Mendorong Pelibatan
Perempuan
dalam Kebijakan
Pengadaan
Energi Bersih Terbarukan
di Provinsi Maluku Utara
Keterangan: Weda, Halmahera Tengah, 23 Januari 2018 Sumber: Koalisi Perempuan Indonesia
Energi merupakan kebutuhan dasar manusia sama seperti sandang, pangan, dan papan. Bahkan energi merupakan prasyarat utama untuk mencapai kesejahteraan. Menyadari pentingnya peranan energi, Pemerintah Indonesia menjamin setiap warga negara memiliki akses energi. Dalam implementasinya, hal ini diatur oleh UU Energi No. 30/2007. UU ini pun menyatakan bahwa setiap warga negara dapat berperan serta dalam perancangan rencana pengelolaan energi tingkat nasional ataupun tingkat daerah.
Sepuluh tahun setelahnya, pada tanggal 2 Maret 2017, Presiden mengeluarkan Perpres No. 21/2017 mengenai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menjabarkan rencana pengelolaan energi di tingkat nasional yang bersifat lintas sektor untuk mencapai sasaran Kebijakan Energi Nasional. Paling lambat satu tahun setelah diterbitkannya RUEN, pemerintah provinsi wajib menerbitkan Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Namun sayangnya hingga Januari 2018, hanya Provinsi Nusa Tenggara Barat saja yang sedang menyusun Rancangan Perda mengenai RUED.
Hingga akhir tahun 2017, Provinsi Maluku Utara masih sampai pada tahap pengumpulan data dan belum mulai melakukan pemodelan dalam kaitannya dengan rencana pengelolaan energi tingkat provinsi. Sedangkan di sisi lain, Pemerintah Kabupatan Halmahera Tengah sudah memiliki perencanaan penyediaan energi yang dituangkan dalam Peraturan Daerah No. 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2012-2030.
Dengan dimoderatori oleh Lia Anggiasih (Staff Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia), temu jejaring mengambil topik "Mendorong Pelibatan Perempuan dalam Kebijakan Pengadaan Energi Bersih Terbarukan". Acara ini menghadirkan beberapa nara sumber:
i. Edi Langkara (Bupati Halmahera Tengah),
ii. Dian Kartikasari (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia),
iii. Widjanarka (Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), iv. Erina Mursanti (Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform),
v. Farida Indriani (Koordinator Divisi Litbang Koalisi Perempuan Indonesia).
Penyediaan energi sangat dibutuhkan dalam kegiatan perindustrian untuk dapat mendorong perekonomian. Hal ini disadari oleh Edi Langkara1 yang menyatakan bahwa Kabupaten Halmahera Tengah siap berperan aktif dalam mendorong Provinsi Maluku Utara untuk melanjutkan proses penyusunan RUED Provinsi.
"Rencana pengelolaan energi menjadi penting dikarenakan proyeksi akan banyaknya pengembangan kegiatan perindustrian yang akan dilakukan di seluruh Provinsi Maluku Utara, sedangkan di sisi lain, terdapat berbagai potensi sumber energi terbarukan lokal yang dimiliki oleh Kabupaten Halmahera Tengah namun belum dikembangkan hingga saat ini. Di samping itu, RUED Provinsi menjadi penting dalam kaitannya meningkatkan rasio elektrifikasi Kabupaten Halmahera Tengah yang masih sangat kecil saat ini, yaitu 51,45%, dimana angka ini lebih kecil daripada rasio elektrifikasi Provinsi Maluku Utara yang sebesar 72,61%.", masih dijelaskan oleh Edi Langkara.
Keterangan: Situasi acara Temu Jejaring Lokal. Gambar di sebelah kiri menunjukkan banyaknya peserta yang hadir. Gambar di sebelah kanan menunjukkan betapa besar antusiasme peserta untuk terlibat aktif sehingga mereka membentuk antrian ke belakang untuk dapat bertanya saat sesi diskusi
Sumber: Koalisi Perempuan Indonesia
Selaku Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari menyatakan bahwa semua orang, khususnya perempuan, membutuhkan energi. Bahkan perempuan-lah yang menjadi konsumen akhir
dari pemakaian energi di rumah tangga. Kebutuhan untuk melakukan reproduksi, produksi serta mendapatkan keamanan merupakan berbagai contoh dari kebutuhan perempuan terhadap energi yang selama ini tidak disadari oleh banyak perempuan. Meskipun begitu, berbagai tantangan yang dihadapi perempuan dalam pemenuhan kebutuhan mereka terhadap energi datang dari berbagai aspek.
"Aspek pertama adalah aspek sumber daya manusia, yaitu minimnya informasi yang dapat perempuan miliki dan disertai dengan minimnya akses data yang dapat perempuan peroleh menyebabkan perempuan tidak dapat menyuarakan kebutuhannya sehingga mereka tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Aspek kedua adalah dari tataran kebijakan dimana pemerintah belum mengimplementasikan kebijakan yang menjamin persamaan hak atas energi bagi setiap warga negara (baik laki-laki maupun perempuan). Di sisi lain, warga negara tidak memahami adanya kebijakan yang menjamin hak-hak tersebut, sehingga tidak ada kontrol sosial dari warga negara dalam mendorong pemerintah menjalankan kebijakan tersebut. Aspek ketiga adalah dari pemerintah yaitu rendahnya komitmen pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran untuk energi terbarukan; program elektrifikasi nasional dari pemerintah pusat yang tidak berjalan secara masif; serta Dewan Energi Nasional yang belum berperan aktif untuk memperluas akses perempuan miskin terhadap energi.", jelas Dian Kartikasari.
Nara sumber ketiga, Widjanarka, menyampaikan bahwa energi dapat membuat kehidupan menjadi lebih baik namun sayangnya energi sering dijadikan sebagai komoditas politik sebuah rezim. Fenomena ini akan berujung pada sikap dilematis dari negara dalam pemenuhan hajat hidup warganya. Sebagai konsumen energi, setiap warga negara dilindungi oleh UU Perlindungan Konsumen No. 08/1999. Secara spesifik, pasal 04 dari UU ini menyatakan bahwa hak konsumen adalah sebagai berikut:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan; 2. Hak atas informasi yang jelas, benar dan jujur; 3. Hak untuk memilih;
4. Hak untuk didengar keluhan dan pendapatnya; 5. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pembinaan;
6. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur dan tidak diskriminatif;
7. Hak untuk mendapatkan advokasi, pembelaan dan penyelesaian konsumen secara patut; 8. Hak untuk mendapatkan ganti rugi dan kompensasi;
Namun meskipun begitu, belum ada Standard Pelayanan Minimum/SPM atas produk barang dan jasa, sementara kewajiban konsumen sudah terpenuhi. Untuk itulah maka UU Perlindungan Konsumen perlu dilengkapi dengan peraturan turunan yang mengatur kewajiban bagi perusahaan untuk menerbitkan SPM terutama bagi komoditas publik seperti energi. Beberapa BUMN seperti PLN, Pertamina, Angkasa Pura, saat ini sudah menginisiasi adanya SPM dalam proses bisnis mereka.
dalam gagasan The Essential Commodities Act2 guna menjembatani semangat Pasal 33 UUD dengan UU Perlindungan Konsumen.͟
Widjanarka kembali menegaskan bahwa Kepulauan Halmahera kaya akan potensi energi terbarukan yang belum termanfaatkan dengan baik. Hanya dengan komitmen pemerintah yang kuat dengan disertai oleh dukungan seluruh masyarakat, maka potensi ini dapat dikembangkan sehingga kedaulatan energi serta pemerataan akses energi untuk seluruh daerah di Indonesia akan tercapai.
Bekerja di sebuah lembaga yang banyak bergelut di ranah regulasi dan kebijakan membuat Erina Mursanti menyoroti dua aspek dari sisi regulasi dan kebijakan. Aspek pertama yaitu bagaimana kerangka regulasi yang berlaku saat ini dalam hal perencanaan energi daerah terutama dalam kaitannya mendorong RUED Provinsi Maluku Utara. Aspek lainnya adalah bagaimana posisi energi terbarukan yang tercantum di dalam dokumen nasional seperti rencana pembangunan nasional dan rencana umum energi nasional.
Perencanaan energi tidak dapat dipisahkan dengan perencanaan pembangunan, baik dalam konteks daerah maupun nasional. Dari diagram di bawah ini, dapat dilihat bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN 2015-2019 serta UU Energi No. 30/2007 dan UU Ketenagalistrikan No. 30/2009 merupakan referensi dari perencanaan energi daerah (yang tertuang dalam Rencana Umum Energi Daerah/RUED ataupun Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah/RUKD).
Keterangan: Hubungan perencanaan pembangunan dengan perencanaan energi
Sumber: Materi presentasi Erina Mursanti
Konsekuensi logis dari kerangka regulasi yang berlaku saat ini adalah pemerintah daerah berkewajiban melakukan perencanaan energi daerah. Secara khusus, UU Energi No. 30/2017, Perpres No. 01/2014 tentang Pedoman Penyusunan RUEN (pasal 16 ayat 01 dan pasal 17 ayat 01) serta Perpres No. 22/2017 tentang RUEN (pasal 03 ayat 02) menyatakan bahwa:
a) Pemerintah Daerah menyusun RUED dengan mengacu pada RUEN; b) RUED ditetapkan paling lambat satu tahun setelah RUEN ditetapkan;
c) RUEN berfungsi sebagai pedoman pemerintah daerah untuk menyusun RUED serta melaksanakan koordinasi perencanaan energi lintas sektor.
DItambahkan oleh Erina bahwa peningkatan pemanfaatan energi terbarukan serta peningkatan rasio elektrifikasi menjadi dua isu utama yang hadir dalam program pembangunan pemerintah, yaitu Nawacita Bidang Energi dan RPJMN Bidang Energi. Sebagai dokumen masterplan perencanaan energi nasional, RUEN mencantumkan target pemanfaatan energi terbarukan pada 2025 yaitu:
a) 23% dari total energi primer; b) 45 GW listrik;
c) 13,69 juta KL biofuel, 8,4 juta ton biomassa dan 489,8 juta m3 biogas untuk non listrik.
Hadir sebagai nara sumber terakhir, Farida Indriani, yang menyampaikan hasil riset aksi "gender and
energy” yang dilakukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia di 4 desa di Halmahera Tengah pada April-Agustus 2017. Riset ini bertujuan untuk melakukan identifikasi keuntungan dan kerugian yang dirasakan masyarakat (terutama perempuan) terkait listrik. Diharapkan riset ini dapat meningkatkan kesadaran perempuan tentang pentingnya energi sehingga mereka dapat terlibat lebih jauh dalam mengatasi persoalan energi. Terdapat dua temuan penting dari riset ini yaitu:
a) Telah terjadi pemadaman listrik sebanyak 560-600 jam setiap bulan;
b) Masih minimnya akses perempuan terhadap informasi energi khususnya listrik.
Setelah pemaparan dari kelima narasumber, sesi diskusi dibuka untuk mempertajam materi yang sudah disampaikan. Dihadiri oleh sekitar 90 orang yang berasal dari berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Darma Wanita, dan lain sebagainya) serta berbagai elemen masyarakat (polisi serta anggota Koalisi Perempuan Indonesia ataupun perwakilan LSM yang bekerja di Halmahera Tengah), antusiasme peserta untuk menyampaikan pendapatnya sangat besar. Hal ini dapat terlihat dari jumlah peserta yang ingin bertanya ada hingga 20 orang.
Berikut ini adalah rangkuman dari sesi diskusi:
• Pada dasarnya pemerintah daerah mengakui bahwa ada keterbatasan pelayanan di sektor energi. Namun hal ini sebagai akibat dari letak geografis Halmahera Tengah serta keterbatasan anggaran yang mereka miliki. Hal ini pula yang membuat Halmahera Tengah masih sulit mengembangkan sumber energi terbarukannya sehingga pasokan listrik hingga saat ini masih bergantung pada diesel dan batubara.
• Peluang masyarakat terutama perempuan untuk ikut serta dalam perencanaan energi Halmahera Tengah terbuka lebar karena RUED Maluku Utara belum disahkan. Untuk ini, perempuan dapat terlibat aktif dalam advokasi kebijakan di tingkat desa.
energi, ataupun Solar Home Syestem/SHS). Namun tentu saja disadari bahwa pelatihan ini membutuhkan komitmen yang kuat serta pendanaan yang relatif besar.
• Meskipun begitu, seharusnya keterbatasan pendanaan tidak menjadi halangan ketika individu rumah tangga ingin menerapkan teknologi energi terbarukan. Dengan komitmen kuat dari masyarakat, sistem gotong royong, masyarakat dapat mewujudkan pemanfaatan teknologi energi terbarukan tepat guna.
• Secara umum, pemanfaatan energi terbarukan untuk listrik dapat dilakukan dengan tiga cara: 1) dimulai dari MUSREMBANGDES yang melakukan identifikasi potensi sumber energi terbarukan untuk listrik, kebutuhan atau permintaah listrik ada dimana saja dan seberapa banyak, lalu apa pasar yang akan terbentuk dari komoditas baru yang akan ada setelah listrik dipasang; 2) hitung berapa kira-kira pendanaan yang dibutuhkan; 3) lalu masukkan ke pemerintah nasional untuk meminta anggarannya (melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dimana Dinas ini dapat memasukkan ke pemerintah pusat dengan tagging pemberdayaan perempuan atau melalui Dana Alokasi Khusus untuk bidang energi terbarukan).