• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK MATERIALISME HISTORISME TERHADAP (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DAMPAK MATERIALISME HISTORISME TERHADAP (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK MATERIALISME HISTORIS DALAM MARXISME

TERHADAP SOSIALISME DAN AGAMA

Abstrak

Diinspirasi oleh pembubaran acara buku yang dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran, penulis ingin memberikan sebuah pemahaman tentang ajaran marxisme, khususnya berkaitan perbedaan ajaran marxisme dengan sosialisme dan pandangan marxisme terhadap agama. Penulis membatasi pada dua pokok tersebut dikarenakan hal ini menjadi inti dari konsekuensi pandangan materialisme sejarah dari filsafat Marxime. Dua hal tersebut juga menjadi bahan perdebatan di kalangan masyarakat yang masih dihinggapi oleh pikiran alam bawah sadar Orde Baru.

Kata kunci: Marxisme, agama, sosialisme, materialisme historis Tübingen, Proudhon, Brauer

1. Pengantar

Pada pertengah bulan Juni tahun 2014, terjadi pembubaran acara bedah buku Tan Malaka yang dilakukan oleh kelompok-kelompok “pembela” agama di Indonesia. Pembubaran acara bedah buku berjudul “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia” karya Harry A. Poeze ini ditengarai sebagai usaha untuk menumbuhkembangkan kembali paham komunisme di Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia masih belum beranjak dari alam bawah sadar Orba tentang paham Marxisme. Ini tidak lain dari hasil represi komunikasi yang diterapkan oleh penguasa Orde Baru di masa itu.

(2)

locus Marxisme. Dengan demikian, sekiranya perlu adanya sebuah pengantar tentang pemikiran kiri yang baik sedang berkembang sekarang maupun sejarahnya

Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan pandangan masyarakat awam tentang marxisme yang seringkali dikaitkan dengan ajaran sosialisme. Meskipun hal ini merupakan sesuatu yang tak terhindarkan dalam wacana pemikiran kontemporer baik formal maupun informal. Di sini penulis akan membatasi kepada dua pokok inti ajaran marxisme: perbedaannya dengan sosialisme (baik proto maupun kontemporer) dan pandangan ateistik marxisme. Kedua hal tersebut dibahas karena merupakan konsekuensi logis dari filsafat materialisme historis yang menjadi tulang punggung ajaran marxisme.

2. Sosialisme ≠ Marxisme

Ada kecenderungan laten di masyarakat Indonesia akibat pengkaburan pemahaman yang dilakukan oleh orba tentang komunisme dan sosialisme. Paham komunisme maupun paham sosialisme kedua-keduanya utopis namun secara intrinsik tidak sama. Komunisme adalah keadaan masyarakat yang stateless (tidak berkelas). Di dalam komunisme, masyarakat hidup berdampingan dalam satu komunitas tunggal yang tidak diganggu oleh baik hierarki kekuasaan, budaya, maupun agama. Bagi Karl Marx, komunisme adalah cita-cita kaum proletar atau cita-cita akhir dalam suatu masyarakat intra sejarah. Proses terwujudnya masyarakat komunis dalam sejarah harus melewati berbagai tahapan dalam prosesnya. Tahapannya yakni dari Kapitalisme, kemudian kediktatoran proletariat, lalu pada akhirnya menjadi komunisme.

(3)

diragukan lagi jika sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” terinspirasi oleh gagasan sosialisme. Namun kiri di sini tidak melulu diartikan sebagai orang yang berpaham komunisme.

(4)

Proudhon juga lebih lanjut lagi mempertanyakan fungsi otoritas pemerintah dalam suatu masyarakat sebagaimana ia tulis di dalam bukunya, Les Confessiones d’un Revolutionnaire (Proudhon, 1849). Di situ Proudhon membawa gagasan sosialisme itu jauh hingga ke arah anarkisme atau anti-pemerintah. Mikhail Bakunin, seorang aktivis dari Rusia mengambil sisi anarkisme dari sosialisme Proudhon. Tidak heran jika banyak kalangan menilai Proudhon sebagai bapaknya anarkisme. Marx muda juga terinspirasi oleh gagasan sosialisme ekstrim Proudhon tatkala berada di Prancis. Namun, pada akhirnya Marx menolak anarkisme maupun sosialisme Proudhon yang dianggapnya obscure (tidak jelas). Keduanya terlibat saling kritik semenjak itu. Proudhon menganggap komunisme Marx tidak layak untuk diperjuangkan karena pada akhirnya tidak lebih baik daripada sistem kapitalisme itu sendiri. Komunisme, dalam kacamata Proudhon, mengancam semangat kebebasan individu seperti halnya kapitalisme.1

Marx juga menjalin persahabatan dengan Friedrich Engels hingga akhir hayatnya. Bersama Engels, Marx mengembangkan pemikiran yang kini disebut dengan marxisme. Opus Karl Marx dan Friedrich Angels berjudul Das Kapital (1867) menggambarkan bagaimana kapitalisme (proto-kapitalisme) nantinya akan menuju kehancurannya sendiri. Setelah masyarakat kapitalis tumbang akibat revolusi proletariat, kelas pekerja (proletar) merebut kembali sarana produksi milik kelas pemodal (borguise) dan nantinya akan berakhir pada kediktatoran proletariat. Namun, kediktatoran proletariat pun tidak stabil sehingga beralih ke masyarakat komunal dimana masyarakat hidup secara kolektif tanpa adanya kepemilikan pribadi. Alat-alat produksi kini milik bersama dan tidak lagi di tangan segelintir orang. Singkatnya hidup dalam masyarakat yang berkesadaran kolektif. Semuanya digambarkan secara ilmiah melalui proses dialektis sejarah yang materialistik. Akan tetapi, proses tersebut tidaklah automaton atau berjalan secara alami dengan sendirinya. Aspek praxis diperlukan agar terciptanya gerak

1 Komunisme adalah suatu keadaan masyarakat tanpa kelas sedangkan marxisme adalah

(5)

sejarah menuju komunisme karena bertolak dari tesis 11 mengenai Feuerbach: “Dengan begitu, pada tahun 1848, terbitlah Communiste Manifesto, yang menyerukan kelas pekerja agar bangkit dalam revolusi proletariat demi mewujudkan vektor gerak perubahan historis yang dicita-citakan itu.

Sejak itu, marxisme mengalami divergensi baik terhadap paham sosialisme maupun paham anarkisme. Meskipun anarkisme dan marxisme dalam satu lindung rahim—yaitu sosialisme, namun kedua paham tersebut berjalan terpisah seiring perkembangannya. Kita juga dapat melihatnya di dalam sejarah, dimana terdapat ruang kompromi antara kedua paham tersebut. Gagasan sosialisme sendiri masih berjalan namun terabsorbsi oleh ide liberalisme sejak awal abad-20. Paham ini semakin mencuat seiring dengan reaksi terhadap kultur industri yang mendominasi sejak akhir abad-19 di Eropa[CITATION Ada04 \p 166 \l 1057 ]. Sosial liberalisme—atau sebagaimana biasanya disebut, telah membuat dikotomi tegas dengan liberalisme klasik. Kedua ideologi tersebut sepakat dalam kebebasan individu namun berbeda dalam prinsip ekonominya.

Paham ekonomi yang libertarian (liberalisme klasik) menganut sistem ekonomi bebas pasar atau disebut dengan Laissez-faire economy. Sistem ekonomi pasar bebas memberikan keleluasaan bagi pasar untuk berkembang tanpa campur tangan pemerintah di dalamnya. Dalam hal ini, regulasi pemerintah terhadap pasar diminimalisir seminimal mungkin. Paham sosialis-liberal memperjuangkan

(6)

Di masa kini, hampir semua negara-negara maju di Eropa mengadopsi sistem ekonomi yang berpijak pada paham sosialisme.

Perkembangan definisi komunisme, pada akhirnya difokuskan pada teori ekonomi. Uni Soviet, yang merupakan ‘negara komunis’ itu sendiri mengadopsi sistem ekonomi “sosialisme”.2 Berbeda dengan Amerika Serikat yang memfokuskan pada demokrasi yang kapitalistis, Uni Soviet menggunakan asas ekonomi yang sentralistik, dimana negara (state) adalah pusat bagi segala penghayatan hidup masyarakat.

Sejak abad 20, marxisme juga telah terabsorbsi ke dalam paham-paham baik liberalisme maupun anarkisme. Pasca gagalnya revolusi proletariat 1848, warisan Karl Marx mengenai perspektif deterministik historisnya tentang kehancuran kapitalisme membuat kalangan marxisme di Eropa mulai memeriksa ulang pondasi-pondasi utama ajaran marxisme. Walaupun menemukan momentumnya pasca revolusi Bolshevik di Rusia pada 1912, tetapi masih banyak beberapa hal yang belum terjawab—atau setidaknya masih belum didialektikakan oleh marxisme. Di masa kontemporer, pandangan Marxisme masih menemukan relevansinya walaupun dihadapkan pada batasan-batasan yang belum pernah dihadapi sebelumnya seperti relasi buruh dan pemilik industri, relevansi teori nilai lebih (surplus value theory) di masa industri modern, dan juga jawaban marxisme terhadap fenomena kolonialisme dan isu-isu seputar dunia ketiga. Keberadaan pemikiran teori kritis Mazhab Frankfurt yang diwakili Theodor Adorno dan Max Horkheimer juga memperkaya khasanah studi-studi Marxian di masa kontemporer tanpa harus berpegang secara ketat dengan materialisme historis marxisme yang dialektis.

Periode pasca industri di abad 20 menjadi perhatian utama bagi kajian ekologi, humaniora, dan posmodernisme. Tidak terkecuali marxisme yang berusaha mencari anasir-anasir struktur kekuasaan yang dihubungkan dengan relasi-relasi produksi milik si kapitalis. Tidaklah heran jika marxisme di abad 20 berintegrasi dengan pemahaman-pemahaman ekologis, sosiologis, dan bahkan kritik sastra

(7)

yang termasuk di dalam cabang-cabang ilmu estetika lainnya. Dalam lukisan misalnya, Uni Soviet mempopulerkan lukisan bergaya realisme sosial (social realism) sebagai potret alamiah (mimesis) konflik-konflik internal di dalam realitas sosial suatu masyarakat yang benar-benar nyata. Dalam film, Sergej Eisenstein, seorang sineas yang Marxis, menemukan padanan dialektika dalam sistem editing film yang bernama montase (Montage).

Singkatnya, para marxis kontemporer sudah tidak berpijak—atau bahkan meninggalkan—gaya dialektika historis yang menjadi backbone ajaran Marxisme. Begitu juga dengan oposisi ajaran marxisme terhadap agama, walaupun masih dianut oleh kebanyakan marxis, namun sumbangsih marxisme (khususnya di negara-negara berkembang pasca kolonialisme) direduksi menjadi sekedar instrumen pembebasan. Dengan demikian, marxisme berusaha mengartikulasikan gagasan-gagasan emansipatorisnya dengan wacana pembebasan negara-negara dunia ketiga khususnya negara-negara di Asia dan Afrika. Kaum intelektual di abad 20 menggandeng marxisme dengan sosialisme3 demi merealisasikan cita-cita kebebasan mereka. Di masa itulah, pengaburan sosialisme dan marxisme menjadi nyata dan serba konjektur karena hanya melayani fungsi yang sama yaitu membebaskan. Tidak heran jika Orde Baru menggolongkan keduanya ke dalam satu wadah, yaitu komunisme. Aktivis-aktivis politik kontemporer yang relijius seperti Desmond Tutu di Afrika Selatan, Malcolm X di Amerika Serikat, Ayatollah Taleghani di Iran dan bahkan Hadji Misbach di Indonesia tidak sungkan-sungkan tatkala berkolaborasi dengan pemikiran-pemikiran kiri seperti komunisme atau sosialisme. Selama ajaran itu sifatnya membebaskan, kaum intelektual dan aktivis di dunia ketiga akan menemukan sekutu barunya.

3. Agama Dalam Perspektif Marxisme

Pengaruh pandangan Karl Marx mengenai agama tidak dapat dilepaskan oleh pengaruh gerakan liberalisasi teologi di masa romantisisme Jerman yang sedang bergema di waktu itu. Romantisisme Jerman sangat dipengaruhi dengan kerangka

(8)

berpikir historisisme yang berpuncak pada filsafat Hegel (hegelian). Dalam kerangka berpikir Hegelian, sejarah tidak dipandang sebagai proses tertutup, tapi proses terbuka melalui mekanisme dialektis dan rasional. Gerakan liberalisasi teologi ini menginspirasi didirikannya mazhab teologi Tübingen yang diprakarsai oleh seorang hegelian bernama Ferdinand Christian Baur (1972—1860). Di dalam mazhab Tübingen, penafsiran agama kristen dibebaskan oleh kaidah-kaidah tafsir yang klasik dan memungkinkan adanya penafsiran historis dan rasional terhadap kitab suci. Gaya penafsiran ini memunculkan metode Biblical Criticism, atau kritisisme Injil. Mazhab Tübingen tumbuh berkembang menjadi gerakan teologi arus radikal di Jerman. Hal ini dapat dipahami apabila kita melihat pokok pemikiran para tokoh liberal protestan seperti Bruno Bauer (1809—1882) dan David Strauss (1808—1874).

Secara global, pengaruh mazhab Tübingen tidak hanya mempengaruhi para teolog intra Jerman. Para teolog Tübingen juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap teolog-teolog liberal di Eropa seperti Bolland dari Belanda, Rudolf Steck di Swiss, dan John M Robertson di Inggris [CITATION Oma12 \p 16-17 \l 1057 ]. Dapat dikatakan bahwa sejak didirikannya mazhab Tübingen, kajian-kajian seputar Injil (biblical studies) masuk di dalam kategori pembahasan hermeneutik ilmiah dan rasional.

(9)

terkait investigasi historisnya riwayat Yesus Kristus tertuang dalam karya kontroversialnya berjudul Das Leben Jesu (Riwayat Hidup Sang Kristus). Kontroversi ini semakin memanas ketika Strauss diangkat sebagai kepala studi Teologi Universitas Zurich.4

Begitu pula dengan Bruno Bauer, seorang teolog dari tradisi mazhab Tübingen lainnya, yang berpendapat bahwa injil perjanjian baru yang beredar di masa kini adalah injil yang disadur dari filsafat Stoicisme Yunani Kuno maupun Romawi [CITATION Oma12 \p 26 \l 1057 ]. Akibatnya, menurut Bauer, kisah atau periwayatan tentang Kristus pun berakhir menjadi simpang siur dan sukar dibersihkan atau dipurifikasi. Yesus Kristus tidak lebih dari karakter mitos yang disejarahkan dalam tradisi Neoplatonisme. Agama kristen, sebagaimana yang diyakini Bauer, lahir di Alexandria dan di Roma. Agama kristen diciptakan oleh kesadaran diri (selbbetvusztsein). Para penulis injil sengaja membuat cerita itu dengan kesadaran diri. Kesadaran diri, seperti yang dikutip Marx adalah sumber inspirasi para penulis Injil dalam authorship mereka:

Bruno Bauer mengakui bahwa bukan lagi Roh Kudus yang mendiktekan penulis-penulis Injil, tetapi ‘kesadaran diri sendiri’ yang tak terbatas itulah yang mendikte para penulis tersebut.

(Marx, 1845)

Sebagaimana yang diketahui dalam sejarah, Bauer adalah salah satu pemuka teolog yang memasung gaya dekonstruktif dalam melakukan kritik terhadap perjanjian baru.5 Argumentasi Brauer cukup membuat kaum teolog di Jerman menjadi gerah di masa itu. dalam Konflik Bauer tidak hanya dengan para teolog Jerman, tetapi ikut mendapat kritikan tajam dari David Strauss.Hal ini semakin diperparah dengan afiliasi Brauer dengan kaum Hegelian muda yang radikal

4 Untuk lebih lanjut lihat artikel Douglas R. McGaughey, “On D.F. Strauß and the 1839 Revolution in Zurich”.

(10)

seperti Max Stirner, Karl Marx, Friedrich Engels dan kaum sosialis lainnya. Dari tahun 1842 hingga 1849, Bauer termasuk dalam salah satu tokoh yang aktif dalam jurnal-jurnal politik serta bergelut dalam riset historis terhadap aufklarung (masa fajar budi atau pencerahan). Dengan “Kesadaran Diri tak terbatasnya”-nya itu, Brauer lebih semakin kontras terhadap pemikiran para teolog-teolog konservatif yang dianggap berhaluan Hegelian kanan atau konservantif, bahkan terhadap Strauss sekalipun. Kedekatan Bauer dengan Marx dan Engels sedikit banyaknya memberikan andil besar terhadap pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels tentang agama itu sendiri. Namun pada akhirnya jalinan pertemanan mereka merenggang semenjak Bauer mulai berani mangambil sikap kritis terhadap hegelian radikal kiri pada khususnya dan gerakan-gerakan sosialisme radikal pada umumnya. Sikapnya itu kelak yang menginspirasi Marx dan Engels untuk dijadikan sebagai objek kritikannya di dalam The Holy Family (1844) dan

German Ideology (ditulis sekitar 1845—46).6

Meskipun Brauer berani dalam melakukan serangan gencar terhadap kondisi Prusia yang semakin konservatif saat itu, Brauer tetap berada dalam bayang-bayang filsafat Hegelian. Berbeda dengan Marx, dan kaum sosialis radikal saat itu, hal-hal yang dogmatis seperti agama dan hal-hal metafisik lainnya cenderung dipinggirkan dalam pergulatan dunia intelektual. Hal ini disebabkan oleh pengaruh fajar budi (aufklarung) pasca revolusi Prancis tahun 1789. Walaupun Marx dan Engels juga menggunakan titik tolak filsafat Hegel sebagai mode

pemikirannya—yaitu dialektika, akan tetapi mereka hanya menggunakan filsafat materialisme sebagai acuan utamanya.

Dalam disertasi doktoralnya tentang Epikuros,7 tampak sekali pengaruh pemikiran materialisme sebagai kerangka pemikirannya serta sekaligus juga menjawab inkonsistensi filsafat Hegel yang serba kontradiktif terhadap keadaan Prusia saat itu. Marx muda melihat: mengapa masyarakat yang nyata, yaitu masyarakat

6 Lihat Stanford Encyclopedia of Philosophy tentang Bruno Bauer,

http://plato.stanford.edu/entries/bauer/ (2 November 2014).

(11)

Prussia, berkebalikan dari masyarakat yang bebas dan rasional seperti yang dipikirkan Hegel?[CITATION Mag99 \p 47-48 \l 1057 ] Dari situlah filsafat Marx menjadi praxis, berlawanan dengan Hegel yang serba teoritis. Materialisme dipahami sebagai objek yang nyata (real) ketimbang idealisme Hegel yang mengambang secara abstrak. Karena materialisme secara epistemologis menekankan superioritas faktor-faktor materi di atas spiritual dalam metafisika. Dengan demikian, sosok Tuhan pun dinafikan sebagai konsekuensinya[CITATION Bag96 \p "593, "Materialisme"" \l 1057 ]. Tampak jelas, bahwa ateisme di dalam ajaran Marxisme yang diprakarsai Marx dan Angels adalah konsekuensi logis dari cara berpikir materialistis.

Selain dekonstruksi Bauer tentang agama kristen yang berbekas di dalam diri Marx belia, Ludwig Feuerbach yang paling menginspirasi Marx dalam pemahaman ateistiknya. Feuerbach, yang merupakan seorang ateis tulen, menyerang filsafat Hegel dengan cukup tajam. Di dalam Das Wesen des Christentums (Hakikat Agama Kristen) (1841), Feuerbach memutarbalikkan dasar pikiran idealisme Hegel dengan menyatakan bahwa studi humanisme harus berasal dari “manusia sejati” yang hidup di “dunia materi,” bukan—seperti yang diyakini Hegel—dari yang “sungguh-sungguh real (nyata)” sebagai sumber dari yang göttlich (ketuhanan) [CITATION Har02 \p 53 \l 1057 ]. Jadi, menurut Feuerbach, satu-satunya realitas yang tidak terbantahkan adalah pengalaman inderawi manusia. Dengan begitu hanya ada satu titik tolak filsafat yang valid, yaitu manusia inderawi [CITATION Mag99 \p 68 \l 1057 ].

(12)

segala ke-maha-anNya itu agar semua ke-maha-an itu kembali kepada manusia itu sendiri. Manusia harus menghilangkan agama itu agar mampu merealisasikan potensi-potensinya. Dengan kata lain, Feuerbach berpendapat bahwa “teologi harus menjadi antropologi.”8 [CITATION Mag99 \p 68-71 \l 1057 ].

Dengan Feuerbach, Marx dapat semakin memantapkan pijakan pemikirannya pada filsafat materialisme. Namun, ada beberapa keberatan yang diajukan oleh Marx berkaitan dengan pemikiran materialistis Feuerbach. Terdapat beberapa kelemahan dari filsafat materialisme Feuerbach: 1). Materialisme Feuerbach tidak menyejarah (historis) karena sesuatu dilihat dari aspek-aspek alamiahnya saja. 2). Materialisme Feuerbach non-dialektis, sehingga cenderung naturalistik dan mekanistik [CITATION DNA63 \p 28 \l 1057 ]. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Marx dan Engels hanya mengambil saripati filsafat materialisme Feuerbach yang tradisional dan mencampakkan beban relijius etisnya [CITATION Har02 \p 57 \l 1057 ].

Dengan begitu, materialisme Marx memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh berbagai paham materialisme lainnya: materialisme historis. Materialisme historis menggunakan “pisau” dialektikanya untuk membedah hakikat historis suatu masyarakat dalam perspektif yang materialistik. Cara ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Hegel dimana sejarah dikupas secara dialektik dengan bertolak pada pandangan idealistik tentang proses roh “kesadaran Diri” yang subjektif menuju roh yang kembali pada dirinya sendiri dan menjadi objektif.

Konsekuensi dari materialisme historis dalam Marxisme adalah melihat segala gejala-gejala historis muncul akibat dari pertentangan kelas. Dengan demikian, Marx melihat bahwa faktor utama dalam perjalanan sejarah adalah faktor ekonomis, antara kelas yang menguasai sumber-sumber produksi dan kelas yang tidak memilikinya. Berbeda dengan Feuerbach, Marx melihat agama hanyalah tanda keterasingan manusia dan bukan sebagai dasar keterasingannya. Agama

(13)

hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri [CITATION Mag99 \p 73 \l 1057 ].

4. Kesimpulan

Setelah melihat analisa-analisa yang dipaparkan sebelumnya, terlihat garis tegas antara pemikiran marxisme yang sudah melenceng dari pemikiran sosialisme awal dan juga menjauhi pandangan ateistik Feuerbach. Dapat dikatakan bahwa konsekuensi dari Marxisme yang mengadopsi materialisme sejarah sangat besar. Dengan materialisme historisnya yang menyejarah tersebut, segala aspek dilihat dari faktor-faktor materialismenya, yaitu ekonomi. Dari poin ini, bentuk (mode) “sosialisme” yang diperkenalkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels bersifat ilmiah dan deterministik. Engels menganggap dialektika versi materialisme historis seilmiah Darwin yang meneliti perkembangan evolusi organisme dan juga menjadi “hukum alam” yang menentukan sejarah seperti halnya hukum alam fisika milik Newton [CITATION Mag99 \p 218-219 \l 1057 ]. Dengan determinisme materialisme historis, Marx meramalkan akan keruntuhan kapitalisme yang niscaya dan datang dari dirinya sendiri.

Hal demikian yang membuat ajaran marxisme mengalami divergensi dengan paham-paham sosialisme yang hanya berutopia pada cita-cita masyarakat yang serba kolektif dan berkeadilan tanpa adanya perumusan teoritis yang serba rigor

dan dialektis seperti Marxisme. Begitu juga kaitannya perspektif marxisme terhadap agama, ateisme Feuerbach hanya berkonsentrasi pada keterasingan manusia terhadap sosok paripurna namun melupakan aspek historis dari manusia itu sendiri. Bagi Feuerbach, agama adalah sumber keterasingan manusia terhadap dirinya dan memproyeksikannya dalam bentuk “sosok Tuhan” dengan serba ke-maha-annya. Namun, Marx menyoroti tentang manusia yang digambarkan oleh Feuerbach sebagai manusia yang abstrak dan tidak menyejarah. Melalui perspektif materialisme historisnya, Marx mengungkapkan motif ekonomi yang berada di balik tabir utama bangunan atas sejarah9. Oleh karena itu, tidak seperti Feuerbach

(14)

aspek-yang menganggap problem utama adalah agama, Marx menganggap problem utama adalah penguasaan faktor-faktor ekonomi di dalam sejarah yang berada di tangan suatu kelompok tertentu. Dengan berakhirnya kesenjangan ekonomi melalui aksi-aksi praxis yang revolusioner, berakhir juga kelas-kelas yang ada dalam struktur kemasyarakatan beserta kepemilikan pribadi, dan otomatis berakhir juga eksistensi agama dalam kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, I. (2004). Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya. (A. Noerzaman, Penerj.) Yogyakarta: QALAM.

Aidit, D. N. (1963). Tentang Marxisme. Jakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham.

Bagus, L. (1996). Kamus Filsafat (1st ed.). Jakarta: Gramedia.

Bruno Bauer. (t.thn.). Diakses November 2014, 2, dari Stanford Encyclopedia of Philosophy: http://plato.stanford.edu/entries/bauer/

Hashem, O. (2012). Marxisme dan Agama. Yogyakarta: Rausyanfikr Institut.

Magnis-Suseno, F. (1999). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Marx, K. (t.thn.). The Holy Family Chapter VI 3. Diakses November 1, 2014, dari marxist.org: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/holy-family/ch06_3_f.htm

Prabowo, H. (2002). Perspektif Marxisme. Yogyakarta: Jendela Grafika.

Referensi

Dokumen terkait

Sungguh ironis sekarang seakan para mahasiswa kehilangan taring gerakannya dalam mengisi pembangunan nassional, pola geraknya hanya melingkupi pada

Jumlah tenaga kerja bagian produksi yang seharusnya pada Dini Bali Silver di Celuk, Gianyar berdasarkan analisis tenaga kerja yang seharusnya, yaitu : Tahun 2009,

Jika diperhatikan pada Gambar 2 dan 3 ada korelasi peningkatan TSS dan TDS, namun demikian peningkatan nilai TSS adalah sangat baik untuk penjernihan air limbah pengolahan

Tidak memiliki teman yang seumuran dirumah EL,VB23 Lebih diam saat menyelesaikan masalah sendirian EL,VB25b Menyelesaikan masalah yang ada sendirian VB24b Lebih memilih diiam saat

Resistansi gaya lateral (seismik dan angin) dilakukan dengan kombinasi dinding core beton dibagian dalam dan mega kolom komposit dibagian luar yang dihubungkan

46 Gambar 7 Activity Diagram Lihat Nilai Siswa Proses Activity Diagram Lihat Nilai Siswa dapat dilakukan dengan mengirimkan SMS ke server berdasarkan format SMS yang

Berdasarkan grafik nilai indeks POD untuk setiap kategori hujan pada gambar 3.2 (a), dapat diamati bahwa untuk kategori hujan ringan dan sangat lebat, estimasi

Pemeriksaan aerasi-filtrasi dengan kadar Fe setelah dilakukan proses pengolahan aerasi-filtrasi menghasilkan kadar besi (Fe) yaitu berkisar 0,89 mg/L dengan efektivitas