• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru.pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru.pada"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Tuberkulosis Paru 2.1.1. Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru.Pada waktu penderita batuk butir-butir air ludah berterbangan diudara dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk kedalam paru-parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru (Hiswani, 2004).

2.1.2. Etiologi

Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks Mycobacterium tuberculosis.Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales.KompleksMycobacterium tuberculosis meliputi M. tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M. Microti, dan M. Canettii.Dari beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosis merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai.

Sebagaimana telah diketahui, TB Paru disebabkan oleh basil TB (Mycobacterium tuberculosis humanis).Beberapa hal yang prinsip adalah (Danusantoso, 2000):

(2)

a. M. tuberculosis termasuk familie Mycobacteripaceae yang mempunyai berbagai genus satu di antaranya adalah mycobacterium, yang salah satu spesiesnya adalah M. tuberculosis.

b. M. tuberculosis yang paling berbahaya bagi manusia adalah type humanis (kemungkinan infeksi type bovinus saat ini dapat diabaikan, setelah higiene peternakan makin ditingkatkan).

c. Basil TB mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Oleh karena itu, kuman ini disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).

d. Karena sebetulnya Mycobacterium pada umumnya tahan asam, secara teoritis BTA belum tentu identik dengan basil TB. Tetapi karena dalam keadaan normal penyakit paru yang disebabkan oleh Mycobacteriumlain (M. Atipik) jarang sekali ditemukan, dalam praktek BTA dianggap identik dengan basil TB. Di negara dengan prevalensi AIDS/infeksi HIV yang tinggi, penyakit paru yang disebabkan M. Atipik (=Mycobacteriosis) makin sering ditemukan, sehingga dalam kondisi seperti ini, perlu sekali diwaspadai bahwa BTA belum tentu harus identik dengan basil TB. Malahan mungkin saja BTA yang ditemukan adalah Mycobacterium Atipik yang menjadi penyebab Mycobacteriosis. e. Kalau untuk bakteri-bakteri lain hanya diperlukan beberapa menit sampai

20 menit untuk mitosis, basil TB memerlukan waktu 12 sampai 24 jam. Hal ini memungkinkan pemberian obat secara intermiten (2-3 hari sekali).

(3)

f. Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa menit saja akan mati. Ternyata kerentanan ini terutama terhadap gelombang cahaya ultraviolet. Basil TB juga rentan terhadap panas-basah sehingga dalam 2 menit saja basil TB yang berada dalam lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100ºC. Basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alkohol 70% atau lisol 5%.

2.1.3. Patogenesis

Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit.Kebanyakan infeksi TB terjadi pada udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama bagi jenis bovin, yang penyebarannya melalui susu yang terkontaminasi (Sylvia, 2006).

a. Tuberkulosis Primer

Tuberkulosis primer adalah keradangan paru yang disebabkan oleh basil tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap basil tersebut. Pada seseorang yang belum pernah terinfeksi basil TB, tes tuberkulin akan negatif karena sistem imunitas seluler belum mengenal basil TB. Bila orang tersebut mengalami infeksi oleh basil TB, walaupun segera difagositosis oleh makrofag, basil TB

(4)

basil TB ini lalu dapat berkembang biak secara leluasa dalam 2 minggu pertama di alveoulus paru, dengan kecepatan 1 basil menjadi 2 basil setiap 20 jam, sehingga pada infeksi oleh 1 basil saja, setelah 2 minggu akan bertambah menjadi 100.000 basil (Danusantoso, 2000).

b. Tuberkulosis Sekunder

TB sekunder ialah penyakit TB yang baru timbul setelah lewat dari 5 tahun sejak terjadinya infeksi primer. Dengan demikian, saat ini apa yang di sedut TB post-primer, secara internasional diberi nama baru TB sekunder. Patogenesisnya mencakup dua jalur (Danusantoso, 2000).

Bila karena sebab-sebab tertentu sistem pertahanan tubuh (dalam hal ini sistem imunitas seluler) melemah, basil-basil TB yang sedang ”tidur” dapat aktif kembali. Proses ini disebut reinfeksi endogen.

Dapat pula terjadi super infeksi basil-basil TB baru dari luar. Terutama di negara-negara dengan prevalensi TB yang masih tinggi, kemungkinan ini tidak boleh diabaikan. Cara infeksi dengan basil-basil baru ini disebut reinfeksi eksogen.

2.1.4. Epidemiologi Tuberkulosis

Wilayah epidemiologi TB di dunia di bagi menjadi delapan, yang terdiri dari negara Afrika dengan pravelensi HIV tinggi,

(5)

negara-negara Afrika dengan prevalensi HIV rendah, negara-negara-negara-negara Amerika Latin, wilayah Amerika, wilayah Eropa Timur, wilayah Mediterenia Timur, wilayah Asia Tenggara, wilayah Pasifik Timur, serta wilayah Eropa Tengah (Wahyu, 2008).

WHO tahun 2001 mengungkapkan terdapat sekitar 3,8 juta kasus baru TB di seluruh dunia, dan 90% di antaranya berada di Negara berkembang. Penyakit infeksi ini pun diperkirakan telah merengut nyawa 1,8 juta jiwa di seluruh dunia pada tahun 2000. Sedangkan menurut Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHOjumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk (PDPI, 2002).

Fakta TB di Indonesia sampai saat ini seperempat juta kasus dan 140.000 kematian terjadi setiap tahun, dan TB di Indonesia sebagai pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia. Pada tahun 2010, peringkat penderita TB di Indonesia turun ke urutan 5 di dunia setelah hampir 10 tahun lamanya menempati urutan ke-3 di dunia

(6)

Laporan situasi terkini perkembangan TB di Indonesia 2011, bahwa pada tahun 2005-2010 angka penemuan pasien TB Paru BTA positf mempunya range 67,7-78,3%. Meskipun secara umum CDR telah menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, namun CDR per provinsi menunjukkan bahwa pada tahun 2010 hanya terdapat 8 provinsi yang mencapai target 70% yaitu Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Gorontalo, Maluku, Banten, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Sulawesi Tenggara, dengan demikian 25 provinsi masih di bawah target nasional. Sedangkan angka penjaringan suspek secara umum menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun secara signifikan, meskipun tahun 2007 terjadi penurunan sebesar 82/100.000 penduduk dibandingkan tahun 2006 dan 2009 terjadi penurunan 7/100.000 penduduk dibandingkan tahun 2008, sedangkan tahun 2010 terjadi peningkatan 57/100.000 penduduk (Ditjen PP&PL, 2011).

2.2. Tinjauan Umum Penularan TB Paru

Penularan penyakit TB adalah melalui udara yang tercemar oleh Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan atau dikeluarkan oleh penderita.Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif.Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan, kuman

(7)

TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantarannya gizi buruk atau HIV/AIDS.

Risiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan kualitas paparan dengan sumber infeksi dan tidak berhubungan dengan faktor genetik dan faktor pejamu lainnya. Risiko tertinggi berkembangnya penyakit yaitu pada anak berusia di bawah 3 tahun, risiko rendah pada masa kanak-kanak, dan meningkat lagi pada masa remaja, dewasa mudah, dan usia lanjut. Setiap BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular TB adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat / kontak serumah akan dua kali lebih berisiko dibanding kontak biasa / tidak serumah. (Widoyono, 2008).

(8)

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TBdi masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat (Depkes, 2007).

Strategi penemuan penderita TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita.Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi aktif). Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB , terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala yang sama, harus diperiksa dahaknya, serta penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.

Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian.Semua

(9)

tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu : sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).

2.4. Tinjauan Umum Gejala TB Paru

Penyakit TB paling sering menyerang organ paru, tetapi sebagian kecil dapat menyerang orang-orang lain, misalnya otak, tulang, kelenjar getah bening, kulit, usus, mata, telinga dan lain-lain. Gejala dan tanda yang muncul tergantung organ mana yang terkena (Hudoyo, 2008).

Gejala utama pasien TB Paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

Beberapa gejala di atas dapat pula dijumpai pada penyakit paru selain TB seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu melakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes, 2007).

Dengan strategi DOTS, gejala utamanya adalah batuk berdahak dan atau terus menerus selama 3 minggu atau lebih.Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai suspek (Widoyono, 2008).

(10)

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Tuberkulosis

1. Umur

Menurut Gary D. Friedman (1986) pada tahun 1930 bentuk kurve menjadi pusat perhatian tenaga kesehatan dimana masyarakat pada saat itu menunjukkan kenaikan angka mortalitas karena tuberkulosis pada usia dewasa dan angka mortalitas ini mencapai tingkat maksimal untuk mereka yang berumur antara 50 dan 60 tahun. Kerentanan terhadap kematian akibat tuberkulosis ini dengan pola umur yang baru ini diperkirakan mungkin terjadi karena banyak orang yang tidak terinfeksi dan tidak memperoleh kekebalan waktu usia mudanya.Faktor umur berkaitan dengan daya tahan tubuh seseorang dan aktifitas seseorang,pada usia lanjut lebih rentan terhadap suatu penyakit karena daya tahan tubuh yang makin berkurang.

2. Jenis Kelamin

Menurut Depkes RI (2007) di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita tuberkulosis paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita tuberkulosis paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita tuberkulosis paru pada

(11)

wanita menurun 0,7%. Tuberkulosis paru Iebih banyak terjadi pada laki-lakidibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya tuberkulosis paru

3. Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya tuberkulosis paru.

4. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit tuberkulosis paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi

5. Perilaku Merokok

Faktor perilaku yang tidak sehat yang meningkatkan terjadinya resiko penularan penyakit tuberkolusis adalah perilaku merokok dan perilaku penderita dari sisi tingkah laku misalnya meludah di sembarang tempat

(12)

(tidak ada tempat khusus) dan juga perilaku penderita dalam pengobatan penyakit).

Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.

Menurut Muhammad Amin (1996) bahwa tembakau yang terbakar akan menghasilkan hampir 4000 komponen berbahaya dimana terdiri dari komponen gas dan partikel. Kebiasaan merokok akan berpengaruh terhadap kualitas udara di lingkungan perumahan, dimana akan menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas karena berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab infeksi.

6. Faktor lama kontak dengan penderita tuberkulosis paru

Lamanya seseorang kontak dengan penderita tuberkulosis paru sangat berpengaruh terhadap terjadinya penularan tuberkolusis apalagi dengan didukung oleh faktor-faktor lain seperti perilaku, lingkungan maka hal tersebut akan mempercepat terjadinya penularan.Menurut Depkes RI (2007) bahwa risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien tuberkulosis paru dengan BTA negatif. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan

(13)

lamanya menghirup udara tersebut.Menurut James Chin (2007) risiko terinfeksi dengan basil Mycobacteriun Tuberculosis berhubungan langsung dengan tingkat pajanan periode yang paling kritis timbulnya gejala klinis adalah 6–12 bulan setelah infeksi.

7. Faktor penyakit lain (HIV dan Diabetes Militus)

Menurut Depkes RI (2007) faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien Tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi tuberkulosis menjadi sakit tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic) seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien tuberkulosis akan meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis di masyarakat akan meningkat pula.

Menurut Lawrence D. Budnick (2007) HIV merupakan faktor yang paling besar untuk terjadinya penyakit tuberkolusis, ketika sistem kekebalan tubuh melemah maka tubuh tidak mungkin mengendalikan penyebaran kuman dalam tubuh seseorang, sehingga orang yang terkena HIV adalah kelompok paling beresiko untuk terinfeksi kuman tuberkulosis. Selain itu seseorang yang sudah terinfeksi kuman tuberkolusis maka penyakit

(14)

tersebut cepat sekali berkembang dibanding orang yang tidak mengidap kuman HIV.

Menurut Harsinen Sanusi (2006) disebutkan bahwa prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Penelitian TB paru pada DM di Indonesia masih cukup tinggi yaitu antara 12,8-42%.

8. Faktor Imunisasi (kekebalan tubuh)

Seseorang dengan tingkat kekebalan tubuh yang rendah akan mengakibatkan seseorang rentan terhadap infeksi kuman penyakit salah satunya yaitu kuman tuberkulosis karena tubuh tidak mampu untuk melawan dengan sistem imun yang ada dalam dirinya.Kekebalan tubuh seseorang dapat diperoleh dengan dua cara yaitu kekebalan alami dan kekebalan buatan, salah satunya dengan memberikan imunisasi. Imunisasi telah diakui sebagi upaya pencegahan yang efektif dan berdampak pada peningkatan kesehatan.Menurut Depkes RI (2007) pada era 1950 diketahuinya adanya vaksin yang dapat memberikan kekebalan tubuh terhadap kuman penyebab penyakit penyebab tuberkolusis, vaksin tersebut vaksi BCG sehingga pada tahun 1952 pemerintah Indonesia, WHO dan UNICEF menandatangani kerjasama program pembrantasan tuberkulosis. 9. Faktor Pelayanan Kesehatan

Ketersediaan sarana pelayanan dan tenaga kesehatan yang berkualitas serta anggaran yang memadai, akan berpengaruh pada status kesehatan

(15)

masyarakat.Pengetahuan dan ketrampilan petugas kesehatan yang diimbangi dengan kelengkapan sarana akan memberikan pelayanan yang maksimal sehingga akan mampu mengurangi atau mengatasi masalah kesehatan yang timbul di masyarakat, namun demikian kekurangan fasilitas / kelengkapan sarana untuk hal-hal tertentu terkadang masih dapat ditutupi dengan ketrampilan dan pengalaman petugas. Pelayanan kesehatan yang kurang baik khususnya dalam program upaya penanggulangan penyakit tuberkulosis menyebabkan :

1) Tidak memadainya organisasi pelayanan penderita tuberkulosis (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).

2) Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis). Dimana pada akhirnya dengan penderita tidak segera diobati atau tidak cepat sembuh maka akan berpotensi untuk menyebarkan kepada orang lain.

2.6 Multi Drug Resistance Tuberkulosis

Multi Drug Resistance TB (MDR TB) didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua agen anti-TB lini pertama yang paling poten yaitu

(16)

TB ketika mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat.Hal ini dapat terjadikarena beberapa alasan : pasien mungkin merasa lebih baik dan menghentikan pengobatan, persediaan obat habis atau langka, atau pasien lupa minum obat. Awalnya resistensi ini munculsebagai akibat dari ketidakpatuhan pengobatan. Selanjutnya transmisi strain MDR TBmenyebabkan terjadinya kasus resistensi primer. Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Directly Observed Therapy Shortcourse (DOTS) merupakan sebuah strategi baru yang dipromosikan oleh World Health Organization (WHO) untuk meningkatkan keberhasilan terapi TB dan mencegah terjadinya resistensi.

2.7 Faktor Yang Mempengaruhi Multi Drug Resistance Tuberkulosis

TB dengan resistensi terjadi dimana basil Mycobacterium tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya (World Health Organization, 1997). TB resistensidapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensiprimer yaituresistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensiprimer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV.Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat (Mc Donald, et al. 2003).

(17)

Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat mutasi dari gen Mycobakterium tuberculosis. Basil tersebut mengalami mutasi menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat.Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat dan terlambatnya penegakkan diagnostik (Leitch, 2000).

2.8 Patogenesis Multi Drug Resistance Tuberculosis

Resistensi obat primer dan resistensi obat sekunder dapat ditransmisikan ke orang lain jadi dapat menyebarkan resistant obat dalam komunitas. Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu :

1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis.

2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan

(18)

3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.

4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Kegagalan itu bila terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obathanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.

5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.

2.9 Diagnosis MDR TB

Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu: (Riyanto, et al, 2006).

TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai standar terapi.

1. Kontak dengan kasus TB resistensi ganda

(19)

3. Infeksi Human Immnodeficiency Virus (HIV)

4. Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB

Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai (Riyanto, et al. 2006).

Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M. tuberculosis.Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru.Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik.Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan prevalensi TB resisten tinggi.Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin (Martin, et al. 2007).

(20)

Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB, WHO guidelines membagi obat-obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008) :

1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.

2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negatif

3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bakterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua pasienyang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya.

4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid), ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.

5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.

(21)

Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen berdasarkan atas riwayat obat TB yang pernah dikonsumsi penderita, data Drug Resistance Surveillance (DRS) di suatu area, dan hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana yang dipakai, maka dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut, dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut.

Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan diterapkan. Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama.Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasilDST individu penderita : awalnya semua pasien akan mendapat regimen yang sama selanjutnyaregimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang telah tersedia dari pasien yang bersangkutan. Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu pasien : tiap regimen bersifat individualis, dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat dari pasien yang bersangkutan tersedia.

Menurut WHO guidelines 2008 membuat tahapan tersebut sebagai berikut :

(22)

1. Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih menunjukkan efikasi

2. Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan.

3. Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan fluorokuinolon.

4. Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin efektif

5. Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila dirasakan belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.

Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain (World Health Organization, 2008) :

1. Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita.

2. Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini kedua yang berada di area / negara tersebut.

(23)

4. Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan.

5. Obat diberikan sekurang-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin etambutol, pirazinamid, dan fluorokuinolon diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi.

6. Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi.

7. Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh.

8. Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita MDR TB memiliki keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif.

9. Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan

Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan.Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat Obat Anti Tuberkulosis lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal.

(24)

Pemantauan selama pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB : batuk, berdahak, demam dan BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan.Hasil uji kepekaan MDR TB dapat diperoleh setelah 2 bulan.Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien MDR TB adalah

1. Penilaian klinis termasuk berat badan

2. Penilaian segera bila ada efek samping

3. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan

4. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan

5. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan pengobatan.

6. Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin)

7. Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid

(25)

2.11 Pencegahan Terjadinya Resistensi Obat

WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB.Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.

Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secara gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untuk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai “evidence based” dan tes kepekaan kuman.

(26)

kepada penanganan MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci :

1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug resistance)

2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis biakan dan uji kepekaan yang terjaminmutunya.

3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua,dengan pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).

4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu.

5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku.

Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR. Pelaksanaan program DOTS Plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.

Referensi

Dokumen terkait

emas dari batuan X1 dengan metode bisulfit disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan data pada Tabel 3, dari sekitar 6 g sampel X1 yang dilarutkan dalam air raja kemudian direduksi

Multimedia interaktif juga telah terbukti berkesan dalam membentuk serta mengekalkan maklumat untuk tempoh masa yang panjang dan ianya boleh dicapai kembali dalam masa yang

Overhead pabrik merupakan suatu biaya keseluruhan yang membantu jalannya proses produksi namun tidak mempunyai hubungan langsung dengan hasil produksinya, atau dengan kata

meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada umumnya. 2) Bagi sekolah dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pembelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan

Evaluasi satu tahun pasca operasi menunjukkan pasien telah mampu secara aktif melakukan gerakan fleksi dari siku dengan kekuatan skala 3 serta fleksi dari jari-jari dengan

Hal ini disebabkan karena gula sebagai bahan pengisi tidak mengandung asam askorbat sehingga semakin banyak bahan pengisi maka kadar asam askorbat pada bubuk sari buah yang

Efektivitas kerja merupakan suatu pekerjaan yang mencapai tujuan dapat berhasil apabila dilaksanakan sesuai dengan rencana dan mampu terselesaikan dengan baik serta berpedoman

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Erniawati (2014), tax avoidance berpengaruh negatif terhadap cost of debt , sedangkan penelitian Novianti (2014)