• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Pertanahan Indonesia Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Profil Pertanahan Indonesia Tahun 2015"

Copied!
202
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas i

KATA PENGANTAR

Tanah atau agraria berasal dari beberapa bahasa. Istilah agraria berasal dari kata ‘akker’ (Bahasa Belanda), ‘agros’ (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, ‘agger’ (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, ‘agrarian’ (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian (Santoso, Urip. 2009:1). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agra-ria berarti (1) urusan pertanian atau tanah pertanian, (2) urusan pemilikan tanah. Men-gacu pada amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945, segala kekayaan yang dimiliki oleh Indone-sia, dikuasai, diatur dan dikelola serta didistribusikan oleh negara. Pengelolaan ini menjadi salah satu poin penting untuk dapat mencapai cita-cita pasal 33 yaitu untuk semata-mata meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, yang saat ini terjadi adalah masih ada beberapa kasus terkait kurangnya kinerja pengelolaan aset negara (dalam hal ini tanah) yang membawa dampak cukup besar terhadap kehidupan masyarakat saat ini. Sebagai contoh, konflik dan sengketa tanah adat, kepemilikan hak atas tanah, kurangnya lahan untuk pembangunan kepentingan umum dan lain sebagainya. Penjabaran terkait perma-salahan pengelolaan pertanahan di atas perlu adanya tindak lanjut, sehingga hal ini dapat diminimalisir.

Buku Profil Pertanahan Nasional menjelaskan kondisi pengelolaan pertanahan di Indonesia yang disajikan dalam data angka maupun penjelasan deskriptif yang mudah dipahami. Diharapkan buku ini dapat membuat seluruh pembacanya mengetahui kondisi pertanahan pada setiap provinsi di Indonesia. Selain itu, buku ini diharapkan dapat menjadi dasar pengambilan keputusan di bidang pengelolaan pertanahan ke depannya. Selain itu juga dapat menjadi sarana evaluasi implementasi perencanaan sekaligus menjadi acuan bagi perencanaan ke depannya di Indonesia.

(4)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas ii

DAFTAR SINGKATAN

Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BIG : Badan Informasi Geospasial

BPN RI : Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Ha : Hektar

HGU : Hak Guna Usaha HGB : Hak Guna Bangunan

IP4T : Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah IPSLA : Institutional Partnership for Strengthening Land Administration

Kakanwil : Kepala Kantor Wilayah Kantah : Kantor Pertanahan

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia Keppres : Keputusan Presiden

KK : Kepala Keluarga

KPPN : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional LP2B : Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MBR : Masyarakat Berpenghasilan Rendah

MPR RI : Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

P4T : Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah PP : Peraturan Presiden

PPAN : Program Pembaharuan Agraria Nasional Renstra : Rencana Strategis

RKP : Rencana Kerja Pemerintah

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJPN : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah

RUU : Rancangan Undang-Undang SIP : Sistem Informasi Pertanahan TI : Teknologi Informasi

TIK : Teknologi Informasi dan Komputerisasi TOL : Tanah Objek Landreform

TORA : Tanah Objek Reforma Agraria UU : Undang-Undang

UUD : Undang-Undang Dasar

(5)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas iii

DAFTAR ISTILAH

Dalam buku profil pertanahan daerah ini, terdapat beberapa istilah yang biasa digunak-an dalam biddigunak-ang pertdigunak-anahdigunak-an. Himpundigunak-an istilah ini diharapkdigunak-an dapat mempermudah pembaca dalam memahami maksud dari setiap data dan informasi yang disajikan dalam buku profil per-tanahan. Berikut istilah-istilah yang digunakan:

1. Peta Dasar Pertanahan

Peta dasar pertanahan adalah peta yang memuat titik-titik dasar teknik pengukuran dan unsur-unsur geografis, seperti sungai, jalan, bangunan dan batas fisik bidang-bidang ta-nah.

2. Peta Tematik

Peta Tematik adalah peta yang menyajikan tema tertentu dan untuk kepentingan tertentu (land status, penduduk, transportasi dll.) dengan menggunakan peta rupabumi yang telah disederhanakan sebagai dasar untuk meletakkan informasi tematiknya.

a. Peta Zona Nilai Tanah

Peta zona nilai tanah adalah peta tematik yang menggambarkan besaran-besaran nilai tanah atau harga pasar dan potensi tanah di suatu wilayah tertentu. Peta ini dibuat dengan skala 10.000 atau lebih kecil.

b. Peta Sosial-Ekonomi

Peta sosial-ekonomi adalah peta tematik yang menggambarkan kondisi sosial-ekono-mi yang ada di suatu wilayah berdasarkan variabel tertentu secara spasial. c. Peta Penggunaan Tanah

Peta penggunaan tanah adalah peta tematik yang menggambarkan peruntukkan lahan yang ada di suatu wilayah.

3. Status Hukum Atas Tanah

a. Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan bahwa “Semua hak atas tanah mempun-yai fungsi sosial”.

b. HGU atau Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Hak ini diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 Ha dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai den-gan perkembanden-gan zaman.

c. HGB atau Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangu-nan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

(6)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas iv

yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala ses-uatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.

e. Hak Sewa adalah hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar sewa kepada pemiliknya.

f. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

g. Hak Wakaf

h. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaan-nya sebagian dilimpahkan kepada pemegangpelaksanaan-nya (PP No 24/1997)

4. Tanah Terlantar

Tanah Terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

5. Redistribusi Tanah

Redistribusi tanah (land reform) merupakan salah satu bagian dari agrarian reform, atau yang sering disebut dengan reforma agraria. Program land reform melalui redistribusi tanah melakukan koreksi agar sebagian besar penduduk dapat hidup di tanah yang luasan-nya layak secara ekonomi, sosial, dan budaya.

6. PRONA (Sumber: bpn.go.id)

Nama kegiatan legalisasi aset yang umum dikenal dengan PRONA, adalah singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria. PRONA adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi aset dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi; adjudi-kasi, pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertifikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara masal. PRONA dimulai sejak tahun 1981 berdasarkan Kepu-tusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189 Tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria. Berdasarkan keputusan tersebut, Penyelenggara PRONA bertugas memproses pensertifikatan tanah secara masal sebagai perwujudan daripada program Catur Tertib di Bidang Pertanahan.

7. Sertifikasi Tanah Lintas Sektor (LINTOR) (Sumber: bpn.go.id)

(7)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas v 8. Kasus Pertanahan (bpn.go.id)

Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Peng-kajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, Kasus Pertanahan adalah sengketa, konflik atau perkara pertanahan yang disampaikan kepada BPN RI untuk mendapatkan pena- nganan penyelesaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebi-jakan pertanahan nasional.

a. Sengketa pertanahan yang selanjutnya disingkat Sengketa adalah perselisihan per-tanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak ber-dampak luas secara sosio-politis.

b. Konflik pertanahan yang selanjutnya disingkat Konflik adalah perselisihan pertana-han antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis.

c. Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilak-sanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimin-takan penanganan perselisihannya di BPN RI.

9. Tipologi Kasus Pertanahan (Sumber: bpn.go.id)

a. Penguasaan Tanah Tanpa Hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, ke-pentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau be-lum dilekati hak (tanah negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu. b. Sengketa Batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas

dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Per-tanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas.

c. Sengketa Waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan menge-nai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan

d. Jual Berkali-Kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan me- ngenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli ke-pada lebih dari 1 orang.

e. Sertifikat Ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan me- ngenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertifikat hak atas tanah lebih dari 1.

f. Sertifikat Pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang telah diterbitkan sertifikat hak atas ta-nah pengganti.

g. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya akta jual beli palsu.

h. Kekeliruan Penunjukkan Batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan menge-nai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan Penunjukkan ba-tas yang salah.

(8)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas vi

i. Tumpang Tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.

j. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai Putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.

10. Kriteria Penyelesaian Kasus Pertanahan

a. Kriteria (K1): penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa.

b. Kriteria (K2): penerbitan surat keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pem-batalan sertifikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan. c. Kriteria (K3): pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang ditindaklanjuti

mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain disetujui oleh pihak yang bersengketa.

d. Kriteria (K4): pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang intinya me-nyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan.

e. Kriteria (K5): pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang menyatakan bah-wa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenan-gan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.

11. Sertifikat Tanah

Sertifikat tanah adalah surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

12. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

13. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

(9)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR SINGKATAN ... ii

DAFTAR ISTILAH ... iii

DAFTAR ISI ... vii

BAB 2 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI BIDANG PERTANAHAN BERDASAR-KAN RPJMN 2015-2019 ... 7

2.1 Arah Kebijakan dan Strategi Bidang Pertanahan ... 9

2.2 Isu Strategis Pertanahan Nasional ... 11

BAB 3 KELEMBAGAAN PERTANAHAN INDONESIA ... 15

3.1 Peraturan Perundangan terkait Urusan Pertanahan di Indonesia ... 17

3.2 Koordinasi lembaga / pemangku kepentingan terkait urusan nahan ... 20

3.3 Sistem pelayanan pertanahan di Indonesia ... 25

BAB 4 PROFIL PERTANAHAN NASIONAL ... 33

4.1 Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia ... 37

4.1.1 Peta Dasar Pertanahan Nasional ... 37

4.1.2 Cakupan Bidang Tanah Bersertifikat di Indonesia ... 41

4.1.3 Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan ... 42

4.1.4 Sosialisasi Peraturan Perundangan terkait Tanah yat ... 51

4.2 Reforma Agraria ... 54

4.2.1 Ketersediaan Sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) 54 4.2.2 Reforma Aset ... 58

4.3 Pencadangan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.. 59

4.4 SDM Bidang Pertanahan ... 59

4.5 Kasus Pertanahan di Indonesia ... 60

BAB 5 DATA DAN INFORMASI PERTANAHAN PROVINSI ... 63

(10)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas viii

5.1.1 Peta Dasar Pertanahan ... 70

5.1.2 Wilayah Bidang Bersertifikat ... 72

5.1.3 Tanah Terlantar ... 77

5.1.4 Redistribusi dan Legalisasi Aset ... 77

5.1.5 Kasus Pertanahan ... 78

5.1.6 Nilai Transaksi Tanah ... 79

5.1.7 Pegawai Pertanahan ... 79

5.1.8 Isu Spesifik ... 80

5.2 Provinsi Bengkulu ... 81

5.2.1 Peta Dasar Pertanahan ... 84

5.2.2 Wilayah Bidang Bersertifikat ... 86

5.2.3 Tanah Terlantar ... 90

5.2.4 Redistribusi dan Legalisasi Aset ... 90

5.2.5 Kasus Pertanahan ... 91

5.2.6 Nilai Transaksi Tanah ... 93

5.2.7 Pegawai Pertanahan ... 93

5.2.8 Isu Spesifik ... 93

5.3 Provinsi Jawa Barat ... 95

5.3.1 Peta Dasar Pertanahan ... 98

5.3.2 Wilayah Bidang Bersertifikat ... 99

5.3.3 Tanah Terlantar ... 103

5.3.4 Redistribusi dan Legalisasi Aset ... 103

5.3.5 Kasus Pertanahan ... 103

5.3.6 Nilai Transaksi Tanah ... 105

5.3.7 Pegawai Pertanahan ... 106

5.3.8 Isu Spesifik ... 107

5.4 Provinsi D.I. Yogyakarta ... 109

5.4.1 Peta Dasar Pertanahan ... 112

5.4.2 Wilayah Bidang Bersertifikat ... 113

5.4.3 Tanah Terlantar ... 118

5.4.4 Redistribusi dan Legalisasi Aset ... 118

5.4.5 Kasus Pertanahan ... 119

5.4.6 Nilai Transaksi Tanah ... 121

5.4.7 Pegawai Pertanahan ... 122

5.4.8 Isu Spesifik ... 123

5.5 Provinsi Jawa Timur ... 125

5.5.1 Peta Dasar Pertanahan ... 128

5.5.2 Wilayah Bidang Bersertifikat ... 129

5.5.3 Tanah Terlantar ... 133

5.5.4 Redistribusi dan Legalisasi Aset ... 134

(11)

5.5.6 Nilai Transaksi Tanah ... 135

5.5.7 Pegawai Pertanahan ... 136

5.5.8 Isu Spesifik ... 137

5.6 Provinsi Bali ... 139

5.6.1 Peta Dasar Pertanahan ... 142

5.6.2 Wilayah Bidang Bersertifikat ... 143

5.6.3 Tanah Terlantar ... 148

5.6.4 Redistribusi dan Legalisasi Aset ... 148

5.6.5 Kasus Pertanahan ... 149

5.6.6 Nilai Transaksi Tanah ... 151

5.6.7 Pegawai Pertanahan ... 151

5.6.8 Isu Spesifik ... 152

5.7 Provinsi Kalimantan Barat ... 155

5.7.1 Peta Dasar Pertanahan ... 158

5.7.2 Wilayah Bidang Bersertifikat ... 159

5.7.3 Tanah Terlantar ... 164

5.7.4 Redistribusi dan Legalisasi Aset ... 164

5.7.5 Kasus Pertanahan ... 164

5.7.6 Nilai Transaksi Tanah ... 166

5.7.7 Pegawai Pertanahan ... 166

5.7.8 Isu Spesifik ... 166

5.8 Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara ... 167

5.8.1 Peta Dasar Pertanahan ... 170

5.8.2 Wilayah Bidang Bersertifikat ... 171

5.8.3 Tanah Terlantar ... 176

5.8.4 Redistribusi dan Legalisasi Aset ... 176

5.8.5 Kasus Pertanahan ... 176

5.8.6 Nilai Transaksi Tanah ... 176

5.8.7 Pegawai Pertanahan ... 176

5.8.8 Isu Spesifik ... 177

5.9 Provinsi Maluku Utara ... 179

5.9.1 Peta Dasar Pertanahan ... 182

5.9.2 Wilayah Bidang Bersertifikat ... 183

5.9.3 Tanah Terlantar ... 187

5.9.4 Redistribusi dan Legalisasi Aset ... 187

5.9.5 Kasus Pertanahan ... 187

5.9.6 Nilai Transaksi Tanah ... 189

5.9.7 Pegawai Pertanahan ... 189

5.9.8 Isu Spesifik ... 190

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel III.1 Tugas dan Fungsi Kementerian ATR ... 23

Tabel III.2 Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional (BPN) ... 24

Tabel IV.1 Luas Kawasan Hutan dan Budidaya di Indonesia Tahun 2013 ... 36

Tabel IV.2 Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan Nasional Tahun 2006 - 2013 .... 38

Tabel IV.3 Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan di In-donesiaTahun 2013 ... 39

Tabel IV.4 Perkembangan Tata Batas Kawasan Hutan Indonesia Tahun 2008 - 2013 45 Tabel IV.5 Sintesa Pasal-Pasal Terkait Konflik Tanah Adat ... 53

Tabel IV.6 Daftar Provinsi / Kabupaten / Kota yang Memiliki Peraturan terkait Tanah Adat / Ulayat ... 53

Tabel IV.7 Luasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi di Indonesia Tahun 2012 ... 56

Tabel IV.8 Jumlah Bidang Tanah yang Telah Diredistribusi Tahun 2010-2014 ... 58

Tabel IV.9 Jumlah Bidang Tanah Hasil Legalisasi Aset Tahun 2010-2014 ... 58

Tabel V.1 Luas Cakupan Peta Dasar Pertanahan Provinsi Sumatera Selatan Tahun s.d 2003-2014 ... 71

Tabel V.2 Luas Cakupan Peta Tematik Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003-2013 72 Tabel V.3 Jumlah Bidang Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di Provinsi Sumatera Selatan ... 75

Tabel V.4 Jumlah Bidang dan Luas Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat Berdasarkan Jenis Hak yang Dikeluarkan di Provinsi Sumatera Selatan ... 76

Tabel V.5 Jumlah dan Luas Bidang Tanah yang Telah Ditetapkan sebagai Tanah Terlantar di Provinsi Sumatera Selatan ... 77

Tabel V.6 Luas Cakupan Peta Tematik Provinsi Bengkulu Tahun 2003-2013 ... 85

Tabel V.7 Jumlah Bidang dan Luas Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat Berdasarkan Jenis Hak yang Dikeluarkan di Provinsi Bengkulu ... 88

Tabel V.8 Jumlah Bidang Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di Provinsi Bengkulu ... 89

Tabel V.9 Jumlah Bidang, Luas Tanah dan Jumlah KK Penerima Redistribusi Tanah di Provinsi Bengkulu Tahun s.d 2003-2013 ... 91

Tabel V.10 Jumlah Bidang dan Luas Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat Berdasarkan Jenis Hak yang Dikeluarkan di Provinsi Jawa Barat ... 101

Tabel V.11 Jumlah Bidang yang Telah Memiliki Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di Provinsi Jawa Barat ... 102

Tabel V.12 Perbandingan Jumlah dan Nilai Transaksi Tanah dengan Perkembangan Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Barat ... 106

Tabel V.13 Luas Cakupan Peta Tematik Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2003-2013 .... 113

Tabel V.14 Jumlah Bidang Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di Provinsi D.I. Yogyakarta ... 115

(13)

Tabel V.16 Jumlah dan Luas Bidang Tanah yang Telah Ditetapkan sebagai Tanah Terlantar di Provinsi D.I. Yogyakarta ... 118 Tabel V.17 Jumlah Bidang, Luas Tanah dan Jumlah KK Penerima Program Legalisasi

Aset di Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2010-2013 ... 119 Tabel V.18 Perbandingan Jumlah dan Nilai Transaksi Tanah dengan Perkembangan

Jumlah Penduduk di Provinsi Bali ... 122 Tabel V.19 Luas Cakupan Peta Tematik Provinsi Jawa Timur Tahun 2003-2013 ... 129 Tabel V.20 Jumlah Bidang dan Luas Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat

Berdasarkan Jenis Hak yang Dikeluarkan di Provinsi Jawa Timur ... 132 Tabel V.21 Jumlah Bidang, Luas Tanah dan Jumlah KK Penerima Program Legalisasi

Aset di Provinsi Jawa Timur Tahun 2008-2013 ... 134 Tabel V.22 Perbandingan Jumlah dan Nilai Transaksi Tanah dengan Perkembangan

Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Timur ... 135 Tabel V.23 Luas Cakupan Peta Tematik Provinsi Bali Tahun 2003-2013 ... 143 Tabel V.24 Jumlah Bidang Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di

Provinsi Bali ... 145 Tabel V.25 Jumlah Bidang dan Luas Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat

Berdasarkan Jenis Hak Yang Dikeluarkan di Provinsi Bali ... 147 Tabel V.26 Jumlah Bidang, Luas Tanah dan Jumlah KK Penerima Program Legalisasi Aset

di Provinsi Bali Tahun 2008-2013 ... 149 Tabel V.27 Perbandingan Jumlah dan Nilai Transaksi Tanah dengan Perkembangan

Jumlah Penduduk di Provinsi Bali ... 151

Tabel V.28 Luas Cakupan Peta Tematik Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2003-2013 ... 159 Tabel V.29 Jumlah Bidang Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di

Provinsi Kalimantan Barat ... 161 Tabel V.30 Jumlah Bidang dan Luas Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat

Berdasarkan Jenis Hak Yang Dikeluarkan di Provinsi Kalimantan Barat ... 163

Tabel V.31 Luas Cakupan Peta Tematik Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tahun 2003-2013 ... 171 Tabel V.32 Jumlah Bidang Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di

Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara ... 173 Tabel V.33 Jumlah Bidang dan Luas Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat Berdasarkan

Jenis Hak yang Dikeluarkan di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara ... 175 Tabel V.34 Jumlah Pegawai Pertanahan di Kanwil BPN Provinsi Kaltim dan Kaltara

Tahun s.d 2003-2011 ... 177 Tabel V.35 Luas Cakupan Peta Tematik Provinsi Maluku Utara Tahun 2003-2013 ... 183 Tabel V.36 Jumlah Bidang Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di

Provinsi Maluku Utara ... 185 Tabel V.37 Jumlah Bidang dan Luas Tanah yang Telah Memiliki Sertifikat

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Luas Penggunaan Tanah di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2014 ... 68 Gambar 5.2 Peta Luas Wilayah Administrasi Kabupaten / Kota di Provinsi

Sumatera Selatan ... 69 Gambar 5.3 Bagan Ketersediaan Cakupan Luas Peta Dasar Pertanahan Provinsi

Sumatera Selatan ... 70 Gambar 5.4 Peta Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Telah Terdigitasi

Provinsi Sumatera Selatan ... 74 Gambar 5.5 Luas Penggunaan Tanah di Provinsi Bengkulu Tahun 2014 ... 82 Gambar 5.6 Peta Luas Wilayah Administrasi Kabupaten / Kota di Provinsi

Bengkulu ... 83 Gambar 5.7 Bagan Ketersediaan Cakupan Luas Peta Dasar Pertanahan Provinsi

Bengkulu ... 84 Gambar 5.8 Peta Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Telah Terdigitasi

Provinsi Bengkulu ... 87 Gambar 5.9 Luas Penggunaan Tanah di Provinsi Jawa Barat Tahun 2014 ... 96 Gambar 5.10 Peta Luas Wilayah Administrasi Kabupaten / Kota di Provinsi

Jawa Barat ... 97 Gambar 5.11 Bagan Ketersediaan Cakupan Luas Peta Dasar Pertanahan Provinsi

Jawa Barat ... 98 Gambar 5.12 Peta Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Telah Terdigitasi

Provinsi Jawa Barat ... 100 Gambar 5.13 Luas Penggunaan Tanah di Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2014 ... 110 Gambar 5.14 Peta Luas Wilayah Administrasi Kabupaten / Kota di Provinsi D.I.

Yogyakarta ... 111 Gambar 5.15 Bagan Ketersediaan Cakupan Luas Peta Dasar Pertanahan Provinsi

D.I. Yogyakarta ... 112 Gambar 5.16 Peta Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Telah Terdigitasi

Provinsi D.I. Yogyakarta ... 114 Gambar 5.17 Luas Penggunaan Tanah di Provinsi Jawa Timur Tahun 2014 ... 126 Gambar 5.18 Peta Luas Wilayah Administrasi Kabupaten / Kota di Provinsi

Jawa Timur ... 127 Gambar 5.19 Bagan Ketersediaan Cakupan Luas Peta Dasar Pertanahan Provinsi

Jawa Timur ... 128 Gambar 5.20 Peta Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Telah Terdigitasi

Provinsi Jawa Timur ... 130 Gambar 5.21 Luas Penggunaan Tanah terhadap Total Luas Wilayah Provinsi

(15)

Gambar 5.23 Bagan Ketersediaan Cakupan Luas Peta Dasar Pertanahan Provinsi Bali ... 142 Gambar 5.24 Peta Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Telah Terdigitasi

Provinsi Bali ... 144 Gambar 5.25 Luas Penggunaan Tanah di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2014 ... 156 Gambar 5.26 Peta Luas Wilayah Administrasi Kabupaten / Kota di Provinsi

Kalimantan Barat ... 157 Gambar 5.27 Bagan Ketersediaan Cakupan Luas Peta Dasar Pertanahan Provinsi

Kalimantan Barat ... 158 Gambar 5.28 Peta Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Telah Terdigitasi

Provinsi Kalimantan Barat ... 160 Gambar 5.29 Luas Penggunaan Tanah di Provinsi Kalimantan Utara dan Kalimantan

Timur Tahun 2014 ... 168 Gambar 5.30 Peta Luas Wilayah Administrasi Kabupaten / Kota di Provinsi

Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur ... 169 Gambar 5.31 Bagan Ketersediaan Cakupan Luas Peta Dasar Pertanahan Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara ... 170 Gambar 5.32 Peta Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Telah Terdigitasi Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara ... 172 Gambar 5.33 Luas Penggunaan Tanah di Provinsi Maluku Utara Tahun 2014 ... 180 Gambar 5.34 Peta Luas Wilayah Administrasi Kabupaten / Kota di Provinsi

Maluku Utara ... 181 Gambar 5.35 Bagan Ketersediaan Cakupan Luas Peta Dasar Pertanahan Provinsi

Maluku Utara ... 182 Gambar 5.36 Peta Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Telah Terdigitasi

(16)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1 Persentase Fungsi Kawasan Hutan di Indonesia Tahun 2012 ... 55 Diagram 4.2 Jumlah Pegawai Pertanahan BPN-RI Tahun 2014 ... 60 Diagram 5.1 Jumlah Bidang Sertifikasi Legalisasi Aset di Provinsi Sumatera

Selatan ... 78 Diagram 5.2 Perkembangan Jumlah Pegawai Pertanahan di BPN Provinsi Sumatera

Selatan ... 79 Diagram 5.1 Kasus Pertanahan di Provinsi Bengkulu Berdasarkan Subjek Tahun

2011-2013 ... 92 Diagram 5.2 Kasus Pertanahan di Provinsi Bengkulu Berdasarkan Objek Tahun

2011-2013 ... 92 Diagram 5.3 Prosentase Antara Jumlah Kasus Pertanahan yang Terselesaikan

dengan Jumlah Kasus yang Terjadi di Provinsi Bengkulu Tahun 2011-2013 ... 92 Diagram 5.4 Kasus Pertanahan di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Subjek ... 104 Diagram 5.5 Kasus Pertanahan di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Objek ... 104 Diagram 5.6 Prosentase Antara Jumlah Kasus Pertanahan dengan Jumlah Kasus yang Terselesaikan di Provinsi Jawa Barat ... 105 Diagram 5.7 Perkembangan Jumlah Pegawai Pertanahan di Kanwil BPN Provinsi

Jawa Barat ... 107 Diagram 5.8 Kasus Pertanahan Berdasarkan Objek di Provinsi D.I. Yogyakarta

Tahun 2013 ... 120 Diagram 5.9 Prosentase Antara Jumlah Kasus Pertanahan dengan Jumlah

Kasus yang Terselesaikan di Provinsi D.I. Yogyakarta ... 121 Diagram 5.10 Perkembangan Pegawai Pertanahan di Kanwil BPN Provinsi D.I.

Yogya-karta Tahun 2003-2013 ... 123 Diagram 5.11 Perkembangan Jumlah Sertifikat Hak Milik yang Dikeluarkan oleh

Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur (Bidang) ... 131 Diagram 5.12 Jumlah Pegawai Pertanahan di Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur Tahun

2013 ... 136 Diagram 5.13 Jumlah Kasus Pertanahan Berdasarkan Objek di Provinsi Bali Tahun

2003-2013 ... 150 Diagram 5.14 Prosentase Antara Jumlah Kasus Pertanahan dengan Jumlah

(17)

Diagram 5.17 Prosentase Antara Jumlah Kasus Pertanahan dengan Jumlah Kasus yang Terselesaikan di Provinsi Kalimantan Barat ... 165 Diagram 5.18 Jumlah Pegawai Pertanahan di Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2013 ... 166 Diagram 5.19 Perkembangan Jumlah Pegawai Pertanahan di BPN Provinsi

Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tahun 2012-2013 ... 177 Diagram 5.20 Jumlah Kasus Pertanahan Berdasarkan Objek di Provinsi Maluku

Utara Tahun 2006-2013 ... 188 Diagram 5.21 Prosentase Antara Jumlah Kasus Pertanahan dengan Jumlah Kasus

yang Terselesaikan di Provinsi Maluku Utara ... 188 Diagram 5.22 Perkembangan Jumlah Pegawai Pertanahan di BPN Provinsi Maluku

(18)
(19)
(20)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

__ UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) __

Pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia beserta pengelolaannya menjadi konsentrasi pemerintah sejak disusunnya Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar hukum negara ini dibuat. Pemanfaatan ini ditujukan tidak lain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan negara. Pemerintah berperan sebagai fasilitator sekaligus regulator untuk membagi agar sumber daya tersebut dapat terus terjaga pemanfaatannya. Hak penguasaan oleh negara diatur lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Peraturan tersebut menyatakan bahwa hak menguasai dari negara yaitu (i) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (ii) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan (iii) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hu-kum antara orang-orang dan perbuatan huhu-kum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Selain hak menguasai oleh negara, hak menguasai tersebut dapat dimiliki oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum (Pasal 4 ayat (1) UUPA). Kutipan dari pasal 4 ayat (1) UUPA menjadikan kandungan yang terdapat di dalam bumi seperti air dan kekayaan alam lainnya memiliki nilai ekonomi, investasi dan multiplier effect, tidak lagi mampu me-ningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, melainkan hanya kesejahteraan bagi orang-peroran-gan.Akibatnya, banyak timbul permasalahan yang sangat umum terjadi saat ini, seperti konflik antar masyarakat, sengketa kepemilikan dan lain sebagainya, sehingga amanat UUD pasal 33 ayat (3) diatas tidak dapat tercapai sepenuhnya.

(21)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 4

dimana masyarakat mengolah apa saja yang ada di atas permukaan bumi dan menghasilkan keun-tungan darinya.

Mengacu pada amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas, segala kekayaan yang dimil-iki oleh Indonesia, dikuasai, diatur dan dikelola serta didistribusikan oleh negara. Pengelolaan ini menjadi salah satu poin penting untuk dapat mencapai cita-cita pasal 33 yaitu untuk semata-mata meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, yang saat ini terjadi adalah masih ada beberapa kasus terkait pengelolaan aset negara (dalam hal ini tanah) yang membawa dampak cukup besar terhadap kehidupan masyarakat saat ini. Sebagai contoh, konflik dan sengketa tanah adat, kepemi-likan hak atas tanah, kurangnya lahan untuk pembangunan kepentingan umum dan lain sebagainya. Di Provinsi Bali, tepatnya di Desa Temukus Kabupaten Buleleng, terdapat konflik dan sengketa ta-nah adat, dimana tata-nah kuburan karang rumpit desa ini di klaim oleh orang-perorangan. Selain klaim tanah, juga terdapat sengketa tanah warisan seperti yang terjadi di Kabupaten Tabanan. Hal ini juga terjadi di kota-kota besar lainnya, dari Aceh hingga Papua, yang memiliki permasalahan ter-kait pengelolaan pertanahan lainnya, seperti tersendatnya pelaksanaan redistribusi tanah, kurang optimalnya pelayanan pertanahan dan tidak adanya jaminan hukum atas tanah. Hal ini tidak hanya membawa dampak materil tetapi juga sistem moril yang dapat mempengaruhi interaksi antar ma-syarakat di suatu wilayah.

Penjabaran terkait permasalahan pengelolaan pertanahan diatas perlu adanya tindak lanjut sehingga hal ini dapat diminimalisir.Namun tidak semua stakeholder mampu memahami bagaima-na kondisi real dilapangan sehingga sering kali kebijakan yang dibuat malah tidak dapat sepenuh-nya di implementasikan.Perlu adasepenuh-nya suatu dokumen berupa buku profil pertanahan yang mampu menjelaskan bagaimana kondisi-kondisi terkait pengelolaan pertanahan yang ada di tiap-tiap provin-si di Indoneprovin-sia yang disajikan dapat berupa data angka maupun deskriptif yang mudah dipahami seluruh pembacanya.

1.2 Tujuan

Buku Profil Pertanahan Nasional ini disusun untuk memberikan gambaran mengenai kondisi pertanahan nasional. Gambaran tersebut merupakan ulasan data-data terkait berdasarkan isu dan arah kebijakan strategis bidang pertanahan berbasis RPJMN 2015-2019. Harapannya, buku ini-dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan atau acuan dalam pengambilan keputusan ter-kait pengelolaan pertanahan di Indonesia kedepannya.

1.3 Struktur Penulisan

Buku ini disusun ke dalam 5 bab yang secara garis besar terurai sebagai berikut.

BAB 1 PENDAHULUAN

(22)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 5 BAB 2 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI BIDANG PERTANAHAN BERDASARKAN

RPJMN 2015-2019

Pada bab ini akan ditampilkan penjelasan singkat mengenai arah kebijakan dan strategi bi-dang pertanahan berdasarkan RPJMN 2015-2019. Kemudian hal tersebut akan dikaitkan dengan kondisi pertanahan nasional melalui matriks keterkaitan antara keduanya.

BAB 3 KELEMBAGAAN PERTANAHAN INDONESIA

Bab ini membahas mengenai apa saja peraturan terkait bidang pertanahan yang ada di Indo-nesia. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang lembaga atau pemangku kepentin-gan yang mengurusi urusan pertanahan. Bagian terakhir pada bab ini akan menggambarkan bagaimana sistem pelayanan pertanahan yang sudah berjalan di Indonesia.

BAB 4 PROFIL PERTANAHAN NASIONAL

Bab ini merupakan gambaran dari kondisi pertanahan di Indonesia dengan menjelaskan beberapa butir pembahasan.Sebagian besar butir pembahasan didasarkan pada arah dan kebijakan strategis bidang pertanahan berbasis RPJMN 2015-2019. Butir pembahasan pada bab ini terdiri dari penggunaan tanah di Indonesia, sistem pendaftaran tanah di Indo-nesia, reforma agraria, pencadangan tanah bagi kepentingan umum, sumber daya manusia (SDM) bidang pertanahan, kasus pertanahan di Indonesia, dan pola transaksi pertanahan di Indonesia.

BAB 5 DATA DAN INFORMASI PERTANAHAN PROVINSI

(23)
(24)
(25)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 9

BAB 2

ISU STRATEGIS DAN ARAH KEBIJAKAN BIDANG PERTANAHAN

BERDASARKAN RPJMN 2015-2019

Dalam mencapai tujuan pengelolaan pertanahan nasional, RPJMN 2015-2019 merumus-kan isu strategis, sasaran bidang, arah kebijamerumus-kan, strategi, serta kerangka pelaksanaan urusan per-tanahan. Isu strategis dan arah kebijakan menjadi acuan dalam penulisan Buku Profil Pertanahan Nasional Tahun 2015 ini. Berikut penjabaran mengenai isu strategis dan arah kebijakan bidang pertanahan berdasarkan RPJMN 2015-2019.

2.1 Isu Strategis Pertanahan Nasional

Berdasarkan arah pengelolaan pertanahan yang dilandasi oleh Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan diturunkan dalam RPJPN 2005-2025, terdapat 4 (empat) isu strategis bidang pertanahan.

a. Jaminan Kepastian Hukum Hak Masyarakat Atas Tanah

Berdasarkan paparan RPJMN 2015-2019, isu kepastian hukum ini erat kaitannya den-gan beberapa faktor utama di antaranya rendahnya cakupan peta dasar pertanahan (14.58% dalam skala nasional), rendahnya jumlah bidang tanah yang telah bersertifikat (51.8%), rendahnya kepastian batas kawasan hutan dan non hutan (49.96%), rendahnya tingkat penyelesaian kasus pertanahan, dan rendahnya penetapan batas kawasan tanah adat/ulayat (hingga saat ini baru 1 tanah adat/ulayat yang ditetapkan, yakni Tanah Adat Badui, Banten). Adapun isu jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah masih menjadi isu utama ketika faktor-faktor utama tersebut belum dapat diperbaiki secara signifikan.

(26)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 10

b. Ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) serta Kesejahteraan rakyat

Isu ini berfokus pada aksesibilitas masyarakat dalam memiliki lahannya sendiri, khususnya para petani yang dapat meningkatkan produktifitas pertaniannya. Sebagaimana yang dipaparkan dalam RPJMN 2015-2019, sensus pertanian 2013 menunjukkan bahwa dari 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar (Ha) dan 14,25 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 Ha per keluarga. Sementara data dari Kementerian per-tanian menunjukan bahwa Indonesia ada kemungkinan mengalami defisit lahan perper-tanian seluas 730.000 Ha apabila hal ini tidak ditangani, dan akan terus meningkat menjadi 2,21 juta Ha pada tahun 2020, dan mencapai 5,38 Ha pada tahun 2030.

Beberapa langkah upaya penanganan untuk hal ini sudah dilakukan oleh beberapa Kemen-terian terkait, seperti salah satunya adalah BPN dengan program pembaharuan agraria (Reforma Agraria). Konsep pembaharuan agraria pada hakekatnya adalah konsep Landreform yang dilengka-pi dengan konsep access reform dan asset reform. Konsep Landreform adalah penataan kembali struktur penguasaan kepemilikan tanah yang lebih adil. Sedangkan konsep access reform berkaitan dengan penataan penggunaan atau pemanfaatan tanah yang lebih produktif disertai dengan pena-taan dukungan sarana dan prasarana yang memungkinkan petani memperoleh akses ke sumber ekonomi di wilayah perdesaan. Adapun asset reform berkaitan dengan kekuatan hukum yang ber-pihak pada rakyat luas. Reforma agraria dilakssanakan melalui program redistribusi tanah dan legalisasi aset. Namun demikian, sumber redistribusi tanah hanya berasal dari tanah terlantar dan pelepasan tanah hutan semata. Sedangkan penetapan tanah terlantar pun tidak cukup optimal dalam pelaksanaannya, mengingat dalam skala nasional, dari tahun 2004 hingga 2013 hanya ber-hasil ditetapkan seluas 68.953,21 Ha.

Suatu kepemilikan lahan dianggap penting oleh karena dapat berimbas pada ketimpangan kepemilikan tanah. Ketimpangan terjadi ketika adanya jumlah bidang bersertifikat yang tidak seim-bang khususnya hak milik tanah oleh masyarakat dengan hak atas tanah lainnya.Dalam hal ini tanah yang dimiliki oleh petani menjadi sorotan atas pertimbangan penggunaan lahan pertanian sebagai lahan yang produktif di suatu negara, khususnya negara agraris.Oleh karenanya, redistribusi tanah dan legalisasi aset sebagai salah satu upaya pemerintah menjadi acuannya yang dibandingkan den-gan jumlah wilayah bidang bersertifikat khususnya dari LINTOR di suatu provinsi.

c. Kinerja Pelayanan Pertanahan

(27)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 11 d. Ketersediaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Tanah merupakan salah satu aset dan modal dasar bagi kegiatan pembangunan, dimana hampir tidak ada kegiatan pembangunan yang tidak memerlukan tanah sebagai media pemban-gunannya. Namun, pembangunan yang terus meningkat tidak diimbangi dengan ketersediaan tanah yang ada. Jumlah tanah yang tersedia tidak berubah menjadikan kegiatan pembangunan menjadi terhambat dimana pembebasan tanah menjadi berlarut-larut sehingga memperpanjang masa pembangunan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah membuat peraturan perundang-undangan, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Perpres Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Pe-rubahan Perpres 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Umum serta peraturan terkait lainnya. Peraturan ini menyelesaikan permasalahan kepastian dari Kerangka waktu pengadaan tanah maksimal, namun peraturan tersebut belum dapat mengantisi-pasi permasalahan kepastian dari sisi perencanaan pengadaan tanah tadi secara umum. Hal ini disebabkan oleh karena dalam peraturan tersebut, proses pengadaan tanahnya diserahkan kem-bali kepada tiap instansi yang membutuhkan tanah. Permasalahan ini lah yang perlu diantisipasi. Apabila tidak dilakukan pengadaan tanah melalui pembebasan lahan, maka akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Harga tanah yang terus naik dan cenderung tidak dapat dikendalikan akan berdampak pada biaya pembangunan infrastruktur untuk pemenuhan pelayanan dasar ma-syarakat yang menjadi mahal.

2.2 Arah Kebijakan dan Strategi Bidang Pertanahan

Arah kebijakan dan strategi merupakan turunan dari perumusan isu strategis dan sasaran pembangunan bidang pertanahan dalam RPJMN 2015-2019. Terdapat 4 (empat) arah kebijakan untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang pertanahan sebagai berikut.

1. Membangun Sistem Pendaftaran Tanah Publikasi Positif

Arah kebijakan ini berkaitan dengan isu kepastian hukum hak masyarakat atas tanah. Meng-ingat bahwa sistem pendaftaran tanah yang masih bertendensi negatif, maka perlu dikembangkan sistem pendaftaran tanah publikasi positif. Harapannya, upaya ini dapat menjamin kepastian hukum hak masyarakat atas tanah ke depannya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka berikut strategi yang disusun untuk mewujudkan arah kebijakan ini.

a. Percepatan cakupan peta dasar pertanahan

b. Percepatan cakupan bidang tanah bersertifikat (target ideal sebesar 80% dari luas wilayah nasional)

c. Publikasi tata batas kawasan hutan pada skala pendaftaran tanah (kadastral 1:5.000) yang terintegrasi dalam sistem pendaftaran tanah

(28)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 12

2. Reforma Agraria melalui Redistribusi Tanah, Pemberian Tanah, dan Bantuan Pember-dayaan Masyarakat

Reforma agraria merupakan arah kebijakan yang menjawab isu terkait ketimpangan P4T dan mendorong kesejahteraan rakyat. Redistribusi tanah dilakukan dengan memberikan hak atas tanah kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah. Kebijakan redistribusi tanah tersebut mem-bantu menyeimbangkan kepemilikan tanah di masyarakat. Sedangkan upaya penyamarataan kes-ejahteraan rakyat dilakukan dengan melakukan pemberdayaan masyarakat (access reform) melalui upaya mengoordinasikan dan menghubungkan (channeling) masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi produktif. Berikut strategi untuk dalam menjalankan arah kebijakan tersebut.

a. Penyediaan sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)

b. Pelaksanaan pemberian hak milik atas tanah (reforma aset) yang meliputi redistribusi tanah dan legalisasi aset

3. Pencadangan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Arah kebijakan ini berkaitan dengan isu ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk ke-pentingan umum. Pencadangan tanah merupakan kewenangan Negara yang diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat. Kebijakan tersebut dicapai melalui pembentukan instrumen kelembagaan khu-sus penyediaan tanah atau bank tanah.

4. Pencapaian Proporsi Kompetensi SDM Ideal Bidang Pertanahan untuk Mencapai Kebu-tuhan Minimum Juru Ukur Pertanahan

(29)
(30)
(31)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 17

BAB 3

KELEMBAGAAN PERTANAHAN INDONESIA

Urusan pertanahan diatur dalam suatu sistem kelembagaan.Terdapat peraturan perundan-gan yang menjadi acuan dalam keberjalanan urusan pertanahan.Selain itu terdapat lembaga yang mengurus urusan pertanahan dengan kewenangannya.Dari peraturan dan lembaga yang menga-tur urusan pertanahan tersebut didapatkan bentuk pelayanan pertanahan bagi masyarakat di In-donesia.

3.1 Peraturan Perundangan terkait Urusan Pertanahan di Indonesia

Terdapat beberapa peraturan yang terkait dengan urusan pertanahan di Indonesia. UUD 1945 menjadi landasan dasar dalam perumusan peraturan di bawahnya. Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disebut dengan UUPA menjadi acuan utama dalam urusan pertanahan di Indonesia. Sedangkan UU Nomor 56 PRP Tahun 1960 dan UU Nomor 2 Tahun 2012 mendukung adanya UUPA tersebut. UUPA menjadi landasan utama bagi peraturan-peraturan pertanahan yang ada di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, PP Nomor 16 Tahun 2004, dan PP Nomor 16 Tahun 2004.

Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945

Pasal 33 ayat 3 tercantum dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahter-aan Sosial pada UUD 1945. Isi dari pasal ini adalah “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekay-aan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat, oleh karenanya harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (penjelasan UUD 1945).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanah merupakan permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali atau permukan bumi yang memiliki batas. Oleh karena itu, tanah menjadi bagian dari bumi yang diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sehingga, pasal ini menjadi landasan dasar bagi setiap peraturan urusan pertanahan di Indonesia.

UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(32)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 18

Dalam Bab I UUPA terdapat penekanan azas kebangsaan dalam penguasaan tanah. Hal ini dilandaskan pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pasal 1 ayat 2 menyatakan :

“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di-dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

Dari isi pasal tersebut, UUPA mencoba menjelaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan kekayaan di dalamnya adalah semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan paling atas, yaitu tingkatan seluruh wilayah Negara Republik Indonesia (penjelasan UU No 5 Tahun 1960).

Meskipun bumi, air, dan kekayaan di dalamnya merupakan kekayaan nasional, namun UUPA menyatakan bahwa Negara bukan menjadi “pemilik”, tetapi sebagai “penguasa” dari hal tersebut, termasuk tanah di Indonesia. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang pertama ka-linya memperkenalkan konsep hak menguasai Negara. Hal ini tercantum jelas pada Pasal 2 UUPA, bahwa bumi, air, dan kekayaan di dalamnya dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Berdasarkan hal tersebut maka Negara sebagai penguasa memiliki wewenang sebagaimana yang telah disebutkan dalam UUPA. Beda halnya dengan status pemilik, sebagai penerima kuasa, maka negara harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat seb-agai pemberi kuasa. Kewenangan penguasaan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan Negara.

Pada pasal yang sama, UUPA menunjukkan adanya pengakuan hak ulayat di Indonesia se-cara resmi. Melalui pasal berikutnya, UUPA mengakui adanya hak ulayat di Indonesia, yakni :

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan-nya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” (Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960).

Dari pasal tersebut jelas menunjukkan bahwa hak ulayat diakui dan diperbolehkan ada sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan umum.

UUPA juga menjelaskan bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial hak atas tanah merupakan bentuk perwujudan dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok saat terbentuknya Undang-Undang tersebut. Unsur kepentingan masyarakat dalam penggunaan tanah dalam UUPA merupakan bentuk pencegahan terjadinya monopoli dan ketimpangan kepe-milikan tanah di Indonesia. Dari kewenangan penguasaan yang dimiliki oleh Negara, maka Negara berhak membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar. Sehingga konteks pengaturan UUPA mendahulukan kepentingan umum untuk fungsi sosial di atas segalanya.

(33)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 19 Penjelasan Historis Acuan Utama : UUPA

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disetujui dan disahkan pada tanggal 24 September 1960. Dari terbentuknya UUPA tersebut menandakan berakhirnya masa dualisme hukum agraria (mengacu pada hukum kolonial :Agrarische Wet 1) yang sebelumnya berlaku di Indonesia.Selain itu, UUPA merupakan produk

hu-kum Indonesia pertama yang bersummber pada huhu-kum adat.Setelah proses pembahasan Ran-cangan UUPA yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria pada masa itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa :

“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah per-juangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penja-jahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”.

Pembuatan UUPA menggambarkan semangat untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan. Proses pembuatan Undang-Undang tersebut dipengaruhi oleh dinamika dari ber-bagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolo-nialisme.Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA.

Dasar konstitusional dalam UUPA adalah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUPA menekankan adanya kekuasaan Negara di atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia.Selain itu, manfaat dari bumi, air, dan kekayaan alam tersebut diprioritaskan bagi kepentingan masyarakat luas.Oleh karenanya, UUPA dibuat den-gan dilandaskan pada dua konsepsi besar, yakni hak menguasai negara dan fungsi sosial hak atas tanah.

UU Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

Undang-undang ini dibuat berdasarkan pertimbangan tujuan adanya landreform di Indone-sia. Pembuatannya dilatarbelakangi oleh adanya ketidakmerataan kepemilikan tanah di Indonesia, khususnya kepemilikan tanah oleh petani atau lahan pertanian. Undang-undang ini mengacu pada UUPA untuk menjelaskan bagaimana penetapan lahan pertanian mulai dari luasan dan juga keten-tuan peralihan lahan untuk pertanian. Terdapat 13 pasal yang tercantum dalam UU Nomor 56 PRP Tahun 1960.

(34)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 20

UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Pembuatan UU ini dibuat berlandaskan UUPA. Muatannya mengandung tentang pokok gadaan tanah yakni menjelaskan siapa pihak yang menyelenggarakan dan prosedur dasar pen-gadaan tanah. Kemudian juga membahas mengenai penyelenggaraan penpen-gadaan tanah. Pada bagian ini dijelaskan secara jelas mengenai perencanaan, persiapan, dan pelaksanaan pengadaan tanah.

Selain itu, UU ini juga menjelaskan bagaimana prosedur peralihan tanah menjadi tanah per-tanian. Oleh karena adanya peralihan fungsi dan pemilikan tanah, maka Negara mengatur terkait ketentuan ganti-rugi dalam urusan pertanahan. Kemudian UU ini juga mengatur mengenai keten-tuan pidana terkait pengadaan tanah di Indonesia.

3.2 Lembaga Terkait Urusan Pertanahan

Urusan pertanahan di Indonesia dinaungi oleh satu lembaga khusus yang sekarang dipegang oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional.Berikut penjelasan men-genai perkembangan pembentukan lembaga pertanahan di Indonesia serta tugas dan fungsi yang dimilikinya saat ini.

3.2.1 Sejarah Lembaga Pertanahan di Indonesia

Pembentukan lembaga pertanahan dapat digambarkan berdasarkan lini masa pemerin-tahan di Indonesia. Berikut akan dijelaskan bagaimana sejarah lembaga pertanahan dari mulai di bawah wewenang pemerintah kolonial Belanda hingga menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ru-ang (ATR) / BPN saat ini.

Masa Penjajahan

Lembaga pertanahan sudah berjalan sejak masa penjajahan kolonial Belanda.Keberadaan lembaga tersebut diatur dalam peraturan kolonial pada masa itu, yakni Agrarische Wet. Berdasar-kan Ordonansi Staatblad 1823 Nomor 164, lembaga yang mengatur urusan kadasteral adalah Kadasteral Dient.Lembaga tersebut menjadi lembaga di bawah Departemen Kehakiman pada saat itu. Pelayanan urusan pertanahan bagi orang Belanda dan Timur Asing berupa penerbitan surat keputusan hak atas tanah dilakukan oleh Bupati, Residen, dan/atau Gubernur, dan kadaster yang bersifat peta dan informasi dikerjakan oleh Kehakiman, serta balik nama oleh pengadilan. Sedangkan bagi pribumi urusan pertanahannya cukup dilaksanakan oleh administrasi desa/ kelurahan.

Setelah Jepang menjajah Indonesia, keberadaan lembaga Kadsteral Dient tetap ada.Namun, namanya berganti menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan kantornya bernama Kantor Pendaft-aran Tanah.Pada prinsipnya, keberjalanan urusan pertanahan dilaksanakan seperti jaman kolonial Belanda.Hanya saja terdapat peraturan khusus pada masa itu, yakni pelarangan pemindahan hak atas benda tetap/tanah (Osamu Sierei No. 2 Tahun 1942) dan penguasaan tanah-tanah partikelir

1 oleh Pemerintahan Dai Nippon dihapus.

(35)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 21 Masa Kemerdekaan

1945-1960 :

Selepas proklamasi kemerdekaan, Pemerintah masuk ke dalam masa pembenahan per-aturan dari perper-aturan berlandaskan kolonialisme menjadi perper-aturan mandiri sesuai UUD 1945 termasuk urusan pertanahan.Lembaga yang mengurusi hal tersebut pada saat itu adalah Kemen-terian Dalam Negeri (Kemendagri).Penyelenggaraan urusan pertanahan oleh Kemendagri di Indo-nesia berlangsung kurang lebih selama 25 tahun.

Pada 1948, berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948, Pemerintah mem-bentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Tiga tahun kemudian, terbit Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951, yang membentuk Panitia Agraria Jakarta, sekaligus membubarkan Panitia Agraria Yogyakarta. Kedua kepanitiaan tersebut ditugaskan untuk membangun dasar hukum dari urusan pertanahan di Indonesia.

Pada tahun 1957, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955, Pemerintah membentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari Departemen Dalam Neg-eri.Kemudian, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula berada di Kementerian Kehakiman dialihkan ke Kementerian Agraria.

1960-1965 :

Tahun 1964 Kementerian Agraria berubah menjadi Departemen Agraria meIalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964.Peraturan tersebut nantinya disempurnakan dengan Per-aturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1965 yang mengurai tugas Departemen Agraria serta menambahkan Direktorat Transmigrasi dan Kehutanan ke dalam organisasi. Pada periode ini, terjadi penggabungan antara Kantor Inspeksi Agraria-Departemen Dalam Negeri, Direktorat Tata Bumi-Departemen Pertanian, dan Kantor Pendaftaran Tanah-Departemen Kehakiman.

1965-1988

Pada tahun 1965, Departemen Agraria diubah dan ditambah fungsinya dalam urusan trans-migrasi menjadi Direktorat Jenderal Agraria dan Transtrans-migrasi di bawah Kementerian Dalam Neg-eri.di tahun yang sama, terjadi perubahan organisasi yang mendasar. Direktorat Jenderal Agraria tetap menjadi salah satu bagian dari Departemen Dalam Negeri, namun permasalahan transmi-grasi ditarik ke dalam Departemen Veteran, Transmitransmi-grasi, dan Koperasi.

Pada 1972, terjadi perubahan organisasi dalam Direktorat Jenderal Agraria.Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 145 Tahun 1969 dicabut dan diganti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1972, yang menyebutkan penyatuan instansi Agraria di daerah. Di tingkat provinsi, dibentuk Kantor Direktorat Agraria Provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota dibentuk Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya.

1988-1993

(36)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 22

masa itu menetapkan Direktorat Jenderal Agraria menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bernama Badan Pertanahan Nasional.Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi acauan keberjalanan lembaga tersebut.Sejak saat itu, BPN bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

1993-1998

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993, Kepala BPN merangkap menjadi Menteri Agrari Nasional. Dengan kata lain, terdapat 2 (dua) lembaga yang berbeda fungsi dipimpin oleh 1 orang. Dalam pelaksanaan tugasnya, Kantor Menteri Negara Agraria berkonsentrasi meru-muskan kebijakan yang bersifat koordinasi, sedangkan Badan Pertanahan Nasional lebih berkon-sentrasi pada hal-hal yang bersifat operasional.

1999-2000

Pasca Orde Baru, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1999 tentang Pe-rubahan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, Kepala BPN merangkap menjadi Menteri Dalam Negeri. Sedangkan pelaksanaan pengelolaan pertanahan sehari-harinya dilaksanakan oleh Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional.

2000-2006

Pada periode ini Badan Pertanahan Nasional beberapa kali mengalami perubahan struk-tur organisasi.Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 tentang Badan Pertanahan Nasional mengubah struktur organisasi eselon satu di Badan Pertanahan Nasional.Namun yang lebih men-dasar adalah Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Dae-rah Dibidang Pertanahan. Disusul kemudian terbit Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan memposisikan BPN sebagai lembaga yang menangani kebijakan nasional di bidang pertanahan.

2006-2013

Pada 11 April 2006 terbit Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Per-tanahan Nasional yang menguatkan kelembagaan Badan PerPer-tanahan Nasional, di mana tugas yang diemban BPN RI juga menjadi semakin luas. BPN RI bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sek-toral.

2013-2014

(37)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 23 2014-sekarang

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berubah menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria yang berfungsi Tata Ruang dan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional yang ditetapkan pada 21 Januari 2015.

3.2.2 Tugas dan Fungsi Lembaga Pertanahan di Indonesia

Berdasarkan Perpres No 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang,

berikut penjabaran tugas dan fungsi dari kementerian tersebut.

Tabel III.1

Tugas dan Fungsi Kementerian ATR

Tugas Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai tugas me-nyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/perta-nahan dan tata ruang untuk membantu Presiden dalam meny-elenggarakan pemerintahan negara.

Fungsi a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan dibidang tata ruang, infrastruktur keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan, penataan agraria/pertana-han, pengadaan tanah, pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah, serta penanganan masalah agraria/perta-nahan, pemanfaatan ruang, dan tanah;

b. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian du-kungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di ling-kungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang;

c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tang-gung jawab Kementerian Agraria dan Tata Ruang;

d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kement-erian Agraria dan Tata Ruang;

e. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang di daerah; dan f. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh

unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang

(38)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 24

Sedangkan penjabaran tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional (BPN) didasarkan pada Perpres Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Tabel III.2

Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Tugas BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bi-dang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan.

Fungsi a. Penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan; b. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei,

pengu-kuran, dan pemetaan;

c. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat; d. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan,

penataan dan pengendalian kebijakan pertanahan;

e. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah;

f. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan;

g. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPN; h. Pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian

du-kungan administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkun-gan BPN;

i. Pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pan-gan berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan;

j. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertana-han; dan

k. Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan

Sumber : Perpres No 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional

(39)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 25 Terdapat Kantor Wilayah (Kanwil) dalam mendukung penyelenggaraan tugas dan fungsi BPN di daerah. Sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 7 Perpres Nomor 20 Tahun 2015 sebagai berikut.

(1) Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi BPN di daerah, dibentuk Kantor Wilayah BPN di provinsi dan Kantor Pertanahan di kabupaten/kota.

(2) Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk lebih dari 1 (satu) Kantor Pertanahan di tiap kabupaten/kota.

(3) Tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertana-han ditetapkan oleh Kepala setelah mendapat persetujuan dari menteri yang

menyeleng-garakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.

3.3 Sistem Pelayanan Pertanahan di Indonesia

Pelayanan pertanahan diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam 2 bentuk, yakni program pelayanan dan inovasi pelayanan pertanahan. Bentuk program pelayanan pertanahan dan inovasi pelayanan pertanahan akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Sedangkan inovasi layanan pertanahan terdiri dari berbagai macam bentuk yang akan dijelaskan lebih lanjut.

3.3.1 Program Prioritas Pelayanan Pertanahan

Badan Pertanahana Nasional (BPN) memiliki program prioritas pelayanan pertanahan di In-donesia yang terdiri dari LARASITA, Reformasi Birokrasi, Reforma Agraria, Legalisasi Aset, dan Penanganan Kasus Pertanahan.

1. LARASITA

Program ini merupakan layanan pertanahan bergerak (mobile land service) yang bersifat pro aktif atau “jemput bola” ke tengah-tengah masyarakat.LARASITA merupakan upaya BPN dalam memudahkan masyarakat dalam mengakses pelayanan pertanahan di daerahnya masing-masing. Selain itu keberadaan LARASITA didasarkan pada pemikiran perlunya keterbukaan terhadap ma-syarakat yang kesejahteraannya menjadi tujuan utama pengelolaan pertanahan.LARASITA diharap-kan mampu menjembatani BPN RI dengan masyarakat pemangku kepentingan pertanahan, yaitu masyarakat yang mempergunakan tanah sebagai basis sumberdaya untuk penghidupannya.Bentuk pelayanan tanah kepada masyarakat melalui LARASITA di antaranya pemberian informasi terkait urusan pertanahan, pengurusan sertipikat, penyelesaian masalah/sengketa pertanahan.

2. Reforma Agraria

(40)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 26

a. Maksud Reforma Agraria :

- menciptakan sumber-sumber kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria - menata kehidupan masyarakat yang lebih berkeadilan

- meningkatkan berkelanjutan sistem kemasyarakatan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, serta

- meningkatkan harmoni kemasyarakatan.

b. Tujuan Reforma Agraria :

- mengurangi kemiskinan - menciptakan lapangan kerja

- memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah - menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan

ta-nah dan sumber-sumber agraria

- mengurangi sengketa dan konflik pertanahan dan keagrariaan - memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup

- meningkatkan ketahanan pangan dan energi masyarakat.

3. Penanganan Kasus Pertanahan

Dalam upaya membantu terselesaikannya kasus pertanahan yang terjadi, BPN RI memiliki beberapa bentuk pelayanan di antaranya :

a. Pelayanan pengaduan dan Informasi Kasus b. Pengkajian Kasus

c. Penanganan Kasus d. Penyelesaian Kasus

4. Reforma Birokrasi

BPN RI dituntut untuk membangun organisasi, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia aparatur yang bersih, a katas nal dan bertanggung jawab dalam rangka menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif sehingga dapat memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat.

Keikutsertaan BPN RI dalam proses Reformasi Birokrasi secara resmi dimulai sejak tanggal 15 Januari 2013, ditandai dengan telah diserahkannya Dokumen Usulan dan Road Map BPN RI 2010-2014 kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, me-liputi 9 program yang dijabarkan kedalam 27 kegiatan dan sekaligus menetapkan 2 (dua) program ”Quick Wins” BPN RI untuk tahun 2013-2014, yaitu Program Pelayanan Pengecekan Sertipikat Tanah dan Pelayanan Peralihan Hak Jual-Beli Atas Tanah, dengan harapan bahwa kepercayaan masyarakat kepada BPN RI akan semakin meningkat.

5. Legalisasi Aset

(41)

melegal-Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 27 isasi (mensertipikasi) aset berupa tanah belum bersertipikat milik (yang telah dimiliki/dikuasai) oleh perorangan anggota masyarakat atau perorangan anggota kelompok masyarakat tertentu.

Berdasarkan sumber pembiayaan penyelenggaraannya, legalisasi aset dapat dibedakan menjadi legalisasi aset dengan rupiah murni dan legalisasi aset dengan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP). Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia terus mengembangkan program prioritas Legalisasi Aset dengan Rupiah Murni, melalui kegiatan:

a. Sertipikat Tanah Prona b. Sertipikat Tanah Petani c. Sertipikat Tanah Nelayan d. Sertipikat Tanah UKM e. Sertipikat Transmigrasi

f. Sertipikat Tanah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)

3.3.2 Inovasi Program Layanan Pertanahan

Selain program prioritas pelayanan, BPN RI juga mengeluarkan beberapa inovasi layanan pertanahan yang berasal baik dari BPN maupun Kanwil BPN. Inovasi layanan pertanahan dimaksud-kan untuk memberidimaksud-kan layanan yang lebih baik (layanan prima) kepada masyarakat/badan hukum serta stake holder, baik mengenai persyaratan, prosedur, waktu maupun biaya layanan, serta ter-wujudnya transparansi dan akuntabiltas layanan pertanahan. Inovasi tersebut antara lain Komput-erisasi Kantor Pertanahan (KKP), Layanan jemput bola atau LARASITA, Quick Service, One Day Ser-vice, Layanan malam hari, Weekend SerSer-vice, Layanan Tujuh Menit (Lantum), sistem pembayaran non tunai, SMS Pertanahan serta inovasi-inovasi lainnya.

1. Komputerisasi Layanan Pertanahan

Inovasi ini merupakan upaya BPN RI dalam mengubah pola pelayanan pertanahan secara manual menjadi pelayanan yang berbasis komputer.Tujuan dari pelayanan ini adalah :

a. menciptakan tertib administrasi pertanahan,

b. meningkatkan dan mempercepat pelayanan dibidang pertanahan, c. meningkatkan kualitas informasi pertanahan BPN, untuk

d. mempermudah pemeliharaan data pertanahan,

e. menghematspace / storage untuk penyimpanan data-data pertanahan dalam bentuk digital (paperless),

f. meningkatkan kemampuan SDM pegawai BPN dibidang teknologi informatika / komputer, g. melakukan standarisasi data dan sistem informasi dalam rangka mempermudah pertukaran

informasi pertanahan serta menciptakan suatu sistem informasi pertanahan yang handal.

2. One Day Service

(42)

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 28

komitmen BPN RI memberikan pelayanan yang cepat dan cermat.

Beberapa layanan pertanahan dalam One Day Service antara lain :

a. Pengecekan Sertipikat

b. Penghapusan Hak Tanggungan (Roya)

c. Pendaftaran Hak Milik Berdasarkan Surat Keputusan d. Peningkatan Hak / Perubahan Hak

e. Peralihan Hak

f. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) g. Perpanjangan Hak Tanpa Ganti Blanko h. Pencatatan Sita

i. Pencatatan Blokir

3. Quick Service

Pelayanan ini merupakan inovasi layanan dari Kantor Pertanahan Kota Surabaya II.Layanan diselenggarakan dalam waktu 1-5 hari kerja (2-8 jam sehari) sehingga dapat ditunggu oleh pemo-hon layanan.Tujuan dilaksanakannya Quick Service adalah untuk percepatan layanan pertanahan tertentu serta membantu masyarakat yang memiliki keterbatasan waktu untuk datang sendiri ke Kantor Pertanahan.

Jenis layanan yang tersedia adalah dalam bentuk tertentu yang meliputi penghapusan Hak Tanggungan (Roya) dengan persyaratan tertentu, perubahan HGB menjadi HM untuk luas tertentu, serta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT). Disediakan Loket Khusus Quick Service yang memudahkan masyarakat/pemohon layanan, tidak ada penambahan biaya untuk memperoleh lay-anan cepat atau Quick Service.

4. Weekend Service

Pelayanan ini merupakan inovasi dalam waktu pelayanan urusan pertanahan.Masyarakat dapat mengakses sejumlah bentuk layanan pertanahan pada akhir pekan melalui kantor pertana-han di wilayahnya masing-masing. Layanan ini dimaksudkan untuk percepatan layanan pertanapertana-han tertentu serta membantu masyarakat yang memiliki keterbatasan waktu pada hari kerja. Beberapa Kantor Pertanahan yang telah melaksanakan Weekend Service atau Layanan Akhir Pekan antara lain Kantor Pertanahan Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Surabaya II.

5. Layanan Tujuh Menit (Lantum)

Inovasi layanan ini baru disediakan oleh Kantor Pertanahan Surabaya II.Layanan pertanahan ini dilaksanakan dalam waktu 7 menit, sehingga dapat ditunggu oleh pemohon layanan.Tujuan dilak-sanakannya Lantum adalah untuk percepatan layanan pertanahan tertentu serta membantu ma-syarakat yang memiliki keterbatasan waktu (kesibukan yang tinggi) untuk datang sendiri ke Kantor Pertanahan.Jenis layanan pertanahan yang dilayani dalam inovasi layanan ini meliputi penghapusan Hak Tanggungan (Roya) serta pengecekan sertipikat hak atas tanah.

6. Layanan Informasi Online

Gambar

Tabel IV.1
Tabel IV.2Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan Nasional
Tabel IV.3
Tabel IV.5Sintesa Pasal-Pasal Terkait Konflik Tanah Adat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kisaran ukuran ikan kerapu karang bintik biru di perairan Karimunjawa, Jawa Tengah relative lebih besar dibandingkan perairan lain, rata-rata ukuran panjang pertama kali tertangkap

Setelah diketahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap profitabilitas, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada emiten dalam mempertimbangkan

dan dialektis seperti Marxisme. Begitu juga kaitannya perspektif marxisme terhadap agama, ateisme Feuerbach hanya berkonsentrasi pada keterasingan

“ Hadits Ibnu Umar r.a Dimana ia berkata, Nabi Saw melarang sebagian kamu berjualan sebagian yang lain (bersaing) dan seseorang tidak boleh meminag atas pinangan saudaranya

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Laswad et al, (2005), Serrano, et al (2008) dan Rahman, et al (2013) dimana dalam penelitiannya

Atribut-atribut tersebut adalah kualitas grafis, tidak sering crash,tidak sering hang, tidak sering lag, kapasitas baterai, kualitas gambar yang ditangkap/diambil,

Bahwa Penerbitan Sertifikat tersebut telah sesuai dengan Peraturan yang berlaku baik prosedur, tata cara maupun syarat-syarat yang harus dipenuhi para pemegang Sertipikat

Menurut Suyanto (1999) dalam Dwiyono (2004), pakan yang akan digunakan untuk pembesaran ikan lele ini relatif mudah didapat karena beberapa perusahan pakan telah