• Tidak ada hasil yang ditemukan

Predatory Buying

Dalam dokumen Collusive Monopsony dalam Peraturan Huku (Halaman 34-39)

TINDAKAN TERBUKTI ILLEGAL

2.3 Monopsoni dan price fixing.

2.3.2 Predatory Buying

Dalam monopoli, kita mengenal predatory pricing sebagai salah satu bentuk kegiatan usaha yang timbul sebab adanya penguasaan pasar yang dilakukan oleh pemilik market power. Kegiatan ini, merupakan suatu bentuk pemasokan atau penjualan komoditi dengan cara menjual rugi yang bertujuan

mematikan pesaingnya.42 Pengaturan kegiatan ini dalam di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Persaingan Usaha. Dalam klaususl pasal tersebut dinyatakan,

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang atau jasa dengan cara jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”43

Contoh nyata kegiatan predatory pricing adalah pada pasar kosmetika online, terdapat dua suplier besar yang berpengaruh pada harga barang di pasaran. Keduanya saling berkompetisi untuk menekan jumlah biaya produksi, hingga batas akhir yang mereka mampu. Kemudian, untuk menyingkirkan kompetitornya, salah satu pelaku usaha rela merugi sedemikian rupa untuk melepas produk yang dimilikinya dengan harga yang tidak wajar, bahkan di bawah harga produksi. Hal tersebut, membuat kompetitor menjadi tidak mampu lagi berkompetisi, sehingga perlahan kompetitor tersebut akan menghilang dari pasar yang sama. Dalam keadaan seperti ini, pelaku usaha yang tertinggal dapat menguasai pasar, sehingga sangat dimungkinkan baginya untuk menaikkan harga sebagai bentuk kompensasi kerugian yang telah ia peroleh selama masa predatory. Praktik seperti ini, tak hanya terjadi dalam pasar lokal, namun juga pada pasar internasional melalui praktik dumping oleh suatu negara produsen suatu komoditi. Beberapa negara maju di dunia seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan

42 L Budi Kagramanto, op cit., h.189

43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1999, pasal 20.

Masyarakat Uni Eropa telah mengatur larangan antidumping dalam peraturan mengenai hukum persaingan usaha di negaranya. Tujuannya sebagai proteksi bagi pelaku usaha dalam negeri.

Dengan beberapa conduct yang sama, dalam struktur pasar monopsoni, atas penguasaan pasar dari pemilik kekuatan atas pasar pembelian atau demand,

maka sangat dimungkinkan dalam struktur asar ini terjadi pula predatory buying.

Kegiatan ini adalah keadaan dimana pelakun usaha yang menjadi monopsonist

menggunakan kekuatannya untuk membeli hasil produksi dengan harga yang lebih tinggi, sehingga membuat pihak produsen menjadi tergantung pada pelaku usaha tersebut, sehingga suatu saat ketika kurva atas permintaan menjadi tidak stabil, penguasaan pasar oleh monopsonis akan senantiasa terjadi, bahkan kemungkinan untuk monopsonis menjadi pelaku usaha monopoli terbuka lebar. Sebagai contoh kasus, yakni Kartell vs Blue Shield Massachussets, dalam kasus tersebut pihak Blue Shield menggunakan kekuatan pasarnya sebagai pembeli untuk mencanangkan harga dibawah rata-rata. Namun dalam putusannya, hakim memutuskan bahwa itu bukanlah tindakan yang melanggar hukum persaingan usaha, karena tindakan membeli suatu komoditi sehingga mampu menurunkan harga dibawah rata-rata tidaklah sama dengan predatory pricing dalam monopoli.44

Tujuan antara predatory pricing maupun predatory buying adalah sama, keduanya menghendaki keluarnya kompetitor atau pelaku usaha yang lain dari struktur pasar dimana mereka berada. Ketika keberhasilan mereka menyingkirkan kompetitor tersebut, selanjutnya mereka akan menaikkan harga jual atas suatu

komoditi tertentu. Tak lain, untuk mengembalikan sejumlah kerugian yang mugkin terjadi selama masa predation.

Pada sudut pandang monopsonist, predatory conduct akan mampu men-

setting harga yang tinggi pada harga yang harus pembeli keluarkan untuk mendapatkan suatu komoditi tertentu, yang kemungkinan akan ditolak oleh para pembeli lainnya sehingga memberikan batasan atau hambatan masuk bagi para kompetitor. Fase inilah, bukti bahwa praktik monopsoni dapat pula menciptakan

barrier to entry. Praktik predatory oleh para pelaku usaha dengan kekuatan monopsoni, pelaku usaha akan menawarkan harga yang relatf tinggi. Sebagai konsekuensinya, pelaku usaha harus membayar harga yang lebih tinggi dari harga pokok penjualan komoditi tertentu. Keadaan ini pada dasarnya sangat kritis, karena hanya menciptakan satu kemungkinan terburuk yang akan terjadi, yakni hutang pelaku usaha di masa mendatang.45

Dalam konteks monopsoni, terdapat kemungkinan payoff dalam dua formasi, yang pertama saat memulai kompetisi dengan pembeli lainnya agar mereka keluar dari pasar yang ada, pelaku usaha monopsoni akan menurunkan harga dibawah harga dalam persaingan pasar. Pada pokoknya, penggunaan kekuatan pelaku usaha monopsoni yang bertujuan untuk meningkatkan market power mereka sebagai penjual (lanjutan dari praktik monopsoni), adalah hal yang biasa terjadi dalam fenomena persaingan usaha. Monopsoni demikianlah yang selanjutnya dianggap sebagai pelanggaran atas hukum persaingan usaha.

45 Keadaan ini sangat terasa gambling , kemungkinan apapun dapat terjadi bagi pelaku

usaha. Keadaan pasar dalam sistem ekonomi, merupakan keadaan yang dinamis, dapat berubah sewaktu-waktu. Sekalipun pelaku usaha memiliki kekuatan dalam praktik monopsoni. Karenanya, dalam melakukan predatory buying, pelaku usaha harus dengan sangat memperhatikan aspek yang berpengaruh terhadap resiko. Beberapa ahli menyatakan, predatory pricing dan predatory buying, cenderung memiliki beberapa perbedaan, sehingga sedikit melenceng dari pernyataan bahwa monopsoni adalah cerminan monopoli dari sisi pembeli.

Kemungkinan kedua, pelaku usaha predators memiliki permasalahan dengan kelebihan penerimaan pasokan atas suatu komoditi. Permasalahan itu menghadirkan dua kemungkinan yang dapat mereka lakukan, menghancurkan komoditi tersebut, atau menyimpannya untuk penggunaan di masa mendatang. Semakin banyaknya usaha yang dilakukan untuk menjadikan input pada hasil akhir, juga akan mengakibatkan naiknya jumlah hasil akhir dan mempengaruhi pada harga yang akan dikenakan. Pada kondisi ini, satu-satunya kemugkinan dengan jumlah barang yang terlalu banyak, adalah menurunkan harga jual sebagai bentuk antisipasi atas kemungkinan kerugian yang ditimbulkan selama proses produksi. Segala kemungkinan tersebut, tetap akan melahirkan tanggungan secara finansial bagi pelaku usaha.

Akhirnya, saat pelaku usaha hendak memulai untuk mengambil keuntungan dari kemampuan monopsoni yang dimilikinya, melalui menekan harga atau biaya yang harus mereka keluarkan, baik kondisi pasar maupun praktik monopsoni harus meminimalkan kehadiran kembali dari kompetitornya. Sebagai efeknya, pelaku usaha harus mampu mengambil keuntungan dari rendahnya harga untuk periode tertentu, dan temponya cukup lama agar dapat mendapatkan kembali sejumlah modalnya yang digunakan dalam proses predatory. Berdasarkan penjabaran diatas, prospek predatory buyer belum tentu menunjukkan kesamaan dengan yang dimiliki predatory seller.

Pelarangan terhadap kegiatan ini, sebagai penjaminan terciptanya persaingan yang sehat antara pelaku usaha, serta menjadi perlindungan bagi konsumen maupun pelaku usaha pesaingnya. Menurut R. Sheyam Khemani, yang menjadi larangan pada predatory pricing bukan proses penetapan harga yang

terlalu rendah terhadap produk atau komoditi yang dijual pelaku usaha saat ini, tetapi lebih kepada akan adanya pengurangan produksi dan penaika harga yang dilakukan oleh pelaku usaha. Terjadiny hal ini, akibat lemahnya pesaing yang ada serta adanya barrier to entry bagi keduanya. Singkatnya, pelaku usaha yang melakukan predatory pricing dengan tidak mengurangi jumlah produksi dan juga tidak menaikkan harga di kemudian hari, dapat dimungkinkan bukan termasuk

predatory pricing yang dilarang oleh hukum.46 Pendapat tersebut tercerminkan pula dalam konstruksi pasal 7 Undang-Undang Persaingan Usaha yang melarang adanya perjanjian penetapan harga untuk melakukan predatory pricing, dengan menggunakan pendekatan rule of reason. Selama perjanjian penetapan harga yang dimaksud tidak mengakibatkan persaingan yang tidak sehat, dan alasan-alasan yang diajukan pelaku usaha dapat diterima, maka selama itu pula perjanjian penetapan harga bukan merupakan perjanjian yang dilarang.

Dalam dokumen Collusive Monopsony dalam Peraturan Huku (Halaman 34-39)

Dokumen terkait