• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI SERTA PENCEGAHAN PERBUATAN MAKSIAT (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI SERTA PENCEGAHAN PERBUATAN MAKSIAT (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PERBUATAN

PROSTITUSI SERTA PENCEGAHAN PERBUATAN MAKSIAT (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan)

(Jurnal)

Oleh

NIKO PRASETYA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PERBUATAN

PROSTITUSI DAN PENCEGAHAN PERBUATAN MAKSIAT

Oleh:

Niko Prasetya, Tri Andrisman, Budi Rizki Husin Email : nikoprasetya15@gmail.com

Implementasi Peraturan Daerah merupakan aturan yang harus diterapkan sehubungan dengan telah maraknya kegiatan prostitusi yang terjadi disekitar masyarakat, prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, kaitannya dengan perdagangan perempuan. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana implementasi sanksi pidana dalam Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2004 dan apakah faktor-faktor penghambat upaya dalam implementasi Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2004 tentang larangan perbuatan prostitusi, tuna susila serta pencegahan perbuatan maksiat di Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis terhadap implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan nomor 4 tahun 2004 tentang larangan perbuatan prostitusi, serta pencegahan perbuatan maksiat di Kabupaten Lampung Selatan. Langkah preventif yang dilakukan dalam penanggulangan pelacuran di wilayah Kabupaten Lampung Selatan, yaitu berupa razia operasi Penyakit Masyarakat (Pekat). Faktor-faktor penghambat dalam upaya implementasi Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2004 tentang larangan perbuatan prostitusi, tuna susila serta pencegahan perbuatan maksiat di Kabupaten Lampung Selatan adalah faktor hukum itu sendiri, bila kita lihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP ) tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus. Saran dalam penelitian ini adalah menyempurnakan atau memperbaiki peraturan perundang-undangan hukum pidana atau KUHP yang baru karena tidak sesuai lagi dengan perubahan jaman, serta memberikan efek jera kepada para pelaku kegiatan prostitusi.

(3)

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF REGIONAL REGULATION OF SOUTH LAMPUNG NUMBER 4/2004 REGARDING THE PROHIBITION OF

PROSTITUTION AND THE PREVENTION OF IMMORALITY

By:

Niko Prasetya, Tri Andrisman, Budi Rizki Husin Email : nikoprasetya15@gmail.com

The implementation of Regional Regulation is a rule that must be applied in relation to the proliferation of prostitution activities that occur around the community, prostitution is one form of public disease that its distribution must be stopped because it is related to women trafficking. The problems in this research are formulated as follows: how is the implementation of criminal sanction in Regional Regulation number 4/2004 and what are the inhibiting factors in the implementation of Regional Regulation number 4/2004 about the prohibition of prostitution practice, sluttish, and the prevention of immorality in South Lampung Regency? This research used legal research method through normative and empirical approaches. The data collection techniques were obtained through literature study and interviews. The method of data presentation was done through the process of editing, systematization, and classification. The data analysis was carried out using qualitative data analysis, and deductive deductive conclusion. Based on the results and discussions of the research regarding of the implementation of Regional Regulation of South Lampung Regency number 4/2004 on prohibition of prostitution practice, sluttish, and prevention of immorality in South Lampung Regency, the preventive measures have been carried out in the prevention of prostitution in South Lampung region, included: conducting an operation raids of Community Disease. Among the inhibiting factors in the implementation of Regional Regulation number 4/2004 about prohibition of prostitution, and prevention of immorality in South Lampung Regency was the legal factor itself, if we see from the Book of Criminal Code (KUHP), there was no single articlel that regulates them specifically. It is suggested that the local government should refine or improve the new penal code law or the Book of Criminal Conduct because it is no longer appropriate with the development of era, and it shall give deterrent effect to the perpetrators of prostitution practice.

Keywords: Prostitution, Municipal Police Force of South Lampung Regency,

(4)

I. PENDAHULUAN

Di zaman seperti sekarang ini berbagai perubahan sosial semakin banyak terjadi. Kemajuan zaman yang syarat dengan teknologi, pada satu segi diyakini telah membawa perubahan yang positif dalam pembangunan fisik. Namun seiring dengan perubahan positif yang ada perubahan negatif pun menyertainya. Tidak dapat dihindarkan akses dari kemajuan zaman, membawa pengaruh terhadap perubahan pola budaya, struktur dan stratifikasi masyarakat, keyakinan masyarakat, pola dan gaya hidup. Maka demi memenuhi kebutuhan hidup nya mereka menjajakan diri nya sebagai pelacur di tempat prostitusi.

Pada dasarnya, pelacuran/prostitusi menyangkut masalah sosial yang mengganggu nilai-nilai sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan, karena menyangkut tata kelakuan yang tak bermoral, dan sangat berlawanan dengan hukum yang berlaku. Sebab itu, masalah-masalah sosial tidak akan mungkin dapat ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa dianggap buruk. Apalagi belakangan ini di jaman yang serba penuh kesulitan ekonomi. Keadaan ekonomi yang sulit menyebabkan orang-orang berani melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, beberapa di antaranya ingin menghasilkan uang banyak melalui jalan pintas tanpa pertimbangan akibat hukumnya.1

Aktifitas kehidupan pekerja seks komersial memang tidak terlepas dari kehidupan dunia malam. Artinya, mereka dapat kita temui hampir

1 Kartini. Kartono. 1992. Patologi Sosial. CV

Rajawali: Jakarta. hlm. 179

ditempat-tempat hiburan sepanjang jalan jalan protokol, sudut-sudut kota dan tidak terkecuali tempat-tempat umum. Kekhawatiran kita kini akan menyebarnya pekerja seks yang terkesan dibiarkan (tidak terkontrol) begitu saja melakukan prakteknya tanpa usaha-usaha menertibkannya. Tindak asusila pada zaman sekarang ini dalam bentuk ribuan pelacur atau pekerja seks dijadikan tawanan para germo. Pekerja seks yang melibatkan wanita muda dibawah umur 30 tahun. Mereka itu pada umumnya memasuki dunia pelacuran pada usia muda yaitu 13 – 24 tahun dan yang paling banyak ialah usia 17 – 21 tahun.2

Kabupaten Lampung Selatan merupakan salah satu dari 14 kabupaten yang ada di Provinsi Lampung atau dengan letak paling selatan di Pulau Sumatera sebagai pintu masuk wilayah Sumatra dari pulau jawa dengan Kantor Pemerintahan berpusat di Kota Kalianda. Kabupaten Lampung Selatan memiliki 17 wilayah Kecamatan, Terdiri dari 17 Kecamatan, 248 desa dan 3 kelurahan. Antara lain Bakauheni, Candipuro, Jati Agung, Kalianda, Katibung, Ketapang, Merbau Mataram, Natar, Palas, Penengahan, Rajabasa, Sidomulyo, Seragi, Tanjung Bintang, Tanjung Sari, Way Panji, Way Sulan. Sebanyak 38 desa merupakan wilayah Pesisir, selebihnya 84,8 persen desa tidak berbatasan secara langsung dengan laut.3

Seperti penyakit yang dapat menjangkiti semua individu, Kabupaten Lampung Selatan juga tak lepas dari penyakit masyarakat ini, dalam kegiatan razia Pekat (Penyakit Masyarakat) yang di lakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan Satuan Polisi

2 Ibid hlm. 183

3 Moslemwiki,

(5)

Pamong Praja Kabupaten Lampung Selatan ditemukan kegiatan prostitusi atau tuna susila yang di lakukan oleh 2 orang wanita yang berkedok sebagai pramusaji disebuah warung remang-remang di Desa Pardasuka, Kecamatan Katibung, Lampung Selatan. Di tempat tersebut juga ditemukan puluhan botol miras yang siap di jual kepada para pengunjung.

Hal ini tentu lah telah melanggar Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2004 tentang larangan perbuatan prostitusi, tuna susila dan perjudian serta pencegahan perbuatan maksiat di wilayah Kabupaten Lampung Selatan.

Larangan perbuatan prostitusi, tuna susila, perjudian dan perbuatan maksiat telah dimuat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 4 Tahun 2004 pada Pasal 3 sampai Pasal 6.

Sesuai dengan dengan alasan ini lah penulis mengangkat judul: Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Larangan Perbuatan Prostitusi, Serta Pencegahan Perbuatan Maksiat (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana implementasi saksi pidana dalam Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2004 tentang larangan perbuatan prostitusi, tuna susila, dan perjudian serta pencegahan perbuatan maksiat dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan ? b. Apakah yang menjadi faktor

penghambat dalam implementasi Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2004 tentang larangan perbuatan prostitusi, tuna susila, dan perjudian

serta pencegahan perbuatan maksiat dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan ?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara deduktif.

II. PEMBAHASAN

A. Implementasi Saksi Pidana Dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Larangan Perbuatan Prostitusi, Serta Pencegahan Perbuatan Maksiat

Perdagangan orang terutama perempuan sering dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri. Biasanya, Perdagangan perempuan lebih kearah praktek-praktek prostitusi dan tuna susila yng dilakukan oleh mucikari. Pengertian Germo atau mucikari menurut ketentuan Pasal 1 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 4 Tahun 2004 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan adalah Germo atau Mucikari adalah Orang Laki-laki atau Perempuan yang menyelenggarakan pengusaha rumah atau tempat pelacuran dengan memelihara atau medatangkan pelacur wanita.

(6)

diperdagangkan sebagai pmuas nafsu para lelaki hidung belang.

Penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan dari integral perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.4

Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal), dengan tujuan akhir adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian penegakkan hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum pidana perlu ditanggulangi dengan penegakan hukum pidana berupa penyempurnaan peraturan Perundang-undangan dengan penerapan dan pelaksanaan hukum pidana dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi tindak pidana.

Pencegahan dan penanggulangan tidak hanya dapat diatasi dengan penegakan hukum pidana semata, melainkan harus dilakukan dengan upaya-upaya lain diluar hukum pidana (non penal). Upaya non penal tersebut melalui kebijakan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Di samping itu upaya non penal juga dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.

Fungsi utama Polisi Pamong Praja adalah Membantu Bupati dalam menyelenggarakan Bidang Ketentraman dan Ketertiban Umum serta untuk menegakkan Perda.

4

Barda Nawawi, Arief,. 2001. Masalah

Penegakan Hukum Dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti: Bandung, hlm. 2 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja (Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4428).

Menurut hasil wawancara dengan Erdanda AS upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan cara mengadakan kegiatan operasi rutin dan operasi khusus, yaitu :

1. Upaya Represif

Upaya penegakan hukum yang dilakukan untuk memberantas kejahatan setelah kejahatan tersebut terjadi.

2. Upaya Preventif

Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya ini dilakukan untuk mencegah sebelum terjadinya kejahatan dengan mempersempit kesempatan.

3. Upaya Pre-emptif

Upaya yang dilakukan untuk menghilangkan penyebab kejahatan. Upaya ini dilakukan untuk menghilangkan faktor penyebab yang menjadi pendorong terjadinya kejahatan tersebut.

4. Operasi Khusus

Operasi khusus adalah operasi yang akan diterapkan khusus untuk menghadapi masa rawan yang diprediksi dalam kalender baru kerawanan kamtibmas berdasarkan pencatatan data tahun-tahun silam.5 Pemberantasan Praktik prostitusi,

5

(7)

polisi pamong praja adalah sebagai pembantu bupati dalam penegakan perda yang diharapkan oleh masyarakat khususnya dalam kejahatan prostitusi.

Hasil wawancara dengan Ahmad Rodhi mengatakan langkah-langkah yang dilakukan dalam penanggulangan, yaitu dengan pelacuran yaitu dengan langkah preventif dan represif. Langkah preventif yang dilakukan dalam penanggulangan pelacuran di wilayah kabupaten Lampung Selatan, yaitu dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai penanggulangan pelacuran. Penyuluhan diberikan kepada tokoh-tokoh masyarakat, pemuda anggota karang taruna, ibu-ibu anggota PKK diberbagai desa dan kelurahan yang ditengarai menjadi lokasi pelacuran.6

Selanjutnya tindakan yang tergolong sebagai langkah represif yaitu melakukan tindakan terhadap penanggulagan placuran yang ada di Lampung Selatan tidak dengan hukum pidana (KUHP), karena sebagaimana telah diungkapkan diatas, bahwa tidak ada pasal-pasal yang berhubungan langsung dengan pelacur, melainkan hanya germonya dan perdagangan perempuan yang dapat diancam pidana.

Hasil wawancara dengan Arizal Setyanto menyatakan bahwa langkah-langkah represif lainnya terhadap penanggulangan pelacuran yang dilaksanakan Tim Penertiban yang terdiri dari Polisi Pamong Praja, Polisi Resort Lampung Selatan, Dinas Sosial Kabupaten Lampung Selatan serta Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

6

Hasil Wawancara dengan Ahmad Rodhi. Kepala Dinas Sosial Kabupaten Lampung Selatan. Rabu 20 september 2017

1. Mengidentifikasikan lokasi pelacuran dan personal pelacurnya sendiri sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada waktu identifikasi ini kalau dipandang perlu, petugas-petugas kadang melakukan penyamaran dengan mendatangi lokasi-lokasi pelancuran untuk mengetahui secara jelas.

2. Apabila lokasi dan pelacurnya maupun germonya telah dapat diidentifikasikan, maka kemudian dilakukan razia siang maupun malam hari.

3. Selanjutnya para pelacur tersebut dikumpulkan di Dinas Sosial kabupaten Lampung Selatan untuk didata. Mereka yang terjaring diseleksi secara ketat dengan menanyakan Kartu Tanda Penduduk atau identitas diri, pekerjaan dan asal-usulnya.

4. Para pelacur yang telah dikumpulkan kemudian dibuatkan biodatanya, difoto dan dibuatkan Berita Acara Pemerikasaan Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Selain itu mereka membuat pernyataan bersedia direhabilitasi atau dibina selama dipandang perlu.7

Sri Ngatin menambahkan Polisi Pamong Praja merupakan lembaga yang aktif dalam menanggulangi masalah prostitusi yang ada diwilayah hukum Lampung Selatan. Kebijakan yang dilakukan dalam menanggulangi prostitusi diwilayah Lampung Selatan sebagai berikut :

1. Digiatkan operasi cipta kamtibmas

dengan sandi “Operasi Pekat” atau

penyakit masyarakat termasuk didalamnya miras, judi, pelacuran dan premanisme.

7

(8)

2. Khusus prostitusi, sering dilakukan razia ke tempat-tempat yang disinyalir sebagai tempat praktek prostitusi, seperti Hotel, Salon, Warung-warung, Tempat karaoke, Panti Pijat dan sejenisnya.

3. Melakukan penyuluhan bekerja sama dengan Dinas Sosial.

4. Menindak para pelaku penyedia jasa layanan PSK dan tempat-tempat penyedia sarana dan prasarana prostitusi.8

Upaya yang dilakukan ini adalah dengan

mengadakan “Operasi Pekat” atau

Operasi Penyakit Masyarakat bekerjasama dengan pemerintah setempat, operasi yang baru aja dilakukan adalah pada tanggal 03 Februari 2017 dengan mengandalkan 20 personil dari Pihak Polisi Pamong Praja, 5 personil dari pihak Polisi Resort Kabupaten Lampung Selatan dan 2 orang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan sasaran kegiatan prostitusi pada warung yang disinyalir sebagai tempat transaksi prostitusi di Kecamatan Katibung serta Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan. Hasil dari razia yang dicapai setidaknya ada 45 PSK terjaring dalam razia tersebut, masing-masing yang terjerat dalam operasi Pekat merupakan warga asli Lampung Selatan yang selanjutnya dibawa ke Dinas Sosial guna diberikan pengarahan lebih lanjut.

Razia ini merupakan upaya untuk memberikan peringatan dan arahan kepada para PSK yang berhasil terjaring dan diberi pengarahan dengan ancaman akan diusir dari wilayah kabupaten Lampung Selatan apabila masih terlibat dalam praktek-praktek tranaksi prostitusi

8

Hasil Wawancara dengan Sri Ngatin. Kepala Bidang Undang-Undang Polisi Pamong Praja Kabupaten Lampung Selatan. Rabu 20 september 2017

yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan para pelacur tersebut yang berkeliaran bebas ditengah-tengah masyarakat, sehingga ditakutkan mereka akan mempengaruhi pergaulan anak-anak muda. Operasi ini ditujukan untuk menertibkan, mengamankan dan melakukan pembersihan pelacuran yang ada dijalan-jalan lintas wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Selanjutnya setelah dilakukan penertiban tersebut, para pekerja seks tersebut dikirim ke Dinas Sosial dengan bantuan Pihak Kepolisian dan dinas sosial agar nantinya mereka diberikan pembinaan, pelatihan dan keterampilan.

Menurut Alex Desianto khususnya mengenai praktik prostitusi strategi penanggulangannya dilakukan melalui dari diri individu sendiri, keluarga, RT dan RW, sekolah, lembaga keagamaan, serta organisasi kemasyarakatan. Tujuan utamanya tentulah untuk menghindari kemungkinan peningkatan jumlah PSK. Kebijakan yang tepat tidak hanya mengandalkan pada pemidanaan saja.9

Bahwa PSK tidak akan mungkin dapat dihukum namun hanya dapat dirazia kemudian dibina dan dibimbing, yang dapat dipidana hanyalah orang yang mempermudah dilaksanakannya praktek transaksi prostitusi, misalnya menyediakan tempat dan sebagainya (germo). Masalah kejahatan, khusunya pada tingkat tingginya kejahatan prostitusi harus dipecahkan sebagai bagian dari permasalahan saja yang timbul dari akibat samping perkembangan aman dan pembangunan nasional.10

9

Hasil Wawancara dengan Alex Desianto. Babinkamtibmas Polsek Tanjungan Kabupaten Lampung Selatan. Rabu 20 september 2017

10

(9)

Hasil wawancara dengan Erdanda AS, menyatakan bahwa hukum yang mengatur tentang prostitusi atau pelacuran khususnya di Indonesia memang secara jelas tidak ada tetapi disini dapat dilihat pada pasal 296 KUHP pengertian mucikari secara yuridis yaitu seorang lelalki atau perempuan yang melakukan perbuatan menyediakan fasilitas dan menjadikan dirinya perantara cabul sebagai kebiasaan atau mata pencaharian, juga mengambil untung dari bisnis prostitusi.11

Selain itu yang mengatur mengenai praktik prostitusiadalah pasal 506 yaitu barang siapa yang menarik keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikan sebagai mata pencaharian, diancam kurungan paling lama satu tahun, selain itu mengenai prostitusi yang berhubungan dengan Undang-Undang Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang dapat diproses apabila adanya suatu laporan serta apabila dalam hal praktik prostitusi adanya unsur pemaksaan dengan kekerasan serta apabila yang diperjualbelikan adalah anak dibawah umur.

Perbuatan yang dilakukan oleh mucikari tersebut adalah perbuatan yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Adapun pasal yang dapat dikenakan kepada seorang mucikari adalah pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada Pasal 296 KUHP berhubungan dengan orang yang menyediakan tempat untuk berbuat cabul. Dia sering menjadi perantara untuk makelar cabul sehingga memenuhi

11

Hasil Wawancara dengan Erdanda AS. Kepala Bagian Hukum Sekretaris Daerah Kabupaten Lampung Selatan. Rabu 20 september 2017

unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 296 KUHP dan dapat dihukum.

Pengaturan mengenai sanksi pidana dan memenuhi unsur dala penentuan yang dimaksud dalam prostitusi dalam penyedia tempat atau tempat pendukung prostitusi (mucikari) dapat pula ditumtut dan sesuai pertanggungjawabannya sesuai Pasal 296 KUHP yang berhubungan dengan orang yang menyediakan tempat untuk berbuat cabul dan sering menjadi perantara untuk makelar cabul. Mucikari adalah sebagai orang yang memudahkan perbuatan cabul dan melakukannya sebagai mata pencaharian tetap. Sehingga memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 296 KUHP dan dapat dihukum dengan pidana kurungan paling lama satu tahun empat bulan, selanjutnya dalam pasal 506 KUHP juga mengatur mengenai mucikari dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun.

Menurut Erna Dewi, suatu peristiwa agar dapat dikatakan suatu peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Harus ada perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang. 2. Perbuatan harus sesuai dengan

sebagaimana yang dirumuskan Undang-Undang, pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.

3. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum. 4. Harus ada ancaman hukumnya.

(10)

yang dilanggar itu dicantumkan sanksinya.12

Menurut Erna Dewi13 prostitusi memang dalam pengaturannya tidak secara tegas dalam KUHP tetapi hanya dalam hal perdagangan orang sekaligus mucikari yang dijadikan objek pidana, berkaitan dengan implementasi sanksi pidana dalam perda nomor 4 tahun 2004 tentang larangan perbuatan prostitusi serta pencegahan perbuatan maksiat di wilayah Kabupaten Lampung Selatan harus dengan mengedepankan upaya non penal karena prostitusi merupakan penyakit masyarakat yang perlu pendekatan dalam hal law enforcement atau penegakan serta keadilan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diatas maka dapat penulis analisis bahwa dalam implementasi perda nomor 4 tahun 2004 tentang larangan perbuatan prostitusi serta pencegahan perbuatan maksiat di wilayah Kabupaten Lampung Selatan dengan langkah preventif dan represif. Penulis juga setuju dengan responden diatas dengan melakukan langkah preventif yang dilakukan dalam penerapan perda tersebut diwilayah Kabupaten Lampung Selatan, yaitu dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai dampak pelacuran, selanjutnya tindakan represif yaitu berupa razia operasi masyarakat (Pekat) sebagai upaya meminimalisir tindakan prostitusi yang ada di Kabupaten Lampung Selatan serta tidak dengan hukum pidana (KUHP).

12

Hasil Wawancara dengan Erna Dewi. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Rabu 8 November 2017

13

Hasil Wawancara dengan Erna Dewi. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Rabu 8 November 2017

B. Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Perda Nomor 4 tahun 2004 tentang larangan perbuatan prostitusi, tuna susila serta pencegahan perbuatan maksiat

Faktor-faktor penghambat dalam Implementasi Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2004 faktor penghambat utama dalam menanggulangi masalah pelacuran yang ditemukan dilapangan antara lain : a. Faktor Hukum (Undang-Undang )

Bila kita lihat dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus, sehingga secara kriminologis sulit untuk mengatakan bahwa pelacuran itu sebagai suatu kejahatan, sebab tidak menimbulkan korban.

b. Faktor Penegak Hukum

Selain itu faktor-faktor lain sangat berpengaruh seperti adanya oknum aparat yang ikut terlibat dalam pelacuran tersebut dengan memberikan informasi bahwa akan diadakan suatu razia.

c. Faktor Masyarakat

Faktor ekonomi menjadi penyebab utama masyarakat sekitar yang mencari keuntungan dari pelacuran tersebut seperti dengan cara memberikan perlindungan terhadap pelacur dengan melindungi atau menyembunyikan bahwa di wilayahnya tidak ada pelacuran bahkan masyarakat dengan sengaja menyewakan baik rumah maupun tanahnya sebagai tempat pelacuran.

(11)

diadakan suatu razia pada hari tertentu. Kondisi seperti ini sangatlah sulit untuk dibuktikan, karena adanya teknologi yang sangat pesat seperti sekarang ini dengan adanya penggunaan handphone. Dengan adanya kongkalikong anatara germo dengan beberapa oknum aparat yang terlibat sangat merugikan karena sia-sia saat melakukan razia pada waktu tertentu, karena para pelacur sudah tidak ada ditempat.14

Peran serta masyarakat terutama masyarakat yang berada disekitar lokasi pelacuran tersebut juga sangat diperlukan di dalam pemberantasan pelacuran di wilayah Lampung Selatan. Namun kenyataannya ada anggota masyarakat yang mencari untung dari pelacuran tersebut dengan cara memberi perlindungan terhadap pelacur. Perlindungan yang diberikan adalah

dengan melindungi atau

menyembunyikan bahwa di wilayahnya tidak ada pelacuran. Ada pula masyarakat yang dengan sengaja menyewakan rumah maupun tanahnya sebagai tempat pelacuran.

Menurut Edanda AS bahwa hambatan atau faktor utama dalam menanggulangi masalah pelacuran bila kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus, sehingga secara kriminologis sulit untuk mengatakan bahwa pelacur itu sebagai suatu kejahatan, sebab tidak menimbulkan korban (KUHP).15

Sri Ngatin menambahkan solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan yang

14

Hasil Wawancara dengan Sri Ngatin. Kepala Bidang Undang-Undang Polisi Pamong Praja Kabupaten Lampung Selatan. Rabu 20 september 2017

15

Hasil Wawancara dengan Erdanda AS. Kepala Bagian Hukum Sekretaris Daerah Kabupaten Lampung Selatan. Rabu 20 september 2017

timbul dalam penanggulangan prostitusi di wilayah Lampung Selatan khususnya adalah dengan menyempurnakan atau memperbaiki peraturan Perundang-undangan hukum pidana atau KUHP yang baru karena tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman, sehingga masalah pelacuran yang kita hadapi sekarang ini tidak menentu.16

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di atas maka dapat penulis analisis bahwa faktor-faktor penghambat dalam implementasi Perda Nomor 4 tahun 2004 kabupaten Lampung Selatan sebagai berikut :

1. Faktor Hukum (Undang-Undang)

Faktor hukum berkaitan dengan Undang-Undang KUHP tersebuat tidak diatur secara langsung mengenai pemidanaan terhadap prostitusi sebagai bentuk kejahatan sehingga sanksi pidana yang terdapat pada perda tersebut tidak dapat diimplementasikan.

2. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum dalam hal ini diindikasikan sebaliknya, diam-diam ikut terlibat dalam kegiatan prostitusi tersebut dengan cara memberikan bocoran bahwa akan diadakan operasi atau razia terhadap kegiatan prostitusi.

3. Faktor Kesadaran Masyarakat

Masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, tetapi dalam kasus yang terjadi di wilayah katibung masyarakat tersebut kurang memiliki kesadaran dan sedikit

16

(12)

yang mau diajak andil dalam mengawasi lingkungannya.

Masyarakat sekitar yang mencari keuntungan dari pelacuran tersebut seperti dengan cara memberikan perlindungan terhadap pelacur dengan melindungi atau menyembunyikan bahwa di wilayahnya tidak ada pelacuran bahkan masyarakat dengan sengaja menyewakan baik rumah maupun tanahnya sebagai tempat pelacuran.

Penanggulangan masalah pelacuran menurut analisa penulis bukan suatu masalah yang mudah sebab hal ini menyangkut banyak faktor didalamnya, seperti faktor penegak hukum, faktor sosial ekonomi dan budaya. Sehingga tidak setiap orang menginginkan agar pelacuran ini dituntaskan, karena ada yang tetap ingin adanya pelacuran yang kiranya memungkinkan dapat memetik keuntungan dari mereka terutama maslah kepastian hukum atau kekuatan hukum untuk menanggulanginya perlu dibenahi lagi, dengan demikian penanggulangan pelacuran akan dapat berjalan dengan efektif.

III. PENUTUP A. Simpulan

Setelah melakukan penelitian dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka sebagai penutup dari pembahasan atas permasalahan skripsi ini, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Upaya implementasi sanksi pidana dalam Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2004 dengan langkah preventif dan represif. Langkah preventif yang dilakukan dalam penanggulangan pelacuran di wilayah Kabupaten Lampung Selatan, yaitu dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai penanggulangan pelacuran. Penyuluhan diberikan

kepada tokoh-tokoh masyarakat, pemuda anggota karang taruna, ibu-ibu anggota PKK diberbagai desa dan kelurahan yang menjadi lokasi pelacuran. Selanjutnya tindakan represif yaitu berupa razia operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) sebagai penanggulangan pelacuran yang ada di Kabupaten Lampung Selatan tidak dengan hukum pidana (KUHP), karena sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa tidak ada pasal-pasal yang berhubungan langsung dengan pelacur, melainkan hanya germonya dan perdagangan perempuan yang dapat diancam pidana.

2. Faktor-faktor penghambat dalam Implementasi Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2004 faktor penghambat utama dalam menanggulangi masalah pelacuran antara lain :

a. Faktor Hukum (KUHP)

Bila kita lihat dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus, sehingga secara kriminologis sulit untuk mengatakan bahwa pelacuran itu sebagai suatu kejahatan, sebab tidak menimbulkan korban.

b. Faktor Penegak Hukum

Selain itu faktor-faktor lain sangat berpengaruh seperti adanya oknum aparat yang ikut terlibat dalam pelacuran tersebut dengan memberikan informasi bahwa akan diadakan suatu razia. c. Faktor Kesadaran Masyarakat

(13)

menyembunyikan bahwa di wilayahnya tidak ada pelacuran bahkan masyarakat dengan sengaja menyewakan baik rumah maupun tanahnya sebagai tempat pelacuran.

B. Saran

Bertitik tolak dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai alternatif pemecahan masalah dalam upaya menanggulangi praktik prostitusi di masa yang akan datang yaitu sebagai berikut:

1. Dalam menanggulangi praktik prostitusi sudah cukup tepat namun perlu ditingkatkan lagi dalam hal operasi-operasi yang dilakukan dengan jalan melakukan kegiatan rutin maupun inspeksi mendadak terhadap kegiatan prostitusi di wilayah Kabupaten Lampung Selatan, selain itu Ploisi Pamong Praja di harapkan dapat merangkul masyarakat untuk dapat bersama menanggulangi kegiatan prositusi karena akan berdampak buruk bagi kawasan tersebut.

2. Faktor penghambat dalam hal ini yang paling utama adalah faktor hukum itu sendiri sehingga solusinya adalah dengan menyempurnakan atau memperbaiki peraturan Perundang-undangan hukum pidana atau Perda yang baru karena tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman, sehingga masalah pelacuran yang kita hadapi sekarang ini tidak menentu, sehingga dalam penerapannya hukum pidana dapat menjadi senjata dalam memberantas

atau setidaknya dalam

penanggulangannya membuahkan hasil yang maksimal denagn memberikan efek jera kepada para pelaku kegiatan prostitusi di wilayah

Kabupaten Lampung Selatan dan Indonesia pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Kartono. Kartini. 1992. Patologi Sosial. CV Rajawali: Jakarta.

Nawawi Arief, Barda 1984. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung.

……….. 2001. Masalah Penegakan

Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Setiawan. Guntur. 2004. Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan. Remaja Rosda karya offset, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Reigeluth (1987), dan model pengembangan media oleh Arief S. Criswell & Luther. Target yang dihasilkan adalah terciptanya media Kit sebagai suplementasi pesan-pesan pembelajaran

Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bantul (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun

Dalam penelitian ini, diuji sejumlah sampel dengan komposisi variasi ukuran agregat beton porous yang berbeda-beda untuk mendapatkan beton porous dengan hasil kuat tekan yang

Lampiran 33 : Gambar jagung dan gulma..

Penelitian ini mengulas mengenai fenomena korban perilaku bullying yang terjadi di dalam dunia pendidikan sekarang ini. Teknik pengambilan sample yang digunakan adalah

Kedua, jika makna kinâyah dalam Alquran tidak sepadan dengan makna literal yang terdapat dalam bahasa Indonesia, maka diperlukan penjelasan tambahan berupa catatan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga negara yang berwenang menyelenggarakan Pemilu Tahun 2019 telah menerbitkan dan memberlakukan Peraturan KPU Nomor 26

AICS - Inventarisasi Bahan Kimia Australia; ASTM - Masyarakat Amerika untuk Pengujian Bahan; bw - Berat badan; CERCLA - Undang-Undang Tanggapan, Kompensasi, dan Tanggung Jawab