah perbuatan pelaku usaha yang menguasai dan/atau menjadi pembeli tunggal atas suatu barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, dengan indikatornya selanjutnya diletakkan pada ayat (2) pasal yang sama, bahwa pelaku usaha tersbut melakukan penguasaan dalam penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebanyak lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar untuk satu jenis barang atau 20 Laura Alexander, Monopsony and the consumer harm standard, Georgetown University

(20)

jasa.. Penjabaran atas unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Persaingan Usaha adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Persaingan Usaha, yang dimaksud pelaku usaha adalah :

Orang perorangan atau badan usaha, badan hukum atau non badan hukum yang ddirikan, berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang ekonomi.

b. Unsur barang, berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Persaingan Usaha :

“Barang adalah setiap benda, baik berujud atau tidak berujud, bergerak atau tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”

c. Unsur Jasa berdasarkan pasal 1 angka 17 Undang-Undang Persaingan Usaha adalah :

“Jasa adalah tiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.”

(21)

demikian, pabrik tersebut menjadi penerima pasokan dan/atau pembeli tunggal dari petani jarak di daerah tersebut. Dalam keadaan inilah, pabrik pengolahan biji jarak menjadi monopsonist. Akan tetapi, kondisi ini bukanlah monopsoni yang dilarang karena bukan menjadi kehendak pemilik pabrik biji jarak untuk mematikan persaingan. Kedua, monopsoni alamiah yang terjadi akibat ada persaingan yang justru tidak memberikan keuntungan atau kemungkinan harga komoditi lebih murah sebab disediakan oleh satu pelaku usaha saja. Misalnya pada suatu persaingan yang dianggap tidak dapat menghadirkan keuntungan bagi pelaku usaha, sehingga tidak ada pelaku usaha dalam kegiatan usaha yang sama yang berminat untuk memasuki pasar di wilayah tersebut. Secara tidak langsung, kedua monopsoni alamiah yang terjadi memiliki satu kesamaan yang mendasar, yakni tidak adanya pesaing atas kegiatan usaha tanpa ada kehendak dari pelaku usaha monopsonist untuk menciptakan barrier to entry guna menguasai pasokan atas suatu komoditi tertentu.

(22)

dapat membeli susu milik peternak dengan harga yang lebih pantas. Sehingga, melalui undang-undang, pemerintah dapat melakukan pengaturan agar peternak dapat menjual susu sapi kepada koperasi, dan tujuan untuk menyejahterakan masyarakat khususnya pemilik peternakan tingkat menengah terpenuhi. Praktik monopsoni berdasarkan undang-undang terjadi di Jawa Barat, ketika itu PT Nusamba di Jawa Barat mendapatkan kesempatan menjadi monopsonist melalui instruksi Gubernur Jawa Barat. PT Nusamba melakukan monopsoni untuk komoditi daun teh. Dalam praktiknya, Gubernr Jawa Barat menghalangi perusahaan-perusahaan atau pabrik lainnya untuk membeli daun teh dari daerah-daerah Jawa Barat21.

Seiring berjalannya perkembangan zaman, praktik monopsoni dapat pula terjadi dalam praktik industrial antara pekerja dan pabrik. Keadaan itu adalah ketika suatu organisasi pekerja atau serikat pekerja sangat solid, sehingga para pekerja mampu mengatur nilai tawar atas upah dengan harga diatas rata-rata pasar tenaga kerja.22

Selain pembagian monopsoni berdasarkan sifatnya yang alamiah dan menurut undang-undang, pembagian praktik monopsoni juga didasarkan pada pihak atau berapa pelaku usaha yang menjadi monopsonist. Pertama, adalah pure monopsony, praktik monopsoni yang berjalannya berada di tangan pelaku usaha dengan kekuatan pasarnya, dengan cara pelaksanaannya yang halal (baik), fair, serta mampu menciptakan trend-trend di pasar bersangkutan. Kedua, adalah

21 Isei, Bundling: Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia, h.614 dilihat di

www.google.com tanggal 27 Januari 2013, pukul 13.05 WIB.

(23)

collusive monopsony, keadaan ini yakni ketika beberapa pelaku usaha sebagai pembeli yang saling berkolusi yang mempengaruhi pada hasil yang sifatnya monopsonistik.23 Tujuan utama pelaku usaha melakukan praktik ini, adalah untuk mempengaruhi harga atas barang yang harus mereka keluarkan untuk membayar suatu komoditi tertentu, dengan nama lain input prices. Dengan menekan input prices, pelaku usaha bersangkutan dapat memaksimalkan keuntungan mereka atas komoditi tersebut. Praktik collusive monopsony, sangat dipengaruhi oleh beberapa kondisi pasar. Kondisi pasar yang dimaksudkan, adalah sebagai berikut :

1. Sedikitnya pembeli, semakin sedikit pembeli yang tergabung dalam grup yang berkolusi, berpengaruh pada kemampuan grup untuk mengatur perjanjian terkait harga yang dikehendakinya. 2. Homogenitas produk, semakin homogen keadaan suatu produk,

maka perjanjian terkait harga akan semakin mudah. Biasanya, dalam keadaan seperti ini, hanya terdapat satu harga yang telah ditetapkan.

3. Sealed bids atau penawaran-penawaran yang dilakukan terbatas oleh anggota kolusi. Penawaran ini berisikan informasi mengenai harga-harga untuk produk baik barang dan/atau jasa objek usaha. Dalam kolusi, terdapat kewajiban para anggota-anggota kolusi untuk mengumpulkan sealed bids, sehingga masing-masing pihak mengetahui siapa yang menawarkan, dan berapa harga dalam penawaran. Sehingga para anggota kolusi terfasilitasi dengan baik

23 Roger D Blair and Jeffrey L Harrison, Monopsony in Law and Economics, Princeton

(24)

karena ketika ada pihak yang hendak melakukan kecurangan, akan segera diketahui.

4. Penawaran yang tidak elastis, terkait dengan kondisi pasar, yang berpengaruh pada kurva penawaran. Ketika penawaran bersifat tidak elastis, pembeli yang berkolusi membutuhkan pembatasan atas pembelian mereka, dengan tujuan untuk memperoleh pengurangan harga secara signifikan. Keuntungan yang akan mereka dapatkan akan semakin besar.24

Telah terjadinya praktik collusive monopsony biasanya dapat diukur atau nampak ketika para pelaku usaha menyepakati harga yang akan mereka bayarkan. Pada beberapa kondisi lain, kolusi dapat melahirkan alokasi pasar atau menghambat pembeli pesaingnya. Seperti dalam sebuah konser, para pembeli akan menjadi orkestra yang mengatur jalannya konser tersebut, dengan mengatur atau menyepakati jumlah pembelian yang mereka lakukan. Tujuan pengaturan tersebut, adalah untuk mendapatkan hasil yang sama dengan praktik monopsoni pada umumnya.25

2.2 Pendekatan yuridis Rules of Reason dan Per se illegal

Ada beberapa prinsip-prinsip umum dalam hukum persaingan usaha yang dianut oleh Indonesia. Prinsip-prinsip umum yang dijelaskan dalam pembahasan ini terbatas mengenai pendekatan atas perumusan yang digunakan dalam tiap ketentuan pada Undang-Undang Persaingan Usaha. Penggunaan kedua pendekatan tersebut pada dasarnya memiliki satu tujuan yang sama, yakni sebagai bentuk perlindungan dari kerugian konsumen yang tercipta akibat hilangnya

(25)

efisiensi melalui terhambatnya persaingan usaha. Terhambatnya persaingan usaha adalah salah satu bentuk akibat dari perjanjian atau kegiatan usaha atas suatu bidang tertentu oleh pelaku usaha, yang menjadi tolok ukur atau pembuktian pelanggaran. Terdapat dua model pendekatan yang digunakan dalam perumusan Undang-Undang Persaingan Usaha, yakni :

a. Rule of reason :

Definisi perumusan Rule of Reason, adalah perumusan untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, diperlukan pertimbangan keadaan disekitar kasus tersebut. Fungsinya untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara tidak patut, sehingga penegak hukum wajib dapat menunjukkan akibat-akibat anti persaingan, atau kerugian yang ditimbulkan serta bersifat nyata terhadap persaingan.26 Definisi lain, Rule of Reason , sebuah pendekatan yang digunakan oleh lembaga persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.27 Pada intinya, pendekatan atau perumusan yang menggunakan sistem Rule of Reason, mengutamakan ada atau tidaknya suatu akibat dari kegiatan usaha atau perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha baik mendukung atau menghambat persaingan. Penggunaan pendekatan rule of reason, memungkinkan para hakim atau profesional di bidang hukum untuk melakukan interpretasi atas Undang-Undang

26 Lihat Ditha Wiradiputra, h.12 mengutip dari Daniel V., et.all., Comprehensive business law: principles and cases., Kent publishing Company., 1987., hal 1042. yang dikutif dari hukum persaingan usaha elips

27 Andi Fahmi Lubis et al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Deutsche

(26)

Persaingan Usaha.28 Dengan kata lain, pendekatan ini dapat digunakan oleh pengadilan untuk mengetahui dan menilai, apakah terdapat suatu hambatan dalam perdagangan atau tidak, dan apakah hambatan itu mempengaruhi pada proses persaingan atau tidak.29

b. Per se illegal

Pendekatan dalam teori ini, cenderung lebih sempit diandingkan dengan pendekatan Rule of Reason. Dalam teori ini, segala kegiatan usaha dan perjanjian tertentu dianggap sebagai ilegal, tanpa perlu pembuktian lebih lanjut. Berdampak atau tidaknya perjanjian atau kegiatan usaha yang dilakukan pelaku usaha dalam persaingan, bukan merupakan perhatian dari teori ini. Menghambat atau mendukung iklim persaingan, segala bentuk perjanjian dan kegiatan usaha tetap dinyatakan ilegal. Dengan kata lain, menurut Yahya Harahap, Per se illegal memiliki arti “sejak semula tidak sah” sehingga suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan yang “melanggar hukum”30 Pendekatan dengan per se illegal dapat diilustrasikan sebagai berikut :31

Gb.1 Pembuktian per se illegal

Penetapan harga secara kolusif suatu produk tertentu, serta pengaturan harga jual kembali, merupakan contoh suatu kegiatan usaha yang dianggap sebagai per se illegal.

Dari kedua pendekatan atau perumusan diatas, untuk menentukan pendekatan yang digunakan dalam suatu pasal dalam Undang-Undang Persaingan

28 L Budi Kagramanto, op cit., h 102 29 Lihat L Budi Kagramanto, h 90

30 L Budi Kagramanto, op cit., h. 95 mengutip dari M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum (II), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h.28

31 L Budi Kagramanto, op cit., h, 95 mengutip dari Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta, Desember 2002, h. 66.

(27)

Usaha dapat dilakukan dengan mencermati kalimat yang digunakan dalam klausul pasal. Pencantuman kata-kata seperti “yang dapat mengakibatkan” dan/atau “patut diduga” menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut apakah suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu tersebut memberikan dampak dalam iklim persaingan atau tidak. Maka klausul pasal tersebut menggunakan pendekatan secara Rule of Reason. Sedangkan apabila dalam klausul pasal terdapat kata-kata seperti “dilarang” tanpa kalimat lanjutan “...yang dapat mengakibatkan...”, maka klausul pasal tersebut menggunakan pendekatan secara per se ilegal.

Apabila dikaitkan antara penjelasan unsur-unsur dalam klausul pasal yang mengatur monopsoni dengan prinsip umum pendekatan tersebut, maka definisi pengaturan monopsoni dalam Undang-Undang Persaingan Usaha menggunakan pendekatan secara Rule of Reason. Sehingga, penguasaan penerimaan pasokan atas suatu barang dan/atau jasa tidak melebihi 50% (lima puluh persen) bukan merupakan sebuah praktik monopsoni, atau selama kurang dari 50% (lima puluh persen) dan membawa pada keadaan persaingan usaha tidak sehat serta melahirkan praktik monopoli, dapat pula dikategorikan sebagai praktik monopsoni. Hal tersebut karena dalam pasal tersebut cenderung menekankan proses terjadinya monopsoni atas penguasaan pasar, bukan pada pasar monopsoni itu sendiri.

(28)

penegakkan hukum antimonopoli dan persaingan usaha di Indonesia, telah dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha, maka terdapat kemungkinan penggunaan pendekatan dengan bercermin pada hasil olah tafsir oleh KPPU. KPPU menggunakan pertimbangan dengan mendasarkan pada praktik yang dianggap paling baik untuk menilai praktik-praktik pelaku usaha dan tetap berpedoman pada tujuan pembentukan Undang-Undang Persaingan Usaha.

2.3 Monopsoni dan price fixing.

Berdasarkan beberapa pernyataan yang menggambarkan bahwa monopsoni merupakan monopoly on demand, menunjukkan jika monopsoni sendiri pada dasarnya adalah bagian dari monopoli32. Sehingga, ada beberapa

conduct yang terjadi dalam praktik monopoli yang kemungkinan pula dapat terjadi dalam praktik monopsoni. Demikian pula pada dampak-dampak yang terjadi akibat kedua praktik tersebut, dapat pula hal yang menjadi dampak dari praktik monopoli, menjadi dampak dari praktik monopsoni. Dampak tersebut, tidak terbatas pada sistem monopsoni yang dilakukan oleh pelaku usaha atas suatu komoditi tertentu. Baik pada pure monopsony, collusive monopsony, monopsoni alamiah dan monopsoni menurut undang-undang.

Perbedaan yang mencolok antara keduanya terkait dampak yang ditimbulkan adalah kepada siapa dampak tersebut akan memiliki pengaruh secara langsung. Dalam monopoli, yang serta merta merasakan dampak atas kemampuan

monopolist untuk menjual suatu komoditi adalah end-user atas komoditi tersebut. Hal ini dikarenakan monopoly power memiliki pengaruh yang besar atas harga

(29)

akhir suatu komoditi terkait penjualan, sehingga pelaku usaha akan mengenakan harga tinggi atas komoditi tersebut, karena merekalah yang memegang penguasaan atas komoditi tersebut. Sementara itu, dalam praktik monopsoni, yang serta merta merasakan dampak dari monopsony power yang dimiliki oleh pelaku usaha adalah pihak supplier atau produsen suatu komoditi. Demikian itu karena para supplier dari produk atau jasa tersebut merasakan adanya pengurangan pendapatan atau income dari hasil produksi mereka. Untuk menanggulangi kerugian tersebut, sebagai sebuah konsekuensi para supplier atau produsen harus mengurangi jumlah produksi atau tetap menghasilkan produk dengan mengurangi kualitasnya. Kedua pilihan itu nantinya akan berpengaruh pada jumlah barang yang ada di pasaran dan sekaligus kualitasnya, ini yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kesejahteraan bagi masyarakat atau end-user. Pada keadaan seperti inilah, praktik monopsoni harus bisa dihentikan.

Sebelum menentukan ada atau tidaknya sebuah dampak yang ditimbulkan, lebih baik jika mengetahui pengukuran atas suatu monopsony power pada suatu pasar terlebih dahulu. Kekuatan tersebut merupakan suatu tolok ukur apakah sebuah perbuatan dapat dinyatakan praktik monopsoni atau tidak. Pertama, terdapat tiga kondisi penting untuk mengukur monopsony power, yakni :

1. Pembeli atau beberapa pembeli (collusive monopsonist) harus mewakili porsi terbesar dari total pembelian dalam suatu pasar. 2. Kurva penawaran harus pada posisi yang bergerak naik.33

33 Dalam kondisi ini, pihak produsen atau supplier memiliki stok barang yang melimpah

(30)

3. Harus terdapat hambatan atau penghalang untuk memasuki pasar yang diciptakan oleh para pembeli.

Selain ketiga tolok ukur diatas, terdapat dua cara lain yang juga menjai tolok ukur untuk menentukan eksistensi dari monopsony power pada suatu pasar, yakni :

1. Menganalisa ada atau tidaknya komoditi substitusi atas komoditi tertentu. 2. Menganalisa mengenai pasar berdasarkan keadaan geografis.

Apabila dari hasil analisa tersebut menunjukkan indikasi bahwa belum adanya barang substitusi yang menjadi objek usaha pelaku usaha lain, serta tidak ada alasan keadaan geografis bagi terjadinya praktik monopsoni, maka dapat dinyatakan jika pada kondisi tersebut pelaku usaha memiliki monopsony power

atas suatu pasar.

Pada dasarnya, terdapat dua penggolongan yang mendasar atas dampak monopsoni yang secara implisit dinyatakan oleh para ahli dalam buku dan jurnalnya. Penggolongan tersebut, yakni :

a. Dampak praktik monopsoni terkait dengan harga atau pricing. b. Dampak praktik monopsoni terkait hal-hal selain harga atau non

pricing.34

Dalam sub bab ini, yang akan menjadi pembahasan adalah dampak dari monopsoni, khususnya dampak terkait dengan pricing. Dampak tersebut antara lain, kemampuan praktik monopsoni dalam mempengaruhi harga komoditi tertentu, dalam penetapannya atau membuat sebuah diskriminasi harga dengan nama lainnya adalah monopsony pricing. Selanjutnya, dalam penjelasannya,

34 Dampak tersebut pada dasarnya adalah praktik lain dari penguasaan pasar, yang

(31)

kedua main idea tersebut akan dibagi lagi dalam dua bagian yang terpisah dan merupakan satu kesatuan dengan sub bab ini.

2.3.1 Price Discrimination

Perjanjian diskriminasi harga, adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual dengan harga yang berbeda.35 Dengan adanya perjanjian yang demikian, berakibat pada terciptanya kerugian bagi pelaku usaha lainnya dalam struktur pasar yang sama. Akibat yang nyata dari perjanjian perbedaan harga adalah, salah satu pelaku usaha mendapatkan harga yang tinggi, sementara pelaku usaha lainnya mendapatkan harga yang rendah. Pada keadaan inilah, kerugian akan dirasakan oleh pelaku usaha.

Praktik diskriminasi harga, tidak secara keseluruhan dilarang oleh hukum persaingan usaha, karena dimungkinkan adanya biaya yang berbeda dari pelaku usaha untuk memproduksi komoditi tertentu yang menjadi objek kegiatan usaha. Dengan adanya perbedaan tersebut, sangat rasional sekali apabila selanjutnya ada perbedaan harga untuk barang yang sama. Larangan diskriminasi harga yang dimaksudkan dalam hukum persaingan usaha apabila lahirnya bukan dari perbedaan biaya yang dikeluarkan oleh produsen. Singkatnya, suatu kondisi dapat dinyatakan telah terjadi diskriminasi harga, haruslah memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut :

(32)

1. Para pihak haruslah mereka yang melakukan kegiatan bisnis, sehingga diskriminasi harga dapat merugikan apa yang disebut primary line36dan

secondary line37.

2. Terdapat perbedaan harga baik secara langsung maupun tidak langsung, misal melalui pemberian diskon, atau pembayaran secara kredit, namun pada pihak lainnya harus cash dan tidak berlaku diskon.38

3. Dilakukan terhadap pembeli yang berbeda. Jadi dalam hal ini paling sedikit terdapat dua pembeli.39

4. Terhadap barang yang sama tingkat dan kualitasnya.

5. Perbuatan tersebut secara substansial akan merugikan, merusak, atau mencegah terjadinya persaingan yang sehat atau dapat menyebabkan monopoli pada suatu aktifitas perdagangan.40

Pelaku usaha yang seringkali melakukan kegiatan seperti ini adalah pelaku usaha yang berada dalam skala kecil atau menengah, hal tersebut diakibatkan

36 Primary line , kondisi ketika diskriminasi harga dilakukan oleh produsen atau grosir

terhadap pesaingnya. Pada kondisi ini, dalam monopsoni, pembeli akan melakukan penawarn untuk membeli suatu produk baik barang/jasa dengan harga yang lebih tinggi yang bertujuan untuk mengeliminasi kompetitornya. Keadaan ini, nyaris sama dengan keadaan dimana pelaku usaha melakukan predatory pricing atas komoditinya. Hal tersebut dibuktikan ketika Supreme Court di US menggunakan standar aturan yang juga digunakan dalam menyelesaikan perkara predatory khususnya predatory buying.

37 Secondary line, kondisi ketika pelaku usaha memberikan diskriminasi pada perlakuan

khusus yang diberikannya untuk produsen, grosir hingga ritel. Pada kondisi ini, sifatnya sangat subjektif. Ketika pelaku usaha tersebut tidak menyenangi grosir ataupun ritel tertentu, hal itu akan membawa pada kondisi lain dimana keduanya tidak dapat berkompetisi dengan grosir atau ritel yang disenanginya. Pada posisi pembeli, pembeli yang menyenangi satu pelaku usaha akan membeli dengan harga tinggi. Keadaan ini akan mempengaruhi kemampuan penjual yang merasa membutuhkan pembeli tersebut untuk menentukan sesuatu pada dirinya (powerless), sehingga diskriminasi yang dilakukan dalam kondisi demikian sangat memungkinkan untuk terjadinya eliminasi dari pembeli terhadap less-powerful seller.

38 Kondisi ini merupakan kondisi yang sering terjadi dalam kehidupan bisnis di sekitar kita.

Namun, entah kita yang belum menyadari atau memang belum ada pengaturan yang mengatur secara tegas atas perbuatan tersebut. Contoh nyata, ketika seorang supplier mengharuskan adanya payment dimuka bagi para resellernya, untuk pembelanjaan sekian rupiah, belum tentu pada reseller lain dengan pembelanjaan sejumlah yang sama, supplier dapat memberikan keleluasaan pembayaran atau invoice. Seringkali terjadi, alasan yang mereka utarakan kembali pada prinsip kepercayaan atau trust. Keadaan seperti inilah yang sering kali tidak menjadi perhatian baik bagi masyarakat luas dan pelaku usaha pada khususnya.

39 Apabila dilakukan oleh penjual, maka posisi pembeli digantikan oleh posisi penjual.

Mengingat pernyataan mirror side praktik monopsoni atas monopoli.

(33)

adanya beberapa tekanan ekonomi ataupun kebijakan tertentu dari pelaku usaha lain yang keadaannya jauh lebih baik dari pelaku usaha tersebut.

Diskriminasi harga dikonstrusikan dalam Pasal 6 Undang-Undang Persaingan Usaha sebagai sebuah larangan tanpa memandang tingkatannya, sesuai dengan teori pendekatan, maka pasal ini termasuk pasal yang sifatnya

per se illegal. Larangan tersebut dapat dilihat dari bunyi pasal, yakni :

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dengan harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.”41 Sesuai dengan penelaahan pada konstruksi pasal 6 Undang-Undang Persaingan Usaha, akibat atau dampak dari diskriminasi harga, harus dirasakan oleh pelaku usaha lainnya, sekalipun tidak dicantumkan secara eksplisit dalam pasal tersebut. Sehingga, apabila terjadi perbedaan harga yang secara langsung kepada konsumen atau end-user dari suatu produk, itu bukan merupakan diskriminasi harga.

Sebenarnya, banyak praktik diskriminasi harga yang terjadi di masyarakat, baik dalam primary line ataupun secondary line. Kedua praktik diskriminasi harga diatas, merupakan penggolongan praktik diskriminasi harga berdasarkan teori ekonomi yang ditujukan pada pasar penjualan atau monopoli yang sekaligus secara analogi dapat pula diterapkan pada pasar penerimaan atau pembelian, yakni monopsoni.

Praktik monopsoni dalam pelaksanaannya oleh pelaku usaha dapat melahirkan praktik diskriminasi harga, hal tersebut sesuai dengan pengertian pasar monopsoni, dimana pada pasar tersebut pelaku usaha menjadi penerima pasokan

41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

(34)

dengan harga pembelian di bawah harga pada persaingan usaha yang wajar. Dengan kemampuannya tersebut, selanjutnya monopsonist dan pelaku usaha baik dalam tingkatan upstream atau downstream telah melakukan praktik diskriminasi harga, yang cenderung mengarah pada primary line. Diskriminasi harga tersebut disebut juga sebagai praktik predatory pricing. Selain terjadi diskriminasi harga yang mengarah pada harga yang lebih rendah, diskriminasi harga pun akan terjadi ketika pelaku usaha monopsoni hendak melakukan predatory. Ketika itu, untuk suatu produk yang sama, monopsonist mendapat harga yang lebih tinggi dibanding pelaku usaha lainnya dalam keadaan pasar yang sama.

Ilustrasi contoh adanya diskriminasi harga dari pembeli adalah, ketika PT.A sebagai calon penerima tunggal pasokan susu dari Koperasi B, PT. A menawarkan diri untuk menjadi pelanggan atas suplai susu dan mengajukan harga pembelian yang lebih tinggi dibanding PT. C untuk spesifikasi susu yang sama. Dengan penawaran yang diajukan PT.A, Koperasi B tentu akan merasa diuntungkan, sehingga penawaran PT.C akan diabaikannya. Maka ketika PT.A menjadi satu-satunya penerima pasokan atas susu tersebut, dan Koperasi B telah memiliki ketergantungan dengan repeat order PT. A, maka potensi praktik monopsoni telah membawa pada kondisi lainnya, yakni telah terjadinya diskriminasi harga oleh monopsonist.

2.3.2 Predatory Buying

(35)

mematikan pesaingnya.42 Pengaturan kegiatan ini dalam di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Persaingan Usaha. Dalam klaususl pasal tersebut dinyatakan,

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang atau jasa dengan cara jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”43

Contoh nyata kegiatan predatory pricing adalah pada pasar kosmetika online, terdapat dua suplier besar yang berpengaruh pada harga barang di pasaran. Keduanya saling berkompetisi untuk menekan jumlah biaya produksi, hingga batas akhir yang mereka mampu. Kemudian, untuk menyingkirkan kompetitornya, salah satu pelaku usaha rela merugi sedemikian rupa untuk melepas produk yang dimilikinya dengan harga yang tidak wajar, bahkan di bawah harga produksi. Hal tersebut, membuat kompetitor menjadi tidak mampu lagi berkompetisi, sehingga perlahan kompetitor tersebut akan menghilang dari pasar yang sama. Dalam keadaan seperti ini, pelaku usaha yang tertinggal dapat menguasai pasar, sehingga sangat dimungkinkan baginya untuk menaikkan harga sebagai bentuk kompensasi kerugian yang telah ia peroleh selama masa predatory. Praktik seperti ini, tak hanya terjadi dalam pasar lokal, namun juga pada pasar internasional melalui praktik dumping oleh suatu negara produsen suatu komoditi. Beberapa negara maju di dunia seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan

42 L Budi Kagramanto, op cit., h.189

43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

(36)

Masyarakat Uni Eropa telah mengatur larangan antidumping dalam peraturan mengenai hukum persaingan usaha di negaranya. Tujuannya sebagai proteksi bagi pelaku usaha dalam negeri.

Dengan beberapa conduct yang sama, dalam struktur pasar monopsoni, atas penguasaan pasar dari pemilik kekuatan atas pasar pembelian atau demand,

maka sangat dimungkinkan dalam struktur asar ini terjadi pula predatory buying.

Kegiatan ini adalah keadaan dimana pelakun usaha yang menjadi monopsonist

menggunakan kekuatannya untuk membeli hasil produksi dengan harga yang lebih tinggi, sehingga membuat pihak produsen menjadi tergantung pada pelaku usaha tersebut, sehingga suatu saat ketika kurva atas permintaan menjadi tidak stabil, penguasaan pasar oleh monopsonis akan senantiasa terjadi, bahkan kemungkinan untuk monopsonis menjadi pelaku usaha monopoli terbuka lebar. Sebagai contoh kasus, yakni Kartell vs Blue Shield Massachussets, dalam kasus tersebut pihak Blue Shield menggunakan kekuatan pasarnya sebagai pembeli untuk mencanangkan harga dibawah rata-rata. Namun dalam putusannya, hakim memutuskan bahwa itu bukanlah tindakan yang melanggar hukum persaingan usaha, karena tindakan membeli suatu komoditi sehingga mampu menurunkan harga dibawah rata-rata tidaklah sama dengan predatory pricing dalam monopoli.44

Tujuan antara predatory pricing maupun predatory buying adalah sama, keduanya menghendaki keluarnya kompetitor atau pelaku usaha yang lain dari struktur pasar dimana mereka berada. Ketika keberhasilan mereka menyingkirkan kompetitor tersebut, selanjutnya mereka akan menaikkan harga jual atas suatu

(37)

komoditi tertentu. Tak lain, untuk mengembalikan sejumlah kerugian yang mugkin terjadi selama masa predation.

Pada sudut pandang monopsonist, predatory conduct akan mampu

men-setting harga yang tinggi pada harga yang harus pembeli keluarkan untuk mendapatkan suatu komoditi tertentu, yang kemungkinan akan ditolak oleh para pembeli lainnya sehingga memberikan batasan atau hambatan masuk bagi para kompetitor. Fase inilah, bukti bahwa praktik monopsoni dapat pula menciptakan

barrier to entry. Praktik predatory oleh para pelaku usaha dengan kekuatan monopsoni, pelaku usaha akan menawarkan harga yang relatf tinggi. Sebagai konsekuensinya, pelaku usaha harus membayar harga yang lebih tinggi dari harga pokok penjualan komoditi tertentu. Keadaan ini pada dasarnya sangat kritis, karena hanya menciptakan satu kemungkinan terburuk yang akan terjadi, yakni hutang pelaku usaha di masa mendatang.45

Dalam konteks monopsoni, terdapat kemungkinan payoff dalam dua formasi, yang pertama saat memulai kompetisi dengan pembeli lainnya agar mereka keluar dari pasar yang ada, pelaku usaha monopsoni akan menurunkan harga dibawah harga dalam persaingan pasar. Pada pokoknya, penggunaan kekuatan pelaku usaha monopsoni yang bertujuan untuk meningkatkan market power mereka sebagai penjual (lanjutan dari praktik monopsoni), adalah hal yang biasa terjadi dalam fenomena persaingan usaha. Monopsoni demikianlah yang selanjutnya dianggap sebagai pelanggaran atas hukum persaingan usaha.

45 Keadaan ini sangat terasa gambling , kemungkinan apapun dapat terjadi bagi pelaku

(38)

Kemungkinan kedua, pelaku usaha predators memiliki permasalahan dengan kelebihan penerimaan pasokan atas suatu komoditi. Permasalahan itu menghadirkan dua kemungkinan yang dapat mereka lakukan, menghancurkan komoditi tersebut, atau menyimpannya untuk penggunaan di masa mendatang. Semakin banyaknya usaha yang dilakukan untuk menjadikan input pada hasil akhir, juga akan mengakibatkan naiknya jumlah hasil akhir dan mempengaruhi pada harga yang akan dikenakan. Pada kondisi ini, satu-satunya kemugkinan dengan jumlah barang yang terlalu banyak, adalah menurunkan harga jual sebagai bentuk antisipasi atas kemungkinan kerugian yang ditimbulkan selama proses produksi. Segala kemungkinan tersebut, tetap akan melahirkan tanggungan secara finansial bagi pelaku usaha.

Akhirnya, saat pelaku usaha hendak memulai untuk mengambil keuntungan dari kemampuan monopsoni yang dimilikinya, melalui menekan harga atau biaya yang harus mereka keluarkan, baik kondisi pasar maupun praktik monopsoni harus meminimalkan kehadiran kembali dari kompetitornya. Sebagai efeknya, pelaku usaha harus mampu mengambil keuntungan dari rendahnya harga untuk periode tertentu, dan temponya cukup lama agar dapat mendapatkan kembali sejumlah modalnya yang digunakan dalam proses predatory. Berdasarkan penjabaran diatas, prospek predatory buyer belum tentu menunjukkan kesamaan dengan yang dimiliki predatory seller.

(39)

terlalu rendah terhadap produk atau komoditi yang dijual pelaku usaha saat ini, tetapi lebih kepada akan adanya pengurangan produksi dan penaika harga yang dilakukan oleh pelaku usaha. Terjadiny hal ini, akibat lemahnya pesaing yang ada serta adanya barrier to entry bagi keduanya. Singkatnya, pelaku usaha yang melakukan predatory pricing dengan tidak mengurangi jumlah produksi dan juga tidak menaikkan harga di kemudian hari, dapat dimungkinkan bukan termasuk

predatory pricing yang dilarang oleh hukum.46 Pendapat tersebut tercerminkan pula dalam konstruksi pasal 7 Undang-Undang Persaingan Usaha yang melarang adanya perjanjian penetapan harga untuk melakukan predatory pricing, dengan menggunakan pendekatan rule of reason. Selama perjanjian penetapan harga yang dimaksud tidak mengakibatkan persaingan yang tidak sehat, dan alasan-alasan yang diajukan pelaku usaha dapat diterima, maka selama itu pula perjanjian penetapan harga bukan merupakan perjanjian yang dilarang.

2.4 Monopsoni dan Welfare Effects

Tujuan lahirnya hukum persaingan usaha, sebagai sebuah bentuk perlindungan bagi pelaku usaha dan konsumen, dari kesewenangan atau keadaan yang dipengaruhi oleh kekuatan pasar yang dimiliki pelaku usaha. Selain itu, hukum persaingan usaha juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi. Yang dimaksud dengan efisiensi ekonomi, adalah meningkatkan kekayaan, termasuk kekayaan konsumen, dalam arti luas adalah masyarakat. Sehingga, kesejahteraan masyarakat yang maksimal merupakan suatu urgensi dalam hukum persaingan usaha.

(40)

Seperti dalam monopsoni, ukuran riil pada pengertian “penyalahgunaan” kekuatan bukan ditujukan secara langsung pada penurunan harga, melainkan untuk mendapatkan keuntungan lain bagi monoponist atau pelaku monopsoni dengan kolusi.

Efek atau dampak yang ditimbulkan akibat kekuatan monopsoni atau praktik monopsoni, menurut Aryeh Friedman47 digolongkan menjadi dua golongan, yakni Adverse welfare effects dan Distributional effects.

1. Welfare effects, atau dampak yang berpengaruh pada kesejahteraan baik bagi pelaku usaha lainnya, juga bagi masyarakat sebagai end-user dari suatu komoditi tertentu. 2. Distributional effects, atau dampak yang berpengaruh pada

sistem pendistribusian produk.

Keduanya, dapat diketahui dengan mengetahui apakah penjual di

upstream market sebagai monopolist, dan apakah monopsonist juga bertindak sebagai monopolist di downstream market, dan jika pelaku usaha sebagai

oligopsonist apakah mereka saling bersaing di downstream market. Apabila hal yang menjadi tolok ukur tersebut terbukti, maka hasil atau outcome akan dikurangi kuantitasnya dan meningkatkan harga pada downstream market.

Apabila tidak terbukti, maka cost savings sepertinya akan dikenakan pada konsumen.

Kedua efek yang disebutkan oleh Friedmann, lebih mengarah pada social effects yang ditimbulkan oleh monopsoni. Dengan kata lain, efek tersebut merupakan dampak monopsoni dalam hal non pricing. Dampak tersebut mampu melahirkan praktik-praktik lain yang berkaitan dengan monopsoni, yang berpotensi melahirkan persaingan usaha tidak sehat. Dalam sub bab ini,

(41)

pembatasan diletakkan pada dua praktik yang dipengaruhi oleh monopsoni, yakni

Refusal to Deal dan Horizontal Market Division.

2.3.1 Refusals to deal

Pada kondisi pasar monopoli, adalah keadaan dimana salah satu pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha yang tidak akan menjual kebutuhan bahan baku kepada kompetitornya. Sedangkan dalam kondisi pasar monopsoni, praktik tersebut berarti pelaku usaha yang memiliki kekuatan pasar dan menerapkannya, melakukan penolakan untuk membeli produk dari pelaku usaha yang juga melakukan penjualan terhadap pelaku usaha kompetitor monopsonist.48 Praktik

penolakan yang dilakukan oleh pelaku usaha monopsoni ini merupakan salah satu akibat dari kegiatan monopsoni atau penyalahgunaan kekuasaan pasar yang dimilikinya, kemampuan monopsoni oleh pelaku usaha digunakan untuk meningkatkan monopolinya sebagai pembeli untuk menghadapi kompetitor.

Ilustrasi mengenai praktik ini, adalah ketika suatu perusahaan bioskop menjadi pembeli tunggal atas lisensi film dari satu rumah produksi, dengan menggunakan kekuatan monosoninya melarang rumah produksi tersebut menjal lisensinya baik untuk film sejenis maupun keseluruhan kepada pelaku usaha pesaing. Contoh nyata kasus yang terjadi dengan dugaan refusals to deal, antara

United States vs Griffith49, yakni pelaku usaha dalam rantai bioskop, yang

membeli lisensi atau hak penayangan dari distributor film. Pada beberapa kota ia menjadi monopsonis sepenuhnya, namun di beberapa kota lainnya, ia memiliki

(42)

kompetitor. Pelaku usaha tersebut mengenakan kekuatan monopsoni yang dimilikinya pada wilayah dimana ia menjadi satu-satunya pelaku usaha, pelaku usaha tersebut melakukan pembelian dengan menetapkan aturan yang diinginkannya. Aturan tersebut selanjutnya membuat pelaku usaha tersebut mendapatkan hak-hak eksklusif, yang berlaku pula dalam pasar yang terdapat kompetisi. Intinya, dengan kemampuan monopsoninya pelaku usaha tersebut dapat menetapkan segala hal yang diinginkannya untuk membatasi persaingan, dimanapun pelaku usaha tersebut menjalankan kegiatan usahanya.

Selain terjadi dengan hanya satu pelaku usaha, praktik ini pun terjadi dengan beberapa pelaku usaha sebagai pihak yang menerapkan kekuatan monopsoninya. Contohnya, kasus yang terjadi pada tahun 1914 dan melibatkan

Eastern States Lumber Dealer’s Association v. United States. 50 Dari semua kasus

tersebut, kekuatan monopsoni yang digunakan bukan ditujukan untuk menegosiasikan agar pelaku usaha mendapatkan harga yang lebih rendah. Namun, tujuan yang ingin dihasilkan adalah mengurangi kemampuan supply dari kompetitor, dalam monopsoni, adalah mengurangi kemampuan pelaku usaha kompetitor untuk menerima pasokan dari supplier untuk jenis produk yang sama. Praktik ini pada dasarnya serupa dengan praktik boikot, yang bertujuan akhir untuk mengusir, mencegah, dan menghalau kompetitor maemasuki pasar sejenis demi kepentingan para pihak dalam perjanjian. Dalam peraturan hukum persaingan usaha di Indonesia, belum ada konstruksi pasal yang mengatur refusal to deal secara eksplisit. Namun, pengaturan tersebut dapat ditemukan apabila kita

(43)

melakukan penafsiran dari beberapa praktik yang dilarang dalam Undang-Undang Persaingan Usaha, yakni praktik boikot, perjanjian pembagian wilayah, dan beberapa praktik lainnya yang memiliki tujuan akhir untuk membatasi dan mencegah pelaku usaha lain dengan menggunakan kekuatan monopsoni yang dimiliki.

2.3.2 Horizontal Market Division

Horizontal Market Division, atau disebut juga Pembagian Wilayah adalah sebuah perjanjian yang dibuat pelaku usaha pada pembagian wilayah pemasaran (distribusi), yang bertujuan agar pelaku usaha saling terikat dan tidak saling bersaing satu sama lain (mengurangi tingkat persaingan)51. Dalam keadaan ini, para penjual kemungkinan menyetujui untuk tidak saling berkompetisi pada wilayah tertentu untuk konsumen yang sama dan jenis barang yang sama. Dalam struktur pasar menurut sudut pandang pembeli, horizontal market division adalah suatu perjanjian dimana pembeli saling menyepakati untuk membagi suplier dan untuk tidak saling berkompetisi atas pembelian mereka dari suplier-suplier tersebut disamping untuk saling membagi wilayah-wilayah dimana mereka dapat melakukan kegiatan usaha. Dalam penjelasan Undang-Undang Persaingan Usaha yang dimaksud membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar, adalah :

1. Membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang dan/atau jasa pada struktur pasar.

2. Menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang dan/atau jasa.

Selain beberapa praktik atas perjanjian pembagian wilayah diatas, dalam perkembangannya, pembagian wilayah juga termasuk pada perbuatan menentukan

(44)

kuantitas atau kualitas barang dan/atau jasa, mengurangi iklan produk bersangkutan secara gencar, hingga membatasi ekspansi usaha pesaingnya pada wilayah dimana pelaku usaha melakukan kegiatan usahanya.

Pembagian wilayah pasar ini tidak akan berjalan efektif apabila konsumen memiliki kemampuan yang cukup untuk berpindah pasar, karena sekalipun pelaku usaha telah melakukan pembagian, kemungkinannya untuk mendapatkn kerugian masih terbuka lebar melalui peralihan pembeli tersebut. Misalkan, koperasi Bahagia di Kecamatan Burneh menjadi penerima pasokan tunggal hasil karya batik tulis madura, dan koperasi Cinta menjadi penerima pasokan tunggal di Kecamatan Soca. Pengrajin yang merasa kurang puas dengan harga beli yang ditawarkan oleh koperasi Cinta, kemudian pengrajin tersebut memiliki kemampuan untuk menjual hasil karyanya pada koperasi Bahagia, maka pengrajin akan memilih untuk menjualnya pada koperasi Bahagia dengan mengharapkan perbaikan taraf hidup Hal tersebut yang akan mendatangkan kerugian bagi koperasi Cinta, karena kekuatan pasarnya akan mengalami penurunan.

Pembagian wilayah ini, termasuk perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Persaingan Usaha. Dalam Undang-Undang-Undang-Undang Persaingan Usaha, perjanjian pembagian wilayah diatur dalam pasal 9 Undang-Undang Persaingan Usaha, yang berbunyi :Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan keuangan negara da- lam pandemic antara lain Pasal 2 (1) huruf d Perpu 1/2020 “ melakukan tindakan yang be- rakibat pengeluaran atas beban Anggaran

Untuk memilih salah satu model estimasi yang dianggap paling tepat dari tiga jenis model data panel, maka perlu dilakukan serangkaian uji, yaitu: (1) Uji F statistik untuk

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Harga,

1) Pada sektor unggulan, pemerintah daerah tingkat II harus menjaga stabilitas pertumbuhan dari sektor unggulan tersebut, sebab sektor unggulan tersebut merupakan

signifkan terhadap kepuasan konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis Ho ditolah dan Ha diterima. Artinya, service excellence yang terdiri dari veriabel

Selain itu, Asia Tenggara juga merupakan kawasan tujuan bagi investasi tidak juga untuk ketidakstabilan kawasan ini akan menciptakan konsekuensi yang sangat besar terhadap

Analisa dan evaluasi risiko terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap pertama menghitung nilai BIA pada aset, tahap kedua mengidentifikasi level risiko yang telah dilakukan