• Tidak ada hasil yang ditemukan

509

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "509"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)

509

MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Oleh.

Wildan Nurul Fajar Abstract

Mental Revolution is seen as a transformation of the ethos, which is a fundamental change in mentality, how to think, how to feel and how to trust, all manifested in the behavior and everyday actions. This ethos involves all areas of life ranging from economics, politics, arts, social cultures, sciences-technology, religions, and other aspects in life of the nation and the state.

Education is the primary vehicle to begin the mental revolution because that is taught in the educational process is culture, while education is a process of acculturation. Mental revolution can be a strategy of education in schools. Step operations through cultural finesse form ethos citizen (citizenship). So, early on Indonesia's young generation needs to undergo a process of making pedagogical ethos citizens can be internalized within every citizen of Indonesia. The cornerstone of Indonesian nationality is citizenship. Therefore, citizenship education is a major requirement in implementing the Mental Revolution especially where there is civic virtue that can establish an individual's identity through citizenship.

Keywords : Mental Revolution, Civic Education Pendahuluan

Indonesia telah menorehkan prestasi dalam sejarah dunia karena keberhasilannya menjadikan reformasi sebagai penghantar kebebasan politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya. Dalam reformasi yang dibangun tampak begitu banyak keberhasilan yang diperoleh. Namun menurut Joko Widodo (Sinamo-ed, 2014:4) reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Reformasi yang terjadi dianggap belum menyentuh perubahan paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Reformasi menurut Budimansyah dan Suryadi (2008:84) seharusnya dapat mendorong perubahan mental para pemimpin dan rakyatnya, untuk dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan, dan persaudaraan tidak dapat tercapai dengan baik. Pantas saja jika dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara masih banyak ditemukan sikap mental yang berbenturan dengan kepribadian bangsa Indonesia berupa banyaknya praktik korupsi yang akhirnya menjadikan Indonesia menempati peringkat ke 114 dunia dari 177 negara sebagai Negara terkorup berdasarkan hasil riset Transparency International (TI) pada tahun 2014. Selain itu persoalan masyarakat sekarang yang cenderung mudah marah-marah dan anarkis ketika kepentingannya dilanggar oleh kepentingan lain. Hujat menghujat dengan makian kasar dalam sosial media semakin tak terkontrol. Mudahnya isu SARA digosok dan menimbulkan gesekan antar kelompok. Main hakim sendiri seperti yang dalam waktu dekat kemarin terjadi, dengan dibakarnya pelaku begal yang seolah telah mengabaikan

(14)

510

hukum. Dan masih banyak kejadian lain yang menggambarkan wajah Indonesia sekarang dan sekaligus menjadi bukti sedemikian buruknya mental masyarakat Indonesia.

Mental masyarakat seperti ini sebetulnya merupakan warisan dari revolusi perjuangan yang dialami Bangsa Indonesia melawan penjajah. Seperti yang disampaikan oleh Koentjaraningrat (2004: 43-45) bahwa revolusi bangsa Indonesia telah membawa akibat-akibat post-revolusi berupa kerusakan-kerusakan yang bukan hanya fisik, tetapi juga mental berupa sifat mental yang meremehkan mutu, sifat mental yang suka menerabas, sifat tak percaya terhadap diri sendiri; sifat tak berdisiplin murni dan sifat mental yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Mentalitas bangsa seperti ini pun disampaikan oleh Bung Karno bahwa Indonesia adalah bangsa besar, tetapi sering kali memberi nilai terlalu rendah pada bangsanya alias bermental kecil, sampai dengan saat ini masih belum terbebas dari bangsa Indonesia sebagai kaum terjajah yang sering mengidap perasaan rendah diri. Hal ini disadari oleh Bung Karno sebagai akibat penjajahan dan feodalisme selama ratusan tahun, terbentuklah karakter rakyat yang disebut ”abdikrat”. Akibatnya, terbentuklah mentalitas yang penuh perasaan tak berdaya dan tidak memiliki kepercayaan diri. Memasuki alam kemerdekaan, Bung Karno menyerukan agar watak demikian harus dikikis habis. Rakyat harus berjiwa merdeka dan berani berkata ”ini dadaku, mana dadamu”, berani mandiri dan menghargai diri sendiri.

Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, menurut Joko Widodo Bangsa Indonesia perlu melakukan revolusi mental karena menurutnya nation building tidak mungkin maju jika hanya mengandalkan perombakan institusional. Perlu adanya perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Lebih lanjut menurutnya bangsa Indonesia sudah saatnya melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental yang dapat menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.

Menurut Yudi Latif (Sinamo-ed, 2014:23) wahana utama yang dapat digunakan dalam pelaksanaan revolusi mental adalah dunia pendidikan. Proses pendidikan sejak dini baik secara formal, non formal maupun informal menjadi tumpuan utuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan mental-karakter yang sehat dan kuat. Untuk itu, perlu ada reorientasi dalam dunia pendidikan dengan menempatkan proses kebudayaan (olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga) di jantung kurikulum. Pendidikan dan kebudayaan harus dipandang sebagai proses kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari keping uang yang sama. Bung Hatta secara tepat menyatakan bahwa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan.

Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang hidup di negara ini. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang oleh Joko Widodo disebut sebagai salah satu bagian dari program revolusi mental, memiliki tuntutan yang besar dalam pembangunan manusia yang cerdas dan berkepribadian menuju masyarakat berkepribadian.

(15)

511

Memahami Revolusi Mental

Istilah Revolusi Mental banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi baik di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme maupun (Zen) Buddhisme. Bahkan Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956 (Karlina Supelli, 2014).

Istilah revolusi sering dimaknai sebagai perubahan cepat dalam ranah sosial-politik dengan konotasi kekerasan radikal menyertainya. Revolusi pun oleh Dahana (Sinamo-ed, 2014:56) diartikan sebagai perubahan yang berangsur dan tetap. Menurut Yudi Latif (Sinamo-ed, 2014:18-19), secara denotatif, revolusi berarti "kembali lagi" atau "berulang kembali"; ibarat musim yang terus berganti secara siklikal untuk kembali ke musim semula. Maka, dalam sains, istilah revolusi mengimplikasikan suatu ketetapan dalam perubahan, artinya ada pengulangan secara terus-menerus yang menjadikan akhir sekaligus awal. Namun lambat laun pengertian istilah revolusi mengalami pergeseran. Revolusi diartikan sebagai suatu perubahan struktur mental dan keyakinan karena introduksi gagasan dan tatanan baru yang membedakan dirinya dari gagasan dan tatanan masa lalu (Cohen, 1985).

Pengertian revolusi seperti itulah yang kemudian diadopsi oleh wacana dan gerakan sosial-politik. Penggunaan istilah revolusi dalam bidang politik memperoleh popularitasnya menyusul Revolusi Amerika (1776) dan terlebih setelah Revolusi Perancis (1789). Pengertian revolusi dalam politik awalnya mengandung konotasi yang ramah, hingga Revolusi Perancis berubah jadi ekstrem terlebih dengan menguatnya gerakan komunis internasional dengan agenda revolusi berskala dunia yang mengandung ekspresi kekerasan terkait dengan perubahan cepat.

Pada dasarnya elemen esensial dari suatu revolusi bukanlah kekerasan dan perubahan cepat. Revolusi tidak mesti dengan jalan kekerasan. Pada 1986, Peter L Berger memublikasikan buku The Capitalist Revolution yang menunjukkan suatu bentuk revolusi nirkekerasan. Revolusi pun bisa ditempuh secara cepat atau lambat. Revolusi industri di Eropa ditempuh dalam puluhan, bahkan ratusan tahun. Yang esensial dalam suatu revolusi adalah ”kebaruan”. Hannah Arendt (1965) mengingatkan bahwa ”Konsep modern tentang revolusi terkait dengan pengertian bahwa jalannya sejarah seketika memulai hal baru. Revolusi mengimplikasikan suatu kisah baru, kisah yang tidak pernah diketahui atau diceritakan sebelumnya”. Revolusi menjadi jembatan yang mentransformasikan dunia lama jadi dunia baru.

Dari pernyataan diatas dapat dipetik kesimpulan bahwa revolusi sejati yang berdampak besar dalam transformasi kehidupan harus mengandung kebaruan dalam struktur mental dan keyakinan. Dengan kata lain, revolusi sejati meniscayakan perubahan mentalitas pola pikir dan sikap kejiwaan yang lebih kondusif bagi perbaikan kehidupan.

Karlina Supelli (2014) mengartikan istilah ‘mental’ sebagai nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup, misalnya: ‘mentalitas zaman’. Di dalam cara hidup ada cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan bahwa ‘mental’ hanyalah urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan ciri fisik benda-benda dunia. Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan dan

(16)

512

mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mental pun dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental, yaitu kemampuan untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).

Kekeliruan memahami pengertian mental membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal-soal struktural ekonomi, politik, dan sebagainya. Padahal kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik. Hubungan integral antara “mental pelaku” dan “struktur sosial” terjembatani dengan memahami ‘kebudayaan’ (culture) sebagai pola cara berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari (practices, habits). Di dunia nyata tidak ada pemisahan antara ‘struktur’ sebagai kondisi material/fisik/sosial dan ‘kebudayaan’ sebagai proses mental. Keduanya saling terkait secara integral. Contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang kita peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme sebagai gejala budaya lahir dari perubahan struktur lingkungan yang memaksakan hasrat tertentu agar menjadi kebiasaan sosial. Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan benda bermerek luar negeri.

Lebih lanjut dikatakan oleh Karlina Supelli bahwa Revolusi Mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan berisi haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan hidup berbangsa. Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode evaluasinya. Tetapi karena ‘kebudayaan’ juga menyangkut cara kita berpikir, merasa dan bertindak, ‘revolusi mental’ tidak bisa tidak mengarah ke transformasi besar yang menyangkut corak cara-berpikir, cara-merasa dan cara-bertindak kita itu. Kebudayaan hanya dapat “distrategikan” sungguh memberi perhatian pada lapis kebudayaan tersebut. Karena itu, kunci bagi ‘Revolusi Mental’ sebagai strategi kebudayaan adalah menempatkan arti dan pengertian kebudayaan ke tataran praktek hidup sehari-hari. Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’, kebudayaan mesti dipahami bukan sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak/pola cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap jika kita dalam tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari. Hanya dengan itu ‘Revolusi Mental’ memang akan menjadi wahana melahirkan Indonesia baru.

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Bagian dari Gerakan Revolusi Mental Apa yang mau dibidik oleh ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dan sebagainya. Begitu banyak lingkupnya sehingga mentalitas bangsa seperti yang terungkap dalam praktik ataupun kebiasaan sehari-hari lambat-laun akan berubah. Pengorganisasian,

(17)

513

(Karlina Supelli, 2014).

Tujuan revolusi mental menurut Joko Widodo (2014) adalah untuk pembangunan manusia dan pembangunan sosial, yang meliputi sasaran sebagai berikut:

1. Tiga dimensi dalam pembangunan manusia: a. Sehat fisik

b. Cerdas otak

c. Kehendak berbudi pekerti luhur 2. Dampak penyakit emosi/mental dan jiwa:

a. Individu: bebal, malas, tidak berkarakter

b. Masyarakat: kecemburuan sosial, ketimpangan sosial, gangguan ketertiban, keamanan, dan kenyamanan

c. Negara dan bangsa: produktifitas dan daya saing rendah, lemah, tidak bermartabat,

3. Menuju manusia Indonesia berkepribadian: a. Pendidikan kewarganegaraan

b. Pendidikan berbudi pekerti luhur c. Pendidikan demokrasi dan sadar hukum

Pendidikan lewat sekolah merupakan lokus untuk memulai revolusi mental. Revolusi mental dapat dimasukkan ke dalam strategi pendidikan di sekolah. Langkah operasionalnya ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk etos warga negara (citizenship). Maka, sejak dini anak-anak sekolah perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga negara ini dapat diinternalisasi dalam diri warga Negara Indonesia. Karena landasan kebangsaan Indonesia adalah kewarganegaraan, maka pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan besar dalam menjalankan Revolusi Mental.

Elemen Pendidikan kewarganegaraan yang paling sentral dan sangat perlu untuk dapat dikembangkan kaitannya dengan Revolusi Mental adalah civic virtue, karena pada dasarnya civic virtue dapat membentuk identitas individu melalui kewarganegaraan. Yang dimaksud dengan civic virtue adalah kepercayaan berupa kebajikan warga Negara (Winataputra, 2007: 31). Menurut Quigley (Winataputra & Budimansyah, 2012: 234) adalah ……the willingness of the citizen to set aside private interests and personal concerns for the sake of the common qood yaitu kemauan dari warga Negara untuk menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi.

Suatu kebajikan (virtue) individu bukanlah suatu karakteristik seseorang tetapi merupakan suatu kualitas publik yang harus disesuaikan dengan ide-ide dan standar-standar yang tertulis dalam undang-undang dan adat istiadat dari masyarakat secara keseluruhan. Civic virtue juga berarti melibatkan komunitas dan masyarakat di mana seorang warganegara atau wargakota menjadi bagian dari komunitas dan masyarakat itu, sehingga apa yang dilakukan seorang warganegara atau warga kota menunjukkan seberapa baik civic virtue yang ia lakukan. Ungkapan yang terkenal mengenai civic virtue diucapkan oleh Presiden Amerika Serikat, John Fitzgerald Kennedy, bahwa: “Ask not what your country can do for you, but what you can do for your country.” Civic virtue merupakan domain psikososial individu yang secara substantif memiliki dua unsur, yaitu civic dispositions dan civic commitments. Sebagaimana dirumuskan oleh Quigley (Winataputra & Budimansyah, 2012: 235) yang dimaksud dengan civic

(18)

514

dispositions adalah ... those attitudes and habit of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good of the democratic system atau sikap dan kebiasaan berpikir warganegara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi.

Secara konseptual civic dispositions menurut Quigley (Winataputra & Budimansyah, 2012: 235) meliputi sejumlah karakteristik kepribadian, yakni civility atau keadaban (hormat pada orang lain dan partisipatif dalam kehidupan masyarakat), individual responsibility atau tanggung jawab individual, self-discipline atau disiplin diri, civic-mindednes atau kepekaan terhadap masalah kewargaan, open-mindedness (terbuka, skeptis, mengenal ambiguitas), compromise (prinsip konflik dan batas-batas kompromi), toleration of diversity atau toleransi atas keberagaman, patience and persistence atau kesabaran dan ketaatan, compassion atau keterharuan, generosity atau kemurahan hati, and loyalty to the nation and its priciples atau kesetiaan pada bangsa dan segala aturannya. Kesemua itu, yakni keadaban yang mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggungjawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsip-prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi pada keragaaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya merupakan karakter intrinsik, dari sikap warganegara.

Sedangkan unsur kedua adalah civic commitments yaitu ...the freely-given, reasoned committments of the citizen to the fundamental values and principles of constitusional democracy atau komitmen warganegara yang bernalar dan diterima dengan sadar terhadap nilai dan prinsip demokrasi konstitusional.

Secara konseptual civic commitments adalah kesediaan warga negara untuk mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai fundamental demokrasi konstitusional, yang meliputi kedaulatan rakyat, pemerintahan konstitusional, prinsip negara hukum, hak minoritas, kepentingan umum, hak-hak individual yang mencakup hak-hak hidup, hak-hak kebebasan (pribadi, politik, ekonomi, dan kebahagiaan), keadilan, persamaan (dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi), kebhinekaan, kebenaran, dan cinta tanah air.

Dalam konteks Revolusi mental melalui pendidikan kewarganegaraan, menurut Karlina Supelli (2014) ada beberapa pertanyaan penting yang harus diperhatikan, yaitu pertama keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang harus dipelajari oleh siswa agar menjadi warga negara yang baik, dan kedua sebagai infrastuktur kultural, keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang perlu dipelajari siswa untuk “menemukan kembali” Indonesia yang dicita-citakan bersama.

Sebagai contoh, jika gagasan yang ingin dikembangkan adalah Indonesia yang bebas korupsi, maka sasaran pendidikan diarahkan pada kejujuran. Jika yang ingin dikembangkan adalah kebhinekaan, maka sasaran pendidikannya diarahkan pada pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku/etnis, dan keragaman lainnya. Lain halnya jika kepemimpinan yang menjadi sasarannya, maka yang dikembangkan adalah tanggungjawab.

(19)

515

sekarang, namun PKn yang diusung dalam gerakan Revolusi Mental harus memusatkan perhatian pada perubahan kebiasaan sehari-hari yang mempunyai dampak kebaikan publik. Revolusi yang dilakukan ditekankan pada cara mendidik. Proses pendidikan harus mengarah pada corak kebiasaan bertindak. Maksudnya, pendidikan diarahkan ke transformasi dari pengetahuan diskursif (discursive knowledge) ke pengetahuan praktis (practical knowledge). Pengetahuan diskursif tentu sangat dibutuhkan dalam mengawal secara kritis kehidupan berbangsa-bernegara. Dalam pencanangan Revolusi Mental, yang paling dibutuhkan adalah pengetahuan praktis yaitu transformasi pada tataran kebiasaan bertindak sehari-hari para warga negara dalam lingkup dan skala yang luas yaitu bangsa dan Negara Indonesia.

Keutamaan (virtue) adalah pengetahuan praktis. Artinya bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dalam pembangunan Revolusi Mental adalah membuat bagaimana kejujuran dan keutamaan lain-lainnya itu menjadi suatu disposisi batin ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret. Ketika berhadapan dengan kesulitan saat ulangan, misalnya, siswa tidak lagi berpikir apakah akan mencontek atau tidak, karena kejujuran sudah menjadi kebiasaan, sudah menjadi habit dan menjadi bagian dalam dirinya.

Pendidikan di sekolah termasuk didalamnya melalui Pendidikan Kewarganegaraan hanyalah bagian saja dari proses pendidikan warga negara. Jika Revolusi Mental menjadi gerakan masyarakat berskala nasional, maka gerakan itu mencakup masyarakat bangsa agar perilaku sosial setiap individu menjadikan keutamaan warga negara sebagai kebiasaan.

Jika pada awal Reformasi kita banyak membicarakan civil society, maka inilah arti civil society yang sebenarnya: civil society adalah gerakan para warga negara (citizens) untuk melaksanakan transformasi secara berkelanjutan bagi pemberadaban hidup bersama yang bernama Indonesia (Karlina Supelli, 2014).

Simpulan

Revolusi Mental dipandang sebagai transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, seni, sosial budaya, sains-teknologi, agama, dan seluruh aspek lainnya dalam kehidupan bangsa dan negara. Pendidikan merupakan wahana utama untuk memulai revolusi mental karena yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan.

Revolusi mental dapat dimasukkan ke dalam strategi pendidikan di sekolah. Langkah operasionalnya ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk etos warga negara (citizenship). Maka, sejak dini generasi muda Indonesia perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga negara ini dapat diinternalisasi dalam diri setiap warga negara Indonesia.

Landasan kebangsaan Indonesia adalah kewarganegaraan. Karena itu, pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan besar dalam menjalankan Revolusi Mental terlebih

(20)

516

di dalamnya terdapat civic virtue yang dapat membentuk identitas individu melalui kewarganegaraan. Dalam konteks Revolusi mental melalui pendidikan kewarganegaraan ada beberapa pertanyaan penting yang harus diperhatikan, yaitu pertama keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang harus dipelajari oleh siswa agar menjadi warga negara yang baik, dan kedua sebagai infrastuktur kultural, keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang perlu dipelajari siswa untuk “menemukan kembali” Indonesia yang dicita-citakan bersama.

Daftar Rujukan

Budimansyah, D & Karim S 2008, PKn dan Masyarakat Multikultural, Prodi PKn SPs UPI, Bandung.

Koentjaraningrat, 2004, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sinamo, J, 2014, Revolusi Mental: Dalam Institusi, Birokrasi, dan Korporasi, Institute Darma Mahardika, Jakarta.

Supelli, K, 2014, ‘Mengartikan Revolusi Mental’, diakses 3 Maret 2015, http://www.megawatiinstitute.org/megawati-institut/artikel/211 mengartikan- revolusi-mental.html

Wahab, AA & Sapria 2011, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, Alfabeta, Bandung.

Winataputra, US & Budimansyah 2012, Pendidikan Kewarganegaraan dalam Persfektif Internasional: Konteks, Teori, dan Profil Pembelajaran, Widya Aksara Press, Bandung.

____ 2007, Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas, Prodi PKn SPs UPI, Bandung.

Sumber Internet:

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu metode yang dapat merangsang anak didik dan Guruuntuk berdisiplin dalam belajarnya dalam kelas maupun luar kelas dengan metode Peran Guru Bimbingan Konseling Dalam

Your manuscript titled "The Impact of Foreign Workers on The Manufacturing Output, Employment and Wages in Malaysia" has been received by the Editorial Office of Journal

Dari hasil pengolahan data, maka dapat disimpulkan bahwa analisis kecerdasan naturalis pada anak usia 5-6 tahun dengan nilai rata-rata 72,39 dengan kategori

Metode analisis menggunakan uji korelasi untuk melihat hubungan positif yang signifikan antara self-regulated learning dengan prestasi belajar matematika pada siswa SMA

Analisis standar belanja (ASB) adalah suatu penilaian tentang kewajaran atas beban kerja dan biaya yang dialokasikan untuk melaksanakan suatu kegiatan.Penilaian

Edutown BSD City, Kavling Edu I No.1 Telp.. MT Haryono 908 Tempel Foto

The early history of clus- tering methodology does not contain many examples of clustering algo- rithms designed to work with large data sets, but the advent of data min- ing

Kepada Jemaat yang baru pertama kali mengikuti ibadah dalam Persekutuan GPIB Jemaat “Immanuel” Depok dan memerlukan pelayanan khusus, dapat menghubungi Presbiter yang