• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Motivasi

2.1.1 Pengertian Motivasi

Suatu instansi pemerintah/swasta, memerlukan pegawai sebagai tenaga gerak dalam melaksanakan segala kegiatan atau aktivitasnya. Kegiatan atau aktivitas tersebut sedikit banyaknya dipengaruhi faktor-faktor tertentu. Motivasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kegiatan tersebut dalam mencapai tujuannya.

Kata motivasi berasal dari bahasa Latin “movere”, yang berarti bergerak. Motivasi erat hubungannya dengan hasrat, keinginan, tujuan, sasaran, kebutuhan, dorongan, dan insentif. Motivasi adalah proses yang dimulai dengan defisiensi fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk tujuan atau insentif. Proses motivasi bergantung pada pengertian dan hubungan antara kebutuhan, dorongan, dan insentif (Luthars, 2006: 268).

Kebutuhan membentuk dorongan yang bertujuan pada insentif. Motivasi mencakup tiga elemen yang berinteraksi dan saling tergantung, yaitu (Luthars, 2006: 270).

1. Kebutuhan

Kebutuhan tercipta saat tidak adanya keseimbangan fisiologis atau psikologis.

(2)

Dorongan terbentuk untuk mengurangi kebutuhan. Dorongan fisiologis dapat didefenisikan sebagai kehilangan petunjuk. Dorongan fisiologis dan psikologis adalah tindakan yang berorientasi dan menghasilkan daya dorong dalam meraih insentif. Hal tersebut adalah motivasi.

3. Insentif

Pada akhir siklus motivasi adalah insentif, didefenisikan sebagai semua yang akan mengurangi sebuah kebutuhan dan dorongan. Dengan memperoleh insentif akan cenderung memulihkan keseimbangan fisiologis atau psikologis dan akan mengurangi dorongan.

Pengertian motivasi juga diungkapkan oleh beberapa ahli sebagai berikut ini :

1. Sardiman

Motivasi adalah motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya felling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan (Sardiman, 2006: 73).

2. Chung dan Megginson

Motivasi dalam (Gomes, 2003: 177) merupakan hal yang berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan seseorang dalam mengejar suatu tujuan.

3. Mulyasa

Motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu (Sumber :

(3)

Motivasi seseorang atau pegawai tergantung pada kekuatan atau motivasi itu sendiri. Dorongan menyebabkan seseorang berusaha mencapai tujuan-tujuan, baik sadar ataupun tidak sadar. Dorongan juga menyebabkan seseorang atau pegawai berperilaku yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan, dan yang menetapkan arah yang harus ditempuh oleh seorang pegawai (Thoha, 2008: 207-208).

Seseorang bekerja mempunyai motivasi yang berbeda-beda. Ada orang yang termotivasi mengerjakan sesuatu karena uang yang banyak, meskipun kadang-kadang pekerjaan itu secara hukum tidak benar. Ada juga yang termotivasi karena rasa aman atau keselamatan meskipun bekerja dengan jarak yang jauh. Bahkan ada orang yang termotivasi bekerja hanya karena pekerjaan tersebut memberikan prestise yang tinggi walaupun gajinya sangat kecil.

Hal yang mendasar dari motivasi adalah self concept realization, yaitu merealisasikan konsep dirinya. Self concept realization bermakna bahwa seseorang akan selalu termotivasi jika (Arep & Tanjung, 2003: 13) :

1. Ia hidup dalam suatu cara yang sesuai dengan peran yang lebih ia sukai. 2. Diperlakukan sesuai dengan tingkatan yang lebih ia sukai.

3. Dihargai sesuai dengan cara yang mencerminkan penghargaan seseorang atas kemampuannya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka ada 3 hal yang diperlukan dalam memotivasi seseorang yaitu peran, perlakuan, dan penghargaan.

John R. Schermerhorn dalam Winardi (2001: 4) menjelaskan motivasi untuk bekerja merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam bidang perilaku keorganisasian (Organizational Behavior = OB), guna menerangkan

(4)

kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seseorang individu, yang menjadi penyebab timbulnya tingkat, arah, dan persistensi upaya yang dilaksanakan dalam hal bekerja. Dengan demikian analisis mengenai motivasi akan bersinggunggan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi. Ditegaskan Atkinson dalam Winardi (2001: 4) bahwa analisis motivasi perlu memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang menimbulkan dan mengarahkan aktivitas-aktivitas seseorang.

Wahjosumidjo mengatakan motivasi merupakan daya dorong sebagai hasil proses interaksi antara sikap, kebutuhan, dan persepsi bawahan dari seseorang dengan lingkungan, motivasi timbul diakibatkan oleh faktor dari dalam dirinya sendiri disebut faktor intrinsik, dan faktor yang dari luar diri seseorang disebut faktor ekstrinsik. Selanjutnya faktor intrinsik dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman, pendidikan atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau masa depan (http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/2116186-insentif-dibagi-menjadi-dua-macam/#ixzz2PbGGrrLY, diakses pada tanggal 2 September 2013 pukul 11.00 WIB).

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai motivasi, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah daya dorong yang ada pada pegawai baik dorongan internal yaitu kepuasan maupun dorongan eksternal yaitu proses yang menyebabkan seseorang melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu.

2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi

Chung & Megginson dalam (Winardi, 2001: 5) menjelaskan, motivasi melibatkan beberapa faktor, anatra lain :

(5)

Faktor-faktor individual meliputi : a. kebutuhan-kebutuhan (needs) b.tujuan-tujuan (goals) c. sikap (attitude) d. kemampuan-kemampuan (abilities). 2. Faktor-faktor organisasional

Faktor-faktor organisasional meliputi : a. pembayaran atau gaji (pay)

b. keamanan pekerjaan (job security) c. sesama pekerja (co-workers) d. pengawasan (supervision) e. pujian (praise),

f. pekerjaan itu sendiri (job itself).

Helleriegel dan Slocum (Winardi, 2001: 8) mengklasifikasikan tiga faktor utama yang mempengaruhi motivasi meliputi:

1. Perbedaan karakteristik individu

Karakteristik individu yang berbeda jenis kebutuhan, sikap dan minat menimbulkan motivasi yang bervariasi, misalnya pegawai yang mempunyai motivasi untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya akan bekerja keras dengan resiko tinggi dibanding dengan pegawai yang mempunyai motivasi keselamatan, dan akan berbeda pada pegawai yang bermotivasi untuk memperoleh prestasi. Setiap pekerjaan yang berbeda membutuhkan persyaratan keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi dan tipe-tipe penilaian yang berbeda pula.

(6)

2. Perbedaan karakteristik pekerjaan

Perbedaan karakteristik yang melekat pada pekerjaan itu membutuhkan pengorganisasian dan penempatan orang secara tepat sesuai dengan kesiapan masing-masing pegawai. Setiap organisasi juga mempunyai peraturan, kebijakan, sistem pemberian hadiah, dan misi yang berbeda-beda yang akan berpengaruh pada setiap pegawainya.

3. Perbedaan karakteristik lingkungan kerja atau organisasi. Motivasi seseorang dipengaruhi oleh stimuli kekuatan intrinsik yang ada pada diri seseorang/individu yang bersangkutan, stimuli eksternal mungkin juga dapat mempengaruhi motivasi, tetapi motivasi itu sendiri mencerminkan reaksi individu terhadap stimuli tersebut.

2.1.3 Manfaat Motivasi

Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya, pekerjaan diselesaikan dengan standart yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, serta orang akan senang melakukan suatu pekerjaan. Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang mengerjakan suatu pekerjaan. Seseorang juga akan merasa dihargai/diakui. Hal ini terjadi karena pekerjaannya itu dihargai oleh orang yang termotivasi. Melalui penghargaan tersebut, seseorang akan bekerja keras. Hal ini terjadi karena dorongan yang tinggi untuk menghasilkan sesuai target yang ditetapkan. Kinerja akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan

(7)

membutuhkan terlalu banyak pengawasan. Individu tersebut akan berkerja dengan motivasi yang tinggi (Arep & Tanjung, 2003: 16-17).

2.1.4 Teori Motivasi

Teori motivasi dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu :

I. Teori Kepuasan

Teori kepuasan motivasi menentukan apa yang memotivasi orang dalam pekerjaan. Ahli teori kepuasan berfokus pada identifikasi kebutuhan dan dorongan pada diri seseorang dan bagaimana kebutuhan dan dorongan tersebut diprioritaskan. Mereka menitikberatkan jenis insentif dan tujuan yang berusaha dicapai oleh seseorang untuk dipuaskan dan dilakukan dengan baik. Teori kepuasan mengacu pada statis, karena teori tersebut berhubungan hanya pada satu atau beberapa hal dalam suatu waktu tertentu, baik masa lalu maupun sekarang. Oleh karena itu, teori ini tidak memprediksikan motivasi atau perilaku kerja, tetapi memahami apa yang memotivasi orang dalam bekerja. Hal yang memotivasi semangat bekerja seseorang adalah untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan materil maupun non materil yang diperoleh dari hasil pekerjaan, yakni tinggi atau rendah tingkat kebutuhan dan kepuasan yang ingin dicapai seseorang mencerminkan semangat kerja orang tersebut. Teori motivasi dapat dibedakan menjadi (Winardi, 2011: 11) :

1. Teori Hierarki Kebutuhan (Abraham H.Maslow)

Abraham H . Maslow dengan teori hierarki kebutuhan yaitu Malow’s Need Hierarchy Theory atau A Theory of Human Motivation, dikemukakan oleh

(8)

Abraham H. Maslow pada tahun 1943. Teori ini diilhami oleh Human Science Theory dari Elton Mayo (1880-1949) yang menyatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan itu bersifat jamak yaitu kebutuhan biologis dan psikologis berupa materil dan non materil.

Abraham H. Maslow mengemukakan sejumlah proposisi penting tentang perilaku pegawai sebagai berikut:

1. Pegawai adalah makhluk yang serba berkeinginan (man is a wanting being). Ia senantiasa menginginkan sesuatu dan ia senantiasa menginginkan lebih banyak. Apa yang diinginkan, tergantung pada apa yang sudah dimiliki.

2. Sebuah kebutuhan yang dipenuhi, bukanlah sebuah motivator perilaku. Hanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, memotivasi perilaku.

3. Kebutuhan manusia diatur dalam suatu seri tingkatan suatu hierarki menurut pentingnya masing-masing kebutuhan. Segera setelah kebutuhan-kebutuhan pada tingkatan lebih rendah, kurang lebih terpenuhi, maka muncul kebutuhan-kebutuhan pada tingkat berikut yang lebih tinggi, yang menuntut pemuasan. Tingkatan kebutuhan pegawai tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kebutuhan-kebutuhan Fisiologikal

Pada tingkatan terendah pada hierarki yang ada, dan pada titik awal teori motivasi, terdapat kebutuhan-kebutuhan fisiologikal. Kebutuhan-kebutuhan inilah yang perlu dipenuhi untuk mempertahankan hidup.

Kebutuhan-kebutuhan fisiologikal memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut:

(9)

2. Dalam banyak kasus mereka dapat diidentifikasi dengan sebuah lokasi khusus di dalam tubuh (misalnya perasaan lapar luar biasa, dapat dikaitkan dengan perut).

3. Pada sebuah kultur bercukupan (an affluent culture), kebutuhan-kebutuhan demikian bukan merupakan motivator-motivator tipikal, melainkan motivator-motivator yang tidak biasa.

4. Akhirnya dapat dikatakan bahwa mereka harus dipenuhi secara berulang-ulang dalam periode waktu yang relatif singkat, agar tetap terpenuhi.

Apabila kebutuhan-kebutuhan fisiologikal tidak terpenuhi, maka mereka akan lebih terasa dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka boleh dikatakan bahwa seseorang individu, yang tidak memiliki apa-apa dalam kehidupan, mungkin sekali akan termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan fisiologikal.

b. Kebutuhan akan keamanan

Kebutuhan akan keamanan dinyatakan dalam wujud akan keinginan akan proteksi terhadap bahaya fiskal, keinginan untuk mendapatkan kepastian ekonomi, prefensi terhadap hal-hal yang dikenal, dan menjauhi hal-hal yang tidak dikenal, dan keinginan atau dambaan orang akan dunia yang teratur, serta yang dapat diprediksi.

Kebutuhan-kebutuhan akan keamanan, juga mencakup keinginan unuk mengatahui batas-batas perilaku yang diperkenankan. Maksudnya adalah keinginan akan kebebasan di dalam batas-batas tertentu daripada kebebasan yang tidak ada batasnya. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan lengkap tentang

(10)

batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat mempunyai perasaan yang sangat terancam.

Sebagian besar pegawai tergantung pada organisasi tempat ia bekerja sehubungan dengan ketenteraman, supervisi, keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pekerjaannya dan peluang kerja yang berkesinambungan.

c. Kebutuhan-kebutuhan sosial

Kebutuhan fisiologikal manusia dan kebutuhan akan keamanan pegawai relatif terpenuhi, maka kebutuhan-kebutuhan sosial yang merupakan kebutuhan pada tingkatan berikutnya menjadi motivator penting bagi perilaku. Seorang pegawai ingin tergolong pada kelompok-kelompok tertentu. Pegawai ingin berasosiasi dengan pihak lain, ingin diterima oleh rekan-rekannya, ingin berbagi dan menerima sikap berkawan, dan afeksi.

d. Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan

Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan (egoistik) terdiri dari penghargaan diri dan penghargaan dari pihak lain. Kebutuhan akan penghargaan diri, prestasi, kompetensi, pengetahuan, penghargaan diri, dan kebebasan serta idepedensi (ketidaktergantungan). Kelompok kedua, kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan dari pihak lain mencakup kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan reputasi seseorang pegawai, atau penghargaan dari pihak lain, kebutuhan akan status, pengakuan, apresiasi terhadap dirinya, dan respek yang diberikan oleh pihak lain.

Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau melampui prestasi orang-orang lain yang merupakan sifat universal manusia. Kebutuhan pokok akan penghargaan ini, apabila dimanfaatkan secara tepat dapat menyebabkan timbulnya

(11)

kinerja keorganisasian yang luar biasa. Tidak seperti kebutuhan-kebutuhan tingkatan lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan jarang sekali terpenuhi secara sempurna.

e. Kebutuhan untuk merealisasikan diri (aktualisasi)

Kebutuhan-kebutuhan ini berupa kebutuhan-kebutuhan individu untuk merealisasi potensi yang ada pada diri pegawai untuk mencapai pengembangan diri secara berkelanjutan dan menjadi kreatif. Bentuk khusus kebutuhan ini berbeda pada setiap pegawai (Winardi, 2001: 14-16).

2. Teori Kebutuhan Berprestasi (David McClelland)

McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. McClelland merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi, dan mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.

Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu :

a. Sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat.

(12)

b. Menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran.

c. Menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah (Winardi, 2001: 17-18). 3. Teori ERG (Clyton Alderfer)

Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan).

1. Secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena existence dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow. Relatedness senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow. Growth mengandung makna sama dengan self actualization menurut Maslow.

2. Teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Teori Alderfer menunjukkan bahwa: a. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula

keinginan untuk memuaskannya.

b. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang lebih tinggi semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan.

c. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang lebih mendasar.

(13)

Pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya (Winardi, 2001: 19-20).

4. Teori Dua Faktor (Frederick Herzberg)

Herzberg dikenal dengan teori dua faktor yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau pemeliharaan. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.

Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.

Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik atau yang bersifat ekstrinsik (Winardi, 2001: 21).

(14)

II. Teori Proses

Teori proses dapat dibedakan atas empat bagian, yaitu : 1. Teori Keadilan (Equity Theory)

S. Adams dalam teori ini mengemukakan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :

1. Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar.

2. Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :

1. Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya.

2. Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;

3. Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis.

4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai.

Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan

(15)

sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain (Winardi, 2010: 23).

2. Teori penetapan tujuan (Goal Setting Theory)

Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni :

a. Tujuan-tujuan mengarahkan perhatian b. Tujuan-tujuan mengatur upaya

c. Tujuan-tujuan meningkatkan persistensi

d. Tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Teori ini juga mengungkapkan hal-hal sebagai berikut : a. Kuat lemahnya tingkah laku manusia ditentukan oleh sifat tujuan yang hendak dicapai.

b. Kecenderungan manusia untuk berjuang lebih keras mencapai suatu tujuan, apabila tujuan itu jelas, dipahami dan bermanfaat.

c. Makin kabur atau makin sulit dipahami suatu tujuan, akan makin besar keengganan untuk bertingkah laku (Dharma, 2010: 36).

3. Teori Harapan (Expectacy Theory)

Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul Work And Motivation mengtengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai Teori Harapan. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang

(16)

dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkan. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.

Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.

Teori ini bagi kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkan serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginan. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkan, apalagi cara untuk memperoleh (Dharma, 2010: 36-37).

4. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku (Reinforcement Theory)

Teori ini dikemukakan oleh B.F. Skinner yang didasarkan atas hukum pengaruh. Tingkah laku dengan konsekuensi positif cenderung untuk diulang, sementara tingkah laku dengan konsekuensi negatif cenderung untuk tidak diulang. Rangsangan yang didapat akan mengakibatkan atau memotivasi timbulnya respon dari seseorang yang selanjutnya akan menghasilkan suatu konsekuensi yang akan berpengaruh pada tindakan selanjutnya. Konsekuensi yang terjadi secara berkesinambungan akan menjadi suatu rangsangan yang perlu untuk

(17)

direspon kembali dan menghasilkan konsekuensi lagi. Demikian seterusnya sehingga motivasi mereka akan tetap terjaga untuk menghasilkan hal-hal yang positif

Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekuensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekuensi positif lagi di kemudian hari.

Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagai konsekuensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.

Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan gaya yang manusiawi pula (Winardi, 2001: 24-25).

2.2 Kinerja Pegawai

2.2.1 Pengertian Kinerja Pegawai

Menurut Keban dalam (Tangkilisan, 2003: 1) bahwa kinerja (performence) dapat didefenisikan sebagai tingkat pencapaian hasil atau the degree of

(18)

accomplishment atau dengan kata lain kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi.

Pengertian kinerja telah dirumuskan oleh beberapa ahli manajemen dalam (Tika, 2006: 121) antara lain sebagai berikut :

1. Stoner, dalam bukunya Management mengemukakan bahwa kinerja adalah fungsi dari motivasi, kecakapan, dan persepsi peranan.

2. Bernardin dan Russel, mendefenisikan kinerja sebagai pencatatan hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu.

3. Handoko, mendefenisikan kinerja sebagai proses dimana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan.

4. Prawiro Suntoro, mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu.

Dari empat defenisi kinerja diatas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam kinerja terdiri dari :

1. Hasil-hasil fungsi pekerjaan

2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan/pegawai seperti : motivasi, kecakapan, persepsi, peranan, dan sebagainya.

3. Pencapaian tujuan organisasi 4. Periode waktu tertentu

Sedangkan pengertian pegawai negeri sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Pegawai negeri sipil adalah manusia yang punya integritas,

(19)

keperibadian, harga diri, punya posisi sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat yang memahami kewajiban dan tanggungjawabnya. Pegawai negeri sipil yang demikianlah yang diharapkan memiliki kegairahan dan kegembiraan bekerja, penuh inisiatif dan langkah-langkah yang positif untuk menciptakan prestasi kerja yang bermutu dan sikap mental dalam dinas dan pergaulan masyarakat yang dapat diandalkan menjadi contoh (Situmorang, 1990: 27).

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja seorang pegawai negeri sipil adalah adalah tingkat pencapaian hasil kerja pegawai yang dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam kurun waktu tertentu yang diketahui melalui evaluasi prestasi kerja pegawai.

2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Davis dalam (Mangkunegara, 2006: 57) faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi dan merumuskan bahwa : Human performance = ability x motivation

Motivation = atitude x situation Ability = knowledge x skill a. Faktor kemampuan (ability)

Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan (IQ) dan kemampuan reality (knowledge-skill). Artinya, pemimpin dan pegawai yang memiliki IQ di atas rata-rata IQ 110-120 apalagi IQ superior, very superior, gilfed dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal.

(20)

b. Faktor motivasi (motivation)

Motivasi diartikan suatu sikap (atitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja (situation) dilingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif (kontra) terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang rendah.

Menurut Henry Simamora dalam (Mangkunegara, 2006: 14), kinerja (performence) akan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :

1. Faktor individual yang terdiri dari : kemampuan dan keahlian, latar belakang, demografi.

2. Faktor psikologis yang terdiri dari : persepsi, atitude, personality, pembelajaran, motivasi.

3. Faktor organisasi yang terdiri dari : sumber daya alam, kepemimpinan, penghargaan, struktur, job design.

Mitchel dalam (Sinambela, 2006: 140) berpendapat yang sama, bahwa kinerja yang baik akan dipengaruhi oleh dua hal yaitu tingkat kemampuan dan motivasi kerja yang baik. Kemampuan seseorang dipengaruhi pemahamannya atas jenis pekerjaan dan keterampilan melakukannya, oleh karena itu seseorang harus dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilannya. Selain itu kontribusi motivasi kerja terhadap kinerja tidaklah dapat diabaikan. Meskipun kemampuan pegawai sangat baik apabila motivasi kerjanya rendah, sudah tentu kerjanya juga akan rendah. Dengan demikian, Mitchel memformulasikan kinerja adalah fungsi dari kemampuan dan motivasi.

(21)

2.2.3 Indikator Kinerja

Analisis mengenai kinerja merupakan suatu penelitian terhadap suatu organisasi, bagaimana sasaran kerja, program-program atau tugas-tugas khusus yang telah dilakukan, diukur atau dievaluasi dengan menggunakan berbagai metode.

Pengukuran kinerja (Mahsum, 2006: 34) merupakan suatu aktivitas penilaian pencapaian target-target tertentu yang diderivasi dari tujuan strategis organisasi. Mahsun menjelaskan terdapat perbedaan pengukuran kinerja sektor publik dan sektor bisnis. Pengukuran kinerja pada sektor bisnis (organisasi yang berorientasi pada laba) lebih mudah dilakukan, jika dibandingkan dengan organisasi sektor publik (organisasi yang tidak berorientasi pada laba).

Pada organisasi bisnis, kinerja penyelenggaraannya dapat dilakukan dengan cara, misalnya tingkat laba yang berhasil diperolehnya. Pada organisasi sektor publik, pengukurannya keberhasilannya lebih kompleks, karena hal-hal yang dapat diukur lebih beraneka ragam, terkadang bersifat abstrak sehingga pengukurannya tidak dapat dilakukan dengan hanya menggunakan satu variabel saja.

Pengukuran kinerja bukanlah hasil akhir, melainkan merupakan alat agar keberhasilan manajemen alat agar dihasilkan manajemen yang efisien dan terjadi peningkatan kinerja. Hasil dari pengukuran kinerja akan memberi tahu kita apa yang telah terjadi, bukan mengapa hal itu terjadi atau apa yang harus dilakukan. Pengukuran kinerja (Mahsun, 2006: 35) menyediakan organisasi untuk menilai : 1. Bagaimana kemajuan atau sasaran yang telah ditetapkan.

(22)

2. Membantu dalam mengenali area-area kekuatan dan kelemahan. 3. Menentukan tindakan yang tepat untuk meningkatkan kinerja. 4. Menunjukkan bagaimana kegiatan mendukung tujuan organisasi. 5. Membantu dan membuat keputusan-keputusan dengan langkah inisiatif. 6. Meningkatkan produk-produk dan jasa-jasa kepada pelanggan.

Dharma dalam bukunya Managemen Supervisi (2003: 355) mengatakan hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. a. Protes kerja dan kondisi pekerjaan

b. Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan c. Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan

d. Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja 2. Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya).

a. Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan b. Tingkat kemampuan dalam bekerja

c. Kemampuan menganalisis data atau informasi , kemampuan menggunakan mesin atau peralatan.

d. Kemampuan mengevaluasi.

3. Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan. Aspek-aspek standar kinerja menurut Mangkunegara (2009: 18) terdiri aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif meliputi:

1. Proses kerja dan kondisi pekerjaan.

(23)

3. Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan. 4. Jumlah dan jenis dalam pemberian pekerjaan. Aspek kualitatif meliputi:

1. Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan. 2. Tingkat kemampuan dalam bekerja

3. Kemampuan menganalisis data atau informasi dan kemampuan menggunakan mesin atau peralatan.

4. Kemampuan mengevaluasi.

2.2.4 Tujuan Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari SDM organisasi. Secara lebih spesifik, tujuan dari evaluasi kinerja sebagaimana dikemukakan oleh Sunyoto dalam (Mangkunegara, 2006: 240) adalah :

1. Meningkatkan saling pengertian antar pegawai tentang persyaratan kinerja. Dalam melakukan penilaian atas kinerja para pegawai harus terdapat interaksi yang positif dan kontinu antara pemimpin dengan pegawai. Penilaian yang dilakukan pada serangkaian tolak ukur tertentu realistik, berkaitan langsung dengan tugas seorang pegawai serta kriteria yang ditetapkan dan yang diterapkan secara objektif sehingga pada gilirannya memuaskan bagi pegawai karena memperoleh perlakuan yang adil.

2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang pegawai.

Hal ini dilakukan agar pegawai termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu, sehingga

(24)

dapat dijadikan sebagai ukuran sejauh mana pegawai itu dapat menyelesaikan atau menjalankan pekerjaan.

3. Memberikan peluang kepada pegawai untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karier atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang. Dengan melakukan penilaian kinerja maka akan membantu organisasi dalam memberikan kesempatan bagi setiap pegawai dalam memaksimalkan potensinya. Memberikan bahan pertimbangan dalam merancang program pelatihan untuk mengatasi permasalahan yang akan muncul atau dalam rangka pengembangan pegawai yang dinilai memiliki potensi tetapi belum dikembangkan secara efektif.

4. Mendefenisikan dan merumuskan kembali sasaran masa depan sehingga pegawai termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya. Mengupayakan agar pegawai tidak cepat puas dengan apa yang telah mereka capai, artinya meskipun kinerjanya dimasa lalu dianggap sudah cukup memuaskan, perlu ditanamkan kesadaran bahwa kinerja yang memuaskan itu masih harus ditingkatkan. Apabila kinerja telah memuaskan maka pegawai akan termotivasi untuk berprestasi kedepannya.

5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai kebutuhan pelatihan, khusus secara diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika ada hal-hal yang perlu diubah. Dari analisa kinerja yang telah diperoleh maka akan membantu evaluasi kebutuhan pelatihan diri bagi para pegawai melalui berbagai audit keterampilan dan pengetahuan sehingga dapat mengembangkan kemampuan dirinya yang pada akhirnya dapat menghasilkan potensi pegawai mana yang berhak memperoleh promosi atau lainnya.

(25)

Penilaian ini berperan bagi pegawai sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan, dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana, dan pengembangan karirnya.

Tujuan penilaian kinerja akan tercapai dengan baik jika pegawai memahami dan menerima dengan baik tujuan yang ingin dicapai serta mereka mempunyai kemampuan melakukan tugas untuk mencapai tujuan tersebut. Seorang pegawai haruslah dapat memahami dan menerima tujuan organisasi, dengan pemahaman tersebut dia akan mengarahkan tenaga dan pikirannya sehingga tujuan yang ditetapkan organisasi dapat dicapai. Selain pemahaman dan penerimaan akan tujuan, tentu saja kemampuan pegawai melaksanakan tugasnya haruslah ditingkatkan (Sinambela, 2006: 141).

2.2.5 Sistem Penilaian Kinerja

Dalam melaksanakan pengukuran atau penilaian terhadap pelaksanaan kerja atau prestasi kerja dibutuhkan suatu sistem penilaian terhadap pelaksanaan kerja atau prestasi kerja dibutuhkan suatu sistem penilaian yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Wayne F.Cascio dan M.Awad dalam (Soeprihanto, 2000, 9) menyebutkan syarat-syarat dari penilaian kinerja pegawai adalah :

1. Relevance, berarti bahwa suatu sistem penilaian digunakan untuk mengukur hal-hal atau kegiatan-kegiatan yang ada hubungannya. Hubungan yang ada kesesuaian antara hasil pekerjaan dan tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu.

(26)

2. Acceptability, berarti hasil dari sistem penilaian tersebut dapat diterima dalam hubungannya dengan kesuksesan dari pelaksanaan pekerjaan dalam suatu organisasi.

3. Reliability, berarti hasil dari sistem penilaian tersebut dapat dipercaya (konsisten dan stabil), reliabilitas sistem penilaian dipengaruhi oleh waktu dan frekuensi penilaian. Dalam hubungannya dengan sistem penilaian, tingkat reliabilitas yang tinggi apabila dua penilai atau lebih terhadap pegawai yang sama memperoleh hasil nilai yang tingkatnya relatif sama.

4. Sensitivity, berarti sistem penilaian tersebut cukup peka dalam membedakan atau menunjukkan kegiatan yang berhasil/sukses, cukup ataupun gagal/jelek telah dilakukan oleh seorang pegawai.

5. Practicality, berarti bahwa sistem penilaian dapat mendukung secara langsung tercapainya tujuan organisasi perusahaan melalui peningkatan produktivitas para karyawan.

Berdasarkan persyaratan tersebut dilakukan penilaian kinerja pegawai. Setelah itu ditentukan kriteria keberhasilan yang meliputi : kuantitas, kualitas, dan waktu yang digunakan.

Robert Becal dalam (Tika, 2006: 124) menerangkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kinerja pegawai sebagai berikut :

1. Membuat pola pikir yang modern

Pimpinan harus menggunakan pola pikir modern dengan cara memberikan panutan dan mengoptimalkan komunikasi dua arah dengan pegawai. Selain itu, pimpinan harus mampu menemukan dan memanfaatkan pengetahuan, keahlian, dan pengalaman pegawai.

(27)

2. Kelola kinerja

Penilaian kinerja pegawai merupakan bagian kecil dari manajemen kerja. Hal yang terpenting adalah merencanakan kinerja dan mengomunikasikannya berdasarkan pengamatan dan pengumpulan data yang dimiliki termasuk rintangan-rintangan atau hambatan yang telah dan akan dihadapi.

3. Berfokus pada komunikasi

Komunikasi merupakan bagian paling penting untuk membangun relasi dan menumbuhkan motivasi antar pimpinan dengan pegawai, sehingga terbina suatu kerja sama yang harmonis.

4. Peninjauan kinerja

Peninjauan kinerja harus dipersiapkan secara detail dari sistem manajemen kinerja seperti deskripsi pekerjaan, tanggungjawab, rencana kinerja yang terlaksana berdasarkan dokumentasi yang ada dan terkait satu sama lain sehingga hasilnya dapat membangkitkan motivasi dan semangat kerja karyawan.

5. Kinerja dokumentasi

Dokumentasi setiap informasi tentang kinerja pegawai baik itu mengenai kinerja, catatan-catatan permasalahan kinerja maupun tindakan indisipliner yang dapat digunakan untuk bahan kajian dan perbaikan pegawai maupun pimpinan.

2.2.6 Manfaat Penilaian Kinerja

Pengalaman dari banyak organisasi pemerintahan maupun swasta menunjukkan sistem penilaian kinerja yang baik sangat bermanfaat untuk berbagai kepentingan (Siagian, 2004: 227) seperti :

(28)

1. Mendorong peningkatan kinerja yang terlibat dapat mengambil berbagai langkah yang diperlukan agar kinerja para pegawai lebih meningkat lagi dimasa-masa yang akan datang.

2. Sebagai bahan pengambilan keputusan dalam pemberian imbalan.

Keputusan tentang siapa yang berhak menerima imbalan berdasarkan penilaian atas kinerja pegawai.

3. Untuk kepentingan mutasi

Kinerja seseorang dimasa lalu merupakan dasar bagi pengambilan keputusan mutasi baginya dimasa yang akan datang, apapun bentuk mutasi tersebut seperti promosi, alih tugas, alih wilayah, ataupun demosi.

2.3 Defenisi Konsep

Suatu konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi dan hal-hal lain yang sejenis. Konsep diciptakan dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009: 112).

Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian adalah :

a. Hubungan adalah kesinambungan interaksi antara dua faktor atau lebih yang memudahkan proses pengenalan/interaksi satu dengan yang lain.

(29)

b. Motivasi adalah daya dorong yang ada pada pegawai baik dorongan internal yaitu kepuasan (hierarki kebutuhan Maslow) maupun dorongan eksternal yaitu proses (penguatan dan modifikasi perilaku) yang menyebabkan seseorang melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu.

c. Kinerja pegawai adalah tingkat pencapaian hasil kerja pegawai yang dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam kurun waktu tertentu yang diketahui melalui evaluasi prestasi kerja pegawai.

2.4 Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan defenisi yang menyatakan seperangkat petunjuk atau kriteria atau operasi yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamati dengan memiliki rujukan-rujukan empiris (Silalahi, 2009: 120).

Adapun defenisi operasional dalam penelitian ini adalah :

Variabel bebas (x1) yaitu motivasi kepuasan (hierarki kebutuhan Maslow) yang diukur dengan indikator berupa :

1. Kebutuhan-kebutuhan fisiologikal a. Kebutuhan sandang terpenuhi. b. Kebutuhan pangan terpenuhi. c. Kebutuhan papan terpenuhi.

2. Kebutuhan akan keamanan

a. Situasi dan kondisi yang kondusif di tempat kerja. b. Mendapatkan kepastian ekonomi.

(30)

3. Kebutuhan-kebutuhan sosial a. Memiliki rekan kerja yang baik

b. Dapat bekerja sama dengan rekan kerja

c. Keberadaan seorang pegawai diterima oleh rekan-rekannya d. Ingin berbagi dan menerima sikap berkawan dengan rekan kerja 4. Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan

a. Penghargaan/apresiasi terhadap prestasi kerja b. Mendapat pengakuan dari rekan kerja atas hasil kerja 5. Kebutuhan untuk merealisasikan diri (aktualisasi)

Memiliki kesempatan memperoleh pendidikan baik di dalam maupun di luar organisasi.

Variabel bebas (x2) yaitu motivasi proses (penguatan dan modifikasi perilaku) yang diukur dengan indikator berupa :

1. Tingkah laku pegawai diperhatikan oleh atasan.

2. Mengetahui batas-batas perilaku (peraturan) yang diperkenankan saat bekerja. 3. Mengetahui keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan.

4. Fasilitas kantor yang memadai

5. Mendapat pengakuan dari rekan kerja atas hasil kerja

6. Tingkah laku positif mendapat pujian dari atasan atau rekan kerja. 7. Tingkah laku negatif mendapat teguran atau sanksi dari atasan. 8. Konsekuensi pofitif cenderung diulangi.

9. Konsekuensi negatif tidak diulangi dan diperbaiki. 10. Kenaikan pangkat memberi motivasi.

(31)

12. Memiliki kesempatan memperoleh pendidikan baik di dalam maupun di luar organisasi.

Variabel terikat (y) yaitu kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diukur dengan indikator berupa :

1. Kuantitas,yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. 2. Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya).

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, PARA PIHAK sepakat untuk mengikatkan diri dalam Kesepakatan Bersama tentang Kerja Sama Pengawasan Obat dan Makanan, dengan ketentuan

banyak dipengaruhi oleh pengalaman panjang yang telah dilaluinya.. 9 Disamping itu, kemampuan sosial guru, khususnya dalam berinteraksi dengan peserta didik merupakan suatu hal

Pengawasan persediaan dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan untuk menentukan tingkat dan komposisi dari persediaan parts, bahan baku dan barang hasil/produk sehingga perusahaan

Pendapat apapun yang disampaikan dalam laporan ini adalah untuk tujuan informasi saja dan dapat berubah tanpa pemberitahuan dan mungkin berbeda atau bertentangan dengan pendapat

Di njau dari manajemen satuan pendidikan, maka penyusunan model inspirasi diversifi kasi kurikulum esensi dan muaranya adalah terwujudnya Kurikulum ngkat satuan

(3) Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Kepala Dinas tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

Rencana Strategis tahun 2015-2019 disusun untuk memenuhi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang sekaligus sebagai dokumen perencanaan 5 (lima) tahunan

Model Stimulasi Kecerdasan Visual Spasial Dan Kecerdasan Kinestetik Anak Usia Dini Melalui Metode Kindergarten Watching Siaga Bencana Gempa Bumi Di Paud