RESEPSI PONDOK PESANTREN DI MADURA
TERHADAP KITAB BERGENRE NADZAM
Oleh: Umar Bukhory
(Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Arab Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan)
Abstrak:
Salah satu komponen pondok pesantren adalah kitab klasik yang seringkali dikenal dengan sebutan kitab kuning. Selain bersifat naratif, banyak kitab kuning ditulis dalam genre nadzam (syair Arab) untuk memudahkan para
pembelajarnya menghafal dan memahami isinya. Salah satunya yang terpanjang dan sangat populer di kalangan pondok pesantren tradisional adalah Alfiyah, karena terdiri dari seribu bait. Tulisan ini berkeinginan untuk menguraikan bagaimana pondok pesantren di Madura meresepsi berbagai kitab
klasik yang berjenis nadzam tersebut.
Kata kunci:
Pondok Pesantren, Nadzam, Syair Arab
Pendahuluan
Perkembangan tradisi penggunaan syair Arab dalam sistem ritual masyarakat Madura secara historis tidak dapat dilepaskan dari sejarah awal mula masuknya Islam di Madura yang sedikit banyak terrepresentasi pada berdirinya pondok pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tertua dan kebiasaan penggunaan syair berbahasa Madura dalam ekspresi seni masyarakat Madura itu sendiri.
Secara historis, syair Arab telah mencapai tingkat kemajuan yang signifikan sejak era pra-Islam (dalam konteks al-Adab al-Jâhilî).1 Fakta bahwa
1
Selengkapnya, bandingkan Adonis, An
Introduction to Arab Poetics, Catherine Cobham
(English Trans.), (London: Saqi Book, 1990), p. 13-34; ‘Ali ‘Abdul Wâhid Wâfî, Fiqh al-Lughah, (Mesir: Nahdlah Misr, 2004, cet. iii), h. 89-91; Ramadlân ‘Abd. Al-Tawwâb, Fushûl fî Fiqh
al-masyarakat Arab-Islam telah memiliki tradisi bersyair tampak bahwa pada masa awal Islam, pernah terjadi dialog antara Nâfi' bin al-Azraq untuk menguji kemampuan 'Abdullah ibn 'Abbâs di bidang Tafsir al-Qur'an.2 Nâfi' bin al-Azraq bersama Najdah ibn 'Umayr dengan sengaja merancang beberapa pertanyaan yang meragukan fakta bahwa bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arab Fushâ. 'Abdullah ibn 'Abbâs menjawab pertanyaan keduanya dengan
Lughah, (Kairo: Maktabah al-Khânijî, 1999, cet.
vi), h. 111; ‘Abd al-Hamîd Mahmûd, Hasan H. Hasan dan ‘Abd Mun’im Khafâjî, Adab
‘Arabî Bayn Jâhiliyyah wal Islâm, (Kairo:
al-Mathba’ah al-Munîriyyah, 1955), h. 126-159. 2
Proses terjadinya peristiwa tersebut,
salah satunya diuraikan dalam ‘Aisyah
‘Abdurrahmân Bint al-Syâthi’, al-I’jâz al-Bayânî li
al-Qur’ân wa Masâil Ibn al-Azraq; Dirâsah Qur’âniyyah Lughawiyyah wa Bayâniyyah, (Kairo:
bukti-bukti yang dikutip dari syair-syair Arab Jahiliyyah guna membuktikan bahwa kata-kata yang digugat/ dipertanyakan benar-benar berasal dari bahasa Arab Fushâ.3 Fakta sejarah di atas membuktikan bahwa Islam dengan al-Qur'an sebagai kitab sucinya dapat dipahami dan ditafsirkan secara benar melalui peran syair-syair Arab klasik masa Jahiliyah4 yang telah berkembang dengan pesat,5 terutama sejak tahun 200 SH (sebelum hijrah),6 atau 50 s/d 100 tahun sebelum Islam datang.7 Bahkan, syair Arab di era jahiliyah dipandang sebagai hasil budaya yang
3
Sumber awal dari terjadinya dialog tersebut adalah edisi ke-36 dari al-Itqân fî 'Ulûm
al-Qur'an karya al-Suyûthî yang dikutip oleh Dr.
Ibrâhîm al-Sâmirâî dalam sebuah buku khusus berjudul Suâlât Nâfi' ibn al-Azraq ilâ 'Abdillâh ibn
'Abbâs. Uraian selengkapnya, periksa Ramadlân
'Abd. Al-Tawwâb, Fushûl fî Fiqh al-Lughah, (Kairo: Maktabah al-Khânijî, 1999, cet. vi), h. 108-115.
4
Kathleen Kuiper (Ed.), Islamic Art,
Literature and Culture, (New York: Brittanica
Educational Publishing & Rosen Educational Services, 2010), p. 57-61.
5
Dalam perspektif yang berbeda dengan pendahulunya, Thâhâ Husayn membahasnya dengan lengkap dalam Fî al-Syi’r al-Jâhilî, (Tûnis:
Dâr al-Ma’ârif li al-Thibâ’ah wa al-Nasyr,1926). Bandingkan dengan Abdullah El Tayyib, “Pre-Islamic Poetry” dalam AFL. Beeston et.al. (Eds.),
The Cambridge History of Arabic Literature; Arabic Literature to the End of the Umayyad Period, (New York: Cambridge University Press,
1983), h. 27-36; Muhsin J. Al-Musawi, Arabic
Poetry; Trajectories of Modernity and Tradition,
(New York: Routledge, 2006), p. 1-3.
6Mushthafâ Shâdiq al-Râfi’î, Târîkh Âdâb
‘Arab; Juz Tsâlits, (Beirut: Dâr Kitâb
al-‘Arabî, 1974), h. 17-21.
7Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, Naqd al-‘Aql
al-‘Arabî (1); Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, (Beirut:
Markaz Dirâsât al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989, cet. iv), h. 48-49.
disakralkan oleh bangsa Arab8 dan memiliki karakteristik tipikal yang berbeda dengan syair yang ditulis pada masa setelahnya,9 baik karakteristik semantik (makna) maupun karakteristik stilistik (gaya bahasa).10 Lebih jauh lagi, proses saling mempengaruhi antara syair Arab sebagai budaya Arab dan ajaran Islam terus berlangsung, sehingga nyaris tidak dapat dipisahkan satu sama lain.11
Adapun dalam tradisi masyarakat Madura, tradisi bersyair juga berkembang sejak lama, yang ditunjukkan dengan kekayaan tradisi lisan yang berbentuk syair dan kata-kata mutiara, atau yang biasa dikenal dengan istilah parébasan (peribahasa), saloka (Tamsil atau perumpamaan), paparéghan (sejenis gurindam), syi’iran (syair), kéjhung (kidung) dan beberapa istilah lainnya. Sedangkan karya sastra tulis yang bergenre puisi dan terkenal disukai masyarakat adalah puisi macapat, yang aturannya mirip dengan
8Muhammad Tawfîq Abû ‘Alî, al-Amtsâl
al-‘Arabiyyah wa al-‘Ashr al-Jâhilî; Dirâsah Tahlîliyyah, (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1988), h. 71.
Bandingkan dengan Ahmad Hasan Zayyât, Târîkh
al-Adab al-‘Arabî li al-Madâris al-Tsânawiyyah wa al-‘Âliyah, (Kairo: Dâr Nahdlah Mishr, t.t.), h.
28-29. 9
Hannâ al-Fâkhûrî, al-Jâmi’ fî Târîkh Adab ‘Arabî; Adab Qadîm, (Beirut: Dâr
al-Jayl, 1986), h. 129-163. 10
Syawqî Dlayf, Târîkh al-Adab al-‘Arabî I; al-‘Ashr al-Jâhilî, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1960,
cet. xxii), h. 183-231.
11Irfan Shahid, “Arabic Literature” dalam P.M. Holt et.al. (Eds.), The Cambridge History of
Islam; Vol. 2B, Islamic Society and Civilization,
(London, New York, Melbourne: Cambridge University Press, 1977), p. 657-668.
macapat Jawa,12 dengan berbagai jenis dan macamnya.13 Dengan menggunakan pendekatan etik (outsider approach), Suripan Sadi Hutomo memetakan tiga periode kesusastraan Madura, yakni: a) karya sastra hingga tahun 1908, b) karya sastra dari tahun 1908 s/d 1945 dan c) karya sastra dari tahun 1945 s/d sekarang.14 Mien A. Rifa’i menyebutkan bahwa istilah-istilah tersebut menjadi semacam seni suara yang diperuntukkan bagi anak-anak maupun dewasa. Isinya bisa berhubungan dengan permainan, teka-teki, olok-olok jenaka, bahkan ada juga yang mengandung nasihat dan sistem nilai tertentu.15 D. Zawawi Imron juga menyebut genre sastra lisan Madura lama, seperti Dungngeng (Dongeng), Lo’ Alo’ (Sajak Kerapan Sapi tanpa lawan),
12
Seperti (Kénanté atau Salangét,
Pocong, Kasmaran, Méjil, Maskumambang,
Pangkor, Sénom, Artaté dan Durma). Lihat IC. Sujarwadi, “Seni Macapat Madura” dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Madura IV; Kumpulan Makalah Lokakarya Penelitian Sosial Budaya Madura 1980, (Jakarta:
Proyek Peningkatan Sarana Pendidikan Tinggi, 1980), h. 197. Bandingkan dengan Anis Aminoedin, “Folklore di Pulau Madura” dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Madura III; Kumpulan Makalah-makalah Seminar 1979, (Malang: Proyek Penelitian Madura, 1980),
h. 7-38.
13IC. Sujarwadi, “Seni Macapat
Madura”..., h. 196-215
14Suripan Sadi Hutomo, “Wajah
Kesusastraan Madura I-II”, Majalah BASIS, Ed. Mei 1991 XL No. 5, h. 195-196.
15
Mien A. Rifai, Manusia Madura;
Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007),
h. 59-60.
puisi mainan anak-anak dan puisi ritual.16
Sulayman Sadik menyebutkan bahwa hingga saat ini, tradisi pembacaan syair berbahasa Madura di tengah-tengah masyarakat tetap terus berlangsung, kendati intensitasnya semakin hari semakin menurun, karena faktor subordinasi bahasa daerah oleh bahasa nasional (atau bahkan bahasa internasional) dan kecenderungan generasi penuturnya yang berkembang dinamis. Misalnya, di desa Jambringin Proppo Pamekasan, masih ada tradisi Upacara Penghormatan kepada Bhuju’ Lir Saalir pada setiap malam bulan purnama di bulan Rabi’ul Awwal dengan menyanyikan syair Lir Saalir. Sayangnya, syair tersebut tidak banyak dimengerti orang karena menggunakan bahasa Madura era pengarangnya, Bhuju’ Lir Saalir (Abad ke-16 M), yang notabene sangat berbeda dengan bahasa Madura saat ini.17
Bahkan, dengan menggunakan teori konflik, Jamal D. Rahman memetakan polarisasi dikotomis masyarakat Madura (masyarakat pesantren dan non-pesantren) dalam mengekspresikan rasa seninya. Jika dalam tradisi sastra (tradisi lisan)
16D. Zawawi Imron, “Sastra Madura: Yang Hilang Belum Berganti”, dalam Huub de Jonge (Ed.), Agama, Kebudayaan dan Ekonomi;
Studi-studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura, (Jakarta: Rajawali Press, 1989), h.
181-205.
17A. Sulayman Sadik, “Kearifan Lokal dalam Sastra Madura dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Sehari-hari”, Jurnal OKARA, vol. I, Tahun 6, Mei 2011, h. 99.
masyarakat pesantren dikenal dengan genre Syi’ir, maka dalam masyarakat non-pesantren terdapat genre puisi, pantun dan mamaca.18
Jika ditinjau dari sejarah awal berdirinya pondok pesantren di Madura, alangkah sulitnya menelusuri pondok pesantren tertua di pulau ini. Apalagi memang tidak ada satupun pondok pesantren yang mengklaim dirinyalah yang tertua. Di daerah Sumenep, pondok pesantren Annuqayah yang terletak di desa Guluk-guluk didirikan oleh KH. Moh. Syarqawi pada tahun 1887.19 Sedangkan di Pamekasan, pondok pesantren Banyu Anyar didirikan oleh KH. Itsbat bin Ishaq pada tahun 1787 M/ 1204 H.20 Sebuah penelitian lain menyebutkan bahwa pondok pesantren tertua di Pamekasan adalah pondok pesantren Bara’ Léké (yang diperkirakan berdiri pada abad ke-16 M) dan pondok pesantren Sumber Anyar yang didirikan tahun 1515 M.21
18
Selengkapnya, baca Jamal D.
Rahman, “Islam, Madura dan Kesenian;
Pengalaman dan Kesan Pribadi” (Makalah dipresentasikan pada Kongres Kebudayaan
Madura di Sumenep, 9-11 Maret 2007).
Bandingkan dengan Hélène Bouvier, Lèbur: Seni
Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
2002), h. 158-163. 19
http://id.wikipedia.org/wiki/Pondok_Pes
antren_An-Nuqayah yang diunduh tgl. 18
September 2011. Lihat juga
http://berita-
annuqayah.blogspot.com/2008/10/profil-annuqayah_14.html yang diunduh tgl. 18
September 2011. 20
www.alkhoirot.net yang diunduh tgl. 18 September 2011.
21
Mohammad Kosim, et.al., Pondok
Pesantren di Pamekasan (Pertumbuhan dan
Van Bruinessen mencatat bahwa kitab-kitab klasik (baca: kitab kuning) yang diidentikkan dengan pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tertua telah ada jauh sebelum pesantren berdiri. Kendati secara historis, pesantren baru berdiri di Indonesia pada abad ke-18 M, namun kitab-kitab klasik telah dipelajari orang sejak abad ke-16 M. Beberapa karya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu di satu sisi dan di sisi lain, beberapa penulis Indonesia telah menulis kitab berbahasa Arab dengan gaya dan isi yang mirip dengan kitab-kitab ortodoks.22 Salah satu gaya penulisan kitab klasik tersebut23 menggunakan model mandzûm, yakni ditulis dalam bentuk sajak-sajak berirama (nadzam) agar gampang dihafal. Kitab terpanjang berbentuk sajak adalah Alfiyah ibnu Malik (karena terdiri dari seribu bait), yang telah dihafal oleh satu generasi santri ke generasi yang lain. Bahkan, pada beberapa pesantren tradisional di Jawa Timur, karya-karya tersebut dibaca sedemikian rupa dan diiringi alunan rebana dan tepuk tangan serta berkembang menjadi bentuk kesenian muslim yang tipikal.24
Perkembangan), (Pamekasan: P3M STAIN Pamekasan, 2002), h. 8-11.
22
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning,
Pesantren dan Tarekat; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999, cet. iii), h. 27.
23
Van Bruinessen menggunakan kalimat “kebanyakan buku-buku teks dasar”
24
Ibid., h. 141-142; Bandingkan dengan Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi
Pesantren, Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta:
Sebagai salah satu bagian dari peradaban Arab, syair Arab tidak dapat dipahami hanya sebagai produk budaya Arab saja. Bagi orang Madura, syair Arab dipandang sebagai bagian dari keberagamaan (baca: keberislaman) mereka, dan tetap mengandung sakralitas ritual dalam membacanya sekaligus menjadi media ekspresi berkesenian yang Islami. Melalui terjemahan ke dalam bahasa yang lebih tua, yakni bahasa Melayu dan Jawa,25 syair Arab bagi bahasa Madura menjadi fenomena yang serupa dengan sejauh mana bangsa-bangsa non-Arab lain yang menjadikan al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman sebagai bahasanya sendiri. Secara spesifik, Al-Faruqi menyebutkan:
“Sekarang, siapa saja di dunia Melayu, atau di dunia Zulu, yang ribuan mil jauhnya dari Arabia, empat belas abad jauhnya dari masa Nabi, dan tak terhingga jauhnya dari karakteristik etnik Arab, dapat memahami bahasa Arab al-Qur’an persis seperti pemahaman Nabi dan orang sezamannya.”26
Karena itu, tulisan ini berkeinginan untuk melihat lebih jauh, bagaimana kedudukan syair Arab bagi masyarakat pesantren di kawasan Madura bagian Timur, termasuk bagaimana resepsi mereka sebagai masyarakat yang berbudaya non-Arab
25
Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia
Lama Bercorak Islam, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1989), h. 147-149.
26Ismail Raji & Louis Lamya’ al-Faruqi,
Atlas Budaya Islam; Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Ilyas Hasan (terj.), (Bandung: Mizan, 1998), h. 377.
dalam konteks keberislaman pesantren yang khas dan tipikal.
Resepsi Atas Karya Sastra (Perspektif Teoretik)
Hubungan antara sastra dan masyarakat menurut Wellek dan Warren dapat dipetakan menjadi tiga, antara lain: a) sosiologi pengarang, profesi pengarang dan institusi sastra (the world of author). Persoalan yang terkait dengan hal tersebut adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status dan ideologi pengarang yang tampak pada berbagai kegiatannya di luar karya sastra (Kecenderungan ini terdapat pada aliran Romantik dan abad ke-19 M); b) isi karya sastra, tujuan dan hal-hal lain yang secara sosial tersirat dalam karya tersebut (Kecenderungan ini ada pada aliran New Criticism); c) persoalan pembaca dan dampak sosial karya sastra, yakni sejauh mana sastra ditentukan dan tergantung pada latar
sosial, perubahan dan
perkembangannya.27 Pada bagian ketiga, teori resepsi estetis muncul dan berkembang. Relevansi teoretiknya mencakup pembalikan fundamental dari legitimasi penulis sebagai pencipta pertama kepada penerimaan pembaca sebagai pencipta kedua, sekaligus pergeseran pemahaman dari pembaca
27
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori
Kesusastraan, Melani Budianta (terj.), (Jakarta:
Gramedia, 1995, cet. iv), h. 111-112. Lihat juga Terry Eagleton, Teori Sastra; Sebuah Pengantar
Komprehensif (Edisi Terbaru), Harfiah Widyawati
& Evi Setyarini (terj.), (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2007, cet. ii), h. 105.
individual ke pembaca transindividual, atau dari subyek tunggal ke subyek kolektif.28
Bersama semiotika dan interteks, estetika resepsi berkembang pada era post-strukturalisme. Bahkan, ada yang menyebut bahwa teori estetika resepsi lahir sebagai penentangan terhadap positivisme.29 Ia memiliki akar sejarah yang panjang, karena telah dibicarakan oleh Aristoteles (dalam Poetica) dan Horatius (dalam Ars Poetica).30 Robert C. Holub menyebutkan lima tradisi yang berpengaruh besar pada perkembangan teori resepsi, yakni: a) Formalisme Rusia, b) Strukturalisme Praha (J. Mukarovsky & F. Vodicka), c) Fenomenologi Roman Ingarden, d) Hermeneutika Hans-Georg Gadamer, dan e) Sosiologi Sastra. Resepsi sastra menjadi dominan sejak tahun 70-an, karena beberapa pertimbangan, antara
28
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan
Cultural Studies; Representasi Fiksi dan Fakta,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, cet. ii), h. 206. Dalam konteks resepsi sastra Arab dari pengaruh kritik sastra Barat, lihat Muhammad Walad Bû’alîbah, al-Naqd al-Gharbî wa al-Naqd
al-‘Arabî, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Tsaqâfah,
2002), h. 50-54.
29Mirriam Leonard, “History and Theory: Moses, Monotheism and Historiography” dalam Lorna Hardwick and Christopher Stray (Eds.), A
Companion to the Classical Reception, (Malden,
Oxford & Victoria: Blackwell Publishing, 2008), p. 208.
30
Robert C. Holub, Nadhariyyah
al-Istiqbâl; Muqaddimah Naqdiyyah, Ra’d ‘Abdul Jalîl Jawâd (terj.), (Suriah: Dâr al-Hiwâr li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 1992), h. 25-68; A. Teeuw, Sastra
dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra,
(Jakarta: Pustaka Jaya & Girimukti Pasaka, 1988, cet. ii), h. 120-123 & 183; Jan van Luxemburg et.al., Pengantar Ilmu Sastra, Dick Hartoko (terj.), (Jakarta: Gramedia, 1992, cet. iv), h. 77-78.
lain: a) solusi mengatasi strukturalisme yang hanya memperhatikan unsur-unsur dalam karya sastra; dan b) lahirnya empat jenis kesadaran, berupa kesadaran revitalisasi nilai kemanusiaan dalam konteks humanisme universal, kesadaran bahwa nilai karya sastra hanya dapat dikembangkan dengan kompetensi pembacanya, kesadaran bahwa keabadian karya seni disebabkan oleh pembaca serta kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dan pembacanya.31
Secara etimologis, resepsi berasal dari kata recipere (B. Latin), atau reception (B. Inggris) yang berarti penerimaan atau penyambutan pembaca. Secara luas, resepsi diartikan sebagai pengolahan dan cara-cara pemberian makna terhadap teks serta memberikan respon pembaca terhadap teks tersebut, baik pembaca dalam proses sejarah maupun dalam periode tertentu. 32 Teori resepsi juga diartikan sebagai penerimaan, penyambutan, tanggapan, reaksi dan sikap pembaca terhadap karya sastra.33 Penerimaan tersebut menjadi kontribusi pembaca
31
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode
dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga Post-Strukturalisme, Perspektif Wacana Naratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.
163-164 & 166. 32
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode
dan Teknik Penelitian Sastra..., h. 165 & 167.
Lihat juga Suwardi Endraswara, Metodologi
Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004,
cet. ii), h. 118 33
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan
yang penting bagi arah penelitian ilmu Sastra, yang bertujuan mencari makna, modalitas dan hasil pertemuan antara karya dan pembacanya, melalui berbagai aspek dan cara.34 Maka, berdasarkan zaman pembacanya, resepsi dibagi menjadi dua model, yakni: a) resepsi sinkronik dan b) resepsi diakronik. Pada resepsi sinkronik, tanggapan terhadap karya diteliti pada pembaca yang sezaman, sedangkan resepsi diakronik, memandang tanggapan pembaca sepanjang sejarah dari karya sastra.35
Peran pembaca dalam pemaknaan karya sastra dipandang sangat penting dalam teori ini. Ada implikasi estetis dalam hubungan antara karya sastra dan pembacanya. Implikasi tersebut muncul, karena pembaca dipandang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang membekalinya pada saat proses pembacaan. Dari situ kemudian, muncullah proses konkretisasi. Kedua modalitas tersebut (atau disebut “pra-anggapan” dalam hermeneutika Gadamer) menentukan arah pembacaan, atau dalam istilah Jauss dapat membangun horizon harapan pembaca. Horizon pembaca inilah yang senantiasa dikecewakan dengan adanya inovasi-inovasi pengarang, sehingga mengakibatkan
34
Warning, sebagaimana dikutip dari Umar Junus, Resepsi Sastra; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 29.
35
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode
dan Teknik Penelitian Sastra..., h. 165 & 167.
Lihat juga Suwardi Endraswara, Metodologi
Penelitian Sastra..., h. 118
munculnya ketegangan. Dengan demikian, horizon harapan yang dimaksud senantiasa bergerak dinamis, dan -menurut Pradopo, senantiasa- berdasarkan tiga kriteria: a) norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca pembaca, b) pengalaman dan pengetahuan pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan c) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, berupa kemampuan pembaca dalam memahami teks baru, berupa horizon “sempit” dalam internal karya sastra maupun horizon “luas” yang bersumber dari pengetahuan pembaca tentang kehidupan.36
Apalagi, Iser menyebutkan bahwa teks sastra berbeda dengan teks yang mengandung obyek nyata tertentu, karena mengandung wilayah ketidakpastian (indeterminacy areas), atau ada yang menyebutnya dengan istilah “ruang kosong”. Wilayah ini bersifat terbuka dan mengharuskan pembaca mengisinya, karena sifatnya yang memiliki banyak kemungkinan penafsiran (poly-interpretability).37 Wilayah yang “tak pasti” tersebut
36
Sangidu, Penelitian Sastra:
Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat,
(Yogyakarta: Seksi Penerbitan Sastra Asia Barat FIB UGM, 2007, cet. iii), h. 20-21. Bandingkan dengan Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan
Cultural Studies..., h. 207.
37
Sangidu, Penelitian Sastra..., h. 21. Lihat juga Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode
dan Teknik Penelitian Sastra..., h. 168-169.
Tentang bagaimana kontribusi Jauss dan Iser dalam mengembangkan pendekatan ini, baca Patrick Colm Hogan, Philosophical Approaches to
the Study of Literature, (USA: University Press of
membutuhkan konkretisasi sebagai suatu sikap estetik (termasuk juga penilaiannya) dan rekonstruksi sebagai upaya pengobyektifan tema.38 Untuk itu, rekonstruksi menurut Vodicka dapat menganalisa penerimaan karya sastra terkait hal-hal, antara lain: a) rekonstruksi karya sastra dan kompleksitas anggapan tentang sastra pada suatu masa, b) rekonstruksi sastra (misalnya kelompok karya) suatu masa yang biasa menjadi obyek penilaian dan lukisan tentang hirarki dan urutan nilai sastra, c) studi tentang konkretisasi karya sastra, baik yang sezaman (sinkronik) dan antar zaman (diakronik), dan d) studi tentang keluasan pengaruh/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra atau non-sastra.39
Sedangkan pembaca dalam pandangan Segers mengandung beragam makna. Salah satunya adalah pembaca nyata (real reader) yang secara fisik langsung terlibat dalam proses pembacaan. Pada kelompok ini, ada -setidaknya- dua kelompok besar, yakni pembaca peneliti dan pembaca umum. Resepsi kelompok pertama dapat berupa reaksi atau tanggapan terhadap karya yang dipahami dan berdiri dalam proses pembacaan, sedangkan kelompok kedua berdiri di luar proses pembacaan. Kedua jenis
38
Sebagaimana paradigma yang
ditawarkan Ingarden dan Vodicka. 39
Umar Junus, Resepsi Sastra..., h. 29-31.
tanggapan tersebut dapat diteliti melalui penelitian eksperimental.40
Ada tiga metode, terkait sambutan suatu teks terhadap teks lain. Pertama, metode eksperimental, yaitu metode penyajian teks tertentu kepada pembaca, baik secara individu maupun kelompok untuk meminta tanggapan. Model ini dilaksanakan dengan pengajuan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan jawabannya dapat dianalisis secara kuantitatif maupun kualitatif. Kedua, metode kritik teks, dengan merunut perkembangan tanggapan pembaca melalui tulisan, kritik, komentar, analisis maupun hasil-hasil penelitian. Ketiga, metode intertekstual, yakni metode yang melacak sambutan melalui teks lain yang datang belakangan.41 Hal ini dapat dilihat melalui penyalinan, penyaduran, penerjemahan dan lain sebagainya.42
40Selain “pembaca nyata”, teori resepsi juga memperkenalkan istilah pembaca implisit
(intended reader a la Wolf), pembaca
berpengalaman (super reader ala Riffaterre) dan pembaca yang berkompeten (informed reader ala Fish). Baca Suwardi Endraswara, Metodologi
Penelitian Sastra..., h. 125-126. Bandingkan
dengan Raman Selden, Panduan Pembaca Teori
Sastra Masa Kini, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1996, cet. iv), h. 117-134. 41
Dalam konteks sastra Arab, teori interteks dapat dibaca dalam Ahmad Za’bî,
Al-Tanâshsh; Nadhariyyan wa Tathbîqiyyan, Muqaddimah Nadhariyyah Ma’a Dirâsah Tathbîqiyyah li al-Tanâshsh fî Riwâyah “Ru’yâ” li Hâsyim Gharâyibah wa Qashîdah “Râyah al-Qalb” Li Ibrâhîm Nashrullâh, (‘Ammân: Muassasah Amûn li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 2000).
42
Sangidu, Penelitian Sastra..., h. 22-23. Lihat juga A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra;
Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya &
Girimukti Pasaka, 1988, cet. ii), h. 208-218. Bandingkan dengan Suroso et.al., Kritik Sastra;
Selain itu, ada tiga pertimbangan penting lain yang harus diperhatikan dalam penelitian resepsi sastra, yakni: a) perhatian pada nilai informasi suatu teks, sehingga seberapa jauh teks memberikan informasi kepada pembaca, bergantung pada penguasaan pembaca atas kode-kode yang digunakan teks tersebut; b) Kode sastra yang seringkali berposisi di atas kode linguistik. Kode ini bersifat abstrak, sehingga karenanya, membutuhkan penafsiran yang jeli dan merupakan konstruks pemikiran yang diterima dalam tradisi kultural tertentu. Bahkan, setiap teks dibangun berdasarkan pemahaman pembaca potensialnya dan setiap karya menyusun kode dalam dirinya sendiri (“pembaca tersirat” menurut Iser)43
; c) ladang strategis bagi penelitian eksperimental, karena memiliki konteks pembaca. Maka pendekatan resepsi dapat menggunakan model penelitian fenomenologis, etnografis atau paradigma penelitian sosial budaya lainnya.44
Dalam penelitian resepsi, peneliti dapat melakukan dua hal, yaitu: menanyakan langsung reaksi pembaca terhadap teks, atau menyelidiki resepsi pembaca melalui lahirnya teks-teks baru yang sejenis. Kemungkinan pertama dapat dilakukan melalui penyelidikan eksperimental dan model survey, sedangkan yang kedua, menarik bidang filologi dan sastra bandingan, karena
Teori, Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Elamtera Publishing, 2009), h. 112-115. 43
Terry Eagleton, Teori Sastra..., h. 119. 44
Suwardi Endraswara, Metodologi
Penelitian Sastra..., h. 118-120 & 126.
mencari transformasi teks sastra daari waktu ke waktu. Proses kerjanya juga setidaknya melalui dua langkah, yaitu: menyajikan karya sastra kepada pembaca perorangan maupun kelompok
dan meminta pembaca
menginterpretasikan karya sastra. Pada proses pertama, pembaca diberikan pertanyaan lisan atau tertulis tentang kesan dan penerimaan. Jika jawaban dapat ditabulasikan, maka angket dapat digunakan (kuantitatif). Jika metode wawancara yang digunakan, maka jawabannya dapat dianalisis secara kualitatif. Adapun pada proses kedua, interpretasi pembaca dapat dianalisis secara kualitatif.45
Lowenthal memandang bahwa bentuk penerimaan pembaca terhadap sebuah karya setidaknya secara garis besar ada dua model, yakni penerimaan aktif dan pasif. Penerimaan aktif dapat bersifat positif maupun negatif. Sedangkan penerimaan pasif biasanya hanya memandang karya yang populer pada masa-masa tertentu. Dia juga menambahkan kritiknya bahwa pendekatan ini kurang memiliki perhatian terhadap karya, karena terfokus pada tanggapan pembaca, sedangkan karya ada pada posisi periferal. Apalagi, tujuan Lowenthal hanyalah ingin mengetahui pendapat publik tentang sebuah karya pada masa tertentu saja (sinkronik).46
45
Suwardi Endraswara, Metodologi
Penelitian Sastra..., h. 118-120 & 126.
46
Umar Junus, Sosiologi Sastera;
Komponen Dasar dan Filosofi Pendidikan Pondok Pesantren
Pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier minimal terdiri dari lima unsur pokok, yakni: kiyai, santri, pondok, masjid dan kitab klasik (atau lebih dikenal dengan istilah kitab kuning).47 Berbeda dengan Dhofier, Saridjo menyebutkan bahwa unsur pokok pesantren hanya tiga, yakni: a) kiyai (sebagai pendidikan dan pengajar), b) santri (yang belajar) dan c) masjid (sebagai tempat belajar).48 Selain itu, keunikan pola hidup pesantren dan posisinya sebagai sub-kultur, membuat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebutkan tiga elemen utama pembentuk pesantren, yakni: a) kepemimpinan pesantren yang mandiri, b) kitab-kitab yang menjadi rujukan umum dan berlangsung dari masa ke masa, dan c) sistem nilai yang digunakan di lingkungan pesantren.49 Sedikit berbeda dengan pendahulunya, Mohammad Tidjani Djauhari menyebutkan enam komponen dasar
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian
Pelajaran Malaysia, 1986), h. 18-19. 47
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai,
(Jakarta: LP3ES, 1996, cet. vi), h. 44-60. 48
Haidar Putra Daulay menjelaskan kelima unsur pokok tersebut dalam Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009, cet. ii), h.
22 & 62-65. 49
Nilai utama yang menjadi ciri tipikal sub-kultur pesantren sangat dipengaruhi oleh tradisi fiqh dan tasawwuf yang dominan dan diamalkan dalam bentuk amalan utama (fadlâil
al-a’mâl). Lihat Abdurrahman Wahid, “Pesantren
sebagai Sub Kultur” dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 39-60.
pesantren, yakni: a) kiyai yang ikhlas, disegani dan dihormati sebagai panutan seluruh santri, b) santri yang mukim di dalam pondok, serta percaya dan taat sepenuhnya pada kiyai atau pembantunya, c) jiwa dan tradisi kepesantrenan yang bersumber dari ajaran Islam dan mendasari segenap kegiatan sehari-hari, d) pendidikan dan pengajaran yang mengarah pada terciptanya insan mukmin yang shalih dan bertaqwa, e) masjid/mushalla sebagai tempat kegiatan santri dan pondok sebagai tempat mukim mereka, dan f) dukungan masyarakat, karena pesantren berdiri atas inisiatif masyarakat, dikelola bersama dan untuk kepentingan masyarakat.50 Komponen terakhir membuat pondok pesantren senantiasa bersikap kooperatif dengan dunia luar, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar pesantren.
Banyak kalangan memandang bahwa pondok pesantren identik dengan institusi pendidikan yang cenderung eksklusif, ketinggalan zaman, sangat tergantung pada kharisma kiyai dan -bahkan- ada yang menyebutnya sebagai “ladang” persemaian bibit radikalisme Islam. Pandangan tersebut sama sekali jauh dari kebenaran, jika sistem pendidikan kepesantrenan yang diinginkan secara filosofis dihubungkan dengan pandangan-pandangan KH. Imam Zarkasyi, salah seorang pendiri
50
Mohammad Tidjani Djauhari, Masa
Depan Pesantren; Agenda yang Belum Terselesaikan, (Jakarta: Taj Publishing, 2008), h.
Pondok Modern Gontor Ponorogo. Dengan menolak pemaknaan a la Snock Hourgronje yang hanya menyentuh kulit luarnya saja, KH. Imam Zarkasyi menyebutkan bahwa isi pokok pendidikan kepesantrenan adalah pendidikan mental dan karakter bagi para santri sebagai kader muballigh dan pemimpin umat di berbagai bidang kehidupan, satu tujuan pendidikan yang mengalami revitalisasi dan banyak didengung-dengungkan orang saat ini, kendati kemudian, banyak orang melupakan jasa besar dan kontribusi pesantren terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Melalui Falsafah Panca Jiwa Pondok Pesantren, KH. Imam Zarkasyi menyebutkan prinsip jiwa bebas di bagian terakhir dari beragam spirit yang harus ada di dalam pondok pesantren. Selain itu, pendidikan pesantren juga harus dijiwai oleh prinsip keikhlasan, kesederhanaan, berdikari dan ukhuwah diniyah.51 Dalam bahasa yang sedikit berbeda, Hasbullah menyebutkan bahwa sistem pondok pesantren menjunjung tinggi nilai-nilai kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan keberanian hidup.52
Pembangunan karakter (character building) yang menjadi tujuan utama pendidikan Islam dan seringkali
51
Tim Penyusun, KH. Imam Zarkasyi;
Dari Gontor Merintis Pesantren Modern,
(Ponorogo: Gontor Press, 1996), h. 427-429. 52
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996, cet. ii), h. 141.
menjadi persoalan serius di kalangan institusi pendidikan umum tidaklah menjadi problem besar di pesantren, karena sistem nilai dan moralitas yang luhur telah langsung diterapkan oleh kiyai dan santri dalam praktik keseharian. Pembangunan karakter (character building) yang menjadi misi esensial pendidikan Islam menuju pemahaman agama dan kesadaran imani terbukti telah terejawantahkan dengan baik di dunia pesantren.53 Fakta tersebut juga menjawab bahwa kendati pesantren identik dengan sistem pendidikan tradisional yang -konon katanya- terbelakang, namun di sisi lain, ada upaya untuk melakukan transformasi ke depan menuju gerbang rasionalitas dan kemajuan, dengan tanpa meninggalkan prinsip tradisionalnya, yakni prinsip al-Muhâfadhah ‘alal Qadîm al-Shâlih wal Akhdz bil Jadîd al-Ashlah (Melestarikan hal lama yang baik dan mengadopsi hal baru yang lebih baik).54
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia,55
53
Nurhayati Djamas, Dinamika
Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009), halaman kover belakang.
54Azyumardi Azra, “Pesantren;
Kontinuitas dan Perubahan”, pengantar buku Nurcholish Majid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah
Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina & Dian
Rakyat, tt.), h. xv-xvii. Tulisan yang sama juga terdapat dalam Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, cet.
iv), h. 95-110. 55
Direktorat Jenderal Kelembagaan
Agama Islam DEPAG RI, Pondok Pesantren dan
pesantren terbukti mampu melakukan transimisi ilmu keislaman di tengah-tengah masyarakat. Di dalam statistik Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Dir. PD-Pontren) Kementrian Agama RI, hingga tahun 2009, jumlah pesantren yang ada di Indonesia adalah 21.521 lembaga.56 Berdasarkan tipologinya, jumlah tersebut terbagi dalam tabel berikut:
No. Tipe Pesantren Jumlah %
1. Salafiyah 8.001 37 %
2. Ashriyah 3.881 18 %
3. Kombinasi 9.639 45 %
Jumlah Total 21.521 100 %
Dengan jumlah yang sangat besar itu, peran pesantren dan -terutama- alumninya tidak dapat diabaikan dalam mencapai tujuan pendidikan secara nasional. Keberadaan pesantren yang menjadi penerus tradisi peradaban Melayu Nusantara memiliki dasar pandangan yang mudah berpadu dengan modernitas. Zamakhsyari Dhofier menyebutkan 70% pesantren telah mengembangkan pendirian sekolah-sekolah dan sebagian di antaranya memiliki perguruan tinggi modern. Sedangkan 30% di antaranya mengkhususkan diri pada pendidikan agama dan kajian kitab klasik guna menyeimbangkan perpaduan
Perkembangannya, (Jakarta: DEPAG RI, 2003),
h. 7. 56
Sumber:
http://pendis.depag.go.id/file/dokumen/bukusaku. pdf diunduh tanggal 5 Mei 2010.
modern dalam pembangunan bangsa Indonesia.57
Hampir dapat dipastikan, para pengkaji pesantren akan menemukan kesulitan dalam merumuskan tipologi pendidikan pesantren di Indonesia sejak awal kelahirannya, karena masing-masing pesantren mencerminkan keunikan (the uniqueness) yang tipikal dan berbeda satu sama lain. Secara sederhana, dapat penulis sebutkan, misalnya: Mastuhu [1989] (Pesantren NU dan Muhammadiyah), Zamakhsyari Dhofier [1980] (Pesantren Salaf dan Khalaf), M. Dawam Rahardjo [1995] (Pesantren Induk dan Anak), atau tipologi yang dirumuskan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Salaf, ‘Ashrî dan Gabungan).58 Selain itu, pola interaksi antara unsur dalam pesantren pun ikut juga menentukan tipologi pesantren.59
Mahmud Yunus menyebutkan bahwa pada era Sultan Agung, pesantren telah terbagi menjadi beberapa tingkatan, antara lain: Pertama, Tingkatan Pengajian al-Qur’an di desa, dengan materi pelajaran mencakup huruf hijâiyyah, baca al-Qur’an, barzanji, rukun Islam dan Iman.
57
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren; Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press,
2009), h. 25-26 & 65-66. 58
Direktorat Jenderal Kelembagaan
Agama Islam DEPAG RI, Pondok Pesantren dan
Madrasah Diniyah..., h. 29-31.
59
Seperti lima pola pesantren yang ditawarkan oleh Haidar Putra Daulay, Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009, cet. ii), h.
Kedua, Tingkatan Pengajian Kitab, yang diikuti oleh santri yang telah khatam al-Qur’an dan bertempat di serambi masjid. Materinya antara lain Matan Taqrîb dan Bidâyah al-Hidâyah karya al-Ghazali. Ketiga, Tingkatan Pesantren Besar, yang didirikan di kabupaten, dengan kitab-kitab besar berbahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Daerah. Keempat, Pondok pesantren tingkat keahlian (takhassus) yang mempelajari satu cabang ilmu secara mendalam.60
Kedudukan Syair Arab dalam Keberagamaan (Keberislaman) Masyarakat Madura
Madura adalah pulau di bagian utara provinsi Jawa Timur dengan batas astronomis sebagai berikut: a) Utara: 6,45o LS, b) Selatan: 7,15 o LS, c) Timur: 114, 05 o BT, dan d) Barat 112,15 o BT, serta memiliki luas 547.514 ha pada bagian daratannya. Tanahnya rata-rata kering dan berkapur, sehingga sangat tergantung pada turunnya hujan.
Sistem nilai dan ajaran Islam telah menjadi bagian dari identitas kemaduraan. Selain dibuktikan dengan fakta bahwa hampir seluruh Madura adalah pemeluk Islam,61 sistem nilai dan ajaran Islam juga menjadi jiwa dalam kehidupan orang Madura, meresap ke
60
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan
Eksistensi Pesantren, h. 21-22.
61
Sebagian besar menganut madzhab
Ahli Sunnah wal Jama’ah dan sebagian kecil
menganut pergerakan Muhammadiyah. Baca Zein M. Wiryoprawiro, Arsitektur Tradisional
Madura Sumenep Dengan Pendekatan Historis-Deskriptif, (Surabaya: Lab. Arsitektur Tradisional
FTSP ITS, 1986), h. 3-10.
dalam akar budayanya dan menjadi pedoman hidup sehari-hari. Salah satu buktinya tampak dalam falsafah Buppa’ Babu’ Guru Rato dalam tradisi Madura yang mencerminkan hirarki penghormatan yang dimulai dari Ibu, Bapak, Guru (‘Ulama/Kiyai)62 dan Raja
(Pemerintah),63 atau tampak juga dalam filosofi abhantal syahadat, asapo’ iman, apajung Allah, yang berarti berbantalkan syahadat, berselimut iman dan berpayung Allah.64 Kedua falsafah tersebut menjadi cermin dari penjiwaan orang Madura terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Maka, adalah aneh, jika di Madura terdapat seseorang yang memeluk agama selain Islam, kecuali jika yang bersangkutan adalah keturunan (peranakan) Cina yang notabene memeluk agama katholik, kristen, hindu atau budha.
Ada pula yang menyatakan bahwa keberislaman orang Madura sampai pada tingkatan fanatik.65 Fanatisme tersebut tampak dalam planologi tradisional tempat tinggal
62
Tentang bagaimana status sosial kiyai bagi orang Madura, baca Sunyoto Usman, “Citra Status Sosial Kiyai; Studi Kasus di Palenga’an, Madura” dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Madura V; Kumpulan Makalah
Lokakarya Penelitian Sosial Budaya Madura,
(Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Pendidikan Tinggi, 1980), h. 232-242.
63
Mien Ahmad Rifai, Lintasan Sejarah
Madura, (Surabaya: Yayasan Lebbur Legga,
1993), h. 26. 64
Mohammad Tidjani Jauhari,
Membangun Madura, (Jakarta: Taj Publishing,
2008), h. 83-88.
65Muh. Syamsuddin, “Seksualitas dalam Kehidupan Kaum Blater”, Jurnal Penelitian Agama, Vol. xvi, No. 3, September-Desember 2007.
orang Madura, yang terkenal dengan filosofi taneyan lanjhang (secara harfiyah, bermakna halaman panjang), yang menempatkan kobhung (semacam musholla pribadi)66 sebagai salah satu bangunan yang wajib ada dan terletak di bagian barat, kendati tidak jauh dari tempat tinggal mereka terdapat mesjid di tingkat desa. Keberadaan kobhung yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata merupakan simbol dari ketaatan mereka terhadap Islam sebagai agama yang diyakininya67 sekaligus tempat untuk melakukan transformasi nilai budaya Madura antar generasi,68 kendati bentuk dan fungsinya semakin lama semakin memudar, karena semakin padatnya jumlah penduduk dan sempitnya lahan yang ditempati.69
66
Meunasah di Aceh, Surau di tanah
Minang atau langgar di Jawa. 67
Tentang makna dan fungsi kobhung bagi masyarakat Madura, selengkapnya baca Nor Hasan et.al., Kobhung dan Transformasi Nilai
Budaya Masyarakat Madura, (Pamekasan:
X-Press, 2009). Lihat juga RE. Jordaan, “Tentang Rumah Tradisional Madura”, dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Madura III;
Kumpulan Makalah-makalah Seminar 1979,
(Malang: Proyek Penelitian Madura, 1980), h. 68-70.
68
Nor Hasan et.al., Kobhung dan
Transformasi Nilai Budaya..., h. 77. Bandingkan
dengan Maulana Surya Kusumah, “Sopan, Hormat dan Islam; Ciri-ciri Orang Madura” dalam Soegianto (Peny.), Kepercayaan, Magi dan
Tradisi dalam Masyarakat Madura, (Jember:
Tapal Kuda, 2003), h. 1-29.
69Abdurachman, “Perubahan-perubahan Sosial di Madura [Social Changes in Madura]; Sekelumit Uraian dalam Permulaan Zaman Kemerdekaan” dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Madura IV; Kumpulan
Makalah Lokakarya Penelitian Sosial Budaya Madura 1980, (Jakarta: Proyek Peningkatan
Sarana Pendidikan Tinggi, 1980), h. 17-18.
Jauh sebelum bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan, orang Madura telah mengenal bahasa Madura sebagai bahasa ibu (lingua franca) dan bahasa Arab sebagai bahasa ritus (bahasa dalam beribadah dan mempelajari Islam). Selain itu, bahasa Jawa juga lebih dahulu dikenal oleh kalangan pesantren tradisional sebagai bahasa sasaran untuk menterjemahkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab,70 karena para pengajarnya mempelajari metodologi model tersebut di pondok-pondok pesantren di pulau Jawa.
Salah satu metodologi pembelajaran yang digunakan di pondok-pondok pesantren tradisional adalah mengkaji dan menghafal materi-materi keislaman melalui media bersyair. Beberapa kitab-kitab untuk santri pemula, seperti Safînatun Najâ, ‘Aqîdatul ‘Awâm, Hidâyatus Shibyân dan lain sebagainya disusun dengan menggunakan nadzaman (Syair Arab), agar lebih mudah dihafal.71 Tradisi pesantren tersebut berlangsung turun temurun dan terus dilestarikan hingga ke luar ruang lingkup pesantren. Fakta yang tidak dapat ditolak adalah kendati
70
Selain menggunakan bahasa Jawa, bahasa Melayu juga digunakan sebagai bahasa sasaran untuk menterjemahkan kitab klasik berbahasa Arab. Lihat Martin van Bruinessen,
Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999,
cet. 3), h. 27, 112-114; Bahkan, van Bruinessen juga menyertakan tabel jumlah karya terjemahan dari kitab klasik berbahasa Arab ke dalam beberapa bahasa lokal lainnya. Lihat Ibid., h. 134.
71
Data selengkapnya tentang format teknis kitab-kitab tersebut, baca Ibid., h. 141.
mayoritas orang Madura memeluk Islam, namun mayoritas di antara mereka lebih hafal Barzanji daripada al-Qur’an sebagai kitab suci mereka, karena syair-syair Arab dalam Barzanji lebih sering dibaca dalam beberapa acara-acara adat dan hari-hari besar Islam, serta dipandang sebagai bagian dari ibadah.72
Membaca syair Arab bagi masyarakat Madura secara umum telah menjadi bagian dari ekspresi keberislaman mereka. Melalui bahasa yang lebih tua, yakni Melayu dan Jawa, syair Arab diresepsi oleh tradisi
masyarakat Madura dan
memposisikannya sebagai salah satu penerima karya sastra Arab di wilayah Non-Barat. Orientasi terkuat dari karya sastra Arab saat itu (pada abad ke-13 M) mengarah pada tema-tema Fiqih, Akhlaq dan Tasawwuf. Bahkan, pada abad ke-16 M, manifestasi tematik di atas telah menembus ke dalam kesadaran ilmiah umat Islam, khususnya di dunia pesantren.73
Kenyataan di atas senada dengan apa yang disampaikan al-Attas bahwa ada lima faktor yang menjadi latar belakang masuk dan berkembangnya Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia, yakni: a) perdagangan, b) perkawinan antara muslim dan non-muslim, c) kemudahan
72Kitab karya Ja’far al-Barzinji ini lebih sering dibaca, karena berisi cerita kelahiran nabi dan perjalanan mi’rajnya ke langit. Selengkapnya,
baca Ibid., h. 168. 73
Fadlil Munawwar Manshur M.S.,
Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. ix.
dan kepentingan politik sebagai motif memeluk Islam, d) penghargaan nilai ideologi Islam, terutama bagi pemeluknya, dan e) otoktoni (situasi yang ada sejak masa purbakala sebagai milik atau sifat budaya suatu masyarakat). Pengaruh sastra Arab terhadap kebudayaan Melayu lebih banyak dipengaruhi faktor kelima, yakni otoktoni, dengan masuknya karya sastra Arab bergenre puisi (syair Arab) yang bernuansa sufistik, seperti Kasidah Burdah, Barzanji dan Diba’i ke dalam budaya masyarakat Melayu-Indonesia yang paralel dengan tasawuf Islam.
Keberadaan syair-syair Arab tersebut mendapatkan penerimaan di kalangan masyarakat Melayu-Indonesia, karena tiga faktor penting, antara lain: a) isi kandungan naskah yang bersifat sufistik, b) jati diri kemelayuan identik dengan Islam, sehingga memudahkan proses resepsi,74 dan c) tema-tema karya sastra mencakup pandangan hidup, sistem nilai dan estetika Islam. 75 Ketiga faktor yang sangat mendasar tersebut sedikit banyak tidaklah berbeda dengan budaya masyarakat Madura.
Maka, mengakrabi (baca: membaca) syair Arab dalam keseharian orang Madura, kendati tidak memahami arti dan maknanya secara persis, dipandang sebagai bagian dari keberislaman, termasuk bagi para santri yang tinggal dan bermukim di
74
Seperti teks terjemahan Kasidah
Burdah dalam bahasa Melayu yang diedit oleh
Drewes pada tahun 1955. 75
pondok pesantren tradisional. Karena di dalam syair-syair tersebut mengandung sakralitas tertentu dan terkait dengan cara beragama mereka, sejak masih bermukim di dalam pesantren hingga pulang ke tengah-tengah masyarakat. Karena itu, jika dilihat secara periodik, baik harian, mingguan, tahunan maupun kegiatan ritual insidentil, selalu dibacakan syair-syair Arab yang berhubungan dengan kegiatan tersebut, seperti: Syair Shalawatan sebelum datangnya waktu shalat, setelah Adzan, sebelum dan setelah membaca al-Qur’an; atau syair Abu Nawas pada setiap usai shalat jum’at; atau Qashîdah Shalawat Haji yang populer pada bulan-bulan pelaksanaan ibadah haji (Syawwal/Sabal s/d Shafar/Sappar) dan pembacaan Barzanji pada hari-hari besar Islam (Maulid Nabi & Isra’ Mi’raj). Demikian pula, pada kegiatan insidentil yang terkait periodisasi kehidupan seseorang dari lahir hingga mati seperti: Tasyakkuran Aqiqah (Némang/Molang Aré), Tasyakkuran Pernikahan dan Tahlilan untuk mendo’akan yang sudah wafat (1 s/d 7 hari, 40, 100, Haul hingga 1000 hari).
Secara historis, pembacaan syair Arab dalam tradisi ritual keseharian masyarakat Madura berakar dari tradisi pesantren tradisional. Kendati belum pernah diteliti, kecenderungan tersebut dapat dipahami, karena peran sentral kiyai dalam tradisi tersebut. Sunyoto Usman menyebutkan bahwa dalam pemaknaan kultural orang Madura, kiyai setidaknya dipahami dalam tiga hal,
yakni: a) figur pimpinan pondok pesantren, dengan kekuasaan dan wewenang yang bersifat mutlak, b) tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan keagamaan, termasuk memecahkan berbagai persoalannya, dan c) guru mengaji di langgar ataupun masjid, sekaligus imamnya. Maka, berdasarkan sentralitas peran tersebut, ada setidaknya tiga jalur interaksi antara anggota masyarakat dengan kiyainya, di mana terdapat kemungkinan berkembangnya tradisi pembacaan syair Arab dimaksud, yaitu: a) kunjungan ke kediaman kiyai untuk berbagai maksud dan tujuan, b) kebiasaan anggota masyarakat yang mengundang kiyai dalam berbagai kegiatan, seperti acara keluarga (pernikahan) dan acara lainnya, c) kebiasaan kiyai menghadiri (diundang) dalam pengajian umum dan hari-hari besar keagamaan.76
Resepsi Syair Arab Masyarakat Pesantren di Madura Timur
Syair Arab telah menjadi salah
satu identitas sejati pondok pesantren pada saat ia dipelajari oleh para santri melalui media kitab klasik (Kutub al-Qadîmah), atau yang lazim dikenal dengan istilah kitab kuning. Kitab-kitab yang rata-rata ditulis oleh para ulama pada abad pertengahan tersebut menjadi bagian jati diri pondok pesantren tradisional, sehingga ukuran kepandaian dan kamahiran seorang santri dilihat dari kemampuannya
76Sunyoto Usman, “Citra Status Sosial Kiyai..., h. 235-238.
membaca dan mensyarah (menjelaskan) isi kandungan kitab-kitab tersebut.77
Kitab-kitab klasik diajarkan sebagai manifestasi dari tujuan utama pesantren, yakni mendidik calon ulama yang memahami ajaran Islam, khususnya Islam tradisional. Karenanya, kitab klasik menjadi sebuah keniscayaan yang harus diajarkan. Jika tidak, maka orisinalitas kepesantrenannya menjadi kabur dan lebih tepat disebut dengan istilah perguruan atau madrasah dengan sistem pondok atau asrama.78
Sebenarnya, penyebutan kitab klasik sebagai kitab kuning merupakan ungkapan negatif dan tidaklah jelas asal usulnya. Disebut negatif, karena mengesankan bahwa dunia pesantren tidaklah mengenal buku-buku lain di luar kitab kuning serta unsur keklasikannya yang dianggap identik dengan keterbelakangan dan kejumudan. Sedangkan ketidakjelasan asal usul berdasar pada ketidakjelasan pembatasan kitab-kitab tersebut, karena keragaman ukuran. Ada yang menggunakan ukuran tahun karangan, madzhab teologi, penyebutan mu’tabarah atau ghayr mu’tabarah dan lain sebagainya. Selain itu, kitab-kitab
77
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan
Eksistensi Pesantren, h. 18; Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1996, cet. ii), h. 144. 78
Kendati kriteria ini dapat
diperdebatkan, namun beberapa peneliti
pesantren telah menyatakan hal ini, seperti Noer (1982), Prasodjo (1974) dan Sunyoto (1990). Selengkapnya, lihat Imron Arifin, Kepemimpinan
Kyai; Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng,
(Malang: Kalimasahada Press, 1993), h. 8.
klasik ini pada umumnya dicetak dengan memakai huruf-huruf Arab serta menggunakan bahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Madura dan lain sebagainya. Abjad yang tercetak tidak menggunakan tanda baca (harakat/syakal), sehingga karenanya, ia juga disebut kitab gundul. Namun, karena perkembangan dunia percetakan, sudah banyak yang tidak lagi dicetak dalam kertas berwarna kuning, sehingga untuk membedakannya dengan karangan-karangan baru tidak dapat dilihat dari penampilan fisik dan tulisannya, melainkan dari isi, sistematika, metodologi, bahasan dan pengarangnya.79
Secara historis, pembelajaran kitab klasik (atau yang lebih dikenal dengan istilah pengajian kitab tradisional) di pesantren diselenggarakan secara individual dan dimulai dari ilmu-ilmu bahasa Arab, yang dalam istilah pesantren disebut ilmu alat. Setelah itu, barulah mereka mempelajari kitab-kitab dalam disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti fiqh, tauhid dan akhlaq. Orientasi bentuk dalam pembelajaran ilmu-ilmu tersebut pada awalnya dipentingkan, karena kitab yang dipelajari berbentuk sajak (syair), di mana santri harus mampu membaca dan menghafalnya tanpa salah, serta
79
Tentang hal ini, Imron Arifin mengutip tulisan Yafie (1989) dan Zuhri (1987). Lihat Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai; Kasus Pondok
Pesantren Tebu Ireng, (Malang: Kalimasahada
menjelaskannya kepada guru mereka secara harfiah.80
Struktur pembelajaran pada pesantren tradisional mengandung karakteristik pelajaran yang berulang-ulang pada masing-masing tingkatan, sehingga seringkali tidak terlihat ketuntasannya dan memakan waktu yang lama (hingga bertahun-tahun), kendati menggunakan buku teks berbeda-beda. Dimulai dari “kitab kecil” (mabsûthât) yang berisi teks ringkas dan sederhana, pembelajarannya memakan waktu yang relatif lama untuk mencapai tingkat “kitab sedang” (mutawassithât). Penggunaan kurikulum yang sedemikian lentur tersebut berbanding lurus dengan cara penyampaian pelajaran dan penggunaan materi ajar yang telah dikuasai para santri. Strategi mirip “kuliah terbuka” digunakan kiyai dengan membaca, menterjemahkan dan menjelaskan persoalan-persoalan yang ada di dalam teks. Kemudian, santri membaca ulang teks tersebut, baik di hadapan sang kiyai, di pondoknya, maupun di dalam pengajian ulang sesama teman pengajiannya. Pengajian ulang ini dikenal dengan berbagai macam sebutan, antara lain: musyawarah, takrar, mudârasah, jam’iyyah dan sebagainya.81
Senada dengan pandangan di atas, pendidikan pesantren juga tidak
80
Karel A. Steenbrink, Pesantren,
Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994, cet. II), h.
12-13 & 170-171 .
81Abdurrahman Wahid, “Pesantren
sebagai Sub Kultur”, h. 41.
hanya berorientasi kepada isi (content oriented), namun juga pada orientasi kompetensi (compentence oriented), karena obsesi para santri dan kiyai adalah mempelajari ilmu yang bermanfaat bagi negara, bangsa dan agama mereka.82 Selain itu, metodologi pembelajarannya pun berpusat pada santri (pupil centered) dan bukannya pada guru (teacher centered), seperti sorogan,83 wetonan/bandongan,84 halaqah, santri musafir, belajar tuntas, musyawarah/bahtsul masâil,85 hafalan (muhâfadhah), demonstrasi (praktek ibadah) dan lain sebagainya.86
Gus Dur juga menegaskan bahwa Ilmu “Alat”, Tasawwuf dan Fiqh menjadi salah satu unsur pembentuk tata nilai universal yang disepakati bersama antar pesantren. Pertemuan antar pengasuh pesantren, baik yang bersifat formil (seperti pembahasan masalah hukum-hukum agama) maupun informil (seperti silaturrahim dan
82
Mohammad Tidjani Djauhari, Masa
Depan Pesantren..., h. 82.
83
Metode belajar di mana santri
menghadap guru satu persatu dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya.
84
Metode belajar di mana santri duduk di sekeliling kiyai dalam mengikuti pelajaran yang disampaikannya.
85
Metode belajar dengan mendiskusikan materi pelajaran yang akan atau sudah dipelajari untuk memahami dan memperdalam materi tersebut. Lihat Haidar Putra Daulay, Historisitas
dan Eksistensi Pesantren, h. 10-11.
86
Mohammad Tidjani Djauhari, Masa
Depan Pesantren..., h. 83. Bandingkan dengan
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, Pondok Pesantren dan Madrasah
Diniyah..., h. 38-48; Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai,
upacara-upacara ritual keagamaan semisal haul wafatnya ulama besar di masa lampau) serta penggunaan literatur keagamaan yang diakui bersama (al-Kutub al-Mu’tabarah) di lingkungan pesantren menjadi pemersatu mobilitas horizontal dan vertikal para santri.87
Secara eksplisit, Nurcholis Majid pernah membuat pemetaan terhadap berbagai disiplin ilmu keislaman yang diajarkan di pesantren pada umumnya dan menjadi sisi keunggulan tipologis yang membedakannya dengan pesantren lain, seperti a) Nahwu-Sharaf,88 b) Fiqh, c) ‘Aqâid,89 d) Tasawwuf, e) Tafsir,90 f) Hadits, g) Bahasa Arab dan h) Fundamentalisme.91 Secara umum, istilah kurikulum memang tidak dikenal dalam proses pembelajaran di dunia pesantren, karena semua disiplin ilmu terintegrasi dalam praktek pengajaran, bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari. Kiyai dan santri terlibat dalam proses pembelajaran dengan tujuan ibadah lillâhi ta’âlâ. Kendati demikian, ilmu-ilmu keislaman
87
Karel A. Steenbrink, Pesantren,..., h. 50.
88
Dengan kitab-kitab seperti Ajurumîyah, ‘Imrithî, Alfiyah hingga Ibnu ‘Aqîl.
89
Bidang ini mengajarkan kitab-kitab yang sederhana, seperti ‘Aqîdatul ‘Awâm, Bad’ul ‘Amal, Sanûsiyyah dan lain sebagainya.
90
Kitab wajib yang harus dipelajari adalah Tafsîr Jalâlayn.
91
Nurcholish Majid, Bilik-bilik Pesantren;
Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina
& Dian Rakyat, tt.), h. 8-13. Bahkan, di h. 32, Majid juga menyebutkan nama-nama kitab yang
biasa diajarkan di kalangan pesantren
berdasarkan pemetaan keilmuan di atas.
yang diajarkan senantiasa terkait dengan persoalan ‘akidah, syarî’ah dan bahasa Arab, seperti: Al-Qur’ân, termasuk tajwîd dan tafsîrnya; ‘Aqâid dan Ilmu Kalâm; Fiqh dan Ushûl Fiqh; Hadîts dan Mushthalahul Hadîts; Bahasa Arab dan berbagai Ilmu “Alat”-nya, seperti Nahwu, Sharf, Bayân, Ma’ânî, Badî’ dan ‘Arûdl; Târîkh; Mantiq; dan Tasawwuf. Selain itu, ada juga pesantren yang mengajarkan Ilmu Falak sesuai dengan keahlian kiyainya sebagai tokoh inti dalam setiap pesantren.92
Secara ringkas, berbagai kitab klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier mencakup delapan jenis disiplin keilmuan, antara lain: a) Nahwu (syntax) dan Sharf (Morfologi), b) Fiqh, c) Ushul Fiqh, d) Hadits, e) Tafsir, f) Tauhid, g) Tasawwuf dan Etika, dan h) cabang-cabang yang lain, seperti Tarikh dan Balaghah. Kategorisasi tersebut mencakup teks yang sangat pendek hingga teks yang berjilid-jilid tebalnya, sehingga karena ukuran tersebut, ia digolongkan menjadi tiga kelompok, yakni: 1) Kitab-kitab dasar, 2) Kitab-kitab tingkat menengah dan 3) Kitab-kitab besar. Kitab-kitab tersebut secara umum diajarkan di hampir seluruh pesantren yang ada di pulau Jawa dan Madura.93
92M. Habib Chirzin, “Agama, Ilmu dan Pesantren”, dalam M. Dawam Rahardjo (ed.),
Pesantren..., h. 86.
93
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai,
Penelitian Martin van Bruinessen atas 900 karya kitab kuning menyimpulkan beberapa hal berikut:94
Hampir 500 karya, atau lebih dari separuh, karya tersebut ditulis dan diterjemahkan oleh ulama Asia Tenggara.
Jika dihitung secara terpisah, ada 500 karya yang berbahasa Arab (55 %), 200 karya berbahasa Melayu (22 %), 120 karya berbahasa Jawa (13 %) dan 25 karya berbahasa Madura (2,5 %).
Karya tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori, seperti Fiqh (20%), Aqidah (17%), Tata Bahasa (12%), Hadits (8%), Tasawwuf dan Tarekat (7%), Akhlak (6%), Kumpulan Wirid dan Do’a (5%), serta Cerita Nabi, Maulid dan Manaqib (6%).
Sejak abad ke-19 M, pesantren di Madura telah menggunakan terjemahan berbahasa Jawa. Bahasa lokal (Madura) juga digunakan, namun baru pada abad ke-20 M. Abdul Majid Tamim (Pamekasan) telah menterjemahkan lebih dari 10 karya ke dalam bahasa Madura, yang mencakup hampir seluruh cabang ilmu keislaman.95 Namun sayang, van Bruinessen tidak menyebutkan apa saja judul kesepuluh kitab yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Madura tersebut, karena keterbatasan ruang lingkup penelitian tersebut dan tidak ada pemilahan antara
94
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning;
Pesantren dan Tarekat ...,134-135.
95
Ibid., h. 144-145.
kitab model narasi (prosa) dan nadzam (syair/puisi).
Sejauh penelusuran singkat penulis melalui studi dokumentasi, berikut beberapa kitab dalam bentuk nadzam yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Madura (Lihat di bagian lampiran!).
Keempat kitab tersebut termasuk dalam kategori al-mabsûthât, atau kitab-kitab kecil/sederhana dan digunakan pada madrasah diniyah dan pondok pesantren oleh para santri pemula (Kelas Dasar/ Bawah).
Senada dengan penelitian van Bruinessen, ada beberapa kitab dalam bentuk nadzam yang diterjemahkan dengan tidak menggunakan bahasa lokal, namun bahasa Indonesia dan Arab, seperti Alfiyah ibn Malik (Grammatika), ‘Iddah al-Farîd (Farâidl), Nadzm ‘Imrîthî (Grammatika), Nadzm Maqshûd (Grammatika), Kharîdah al-Bâhiyah (Tawhid) dan lain sebagainya. Penggunaan kitab-kitab tersebut pada pondok pesantren di Madura lebih karena faktor hubungan yang erat antara pesantren “induk” dan pesantren “anak”, sebagaimana cara pandang yang digunakan oleh M. Dawam Rahardjo (1995), dalam meneliti hubungan antara satu pesantren dengan pesantren yang lain.
Penggunaan kitab-kitab klasik model nadzam tersebut mencirikan tujuan pembelajaran sebagai berikut: a) Agar para santri mudah menghafal dan mencerna maksudnya, b) memudahkan penerjemahannya (resepsi intertekstual)
ke dalam bahasa sasaran, c) menjadikannya sebagai kebanggaan dan “mantra” yang disakralkan, sebagaimana bagi santri yang mampu menghafal Alfiyah secara sungsang. Siapa yang mampu melakukannya, maka ia akan mendapatkan status sosial yang lebih tinggi dan lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak mampu melakukannya.
Penggunaan bahasa Madura sebagai bahasa sasaran penerjemahan juga bertujuan untuk melestarikan eksistensi bahasa lokal, kendati kemudian gaya bahasa yang digunakan untuk menerjemah tidak mengikuti genre teks bahasa sumber, yakni berbentuk syair. Artinya, tidak ada keterkaitan antara gaya penerjemahan dengan genre teks dalam bahasa sumber. Penelitian yang penulis lakukan atas kitab Nadzm Safînah al-Najâ al-Musammâ bi Tanwîr al-Hijâ, menunjukkan bahwa bahasa sasaran yang digunakan adalah bahasa Madura dengan tingkatan tinggi (enggi bunten/kromo inggil B. Jawa) dengan pola penerjemahan yang ketat berpedoman pada bahasa sumber (bahasa Arab),96 sebagaimana yang juga terjadi pada penerjemahan teks-teks Arab klasik ke dalam bahasa Jawa. Penggunaan bahasa tingkatan tinggi tersebut pada gilirannya merupakan bentuk pembelajaran dan pengayaan bahasa Madura bagi para santri dalam bertutur sehari-hari dan
96
Menggunakan pola dining-paneka
dalam penerjemahan mubtada’-khabar.
menggunakannya sebagai pengantar dakwah bagi masyarakat tradisional di satu sisi. Namun di sisi lain, model penerjemahan yang demikian secara otomatis mengsubordinasi tata grammatikal bahasa sasaran dan pada beberapa kasus, ditemukan penggunaan bahasa yang tidak lazim,97 kosa kata bahasa sasaran yang tidak lengkap dan bahasa yang bertele-tele.98 Akibatnya, jika suatu saat, hasil terjemahan diterbitkan secara terpisah dari teks bahasa sumber, maka akan sangat sulit dalam memahaminya.
Penutup
Kedudukan syair Arab bagi masyarakat pesantren di kawasan Madura bagian Timur adalah sebagai bagian dari ibadah, karena penjiwaan para santri terhadap kitab-kitab kuning bergenre nadzam tersebut dengan cara berupaya menghafal dan memahaminya, menterjemahkannya ke dalam bahasa lokal dan menjadikannya sebagai kebanggaan sekaligus “mantra”. Berdasarkan hal tersebut, resepsi mereka sebagai masyarakat yang berbudaya non-Arab merupakan resepsi intertekstual dengan terbitnya berbagai karya berbahasa Madura yang juga
97
Mis. Maka ta’ kenneng bunten
(mestinya maka kodu) atau settong ban duwa’ polo (mestinya salekor).
98
Umar Bukhory, Dawr al-Nahw al-‘Arabî fî Tarjamah min ‘Arabiyyah ilâ Lughah al-Mâdûriyyah (Dirâsah Tahlîliyyah Nahwiyyah fî Kitâb Safînah Najâ wa Nadhm Safînah al-Najâh), Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab,
Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999, h. 53-55.