• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN BERBASIS KUALITAS PENDIDIKAN S (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MANAJEMEN BERBASIS KUALITAS PENDIDIKAN S (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

(Oleh: Lastiko Runtuwene, S.Ag, M.Pd)

PENDAHULUAN

Dewasa ini upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh berbagai pihak dan pendekatan. Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building) untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh (E. Mulyasa, 2005:31).

Seiring dengan era otonomi dan proses demokrasi serta asa desentralisasi, pengembangan kualitas menuntut partisipasi dan pemberdayaan seluruh komponen pendidikan dan penerapan konsep pendidikan sebagai suatu sistem. Peningkatan mutu pendidikan dalam kerangka otonomi daerah merubah arah dan paradigma penyelenggaraan yang dulunya dengan pola sentralisasi ke arah pendidikan yang desentralisasi (H.A.R. Tilaar, 2004:31). Model penyelenggaraan pendidikian untuk mencapai mutu pendidikan yang sesuai dengan paradigma desentralisasi dewasa ini dalah konsep School Based Management - Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Dalam makalah ini akan diuraikan tentang gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) untuk meningkatkan mutu pendidikan, model-model MBS, dan peran masing-masing pihak dalam MBS.

1. MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN

KUALITAS PENDIDIKAN

1.1. Pengertian Kualitas Pendidikan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mutu adalah baik buruk suatu benda; kadar; taraf atau derajat misalnya kepandaian, kecerdasan dan sebagainya (Depdiknas, 2001:768). Secara umum kualitas atau mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau tersirat (Depdiknas, 2002:7). Dalam pengertian mutu mengandung makna derajat (tingkat keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa, baik yang tangible atau intangible. Mutu yang tangible artinya dapat diamati dan dilihat dalam bentuk kualitas suatu benda atau dalam bentuk kegiatan dan perilaku. Misalnya televisi yang bermutu karena mempunyai daya tahan (tidak cepat rusak), warna gambarnya jelas, suara terdengar bagus, dan suku cadangnya mudah didapat, perilaku yang menarik, dan sebagainya. Sedangkan mutu yang intagible adalah suatu kualitas yang tidak dapat secara langsung dilihat atau diamati, tetapi dapat dirasakan dan dialami, misalnya suasana disiplin, keakraban, kebersihan dan sebagainya (Suryosubroto, 2004:210).

(2)

2

dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Sedangkan mutu pendidikan dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil tes kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta dan Ebtanas). Dapat pula di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah-raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya computer, beragam jenis teknik, jasa dan sebagainya. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana, disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya (Suryosubroto, 2004: 210-211). UU RI No. 20 Tahun 2003, tentang SISDIKNAS melihat pendidikan dari segi proses dengan dengan merumuskan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.” (Fokusmedia, 2003:3).

Pengertian kualitas atau mutu dapat dilihat juga dari konsep secara absolut dan relatif (Edward & Sallis, 1993, dalam Nurkolis, 2003: 67; Daniel C. Kambey, 2004:10-12). Dalam konsep absolut sesuatu (barang) disebut berkualitas bila memenuhi standar tertinggi dan sempurna. Artinya, barang tersebut sudah tidak ada yang melebihi. Bila diterapkan dalam dunia pendidikan konsep kualitas absolut ini bersifat elitis karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang akan mampu menawarkan kualitas tertinggi kepada peserta didik dan hanya sedikit siswa yang akan mampu membayarnya.

Sedangkan dalam konsep relatif, kualitas berarti memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Oleh karena itu kualitas bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan sebagai alat ukur atas produk akhir dari standar yang ditentukan. Produk yang berkualitas adalah sesuai dengan tujuan (fit for their purpose). Definisi kualitas dalam konsep relatif memiliki dua aspek, yaitu dilihat dari sudut pandang produsen, maka kualitas adalah mengukur berdasarkan spesifikasi yang ditetapkan dan dari sudut pandang pelanggan maka kualitas untuk memenuhi tuntutan pelanggan (Edward Sallis, 1993, dalam Nurkolis 2003:68).

Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksudkan adalah dalam konsep relatif, terutama berhubungan erat dengan kepuasan pelanggan. Pelanggan pendidikan ada dua aspek, yaitu pelanggan internal dan eksternal. Pelanggan internal adalah kepala sekolah, guru dan staf kependidikan lainnya. Pelanggan eksternal ada tiga kelompok, yaitu pelanggan eksternal primer, pelanggan sekunder, dan pelanggan tersier. Pelangan eksternal primer adalah peserta didik. Pelanggan eksternal sekunder adalah orang tua dan para pemimpin pemerintahan. Pelanggan eksternal tersier adalah pasar kerja dan masyarakat luas ( Kamisa, 1997, dalam Nurkolis, 2003: 70 – 71; lih. juga Senduk J.E., 2006: 110).

Berdasarkan konsep relatif tentang kualitas, maka pendidikan yang berkualitas apabila:

a) Pelanggan internal berkembang baik fisik maupun psikis. Secara fisik antara mendapatkan imbalan finansial. Sedangkan secara psikis adalah bila mereka diberi kesempatan untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuan, bakat dan kreatifitasnya.

b) Pelanggan eksternal :

(3)

3

komunikator yang baik dalam bahasa nasional dan internasional, punya keterampilan teknologi untuk lapangan kerja dan kehidupan sehari-hari, siap secara kognitif untuk pekerjaan yang kompleks, pemecahan masalah dan penciptaan pengetahuan, dan menjadi warga Negara yang bertanggung-jawab secara sosial, politik dan budaya (Phillip Hallinger, 1998, dalam Nurkolis, 2003:71). Intinya para siswa menjadi manusia dewasa yang bertanggung-jawab akan hidupnya. (Kartini Kartono, 1997:11).

2. Eksternal sekunder (orang tua, para pemimpin pemerintahan dan perusahan): mendapatkan konstribusi dan sumbangan yang positif. Misalnya para lulusan dapat memenuhi harapan orang tua dan pemerintah dan pemimpin perusahan dalam hal menjalankan tugas-tugas dan pekerjaan yang diberikan.

3. Eksternal tersier (pasar kerja dan masyarakat luas) : para lulusan memiliki kompetensi dalam dunia kerja dan dalam pengembangan masyarakat sehingga mempengaruhi pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.

1.2. Kualitas Pendidikan yang Direncanakan

Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas tentunya dibutuhkan perencanaan program pendidikan yang baik. Dalam perencanaan pendidikan untuk mencapai pendidikan yang berkualitas perlu memperhatikan kondisi-kondisi yang mempengaruhi, strategi-strategi yang tepat, langkah-langkah perencanaan dan memiliki kriteria penilaian (Nurkolis, 2003:74-78).

Suksesnya perencanaan pendidikan diperlukan beberapa kondisi, yakni: 1) adanya komitmen politik, 2) perencana pendidikan harus tahu betul apa yang menjadi hak, tugas dan tanggung-jawabnya, 3) harus ada perbedaan yang tegas, antara area politis, teknis, dan administratif, 4) perhatian lebih besar diberikan pada penyebaran kekuasaan untuk membuat keputusan politis, 5) perhatian lebih besar diberikan pada pengembangan kebijakan dan prioritas pendidikan yang terarah, 6) tugas utama perencana pendidikan adalah pengembangan secara terarah dan memberikan alternative teknis sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik pendidikan, 7) harus mengurangi politisasi pengetahuan, 8) harus berusaha lebih besar untuk mengetahui opini publik terhadap perkembangan masa depan dan arah pendidikan, 9) administrator pendidikan harus lebih aktif mendorong perubahan-perubahan dalam perencanaan pendidikan, 10) ketika pemerintah tidak menguasai lagi semua aspek pendidikan maka harus lebih diupayakan kerja-sama yang saling menguntungkan antara pemerintah-swasta-universitas yang memegang otoritas pendidikan.

Dalam perencanaan pendidikan ada dua strategi penting, yaitu 1) penetapan target dan 2) penetapan prioritas. Menyangkut strategi yang kedua terdapat enam area kritis yang harus dipertimbangkan, yaitu pilihan antara tingkat pendidikan, pilihan antara kuantitas dan kualitas, pilihan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pengetahuan budaya, pilihan antara pendidikan formal dan pelatihan nonformal, pilihan tentang insentif serta pilihan tentang tujuan pendidikan.

Langkah-langkah dalam perencanaan pendidikan adalah kegiatan analisis keadaan sekarang, perkiraan keadaan yang akan datang, perumusan tujuan yang akan dicapai, analisis dan diagnosis, pengembangan alternatif, proses pengambilan keputusan, penentuan kebijakan, penentuan program dan prioritas, perhitungan anggaran, perumusan rencana, penyusunan rincian-rencana, evaluasi rencana dan revisi rencana.

(4)

4

implementasi kualitas program akademik, yaitu atraktif, bermanfaat, kongruen, berciri khusus, efektif, fungsional dan pertumbuhan siswa. Program pendidikan yang berkualitas apabila:

a. Menarik atau atraktif bagi pelanggan, dan responsif terhadap kebutuhan dan ketertarikan populasi khusus saat itu atau calon siswa.

b. Memperhatikan masalah, kebutuhan dan perhatian masyarakat serta bermanfaat bagi pelanggan.

c. Kongruen, artinya terdapat kesesuaian antara yang ditawarkan dengan kenyataan. d. Memiliki cirri khusus atau berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain

(distinctive).

e. Efektif, artinya hasil belajar yang dimaksud telah didefinisikan secara jelas dan pencapaian belajar didokumentasikan serta dikomunikasikan secara persuasif. Oleh karena itu perlu ada evaluasi untuk mengetahui hasil yang diharapkan sudah tercapai atau belum.

f. Fungsional, artinya memiliki kebebasan belajar dan menfokuskan pada pengalaman belajar yang akan mempersiapkan dan membantu peserta didik untuk mengembangkan intelektualitas, personal, pekerjaan atau keterampilan khusus, etika dan sikap yang akan bermanfaat dalam kehidupan.

g. Memperhatikan kebutuhan dan pertumbuhan peserta didik dalam segala aspeknya (kognitif, afektif, moral, sosial, fisik, dan dimensi-dimensi intrapersonal).

1.3. Strategi Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Kualitas pendidikan dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, seperti 1) meningkatkan ukuran prestasi akademik melalui ujian nasional atau ujian daerah yang menyangkut kompetensi dan pengetahuan, memperbaiki tes bakat (Scholastic Aptitude Test), sertifikasi kompetensi dan profil portofolio (portofolio profile), 2) membentuk kelompok sebaya untuk meningkatkan gairah pembelajaran melalui belajar secara kooperatif (cooperative learning), 3) menciptakan kesempatan belajar baru di sekolah dengan mengubah jam sekolah menjadi pusat belajar sepanjang hari dan tetap membuka sekolah pada jam-jam libur, 4) meningkatkan pemahaman dan penghargaan belajar melalui penguasaan materi (mastery learning) dan penghargaan atas pencapaian prestasi akademik, 5) membantu siswa memperoleh pekerjaan dengan menawarkan kursus-kursus yang berkaitan dengan keterampilan memperoleh pekerjaan, bertindak sebagai sumber kontak informal tenaga kerja, membimbing siswa menilai pekerjaan-pekerjaan, membimbing siswa membuat daftar riwayatr hidupnya dan mengembangkan portofolio pencarian pekerjaan (John Bishop, dlm Nurkolis, 2003: 78-79).

(5)

5

komitmen jangka panjang, 5) membutuhkan kerja-sama tim (team work), 6) memperbaiki proses secara berkesinambungan, 7) menyelenggarakan pendidikan dan latihan, 8) memberikan kebebasan yang terkendali, 9) memiliki kesatuan tujuan, dan 10) adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.

1.4. Manajemen Berbasis Sekolah sebagai alternatif Peningkatan Mutu Pendidikan

Dari penguraian tentang peningkatan kualitas pendidikan di atas kalau dicermati, nampak jelas pentingnya peranan sekolah sebagai pelaku dasar utama yang otonom, dan peranan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan. Aktifitas dan dinamika pendidikan termasuk di dalamnya soal kualitas pendidikan bukan pertama-tama ditentukan oleh pihak dari luar sekolah, melainkan oleh sekolah yang bersangkutan dalam interkasinya dengan para pelanggan. Sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal yang terdepan dengan berbagai keragaman, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah sebagai institusi yang otonom diberikan peluang untuk mengelolah dalam proses koordinastif untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. (Soebagio Atmodiwirio, 2000:5-6). Konsep pemikiran tersebut telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan yang berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan inilah yang dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (school based quality management/school based quality improvement) (Suryosubroto, 2004:204-205).

Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul dalam kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah. Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang saling tergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa-orang tua, siswa-dan masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi (Nurkolis, 2003: 81).

(6)

6

Model-model MBS yang dimaksudkan di sini adalah model-model MBS yang diterapkan di beberapa Negara. Selanjutnya dari studi tentang model-model MBS di beberapa negara akan diketengahkan tentang model MBS yang ideal. Model-model MBS yang diterapkan di beberapa negara semuanya mengarah pada satu titik, yaitu meningkatkan mutu sekolah dan pendidikan. Munculnya model MBS di tiap-tiap negara tak terlepas dari sejarah pendidikan negara tersebut. Mulanya terdapat kelemahan pada bidang tertentu yang kemudian difokuskan untuk ditingkatkan kinerjanya (Nurkolis, 2003: 86-111).

2.1. Model MBS di Hongkong

Di Hong Kong MBS disebut The School Management Initiative (SMI) atau manajemen sekolah inisiatif. Problem pendidikan di Hong Kong yang mendorong munculnya MBS adalah struktur dan proses manajemen yang tidak memadai, peran dan tanggung-jawab masing-masing pihak kurang dijabarkan secara jelas, tidak adanya atau tidak memadainya pengukuran kinerja, penekanan lebih pada pengawasan yang terinci daripada kerangka tanggung-jawab dan akuntabilitas, dan penekanan lebih pada control pembiayaan daripada efektifitas pembiayaan. Prinsip utama system MBS Hong Kong adalah telaah ulang (review) terus-menerus terhadap dasar pembelajaan anggaran pemerintah, perlunya evaluasi yang sistematis terhadap hasil, penegasan tanggung-jawab lebih baik, hubungan yang erat antara tanggung-jawab sumber daya dan tanggung-jawab manajemen, hubungan yang jelas antara pembuat kebijakan dengan agen-agen pelaksana (Nurkolis, 2003:87-88; Ibtisam Abu-Duhou, 2002:30-31).

Model MBS Hong Kong menekankan pentingnya inisiatif dari sumber daya di sekolah sebagai pengganti inisiatif dari atas yang selama itu diterapkan. Inisiatif yang diberikan kepada sekolah harus dibarengi dengan diterapkannya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan. Transparansi di sini juga menuntut kejelasan tugas dan tanggung-jawab masing-masing pihak yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan di sekolah. Tansparansi dan akuntabilitas tidak hanya dituntut dalam penggunaan anggaran belanja sekolah, tetapi juga dalam hal penentuan hasil belajar siswa serta pengukuran hasilnya (Nurkolis, 2003:88).

2.2. Model MBS di Kanada

Sebelum diterapkannya MBS di Kanada, kondisi awalnya adalah pengadaan pegawai sekolah semuanya diangkat dari pusat, pengadaan peralatan pembelajaran semuanya dari pusat, dan pelayanan pelanggan semuanya telah distandarkan dari pusat. Model MBS di Kanada disebut School-Site Decision Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. MBS di Kanada sudah dimulai sejak tahun 1970. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan dan pelayanan. Menurut Sungkowo (2002). Ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut: penentuan alokasi sumber daya ditentukan sekolah, anggaran pendidikan diberikan secara lumpsum, alokasi anggaran pendidikan tersebut dimasukkan ke dalam anggaran sekolah, adanya program efektivitas guru dan adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja (Nurkolis, 2003:89).

(7)

7

merangking tingkat kepuasan mereka dalam kaitannya dengan serangkaian isu-isu mengenai peran mreeka yang berbeda. Kemudian diumumkan secara terbuka. Data spesifik sekolah dan beberapa analisis perbandingan mengenai kinerja beberapa sekolah di suatu wilayah tersedia bagi sekolah-sekolah yang relevan dan atas permintaan, bagi para orang tua dan pihak lainnya (Caldwell dan Spinks, 1992, dalam Ibtisam Abu-Duhou, 2002:29-30).

2.3. Model MBS di Amerika Serikat

Sistem pendidikan di AS, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state) bertanggung-jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pemerintah daerah (district) hanya sebagai unit pembuatan kebijakan dan administrasi. Pemerintah federal memiliki peran yang terbatas bahkan semakin berkurang perannya, terutama hanya dibatasi terutama pada area khusus, yaitu dukungan pendanaan. Penerapan MBS di Amerika Serikat terjadi akibat adanya reformasi pendidikan yang terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi pada tahun 1970-an pada saat sekolah-sekolah di distrik menerapkan Side-Based Management (SBM). Gelombang pertama ditandai dengan adanya sentralisasi fungsi-fungsi pendidikan pada tingkat pusat, mencakup kurikulum dan ujian nasional. Gelombang kedua terjadi pada tahun 1980-an, dan MBS mulai diterapkan secara serius. Gelombang kedua terjadi dengan pengurangan keterlibatan pemerintah pusat dan pemerintah federal. Berbagai upaya baik individu dan organisasi mulai bergerak untuk menerapkan dan mengembangkan MBS dengan keyakinan bahwa penyerahan pengelolaan sumber daya ke tingkat sekolah akan membuat kemajuan. Hal ini karena sekolah dapat mengembangkan diversifikasi pendekatan dan strategi untuk mencapai tujuannya (Nurkolis 2003: 91; Ibtisam Abu-Duhou, 2002:40-49).

Menurut Wirt (1991), seperti yang dikutip oleh Ibtisam Abu-Duhou (2002:41-42), model MBS di Amerika Serikat walaupun ada perbedaan di negara-negara federal, ada dua ciri utama Reformasi pendidikan di Amerika Serikat sebagai implementasi dari MBS, yakni :

a. Desentralisasi administratif: kantor pusat Otoritas Pendidikan Lokal menunjuk tugas-tugas tertentu yang dilkasanakan oleh kepala sekolah dan guru di lingkungan sekolah. Kantor pusat menyerahkan kewenangan ke bawah, tetapi sekolah lokal masih bertanggung-jawab ke atas.

b. Manajemen berbasis setempat (lokal), suatu struktur yang memberi wewenang kepada para orangtua, guru dan kepala sekolah di masing-masing sekolah untuk menentukan prioritas, mengalokasikan anggaran, menentukan kurikulum, serta menggaji dan memberhentikan staf. Di sini kewenangan pembuatan keputusan adalah lokal, sedangkan tanggung-jawab tidak ditujukan ke atas, tetapi ke masyarakat yang dilayani sekolah.

Di samping dua ciri utama di atas, karakteristik MBS di Amerika Serikat nampak pula dengan adanya sekolah-sekolah khusus (semacam sekolah kejuruan). Inti dari sekolah khusus terdiri dari elemen-elemen berikut : pilihan pendidikan bagi para siswa, orang tua dan guru; sekolah khusus menganut serta mewujudkan proses demokrasi di sekolah umum; desentralisasi; keseimbangan otonomi dan akuntabilitas melalui sekolah khusus; dan sistem lebih digerakkan oleh pasar (Muholland, 1993, dalam Ibtisam Abu-Duhou, 2002:48-49).

(8)

8

Model MBS di Inggris disebut Grant Mainted School (GMS) atau Manajemen Dana Swakelola pada Tingkat Lokal. Ada enam perubahan struktural guna mefasilitasi pelaksanaan MBS di Inggris (Sungkowo, 2002 dalam Nurkolis, 2003:92-93; Ibtisam Abu-Duhou, 2002:34-35), yakni : 1) kurikulum nasional untuk mata pelajaran inti yang ditentukan oleh pemerintah (Whitehall); 2) ada ujian nasional bagi siswa kelas 7, 11,14 dan 16; 3) MBS dibentuk untuk mengembangkan otoritas pendidikan lokal agar dapat memperoleh dana bantuan dari pemerintah; 4) adanya pembentukan sekolah lanjutan teknik kejuruan; 5) kewenangan Inner London Education dilimpahkan kepada tigas belas otoritas pemerintah; 6) Skema manajemen sekolah lokal dibentuk dengan melibatkan beberapa pihak terkait, seperti : a) peran serta secara terbuka pada masing-masing sekolah dalam otoritas pendidikan lokal, b) alokasi sumber daya dirumuskan oleh masing-masing sekolah, c) ditentukan prioritas oleh masing-masing sekolah dalam membiayai kegiatannya, d) memberdayakan badan pengelola pada masing-masing sekolah dalam menentukan dana untuk guru dan staf, dan e) memberikan informasi kepada orang tua mengenai prestasi guru.

Di Inggris penerapan MBS dilindungi dan dikondisikan dengan adanya komitmen politik dengan adanya Undang-undang Pendidikan yang mengatur penetapan kurikulum, pelaksanaan ujian nasional, dan pengelolaan pendidikan yang melibatkan berbagai unsur masyarakat luas.

2.5. Model MBS di Australia

Di Australia lebih dari seratus tahun sampai awal tahun 1970-an pengelolaan pendidikan di atur oleh pemerintah pusat (sistem sentralistik). Terjadi perubahan pada awal tahun 1970-an dan berlanjut sampai tahun 1980-an, khususnya dalam hal pengelolaan dana dan desentralisasi administratif. Karakteristik MBS di Australia dapat dilihat dari aspek kewenangan sekolah yang meliputi : Pertama, menyusun dan mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Kedua, melakukan pengelolaan sekolah dapat dipilih di antara tiga kemungkinan, yaitu Standart Flexibility Option (SO), Enhanced Flexibility Option – 1 (EO 1), dan Enhanced Flexibility Option – 2 (EO 2). Ketiga, membuat perencanaan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan. Keempat, adanya akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS. Kelima, menjamin dan mengusahakan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan. Keenam, adanya fleksibilitas dalam penggunaan sumber daya sekolah (Nurkolis, 2003:95).

2.6. Model MBS di Prancis

Di Prancis, sebelum terjadi reformasi dalam pendidikan, sistem pengelolaan pendidikannya sangat sentralistik. Terjadi perubahan mendasar pada tahun 1982-1984, di mana otoritas lokal memiliki tanggung-jawab terhadap dukungan finansial. Kekuasaan badan pengelola sekolah menengah atas diperluas ke beberapa area. Masing-masing sekolah menerima anggaran secara lumpsum terhadap jam mengajar guru. Kepala sekolah menentukan jenis staf yang dibutuhkan untuk program-program khusus yang dilaksanakan sekolah (Nurkolis, 2003:96-97).

2.7. Model MBS di Nikaragua

(9)

9

(consenjos directivos). Pelaksanaan MBS di Nikaragua didasarkan pada teori yang berpendapat bahwa sekolah otonom (centros autonomos) harus dikelola secara mandiri yang diarahkan/ditekankan pada keterlibatan orang tua siswa. Selain itu, sekolah memiliki kemampuan untuk menarik sumber daya dari masyarakat lokal melalui biaya pendidikan (tuition fee) dan sumbangan tenaga. MBS sebagai bentuk desentralisasi pendidikan di Nikaragua menyangkut empat tahapan penting, yaitu desentralisasi kebijakan, perubahan organisasi sekolah, kondisi lokal dan sejarah organisasi, serta hasil yang diharapkan. Dewan sekolah memiliki otoritas legal yang luas untuk mengangkat dan memberhentikan staf, pimpinan sekolah, penyesuaian gaji, memantapkan dan menarik sumbangan pendidikan, pemilihan buku pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap para guru. Dewan sekolah juga memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dana, mengelola pendapatan sekolah, program pelatihan dan dalam hal kurikulum yang dianggap sesuai ((Nurkolis, 2003:99-100).

2.8. Model MBS di Selandia Baru

Di Selandia Baru sejak tahun 1970-an, perhatian masyarakat terhadap sekolah mulai berkembang. Pada tahun 1989 di setiap sekolah memiliki dewan sekolah yang mayoritas anggotanya terdiri dari orang tua siswa yang keanggotannya disetujui oleh menteri. Dewan sekolah inilah yang membuat kerangka kerja operasional sekolah. Lebih dari 90 % pembiayaan sekolah akan didesentralisasikan ke masing-masing sekolah yang kemudian disebut School-Based Budget (SBB). Staf akan disleksi dan diangkat oleh sekolah itu sendiri. Pada tahun 1989 dikeluarkan UU Pendidikan (Education Act), dan pada tahun 1990 sistem pendidikan dijalankan secara desentralistik. Di samping adanya dewan sekolah (komite sekolah ada juga dewan pendidikan provinsi yang memiliki tanggung-jawab untuk menentukan berbagai macam pekerjaan termasuk di antaranya pemilihan guru-guru dan menentukan alokasi anggaran sekolah (grand). Kerangka kerja kurikulum nasional msih akan berlakunamun masing-masing sekolah mengembangkan pendidikan khsusu kepada siswanya. Dukungan pendanaan di sekolah dijalankan dengan sistem quasi-free market di mana sekolah akan membuat perencanaan dan keleluasaan pengelolaan dana sekolah (Nurkolis, 2003: 100-1002, lih. Juga Ibtisam Abu-Duhou, 2002:37-40).

2.8. Model MBS di El Salvador

Model MBS di El Salvador disebut Community Mangred Schools Program (CMSP), kemudian lebih dikenal dengan nama akronim Spanyol EDUCO (Education con Participacion de la Comunidad). Maksud dari model ini untuk mendesentralisasikan pengelolaan sekolah negeri dengan cara meningkatkan keterlibatan orang tua di dalam tanggung-jawab menjalankan sekolah. Filosofi dari program EDUCO adalah pertama, bahwa orang-orang lokal dapat menjalankan sekolah di dalam komunitas mereka secara lebih efisien dan efektif daripada dijalankan oleh birokrasi yang sentralistik. Kedua, perlunya para orang tua tua siswa terlibat secara langsung di dalam pendidikan anak-anaknya. Faktor penggerak dari program ini adalah sebuah grup yang anggotanya dipilih dari orang tua siswa yang memiliki tanggung-jawab untuk pengadministrasian sekolah (lih. Nurkolis, 2003:103-104).

2.9. Model MBS di Madagaskar

(10)

10

pengontrolan pendidikan dasar (sekolah berbasis masyarakat) sejak tahun 1994. Implementasi MBS diarahkan di dalam kerangka kerja dengan melibatkan masyarakat desa tidak hanya untuk merehabilitasi,membangun dan memelihara sekolah-sekolah dasar, tetapi juga dilibatkan dalam pengelolaan dan pensupervisian sekolah dasar. Peran utama pemerintah adalah mengurangi ketidakadilan pendidikan, mendefinisikan standar dan mengembangkan kerangka kerja kebijakan dan penilaian pendidikan (lih. Nurkolis, 2003:105-107).

2.10. Model MBS di Indonesia

Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Nurkolis, 2003:107, lih. juga Depdiknas, 2002:3). MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu (Depdiknas, 2002:3-4).

Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik di mana warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Sehingga diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut : tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahawan yang tinggi, bertanggung-jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.

Tujuan MPMBS adalah memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan (Depdiknas,2002:4).

2.11. Model MBS yang Ideal

(11)

11

dua arah dalam empat hal tersebut. Alur dua arah memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara terus-menerus antara pemerintah daerah dengan sekolah dan sebaliknya (Nurkolis, 2003:110). Alur dua arah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Kekuasaan Infromasi Pengetahuan Penghargaan

Daerah Sekolah

Gagasan lain tentang MBS yang ideal adalah menerapkan pada keseluruhan aspek pendidikan melalui pendekatan sistem. Konsep ini didasarkan pada pendekatan manajemen sebagai suatu sistem (Daniel C. Kambey, 2003:23; Made Pidarta, 2004:23). Seperti model ideal yang dikembangkan oleh Slamet P.H terdiri dari output, proses dan input (Nurkolis, 2003: 111). Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah, yaitu pencapaian atau prestasi yang dihasilkan oleh proses sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitas, kualitas, produktivitas, efisiensi, inovasi, moral kerja. Proses sekolah adalah proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan belajar-mengajar. Input sekolah antara lain visi, misi, tujuan, sasaran, struktur organisasi, input manajemen, input sumber daya. Model MBS ideal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Kualitas dan inovasi

Input Proses Output Oucomes

Pengelolaan Efektivitas

Produktivitas Efisiensi Internal Efisiensi Eksternal

3. PERAN MASING-MASING PIHAK DALAM MBS

(12)

12 3.1. Peran Kantor Pendidikan Pusat dan Daerah

Peran dan fungsi Departemen Pendidikan di Indoensia di era otonomi daerah sesuai dengan PP No.25 thn 2000 menyebutkan bahwa tugas pemerintah pusat antara lain menetapkan standar kompetensi siswa dan warga, peraturan kurikulum nasional dan sistem penilaian hasil belajar, peneytapan pedoman pelaksanaan pendidikan, penetapan pedoman pembiayaan pedidikan, penetapan persyaratan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa, menjaga kelangsungan proses pendidikan yang bermutu, menjaga kesetaraan mutu antara daerah kabupaten/kota dan antra daerah provinsi agar tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga keberlangsungan pembentukan budi pekerti, semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme melalui program pendidikan.

Peran pemerintah daerah adalah menfasilitasi dan membantu staf sekolah atas tindakannya yang akan dilakukan sekolah, mengembangkan kinerja staf sekolah dan kinerja siswa dan seleksi karyawan. Dalam kaitannya dengan kurikulum, menspesifikasi tujuan, sasaran, dan hasil yang diharapkan dan kemudian memberikan kesempatan kepada sekolah menentukan metode untuk menghasilkan mutu pembelajaran.

Pemerintah kabupaten/kota menjalankan tugas dan fungsi : 1) memberikan pelayanan pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri dan swasta; 2) memberikan pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh aset atau sumber daya pendidikan yang meliputi tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku pelajaran, dana pendidikan dan sebagainya; 3) melaksanakan pebertugas mbinaan dan pengurusan atas tenaga pendidik yang bertugas pada satuan pendidikan. Selain itu dinas kab/kota bertugas sebagai evaluator dan inovator, motivator, standarisator, dan informan, delegator dan koordinator.

3.2. Peran Dewan Sekolah dan Pengawas Sekolah

Dewan sekolah (komite sekolah) memiliki peran: menetapkan kebijakan-kebijakan yang lebih luas, menyatukan dan memperjelas visi baik untuk pemerintah daerah dan sekolah itu sendiri, menentukan kebijakan sekolah, visi dan misi sekolah dengan mengacu kepada ketentuan nasional dan daerah, menganalisis kebijakan pendidikan, melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat, menyatukan seluruh komponen sekola.

Pengawas sekolah berperan sebagai fasilitator antara kebijakan pemda kepada masing-masing sekolah antara lain menjelaskan tujuan akademik dan anggarannya serta memberikan bantuan teknis ketika sekolah menghadapi masalah dalam menerjemahkan visi pemda. Mereka memberikan kesempatan untuk mengembangkan profesionalisme staf sekolah, melakukan eksperimen metode pengajaran, bertindak sebagai model dalam melaksanakan MBS dengan cara melakukannya sendiri dan menciptakan jalur komunikasi antara sekolah dan staf pemda.

3.3. Peran Kepala Sekolah

(13)

13

kependidikan, administrasi sekolah dan siswa. Kedua, sebagai manajer memahami dan mampu mengaplikasikan fungsi-fungsi manajerial (planning, organizing, actuating, dan controling (lih. juga Ernie T. Sule dan Kurniawan Saefullah, 2005:6). Ketiga, sebagai administrator bertugas, sebagai pengendali struktur organisasi (pelaporan dan kinerja sekolah), melaksanakan administrasi substantif (kurikulum, siswa, personalia, keuangan, sarana, humas dan administrasi umum). Keempat, sebagai supervisor (memberikan pembinaan atau bimbingan kepada para guru dan tenaga kependidikan). Kelima, sebagai leader (mampu menggerakkan orang lain agar melakukan kewajibannya secara sadar dan sukarela). Keenam, sebagai inovator (cermat dan cerdas melakukan pembaharuan-pembaharuan dan inovasi-inovasi baru). Ketujuh, sebagai motivator (memberikan semangat dan dorongan kepada para guru dan staf untuk bergairah dalam pekerjaan).

Di samping enam fungsi di atas Wohlstetter dan Mohrman mengatakan bahwa kepala sekolah adalah sebagai designer, motivator, fasilitator dan liasion. Sebagai designer membuat rencana dengan memberikan kesempatan untuk terciptanya diskusi-diskusi (secara demokratis) menyangkut isu-isu dan permasalahan di seputar sekolah dengan tim pengambil keputusan sekolah. Sebagai fasilitator mendorong proses pengembangan kemampuan seluruh staf dan mampu menyediakan dan mempergunakan semua sumber daya untuk pengembangan sekolah. Sebagai liasion atau penghubung sekolah dengan dunia di luar sekolah, membawa ide-ide baru dan hasil-hasil penelitian di sekolah dan mampu mengkomunikasikan kinerja dan hasil sekolah kepada stakeholder di luar sekolah (Nurkolis, 2003: 119-122). Dari fungsi-fungsi di atas E, Mulyasa (2005:97) menambahkan satu fungsi lagi, yakni sebagai educator (pendidik), yakni mampu memberikan pembinaan (mental, moral, fisik dan artistik) kepada para guru dan staf serta para siswa untuk

3.4. Peran Para Guru

Pedagogi reflektif menunjuk tanggung-jawab pokok pembentukan moral maupun intelektual dalam sekolah terletak pada para guru. Karena dengan dan melalui peran para guru hubungan personal autentik untuk penanaman nilai-nilai bagi para siswa berlangsung (Paul Suparno, dkk, 2002:61-62). Untuk itu guru yang profesional dalam kerangka pengembangan MBS perlu memiliki kompetensi antara lain kompetensi kepribadian (a.l. integritas, moral, etika dan etos kerja), kompetensi akademik (a.l. sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya dan belajar belajar) dan kompetensi kinerja (a.l. terampil dalam pengelolaan pembelajaran).

Pemberdayaan dan akuntabilitas para guru adalah syarat penting dalam MBS. Menurut Cheng (1996) peran para guru adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan, dan pengimplementasi program pengajaran (Nurkolis, 2003:123).

3.5. Peran Para Administrator

Cheng (1996) juga mengemukakan bahwa peran administrator sekolah dalam MBS adalah pengembang dan pemimpin dalam mencapai tujuan. Mereka

mengembangkan tujuan-tujuan baru untuk sekolah secara kontekstual dan memimpin warga sekolah untuk mencapai tujuan dan berkolaborasi dan terlibat penuh dalam fungsi-fungsi sekolah. Mereka memperbesar sumber-sumber daya untuk mempromosikan perkembangan sekolah (Nurkolis, 2003: 23).

(14)

14

Karakteristik yang paling menonjol dalam konsep MBS adalah pemberdayaan partisipasi para orang tua dan masyarakat. Peran orang tua dan masyarakat secara kelembagaan adalah dalam dewan sekolah atau komite sekolah. Filosofi yang menjadi landasan adalah bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah dalam keluarga (orang tua) dan masyarakat adalah pelanggan pendidikan yang perkembangannya dipengaruhi oleh kualitas para lulusan. Sekolah memiliki fungsi subsidier, fungsi primer pendidikan ada pada orang tua (Piet Go, 2000: 46). Untuk itu orang tua dan masyarakat perlu dilibatkan dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah.

Menurut Cheng (1989) ada dua bentuk pendekatan untuk mengajak orang tua dan masyarakat berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Pertama, pendekatan school-based dengan cara mengajak orang tua siswa datang ke skolah melalui pertemuan-pertemuan, konferensi, diskusi guru-orang tua dan mengunjungi anaknya yang sedang belajar di sekolah. Kedua, pendekatan home-based, yaitu orang tua membantu anaknya belajar di rumah bersama-sama dengan guru yang berkunjung ke rumah (Nurkolis, 2003:126).

Sedangkan peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol sosial dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan menjadi penggerak (menggerakkan masyarakat supaya berpartisipasi dalam pendidikan), menjadi informan dan penghubung (menginformasikan harapan dan kepentingan masyarakat kepada sekolah, dan menginformasikan sekolah kepada masyarakat), koordinator (mengkoordinasikan kepentingan sekolah dengan kebutuhan bisnis di lingkungan masyarakat, misalnya praktek, magang, dsb), pengusul (mengusulkan kepada pemerintah daerah agar ada kebijakan, mis. pajak pendanaan pendidikan).

PENUTUP

Dari uraian tentang peningkatan mutu pendidikan, model-model MBS dan peran masing-masing pihak dalam MBS, nampak jelas bahwa MBS sangat potensial untuk mendukung paradigma baru manajemen pendidikan dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu khususnya di Indonesia, konsep Manajemen Berbasis Sekolah, perlu mendapat tanggapan dan apresiasi yang antusias dan bijak dari semua pihak untuk kemajuan dunia pendidikan di Indonesia.

Beberapa simpulan yang dapat dikemukakan dari pembahasan makalah ini adalah 1. Konsep kualitas pendidikan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang :

a. Mutu pendidikan dapat dilihat dari segi proses dan hasil pendidikan. Proses pendidikan yang bermutu apabila seluruh komponen pendidikan terlibat dalam proses pendidikan itu sendiri. Sedangkan mutu pendidikan dari segi hasil pendidikan mengacu pada tingkat keberhasilan yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu dalam berbagai bidang (akademik, keterampilan dan suasana serta kondisi sekolah).

b. Mutu pendidikan juga dapat ditelaah dalam konsep relatif, terutama berhubungan erat dengan kepuasan pelanggan.

1) Pelanggan internal (kepala sekolah, guru dan staf kependidikan) berkembang baik fisik maupun psikis.

2) Pelanggan eksternal:

(15)

15

bertanggung-jawab akan hidupnya dan perkembangan masyarakat.

eksternal sekunder (orang tua, para pemimpin pemerintahan dan perusahan) mendapatkan konstribusi dan sumbangan yang positif (outcomes) dari output pendidikan.

eksternal tersier (pasar kerja dan masyarakat luas) memperoleh sumbangan dari output pendidikan sehingga masyarakat dapat berkembang.

2. Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas tentunya dibutuhkan perencanaan program pendidikan yang baik. Dalam perencanaan pendidikan untuk mencapai pendidikan yang berkualitas perlu memperhatikan kondisi-kondisi yang mempengaruhi, strategi-strategi yang tepat, langkah-langkah perencanaan dan memiliki kriteria penilaian.

3. Konsep yang dapat dipergunakan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan adalah Total Quality Management (TQM). TQM dalam pendidikan adalah pendekatan pengelolaan peningkatan mutu secara menyeluruh melalui upaya perbaikan terus-menerus dengan mempergunakan dan memberdayakan berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia.

4. Manajemen Berbasis Sekolah dapat menjadi alternatif peningkatan mutu pendidikan. Karena itu MBS sudah diterapkan di banyak negara. Apabila dicermati MBS yang diterapkan di berbagai negara, pada intinya adalah :

a. Adanya prinsip desentralisasi, yakni pelimpahan dan penyerahan wewenang kepada daerah dan sekolah untuk mengelola pendidikannya secara otonom dalam kerangka pengembangan pendidikan secara nasional.

b. Pemberdayaan semua sumber daya pendidikan (sekolah) dan semua pihak (stakeholder) pendidikan, terutama partisipasi orang tua dan masyarakat untuk mengembangkan pendidikan.

c. MBS diterapkan dengan maksud utama untuk peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan setiap negara.

5. Model MBS yang ideal adalah MBS dalam konsep sistem, yakni adanya pemberdayaan dan sinergi semua aspek pendidikan dan berbagai sumber daya pendidikan pada tingkat sekolah, secara efektif dan efisien dalam satu kesatuan yang utuh untuk mencapai produktifitas dan mutu pendidikan.

(16)

16

KEPUSTAKAAN

Abu-Duhou Abtisam, 2003, School-Based Management (Manajemen Berbasis Sekolah), UNESCO, Penerjemah : Noryamin Aini, Suparto, Penyunting ; Achmad Syahid, Abas Al-Jauhari, Jakarta : Logos.

Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Konsep Dasar, Jakarta : Ditjend Pendidikan Dasar dan Menengah, Ditjen SLTP.

___________________________, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Edward dan Sallis, 2004, Manajemen Kualitas Total Dalam Pendidikan (Total Quality Management in Education) penerjemah : Kambey Daniel C., Manado : Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Manado.

Kambey Daniel C., Landasan Teori Administrasi/Manajemen (Sebuah Intisari), Manado : Yayasan Tri Ganesha Nusantara.

Kartini Kartono, 1997, Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pradnya Paramita.

Mulyasa E., Menjadi Kepala Sekolah Profesional, dalam Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

_________, 2005, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, dan Implementasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Nurkolis, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Pidarta Made, 2004, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Rochaety Eti, Rahayuningsi Prima Gusti Yanti, 2005, Sistem Informasi Manajemen

Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara.

(17)

17

Soebagio Admodiwirio, 2000, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Ardadizyajaya. Suparno Paul, dkk, 2002, Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, Yogyakarta :

Kanisius.

Suryosubroto B., 2004, Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Tim Redaksi Fokusmedia, 2003, Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKDAS (sistem Pendidikan Nasional) 2003, Bandung: Fokusmedia.

Tilaar, H.A.R., 2004, Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Tisnawati E. Sulle dan Saefullah Kurniawan, 2005, Pengantar Manajemen, Jakarta : Prenada Media.

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memerlukan dukungan normatif agar dapat menjadi sarana peningkatan ekonomi kreatif, sehingga pencipta potensial memerlukan

[r]

Dari sudut pandang Islam, manusia dalam pendidikan tidak lain adalah manusia yang memerlukan tuntunan dan bimbingan hidup yang tepat melalui pendidikan,

MTR tidak memiliki izin impor dan untuk pemenuhan bahan baku industrinya sepenuhnya dari kayu dalam negeri (hutan hak) Kriteria 1.3.. Unit Usaha dalam bentuk kelompok

substitusi rangkaian listrik dari rangkaian ekivalen strip konduktor yang digunakan pada rangkaian VSWR meter yang ternyata mempunyai kesamaan dengan rangkaian ekivalen

Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh. Gelar Strata Satu

Permen merupakan sebuah produk yang dapat dibuat dengan mendidihkan campuran gula dan air bersama dengan bahan pewarna dan pemberi rasa sampai tercapai kadar

Hasil penelitian ini adalah bahwa strategi pemasaran jasa transportasi taksi Blue Bird yang teridiri dari produk jasa, harga, distribusi, promosi, orang, bukti fisik,