TINDAKAN TERBUKTI ILLEGAL
2.3 Monopsoni dan price fixing.
2.3.1 Price Discrimination
Perjanjian diskriminasi harga, adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual dengan harga yang berbeda.35 Dengan adanya perjanjian yang demikian, berakibat pada terciptanya kerugian bagi pelaku usaha lainnya dalam struktur pasar yang sama. Akibat yang nyata dari perjanjian perbedaan harga adalah, salah satu pelaku usaha mendapatkan harga yang tinggi, sementara pelaku usaha lainnya mendapatkan harga yang rendah. Pada keadaan inilah, kerugian akan dirasakan oleh pelaku usaha.
Praktik diskriminasi harga, tidak secara keseluruhan dilarang oleh hukum persaingan usaha, karena dimungkinkan adanya biaya yang berbeda dari pelaku usaha untuk memproduksi komoditi tertentu yang menjadi objek kegiatan usaha. Dengan adanya perbedaan tersebut, sangat rasional sekali apabila selanjutnya ada perbedaan harga untuk barang yang sama. Larangan diskriminasi harga yang dimaksudkan dalam hukum persaingan usaha apabila lahirnya bukan dari perbedaan biaya yang dikeluarkan oleh produsen. Singkatnya, suatu kondisi dapat dinyatakan telah terjadi diskriminasi harga, haruslah memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut :
1. Para pihak haruslah mereka yang melakukan kegiatan bisnis, sehingga diskriminasi harga dapat merugikan apa yang disebut primary line36dan
secondary line37.
2. Terdapat perbedaan harga baik secara langsung maupun tidak langsung, misal melalui pemberian diskon, atau pembayaran secara kredit, namun pada pihak lainnya harus cash dan tidak berlaku diskon.38
3. Dilakukan terhadap pembeli yang berbeda. Jadi dalam hal ini paling sedikit terdapat dua pembeli.39
4. Terhadap barang yang sama tingkat dan kualitasnya.
5. Perbuatan tersebut secara substansial akan merugikan, merusak, atau mencegah terjadinya persaingan yang sehat atau dapat menyebabkan monopoli pada suatu aktifitas perdagangan.40
Pelaku usaha yang seringkali melakukan kegiatan seperti ini adalah pelaku usaha yang berada dalam skala kecil atau menengah, hal tersebut diakibatkan 36 Primary line , kondisi ketika diskriminasi harga dilakukan oleh produsen atau grosir
terhadap pesaingnya. Pada kondisi ini, dalam monopsoni, pembeli akan melakukan penawarn untuk membeli suatu produk baik barang/jasa dengan harga yang lebih tinggi yang bertujuan untuk mengeliminasi kompetitornya. Keadaan ini, nyaris sama dengan keadaan dimana pelaku usaha melakukan predatory pricing atas komoditinya. Hal tersebut dibuktikan ketika Supreme Court di US menggunakan standar aturan yang juga digunakan dalam menyelesaikan perkara predatory khususnya predatory buying.
37 Secondary line, kondisi ketika pelaku usaha memberikan diskriminasi pada perlakuan
khusus yang diberikannya untuk produsen, grosir hingga ritel. Pada kondisi ini, sifatnya sangat subjektif. Ketika pelaku usaha tersebut tidak menyenangi grosir ataupun ritel tertentu, hal itu akan membawa pada kondisi lain dimana keduanya tidak dapat berkompetisi dengan grosir atau ritel yang disenanginya. Pada posisi pembeli, pembeli yang menyenangi satu pelaku usaha akan membeli dengan harga tinggi. Keadaan ini akan mempengaruhi kemampuan penjual yang merasa membutuhkan pembeli tersebut untuk menentukan sesuatu pada dirinya (powerless), sehingga diskriminasi yang dilakukan dalam kondisi demikian sangat memungkinkan untuk terjadinya eliminasi dari pembeli terhadap less-powerful seller.
38 Kondisi ini merupakan kondisi yang sering terjadi dalam kehidupan bisnis di sekitar kita.
Namun, entah kita yang belum menyadari atau memang belum ada pengaturan yang mengatur secara tegas atas perbuatan tersebut. Contoh nyata, ketika seorang supplier mengharuskan adanya payment dimuka bagi para resellernya, untuk pembelanjaan sekian rupiah, belum tentu pada reseller lain dengan pembelanjaan sejumlah yang sama, supplier dapat memberikan keleluasaan pembayaran atau invoice. Seringkali terjadi, alasan yang mereka utarakan kembali pada prinsip kepercayaan atau trust. Keadaan seperti inilah yang sering kali tidak menjadi perhatian baik bagi masyarakat luas dan pelaku usaha pada khususnya.
39 Apabila dilakukan oleh penjual, maka posisi pembeli digantikan oleh posisi penjual.
Mengingat pernyataan mirror side praktik monopsoni atas monopoli.
40 Andi Fahmi Lubis, et al., op cit, h.93, mengutip dari Philip Areeda, Antitrust Analysis, Problems, Text, Cases, Little Brown and Company, 1981, pp.1054-1059
adanya beberapa tekanan ekonomi ataupun kebijakan tertentu dari pelaku usaha lain yang keadaannya jauh lebih baik dari pelaku usaha tersebut.
Diskriminasi harga dikonstrusikan dalam Pasal 6 Undang-Undang Persaingan Usaha sebagai sebuah larangan tanpa memandang tingkatannya, sesuai dengan teori pendekatan, maka pasal ini termasuk pasal yang sifatnya
per se illegal. Larangan tersebut dapat dilihat dari bunyi pasal, yakni :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dengan harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.”41 Sesuai dengan penelaahan pada konstruksi pasal 6 Undang-Undang Persaingan Usaha, akibat atau dampak dari diskriminasi harga, harus dirasakan oleh pelaku usaha lainnya, sekalipun tidak dicantumkan secara eksplisit dalam pasal tersebut. Sehingga, apabila terjadi perbedaan harga yang secara langsung kepada konsumen atau end-user dari suatu produk, itu bukan merupakan diskriminasi harga.
Sebenarnya, banyak praktik diskriminasi harga yang terjadi di masyarakat, baik dalam primary line ataupun secondary line. Kedua praktik diskriminasi harga diatas, merupakan penggolongan praktik diskriminasi harga berdasarkan teori ekonomi yang ditujukan pada pasar penjualan atau monopoli yang sekaligus secara analogi dapat pula diterapkan pada pasar penerimaan atau pembelian, yakni monopsoni.
Praktik monopsoni dalam pelaksanaannya oleh pelaku usaha dapat melahirkan praktik diskriminasi harga, hal tersebut sesuai dengan pengertian pasar monopsoni, dimana pada pasar tersebut pelaku usaha menjadi penerima pasokan
41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1999, pasal 6.
dengan harga pembelian di bawah harga pada persaingan usaha yang wajar. Dengan kemampuannya tersebut, selanjutnya monopsonist dan pelaku usaha baik dalam tingkatan upstream atau downstream telah melakukan praktik diskriminasi harga, yang cenderung mengarah pada primary line. Diskriminasi harga tersebut disebut juga sebagai praktik predatory pricing. Selain terjadi diskriminasi harga yang mengarah pada harga yang lebih rendah, diskriminasi harga pun akan terjadi ketika pelaku usaha monopsoni hendak melakukan predatory. Ketika itu, untuk suatu produk yang sama, monopsonist mendapat harga yang lebih tinggi dibanding pelaku usaha lainnya dalam keadaan pasar yang sama.
Ilustrasi contoh adanya diskriminasi harga dari pembeli adalah, ketika PT.A sebagai calon penerima tunggal pasokan susu dari Koperasi B, PT. A menawarkan diri untuk menjadi pelanggan atas suplai susu dan mengajukan harga pembelian yang lebih tinggi dibanding PT. C untuk spesifikasi susu yang sama. Dengan penawaran yang diajukan PT.A, Koperasi B tentu akan merasa diuntungkan, sehingga penawaran PT.C akan diabaikannya. Maka ketika PT.A menjadi satu-satunya penerima pasokan atas susu tersebut, dan Koperasi B telah memiliki ketergantungan dengan repeat order PT. A, maka potensi praktik monopsoni telah membawa pada kondisi lainnya, yakni telah terjadinya diskriminasi harga oleh monopsonist.