• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuktian Collusive Monopsony.

Dalam dokumen Collusive Monopsony dalam Peraturan Huku (Halaman 57-64)

COLLUSIVE MONOPSONY MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA di INDONESIA

3.3 Pembuktian Collusive Monopsony.

Alat bukti berdasarkan pasal 1886 BW dan 164 HIR dibagi menjadi dua, yaitu alat bukti langsung dan alat bukti tidak langsung. Alat bukti langsung adalah alat bukti yang tampak secara fisik yang dapat diujikan dan ditampilkan selama proses persidangan. Sedangkan alat bukti tidak langsung, adalah alat bukti tambahan yang sifatnya non fisik. Contoh alat bukti tidak langsung adalah kesimpulan yang didapat dari hal atau peristiwa yang terjadi selama persidangan65. Dalam hukum acara perkara KPPU, alat bukti yang dapat digunakan diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Persaingan Usaha, yaitu :

a. Keterangan saksi, b. Keterangan ahli,

c. Surat dan atau dokumen, d. Petunjuk,

e. Keterangan Pelaku Usaha.

Selain alat bukti tersebut diatas, dalam pemeriksaan perkara persaingan usaha yang bukan merupakan laporan dugaan, atau perkara inisiatif, sumber- sumber data yang digunakan KPPU, berdasarkan Pasal 15 ayat (2) Perkom No. 1 Tahun 2010 adalah66 :

1. Hasil Kajian Komisi, 2. Berita di media,

65 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.558

3. Hasil Pengawasan,

4. Laporan yang tidak lengkap,

5. Hasil Dengar Pendapat yang dilakukan Komisi, 6. Temuan dalam pemeriksaan; atau

7. Sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

KPPU, memiliki kewenangan yang telah diatur dalam Undang-Undang Persaingan Usaha untuk memperoleh alat bukti sebagaimana diperlukannya. KPPU berhak untuk meminta dokumen baik dalam bentuk hard copy maupun soft copy, menghadirkan saksi dan melakukan investigasi ke lapangan67. Kewenangan atas alat bukti yang dimiliki KPPU, berlaku pula untuk penanganan masalah

collusive monopsony, dalam hal ini praktik kartel. Sebelum dilakukannya proses pembuktian dalam perkara, pihak KPPU wajib untuk mengidentifikasi suatu keadaan pasar terlebih dahulu. Identifikasi yang dilakukan KPPU, harus berdasarkan indikator-indikator yang telah dibekalkan kepada setiap anggota KPPU dalam Pedoman Pasal 11 melalui Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2004. Beberapa indikator tersebut adalah :

a. Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan. b. Ukuran perusahaan.

c. Homogenitas produk. d. Kontak multi-pasar.

e. Persediaan dan kapasitas produksi. f. Keterkaitan kepemilikan.

g. Kemudahan masuk pasar.

h. Karakter permintaan : keteraturan, elastisitas, dan perubahan. i. Kekuatan tawar pembeli (buyer power)68.

Setelah terpenuhinya indikator tersebut, maka proses pemeriksaan oleh KPPU dapat dilanjutkan. Dengan terpenuhinya indikator, belum dapat

67 KPPU, Pedoman Pasal 11 :Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2004, www.kppu.go.id, h.23 , diunduh tanggal 28 Januari 2013, pukul 15.10 WIB

68 Buyer power, dalam pedoman pasal ini harus dilihat apakah kekuatan pembeli tersebut

lemah atau kuat. Karena dengan kuatnya kekuatan pembeli atau penerima pasokan akan berpengaruh pada keutuhan kartel. Khususnya dalam kartel pembelian, hal tersebut

memungkinkan munculnya tindak kecurangan oleh salah satu anggota kartel, khususnya pemilik buyer power. Karena akan mempengaruhi pada bargaining power kepada penjual.

membuktikan suatu praktik collusive monopsony telah terjadi. Untuk dapat membuktikannya, pihak KPPU harus menggunakan alat-alat bukti pendukung. Dalam pedoman Pasal 11 Undang-Undang Persaingan Usaha, yang merupakan alat bukti untuk penanganan kartel adalah69 :

1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran.

2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan oleh pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir (bisa tahunan atau per semester).

3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di beberapa wilayah pemasaran selma beberapa periode terakhir (bulanan atau tahunan).

4. Data kapasitas produksi.

5. Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan yang saling berkoordinasi.

6. Hasil analisa pengolahan data yang menunjukkan keuntungan yang berlebih/ excessive profit.

7. Hasil analisa data concius pararelism terhadap koordinasi harga, kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran.

8. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir.

9. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta perubahannya.

10.Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi, koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel.

11. Kesaksian dari pelanggaran atau pihak terkait lainnya atas terjadinya perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat kartel.

12.Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel.

13.Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya faktor pendorong kartel sesuai indikator.

Untuk melakukan pembuktian secara sempurna untuk suatu praktik

collusive monopsony, perlu memperhatikan penerapan prinsip pendekatan rules of reasons pada Pasal 11 Undang-Undang Persaingan Usaha. Alasan-alasan pelaku usaha harus diperiksa, apakah termasuk reasonable restraint atau tidak. Apabila

alasan tersebut dapat diterima, maka praktik collusive monopsony yang dilakukan oleh pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha, tidak melanggar ketentuan Hukum Persaingan Usaha. Dalam kasus Distribusi Garam Bahan Baku diatas, para pelaku usaha tidak memiliki reasonable restraint, sehingga dalam Putusan KPPU Nomor 10/ KPPU-L/2005, para pelaku usaha tersebut terbukti melakukan praktik turunan dari collusive monopsony, yakni perjanjian kartel.

Terbukti atau tidaknya suatu praktik yang termasuk dalam praktik

collusive monopsony harus memperhatikan pada pola pendekatan yang digunakan dalam konstruksi pasal yang mengatur. Hal tersebut dikarenakan pengaturan dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, untuk beberapa hal, khususnya praktik-praktik turunan dari collusive monopsony, berbeda dengan pengaturan yang diterapkan di Amerika Serikat. Pendekatan yang telah digunakan tidak menutup kemungkinan penggunaan interpretasi oleh hakim dalam hal memutuskan perkara. Penggunaan interpretasi oleh hakim tidak hanya digunakan di Indonesia dalam menyelesaikan perkara praktik collusive monopsony pada Putusan KPPU Nomor 10/KPPU-L/2005 tentang Kartel Distribusi Garam Bahan Baku di Sumatera Utara, namun juga digunakan oleh para hakim di Supreme Court Antitrust Law Amerika Serikat dalam kasus the NCAA v. Board of Regents, Hennesey v. The NCAA, dan Law v. The NCAA. Dengan berlakunya interpretasi, suatu praktik dalam hal collusive monopsony tidak dapat secara serta merta dianggap sebagai pelanggaran atas Hukum Persaingan Usaha.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Monopsoni merupakan salah satu larangan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia. Jenis-jenis monopsoni, antara lain monopsoni alami, pure monopsony, dan collusive monopsony. Monopsoni alami, adalah monopsoni yang terjadi akibat pengaruh barang substitusi dan keadaan geografis suatu barang dan atau jasa tertentu dalam pasar tertentu. Pure monopsony, adalah monopsoni yang dilakukan atau dilahirkan sendiri oleh pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Sedangkan collusive monopsony, adalah praktik monopsoni yang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha yang menguasai pembelian atau penerimaan pasokan suatu barang dan atau jasa yang bermaksud untuk mempengaruhi harga yang akan mereka bayarkan untuk komoditi tersebut.

Dampak yang akan dirasakan dengan adanya praktik monopsoni dikategorikan menjadi dua kategori utama, yakni dampak pricing dan non pricing. Dampak pricing, mengarah pada bagaimana praktik monopsoni bisa melahirkan akibat berupa penetapan harga hingga diskriminasi harga. Sedangkan dampak non pricing, dapat mengarah pada bagaimana kekuatan pasar yang berpengaruh pada sistem distribusi atau kesejahteraan pada masyarakat. Namun, dalam tulisan ini, lebih ditujukan pada dampak non pricing yang berpengaruh pada sistem distribusi serta penyalahgunaan yang terjadi atas kekuatan pasar pada praktik monopsoni.

Praktik collusive monopsony, diatur dalam perundang-undangan persaingan usaha di Indonesia secara implisit. Yakni secara langsung pada praktik- praktik yang menjadi form atas praktik collusive monopsony tersebut. Melalui penafsiran secara analogi antara collusive monopsony dengan oligopsoni, keduanya memiliki unsur dan syarat yang sama untuk dapat dikatakan sebagai sebuah pelanggaran pada hukum persaingan usaha. Pengaturan oligopsoni di Indonesia, memiliki beberapa kesamaan dengan larangan kartel dalam Undang- Undang Persaingan Usaha. Keduanya merupakan himpunan yang saling beririsan dalam himpunan semesta Collusive Monopsony.

Praktik collusive monopsony yang dianalisa di Indonesia, diambil dari kasus yang telah diperiksa dan diputuskan dalam Putusan Nomor 10/KPPU- L/2005, mengenai kartel distribusi garam bahan baku. Dalam putusannya, KPPU memutus jika para pelaku usaha yang terlibat dalam collusive monopsony, terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Persaingan Usaha dan beberapa praktik lain yang masih merupakan form praktik collusive monopsony. Dengan menggunakan pendekatan rules of reasons, untuk membuktikannya, tidak melihat atas dampak yang ditimbulkannya berdasarkan teori monopsoni pada umumnya, melainkan didasarkan pada terpenuhi atau tidaknya unsur yang menjadi syarat-syarat pada pengaturan praktik tersebut dalam Undang-Undang Persaingan Usaha. Untuk itu, dapat disimpulkan jika pembuktian ada atau tidaknya perbuatan atas praktik

collusive monopsony, dapat dilakukan sejenis dengan pembuktian pada praktik oligopsoni dan praktik lainnya yang menggunakan pendekatan rules of reasons

dengan memperhatikan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendukung, antara lain : Pasal 42 Undang-Undang Persaingan Usaha, Peraturan

Komisi No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara, dan Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Undang- Undang Persaingan Usaha.

4.2 Saran.

Pengaturan mengenai collusive monopsony, yang ada di Indonesia, sebenarnya telah diatur dalam Hukum Persaingan Usaha. Pengaturan tersebut tidak dikonstruksikan dalam sebuah ketentuan secara eksplisit. Pengaturan atau larangan atas collusive monopsony, lebih kepada praktik-praktik yang menjadi

form atau turunannya.

Dengan adanya pengaturan yang sifatnya belum sempurna, kemungkinan pelaku usaha untuk mempraktikannya terbuka lebar. Hal tersebut dipicu oleh minimnya pengetahuan mengenai larangan collusive monopsony, atau itikad kurang baik dari pelaku usaha sendiri yang sekalipun telah mengetahui bahwa praktek collusive monopsony akan berdampak sistemik dan buruk pada iklim persaingan usaha. Dampak-dampak yang dihasilkan praktik tersebut, seharusnya telah menjadi hal pokok yang harus dipikirkan dalam pembuktian hingga putusan. Bukan lagi mengacu pada unsur atau reasonable restraint yang ada, sehingga pengaturan mengenai collusive monopsony beserta praktik-praktik turunannya bersifat per se illegal. Demi untuk mewujudkan tujuan iklim persaingan usaha yang sehat,memenuhi kepastian serta keadilan bagi para pelaku usaha, dan sebagai perlindungan bagi konsumen.

Kedepannya, penulis sangat berharap pihak-pihak yang berwenang dan bertanggung jawab atas iklim persaingan usaha di Indonesia, dapat lebih memahami mengenai praktik-praktik yang berhubungan dengan pelanggaran atas Hukum Persaingan Usaha. Tujuannya, untuk mewujudkan suatu aturan hukum

mengenai praktik tersebut yang berakhir pada terciptanya keadilan, kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat dalam iklim persaingan usaha di Indonesia, serta dapat benar-benar mewujudkan suatu iklim persaingan usaha yang sehat dan berkembang. Dengan demikian, maka kesejahteraan seluruh masyarakat akan terpenuhi, dan negara akan semakin maju.

Dalam dokumen Collusive Monopsony dalam Peraturan Huku (Halaman 57-64)

Dokumen terkait