• Tidak ada hasil yang ditemukan

Media massa tradisional finish docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Media massa tradisional finish docx"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS PENGANTAR ILMU KOMUNIKASI

“MEDIA MASSA TRADISIONAL”

Nama : FADIAH QISTHINA FANDI

HARRIADI

Dosen : Drs. Sumardi

Ruang: 405

UNIVERSITAS NASIONAL

(2)

KATA PENGANTAR

Kegiatan pendidikan tinggi suka atu tidak dan terlepas dari segala etorika yang ada saat ini telah berkembang kearah sebuah industri jasa. Karnannya, kegiatan pendidikan tinggi juga bias diamati melalui kerangka analisis market stricture- market conduct – market performance. Dalam kerangka itu,kegiatan pendidikan tinggi termasuk kegiatan dan strategis yang di tempuh oleh institusi oleh pendidikan tinggi secara kolektif maupun individual.

Inti di balik itu semua, pendidikan tinggi ilmu komunikasi tidak bias lagi menempatkan industry media sebagai suatu lanskap yang “objektif” ia selalu merupakan suatu konstruksi sosoial yang di hasilkan melalui interaksi kuasa antar berbagi kepentingan.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 BAB II PEMBAHASAN 3

2.1 Ragam Media Massa Tradisional 3 2.2 Fungsi Media Tradisional 4

2.3 Keberadaan Media Tradisional 7 2.4 Alat – alat Media Tradisional 10

(4)

BAB I

1.1 Latar belakang masalah

Dongeng adalah salah satu media tradisional yang pernah popular di Indonesia. Pada masa silam, kesempatan untuk mendengarkan dongeng tersebut selalu ada, karena merupakan bagian dari kebudayaan lisan di Indonesia. Bagi para ibu mendongeng merupakan cara berkomunikasi dengan putra-putri mereka, terutama untuk menanamkan nilai-nilai sosial, yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Di berbagai daerah di Indonesia, media komunikasi tradisional tampil dalam berbagai bentuk dan sifat, sejalan dengan variasi kebudayaan yang ada di daerah-daerah itu. Misalnya, tudung sipulung (duduk bersama), ma’bulo sibatang (kumpul bersama dalam sebuah pondok bambu) di Sulawesi Selatan (Abdul Muis, 1984) dan selapanan (peringatan pada hari ke-35 kelahiran) di Jawa Tengah, boleh dikemukan sebagai beberapa contoh media tradisional di kedua daerah ini. Di samping itu, boleh juga ditunjukkan sebuah instrumen tradisional seperti kentongan yang masih banyak digunakan di Jawa. Instrumen ini dapat digunakan untuk

mengkomunikasikan pesan-pesan yang mengandung makna yang

(5)

Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Dalam pengertian yang lebih sempit, media ini sering juga disebut sebagai kesenian rakyat. Dalam hubungan ini Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988)

mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik.

Sejalan dengan definisi ini, maka media rakyat tampil dalam bentuk nyayian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat- yaitu semua kesenian rakyat apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan- yang diteruskan dari generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi, 1988).

1.2 Rumusan Masalah

Masalah pokok yang dibahas dalam makalah ini: 1. Fungsi Media Tradisional

2. Peran Media tradisional

BAB II 2.1 Ragam media massa tradisional

(6)

digali dari cerita-cerita rakyat dengan memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai bentuk folklor. Bentuk-bentuk folklor tersebut antara lain:

a. Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng);

b. Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah);

c. Puisi rakyat;

d. Nyayian rakyat;

e. Teater rakyat;

f. Gerak isyarat (memicingkan mata tanda cinta);

g. Alat pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan

h. Alat bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan lain-lain).

Ditinjau dari aktualitasinya, ada seni tradisional seperti wayang purwa, wayang golek, ludruk, kethoprak, dan sebagainya. Saat ini media

(7)

penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional wayang kulit yang disiarkan oleh oleh suatu televisi swasta.

2.2 Fungsi Media Tradisional

(8)

1. Sebagai sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi angan-angan atau impian rakyat jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish fulfilment) masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk stereotipe dongeng. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini hanya rekaan tentang angan-angan seorang gadis desa yang jujur, lugu, menerima apa adanya meskipun diperlakukan buruk oleh saudara dan ibu tirinya, namun pada akhirnya berhasil menikah dengan seorang raja, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.

2. Sebagai penguat adat. Cerita Nyi Roro Kidul di daerah Yogyakarta dapat menguatkan adat (bahkan kekuasaan) raja Mataram. Seseorang harus dihormati karena mempunyai kekuatan luar biasa yang ditunjukkan dari kemapuannya memperistri ”makhluk halus”. Rakyat tidak boleh menentang raja, sebaliknya rasa hormat rakyat pada pemimpinnya harus dipelihara. Cerita ini masih diyakini masyarakat, terlihat ketika masyarakat terlibat upacara labuhan (sesaji kepada makhluk halus) di Pantai Parang Kusumo.

3. Sebagai alat pendidik. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.

(9)

alat pemaksa dan pengendalian sosial terhadap norma dan nilai

masyarakat. Cerita ini menyindir kepada orang yang banyak bicara namun sedikit kerja.

Sifat kerakyatan bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada kebudayaan rakyat yang hidup di lingkungannya.

Pertunjukkan-pertunjukkan semacam ini biasanya sangat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan. Dalam penyajiannya, pertunjukkan iniini biasanya diiringi oleh musik daerah setempat (Direktorat Penerangan Rakyat, dalam Jahi, 1988).

Ranganath (1976), menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa khalayak, kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi baik pria ataupun wanita dari berbagai kelompok umur. Secara tradisional media ini dikenal sebagai pembawa tema. Disamping itu, ia memiliki potensi yang besar bagi komunikasi persuasif, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang segera. Ranganath juga memepercayai bahwa media tradisional dapat membawa pesan-pesan modern.

(10)

pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter, sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan dengan lebih baik daripada surat kabar yang bersifat elit, film, radio, dan televisi yang ada sekarang ini.

Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain mudah diterima, relevan dengan budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal,

memiliki unsur legitimasi, fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan yang dibawanya, komunikasi dua arah, dan sebagainya. Disssanayake (dalam Jahi,1988) menambahkan bahwa media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang mudah dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagaian dari populasi yang berada di luar jangkauan pengaruh media massa, dan yang

menuntut partisipasi aktif dalam proses komunikasi.

2.3 Keberadaan Media Tradisional

(11)

telah surut. Di Filipina, Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain karena:

1. Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop, radio, dan televisi.

2. Penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.

3. Semakin berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat pada pengembangan media tradisional ini, dan

4. Berubahnya selera generasi muda.

Di Indonesia, situasinya kurang lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan sandiwara rakyat yang masih hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya mengadakan pertunjukkan keliling di desa-desa, ternyata kurang mendapat penonton, setelah televisi masuk ke desa. Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional dan media modern menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai mengenal media hiburan modern seperti kaset video.

(12)

menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun semakin berkurang. Generasi baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini.

Surutnya media tradisional ini dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para peneliti komunikasi pada media tersebut. Schramm dan Robert (dalam Ragnarath, 1976) melaporkan bahwa antara tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian komunikasi yang diterbitkan dari masa

sebelumnya. Akan tetapi dalam laporan-laporan penelitian itu tidak terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat pada media tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut oleh negara dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang

populer saat itu, mendorong negara-negara tersebut untuk mengikuti juga pola komunikasi yang dianjurkan. Dalam periode itu kita menyaksikan bahwa tradisi lisan mulai digantikan oleh media yang berdasarkan teknologi. Sebagai akibatnya, komunikasi menjadi linear dan satu arah.

Untuk mempercepat laju pembangunan, banyak negara yang sedang berkembang di dunia ketiga menginvestasikan dana secara besdar-besaran pada pembangunan jaringan televisi, dan akhir-akhirnya pada komunikasi satelit (Wang dan Dissanayake, dalam Jahi, 1988). Mereka lupa bahwa investasi besar pada teknologi komunikasi itu, jika tidak diiringi oleh investasi yang cukup pada perangkat lunaknya, akan

(13)

kenyataan tidak lama setelah mereka mulai mengoperasikan perangkat keras media besar itu. Mereka segera mengalami kekuarangan program yang sesuai dengan dengan situasi dan kebutuhan domestik, dan juga mengalami kesulitan besar dalam pembuatan program-program lokal. Kesulitan ini timbul karena terbatasnya sumber daya manusiawi yang terlatih untuk membuat program-program lokal yang kualitasnya dapat diterima masyarakat dan besarnya biaya produksi.

Situasi ini mengakibatkan negara-negara dunia ketiga itu mengambil jalan pintas dengan jalan mengimpor banyak program berita maupun hiburan dari negara-negara maju. Keluhan yang timbul kemudian ialah bahwa isi program-program tersebut tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan domestik. Kecenderungan ini tentunya sangat berbahaya, karena dapat mengikis kebudayaan asli dan merangsang tumbuhnya konsumerisme yang kurang sesuai dengan perkembang di negeri itu.

Perhatian para peneliti komunikasi pada media tradisional, bangkit kembali setelah menyaksikan kegagalan media massa, dan kegagalan pembangunan di banyak negara dunia ketiga dalam dasawarsa 1960. media tradisonal secara pasti dan mantap mulai dikaji kembali pada dasawarsa 1960 di negara-negara sedang berkembang di Asia dan Afrika. Kemungkinan untuk memanfaatkan media ini secara resmi mulai

(14)

hanya bersifat pengembangan sosial dan ekonomi, tetapi juga kultural (Ranganath, 1976)

Kemudian Ranganath (1976) menunjukkan peristiwa-peristiwa internasional yang menaruh perhatian pada pengembangan dan pendayagunaan media tradisional bagi pembangunan. Salah satu di antaranya ialah seminar yang dilaksanakan oleh East West

Communication Institute di Hawai, yang menegaskan kembali bahwa strtegi komunikasi modern di negara-negara yang sedang berkembang akan mengalami kerugian besar, jika tidak didukung oleh media

tradisional.

2.4 Alat – alat komunikasi media tradisional

(15)

Kentongan sebagai alat komunikasi yang ada di masyarakat. Biasanya di gunakan untuk mengumunkan suatu berita atau peristiwa yang terjadi. Para penjaga malam sering menggunakan kentongan sebagai meda komunikasi ketika ada maling. Sehingga mendengar suara yang di keluarkan dari kentongan itu membuat masyarakat keluar rumah untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Informasi pasti tentang sejarah kentongan tidak di temukan dengan pasti, namun yang pasti bahwa kentongan ini di kenal sebagai alat komunikasi tradisional.

2. Daun Lontar dari sebuah pohon

Daun lontar adalah media atau sarana dalam menulis surat atau pesan kepada orang lain. Kertas belum ada, sehingga daun menjadi pilihan orang zaman dulu untuk menyampaikan pesan. Selain itu, Para raja zaman dulu, menggunakan daun lontar untuk menulis maklumat atau pengumuman kepada rakyatnya.

(16)

Teringat ketika sekolah dulu, dimana intruksi untuk masuk, keluar bermain atau istirahat, dan pulang terjadi ketika ada suara lonceng sekolah. Nah, selain sekolah, rumah ibadah seperti gereja juga menggunakan lonceng untuk informasi komunikasi tertentu kepada penganut agamanya.

4. Hewan yang bernama Merpati pos

Hewan yang bernama burung merpati mempunyai jasa kepada orang dulu. Bahwa untuk menyampaikan pesan jarak jauh banyak orang dulu menggunakan burung merpati sebagai alat komunikasi. Maka ada istilah merpati pos adalah untuk menjelaskan bahwa burung merpati berperan sebagai pengganti pak pos pengirim surat sebelum pas pos ada.

5. Telepon kaleng yang terhubung dengan benang

Kaleng yang di hubungkan dengan benang dan bisa mendegar suara

orang dengan jarak tertentu menjadi alat komunikasi tradisional juga.

Namun jarak yang di gunakan untuk berkomunikasi dengan alat tradisonal

ini tidak begitu jauh jaraknya, paling sekitar 5 sampai 10 meter.

(17)

Media surat masih tren sampai sekarang, namun orang dulu masih

menggunakan surat dengan cara menulis di kertas atau di daun. Dan

butuh waktu yang lama untuk sampai kepada penerimanya. Kadang bisa

sebulan atau lebih, semua di tentukan ketersediaan transportasi dan jarak

tempuh yang ada.

7. Terompet yang bisa menghasilkan suara

Walau setiap malam tahun baru masehi selalu banyak orang yang

menggunakan terompet, namun alat ini masih termasuk dalam alat

komunikasi tradisional. Sejarahnya sejak zaman bani israel sudah ada alat

ini.

Terompet hampir sama dengan lonceng, yakni sebagai media penyampai

informasi kepada masyarakat jika ada pesan penting. Mungkin terompet

adalah simbol dari Israel dan lonceng adalah simbol dari gereja.

8. Asap yang keluar dari api

Aneh tapi nyata. Memang sebagian oang dulu memakai asap sebagai alat komunikasi. Mungkin ini mistik atau gaib, namun ternyata memang efektif ketika dulu kala.

Untuk proses pembuatan asapnya penulis tidak tahu persis. Apakah asap di bakar lalu dibacakan mantra tertentu atau kayu di bakar dan

menghasilkan asap begitu saja.’

(18)

Sebagai menandakan tempat atau lokasi tertentu, zaman dulu membuat prassati sebagai tanda. Zaman dulu biasanya batu yang di jadikan tempat untuk menulis prasasti.

Nah sekaang ini prasasti masih di gunakan oleh kita. Tapi prasasti itu di tulis di atas batu keramik dan lebih rapi.

10. Telegraf

Telegraf adalah alat komunikasi yang menggunakan peralatan listrik untuk mengirimkan dan menerima sinyal sesuai dengan kode dalam bentuk pulsa listrik. Di dalamnya terdapat kabel-kabel tembaga yang berguna untuk mengirimkan sinyal jarak jauh.

11. Gong

Untuk meresmikan suatu acara biasanya gong di gunakan pada zaman

dulu dan sampai sekarang. Gong termasuk alat klasik yang masih di

lestarikan oleh masyarakat Indonesia. Ini terlihat dengan seringnya

pemerintah meresmikan acara dengan memukul gong.

12.Gamelan musik

Alat yang terkenal dari suku jawa ini, selain sebagai alat musik, di fungsikan juga sebagai alat komunikasi tradisonal. Biasa dalam acara tertentu tidak lengkap jika tidak ada lalat yang bernama gamelan.

(19)

Gendang juga berfungsi sebagai alat musik yang di gunakan sebagai alat komunikasi tradisional. Sama seperti gong, alat gendang ini masih ada dan selalu di gunakan untuk acara tertentu, seperti ada pertunjukan musik, maka gendang ikut berperan sebagal instrumen musik.

14.Terompet Keong

Terompet memang ada 2 jenis yaitu terompet biasa dan terompet keong. Kedua alat ini sama-sama di namakan terompet. Namun bentuknya yang membedakan. Alat terompet keong lebih mirip bentuknya seperti keong. Tapi untuk sekarang bisa di katakan sebagai barang yang langka.

15. Peluit

Alat ini di gunakan untuk menyampaikan pesan tertentu. Di olahraga banyak di gunakan oleh wasit. Seperti olahraga sepak bola, di mana seorang wasit akan membunyikan pluitnya untuk berkomunikasi dengan pemain bola.

16. Isyarat Tangan

Isyarat tangan masih banyak digunakan hingga saat ini. Isyarat tangan

sering digunakan untuk menyampaikan pesan rahasia yg hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu.

(20)

Bendera merupakan salah satu alat komunikasi yg banyak digunakan untuk mengendalikan pergerakan suatu kelompok atau kendaraan seperti mobil atau pesawat. Bendera adalah suatu tanda atau ciri khas yg

menandakan status suatu daerah.

18. Lampu (sandi Morse)

Didalam kesunyian, agar tidak mudah di ketahui musuh, pada masa peperangan dahulu juga banyak menggunakan lampu sebagai tanda atau penyampai pesan berupa sandi morse. Saat ini lampu juga sering

digunakan untuk mengendalikan arus lalu lintas agar seimbang.

19. Api Unggun

Api unggun adalah suatu alat komunikasi yg berguna sebagai pertanda berakhirnya suatu acara. Dengan suasana kebersamaan, api unggun membuat suasana menjadi semakin akrab

20. Anjing

Anjing merupakan suatu penjaga yg sangat signifikan dari zaman dahulu hingga sekarang, Anjing dapat menjadi penanda ketika ada orang asing yg datang. Zaman dahulu untuk menghindari musuh, ketika anjing

peliharaan mereka menggonggong mereka akan cepat bersembunyi agar tidak di temukan musuh.

(21)

Meskipun saat ini teknologi semakin canggih, namun sebagian

masyarakat tidak bisa meninggalkan media tradisional ini khususnya di pedesaan yang di gunakan sebagai sarana ronda malam. Ada

juga kentongan yang bentuknya cukup besar atau yang sering disebut ”bedug” digunakan oleh masyarakat sebagai penanda waktu sholat tiba.

22.Bel Terompet

Bel terompet merupakan alat komunikasi antara penjual dan pembeli. Ketika pedagang membunyikan bel sepeda, hal itu menandakan kedatangan penjual.

(22)

Media tradisional mempunyai nilai yang tinggi dalam sitem komunikasi karena memiliki posisi khusus dalam sistem suatu budaya. Kespesifikan tanda-tanda informasi yang dilontarkan dalam pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itu maupun konteks kejadian, mengakibatkan orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit menyadari, memahami, dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal, material, maupun musik yang ditampilkan (Compton, 1984).

Kesulitan tersebut berasal dari kerumitan untuk memahami tanda-tanda nonverbal yang ditampilkan, yang umumnya tidak kita sadari. Demikian juga dengan tidak memadainya latar belakang kita untuk memahami simbolisme religi dan mitologi yang hidup disuatu daerah, tempat pertunjukan tradisional itu terjadi.

Sebagian dari media rakyat ini, meskipun bersifat hiburan dapat juga membawa pesan-pesan pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena media tersebut juga menjalankan fungsi pendidikan pada khalayaknya. Oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada khalayak(warga masyarakat). Ia dapat juga menanamkan dan

mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah sosial (Budidhisantosa, dalam Amri Jahi 1988).

(23)

memadukan yang lama dan yang baru tidak selamanya dapat dilakukan dengan baik. Kadang-kadang hal semacam ini malah merusak media itu, sehingga kita harus waspada (Dissanayake, 1977). Masalah-masalah dihadapi dalam penggunaan seni pertunjukkan tradisional untuk maksud pembangunan, sebanrnya ialah bagaimana menjaga agar media tersebut tidak mengalami kerusakan. Oleh karena pertunjukkan tradisional ini memadukan berbagai unsur kesenian yang bernilai tinggi, yang menuntut kecanggihan maka dukungan seni sangat penting dalam medesain pesan-pesan pembangunan yang akan disampaikan (Siswoyo, dalam Amri Jahi 1988).

Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi dalam menyesuaikan penggunaan media tradisional bagi kepentingan pembangunan, riset menunjukkan bahwa hal itu masih mungkin dilakukan. Pesan-pesan pembangunan dapat disisipkan pada pertunjukkan-pertunjukkan yang mengandung percakapan, baik yang bersifat monolog maupun dialog, dan yang tidak secara kaku terikat pada alur cerita. Wayang misalnya, salah satu pertunjukkan tradisional yang terdapat di jawa, Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia, yang dapat dimanfaatkan sebagai media

penerangan pembangunan. Pertunjukkan biasanya menampilkan episode-episode cerita kepahlawanan Hindu seperti Ramayana dan Mahabarata. Pertunjukkan wayang biasanya disampaikan dalam bahasa daera

(24)

daripada sekedar hiburan. Mereka menganggap wayang sebagai

perwujudan moral, sikap, dan kehidupan mistik yang sakral. Pertunjukkan tersebut selalu menekankan perjuangan yang baik melawan yang buruk. Biasanya yang baik setelah mkelalui perjuangabn yang panjang dan melelahkan akan mendapat kemenangan. Disamping itu moralitas wayang mengajarkan juga cara memperoleh pengetahuan, kedamaian pikiran, dan sikap positif yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Episode-episode cerita wayang cukup ketat. Namun, pesan-pesan

pembangunan masih dapat disisipkan dalam dialog-dialog yang dilakukan. Banyak episode wayang yang dapat dipilih dan dipertunjukkan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Misalnya, untuk menumbuhkan semangat rakyat dalam perang kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, integrasi bangsa, dan sebagainya. Pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Departemen Penerangan menciptakan wayang suluh untuk melancarkan kampanye perjuangan. Mereka menampilkan tokoh-tokoh kontemporer seperti petani, kepala desa, pejuang, serdadu Belanda, Presiden Sukarno, dan sebagainya. Wayang suluh ini, pada dasarnya, menceritakan perjuangan para pemimpin dan rakyat Indonesia menuju Kemerdekaan.

(25)

Harus disadari, 80% penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dan hanya 20% yang tinggal di kota. Sayangnya, konsumsi media modern justru menunjukkan angka sebaliknya, 80% dikonsumsi oleh orang kota dan 20% sisanya oleh masyarakat desa. Ketidakimbangan mass media exposure di wilayah perdesaan ini tentu harus diimbangi dengan

ketersediaan media komunikasi lain yang dapat dengan tepat menyentuh hajat komunikasi orang desa. Dan tidak bisa tidak, dalam kondisi seperti ini, penggunaan media tradisional adalah sebuah keniscayaan.

Media massa modern memang sering dinilai lebih “unggul”, karena lebih cepat dan memiliki kemampuan menaklukkan ruang dan waktu. Akan tetapi media jenis ini tidak bisa diterapkan secara efektif di kalangan masyarakat perdesaan karena adanya kendala aksesibilitas. Media cetak seperti koran dan majalah misalnya, terkendala kemampuan masyarakat untuk berlangganan. Media elektronik radio dan televisi, belum

menjangkau seluruh wilayah perdesaan di Indonesia—selain memiliki sifat bawaan “selintas dengar/lihat” sehingga isinya mudah dilupakan publik. Sementara media baru yakni media online-interaktif, menghadapi kendala konektivitas karena biaya aksesnya relatif mahal dan ketersediaan

(26)

Oleh karena itu, dalam menyebaran informasi di perdesaan, media

modern harus dipergunakan secara terintegrasi dengan media tradisional. Dengan cara tersebut, kendala aksesibilitas yang muncul dalam

penggunaan media modern dapat tertutup oleh penggunaan media tradisional. Sebaliknya, sifat media tradisional yang “lambat” dan “lokal” dapat ditutup oleh media modern yang lebih “cepat” dan “global”.

Berdasarkan konsep starting from people, penyebaran informasi di perdesaan akan berjalan lebih efektif jika menggunakan media yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Media yang memenuhi karakteristik tersebut, tak lain dan tak bukan, adalah media tradisional. Berbagai macam kesenian tradisional yang berkembang dan didukung

keberadaannya oleh masyarakat, dalam hal ini dapat dipergunakan sebagai sarana pembantu penyebaran informasi yang cukup efektif.

(27)

Tantangan yang dihadapi dalam menghadirkan media tradisional adalah bagaimana menempatkannya di antara konstelasi proses mediasi

masyarakat. Hal ini penting, karena keberadaan media tradisional tidak dapat dilepaskan dari masyarakat/komunitas budaya pendukungnya. Tanpa adanya dukungan warga, keberadaan media tradisional tidak ada artinya.

Ciri dari setiap media tradisional adalah partisipasi warga, melalui

keterlibatan fisik atau psikis. Media tradisional tidak hanya sebagai obyek hiburan (spectacle) dalam fungsi pragmatis untuk kepentingan sesaat, tetapi dimaksudkan untuk memelihara keberadaan dan identitas suatu masyarakat. Budaya tradisional pada hakkatnya berfungsi dalam memelihara solidaritas suatu masyarakat budaya, karenanya bersifat eksklusif. Setiap masyarakat budaya memiliki mitos yang khas yang menjadi perekat kelompok/komunitas.

(28)

masyarakat budaya pendukungnya. Begitu pula pemanfaatan media tradisional sebagai wahana bagi isu-isu kontemporer bagi suatu masyarakat budaya pendukungnya, akan relevan manakala media tersebut sudah tidak lagi sebagai sumber mitos budaya tertentu.

Pertanyaan yang harus dijawab adalah, dalam konteks penyebaran informasi, sudahkah kesenian tradisional di Indonesia saat ini benar-benar diposisikan sebagai “media”, bukan sekadar sebagai spectacle?

Pertanyaan ini sangat penting, karena dalam banyak kasus, sulit menempatkan dua fungsi (hiburan dan media penyebaran informasi) secara berimbang. Jika kesenian tradisional terlalu dipaksakan untuk berfungsi sebagai media penyebaran informasi aktual, maka ia akan kehilangan karakteristik utamanya sebagai sumber mitos bagi

masyarakat. Sebaliknya, jika porsi hiburan terlalu banyak, maka fungsinya sebagai media penyebaran informasi dengan sendirinya akan menurun.

Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah, sudahkah media

(29)

semacam ini tentu kurang menguntungkan apabila ditinjau dari teori media, karena salah satu ciri dari media yang baik adalah kemampuannya menjangkau massa dalam jumlah besar.

Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana

mentrasformasikan media tradisional agar bisa menjadigeneral

(30)

BAB III

Kesimpulan

Berdasarkan infromasi yang penulis kumpulkan dan diolah dalam penelitian ini, penulis menyimpulkan beberapa poin yang sesuai dengan topik yang dibahas. Diantaranya :

1. Media masa memiliki sejarah panjang di Indonesia, dari awal diperkenalkannya media masa oleh belanda melalui VOC, penyiaran radio perdana pada zaman jepang, sampai jadinya media masa sebagai hal yang tabu di masa orde baru.

2. Sampai saat ini media masa diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu media masa tradisional seperti koran dan media masa modern seperti detik.com contohnya

3. Media masa memiliki beberapa fungsi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi penggunanya.

4. Tentunya media masa juga memiliki sisi positif dan negatif, contoh paling dekat yang bisa kita gunakan untuk sisi positifnya adalah pemberitaan secara terbuka, dan untuk yang negatifnya media masa bisa digunakan untuk pencitraan yang sedang marak akhir-akhir ini.

5. Dengan perkembangan teknologi seperti sekarang, media masa juga tentu terkena dampaknya dan harus menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang ada, sehingga saat ini kita dapat menjumpai banyak metode-metode media masa yang baru, seperti halnya berita dari twitter, kompasiana yang merupakan opini dan tulisan masyarakat, dan lain sebagainya.

(31)

Daftar Pustaka

 Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

 Amri Jahi, 1988, Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga, PT Gramedia, Jakarta

 Abdul Muis, 1984, Communicating New Ideas to Traditional Villagers: an Indonesian Case, Media Asia 11

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan kondisi lingkungan yang ditinjau dan dengan target angka kehandalan yang sama dengan angka kehandalan yang diperoleh dengan format desain API RP2A – LRFD, yaitu

This฀ chapter฀ covers฀ the฀ process฀ of฀ creating฀ content฀ –฀ the฀ content฀ pipeline฀ –฀ from฀ concept฀ by฀ creators฀ to฀ consumption฀ by฀

Hasil uji validasi menyatakan bahwa di arah Surabaya, hasil proses ortorektifikasi cukup untuk menyatakan diterimana hipotesa nol dan di arah Madura hasil proses

The calorific value of biomass briquette from waste leaves Pterocarpus indicus at various composition mixtures are shown in Table 2 and the summary of the results from calorific

Tabel tersebut menunjukkan secara rata-rata tanggapan responen berkisar antara 3,5 sampai 3,9 ini mendekati 4, jika dikaitkan dengan skala likert di atas, secara proporsional

Pada kelompok hipotesis 3 yang menguji masing-masing dimensi ekuitas merek dalam memediasi hubungan antara citra negara asal dan ekuitas merek menghasilkan simpulan

Kombinasi beban rencana yang digunakan untuk analisis Struktur Gedung Hotel Cempaka Kranggan mengacu pada peraturan Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung (SNI