• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Kota Bandung dengan luas wilayah 16.730 ha semula dirancang hanya untuk berpenduduk 500.000 jiwa. Namun kenyataannya, kini berpenduduk 3 juta jiwa (siang hari) dan 2,5 juta (malam hari) (BPS, 2007). Kondisi menunjukkan kepadatan luar biasa yang pada akhirnya memberikan konsekuensi ketidaknyamanan hidup bagi masyarakatnya. UNESCO memberi batas ideal pemukim sebuah kota 60 jiwa/ha, tetapi Kota Bandung jauh melampaui angka tersebut, yaitu sebesar 149 jiwa/ha dan laju pertambahan penduduk 2,1% (Dinas Kependudukan Kota Bandung, 2006).

Fenomena tersebut telah banyak mengubah bentukan lanskap dan penggunaan lahan di daerah pinggiran terutama yang langsung berbatasan dengan kota yang ditunjukkan dengan banyaknya daerah yang semula merupakan daerah hijau berubah peruntukannya menjadi permukiman, kawasan industri, dan kawasan non agraris lainnya. Hal ini membuat daerah pinggiran kota mempunyai kawasan terbangun (built up area) dengan kepadatan tinggi, tidak teratur, kondisi lingkungan yang buruk, kondisi sumberdaya estetika yang menurun, pola pergerakan penduduk yang tinggi yang menyebabkan tingginya kemacetan lalulintas dan menimbulkan konflik antar pihak yang berkepentingan.

Peningkatan penduduk yang pesat menyebabkan kebutuhan ruang bagi perumahan semakin meningkat. Pada perkembangan selanjutnya pembangunan perumahan bergerak ke arah Bandung Utara. Kawasan Bandung Utara (KBU) berada pada ketinggian 750 m ke atas, sampai pada kawasan pegunungan dan perbukitan sekitarnya. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat Nomor 181/SK1824-Bapp/1982. Pesatnya perkembangan kawasan ini menjadi lebih rumit karena tingginya konflik kepentingan dan status kepemilikan tanah yang bermasalah sehingga menyebabkan semakin tidak terkendalinya pembangunan disana.

Kawasan Bandung Utara (KBU) dengan keindahan bentang alamnya dan iklim yang nyaman menyebabkan tingginya pembangunan perumahan dan kegiatan perkotaan lainnya yang tumbuh tidak sesuai dengan peruntukan kawasan tersebut. Tingginya perubahan fungsi penggunaan lahan menyebabkan turunnya kualitas lingkungan kawasan konservasi Bandung Utara. Hampir 70%

(2)

dari luas kawasan yang berfungsi lindung di KBU mengalami kerusakan, padahal KBU dengan luas total 38.548,33 ha merupakan daerah resapan air yang secara ekosistem menjadi penyedia air tanah sekitar 60% bagi Kawasan Cekungan Bandung (Bandung basin) yang luasnya mencapai 338.040 ha, sehingga mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan kebijakan untuk menetapkan KBU sebagai Kawasan Konservasi Resapan Air (Pergub 21 Tahun 2009).

Pengendalian lahan di kawasan tersebut belum efektif akibat terjadinya gejala urban sprawl di KBU. Gejala urban sprawl marak terjadi di sekitar kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda yang langsung berbatasan dengan wilayah Kota Bandung. Kawasan sekitar Tahura Djuanda merupakan wilayah yang memiliki indeks konservasi (air) tinggi. Perubahan lahan yang terjadi di kawasan sekitar konservasi akan berdampak negatif terhadap sistem ekologis kawasan tersebut sebagai wilayah konservasi yang menyediakan jasa lingkungan khususnya jasa lingkungan air (hidrologis) bagi masyarakat Kota Bandung.

Kecenderungan perubahan lahan di KBU selain disebabkan oleh faktor kebutuhan perluasan lahan kota, juga diduga disebabkan oleh posisi kawasan sekitar Tahura Djuanda yang memiliki keindahan pemandangan (scenic beauty) dan lingkungan alami yang cukup asri sehingga dirasakan nyaman sebagai wilayah permukiman. Dalam hal ini scenic beauty dari kawasan yang berbatasan dengan pusat kota dapat memicu terjadinya urban sprawl. Perubahan lahan yang semula agraris menjadi non agraris di sekitar kawasan Tahura Djuanda terkait pula dengan apresiasi masyarakat terhadap nilai lindung atau konservasi dari kawasan tersebut. Pengabaian terhadap nilai tersebut telah mendorong perubahan lahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan kepentingannya tanpa mempertimbangkan nilai strategis kawasan tersebut yang menyediakan sejumlah jasa lingkungan yang sangat penting sebagai penyangga kebutuhan masyarakat Kota Bandung khususnya dalam penyediaan jasa lingkungan hidrologis.

Dampak lain dari kerusakan KBU adalah terjadinya gangguan pada cadangan dan konservasi air. Sekitar 2.200 ha lahan tersebut merupakan Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung, Cimahi, Citarik Hulu dan lima anak sungai lainnya yang bermuara di sungai Citarum. Jika Sub-DAS kesembilan sungai tersebut terganggu, akan mempengaruhi pasokan air ke Sungai Citarum

(3)

yang menjadi sumber penggerak PLTA Waduk Saguling, Cirata dan Sumber Air Waduk Jatiluhur (Dinas Tata Ruang, 2004)

Fungsi ekologis KBU perlu dipertahankan guna menjamin pemanfaatan ruang yang lestari. Perubahan tataguna lahan yang terjadi karena pertimbangan penggunaan lahan masih didominasi oleh kepentingan ekonomi dan sosial. Apabila fungsi kawasan diperhatikan dalam perhitungan nilai ekonomi, maka upaya konversi lahan dapat dicegah khususnya pada kawasan yang memiliki nilai ekologis yang tinggi. Internalisasi nilai ekonomi lingkungan dalam kegiatan usaha pemanfataan ruang diperlukan di masa mendatang.

UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur mengenai struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang. Dalam struktur ruang diatur mengenai sistem pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan transportasi. Dalam pola pemanfaatan ruang diatur mengenai kawasan budidaya dan kawasan lindung. Salah satu aspek penting yang diatur dalam UU Penataan Ruang terkait dengan perubahan penggunaan lahan adalah perlu menyediakan 30% lahan terbuka hijau di perkotaan dan 30% lahan hutan di kawasan daerah aliran sungai. Kenyataan menunjukkan bahwa kawasan perkotaan pada umumnya mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan aturan tersebut. Fenomena ini juga menjadi permasalahan dalam pembangunan Kota Bandung dan sekitarnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, upaya pengendalian ruang di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda diperlukan untuk mempertahankan kawasan tersebut sebagaimana fungsinya sebagai kawasan berkonservasi tinggi yang memberikan fungsi perlindungan tata ekologis terhadap masyarakat di sekitarnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji permasalahan perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda dan merumuskan kebijakan pengendalian ruangnya.

1.2. Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan penduduk dan peningkatan akselerasi pembangunan wilayah membutuhkan lahan sebagai ruang hidup dan ruang untuk beraktivitas ekonomi yang mendorong terjadinya konversi atau perubahan lahan. Perubahan penggunaan lahan (landuse change) merupakan masalah yang serius dalam pengelolaan lahan di Indonesia (Warlina, 2007). Intervensi manusia banyak

(4)

mengubah lanskap lahan yang semula alami menjadi lansekap lahan yang disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya secara terencana dan atau tidak terencana. Perubahan lahan yang terencana dilakukan sesuai dengan rencana peruntukannya, tetapi perubahan lahan yang tidak terencana terjadi di luar rencana peruntukannya. Perubahan lahan yang terjadi di luar peruntukannya umumnya berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem wilayah tersebut, misalnya pembangunan permukiman di atas wilayah konservasi yang telah ditetapkan (Djakapermana, 2008).

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan penggunaan lahan menurut Ramdan (2004) meliputi: (a) tekanan penduduk terhadap lahan. Lahan dalam pandangan teori ekonomi klasik bersama dengan modal dan sumberdaya manusia (tenaga kerja) merupakan faktor produksi yang menjamin berlangsungnya kegiatan ekonomi. Berbagai kegiatan ekonomi dilaksanakan di atas (permukaan) lahan, mulai dari yang tradisional sampai modern. Makin beragamnya aktivitas ekonomi, maka kebutuhan lahan semakin meningkat.; (b) Pertumbuhan sektor pembangunan yang meningkat. Pertumbuhan sektor-sektor pembangunan memerlukan lahan sebagai prasarana penunjang kegiatan pembangunan.

Perubahan penggunaan lahan selalu terkait dengan perubahan sistem ekologis (ekosistem) di atasnya. Perubahan ekosistem dimulai dari berubah atau berkurangnya sebagian komponen ekosistem yang ada, yang selanjutnya mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem tersebut. Akibat prinsip interdependensi antar komponen ekosistem yang kuat, maka adanya perubahan komponen mempengaruhi kinerja ekosistem secara keseluruhan. Hasil penelitian Martono (1996) menunjukkan terjadinya konversi lahan dari hutan dan tegalan menjadi taman wisata di Cangkringan Sleman telah mengakibatkan perubahan iklim mikro di wilayah tersebut.

Pertambahan penduduk yang tinggi signifikan mendorong perubahan lahan khususnya di wilayah perkotaaan. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang seiring dengan dinamika pertumbuhan kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Djakapermana, 2008). Perkembangan kota tersebut menyebabkan pergeseran fungsi-fungsi perkotaan ke arah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut sebagai proses perembetan kenampakan fisik perkotaan ke arah luar (urban sprawl phenomena) umumnya berlangsung cepat dan tidak terencana (Yunus,

(5)

2000). Gejala urban sprawl menyebabkan pola perkembangan dan pembangunan yang tidak terencana dari wilayah kota menuju wilayah pedesaan sehingga terjadi pertumbuhan penggunaan lahan perkotaan (urban area) ke arah pinggiran yang cepat dan menyebabkan tidak terkendalinya penggunaan lahan di wilayah pinggiran kota (Schultink et al. 2005). Akselerasi dari perambahan (sprawl) menyebabkan biaya-biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sampai sekarang masih tersembunyi, tidak diacuhan atau secara diam-diam diserap oleh masyarakat. Pembebanan dari biaya tersebut terlihat pada biaya barang dan jasa yang tinggi.

Fenomena tersebut telah banyak mengubah bentukan lanskap dan penggunaan lahan di daerah pinggiran terutama yang langsung berbatasan dengan kota yang ditunjukkan dengan banyaknya daerah yang semula merupakan daerah hijau berubah peruntukannya menjadi permukiman, kawasan industri, dan kawasan non agraris lainnya. Hal ini membuat daerah pinggiran kota mempunyai kawasan terbangun (built up area) dengan kepadatan tinggi, tidak teratur, kondisi lingkungan yang buruk, kondisi sumberdaya estetika yang menurun, pola pergerakan penduduk yang tinggi yang menyebabkan tingginya kemacetan lalulintas dan menimbulkan konflik antar pihak yang berkepentingan. Perubahan lahan yang tidak terencana ini akan mengurangi fungsi ekologis daerah pinggiran sebagai wilayah penyangga kota yang umumnya merupakan wilayah dengan indeks konservasi tinggi. Pengendalian ruang di wilayah tersebut diperlukan untuk mengantisipasi dampak negatif dari gejala urban sprawl tersebut.

Pertumbuhan Kota Bandung sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat telah menimbulkan gejala urban sprawl ke luar kota yang umumnya mengarah ke KBU. Perubahan lahan yang tidak terkendali banyak terjadi di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda yang langsung berbatasan dengan pusat Kota Bandung. Penyimpangan pemanfaatan ruang akibat perubahan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan dapat disebabkan oleh adanya daya tarik alami keberadaan kawasan yang berubah fungsi dan masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap nilai lindung atau konservasi dari keberadaan kawasan yang selama ini memberikan perlindungan ekosistem serta menyediakan sejumlah jasa lingkungan.

KBU yang disebut sebagai wilayah inti Bandung Raya Bagian Utara adalah wilayah yang berada pada elevasi 750 meter di atas permukaan laut,

(6)

sampai puncak gunung dan perbukitan di sekitarnya yang terletak di bagian Utara Kabupaten Bandung sebagai bagian dari suatu sistem DAS. KBU perlu mendapat perhatian khusus karena pada lerengya terdapat suatu kota metropolitan dengan segala aktivitas dan perkembangannya. KBU selama ini merupakan salah satu kawasan yang sering menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan, kondisinya semakin memprihatinkan. KBU seperti Lembang, Punclut, Ciumbuleuit, dan Dago memiliki berbagai kelebihan sehingga lahan kawasan tersebut mempunyai nilai ekonomi tinggi. Wilayah ini dikatakan elite karena terdapat hotel-hotel berbintang, restoran internasional, tempat kebugaran, dan lambang-lambang kemakmuran golongan atas.

Kawasan sekitar Tahura Djuanda umumnya merupakan dataran tinggi yang memiliki keindahan panorama (scenic beauty) dan lingkungan alami cukup asri sehingga mendorong terjadinya perubahan lahan dari yang semula berupa daerah alami menjadi daerah terbuka dengan pola ruang menyerupai perkotaan yang didominasi oleh penggunaan ruang untuk permukiman. Dalam hal ini scenic beauty dari kawasan yang berbatasan dengan pusat kota dapat memicu terjadinya urban sprawl yang menyebabkan degradasi fungsi kawasan konservasi dan mengancam terganggunya sistem ekologis dari kawasan yang secara alami memberikan perlindungan dan jasa lingkungan bagi wilayah kota di sekitarnya.

Perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi yang marak terjadi disebabkan pula oleh rendahnya apresiasi terhadap nilai konservasi dari keberadaan kawasan yang berfungsi lindung atau konservasi. Nilai lahan sering tidak mempertimbangkan nilai keberadaan kawasan tersebut, sehingga kepedulian untuk memanfaatkan ruang sesuai dengan peruntukannya cenderung terabaikan. Adanya perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda berdampak terhadap penurunan fungsi lindung kawasan yang secara alami merupakan wilayah dengan indeks konservasi tinggi, sehingga dikategorikan sebagai kawasan resapan air.

Salah satu hal yang menyebabkan tinggi kecenderungan perubahan lahan di kawasan Tahura Djuanda adalah belum adanya mekanisme pengaturan pengendalian ruang yang membatasi penduduk untuk datang bermukim di sekitar kawasan. Nilai lahan yang relatif murah bagi penduduk perkotaan menjadi daya tarik sendiri. Selain itu sistem pajak yang diterapkan masih konvensional yakni nilai lahan dihitung seperti penggunaan lahan lainnya sehingga tidak ada

(7)

perlakuan khusus dari aspek lingkungan. Hal ini karena penilaian terhadap keindahan kawasan dan nilai ekonomi total kawasan belum dilakukan dan diperhitungkan dalam pengelolaan kawasan.

Untuk mengantisipasi dampak ekologis dari perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda diperlukan kajian kebijakan yang ditujukan untuk mengendalikan penggunaan ruang tersebut. Kebijakan yang perlu diatur dalam pengendalian ruang di kawasan tersebut mencakup tentang penataan kelembagaan pengendalian ruangnya, serta pengembangan kebijakan pengendalian ruang yang bersifat insentif dan disinsentif. Perumusan disain kebijakan mempertimbangkan pula kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan dalam mengatur ruang di kawasan tersebut. Disain kebijakan dalam pengendalian ruang dilakukan dengan melibatkan pakar dan stakeholders yang terkait langsung dengan pemanfaatan ruang di kawasan tersebut. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Urban Sprawl Penggunaan Ruang Tahura Djuanda Kondisi Kawasan Bandung Utara Analisis Spasial Perubahan Penggunaan Lahan Analisis Keindahan Kawasan Keterkaitan Keindahan Kawasan dengan Tren

Perubahan Ruang Valuasi Nilai Ekonomi Total Nilai Ekonomi Kawasan Tahura Djuanda Trend Perubahan Penggunaan Ruang Tahura Kebijakan Pengendalian Ruang Kawasan Tahura

(8)

1.3. Perumusan Masalah

Kawasan konservasi Tahura Djuanda yang merupakan kawasan berindeks konservasi tinggi memiliki fungsi perlindungan ekosistem dan menyediakan jasa lingkungan hidrologis bagi masyarakat di sekitarnya. Gejala urban sprawl akibat pertumbuhan Kota Bandung memicu perubahan lahan di kawasan sekitar Tahura yang semula merupakan ekosistem alami berubah menjadi lahan terbuka yang didominasi oleh pemanfaatan ruang untuk permukiman. Perubahan lahan yang tidak terencana tersebut berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan di wilayah tersebut terutama fungsi kawasan tersebut sebagai daerah resapan air dan bagi keberadaan Tahura,

Kawasan hutan berfungsi sebagai kawasan cagar alam (Gunung Tangkuban Perahu) dan Tahura Djuanda adalah kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya. Wilayah Perkotaan seperti Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Perdesaan dialokasikan pada Kawasan Bandung Utara bagian Timur dan Barat yaitu kawasan budidaya sawah.

Kawsan Bandung Utara yang termasuk daerah hulu Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung, Cimahi, Citarik Hulu dan lima anak sungai lainnya yang bermuara di sungai Citarum mempunyai peran yang sangat penting sebagai daerah pemasok air. Bagian hulu DAS umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan airnya ke daerah hilir, sehingga keterkaitan hulu dan hilir DAS sangat erat. Daerah hilir tidak mungkin mendapatkan kesinambungan pasokan air minum dengan kuantitas dan kualitas yang memadai apabila kondisi ekosistem daerah hulu yang menjadi resapan airnya terganggu (Acreman, 2004; Johnson et al., 2001).

KBU selama ini merupakan salah satu kawasan yang sering menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan. Wilayah ini boleh dikatakan elite karena terdapat hotel-hotel berbintang, restoran internasional, tempat kebugaran, dan lambang-lambang kemakmuran golongan atas. Namun kini kondisinya semakin memprihatinkan. Kawasan Bandung Utara seperti Lembang, Punclut, Ciumbuleuit, dan Dago memiliki berbagai kelebihan sehingga tanah di daerah itu mempunyai nilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu tak heran jika banyak para pengembang begitu bernafsu untuk melakukan pembangunan fisik disana.

(9)

Saat ini, lebih dari 2.000 ha lahan konservasi di Kecamatan Lembang dipenuhi ratusan bangunan yang diduga liar (bangle), padahal luas kawasan yang diperbolehkan ada bangunan di Lembang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung hanya 1.035 ha, bahkan maraknya pembangunan itu seringkali mengabaikan aspek hukum dan lingkungan. Salah satu pembangunan yang merusak lingkungan itu adalah diurugnya Situ PPI (Persatuan Perikanan Indonesia) pada tahun 2001.

Pesatnya perkembangan kawasan ini diperparah dengan tingginya konflik kepentingan dan status kepemilikan tanah yang bermasalah sehingga menyebabkan semakin tidak terkendalinya pembangunan disana. Dampak lain dari kerusakan KBU adalah terjadinya gangguan pada cadangan dan konservasi air, dimana sekira 2.200 hektar lahan tersebut merupakan Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung, Cimahi, Citarik Hulu dan lima anak sungai lainnya yang bermuara di sungai Citarum. Jika Sub-DAS kesembilan sungai tersebut terganggu, akan mempengaruhi pasokan air ke Sungai Citarum yang menjadi sumber penggerak PLTA Waduk Saguling, Cirata dan Sumber Air Waduk Jatiluhur. Tumbuhnya permukiman dan vila di KBU diperkirakan perusahaan dan pengembang akan menyedot air tanah untuk penduduk di kawasan rumah mewah itu sedikitnya 1.000 liter per detik. Angka ini berdasarkan standar kebutuhan air bersih 0,5 liter per detik setiap hektar.

Perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda merupakan dampak dari gejala urban sprawl. Selain letak kawasan tersebut yang dekat dengan pusat Kota Bandung, juga disebabkan oleh keindahan panorama kawasan tersebut yang umumnya berada di dataran tinggi dan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap nilai konservasi dari keberadaan kawasan tersebut. Sampai saat ini perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi cukup merisaukan yang ditunjukkan dengan makin meluasnya pengembangan kawasan permukiman dan kegiatan ekonomi lainnya ke arah kawasan konservasi Tahura Djuanda, sehingga diperlukan disain kebijakan yang efektif untuk mengendalikan perubahan lahan tersebut.

Beberapa pertanyaan permasalahan yang mengemuka dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana kecenderungan pola dan arah perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda.

(10)

b. Bagaimana kaitan antara faktor-faktor yang mempengaruhi nilai scenic beauty kawasan sekitar Tahura Djuanda. dengan tren perubahan penggunaan lahan.

c. Bagaimana memberikan nilai konservasi kawasan Tahura sebagai kawasan konservasi di kawasan Bandung Utara.

d. Bagaimana rumusan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan Tahura Djuanda yang merupakan kawasan konservasi bagi wilayah Bandung.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk merumuskan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan konservasi Taman Hutan Raya Djuanda Propinsi Jawa Barat. Tujuan khusus penelitian adalah:

1. Menganalisis perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi scenic beauty kawasan sekitar Tahura Djuanda dan kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan. 3. Menganalisis nilai ekonomi total kawasan Tahura sebagai kawasan

konservasi di kawasan Bandung Utara.

4. Merumuskan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan Tahura Djuanda yang merupakan kawasan konservasi bagi wilayah Bandung.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi pemerintah daerah, dapat dijadikan rumusan kebijakan dalam

pengendalian penggunaan ruang di sekitar Tahura Djuanda, Jawa Barat terutama dalam mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi dan tujuan wisata.

2. Bagi masyarakat (stakeholder), memberikan kontribusi hasil pemikiran secara ilmiah kepada masyarakat tentang pentingnya nilai manfaat jasa lingkungan yang ada di kawasan konservasi Tahura Djuanda baik fungsinya sebagai kawasan konservasi maupun sebagai daerah tujuan wisata sehingga perlu upaya perlindungan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak terkendali.

(11)

3. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi dan pengkajian lebih lanjut perencanaan penggunaan ruang di sekitar Tahura ke depan.

1.6. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini terutama dari segi metode, penelitian ini menggunakan metode secara komprehensif untuk mengkaji tren perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda dengan membandingkan nilai manfaat jasa lingkungan dan nilai keindahan kawasan (scenic beauty value) yang terkandung di dalamnya. Metoda estimasi keindahan kawasan (scenic beauty estimation) pada umumnya digunakan untuk menilai potensi suatu kawasan yang akan dikembangkan terutama sebagai kawasan pariwisata dalam pengertian bahwa daerah atau kawasan tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah kawasan pertumbuhan baru

Perubahan penggunaan terutamanya didorong oleh pertumbuhan penduduk yang masuk kedalam suatu kawasan yang mempunyai nilai daya tarik yang tinggi seperti keindahan estetika, iklim yang nyaman dan lokasi yang berbukit. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa keindahan kawasan tersebut yang merupakan daya tarik dan dikaitkan dengan fungsi daerah tersebut sebagai kawasan konservasi dan dengan berlokasi yang berbatasan langsung dengan kota besar dapat memberikan dampak buruk bagi kualitas kawasan tersebut, bila perkembangan yang masuk kekawasan tersebut tidak dikendalikan dengan baik.

Dari segi hasil, penelitian ini menilai jasa lingkungan di kawasan konservasi Tahura Djuanda baik dari sisi fungsi konservasi maupun nilai keindahan kawasan dapat digunakan sebagai masukan untuk arahan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. Hasil ini belum pernah ada dalam berbagai penelitian lainnya.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah virus Covid-19 adalah dengan menerapkan perilaku Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di mana dalam penerapannya

Reaktivitas : Tidak ada data tes khusus yang berhubungan dengan reaktivitas tersedia untuk produk ini atau bahan bakunya... Stabilitas

Berdasarkan hasil statistik yang telah dilakukan serta hasil uraian pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu variabel pertumbuhan kredit dan

Sebab mutu sendiri memilik pengertian yang berbeda-beda, di antaranya mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan atau keinginan (Deming dalam Rubaman, Maman. Mei, 2008), Ace

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Cuplikan percakapan berikut sebagai contoh adanya penggunaan kode yang berwujud bahasa asing dalam percakapan novel Ney Dawai Cinta Biola karya Hadi S.. Arifin

kot ke pelaku pasar (Identifikasi Persoalan) Pembentukan lembaga khusus Penataan Terpadu Kawasan Arjuna sbd perwakilan stakeholder Persiapan Penilaian (Tahap Perencanaan)

1) Mengembangkan kurikulum mata pelajaran IPS. a) Menelaah prinsip-prinsip pengembangan kurikulum IPS. b) Memilih pengalaman belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran IPS.