• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemajemukan dan Konflik Sosial dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kemajemukan dan Konflik Sosial dan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAJEMUKAN DAN KONFLIK SOSIAL

:

(2)

KEMAJEMUKAN DAN KONFLIK SOSIAL

:

SUATU TANTANGAN BAGI PANCASILA SEBAGAI AGAMA SIPIL DI INDONESIA1

Abstrak

Artikel ini hendak memaparkan kondisi riil Bangsa Indonesia yang sejak proses kelahiran dan kemenjadiannya hingga saat ini, memiliki catatan panjang dalam konflik sosial. Melihat kenyataan tersebut tidak bisa tidak untuk memberi pengakuan bahwa kemajemukan identitas primordial yang kurang menyatu dalam identitas nasional, telah menjadi akar ataupun bibit konflik sosial yang sangat potensial, sekalipun dalam saat yang bersamaan keberadaan dua identitas tersebut dapat pula menjadi bibit integrasi. Menyoroti keberadaan dua identitas ini, perlu suatu cara pandang yang beda yaitu memberi ruang yang cukup lapang untuk berinteraksi dengan budaya “mereka” dengan mereduksi

seminim mungkin prasangka dan stereotype budaya yang senantiasa cenderung melihat dalam perspektif “kita”. Sebagai suatu cara pandang hidup dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat,

Pancasila diharapkan mampu menjadi pemicu sekaligus “alat” yang memungkinkan terjadinya interaksi integratif lintas budaya yang bermartabat.

Pengantar

Realitas Indonesia sekarang ini memang sangat menyedihkan. Bermula dari krisis di bidang ekonomi, kini telah merambah ke dalam bidang sosial, politik, dan budaya. Daerah-daerah mulai bergolak dan dengan tegas menolak campur tangan yang dominan Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini diwujudkan dengan meminta status otonomi yang seluas-luasnya, seperti yang terjadi di Aceh (berdasarkan UU No. 44/1999 mengenai pemberian otonomi khusus bagi Aceh yang dalamnya diberlakukan syariat Islam sejak tanggal 19 Desember 2000) dan Papua Barat, bahkan keinginan ini berkembang menjadi keinginan untuk merdeka dan lepas dari negara kesatuan Republik Indonesia seperti yang telah dialami oleh Timor-Timur.

Konflik-konflik sosial-pun marak terjadi. Pergolakan sosial itu telah menimbulkan korban, baik di bidang materi, sosial, dan mental/psikologis. Di berbagai tempat di Indonesia terjadi kerusuhan yang mencerminkan keinginan masyarakat untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Gejala sosial ini diperteguh dengan dikembangkannya oleh masyarakat suatu mekanisme pertahanan ego, seperti: proyeksi yang melihat bahwa segala keruwetan yang menimpa bangsa Indonesia saat ini merupakan hasil dari kesalahan yang dibuat

1

(3)

oleh pemerintahan pimpinan Soeharto; rasionalisasi terhadap setiap perilaku kejahatan dengan mengatakan bahwa semua orang juga melakukan hal yang sama; juga dapat berupa regresi di dalamnya terjadi kemunduran kemampuan masyarakat untuk mengendalikan diri.

Masyarakat yang dahulunya hidup dalam ketenangan dan kedamaian berubah menjadi masyarakat yang saling membenci, menyerang, dan bahkan saling membunuh. Makna hidup bersama dalam masyarakat yang plural menjadi terabaikan oleh makna hidup yang berdasarkan kepentingan golongan tertentu saja. Kehidupan antar pribadi maupun golongan diwarnai oleh rasa curiga, takut, benci, dendam, cemas, dan juga keengganan untuk hidup bersama lagi dalam kepelbagaian.

Kondisi ini sangat memprihatinkan, menggelisahkan sekaligus mengundang tanda tanya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan bangsa ini? Bukankah selama ini Indonesia dikenal sebagai bangsa yang masyarakatnya saling menghargai dan menghormati? Sampai kapan kondisi seperti ini akan terus berlangsung? Bagaimana mengatasinya? Sederetan pertanyaan ini tidak mungkin terjawab (apalagi dengan tuntas) dalam tulisan ini. Tetapi, paling tidak kita mampu memetakan beberapa persoalan yang mendasar guna mencermati segala permasalahan dengan lebih jernih dan obyektif.

Indonesia: Fenomena Baru Beridentitas Ganda

(4)

persolannya, yaitu bagaimana kita dapat mengadakan keseimbangan diantara kedua identitas tersebut dengan tetap mendasarkan diri pada asas keadilan dan kesetaraan. Perjumpaan kedua identitas ini terjadi dalam waktu yang cukup singkat dan diwarnai dengan perdebatan yang cukup sengit di antara ‘founding fathers’ ketika hendak merumuskan bentuk dan dasar negara bangsa ini (Bahar dkk, 1995). Tampak dengan jelas adanya pertentangan antara tiga kelompok ideologi yang memiliki basis massa cukup besar yaitu nasionalis, komunis, dan agama (Islam). Masalah yang cukup serius ini dapat dikategorikan sebagai krisis identitas sosio-kultural. Krisis ini menunjuk pada terjadinya benturan nilai dan ritus-ritus budaya yang muncul dalam pertemuan beberapa sistem nilai atau sistem kebenaran dari berbagai entitas sosial yang ada (Linggi, 2000). Dengan melihat kenyataan seperti itu kita melihat bahwa lahirnya bangsa Indonesia semata-mata didasarkan pada keinginan bersama untuk merdeka dan yang dapat mengikat keberagaman itu adalah persatuan.

Persatuan Dalam Indonesia

Dalam sejarahnya Indonesia dibangun di atas mitos kesatuan dengan tekad untuk menentukan nasibnya sendiri. Mitos kesatuan ini tidak lahir begitu saja atau jatuh dari langit tetapi merupakan hasil pergulatan pemikiran dari para pendiri negara ini. Gagasan dasar tentang kesatuan tidak lepas dari gagasan tentang identitas personal manusia sebagai mahluk bebas memilih pendirian eksistensinya. Manusia harus memiliki hak kebebasan itu semata-mata karena ia adalah manusia. Maka penjajahan atas hak ini harus dilawan (Awuy, 2000).

Gagasan ini ( yang mula-mula hanya bertujuan untuk merdeka) digunakan oleh Soekarno-setelah pernyataan kemerdekaan- untuk menggalang persatuan Nasionalis, Islam, dan Komunis. Ia mengandaikan, pluralisme kelompok dan etnis dapat terangkum begitu saja dalam ideologi Nasakom (Sindhunata dalam Kristanto, 2000).

(5)

stabilitas politik. Kedua fokus pembangunan ini ibarat saudara kembar siam saling mengisi dan melengkapi. Pertumbuhan ekonomi menjadi primer dan stabilitas politik menjadi sub-ordinasinya. Tujuan pembangunan politik bertujuan menciptakan dan memelihara stabilitas politik sebagai prasyarat bagi terselenggaranya dan terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang merupakan prioritas utama pembangunan nasional (Kaisiepo dalam Ridjal dan Karim, 1991). Yang menjadi persoalan adalah bilamana arah pembangunan politik itu tidak didasarkan pada budaya politik yang hidup dalam masyarakat (Sjamsuddim dalam Alfian dan Sjamsuddin, 1991). Sakralisasi terhadap pembangunan membuat ide atau gagasan kesatuan dan persatuan kehilangan makna ketika berhadapan dengan kondisi masyarakat yang plural. Perlawanan terhadap pembangunan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik, dan oleh karenanya sah-sah saja masyarakat tersebut “diamankan”.

Dalam hubungannya dengan pembangunan, maka pemerintah mengembangkan strategi-strategi yang bersifat dualistis, misalnya pemerintah pusat dan daerah, masyarakat sipil dan militer, dan lain-lain. Dalam hal hubungan antara pusat dan daerah mau tidak mau nilai-nilai politik yang bersifat nasional akan masuk dan bertemu dengan kenyataan di daerah tersebut. Interaksi antardaerah serta pusat dan daerah menimbulkan penetrasi-penetrasi yang oleh sebagian daerah dikuatirkan dapat menjadi ancaman terhadap eksistensi subbudaya politik. Di satu pihak, perasaan akan adanya ancaman semacam ini telah memunculkan sikap membentengi subbudaya politik agar lebih tegar menghadapi penetrasi-penetrasi tersebut. Di lain pihak, sikap yang demikian sering pula dianggap oleh pimpinan nasional sebagai suatu tantangan/hambatan yang perlu ditaklukan (Sjamsuddin dalam Alfian dan Sjamsuddin, 1991). Hubungan yang lebih menekankan dominasi pemerintah pusat ini menimbulkan sentralisasi kekuasaan yang sangat kuat.

(6)

dalam struktur sosialnya. Sebaliknya yang tampak, dalam kecenderungan sentralisasi dan rekayasa yang ketat itu, budaya kehilangan otonomi atau otoritasnya karena hanya melayani kemauan struktur: siapa menguasai struktur ia mengatur struktur (Kaiseipo dalam Ridjal dan Karim, 1991). Secara langsung telah diciptakan identitas baru bagi masyarakat Indonesia, yaitu mental ketergantungan. Masyarakat di daerah menjadi lumpuh, ia tidak dapat bergerak tanpa tuntunan dan petunjuk dari pemerintah pusat. Apa yang menjadi kebijakan Pemerintah pusat tidak boleh dibantah. Pemerintah pusat senantiasa menuntut agar masyarakat daerah agar tetap patuh dan tunduk, hal ini juga berarti bahwa pemerintah menuntut masyarakat daerah untuk melepaskan diri dari kesetiaan lokal dan bentuk-bentuk kesetiaan lainnya serta mengarahkan kesetiaan itu kepada negara (Sjamsuddin dalam Alfian dan Sjamsuddin, 1991).

Tampaknya permasalahan pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia selama ini justru lebih banyak terletak dalam bidang budaya politik. Secara spesifik, apa yang menjadi pokok persoalan bagi kita di negeri ini ialah bagaimana kepentingan-kepentingan yang berdasarkan sekian banyak subbudaya politik itu dapat saling dipertemukan atau, setidak-tidaknya didekatkan (Sjamsuddin dalam Alfian dan Sjamsuddin, 1991). Dengan kata lain kondisi masyarakat Indonesia yang plural ini, pada dirinya telah mengandung bibit-bibit konflik. Inilah kelalaian historis yang hingga kini masih terpelihara. Persatuan telah menjadi ‘Tuhan’ dan asing bagi realitas kemajemukan.

Kemajemukan:Potensi Integrasi dan Potensi Konflik

(7)

Kemajemukan, yang kata dasarnya adalah majemuk merupakan istilah yang pertama kali diutarakan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat ‘Indonesia’ pada jaman Hindia Belanda (Nasikun, 1995). Lebih lanjut Nasikun, berdasarkan pendapat Furnivall, menjelaskan masyarakat ‘Indonesia adalah merupakan majemuk (plural societies), yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam kesatuan politik. Sebagai contoh, dalam bidang politik tampak dengan jelas bahwa dalam masyarakat Indonesia tidak ada kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan ras, masing-masing lebih merupakan kumpulan individu daripada sebagai suatu keseluruhan yang bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka tidak utuh (Nasikun, 1995).

Masalah usaha mempersatukan penduduk yang beraneka warna tersebut terdiri paling sedikit empat sub masalah yang masing-masing mempunyai dasar serta lokasi yang berbeda dan yang karena itu memerlukan kebijaksanaan yang berbeda-beda. Keempat sub masalah itu adalah:

1. Masalah mempersatukan aneka warna suku bangsa 2. Masalah hubungan antar umat beragama

3. Masalah hubungan antara mayoritas dan minoritas

4. Masalah integrasi budaya suku-suku bangsa yang ada di Indonesia (Koentjaraningrat, 1984).

(8)

tidak dipergunakan. Dalam interaksi dan pergaulan nyata justru alasan subyektif yang dipakai. Ditambah juga bahwa di dalam hal itu ada suatu gejala penambahan sejumlah ciri subyektif yang diberikan oleh suku bangsa yang satu kepada suku bangsa yang lain, hal ini disebut stereotipe etnik. Sekalipun ada yang bernilai positif, stereotipe ini biasanya bernilai negatif, dan hal ini merupakan salah satu penghambat dalam interaksi serta pergaulan antar suku bangsa (Koentjaraningrat, 1984).

Usaha membina persatuan bangsa Indonesia yang majemuk menyangkut suatu masalah lain yaitu pengembangan kebudayaan nasional Indonesia. Masalah tersebut bukan hanya suatu masalah cita-cita saja mengenai berkembangnya suatu kebudayaan kesatuan yang kita bayangkan untuk kelak kemudian hari, melainkan suatu masalah yang sangat nyata dan mempengaruhi kehidupan kita sebagai satu nasion atau bangsa yang bernegara. Hal itu karena masalah kebudayaan nasional Indonesia itu menyangkut masalah kepribadian nasional, dan masalah itu tidak hanya langsung mengenai identitas kita sebagai bangsa, tetapi juga menyangkut soal motivasi kita untuk bersama bersusah payah mengorbankan banyak harta dan tenaga untuk membangun. Untuk itu syarat kebudayaan nasional meliputi: pertama, kebudayaan nasional harus merupakan ide/gagasan, suatu aktivitas

sosial, atau hasil karya yang bermutu tinggi dari warga nasion itu sendiri agar dapat menjadi kebanggaan bagi sebagian besar dari warga negara yang mendukungnya. Kedua, sifat khas dan istimewa dari gagasan aktivitas sosial atau hasil karya itu

tidak mempunyai kesamaan dalam kebudayaan lain di dunia (Keontjaraningrat, 1984).

(9)

Berdasarkan hal di atas, maka masyarakat majemuk Indonesia menghadapi permasalahan interaksi dalam konteks akulturasi. Akulturasi menunjuk pada perubahan budaya dan psikologis karena perjumpaan dengan orang berbudaya lain yang juga memperlihatkan perilaku berbeda (Berry dkk, 1999). Dengan mendasarkan pada dua persoalaan pokok dalam menanggapi budaya yaitu tanggapan terhadap budaya sendiri dan ketika berhadapan dengan budaya lain, akan ditemukan empat varietas akulturasi.

Soal I

Apakah soal melestarikan jatidiri dan ciri budaya merupakan suatu yang bernilai?

“YA” “TIDAK”

Soal II

Integrasi Asimilasi

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa proses Asimilasi: adalah ketika seorang individu mengalami akulturasi tidak ingin memelihara budaya dan jatidiri dan melakukan interaksi sehari-hari dengan masyarakat dominan. Separasi: jikalau ada suatu nilai yang ditempatkan pada pengukuhan budaya asal seseorang dan suatu keinginan untuk menghindari interaksi dengan orang lain. Integrasi: adanya minat dalam memelihara budaya asal dan melakukan interaksi dengan orang lain (membuat yang terbaik dari kedua dunia yang berbeda), dan disebut marjinalisasi: jika ada keniscayaan kecil atau minat kecil untuk pelestarian budaya (kadang karena alasan kehilangan budaya menjadi

Separasi Marjinalisasi Apakah soal

memelihara “YA” hubungan dengan

kelompok lain menjadi hal yang

(10)

sandaran) dan sedikit keniscayaan atau minat melakukan hubungan dengan orang lain, kadang karena alasan pengucilan atau diskriminasi (Berry dkk, 1999).

Dengan melihat konsep di atas, sekali lagi dapat ditegaskan bahwa realitas kemajemukan masyarakat Indonesia selain mengandung potensi integrasi sekaligus mengandung potensi konflik.

Tuaian itu Ternyata Konflik

Berbagai konflik sosial yang disertai dengan tindakan kekerasan semakin marak di Indonesia dan berada dalam kondisi kronis. Sepanjang tahun 1998 sampai dengan saat ini telah terjadi berbagai konflik sosial, baik antargolongan agama, antarsuku, antar pemerintah pusat dan daerah, hingga antarkelompok politik.

Konflik sosial tersebut akan semakin rumit jika terjadi konflik yang ‘dwi minoritas;’, yaitu terhimpitnya konflik sosial suku dengan agama (kasus Ambon) dan konflik “tripple minorities’, yaitu perhimpitan konflik sosial ras, suku, dan agama, seperti yang terpotret dalam insiden Jakarta pada bulan Mei 1998 (Salim, 1999).

Sesungguhnya konflik adalah bagian dari perjalanan kehidupan manusia dan merupakan konsekuensi alami dari keberadaan yang beragam. Perbedaan suku, agama, dan ras sebenarnya tidak perlu selalu mengakibatkan konflik yang destruktif, justru kehidupan suatu ekosistem akan stabil jika semakin beraneka ragam.

Dengan melihat kenyataan bangsa Indonesia saat ini, mengapa rentetan konflik sosial yang destruktif harus terjadi? Untuk mengkaji hal ini tidak bisa lepas dari model pendekatan yang dipakai oleh pemerintah dalam mengelola potensi konflik yang telah ada dalam kandungan kemajemukan.

Pendekatan yang di terapkan selama ini adalah pendekatan fungsionalis-struktural yang menganalogkan masyarakat dengan organisme biologis. Adapun anggapan dasar dari pendekatan ini adalah:

(11)

b. Hubungan di antara bagian-bagian bersifat ganda dan saling berpengaruh/timbal balik

c. Sistem sosial cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang bersifat dinamis

d. Ketidaksesuaian dan berbagai bentu penyimpangan dapat teratasi dengan sendirinya melaui proses penyesuaian dan institusionalisasi

e. Perubahan-perubahan terjadi secara bertahap dan tidak revolusioner.

f. Perubahan dapat terjadi melalui cara penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial itu sendiri, pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional , serta penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat

g. Daya pengintegrasi adalah konsensus (Nasikun, 1995). Dengan penekanan pada masyarakat sebagai suatu sistem dan konsensus sebagai daya pengintegrasi, maka kehidupan dalam kepelbagaian tidak rekat secara sempurna, karena ketika konsensus dilanggar oleh pihak tertentu maka sistem itu terancam disintegrasi.

Penutup: “Hai Pancasila, Di mana Sengatmu?”

(12)

daerah terhadap kebijakan Pemerintah pusat telah membawa Indonesia ke dalam proses disintegrasi.

Dalam kerangka itulah telah banyak diskusi yang diadakan dan memunculkan pula banyak konsep. Salah satunya adalah mendudukan Pancasila sebagai agama sipil (civil religion). Disandingkannya Pancasila dengan agama semata-mata dilihat dari fungsi integratif dan nilai religius yang dimiliki. Konsep agama sipil dilontarkan oleh Robert Bellah yang mendapat ide dari J.J Rouseau (Rouseau, 1986; Bellah dan Hammond, 1980). Konsep Pancasila (terutama sila

pertama) sebagai agama sipil ingin menunjukkan adanya elemen religius yang dialami oleh Indonesia sebagai suatu bangsa. Elemen-elemen religius itu menyangkut makna, eksistensi, tujuan hidup suatu bangsa yang tercermin dalam perjuangan dan pembangunan. Ini berarti pengalaman sebagai bangsa itu ditinjau dari kacamata transenden atau dari dimensi religius. Dengan kata lain pengalaman bangsa tidak semata dilihat sebagai hasil upaya manusia, melainkan campur tangan Tuhan ada di dalamnya (Hadinoto, 1990). Dengan demikian Pancasila sebagai agama sipil bersifat merangkum sekaligus mengayomi berbagai macam bentuk keragaman secara adil dan setara.

Pandangan ini tidak bermaksud hendak menggusur agama dari peran historisnya apalagi menggantikan agama. Pancasila tidak diindentikan secara menyeluruh dengan agama. Pancasila berfungsi sebagai dasar bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang di dalamnya terdapat aspirasi-aspirasi agama. Sedangkan agama berusaha menempatkan segala keberadaan manusia dengan segala aktivitasnya dalam pertanggungjawabannya kepada Tuhan, Sang Pencipta (Wahid, 1999).

(13)

DAFTAR BACAAN

Awuy, Tommy F., ‘Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia Indonesia’, dalam Kompas, tanggal 28 Juni 2000

Bahar, Saafroedin, Ananda B. Kusuma, Nannie Hudawati

(Penyunting)., Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,

Sekretariat Negara Republik Indonesia:Jakarta, 1995

Bellah, Robert N. dan Phillip E. Hammond., Varieties of Civil Religion , San Fransisco:Harper&Row Publishers,1980

Berry, John W, Ype H. Poortinga, Marshall H. Segall, Pierre R.

Dasen., Psikologi Lintas Budaya; Riset dan Aplikasi, Edi

Suhardono (alih bahasa), Jakarta:PT. Gramedia,1999

Hadinoto, N.K Atmadja., Dialog dan Edukasi; Keluarga Kristen Dalam

Masyarakat Indonesia, Jakarta:BPK Gunung Mulia,1990

Kaisiepo, Manuel., ‘Ketika Kebudayaan Menjadi Alat Legitimasi Politik’, dalam Fauzie Ridjal & M. Rusli Karim (editor), ), Dinamika

Budaya dan Politik Dalam Pembangunan ,Yogyakarta:Tiara

Wacana Yogya, 1991

Koentjaraningrat., Masalah-Masalah Pembangunan; Bunga Rampai

Antropologi Terapan LP3ES:Jakarta,1984

Linggi, Suleman Allo., Antara Suku-suku dan Internasionalisme:

Suatu Kajian terhadap Krisis Negara Nasional Indonesia Dalam Pesrpektif Pluralisme Budaya Suku-suku dan Persentuhannya

Dengan Dunia Luar, Tugas Akhir matakuliah Sosiologi Menurut

(14)

Nashir, Haedar., Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999

Nasikun, Dr., Sistem Sosial Indonesia, Jakarta:PT. RajaGrafindo

Press,1995

Rouseau, J.J., Kontrak Sosial, Sumardjo (alih bahasa),

Jakarta:Erlangga,1986

Salim, Emil., ‘Membangun Integrasi Bangsa’ dalam Kompas, 2

September 1999

Sindhunata, ‘Demitologisasi Persatuan Nasional’, dalam J.B.

Kristanto, 1000 Tahun Nusantara, Jakarta:Kompas Media

Nusantara, 2000

Sjamsuddin, Nazaruddin., ‘Aspek-Aspek Budaya Politik Indonesia’, dalam Alfian & Nazaruddin Sjamsuddin, Profil Budaya Politik

Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991

Titaley, John A., “Nasionalitas dan Promordialitas: Pergumulan

Menjadi Indonesia di Tengah Pluralitas Bangsa “ Disampaikan

dalam pertemuan Jaringan Kerja Pelayanan Pemuda Gereja PGI, 29 Juli 1998 di Kawangkoan-Sulawesi Utara

Wahid, Abdurahman., Mengurai Hubungan Agama dan Negara,

Kacung Marijan dan Ma’mun Murod Al-Brebesy (editor), Jakarta:Grasindo,1999

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendapatkan fitur-fitur CRM yang tepat di suatu organisansi, secara khusus untuk sebuah rumah sakit, perlu untuk dilakukan analisis yang menyeluruh dengan

LEMBAR PENGE2A4AN LAPORAN KERJA PROYEK . TEKNIK KOMPUTER

Jadi, agar penghuni rumah bisa mengetahuinya, digunakanlah teknologi mikrokontroler ini sebagai alat yang mengendalikan alarm berupa suara dan lampu pengawas pada pagar

Dari hasil estimasi responden KPR Konvensional bahwa harga berpengaruh positif terhadap keputusan nasabah dengan nilai koefisien sebesar 0.286 yang berarti

Adapun tujuan dari penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: Untuk mengetahui pengaruh latihan lari zig-zag terhadap kemampuan menggiring dalam permainan

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III Teknik Informatika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

• tindakan yang dilakukan pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan

 Kiranya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kualitas bahan tambah yang digunakan sebagai campuran batako, penggunaan abu sekam padi sebagai bahan