UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI KASUS PERILAKU NEGARA PENGKLAIM DI LAUT CINA SELATAN TERKAIT ANCAMAN CINA: UJI TEORI BALANCE OF POWER
(1991-2011)
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
DIAN ADITYA NING LESTARI 0906492663
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI KASUS PERILAKU NEGARA PENGKLAIM DI LAUT CINA SELATAN TERKAIT ANCAMAN CINA: UJI TEORI BALANCE OF POWER
(1991-2011)
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
DIAN ADITYA NING LESTARI 0906492663
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama : Dian Aditya Ning Lestari NPM : 0906492663
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Departemen : Ilmu Hubungan Internasional Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia HakBebas Royalti Nonekslusif ( Non-exclusive Royalty-Free
Right ) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Studi Kasus Perilaku Negara Pengklaim di Laut Cina Selatan terkait Ancaman Cina: Uji Teori Balance of Power (1991-2011)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal: 22 Januari 2014.
Yang menyatakan,
KATA PENGANTAR
Dunia Abad ke-21, dunia yang telah berubah dan membutuhkan perspektif dan
analisis baru dalam Ilmu Hubungan Internasional. Mulai dari tidak munculnya lagi
balancing terhadap kekuatan hegemoni dunia (Amerika Serikat) sampai bertambah
relevannya signifikansi kawasan dalam isu-isu keamanan, seperti maraknya sengketa
wilayah yang dapat memicu konflik, menjadi fenomena yang menghiasi dunia di
masa sekarang, sehingga relevansi teori harus didorong untuk bisa menjawab
kebutuhannya.
Penulis berangkat untuk meneliti relevansi teori balance of power dengan
studi kasus perilaku negara yang terlibat dalam salah satu sengketa wilayah yang
berbahaya di kawasan, yaitu Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan, untuk menjawab
tantangan diatas. Teori klasik dan parsimoni seperti balance of power seharusnya
relevan di semua kasus. Pun tidak, relevansi teori tersebut harus tetap dicari untuk
memberikan dunia, peneliti, pembuat kebijakan, dan praktisi ilmu hubungan
internasional lainnya, penjelasan mengenai keterbatasan teori ini. Pun induksi teori
perlu dilakukan apabila kekhususan sebuah fenomena tidak mampu dijelaskan oleh
teori ini.
Fenomena perilaku negara terkait Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan inipun
merupakan sebuah anomali, karena ternyata hukum-hukum variabel balance of power
tidak terjadi di dalamnya. Ketika seharusnya imbalance of power menciptakan
instabilitas, bahkan perang besar, di lautan ini terjadi stabilitas. Selain itu, perilaku
balancing dan bandwagoning negara-negara lebih lemah yang terlibat (Malaysia,
Filipina, Vietnam, dan Brunei) terkait ancaman Cina pun tidak sesuai dengan hukum
yang diterapkan Kenneth Waltz.
Ada apa dibalik negara-negara yang terlibat Sengketa Wilayah Laut Cina
Selatan ini sehingga anomali itu tercipta? Seberapa relevankah teori balance of
power? Dapatkan teori baru diinduksi terhadap balance of power untuk meningkatkan
relevansinya? Penulis maju untuk meneliti perilaku negara terkait fenomena yang
komparabel dengan fenomena di Eropa pada masa Perang Dunia ini demi
mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan segenap hati penulis mengucapkan terima kasih kepada individu-individu
dibawah ini yang, tanpa dukungannya, baik dukungan moral maupun substansial,
tidak akan pernah bisa skripsi ini diselesaikan oleh penulis:
1. Andi Widjajanto S.Sos., M.Sc., Ph.D., sebagai dosen pembimbing penulis, yang tanpa persetujuannya tidak akan pernah penulis maju sidang. Bantuan
akademik serta contohnya yang baik sebagai peneliti yang baik akan selalu
menjadi inspirasi bagi penulis;
2. Makmur Keliat Ph.D, orang yang juga membuat skripsi tentang Laut Cina Selatan, yang telah bersedia menjadi penguji ahli dalam sidang skripsi ini;
3. Nurul Isnaeni MA dan Andrew Mantong M.Sc., sebagai Ketua Program S1 dan Sekretaris Program S1 yang tanpa bantuannya disiplin birokrasi di
Departemen tidak akan ditegakkan dan kelengkapan persuratan skripsi penulis
tidak akan terselesaikan;
4. Dra. Evi Fitriani MA, MIA dan Dwi Ardhanariswari Sundrijo, S.Sos., MA, yang menjadi panutan penulis, juga Yeremia Lalisang S.Sos., M.Sc. yang sedang menempuh studi S3, ketiganya adalah contoh bagi penulis
tentang bagaimana kita harus selalu menjaga idealisme di dunia kerja;
5. Soeprapto Budisantoso M.Sc dan Dewi Yulia Nurhayati sebagai orang tua penulis; tujuan penulis menyelesaikan skripsi ini adalah mereka, sebab semua
orang tua tentu ingin anaknya menjadi sarjana, entah mengapa;
6. Andhyta Firselly Utami, sebagai teman penulis, Rizki Yuniarini yang ceria, dan Hanifah Ahmad yang terdepan dalam profesionalitas, ketiganya merupakan contoh yang baik bagi penulis selama berada di masa kuliah;
7. Sahabat-sahabat di HI 2009, 2007, 2008, 2010, 2011, dan 2012, terima kasih segala pelajaran dan canda tawanya, dan untuk HI 2013 selamat datang di keluarga besar HI UI yang kucinta!
9. Semua sahabat penulis semenjak TK hingga sekarang, yang telah mewarnai hidup penulis dan menemani petualangan penulis; dan
10.Terakhir, untuk Sindhu Partomo, penulis kehilangan kata-kata, terima kasih atas segalanya; selesaikan kuliahmu, aku, Alex, Nikki, Dachs, Deutsch dan
Kaiser, serta seluruh dunia yang tak sabar ingin kita benarkan salahnya,
menunggu.
Tertanda,
ABSTRAK
Nama : Dian Aditya Ning Lestari
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Judul : Studi Kasus Perilaku Negara Pengklaim di Laut Cina Selatan terkait Ancaman Cina: Uji Teori Balance of Power (1991-2011)
Penelitian ini menguji relevansi Teori Balance of Power milik Kenneth Waltz dengan metode studi kasus. Fenomena yang diteliti adalah stabilnya kawasan Laut Cina Selatan yang dikelilingi Negara-negara bersengketa dengan besaran power yang tidak berimbang. Hasil penelitian ini adalah bahwa Teori Balance of Power relevan dalam menjelaskan perilaku Brunei dan Filipina yang melakukan external balancing denganBritania Raya dan Amerika Serikat, sehingga tercipta bipolaritas ganda. Teori ini irelevan dalam menjelaskan perilaku Malaysia dan Vietnam, dimana keduanya tidak melakukan internal balancing maupun external balancing, namun stabilitas tetap terjaga diantara mereka. Malaysia tidak menganggap Cina sebagai ancaman utama, sedangkan Vietnam memiliki pengalaman memenangi perang melawan negara besar. Menjelaskan perilaku Vietnam, penulis ini menawarkan konsep asymmetric balancing, yang membutuhkan penelitian lebih lanjut agar dapat mengembangkannya sebagai teori dalam ranah Ilmu Hubungan Internasional.
ABSTRACT
Name : Dian Aditya Ning Lestari
Study Program : International Relations
Title : Case Study of Claimant States’ Behavior at The South China Sea related to the Threat of China: Testing the Balance of Power Theory (1991-2011)
This research tests the relevance of Kenneth Waltz’s Balance of Power Theory using the case study method. It studies the currently stable South China Sea, which is surrounded by claimant states highly diverse in term of power magnitude. The result is that Balance of Power Theory is relevant in explaining Brunei’s and Philippines’ external balancing with United States and United Kingdom, thus creating a dual bipolarity. The theory is irrelevant in explaining Malaysia and Vietnam’s behavior where they did not do neither internal nor external balancing, yet the stability has been there. Malaysia did not perceive China as the main threat; meanwhile Vietnam has had an experience of winning asymmetric war against greater power. Explaining the behavior of Vietnam, this research proposes the concept of asymmetric balancing, which need further research in order to make it a theory in the field of International Relations.
DAFTAR ISI
1.3.2 Permasalahan pada Teori Balance of Power... 7
1.4. Metode Penelitian ... 9
1.5.Tujuan dan Signifikansi Penelitian ... 12
1.6.Tinjauan Pustaka ………. 13
1.6.1 Soft Balancing………..13
1.6.2 Kritik terhadap Soft Balancing………..17
1.6.3 Indirect Balancing dan Complex Balancing………...19
1.7. Rencana Pembabakan Penelitian ... 21
2. STUDI KASUS ... 22
2.1. Sengketa Wilayah di Laut Cina Selatan ... 22
2.1.1. Sejarah Sengketa ... 23
2.1.2. Negara-Negara yang Bersengketa ... 25
2.2. Imbalance of Power di Laut Cina Selatan ... 27
2.3. Stabilitas di Laut Cina Selatan ... 33
2.4. Insentif Konflik di Laut Cina Selatan... ... 35
2.4.1. Historical Enmity ... 36
2.4.2.4. Inefektivitas Rezim/Institusi ... 43
3.1 Relevansi Teori Balance of Power di Laut Cina Selatan ... 49
3.1.1. Kekhususan Asia Tenggara ... 51
3.1.2. Kasus Filipina ... 53
3.1.3. Kasus Brunei ... 55
3.1.4. Struktur di Laut Cina Selatan ... 57
3.2. Irelevansi Teori Balance of Power ... 58
3.2.1. Kasus Malaysia ... 59
3.2.2. Kasus Vietnam: Assymetric Balancing ... 61
4. PENUTUP ... 70 4.1. Kesimpulan ... 70
4.2. Rekomendasi ... 72
4.3. Refleksi terhadap Indonesia ... 73
4.4. Sumbangsih terhadap Ilmu Hubungan Internasional ... 74
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1: Kapabilitas Militer yang Mengitari Laut Cina Selatan tahun 1991,
2003 dan 2011 ... 3
Tabel 2.1: Balance of Force yang Mengitari Laut Cina Selatan 1991-2011 ... 28
Tabel 2.2: Lini Waktu Peristiwa di Laut Cina Selatan ... 33
Tabel 3.1: Perbandingan Kapabilitas AS-Vietnam dalam Perang Vietnam ... 63
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1: Langkah-Langkah Metodis Studi Kasus……...12
Gambar 2.1: Kontestasi Klaim di Laut Cina Selatan ... 23
Gambar 3.1: Proses Terciptanya Stabilitas di Laut Cina Selatan jika Teori Balance of Power Sepenuhnya Relevan... 49
Gambar 3.2: Proses yang Diindikasi terjadi dari Studi Kasus ... 50
Gambar 3.3: Bipolaritas Ganda di Laut Cina Selatan ... 58
Gambar 3.4: Skenario Force Deployment Cina Jika Menginvasi Laut Cina Selatan ... 66
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam studi Hubungan Internasional, khususnya kajian keamanan, terdapat
berbagai mazhab menjelaskan bagaimana struktur dalam sistem internasional
mempengaruhi perilaku aktor. Salah satunya adalah Realisme Struktural
(Neorealisme). Realisme Struktural percaya bahwa perilaku aktor dipengaruhi
keseimbangan kekuatan (balance of power) pada sistem internasional.1 Keseimbangan
kekuatan tersebut dipercaya sebagai pembawa stabilitas pada sistem internasional,
seperti apa yang terjadi di masa Perang Dingin, dimana distribusi kekuatan yang
seimbang antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menciptakan dunia global yang
stabil.2
Walau demikian, anomali terjadi di tingkat regional, salah satunya di Kawasan
Asia Pasifik. Berbagai penulis setuju bahwa di kawasan ini terjadi tiga hal. Yang
pertama adalah adanya historical enmity. Mulai dari T.V Paul. Michael Leifer. sampai
Evelyn Goh, mereka setuju bahwa ada kebencian historis yang ada karena
kolonialisme yang satu terhadap yang lain.3 Yang kedua, kawasan ini masih melihat
ancaman Eropa Abad 17-18, yaitu perebutan wilayah dalam bentuk sengketa
perbatasan.4 Mulai dari Senkaku-Tiaoyu sampai Laut Cina Selatan, sengketa wilayah
1
Inti dari Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (Masscachussets: Addison-Wesley Publishing Company, 1979).
2
Tentang hal ini, pendapat terbagi antara penganut unipolar stability, bipolar stability dan multipolar stability, berdasarkan jumlah negara yang lebih kuat dari yang lain dalam sistem tersebut. Kenneth Waltz berargumen bahwa bipolar stability -lah yang bekerja, dimana adanya dua kekuatan yang saling bersaing, sebagai hasil dari respon negara akan ancaman (balancing/bandwagoning), akan menjaga stabilitas. (Baca: Ibid).
3
Evelyn Goh, “Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing Regional Security Strategies,” dalam International Security 32, No. 3 (Winter 2007/08), hal. 132-148; Michael Leifer, ”Stalemate in the South China Sea,” Publikasi Asia Research Center, London School Economics and Political Sciences, diunduh dari http://community.middlebury.edu/~scs/docs/leifer.pdf; dan Amitav Acharya, Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order, (London: Routledge, 2001), Bab 5: “Managing Intra-Regional Relations.”
4
terjadi sejak dua dekade lalu dan tidak pernah selesai. Yang ketiga, yaitu imbalance of
power alias ketidakseimbangan kekuatan, yang terjadi antara negara terbesar di
kawasan, Cina, dengan negara-negara di sekitarnya. Tiga hal ini seharusnya memicu
instabilitas, namun dua dekade terakhir tidak terjadi perang besar di kawasan ini.
Kita ambil contoh Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan sebagai salah satu
sengketa wilayah berbahaya. Amitav Acharya menyebutkan Laut Cina Selatan
sebagai flashpoint of conflict 5 dan Kaplan menyebutkan bahwa “the South China Sea
is the future of conflict,” karena banyaknya kepentingan dan ketegangan disana, yang
seharusnya memicu konflik.6
Selain berbahaya, sengketa wilayah ini juga menjadi saksi historical enmity
yang mendalam. Kebencian masyarakat Vietnam terhadap Cina bertahan hingga
sekarang7 sebagai respon atas serangan militer tahun 1977 atas Kepulauan Paracel,8
dan konfrontasi 1987-1988 di Johnson Reef dan Fiery Cross Reef.910
6: “The 1990s and beyond: an emergent East Asian complex.”). Kondisi ini tentunya mempersulit berbagai usaha-usaha penyelesaian konflik perbatasan, yang merupakan isu yang sensitif bagi semua negara. Salah satu konflik yang melibatkan bukan hanya negara-negara di Asia Timur tapi juga Asia Tenggara, adalah Konflik Laut Cina Selatan.
5
Kesimpulan tersebut dibuatnya setelah mengamati potensi konflik yang ada di Laut Cina Selatan, sebagai akibat dari inevektivitas rezim dan banyaknya kepentingan yang bertabrakan disana, inti Bab 5 “Managing Intra-Regional Relations,” dari: Amitav Acharya, Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order, (London: Routledge, 2001).
6
Robert D. Kaplan, “the South China Sea is the Future Conflict,” Foreign Policy, terakhir kali dimodifikasi tanggal 15 Agustus 2011, diakses dari
http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/08/15/the_south_china_sea_is_the_future_of_conflict?pag e=full
7
“South China Sea: Vietnamese hold anti-Chinese protest, Reuters,” BBC.co.uk, terakhir dimodifikasi tanggal 5 Juni 2011,diakses darihttp://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-13661779
8
Laut Cina Selatan telah menjadi rebutan sejak akhir masa kolonial dan berlanjut di masa Perang Dingin hingga sekarang. Cina merupakan negara paling asertif dalam usaha perebutannya. Salah satu contoh tindak asertifnya adalah operasi militer tahun 1974 atas Kepulauan Paracel. Dalam serangan tersebut, pasukan Vietnam Selatan dikalahkan dan mundur dari Kepulauan Paracel. Pasukan Vietnam Selatan kewalahan oleh pasukan Cina yang lebih superior dan dikalahkan dalam waktu dua hari. Sumber militer di Vietnam Selatan mengatakan bahwa 14 kapal perang Cina, termasuk empat guided missile destroyers, dikerahkan dalam misi itu berbarengan dengan empat MiG-21 dan MiG-23. Sumber: Lo Chu-kin, “China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, “ (London: Routledge 1989), hal. 56.
9
Pada awal yahun 1978, sesungguhnya terjadi gencatan senjata antara dua negara, namun seiring memburuknya hubungan pada akhr 1978 gencatan senjata ini berakhir.(Lo, Chi-kin Hal. 105) Pada saat itulah kemudian sengketa –yang masih berada dalam ranah sengketa diplomatik itu—menjadi isu yang resmi dan publik. Bermagai manuver diplomatik kemudian berganti menjadi aksi-aksi propaganda dan konfrontasi-konfrontasi militer (Ibid, hal.111); aksi-aksi propaganda tersebut terus berlanjut hingga tahun 1980an, diiringi oleh peningkatan kapabilitas militer yang didukung oleh pembangunan basis dukungan militer di pesisir dan di masing-masing daerah yang diduduki di kepulatan tersebut (Ibid., hal. 120); pada Februari dan Maret 1987, angkatan laut Vietnam dan Cina melakukan aksi saling tembak di area kepulauan Nansha (Spratlys), yang menimbulkan korban bagi kedua belah pihak. Pada Maret 1988 aksi saling tembak it akhirnya berubah menjadi konfrontasi militer yang serius antara kedua negara. Sumber: Ibid, hal. 100-120.
10
Imbalance of power pun jelas mengitarinya. Tabel berikut menunjukkan
ketidakseimbangan distribusi kekuatan tersebut:
Tabel 1.1: Kapabilitas Militer yang Mengitari Laut Cina Selatan tahun 1991, 2003 dan 2011. 11
Sumber: ‘East Asia and Australasia,’ The Military Balance, (Institute for International and Strategic Studies: 1991, 2003, 2011)
masyarakat Vietnam terhadap Cina. Sumber: Jianming Shen, “China's Sovereignty over the South China Sea Islands: A Historical Perspective,” Oxford Journals, hal. 96, diunduh dari
http://chinesejil.oxfordjournals.org/ 11
Dari tabel tersebut jelas bahwa selama dua dekade, kekuatan Cina jauh di atas
dua lainnya. Bahkan ketika kita hanya membandingkan kapabilitas Angkatan Laut
(AL) dan Angkatan Udara (AU) Cina di Laut Cina Selatan dengan seluruh kapabilitas
militer AL dan AU Vietnam dan Filipina. Karenanya jelaslah bahwa seharusnya di
kawasan terjadi instabilitas, paling tidak karena Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan.
Melihat bahwa internal balancing tidak terjadi di Laut Cina Selatan, kita
mengekspektasi adanya external balancing atau bahkan bandwagoning.12 Namun
tidak ada aliansi yang terbentuk antara negara-negara Asia Tenggara yang terancam,
yang ada justru perpecahan dan ketidaksatuan suara dalam menyikapi Cina13 dan
tidak ada pula bandwagoning dengan Cina.14 Irelevansi teori Kenneth Waltz mulai
terlihat dari data statistik pada tabel diatas dan kepentingan untuk mengujinya terkait
fenomena perilaku negara yang perebutan klaim di Laut Cina Selatan yang
memperlihatkan anomali terhadap teori tersebut.
1.2. Permasalahan
Menurut Teori Balance of Power, seharusnya pada akhirnya struktur bipolar
terjadi atas konsekuensi perilaku negara yang mempertahankan diri dengan
melakukan balancing atau bandwagoning, sehingga tercipta sistem yang seimbang –
yang menciptakan stabilitas. Begitulah proses yang seharusnya terjadi menurut teori
Balance of Power, jika tidak ada variabel penentu lain yang mempengaruhi perilaku
negara, atau jika variabel penentu lain itu memang tidak signifikan, seperti yang
dikatakan oleh Waltz.
Menempatkan diri dalam teori Waltz, seharusnya struktur bipolar tercipta
diantara negara yang terancam dan mengancam. Internal balancing atau peningkatan
kapabilitas militer yang mengimbangi ancaman terjadi sebagai konsekuensi
imbalance, namun tabel sebelumnya tidak menunjukkan adanya pengimbangan
tersebut. Jika itu tidak terjadi, harusnya external balancing lah yang terjadi, dimana
negara yang terancam pun kekuatannya untuk mempertahankan survival-nya, namun
negara-negara Asia Tenggara yang terancam tidak melakukan yang demikian.
12
Definisi internal dan external Balancing dijelaskan di bagian kerangka pemikiran. 13
Dijelaskan di bagian pembahasan. 14
Jika itupun tidak terjadi, harusnya negara-negara bandwagoning dengan Cina,
namun tidak demikian faktanya. Dengan demikian, teori ini jelas irelevan. Namun
untuk memastikan relevansi tersebut, kita harus maju untuk meneliti Sengketa
Wilayah Laut Cina Selatan ini dengan asumsi-asumsi Kenneth Waltz, lalu mencari
terkait asumsi mana fenomena tidak berlaku sama, sehingga terkait asumsi itulah
induksi teori perlu dilakukan. Namun sebelumnya, kita perlu mengetahui
kondisi-kondisi dimana balancing versi Kenneth Waltz semestinya terjadi.
T.V. Paul menjelaskan bahwa balancing versi Kenneth Waltz yang sering
disebut hard balancing itu akan terjadi ketika (1) terdapat ancaman militer yang
intens terhadap keamanan negara; (2) adanya ancaman kepunahan akibat peningkatan
kekuatan rising power dan (3) negara terjebak dalam persaingan jangka panjang
dengan negara lain. 15 Ketiganya terjadi di Laut Cina Selatan, namun: (1) tidak ada
internal balancing maupun external balancing sebagai syarat terciptanya bipolaritas
dan (2) walaupun demikian, kawasan perairan ini tetap stabil dan tidak melihat
adanya perang besar dalam 20 tahun terakhir.
Dengan demikian, cukup alasan untuk menguji teori Kenneth Waltz,
mengingat berbagai indikasi diatas menantang asersi Teori Balance of Power dan
asumsinya, tentang bagaimana negara akan berperilaku dalam merespon perimbangan
kekuatan dalam sistem dan tentang bagaimana semestinya perilaku tersebut akan
mendatangkan bipolaritas, sebagai penyebab dari stabilitas atau ketiadaan perang
besar. Merespon permasalahan tersebut, skripsi ini berniat menjawab pertanyaan:
“Seberapa relevankah Teori Balance of Power Kenneth Waltz dalam menjelaskan
perilaku negara Asia Tenggara yang mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan terkait
kehadiran ancaman Cina? (1991-2011)”
Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan yang seharusnya konfliktual menjadi
studi kasus yang dipilih. Variabel-variabel dalam teori yang dipertanyakan itu sendiri
akan digunakan dalam pembahasan dalam penelitian, sebelum pada akhirnya akan
dianalisis terkait fenomena dan sub-fenomena apa sajakah teori yang diuji oleh
penelitian ini relevan atau tidak.
15
1.3. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini akan menguji Teori Balance of Power, sesuai dengan pertanyaan
penelitiannya. Skripsi ini akan mengatur kerangka pemikirannya untuk percaya pada
asumsi-asumsi dasar realisme, pada awalnya, untuk kepentingan menguji teori yang
diciptakan oleh Kenneth Waltz ini.
1.3.1. Teori Balance of Power
Balance of Power merupakan teori di bawah mazhab realisme struktural
(neorealisme), yang tunduk pada asumsi aliran tersebut bahwa sistem internasional
bersifat anarki, aktor kunci dalam hubungan internasional adalah negara, tujuan
negara adalah memaksimalisasi kekuatan serta keamanannya dan negara berperilaku
rasional dalam upayanya mewujudkan tujuannya.16Secara istilah ia pertama kali
digunakan oleh Rousseau dan Hume, sebelum dikembangkan konteksnya ke dalam
hubungan internasional oleh Morgenthau dibawah mazhab realisme klasik dan Waltz,
dibawah mazhab neorealisme.17
Teori Balance of Power mengargumentasikan hubungan dua variabel: sistem
sebagai variabel independen yang mempengaruhi perilaku negara sebagai variabel
dependen. Sistem yang dimaksud adalah struktur perimbangan kekuatan dalam sistem
internasional. Perilaku negara yang dimaksud adalah balancing mengacu kepada aksi
mandiri atau bersama-sama negara untuk menggabungkan kekuatannya menandingi
kekuatan besar18 dan bandwagoning mengacu kepada bergabungnya negara dengan
kekuatan besar untuk menjamin keamanannya.19
Balancing terdiri atas dua, yaitu internal balancing dan external balancing.20
Internal balancing mengacu kepada aksi negara meningkatkan kekuatan militer dan
ekonominya untuk menandingi kekuatan besar. Namun untuk menjaga relevansinya,
skripsi ini akan berdiri di pihak paling tradisional dan hanya menghitung kekuatan
militer. External balancing mengacu kepada aksi negara menggabungkan kekuatan
dengan negara-negara yang sama-sama merasa terancam untuk melawan ancaman.
16
Baca Bab 6 dari Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (Masscachussets: Addison-Wesley Publishing Company, 1979).
17 Ibid. 18
Baca Keith L. Shimko, International Relations: Perspectives and Controversies, (Boston: Wadsworth, 2010), hal. 69-71, kesimpulan dari penjelasan Waltz.
19
Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (Masscachussets: Addison-Wesley Publishing Company, 1979), hal. 118-130.
Ada bermacam-macam cara menggabungkan kekuatan, tapi dengan alasan yang sama
skripsi ini akan berdiri di pihak paling tradisional dan hanya mempertimbangkan
aliansi21 sebagai bukti aksi ini. Alasan skripsi ini mengambil pengertian paling
tradisional dari teori ini adalah karena balance of power dalam interpretasi paling
tradisionalnya itulah yang ingin diuji skripsi ini.
Terkait hubungan antar variabel, teori ini percaya bahwa perimbangan
kekuatan dalam sistem akan mempengaruhi perilaku/strategi negara yang mencari
keseimbangan kekuatan dalam sistem. Menurut teori ini, dengan demikian, struktur
polaritas22 yang akan terjadi pada akhirnya adalah bipolar,23 yang kemudian akan
menciptakan stabilitas, alias kondisi bertahannya sistem tanpa perubahan besar,
seperti perang. Alur logika inilah yang akan diklarifikasi oleh penelitian ini jika
ditemukan irelevan.
1.3.2. Permasalahan pada Teori Balance of Power
Mengartikan Balance of Power merupakan sebuah tantangan, utamanya
karena absennya satu pengertian yang baku. Sebagai konsep ia bisa mengacu pada
strategi, proses, maupun kondisi, maupun hasil .2425 Sebagai strategi, hasil yang ideal,
maupun proses, balance of power terjadi karena kompetisi antar negara untuk
mempertahankan survival atau keberlangsungannya dalam kondisi anarki.
Kondisi anarki merupakan kondisi dimana tidak ada otoritas lebih besar yang
bisa mamaksakan agenda. Karenanya, negara-negara harus menolong diri mereka
sendiri jika keberlangsungannya terancam sehingga, tercipta self-help system.26 Untuk
memahami teori ini untuk kepentingan mengujinya, harus dipahami hubungan antar
variabel yang diargumentasikan teori.
21
Aliansi yang diperhitngkan harus memiliki perjanjian yang mengharuskan negara lain untuk membantu negara yang terancam jika diserang, yaitu dengan bantuan serangan balik.
22
Pembangian kekuatan dalam sistem internasional, bipolar: dua kekuatan, multipolar: lebih dari dua kekuatan.
23
Dua kekuatan besar berkuasa, baik great power secara individu maupun aliansi, maupun empire negara besar yang berkuasa atas negara lemah.
24
Jacob G. Hariri, “When Do States Balance Power? Refining, Not Refuting, Structural Realist Balance of Power Theory,” makalah yang disiapkan untuk panel ‘Realism and Foreign Policy: Structural and Neoclassical Realist Perspectives’ pada SGIR ke-7 Pan-European International Relations Conference, Stockholm, Swedia, 9-11 September 2010, hal 29, diunduh dari stockholm.sgir.eu/uploads/HaririWivelSGIR.pdf
25
Jack. S. Levy, “What Do Great Powers Balance Against and When?” dalam Balance of Power: Theory and Practice in the 21st Century ed. T. V. Paul, James J. Wirtz, and Michel Fortmann, (Stanford: Stanford University Press, 2004), hal. 29.
26
Jack. S. Levy memberi perhatian pada masalah ini dan maju untuk
mengemukakan bagaimana beberapa teoris menggunakan istilah balance of power
untuk mengacu kepada distribusi kekuatan actual dan oleh beberapa lainnya mengacu
kepada distribusi kekuatan ideal.27 Penulis sendiri akan menggunakannya untuk
mengacu kepada keduanya dalam penelitian ini, terkait alasan di atas, untuk
menghindari kerancuan. Karena yang menjadi fokus skripsi ini bukan klarifikasi atas
kerancuan konsep, tapi atas penyebab dari kerancuan konsep tersebut, yaitu terlalu
luasnya teori.
Terlalu luasnya teori ini menguntungkan karena kesederhanaan yang
ditawarkannya dan sifatnya yang parsimoni. Kedua sifat itu membuatnya dapat
dijustifikasi untuk digunakan dalam hampir semua kasus, selama aktornya adalah
negara dan isu yang dibahas adalah keamanan tradisional. Hanya saja, masalah timbul
ketika tidak klarifikasi akan relevansi tidak diisi oleh siapapun, sehingga relevansi
teori ini diterima begitu saja, tanpa mengindahkan konteks waktu atau tempat dimana
teori tersebut bisa atau tidak bisa berlaku. Karenanya, uji teori untuk menemukan
relevansi menjadi penting untuk dilakukan.
Terkait klarifikasi, Waltz sendiri sudah menegaskan bahwa teori ini hanya
berlaku bagi great powers. Tetapi, penggunaan data kawasan Eropa pada masa Perang
Dunia oleh Walz sendiri, justifikasi untuk mengabaikan eksklusivitas keberlakuan
teori ini dengan mudah dapat dibantah. Tentu saja, kebebasan akademik memberikan
kesempatan untuk mengindahkan atau tidak mengindahkan penegasan apapun, namun
jika kesimpulan ditarik tanpa adanya kesadaran akan batasan relevansi, hal tersebut
bisa menjadi masalah dan dapat menciptakan bias yang berasal dari pemaksaan
penggunaan teori yang berlaku pada kawasan lain tapi belum tentu berlaku terkait
fenomena di kawasan tertentu, karena kekhususan yang dimiliki kawasan tersebut.
Skripsi ini memiliki kepentingan untuk mencegah penggunaan teori ini dengan
serampangan tanpa menyadari batasan aktor dan konteks dalam teori tersebut,
karenanya teori tersebut harus diuji. Selain itu, untuk yang luas dan terlalu abstrak
seperti ini, uji teori, utamanya untuk memetakan dan mengidentifikasi batas relevansi
diperlukan demi kepentingan pragmatis, seperti kemudahan dalam pembuatan
kebijakan yang berdasar atas teori ini.
27
Dengan demikian, penting bagi keistimewaan kawasan Asia Tenggara dan
Asia Timur terkait kasus yang ini untuk dipertimbangkan. Jika pada akhirnya tipologi
teori akan dihasilkan dari pertimbangan akan hal-hal khusus dalam kasus yang diteliti
skripsi ini (dan sub-kasusnya), tipologi teori tersebut akan diargumentasikan dan
dikembangkan. Diharapkan, tipologi teori tersebut akan berguna bagi pembuatan
kebijakan 28 dan kepentingan lainnya, seperti lahirnya teori yang dapat diklaim murni
berasal dari pemikiran Asia, khususnya Asia Tenggara dan Asia Timur.
Perlu diketahui bahwa dalam skripsi ini, ketika penulis menyebut Balance of
Power dengan awalan kapital, penulis mengacu kepada teori Balance of Power dan
ketika menyebut balance of power dengan huruf kecil, penulis mengacu pada konsep
balance of power yang mengacu pada kondisi (status quo) dalam struktur sistem
internasional. Ketika mengacu pada hasil ideal, penulis akan menuliskannya sebagai
balance of power sebagai hasil ideal.
1.4. Metode Penelitian29
Skripsi yang bertujuan menguji teori Kenneth Waltz ini akan menggunakan
metode case study atau studi kasus,30 yang merupakan salah satu metode untuk
mengembangkan teori sesuai dengan pendapat George dan Bennet dalam bukunya,
Case Study and Theory Development in the Social Sciences.”
Case study atau studi kasus merupakan metode dimana peneliti mengambil
satu atau lebih kasus untuk mengembangkan teori. Dalam bukunya, George dan Bennet menjelaskan bagaimana metode case study dapat membantu peneliti dalam
pengembangan teori karena memberi ruang bagi peneliti untuk menggali detil
fenomena untuk kemudian dicocokkan dengan variabel dan hubungan antar variabel
teori, sehingga pada akhirnya diketahui seberapa relevan sebuah teori bekerja pada
sebuah kasus, seberapa terbatas teori tersebut terkait sebuah konteks khusus dalam
fenomena tersebut. Case study memiliki kelemahan, tapi dalam menginduksi teori,
case study merupakan salah satu metode paling ideal.
Dalam case study, pemilihan kasus harus dilakukan dengan detil dan cermat,
dengan alasan-alasan yang jelas, seperti: kasus mengindikasikan anomali terhadap
teori, berpotensi memberikan tambahan variabel bagi teori, meningkatkan relevansi
28
Berdasarkan penjelasan George dan Bennet dalam Alexander L. George dan Andrew Bennet, “Case Study and Theory Development in the Social Sciences,”(Cambridge, Massachussets: MIT Press, 2005). 29
Buku rujukan dari metode penelitian ini adalah Ibid. 30
teori, menjelaskan batasan teori, atau karena berbagai alasan lainnya. Dengan
demikian, sebuah kasus valid menjadi bahan penelitian dalam mengembangkan teori,
bukan semata-mata karena kasus tersebut penting atau “menarik.” Terdapat dua cara
melakukan case study, yaitu single-case study (studi kasus satuan) atau multiple case
study (lebih dari satu) yang biasanya bersifat komparatif. Perlu diketahui bahwa
tinjauan sejarah penting bagi case study sehingga tinjauan sejarah akan menjadi
bagian dari penelitian ini.
Kasus perilaku negara-negara Asia Tenggara yang menjadi pengklaim di Laut
Cina Selatan terkait kehadiran ancaman Cina akan dipilih oleh penelitian ini terkait
indikasi anomali yang diperlihatkannya. Selain itu, kasus ini juga diambil karena
potensinya untuk meningkatkan relevansi teori dan menjelaskan batasan relevansi
teori dalam kasus, serta potensi kekhususan dalam kasus untuk mengembangkan teori
tipologi. Kasus yang diteliti penulis merupakan case of state behaviour, sebuah kasus
perilaku negara, yang merupakan variabel dependen dari teori Balance of Power.
Struktur sistem international (Balance of Power)yang imbalance telah terjadi, namun
perilaku yang diindikasi terjadi di kawasan Laut Cina Selatan tidak seperti apa yang
diramalkan Kenneth Waltz.
Karena ingin menguji relevansi teori Balance of Power pada sebuah anomali
khusus yang ditemukan, skripsi ini akan menggunakan single case study, karena
mencari pola dari dua kasus yang sama untuk mengembangkan teori bukanlah yang
diinginkannya. Yang diinginkannya adalah mencari kekhususan dalam sebuah
fenomena dan melihat apakah kekhususan tersebut berpotensi untuk mengembangkan
tipologi teori. Jika pada akhirnya ditemukan kekhususan dalam sebuah fenomena
yang berpotensi mengembangkan tipologi teori, maka teori tersebut akan
dikembangkan dengan menggunakan analytical explanation.
Dari sisi ontologi, metode ini menguji teori terhadap suatu kasus dan/atau
sub-kasus.31 Skripsi ini menguji teori terhadap perilaku negara terkait Sengketa Wilayah
Laut Cina Selatan, berdasarkan kesimpulan teori itu sendiri tentang bagaimana negara
akan berlaku, dalam kondisi yang didefinisikan oleh teori itu sendiri. Sub-kasus –
sub-kasus terkait juga akan digunakan dalam analisis jika diperlukan dan dilihat
keterkaitan sub-kasus tersebut dengan relevan-tidaknya teori.
31
Terkait justifikasi epistemologis pengembangan teori, skripsi ini percaya pada
logic of discovery dan bahwa logic of discovery dapat digunakan bersamaan dengan
logic of confirmation, bahkan keduanya dapat melengkapi satu sama lain. Keduanya
dibutuhkan dalam pengembangan sebuah ilmu dan alangkah baiknya jika relevansi
teori difalsifikasi berlakunya dalam kasus atau sub-kasus tertentu, sebelum teori yang
mampu menjelaskan kasus atau sub-kasus tertentu dikembangkan. Itulah yang
dilakukan oleh penelitian ini.
Penelitian ini sendiri melihat bahwa masih ada harapan bagi relevansi Balance
of Power di kawasan dan ingin mengembangkan Ilmu Hubungan Internasional lebih
lanjut dengan mencari relevansi itu. Namun, penelitian ini sadar bahwa terkait
kekhususan kasus-kasus tertentu, teori ini terancam untuk tidak berlaku, utamanya
setelah melihat indikasi yang dijelaskan dalam bagian latar belakang. Sehingga,
dalam konteks dimana teori yang menjadi fokus penelitian tidak berlaku, diperkukan
induksi teori tipologi baru.
Seperti yang dikatakan oleh Karl Popper, 32 yang juga diargumentasikan oleh
George dan Bennet dalam bukunya, tidak masalah memilih logika yang mana, selama
kita mengikuti langkah-langkah saintifik yang tepat dan teratur dalam mengumpulkan
data. Karenanya, skripsi ini maju dengan jelas untuk mencapai tujuan uji teori, dengan
langkah-langkah metodis seperti yang tertergambar dalam diagram:
Gambar 1.1: Langkah-Langkah Metodis Studi Kasus
32
Jack. S. Levy, “What Do Great Powers Balance Against and When?” dalam Balance of Power: Theory and Practice in the 21st Century ed. T. V. Paul, James J. Wirtz, and Michel Fortmann, (Stanford: Stanford University Press, 2004), hal. 44.
1
• Menentukan tujuan, desain, dan struktur penelitian
2
• Melaksanakan studi kasus
3
Ketiga langkah seperti yang terlihat pada gambar akan tersirat dalam
penelitian ini. Langkah pertama dalam Bab I dan langkah kedua serta ketiga di
bab-bab selanjutnya. Perlu diketahui bahwa data yang digunakan dalam penelitian case
study juga harus fokus. Data-data yang akan penting bagi penulis adalah: tinjauan
umum peristiwa yang melatar belakangi kasus, tinjauan sejarah, kondisi balance of
power di Laut Cina Selatan, insentif konflik yang ada, kondisi stabilitas dan
pembahasan tentang kondisi masing-masing negara yang terlibat. Semua data tersebut
akan dibahas di Bab II: Studi Kasus. Sementara di Bab III, analisis terhadap perilaku
negara akan dibahas, bersamaan dengan analisis relevansi dan pencarian celah untuk
induksi teori yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian.
1.5. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempertanyakan seberapa relevan teori Balance of
Power Kenneth Waltz, utamanya dalam konteks Asia Tenggara dan Asia Timur.
Teori ini begitu parsimoni dan sederhana, sehingga digunakan oleh berbagai peneliti
begitu saja tanpa mempertanyakan validitasnya pada fenomena yang ditelitinya dan
turunan dari fenomena tersebut. Skripsi ini akan menjawab pertanyaan tentang
relevansi teori tersebut dengan mempertimbangkan kekhususan konteks wilayah dan
waktu dari kasus yang dipilih. Kasus tersebut adalah perilaku negarapengklaim Laut
Cina Selatan terkait kehadiran ancaman Cina. Perlu diketahui bahwa perilaku negara
merupakan variabel dependen menurut Teori Balance of Power Waltz.
Siginifikansi penelitian ini antara lain adalah mengambil peran dalam usaha
meningkatkan relevansi teori Balance of Power dengan kondisi sekarang,
meningkatkan relevansi mazhab realisme yang masih dibutuhkan selama negara
masih memiliki senjata, memberi penjelasan baru bagi fenomena-fenomena keamanan
internasional utamanya di Asia Tenggara, mencari teori yang lebih sesuai dengan
kondisi di Asia Tenggara dengan segala keunikannya dalam fenomena. Jack S. Levy
mengatakan bahwa ada western bias dalam induksi teori-teori barat, utamanya
Balance of Power.33 Hal ini menjadi alasan terakhir dan terutama dari mengapa
skripsi ini ingin melakukan preskripsi teori, menjadi penantang atas teori-teori Barat
yang sudah ada.
33
1.6. Tinjauan Pustaka
Diskusi kontemporer tentang Teori Balance of Power kebanyakan terjadi
dalam ranah pengembangan teori alternatif maupun tipologi teori. Dalam
pengembangan teori alternatif, terdapat berbagai macam inovasi dari teori Balance of
Power, antara lain Balance of Threat (Stephen Walt), Balance of Interest (Randall
Schweller), Balance of Influence (Evelyn Goh), Offense-Defense Balance (Jervis,
Stephen Van Evera, Sean Lynn-Jones dan Charles Glaser) dan Security Dilemma
theory (Thomas Christensen, Robert Ross, and William Rose). Namun karena ingin
menginduksi teori tipologi, penelitian ini akan memfokuskan tinjauan pustakanya ke
pengembangan Teori Balance of Power yang fokus pada tipologi teori.
Pengembangan teori tersebut antara lain adalah pengembangan teori soft
balancing, yang menciptakan perbedaan soft balancing dengan hard balancing, yang
menjadi terminologi untuk menyebut balancing versi Waltzian dalam dunia
kontemporer. Selain itu, ada pula indirect balancing dan regional complex balancing
yang dikembangkan oleh Evelyin Goh, dibawah teori balance of influence-nya.
Sebenarnya terdapat bebagai pengembangan tipologi teori lain, yaitu offshore
balancing, balancing melalui kekuatan laut (Levy) dan lain-lain, namun penulis
memilih untuk fokus pada soft balancing, indirect balancing dan regional complex
balancing karena ketiga teori inilah yang diinduksi dengan secara spefisik mengamati
kawasan Asia Tenggara, seperti apa yang dilakukan oleh penulis. Bagian tinjauan
pustaka ini akan membahas tipologi teori mereka, agar jelas bahwa yang
dikembangkan penulis benar-benar baru secara asersi dan metodologi yang berbeda
dari apa yang digunakan oleh mereka, walaupun meneliti kawasan yang sama.
1.6.1. Soft Balancing
Jika hard balancing mengacu kepada pengertian tradisional tentang balancing
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, soft balancing mengacu kepada
aktivitas-aktivitas non aliansi (dengan demikian, tanpa suatu menargetkan negara tertentu
sebagai ancaman yang jelas) dan non-militer yang dilakukan oleh negara-negara
lemah dalam menandingi kekuatan besar.
Menurut teori ini aktivitas-aktivitas seperti arms build-up terbatas, kerjasama
militer ad-hoc dan kerjasama institusional dalam kawasan maupun secara global
dimana keberadaan ancaman menjadi makin nyata dan tidak bisa dihindari lagi,
aktivitas-aktivitas soft balancing ini dapat menjadi hard balancing.34
Teori ini pertama kali dikembangkan oleh dikembangkan oleh Paul (2005)
dan Pape (2005) 35 yang kemudian memunculkan berbagai macam perdebatan
diantara para teoris Balance of Power. Paul secara umum menggunakan teori ini
untuk menjelaskan mengapa pasca Perang Dingin tidak ditemukan lagi adanya
aktivitas balancing terhadap kekuatan besar oleh second-tier major powers (seperti
Cina, Rusia, India, dll) terhadap Amerika Serikat yang senantiasa menghadirkan
kekuatannya di setiap sudut di kawasan. 36 Kemudian ia menjelaskan bahwa
negara-negara bukannya tidak melakukan balancing, tapi melakukan soft balancing yang
melibatkan pembentukan koalisi diplomatik terbatas atau ententes, sepert yang
mereka lakukan didalam PBB.
Ententes ini memiliki target ancaman yang implisit dan memiliki tujuan
meningkatkan aliansi mereka jika Amerika Serikat bertindak lebih dari yang
seharusnya,37 seperti, yang dicontohkan oleh Paul, yang dilakukan negara-negara
middle powers tersebut terhadap aksi Amerika pada kasus Kosovo tahun 1999 dan
perang Iraq tahun 2002-2003. Salah satu alasan mengapa negara-negara ini tidak
melakukan hard balancing, menurut Paul, adalah karena Amerika Serikat zaman
sekarang tidak pernah secara eksplisit mengambil kebijakan yang mengancam
kedaulatan mereka. Jika ya, dipastikan aksi hard balancing melawannya akan segera
muncul. Namun karena keberadaan kebijakan itu tidak pernah ada, ditambah dengan
kerjasama ekonomi dengan AS yang terlalu berharga untuk diperjuangkan, maka yang
dilakukan oleh negara-negara second-tier power adalah soft balancing.
Sementara Pape, yang setuju dengan penjelasan Paul akan bagaimana
second-tier-power melakukan balancing terhadap kekuatan besar pasca Perang Dingin,
menambahkan penjelasan ke arah bagaimana soft balancing dapat terjadi kerena
tindakan unilateralis great power dan umumnya terjadi dalam kondisi dimana dunia
sedang berada dibawah sistem unipolar. Seperti yang juga dipercaya Paul, dalam
34
Stephen G. Brooks and William C. Wohlforth “Hard Times for Soft Balancing” dalam International Security, Vol. 30, No. 1 (Summer, 2005), hal. 73.
35
Robert A. Pape, “Soft Balancing against the United States,” dalam International Security, Vol. 30, No. 1 (Summer, 2005), hal. 7-45.
36 Ibid. 37
kondisi dimana aksi-aksi negara hegemoni dalam sistem unipolar ini mendatangkan
ancaman nyata, soft balancing dapat berubah menjadi hard balancing.
Dalam sistem perimbangan kekuatan, Pape mencatat beberapa hal yang perlu
diwaspadai negara middle powers/second-tier powers: (1) ancaman serangan dari
kekuatan besar lain; (2) ancaman bahaya tidak langsung, dimana aksi-aksi militer
kekuatan besar lain dapat mengancam keamanan negara tertentu, walaupun secara
tidak disengaja; dan (3) kemungkinan bahwa suatu kekuatan besar dapat menjadi
hegemoni global, yang berarti ia akan dapat melakukan berbagai aksi yang berbahaya,
seperti menulis ulang aturan-aturan internasional demi keuntungan jangka
panjangnya, mengeksploitasi sumber daya ekonomi dunia untuk relative gain-nya,
memaksakan imperialisme pada second-tier powers, atau bahkan melakukan
penaklukan pada suatu negara dalam sistem.38 Ancaman-ancaman inilah yang masih
ada walaupun negara status-quo power tidak lagi melakukan aksi yang secara
langsung membahayakan kedaulatan, sehingga menjadi insentif untuk negara-negara
kekuatan-menengah melakukan soft balancing.
Soft balancing, dalam pelaksanaannya, tidak serta merta langsung menantang
keunggulan kekuatan militer negara unipolar, tetapi ia dapat menunda, memperumit,
serta meningkatkan kerugian dari penggunaan kekuatan tersebut.
Instrumen-instrumen non-militer seperti institusi internasional, economic statecraft dan
interpretasi baku terhadap netralitas dapat memberikan efek yang nyata, atau paling
tidak tidak langsung, kepada prospek penggunaan kekuatan militer pemimpin
unipolar. Dengan demikian logika balancing terhadap superpower unipolar adalah
koordinasi ekspektasi aksi-aksi kolektif antara negara-negara kekuatan menengah.39
Menurut Pape, tentang bagaimana soft balancing bekerja, ada beberapa set of
action yang dapat dilakukan states dalam melakukan soft balancing, yang semuanya
bertujuan menghambat misi unilateral great powers. Aksi-aksi tersebut antara lain40:
• Territorial Denial
Aksi dimana negara-negara kekuatan menengah mempersulit akses
kekuatan besar terhadap kawasan dimana negara kekuatan menengah
berdaulat. Hal ini dapat menghambat aksi unilateral kekuatan besar.
38
Robert A. Pape, “Soft Balancing against the United States,” dalam International Security, Vol. 30, No. 1 (Summer, 2005), hal. 7-45.
39
Ibid, hal. 17. 40
• Entangling Diplomacy
Alias sistem diplomasi yang membingungkan atau memperumit
kegiatan yang ingin dilakukan kekuatan besar yang mengancam. Dengan
demikian aksi-aksi seperti perang atau serangan oleh kekuatan besar dapat
dicegah.
• Economic strenghtening
Dengan memperkuat ekonominya, negara-negara kekuatan menengah
dapat memperkuat dirinya secara internal yang mana kemudian ia akan
meningkatkan posisi tawarnya dan rekan-rekan kekuatan menengahnya demi
mencegah kebijakan mengancam negara hegemoni.
• Signals to Resolve Balance
Negara-negara menengah, dengan berkumpul bersama-sama dan
mengambil langkah demi mencegah, mengurangi, memperumit dan
meningkatkan kerugian bagi negara kekuatan besar dalam melaksanakan aksi
unilateralnya, telah mensinyalir keinginan mereka untuk bersama-sama
melakukan balancing (hard) apabila mereka menilai aksi-aksi negara
kekuatan besar telah memperlihatkan ancaman nyata yang mengancam
kedaulatannya.
Secara gamblang dapat dikatakan bahwa di Asia Tenggara dan Asia Timur,
soft balancing terjadi. Hal-hal seperti terbentuknya berbagai macam kerjasama
keamanan ad hoc, pembentukan institusi keamanan seperti ASEAN Regional Forum
dan pembentukan norma-norma yang mengatur perilaku di Laut Cina Selatan seperti
Declaration of Code of Conduct in the South China Sea tahun 2002 itu sendiri.
Yuen Foong Khoong merupakan peneliti dari kawasan yang mendukung
pendapat tentang berlakunya soft balancing dalam menjelaskan kekhususan di Asia
Tenggara dan Asia Timur terkait balancing. Dalam karyanya yang berjudul “Coping
with Strategic Uncertainty: The Role of Institution and Soft Balancing in Southeast
Asia’s Post Cold War Strategy,” ia mengatakan bahwa set of actions negara-negara
Asia Tenggara dalam menghadapi pengaruh Cina dapat dikatakan sebagai soft
balancing.41 Karenanya, ia menganggap teori ini berguna untuk menjelaskan
41
hubungan Asia Tenggara dan Cina dalam konteks perimbangan kekuatan, spesifik
dalam hubungannya dengan perilaku Cina di Laut Cina Selatan.
Kebebasan akademik memberi justifikasi bagi Yuen Foong Khoong untuk
berargumentasi demikian, namun penulis ingin berkontribusi dalam diskursus balance
of power di Asia Tenggara dengan melakukan penelitian yang terlebih dahulu
menguji teori yang menjadi teori sentral kedalam fenomena di kawasan, sebelum
membuat kesimpulan dengan teori lain tanpa memfalsifikasi teori yang lama. Dengan
demikian penulis maju untuk melaksanakan penelitian ini.
Dalam sub-bab berikutnya, kritik terhadap soft balancing akan penulis bahas,
untuk memperlihatkan bagaimana tipologi teori yang sudah ada belum cukup kuat,
sehingga dibutuhkan penjelasan baru, yang dapat datang dari pengembangan teori
baru, seperti yang ditargetkan di akhir penelitian penulis. Dengan demikian, jelas
bahwa teori tipologi yang akan dihasilkan oleh penelitian ini akan memiliki ruang
signifikansi dalam Ilmu Hubungan Internasional, utamanya dalam kajian kawasan.
1.6.2. Kritik terhadap Soft Balancing
Teori soft balancing yang berkembang baru dewasa ini dikritik oleh para
peneliti karena dianggap tidak mengindahkan kemungkinan adanya
penjelasan-penjelasan lain perihal absennya aktivitas-aktivitas hard balancing terhadap kekuatan
besar, misalnya terhadap Amerika Serikat yang senantiasa memastikan kehadirannya
di tiap kawasan. Salah satu yang menyuarakan kritiknya terkeras adalah Stephen
Brooks. Dalam tulisannya, Hard Times for Soft Balancing (2005) mengatakan bahwa,
selain karena tidak mengindahkan kemungkinan-kemungkinan penjelasan lain, teori
ini tidak menggunakan analisis empiris yang berhati-hati tentang fenomena.42
Perlu diketahui bahwa umumnya, soft balancing terjadi ketika negara-negara
yang bekerjasama tidak mengembangkan pemahaman keamanan yang setara dan
memadai antara satu dan yang lain tentang bagaimana mengimbangi negara lain yang
mengancam. Dengan kondisi demikian, sulit mengatakan negara-negara yang terlibat
perebutan klaim memiliki intensi melakukan soft balancing yang sama.
Jika memang sekarang negara-negara berada dalam kondisi melakukan soft
balancing karena dominasi Amerika, itu berarti keberadaan perilaku balancing dalam
sistem adalah imperatif, yang berarti bahwa jika benar soft balancing mengalami
42
kesuksesan, kedepannya peranan Amerika Serikat dalam dunia akan secara bertahap
menurun. Namun terhadap hal ini penulis berpendapat, benar adanya dalam realisme
struktural para realis berpendapat bahwa kemunculan perilaku balancing, walau dari
masa ke masa menimbulkan varian karena teori tentunya menyesuaikan diri dengan
fenomena yang berkembang, adalah hal yang dianggap wajar, rasional dan dengan
demikian, pasti, dalam sistem internasional. Begitu pula dengan keberadaan soft
balancing ini.
Tentang keberadaan penjelasan-penjelasan lain, Brooks menjelaskan bahwa
keberadaan teori soft balancing gagal menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi
karena tidak memberikan instrumen konseptual yang membedakan aksi soft
balancing dengan apa yang disebutnya “unipolar politics as usual.43 Dengan
demikian, sulit dibedakan apakah suatu aksi merupakan suatu aksi merupakan
penjelasan lain dari perilaku negara atau adalah suatu aksi soft balancing. Karena itu,
sebagai efeknya, siapa saja dapat mengidentifikasi perilaku apa saja yang mempersulit
pelaksanaan politik luar negeri AS sebagai soft balancing. Hal ini merupakan
kesalahan metodis yang fatal, mengingat kekurangan yang ada pada teori ini dapat
menciptakan bias.
Untuk menghilangkan bias itu, Brooks memberikan empat penjelasan
alternatif tentang mengapa negara tidak mengembangkan perilaku hard balancing
terhadap Amerika Serikat, yaitu keberadaan kepentingan ekonomi negara,
kepentingan keamanan regional, ketidaksetujuan akan suatu kebijakan spesifik AS
atau keinginan meningkatkan bargaining position dan keberadaan insentif politik
domestik. Keempat hal ini, dapat menjadi pendorong mengapa akhirnya negara
melakukan suatu aksi yang kemudian menghambat manifestasi politik luar negeri AS,
bukan serta merta karena negara-negara tersebut ingin manuver AS.44
Lieber dan Alexander juga mengkritik soft balancing dan mengatakan bahwa,
keempat aksi-aksi negara yang disebut Pape sebagai hal-hal yang dapat dilakukan
negara dalam melaksanakan soft balancing (territorial denial, economic
strenghtening, entangling diplomacy, etc) tidak disusun berdasarkan logika yang
benar karena tidak mengindahkan berbagai fakta. Terhadap penggunaan institusi
internasional untuk menghambat kinerja AS, sulit untuk diargumentasikan karena
43
Stephen G. Brooks and William C. Wohlforth “Hard Times for Soft Balancing” dalam International Security, Vol. 30, No. 1 (Summer, 2005), hal. 79.
44
justru negara hegemoni seperti AS lah yang paling berkuasa dalam institusi
internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Terhadap usaha
mengenyahkan kekuatan AS dari kawasan dengan territorial denial, dapat dikatakan
bahwa justru negara-negara tertentu menginginkan kehadiran AS sebagai penjamin
keamanannya di kawasan.45
Terhadap penjelasan Brooks, penulis setuju bahwa keberadaan teori soft
balancing memang gagal memberikan instrumen konseptual yang membuatnya
mampu membedakan diri dari penjelasan-penjelasan lain. Ada methodological flaws
sejak awal pada teori ini. Terhadap penjelasan Lieber dan Alexander penulis pun
setuju. Karena itu penulis ingin membawa teori tersebut ke arah sistematika balance
of power regional, dimana bukan negara besar seperti Amerika Serikat yang paling
berkuasa, dimana negara besar terintegrasi ke dalam sebuah kompleksitas keamanan
yang sama dengan kawasan tempat negara-negara kecil yang signifikan perannya.46
Penelitian ini berharap agar ditemukan potensi varian-varian baru dari teori
balancing, yang dapat berkontribusi bagi pengembangan teori ini, sekaligus untuk
mengoreksi teori soft balancing. Dengan demikian, diharapkan perilaku
negara-negara pengklaim terkait keberadaan Cina yang menurut Teori Balance of Power
seharusnya mengancam negara-negara Asia Tenggara dapat dengan lebih tepat
dijelaskan oleh teori lain selain soft balancing.
1.6.3. Indirect Balancing dan Complex Balancing
Indirect balancing dan (regional) complex balancing merupakan dua varian
teori yang dikembangkan oleh Evelyn Goh dalam karyanya, “Great Powers and
Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing Regional Security
Strategies, 47”yang berada dibawah ranah teori balance of influence 48 yang
dikembangannya.
45
Lieber dan Alexander juga memberikan berbagai contoh lain mengapa bukan hanya hard balancing, tapi soft balancing juga tidak bekerja di dunia abad 21. Lebih lanjut baca Keir A. Lieber dan Gerard Alexander, “Waiting for Balancing: Why the World Is Not Pushing Back,” dalam International Security, Vol. 30, No. 1 (Summer, 2005), hal. 109-139.
46
Lihat Barry Buzan, Ole Weaver, Regions and Powers: The Structure of International Security, (Cambridge: Cambidge University Press, 2003), hal.62.
4747
Baca Evelyn Goh, “Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing Regional Security Strategies” dalam International Security 32:3. hal. 132-148.
48
Goh merupakan salah satu akademisi yang paling keras mengatakan bahwa
varian teori soft balancing tidaklah tepat diaplikasikan pada Asia Tenggara karena
berpendapat bahwa Asia Tenggara tidak termasuk ke dalam negara-negara yang
dikategorikan Paul dan Pape sebagai negara yang akan melakukan soft balancing.
Goh menganggap bahwa negara-negara yang melakukan soft balancing, seperti yang
dicontohkan oleh Paul dan Pape, merupakan negara-negara yang tidak bisa
melakukan hard balancing alias menciptakan hubungan aliansi militer. Sementara,
negara-negara Asia Tenggara adalah negara-negara yang mampu melakukan hard
balancing karena kehadiran AS di kawasan.
Goh sendiri muncul dengan tawaran indirect balancing dan regional complex
balancing yang menurutnya dilakukan negara-negara Asia Tenggara dengan balance
of influence kekuatan-kekuatan eksternal yang memiliki kepentingan di dalam
kawasan.49 Indirect balancing mengacu kepada aksi negara yang secara tidak
langsung menggunakan negara lain untuk memanajemen ancaman membuat aksi-aksi
lain yang mana negara tidak menggunakan pihak ketiga dalam memanajemen
ancaman dan menghadapinya secara langsung disebut direct balancing. Karena itu,
disimpulkan oleh Goh bahwa yang dilakukan negara-negara Asia Tenggara adalah
indirect balancing, yang dilakukannya dengan mengelola balance of influence,50
dengan menghadirkan kekuatan besar lain di kawasan dalam ikatan kerjasama militer
tidak langsung (tanpa target yang jelas). Karena itulah Goh mengkontestasikan soft
balancing dengan pilihan varian indirect balancing dan complex balancing yang
dilakukannya negara-negara Asia Tenggara dengan mengelola balance of influence
kekuatan-kekuatan eksternal yang memiliki kepentingan di dalam kawasan.51 Dengan
demikian, poin yang ingin disampaikan Goh adalah, bahwasanya negara-negara Asia
Tenggara menggunakan pihak ketiga dalam melaksanakan strategi balancingnya.
Terkait tipologi teori oleh Goh ini, penulis masih bisa mengklaim bahwa
metodologinya berbeda dan kasus yang ditelitinya pun berbeda. Goh meneliti ASEAN
secara institusional dan melihat kerjasama institusional antar negara-negara di dalam
kawasan dengan negara-negara di luar kawasan, sehingga keluar dengan kesimpulan
teori tipologinya.
49
Evelyn Goh, “Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing Regional Security Strategies” dalam International Security 32:3, hal. 132-148.
50 Ibid. 51
Penulis, berbeda dengan Goh, maju untuk meneliti perilaku negara di Laut
Cina Selatan terkait kehadiran ancaman Cina, dengan menggunakan asumsi neorealis
untuk menguji teori Balance of Power dan mengukur seberapa relevankah teori
tersebut dalam sengketa wilayah yang seharusnya konfliktual. Karenanya penulis
percaya bahwa tipologi teori yang akan dihasilkan Goh dan yang dihasilkan oleh
penelitian ini akan berbeda.
Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah memperbesar kepercayaan pembaca
bahwa penulis maju untuk meneliti hal yang baru, tidak mengulangi apa yang sudah
ada. Selain itu, tinjauan pustaka ini juga bertujuan memperlihatkan bahwa
kemungkinan hasil induksi teori yang sama akan minimal. Dengan demikian, tinjauan
pustaka ini telah membahas beberapa induksi tipologi teori lain yang berbeda dari
desain penelitian penulis.
1.7. Rencana Pembabakan Penelitian
Skripsi ini terbagi atas empat bab: Bab I: Pendahuluan, yang berisi tujuan,
struktur dan disain riset; Bab II: Studi Kasus, yang berisi pembahasan kasus yang
didalami oleh penelitian; Bab III: Analisis, yang berisi penghubungan data yang
didapatkan dari studi kasus dengan tujuan penelitian serta induksi teori; dan Bab IV:
Penutup, yang berisi kesimpulan, rekomendasi, refleksi bagi Indonesia dan
pembahasan menganai potensi penelitian ini memberi sumbangsih pada Ilmu