• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Sindroma Koroner Akut

Sindroma koroner akut adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan simptom yang disebabkan oleh iskemik miokard akut. Sindroma koroner akut yang menyebabkan nekrosis miokardium disebut dengan infark miokard (Thygensen dkk, 2007; Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008).

SKA secara klinis dapat bermanifestasi sebagai angina pektoris tak stabil, IMA NSTE maupun IMA STE (Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008).

Diagnosis IMA STE ditegakkan apabila dijumpai kriteria berikut, yaitu ; adanya nyeri dada khas infark, dijumpai elevasi segmen ST yang persisten atau adanya left bundle branch block (LBBB) yang dianggap baru, peningkatan marker (enzim jantung) serial akibat nekrosis miokard (CKMB dan troponin), serta dijumpainya abnormalitas wall motion regional yang baru pada pemeriksaan ekokardiografi (Van de Werf dkk, 2008)

SKA yang tidak disertai dengan elevasi segmen ST digolongkan ke dalam angina pektoris tak stabil dan IMA NSTE. Apabila dijumpai peningkatan enzim jantung, maka penderita digolongkan ke dalam IMA NSTE, sedangkan jika enzim jantung normal maka kondisi ini disebut angina pektoris tak stabil (Van de Werf dkk, 2008; Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008).

2.2 Patogenesis Infark Miokard Akut

Pembentukan plak aterosklerosis yang kemudian diikuti respons trombosis akibat erosi atau ruptur plak merupakan patogenesis dasar IMA.

(2)

2.2.1 Pembentukan plak aterosklerosis

Pembentukan plak aterosklerosis merupakan proses yang berlangsung lama (sekitar 20-30 tahun sebelum timbulnya presentasi klinis SKA), Rosen dkk, 2009. Beberapa faktor risiko konvensional, diantaranya ; hiperkolesterolemia, merokok, hipertensi, diabetes mellitus, dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan endotel arteri koroner (Atnmann dkk, 2008; Bender dkk, 2011; Fuster dkk, 2005; Kleinschmid 2006; Libby, 2001; Rosen dkk, 2009).

Kerusakan (disfungsi) endotel ini mengawali proses aterosklerosis. Saat endotel mengalami kerusakan, makrofag akan menginfiltrasi endotel. Molekul low density lipoprotein (LDL) juga dapat masuk ke lapisan dinding pembuluh darah, untuk kemudian LDL tesebut diikat oleh makrofag, membentuk Foam cell. Foam cell merupakan dasar pembentukan plak aterosklerosis. Plak yang melekat pada dinding endotel arteri koroner akan terus membesar dan mengalami kalsifikasi. Jika plak tersebut mengalami ruptur, maka akan timbul reaksi inflamasi lokal, vasokonstriksi koroner, aktivasi trombosit serta pengaktifan sistem koagulasi sebagai respons terhadap ruptur atau erosi plak (Cannon dkk, 2001; Fuster dkk, 2005; Kumar dkk, 2009; Libby, 2001; Libby, 2005)

2.2.2 Ruptur plak dan aterotrombosis

Ruptur atau erosi plak aterosklerosis yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus adalah penyebab utama SKA. Ada 2 proses trombosis yang saling berkaitan, yaitu hemostasis primer dan hemostasis sekunder (Cannon dkk, 2001; Fuster dkk, 2005; Hoffman, 2010; Libby, 2001; Libby, 2005; Rosen dkk, 2009).

Hemostasis primer diawali dengan perlekatan trombosit pada dinding endotel yang rusak. Matriks subendotel yang terpapar aliran darah akan mengeluarkan elemen-elemen seperti faktor von Willebrand (vWF) dan kolagen. Reseptor spesifik pada permukaan trombosit glikoprotein (GP)-Ib/IX akan berikat dengan vWF, sedangkan reseptor GP VI akan berikatan dengan kolagen. Ikatan antara reseptor permukaan trombosit dengan elemen tersebut (GP Ib/IX-vWF, GP VI-kolagen) menyebabkan trombosit dapat melekat pada endotel yang mengalami

(3)

injury. Ikatan GP Ib/IX-vWF bersifat temporer sedangkan ikatan GP VI-kolagen meskipun terjadi lebih lambat, akan memberikan ikatan adhesi trombosit yang lebih kuat terhadap dinding endotel. Reseptor GP Ib/IX dan GP VI juga berperan dalam pengaturan adhesi trombosit dengan leukosit. Hal ini memicu proses vaskular lainnya seperti inflamasi dan aterosklerosis selanjutnya (Badimon dkk, 2011; Davi dkk, 2007; Furie dkk, 2008; Gawaz, 2008; Kumar dkk, 2011). Setelah proses adhesi trombosit ke matrix ekstraseluler terjadi, akan terjadi respon produksi mediator autokrin dan parakrin, seperti adenosine diphosphate (ADP), trombin, epineprin serta asam arakhidonat. Elemen-elemen ini bertanggung jawab untuk menstimulasi proses agregasi trombosit selanjutnya (Badimon dkk, 2011; Davy dkk, 2007; Kumar dkk, 2011).

Asam arakhidonat merupakan agonis yang berperan dalam produksi tromboksan A2 (TX A2) melalui kerja enzim cyclooxygenase (COX) dan tromboksan sintase. Tromboksan A2 yang dihasilkan tidak hanya dapat memacu agregasi trombosit selanjutnya, tetapi juga bersifat vasokonstriktor yang poten (Badimon dkk, 2011; Davy dkk, 2007; Furie dkk, 2008; Gawaz, 2008).

Elemen granular trombosit lainnya adalah ADP. Elemen ini akan melekat pada reseptor trombosit lainnya yaitu ; P2Y1, P2Y12 serta P2X. Ikatan ADP pada reseptor P2Y1akan menyebabkan perubahan bentuk trombosit dan menimbulkan efek agregasi lemah. Efek ini didapat dari peningkatan kalsium intraseluler (akibat dari aktivasi inositol trifosfat) dan produksi protein kinase (akibat aktivasi diacyl glycerol). Ikatan ADP pada reseptor P2Y12 berperan menyempurnakan dan stabilisasi agregasi tombosit. Ikatan ADP terhadap reseptor alpha P2Y12-G1 menyebabkan protein sub unit alpha-i dan beta teraktivasi. Protein sub unit alpha-i yang teraktivasi akan menghambat kerja enzim adenilat siklase sehingga produksi cAMP tidak terjadi. Penurunan kadar cAMP intratrombosit mengakibatkan defosforilasi vasodilator stimulated phosphoprotein (VASP). Defosforilasi VASP akan mengaktivasi reseptor GPIIb/IIIa sehingga memicu agregasi trombosit selanjutnya. Ikatan ADP terhadap protein subunit beta reseptor P2Y12 menyebabkan aktivasi phosphatidylinositol-3 kinase, yang merupakan sinyal penting untuk sekresi dense granule trombosit. Ikatan ADP terhadap reseptor P2X1 akan meningkatkan kadar kalsium dalam sel trombosit yang menyebabkan perubahan bentuk permukaan

(4)

trombosit dan menimbulkan respos agregasi lemah (Badimon dkk, 2011; Davi dkk, 2011; Kumar dkk, 2011)

Ekspresi reseptor GPIIb/IIIa pada permukaan trombosit yang teraktivasi akan menyebabkan interaksi dengan fibrinogen (agregasi trombosit). Fibrinogen ini kemudian bertindak sebagai penghubung (brigde) antar reseptor GPIIb/IIIa pada tombosit yang teraktivasi. Proses ini dikenal dengan pembentukan sumbat platelet ( platelet plug).

Proses trombosis yang kedua adalah pengaktifan sistem koagulasi. Pengaktifan sistem koagulasi ini menyebabkan trombus yang terbentuk menjadi lebih stabil (Cannon dkk , 2001; Hansson, 2005; Hoffman, 2010; Kumar dkk, 2011; Rosen dkk, 2009).

Sistem koagulasi melibatkan beberapa protein plasma dalam rangkaian proses serial yang berujung pada pembentukan trombin, suatu zat yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin (Cannon dkk, 2001; Hansson, 2005).

Kaskade koagulasi terbagi menjadi 2 jalur, yaitu jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik. Jalur intrinsik (faktor XII, XIIa, XI, dan XIa) diaktivasi oleh paparan komponen darah terhadap endotel yang mengalami kerusakan. Sedangkan jalur ekstrinsik diaktivasi oleh interaksi faktor VII dengan tissue factor yang dilepaskan oleh dinding endotel yang mengalami kerusakan. Kedua jalur ini kemudian mengaktifkan faktor X. Faktor X yang teraktivasi kemudian akan berinteraksi dengan faktor V, kalsium, dan fosfolipid membentuk suatu kompleks yang mengkatalisir konversi protrombin menjadi trombin. Trombin sendiri mempunyai banyak fungsi pada proses hemostasis. Fungsi utama trombin adalah mengkonversi fibrinogen plasma menjadi fibrin. Fibrin yang telah mengalami konversi distabilisasi dengan fibrin lainnya melalui proses cross-link oleh faktor XIIIa, sehingga terbentuk trombus yang lebih besar dan stabil. Selain itu, trombin juga berfungsi mengaktivasi faktor V, VIII, XIII dan juga turut menstimulasi sekresi dan agregasi trombosit selanjutnya (Cannon dkk, 2001; Hansson dkk, 2005).

Beberapa mekanisme antikoagulan secara alamiah terdapat di dalam tubuh. Darah yang terus mengalir akan mendilusi dan menonaktifkan faktor –faktor

(5)

pembekuan sehingga pembentukan fibrin dapat dihambat. Beberapa protein yang bersirkulasi di dalam darah juga berperan untuk menghambat proses koagulasi berlebihan yang mengarah ke pembentukan trombus, seperti : antitrombin, protein C, tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan trombomodulin (Cannon dkk, 2001)

Gambar 2.1 Kaskade Koagulasi yang Melibatkan Jalur Intrinsik, Ekstrinsik dan Jalur Bersama (Kumar dkk, 2011)

Pada kondisi normal, proses trombosis akan diikuti oleh proses fibrinolisis sehingga trombus yang terbentuk tidak berlebihan. Aktivator sistem fibrinolitik sebagian besar adalah tissue plasminogen, sementara Faktor Hageman dan Urokinase juga berperan, namun dalam porsi kecil. Plasmin yang terbentuk akan mendegradasi fibrin, sehingga bekuan darah menjadi hancur (Cannon dkk, 2001; Oesman dkk, 2007)

Terapi reperfusi dini menggunakan regimen fibrinolitik atau IKP primer merupakan tujuan utama penatalaksanaan IMA STE untuk mencegah perluasan area infark serta menurunkan angka kematian (Cohen dkk, 2010; Gogo dkk, 2010;

(6)

Keeley dkk, 2003). Studi menunjukan keunggulan IKP primer dibandingkan dengan terapi fibrinolitik sehingga saat ini tindakan IKP primer menjadi pilihan utama untuk tindakan reperfusi dini pada senter yang telah maju (Andersen dkk, 2003; Eagle dkk, 2008)

Beberapa regimen pengobatan saat ini secara rutin telah digunakan dalam penatalaksanaan SKA. Berbagai jalur pada proses aterotrombosis dihambat dalam upaya meminimalisir terjadinya erosi plak aterosklerosis, pencegahan pembentukan trombus, serta stabilisasi plak. Regimen pengobatan tersebut meliputi antiplatelet, statin, antikoagulan (heparin dan derivatnya), serta regimen fibrinolitik yang khusus digunakan pada IMA STE onset dibawah 12 jam.

Antikoagulan dalam SKA berperan dalam pencegahan pembentukan trombus melalui interaksinya dengan antitrombin.

2.3 Peran Antikoagulan pada Sindroma Koroner Akut

Studi populasi di Eropa dari tahun 1999 sampai 2001 menunjukkan bahwa lebih dari 90% penderita SKA yang mendapat terapi aspirin, sebanyak 80% diantaranya juga mendapat terapi UFH atau LMWH, dengan proporsi penggunaan yang seimbang diantara keduanya (Hanna dkk, 2010)

Heparin beserta derivatnya yang sering digunakan saat ini adalah UFH, LMWH, dan derivat pentasakarida sintetik, yaitu fondaparinux (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2001; Hirsh dkk, 2008). Semua obat tersebut diberikan secara parenteral, baik secara intravena maupun subkutan. Antikoagulan tersebut dimasukkan ke dalam golongan antikoagulan indirek karena kerjanya membutuhkan kofaktor plasma (antitrombin) untuk menghasilkan efek antikoagulan (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008).

(7)

2.4 Jenis Antikoagulan yang Digunakan pada SKA

2.4.1 Unfraction Heparin (UFH)

Unfraction heparin sampai saat ini masih merupakan regimen antikoagulan yang paling sering digunakan pada SKA. Regimen ini telah dipakai selama lebih dari 40 tahun pada kasus infark jantung (Wienbergen dkk, 2007). Harganyanya yang relatif murah, dapat diberikan pada penderita insufiensi ginjal, masa kerja dan waktu paruh yang singkat serta dapat dinetralisasi dengan cepat menggunakan protamin sulfat apabila dijumpai efek perdarahan berat merupakan beberapa kelebihan dari UFH (Schiele, 2010).

UFH merupakan rantai polisakarida sulfat dengan berat molekul bervariasi dari 3000 sampai 30.000 Dalton. Sekitar sepertiga dari rantai heparin mempunyai sekuen pentasakarida, tempat berikatan dengan antitrombin. Sekuen ini bertanggung jawab terhadap efek antikoagulan heparin (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008).Rantai UFH yang tidak mempunyai sekuen pentasakarida hanya mempunyai efek antikoagulan yang minimal jika UFH diberikan dengan dosis profilaksis. Dengan dosis yang lebih tinggi, heparin dengan atau tanpa sekuen rantai pentasakarida akan mengaktivasi heparin kofaktor II. Tidak seperti antitrombin, heparin kofaktor II hanya menghambat trombin. Heparin mengkatalisir penghambatan trombin oleh antitrombin dengan secara simultan berikatan dengan antitrombin (pada sekuen pentasakarida) dan dengan trombin. Sisi arginin reaktif pada antitrombin berikatan secara kovalen dengan sisi serin aktif dari trombin untuk membentuk komplek trombin-antitrombin yang stabil. Heparin kemudian berdisosiasi dari komplek ini untuk mengaktivasi molekul antitrombin selanjutnya (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008).

(8)

Gambar 2.2 Mekanisme Kerja Unfraction Heparin (diunduh dari : http://o.quizlet com)

Hanya heparin yang memiliki lebih dari 18 unit sakarida yang dapat berikatan dengan kompleks trombin-antitrombin. Namun, sekuen pentasakarida dengan rantai yang lebih pendek pada heparin dapat mengkatalisir penghambatan faktor Xa oleh antitrombin. Perbandingan inisiasi rasio penghambatan faktor Xa dengan antitrombin pada UFH adalah 1:1 (Cannon dkk, 2001; De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008).

UFH juga berikatan pada sel endotel, makrofag dan beberapa protein plasma. Ikatan UFH dengan protein plasma ini akan menetralisir aktivitas antikoagulan seperti platelet factor 4 dan vitronectin serta menyebabkan faktor Von Willebrand menjadi tidak berfungsi. Hal ini menerangkan mengapa dosis UFH harus diberikan secara individual untuk mendapatkan efek anti trombotik. Ikatan UFH pada sel endotel dan beberapa protein plasma menyebabkan bioavailabilitasnya berkurang pada konsentrasi yang rendah dan menghasilkan

(9)

respon yang bervariasi walaupun diberikan pada dosis yang sama pada individu yang berbeda. Respon antikoagulan meningkat secara disproporsional ketika dosis dan durasi pemberian UFH ditingkatkan (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008).

Efek farmakokinetik UFH yang bervariasi ini harus dipantau secara ketat. Activated partial tromboplastin time (APTT) adalah tes yang paling sering digunakan karena tes ini sensitif terhadap efek inhibisi heparin terhadap trombin, faktor X dan faktor IX.

Dosis UFH yang digunakan pada kasus IMA STE dengan dan tanpa fibrinolitik adalah 60 UI/kgBB dengan dosis maksimum 4000 UI secara bolus intravena, yang kemudian diikuti dengan infus intravena 12 UI/kgBB dengan dosis maksimum 1000 UI/jam selama 1-2 hari. Target APTT adalah 50-70 detik, dengan interval waktu pemeriksaan 3, 5, 12 dan 24 jam pemberian (Van de Werf dkk, 2008).

Beberapa efek samping pemberian heparin dapat dijumpai, seperti perdarahan, trombositopenia yang dapat mengarah ke heparin induced thrombocytopenia (HIT), osteoporosis, alopecia, nekrosis kulit, urtikaria serta peningkatan serum transaminase hati (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008).

2.4.2 Enoxaparin

Enoxaparin merupakan LMWH yang paling sering digunakan. LMWH adalah derivat heparin yang diperoleh dari depolimerisasi enzimatik heparin. Enoxaparin merupakan derivat heparin, hasil dari bensilasi dan depolimerisasi alkalis heparin (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2001; Hirsh dkk, 2008). Seperti LMWH lainnya, enoxaparin hanya mempunyai berat molekul sepertiga dari heparin (4200 dalton). LMWH menghasilkan efek antikoagulan melalui interaksi secara simultan dengan komplek trombin-antitrombin. Rantai sakarida yang relatif pendek, menyebabkan kemampuannya untuk mengkatalisir penghambatan trombin lebih rendah dibandingkan dengan heparin. Namun, rantai ini tetap dapat menginisiasi penghambatan faktor Xa oleh antitrombin.

(10)

Perbandingan inisiasi rasio penghambatan faktor Xa dengan antitrombin pada enoxaparin adalah 3,8 : 1 sampai 4:1 (Bauer, 2006; De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008; Rubolli dkk, 2007).

Depolimerisasi dari rantai heparin pada LMWH menyebabkan ikatan terhadap sel endotel, makrofag, trombosit serta protein plasma juga berkurang. Berkurangnya afinitas LMWH terhadap protein plasma menyebabkan efek antikoagulan, farmakokinetik dan biologisnya berbeda dengan heparin. Berkurangnya afinitas LMWH dengan sel endotel dan makrofag menyebabkan waktu paruh LMWH menjadi lebih panjang, sedangkan kurangnya afinitas terhadap trombosit dan platelet factor 4 menyebabkan insidensi HIT lebih rendah dibandingkan dengan heparin. Penurunan afinitas LMWH terhadap osteoblast menyebabkan aktivasi osteoklas berkurang sehingga osteoporosis lebih jarang dijumpai (De Caterina dkk, 2007; Hirsh dkk, 2008).

Setelah diberikan secara subkutan, bioavailabilitas enoxaparin mencapai lebih dari 90%. Tidak diperlukan pemantauan rutin pada pemberian LMWH, kecuali pada penderita insufiensi renal, obesitas atau pada kehamilan. Jika diperlukan pemantauan, maka tes yang relevan adalah level anti Xa (Bauer, 2006; De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008).

Seperti antikoagulan lainnya, efek perdarahan dapat terjadi pada LMWH. Namun, efek HIT dan osteoporosis lebih jarang terjadi dibandingkan dengan UFH. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya afinitas LMWH terhadap protein plasma dan trombosit (De Caterina dkk, 2007; Hirsh dkk, 2008).

Dosis enoxaparin pada IMA STE dengan atau tanpa reperfusi dini bergantung pada usia dan kadar kreatinin. Penderita IMA STE yang berusia kurang dari 75 tahun dengan kreatinin kurang dari 2,5 mg/dl pada laki-laki atau kurang dari 2 mg/dl pada perempuan, menggunakan dosis enoxaparin bolus intravena 30 mg yang kemudian diikuti 15 menit kemudian dengan dosis 1 mg/kgBB per 12 jam, dengan maksimum pemberian selama 8 hari. Jika penderita berusia lebih dari 75 tahun, tidak diberikan bolus intravena. Dosis pertama diberikan secara subkutan sebanyak 0,75 mg/kgBB, dengan dosis maksimum 75 mg untuk dua dosis subkutan yang pertama. Penderita dengan creatinine

(11)

clearance kurang dari 30 ml/menit, hanya diberikan dosis subkutan per 24 jam (Van de Werf dkk, 2008)

2.4.3 Fondaparinux

Fondaparinux merupakan derivat heparin yang hanya memiliki sekuen pentasakarida, dengan berat molekul berkisar 1728 Dalton (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008). Aktivitasnya spesifik hanya mengkatalisir penghambatan faktor Xa. Fondaparinux berikatan dengan antitrombin dan menghasilkan perubahan formasi pada sisi reaktif dari antitrombin yang akan mengaktivasi penghambatan faktor Xa. Fondaparinux kemudian dilepaskan dari antitrombin, untuk mengaktivasi antitrombin selanjutnya (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008).

Setelah diberikan secara subkutan, fondaparinux cepat diabsorbsi, dengan waktu paruh berkisar 17 jam pada dewasa muda dan 21 jam pada orang tua sehingga dosis pemberian hanya sekali sehari. Fondaparinux berikatan secara non spesifik dan minimal dengan protein plasma sehingga tidak diperlukan pemantauan khusus secara rutin (GG Turpie, 2006; GG Turpie, 2008; Rupprecht dkk, 2010; Samama dkk, 2010).

Dosis fondaparinux pada IMA STE dengan atau tanpa fibrinolitik adalah 2,5 mg bolus intravena, yang kemudian diikuti dengan 2,5 mg subkutan perhari selama 8 hari. Fondaparinux hanya diberikan pada penderita dengan kadar kreatinin kurang atau sama dengan 3 mg/dl (Van de Werf dkk, 2008).

Selain perdarahan, efek samping lain pemberian fondaparinux belum diketahui secara luas (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008).

Berikut ini adalah mekanisme kerja dari UFH, enoxaparin dan fondaparinux

(12)

Tabel.2.1 Mekanisme Kerja, Eliminasi, Waktu Paruh, Efek Terhadap Ginjal pada Berbagai Jenis Antikoagulan (Mc Cann dkk, 2008).

Gambar 2.3 Mekanisme Kerja UFH, LMWH, serta Fondaparinux (Nutesco dkk, 2002)

(13)

2.5. Angka Kejadian IMA STE Tanpa Reperfusi Dini dan Beberapa Alasannya

Meskipun terapi reperfusi dini (baik secara farmakologis maupun secara mekanik) sangat direkomendasikan dalam penanganan IMA STE, sekitar 21-46% penderita IMA STE pada beberapa studi klinis justru tidak mendapatkannya. Hal ini merefleksikan perbedaan antara pedoman dengan praktek klinis sehari-hari. Late presentation onset, keterbatasan akses serta adanya kontraindikasi absolut merupakan penyebab yang sering dijumpai sehingga terapi fibrinolitik maupun IKP primer tidak dapat dilakukan (Cohen dkk, 2010; Eagle dkk, 2002).

Studi NRMI 1, 2 dan 3 menyatakan bahwa sekitar 25% dari hampir satu setengah juta penderita IMA STE dengan onset kurang dari 12 jam tidak mendapat terapi reperfusi dini (Rogers dkk, 2000).

Studi GRACE memperlihatkan sekitar 30% dari 1763 penderita IMA STE dengan onset kurang dari 12 jam tidak mendapat terapi reperfusi dini. Kebanyakan penderita adalah dengan riwayat operasi bedah pintas koroner, presentasi nyeri dada yang sudah tidak lagi tipikal, berusia di atas 75 tahun, serta penderita dengan riwayat gagal jantung (Eagle dkk, 2002).

Sebanyak 2867 dari 12.092 penderita IMA STE pada studi Organization for Assessment of Strategies for Ischaemic Syndrome (OASIS) - 6 tidak mendapat terapi reperfusi dini. Kebanyakan dari penderita tersebut berusia tua, menderita hipertensi, menderita gagal jantung, serta mempunyai riwayat infark dan stroke sebelumnya (Oldgren dkk, 2008).

Angka kematian selama perawatan di rumah sakit pada mereka yang tidak mempunyai kontraindikasi namun dengan alasan lainnya tetap tidak dilakukan reperfusi dini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang dilakukan reperfusi dini, dengan nilai rasio odds 1,64, 95% IK : 1,07-2,50 (Gharacholau dkk, 2010)

2.6. Peran Antikoagulan pada IMA STE Tanpa Reperfusi Dini

Penatalaksanaan IMA STE tanpa reperfusi dini tetap dioptimalkan pada penggunaan antiplatelet , antikoagulan, ACE inhibitor serta beta blocker.

(14)

Beberapa studi dalam 10 tahun terakhir mencoba membandingkan efektivitas dan keamanan beberapa jenis antikoagulan pada penderita IMA STE yang tidak dilakukan terapi reperfusi dini.

Studi Clinical Trial of Reviparin and Metabolic Modulation in Acute Myocardial Infarction (CREATE) terhadap penderita IMA STE onset dibawah 12 jam menunjukan efektivitas repivarin yang lebih baik dibandingkan dengan plasebo dalam menurunkan angka kematian dan kejadian reinfark, tanpa peningkatan bermakna pada angka kejadian stroke dalam tujuh hari fase paska infark. Sebanyak 22 % penderita yang termasuk dalam studi ini tidak mendapat terapi reperfusi, baik terapi trombolitik maupun IKP primer. Namun, obat ini tidak dapat diperoleh secara luas, sehingga penggunaannya sangat terbatas (Yusuf dkk, 2005).

Studi TETAMI membandingkan efektivitas dan keamanan enoxaparin dengan UFH kombinasi dengan tirofiban serta dengan plasebo pada penderita IMA STE yang tidak dapat dilakukan tindakan reperfusi dini. Studi ini menunjukkan bahwa enoxaparin tidak menunjukkan penurunan angka kematian dan reinfark yang bermakna dibandingkan dengan kelompok UFH maupun plasebo (Cohen dkk, 2003a).

Studi OASIS 6 membandingkan efektivitas fondaparinux dengan UFH dan plasebo pada penderita IMA STE dengan dan tanpa terapi reperfusi dini (Yusuf dkk 2006). Sekitar 2867 penderita IMA STE pada substudi OASIS 6 juga tidak mendapat terapi reperfusi dini. Studi ini menunjukkan kecenderungan efektivitas fondaparinux yang lebih baik dibandingkan dengan UFH dan plasebo dalam menurunkan angka kematian dan kejadian reinfark dengan tidak meningkatkan angka perdarahan mayor atau kejadian stroke (Oldgren dkk, 2008).

(15)

2.7 Kerangka Teori

Ruptur atau erosi plak aterosklerosis

Pengaktifan proses hemostasis dan trombosis

Hemostasis primer Hemostasis sekunder Adhesi trombosit

Setiap trombosit melepaskan ADP, tromboksan, serta zat kemoaktif lainnya

Agregasi trombosit

Pengaktifan kaskade koagulasi F.Ekstrinsik interaksi TF dgn F.VII.

F. Intrinsik  aktifasi F.XII, XIIa, XI, XIa dgn komponen darah thd endotel yang robek. Kedua jalur  F.Xa

Pembentukan trombus dan fibrin Cross-linked dgn F XIIIa IMA STE

Onset ≤ 12 jam

Terapi agresif anti platelet, antikoagulan Pilihan antikoagulan - UFH - Enoxaparin - Fondaparinux Trombin Platelet plug Onset ≥ 12 jam Reperfusi (+) Reperfusi (-) nekrosis

Tergantung inisiasi rasio penghambatan antitrombin dan FXa

Perbandingan efektifitas obat

Perbandingan efek samping obat (perdarahan)

(16)

2.8. Kerangka Konseptual

Jenis Antikoagulan (jenis obat) = Variabel independen

(variabel bebas)

Variabel dependen (variabel tergantung) IMA STE ONSET DI BAWAH & SAMA DENGAN

48 JAM TANPA REPERFUSI DINI

Kelompok 1

UFH Kelompok 2 Enoxaparin

Kelompok 3 Fondaparinux

Kejadian cardiac death dan MACCE (mortalitas, reinfark atau stroke) selama perawatan di rumah sakit dan 30 hari paska onset infark serta Keamanan (kejadian perdarahan) selama perawatan di rumah sakit

Usia Onset-simptom

Lokasi infark Faktor resiko

Referensi

Dokumen terkait

Architect Christopher Alexander contrasts this to the way that nature works, where you have “continuous very-small- feedback-loop adaptation going on, which is why things get to

Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Sari (2013) yang menyatakan bahwa Pengakuan Profesional tidak berpengaruh signifikan terhadap Pemilihan

untuk mendeskripsikan makna tanda pada upacara adat sulang-sulang pahompu Simalungun dan teori Konotasi Bartes akan digunakan sebagai alat untuk mendeskripsika simbol yang

mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 2013, seperti tersebut dibawah

Multimedia dengan software seperti Asymetrix multimedia Toolbook 5.0 yang dirancang untuk penggabungan beberapa elemennya (text, gambar, suara, animasi dan video) lebih

Dimana di dalam program tersebut terdapat pilihan â pilihan yang memungkinkan kita melakukan hal â hal yang berkaitan dengan kegiatan pengarsipan rental Vcd, seperti pencatatan

Berdasarkan hal tersebut diatas, sesuai dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah

Di dalam penulisan ilmiah ini, penulis membahas mengenai pembuatan website anggota monitoring kehadiran mahasiswa atau barcode yang bertujuan untuk memudahkan penyampaian