• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Identitas Etnis Bentuk Ikatan Pr

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Identitas Etnis Bentuk Ikatan Pr"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Paper Akhir Individu

POLITIK IDENTITAS ETNIS

SEBAGAI BENTUK DARI IKATAN PRIMORDIALISME

DALAM SISTEM POLITIK DI KALIMANTAN BARAT

Studi Kasus: Pemilihan Bupati Sintang Tahun 1994

Dosen Pengampu: 1. Prof. Dr. Yahya Muhaimin 2. Atin Prabandari, MA (IR)

Disusun guna memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah

Sistem Sosial Politik Indonesia

Disusun oleh:

Nama

: Yuli Yulianti

NIM

: 12/329927/SP/25204

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

Abstraksi

Ikatan-ikatan yang bersifat primordialisme telah lama berkembang dalam budaya politik Indonesia. Hingga kini, budaya politik yang satu ini sangat mengakar kuat dalam diri masyarakat Indonesia. Indikator-indikatornya terlihat begitu jelas, mulai dari sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, hingga perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hampir setiap pemilu yang diadakan di Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia memilih berdasarkan sifat-sifat primordialismenya, seperti asal daerah, ras, suku, dan agama yang dianut. Berdasarkan hal inilah, dalam makalah ini penulis ingin menelusuri bagaimana sifat-sifat primordialisme yang begitu mengakar kuat dan bertahan sebegitu lamanya dalam diri masyarakat Indonesia ini memengaruhi sistem politik yang ada.

Alasan penulis mengangkat ikatan primordialisme dalam makalahnya dikarenakan penulis memiliki keingintahuan apakah sifat-sifat primordialisme pada dasarnya merupakan suatu sifat alamiah ataukah terbentuk dari situasi-situasi tertentu. Sebagai contoh, penulis mengambil praktek politik identitas etnis dalam pemilihan Bupati Sintang, Kalimantan Barat, yang terjadi pada tahun 1994 sebagai studi kasusnya. Dalam studi kasus ini penulis juga ingin melihat sisi primordialisme yang terdapat dalam politik identitas etnis.

Penelitian yang akan dilakukan penulis yaitu dengan menggunakan sistem studi literatur dimana penulis lebih banyak menggunakan buku-buku sebagai sumber referensi dan dalam menganalisis permasalahan politik identitas etnis di Kalimantan Barat ini. Studi kasus yang diangkat akan dianalisis dengan landasan konseptual, yakni definisi ikatan primordialisme dan sistem politik, sehingga menghasilkan jawaban bagaimana politik identitas etnis di Kalimantan Barat yang merupakan bentuk dari ikatan primordialisme kemudian dapat memengaruhi sistem politik di daerah tersebut.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Politik adalah sebuah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan. Pada dasarnya membicarakan politik memang tidak akan bisa lepas dari kekuasaan. Bahkan dalam pendapat Lasswell, politik digambarkan sebagai urusan mengenai siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana (politic is who gets what, when, and how).1 What yang

dimaksud Lasswell di sini banyak diartikan oleh pengamat politik dengan kekuasaan, uang, ataupun seksualitas, yang kemudian kerap dikenal dengan istilah ‘tritunggal politik’.

Politik yang terlalu didominasi oleh tiga hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh berkembangnya budaya politik di Indonesia yang tidak sesuai dengan nilai maupun norma sosial dan politik. Budaya politik itu sendiri, menurut Gabriel Almond dan Sydney Verba, merupakan sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan sikap terhadap peranannya sebagai warga negara di dalam sistem politik tersebut.2

Dengan demikian budaya politik Indonesia merupakan cermin dari masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan merupakan dasar dalam pelaksanaan politik di Indonesia. Budaya yang tak lepas dari sistem politik di Indonesia salah satunya yaitu ikatan primordialisme.

Budaya politik yang dipengaruhi sifat-sifat primordialisme adalah budaya politik yang awalnya tidak begitu kentara dalam perpolitikan di Indonesia. Keberagaman suku, bangsa, ras, dan agama bukanlah perkara yang mengancam kesatuan nasional pada awal kemerdekaan. Semboyan bhineka tunggal ika (berbeda-beda namun satu tujuan) mampu menyatukan keberagaman itu menjadi satu, yaitu bangsa Indonesia. Namun sejak pertengahan tahun 1990-an pertentangan telah berkembang di antara dua kelompok etnis paling besar di Kalimantan, yaitu suku Dayak dan suku Melayu untuk memperebutkan kekuasaan melalui perebutan jabatan dalam pemerintahan.3

Pertentangan antar-etnis yang sarat akan sifat-sifat primordialisme kerap berujung pada kekerasan komunal. Misalnya kekerasan komunal antara suku Dayak dengan suku

1 A. Heywood, Political Theory: an Introduction, 3rd edn.,Palgrave Macmillan, New York, 2004, p. 60.

2 N. Sjamsuddin, ‘Aspek-Aspek Budaya Politik Indonesia’, dalam Alfian dan N. Sjamsuddin (eds.), Profil Budaya Politik Indonesia, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991, p. 21.

(4)

Madura yang pecah pada tahun 1997, 1999, dan 2001 dimana telah menimbulkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang tidak manusiawi.4 Namun

pertentangan antara suku Dayak dan suku Melayu yang terjadi jauh sebelumnya ini berbeda dengan pertentangan yang terjadi antara suku Dayak dan suku Madura. Dalam pertentangan ini, kedua belah pihak tidak menggunakan kekerasan komunal, melainkan menggunakan politik sebagai instrumen untuk menguasai satu sama lain. Itulah sebabnya fenomena ini disebut dengan politik identitas etnis.

Oleh karenanya penulis ingin memahami bagaimana politik identitas etnis ini berkembang dan memengaruhi sistem politik khususnya di Kalimantan Barat. Dengan mengetahui bagaimana politik ini berkembang dan memengaruhi sistem politik, maka akan dapat dilakukan langkah antisipasi agar kekerasan tidak terulang kembali di masa depan.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas, rumusan masalah yang hendak dibahas dalam makalah ini yaitu:

1. 2. 1. mengapa politik identitas etnis dikatakan sebagai bentuk dari budaya politik primordial?

1. 2. 2. bagaimana politik identitas etnis di Kalimantan Barat memengaruhi sistem politik di Kalimantan Barat?

1. 3 Landasan Konseptual

Dalam memaparkan makalah ini, penulis menggunakan landasan konseptual sebagai berikut:

1. 3. 1 Sistem Politik Menurut David Easton5

Menurut David Easton, sistem politik merupakan suatu sistem yang terdiri dari input, proses, output, dan umpan balik atau feedback. Input bisa berupa dukungan dan tuntutan. Input berfungsi sebagai pemberi bahan mentah atau informasi yang harus diproses di dalam sistem politik. Selanjutnya input

akan diolah lebih lanjut dalam tahapan proses oleh pejabat pemerintahan yang berwenang untuk menghasilkan suatu produk politik.

4 G. Van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, p. 90 – 91.

(5)

Produk politik inilah yang disebut dengan output dalam sistem politik.

Output dapat berwujud suatu keputusan atau kebijaksanaan politik yang nantinya akan diterapkan dan diimplementasikan oleh masyarakat. Keputusan atau kebijaksanaan politik dan penerapannya kelak akan mendapat reaksi maupun tanggapan dari masyarakat. Reaksi dan tanggapan ini merupakan bentuk dari umpan balik atau feedback yang dapat dimaknai sebagai sebuah evaluasi. Kemudian feedback yang muncul akan ditampung dan berikutnya akan dijadikan bagian dari input dalam tahapan sistem politik berikutnya dan begitu seterusnya. Secara sederhana, bagan sistem politik dapat digambarkan sebagai berikut:

1. 3. 2 Sifat Primordialisme dan Politik Identitas Etnis

Sikap primordialisme, menurut Clifford Geertz, adalah paham atau ikatan yang lebih kecil dari negara yang mengacu kepada sentimen kedaerahan dan biasanya didasari oleh adanya ikatan darah, kesatuan adat, logat, agama, bahkan common interest yang mengalir begitu saja dalam masyarakat secara natural dan menjadikannya daya tarik dari interaksi sosial.6 Geertz juga

berpendapat bahwa sikap-sikap primordial kedaerahan juga bisa lahir dari ketidakpuasan sekelompok orang terhadap negara dan dominasi kelompok lain (etnis, ras, suku, maupun komunitas bahasa) tertentu terhadap kelompok lain.

6 C. Geertz, Interpretation of Culture, Basic Books Inc. Publisehers, New York, 1973, p. 259-260.

(6)

Politik identitas etnis mengacu pada perpolitikan yang dilakukan oleh suatu kelompok etnis atau minoritas etnis.7 Politik ini juga merefleksikan kegagalan

pemerintah pusat dalam memenuhi kewajibannya terhadap semua kalangan termasuk kelompok minoritas.

Kedua teori ini akan digunakan oleh penulis untuk melihat sisi primordialisme pada praktek politik identitas etnis dan menganalisis bagaimana ikatan primordialisme memengaruhi sistem politik.

1. 4 Argumen Utama

Dalam makalah ini, penulis mengajukan argumen utama bahwa ikatan primordialisme memengaruhi proses pengambilan kebijakan dalam sistem politik di Kalimantan Barat. Ikatan primordialisme yang kerap menimbulkan kerusuhan dan konflik lebih terlembaga di Kalimantan Barat dengan adanya praktek politik identitas etnis yang dilakukan oleh para elit dari suku Dayak maupun suku Melayu. Politik ini merupakan bentuk budaya ikatan primordialisme yang lebih terbuka dan mendapat tempat dalam sistem politik setempat karena tidak dapat dihindari. Namun demikian politik identitas etnis terus dijaga dalam politik lokal kalimantan Barat dengan adanya

power sharing melalui pembentukan kabupaten etnis.

BAB II PEMBAHASAN

(7)

2. 1 Awal Mula Kebangkitan Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat8

Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat dimulai sejak pertengahan tahun 1990-an bertepat1990-an deng1990-an terjadinya pertent1990-ang1990-an dua kelompok etnis terbesar di Kalim1990-ant1990-an Barat, yaitu etnis Dayak dan etnis Melayu, dalam pengangkatan pejabat. Pejabat dengan posisi strategis oleh kedua suku ini diperebutkan dan ketegangannya meningkat seiring dengan berakhirnya masa Orde Baru dimana sering melibatkan gerakan masa yang terkadang disertai dengan kekerasan. Pada mulanya istilah suku Dayak digunakan untuk menyebut penduduk asli Kalimantan yang seiring perkembangannya sering mengalami marginalisasi dan diskriminasi selama kekuasaan Kesultanan Melayu dan penjajah Belanda.

Dalam Kesultanan Melayu misalnya, suku Dayak tidak dianggap sebagai bagian dari negeri sehingga tidak memiliki hak yang sama seperti penduduk pada umumnya. Suku Dayak tidak diperbolehkan berada dalam administrasi kesultanan dan dilecehkan secara sosial sehingga menyebabkan suku Dayak kesulitan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial di luar kelompok mereka, termasuk dalam hal menerima pendidikan. Hal inilah yang menyebabkan suku Dayak tidak turut serta dalam kegiatan politik sebelum zaman kemerdekaan karena saat penjajah Belanda berkuasa pun, suku Dayak masih diperlakukan secara marginal dan diskriminatif.

Namun kemudian keadaan berubah ketika Perang Dunia berakhir. Pemerintah NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di Kalimantan Barat dengan segera mendirikan Kantor Urusan Dayak pada awal tahun 1946. Kantor ini kemudian bergerak dalam emansipasi orang-orang dari suku Dayak dan menghapuskan segala praktik diskriminasi terhadap orang-orang suku Dayak. Tidak hanya itu, lembaga ini juga berperan dalam mendorong orang suku Dayak untuk mendapatkan pendidikan dan memfasilitasi mereka sehingga mereka dapat memperoleh kedudukan dalam birokrasi dan badan legislatif lokal. Dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang merupakan bentuk upaya pemerintah Belanda dalam menarik dukungan dari suku Dayak tersebut berimbas secara psikologi terhadap orang-orang suku Dayak dimana untuk pertama kalinya mereka duduk sejajar dengan wakil-wakil dari suku Melayu dalam pemerintahan.

(8)

Selain Kantor Urusan Dayak tersebut, aktor yang juga berperan penting dalam kemunculan dan kebangkitan politik identitas etnis di kalangan orang-orang suku Dayak yaitu Persatuan Dayak (PD). PD dapat dikatakan sebagai partai politik lokal yang didirikan tahun 1945 dan mengikuti pemilu tahun 1955 dan 1958. Keikutsertaan PD dalam pemilu tersebut berhasil memperoleh jumlah kursi yang cukup banyak di tingkat kabupaten dan provinsi. Selain itu juga salah satu dari mereka terpilih sebagai gubernur, empat orang lainnya terpilih sebagai bupati, dan beberapa berhasil duduk dalam DPD. Namun kemudian PD tidak lama kemudian mengalami kemunduran yang cukup signifikan yang disebabkan oleh perpecahan dalam tubuh partai politik serta adanya marginalisasi politik lokal di era Orde Baru.

Perpolitikan Melayu berbeda dengan perpolitikan orang Dayak. Perpolitikan Melayu tidak mengalami fase dramatis seperti yang dialami perpolitikan Dayak. Sejak awal orang Melayu memiliki pandangan politik yang terlebih dulu terintegrasi dalam politik nasional dan berorientasi ke Jakarta. Berbeda dengan perpolitikan Dayak yang membentuk partai lokal dan cenderung mendukung kebijakan federalis pemerintah Belanda kala itu. Sikap orang Dayak ini dikarenakan oleh asumsi mereka bahwa federalis pemerintah Belanda lebih memberikan perhatian kepada kemajuan suku Dayak daripada pemerintah pusat.

(9)

2. 2 Studi Kasus: Suku Dayak versus Suku Melayu dalam Pemilihan Bupati Sintang 19949

Keikutsertaan suku Dayak dimulai sejak pemilu tahun 1955. Namun kala itu suku melayu masih menanggapi dengan santai dan tidak mengganggap bergabungnya suku Dayak dalam politik lokal sebagai sebuah ancaman. Namun kemudian pertarungan politik antara keduanya mulai memuncak pada pemilihan Bupati Sintang tahun 1994.

Pada pemilihan Bupati Sintang, LH Kadir yang merupakan seorang birokrat Katolik Dayak menjadi kandidat terkuat karena mendapat dukungan dari pemerintah. Kadir didampingi oleh dua orang kandidat lain yang merupakan birokrat Melayu, yaitu Abdillah Kamarullah dan Abdul Hadi Karsoem. Kadir juga mendapat dukungan dari Golkar yang hampir 80% menguasai kursi anggota DPRD dan mendapat dukungan dari PDIP yang memiliki empat anggota dari suku Dayak. Namun ternyata pemilihan bupati pada bulan Februari 1994 itu mengeluarkan hasil yang berbeda dengan rencana biasanya. Kadir kalah 16 suara dari Kamarullah yang memperoleh 21 suara. Kemenangan Kamarullah ini disambut baik oleh warga suku Melayu, namun tidak terhadap suku Dayak.

Kejadian ini memperkuat keyakinan mereka bahwa mereka sengaja dipinggirkan dari jabatan penting dalam birokrasi. Persetujuan rezim yang diberikan kepada terpilihnya Kamarullah kemudian membangkitkan kemarahan orang-orang suku Dayak. Selain itu, menurut mereka tidak lazim bagi rezim untuk merayakan kekalahan kandidatnya sendiri.

Demonstrasi kemudian pecah di Sintang dan Pontianak, disusul dengan politikus suku Dayak yang mengancam akan keluar dari Golkar apabila Kamarullah tetap dilantik. Namun pelantikan tetap berlangsung meski diwarnai dengan berbagi interupsi. Ratusan orang Dayak melampiaskan amarah mereka dengan memblokir jalan utama antara Sanggau dan Ngabang, kemudian merusak mobil-mobil yang melintas. Kejadian ini merupakan kali pertama oposisi politik terbuka suku Dayak terhadap pemerintah Orde Baru, rezim yang berkuasa kala itu. Kejadian ini kemudian turut berkontribusi pada konflik dalam pemilihan kepala daerah-daerah sekitar berikutnya dan yang konflik lebih masif pada tahun 1996-1997.

2. 3 Analisis: Pengaruh Politik Identitas Etnis terhadap Sistem Politik di Indonesia

(10)

yang dilakukan oleh para elit etnis dalam memperebutkan kekuasaan,10 dalam kasus ini

posisi kepala daerah. Perebutan ini jelas mengutamakan ikatan (attachment) etnis. Ikatan etnis itu sendiri terwujud dalam sekumpulan orang dengan kelengkapan-kelengkapan primordialnya, seperti derajat, martabat, bahasa, adat istiadat, atau kepercayaan yang dibebankan atas setiap individu yang dilahirkan dalam kelompok tersebut.11 Ikatan

Berdasarkan data yang didapat penulis mengenai sejarah kebangkitan perpolitikan suku Dayak dari essay Taufiq Tanasaldy yang berjudul “Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat”,13 penulis berpendapat bahwa sifat-sifat primordialisme yang

terkandung dalam politik identitas etnis merupakan sifat yang terbentuk dari adanya situasi tertentu. Menurut Geertz, sifat primordialisme bisa lahir dari dominasi suatu lawan etnis, ras, komunitas bahasa tertentu.14 Begitu juga menurut Dahrendrof seperti

yang dikutip oleh Muhamad Sulhan, identitas itu muncul ketika kelompok superordinat berhadapan dengan kelompok subordinat dimana kekecewaan kelompok subordinat mulai tumbuh seiring dengan termarginalisasinya kelompok subordinat terhadap akses-akses strategis di dalam suatu sistem.15 Dalam hal ini suku Dayak pada mulanya

mengalami marginalisasi di bidang sosial dan politik sejak zaman penjajahan Belanda dimana suku Melayu mendapat tempat yang lebih superordinat. Dari sinilah muncul kesadaran di antara suku Dayak selaku kelompok subordinat untuk membangun dan menyepakati simbol-simbol bersama dan mengkristalkan sense of belonging atas in-group. Kemudian muncullah identitas bersama yang terus dipelihara bahkan diarahkan untuk menciptakan stereotipe akan kehebatan kelompok. Ketika suatu kelompok yang didasarkan pada ikatan (attachment) darah, etnis, ras, kesukuan, adat, bahasa, maupun agama ini mulai merasa bahwa kelompoknya lebih hebat dan superior, maka

ikatan-10 M. Haboddin, ‘Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal’, Jurnal Studi Pemerintahan, vol. 3, no. 1, Februari 2012, p. 112.

11 U. Abdillah, p. 75-76.

12 H. S. Nordholt (eds.), p.467.

13 Merupakan salah satu dari kumpulan essay yang terdapat dalam H. S. Nordholt (eds.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, p. 461-490.

14 C. Geertz, p. 258-259.

(11)

ikatan primordialisme mulai mengakar dalam kelompok tersebut sehingga menuntun mereka (suku Dayak) membentuk politik identitas etnis sebagai perwujudannya untuk melindungi identitas mereka.

Praktek politik identitas etnis terus berjalan hingga masa Orde Baru, meskipun tidak secara terangan-terangan. Semasa Orde Baru pemerintah berusaha mencegah terbentuknya kepemimpinan lokal. Hal ini disebabkan karena ketakutan rezim mengenai timbulnya gerakan separatisme yang mengancam kepemimpinan pusat. Cara yang dilakukan di antaranya dengan menempatkan orang-orang militer non-lokal untuk menjabat sebagai posisi kunci.16 Pemerintah juga melakukan intervensi kepada urusan

daerah. Keputusan-keputusan yang dirasa penting selalu diputuskan oleh pusat. Sistem pemilihan bupati misalnya, biasanya pemerintah pusat sudah terlebih dahulu menentukan bupati yang dikehendaki sebelum proses pemilihan dengan tujuan menjamin kepentingan pusat didahulukan dari kepentingan daerah. Ketidakpuasan warga suku Dayak terhadap negara yang menurut mereka tidak memberikan perhatian kepada suku Dayak dan malah memperburuk standar kehidupan mereka dengan mengubah hutan-hutan dan tanah adat menjadi daerah transmigrasi, perkebunan dan penebangan kayu, juga telah turut memperkuat sifat-sifat primordialisme dalam politik identitas etnis ini.

Dari kasus pemilihan Bupati Sintang 1994 di Kalimantan Barat, penulis menganalisis bahwa politik identitas etnis yang sarat akan ikatan primordialisme ini memengaruhi sistem politik yang ada di Kalimantan Barat. Hal ini dilihat dari tahapan dalam sistem politik menurut David Easton. Pertama, dilihat dari inputnya. Suku Dayak menuntut agar kandidat yang diangkat menjadi Bupati Sintang haruslah orang Dayak. Di dalam tuntutan ini sarat akan primordialisme karena mereka menganggap yang pantas menjadi pemimpin haruslah putra daerah. Mereka menentang keras bupati yang berasal dari suku lain, dalam hal ini kandidat lainnya berasal dari suku Melayu. Di sisi lain, pada saat itu berdasarkan prosedur yang berlaku dimana bupati terlebih dahulu ditentukan dan dimonitor oleh pusat, setuju untuk mendukung dan menjadikan LH Kadir, seorang birokrat Dayak, untuk menjadi bupati Sintang.

Kedua, dilihat dari proses yang berjalan. Dalam decision making process yang dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten Sintang, pemilihan yang dilaksanakan juga didasarkan pada ikatan primordialisme. Hal ini ditunjukan dengan perolehan suara Kamarrulah yang merupakan birokrat Melayu lebih tinggi daripada LH Kadir, yaitu 21 suara dimana LH Kadir hanya mendapatkan 16 suara. Hal ini tidak biasanya terjadi.

16 J. S. Davidson, ‘Menyelundupnya Reformasi Keluar dari Pelabuhan Pontianak’, dalam J. Schiller (ed.),

(12)

Biasanya keputusan yang dihasilkan dalam decision making process sama dengan ketentuan yang telah ditetap pusat. Terjadinya ketidaksesuaian hasil dengan rencana awal ini dikarenakan oleh orang-orang Melayu di DPRD yang membelot dan menolak untuk menjadikan birokrat Dayak menjadi bupati. Mereka juga menginginkan bupati yang berasal dari suku mereka sendiri yaitu suku Melayu. Tindakan elit Melayu dalam DPRD ini juga mengindikasikan sifat-sifat primordialisme.

Ketiga, dilihat dari output dan feedback yang diberikan masyarakat. Jika proses telah dipengaruhi oleh ikatan-ikatan primordialisme, maka dipastikan kebijakan yang akan dihasilkan akan sarat dengan ikatan primordialisme. Pengangkatan Kamarullah menjadi Bupati Sintang kemudian memunculkan feedback berupa demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh warga suku Dayak dengan memblokir jalan utama dan merusak mobil-mobil warga yang melintas. Demonstrasi ini merupakan bentuk feedback

yang sarat akan nilai-nilai primordialisme yang lebih keras.

Ikatan primordialisme pada dasarnya berdampak buruk pada demokratisasi yang dijalankan di Indonesia. Hal ini dikarenakan apabila pemilihan kepala daerah didasarkan pada sifat-sifat primordialisme maka tidak diragukan lagi, para pemilih akan menutup mata pada kredibilitas sang kandidat dan hanya melihat dari faktor etnis dan kesukuan sang kandidat semata. Hal lain yang lebih dikhawatirkan lagi yaitu apabila sifat primordialisme ini mulai menggunakan kekerasan sebagai alat untuk memengaruhi kebijakan pemerintah, seperti yang telah dilakukan oleh warga suku Dayak. Jika hal yang demikian terus terjadi maka akan mengancam kestabilan keamanan dan menimbulkan kerusuhan yang berdampak lebih luas pada sub-sistem lain maupun lingkungannya. Kekhawatiran ini didasari pada teori Gabriel A. Almond yang menyatakan bahwa sistem politik yang dikelilingi oleh lingkungan, baik lingkungann domestik maupun lingkungan internasional, dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh kedua lingkungan tersebut.17 Sehingga bukan tidak mungkin politik identitas etnis ini bisa membahayakan

kestabilan nasional dengan meluasnya konflik menjadi gerakan separatisme. Oleh karena itu langkah antisipasi diperlukan untuk mencegah pecahnya konflik yang disebabkan oleh ikatan primordialisme.

Pemerintah pasca-Orde Baru telah melakukan beberapa kebijakan untuk menciptakan politik identitas etnis yang damai. Oleh karena politik identitas etnis yang sulit untuk dihilangkan, maka pemerintah hanya bisa melakukan konsolidasi berupa kompromi etnis untuk mengurangi konflik kekerasan maupun kerusuhan yang

17 G. A. Almond, ‘Studi Perbandingan Sistem Politik’, dalam M. Mas’eod dan C. MacAndrews,

(13)

ditimbulkan dari politik tersebut. Konsolidasi yang dilakukan pemerintah yaitu dengan menciptakan kabupaten etnis. Pemekaran kabupaten ini dilakukan setahun setelah berakhirnya Orde Baru dengan menghasilkan dua kabupaten baru yaitu Bengkayang dan Landak. Kedua kabupaten ini memiliki populasi mayoritas suku Dayak dan dulunya merupakan bagian dari Kabupaten Sambas dan Pontianak. Selain itu, kecamatan-kecamatan yang memiliki populasi mayoritas suku Dayak juga dialihkan ke Kabupaten Landak, misalnya kecamatan-kecamatan seperti Mandor, Menjali, dan Mempawah Hulu yang awalnya berada dalam Kabupaten Pontianak.

Dengan terciptanya kabupaten etnis baru dimana Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak sebagai kabupaten suku Melayu, sedangkan Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Landak sebagai kabupaten suku Dayak, maka dalam hal ini telah terjadi power sharing di antara kedua etnis mayoritas di Kalimantan Barat.18

Kebijakan ini merupakan bentuk dari consociational democracy, kerangka konseptual Arend Lijpart dalam mengatasi rivalitas dan konflik di tengah menguatnya politik identitas etnis.19Powersharing di sini dilakukan dengan membagi kekuasaan khususnya

jabatan bupati untuk masing-masing etnis sehingga menghindarkan kedua suku untuk berkonflik. Sejauh ini kebijakan power sharing telah berhasil meredam konflik. Landak dan Bengkayang yang dulunya menjadi daerah rawan konflik pun kini sudah menjadi tenang.

BAB III PENUTUP

Dari pemaparan yang telah disampaikan dalam makalah ini, penulis mengambil beberapa simpulan. Pertama, praktek politik identitas etnis yang terjadi di Kalimantan Barat

18 T. Tanasaldy, ‘Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat’, dalam H. S. Nordholt (eds.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, p.478.

(14)

antara suku Dayak dan suku Melayu merupakan bentuk dari budaya politik primordialisme karena mengacu pada perpolitikan yang dilakukan para elit etnis dalam memperebutkan kekuasaan berdasarkan ikatan etnis. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa ikatan primordialisme yang terjadi di Kalimantan Barat kurang lebih telah terlembaga dalam bentuk politik identitas etnis yang lebih nyata karena mereka memiliki peranan dan memengaruhi lembaga legislatif setempat.

Kedua, ikatan primordialisme yang terkandung dalam politik identitas etnis ini telah memengaruhi sistem politik dimana pengambilan keputusan atau decision making process

yang terjadi dalam lembaga legislatif di Kalimantan Barat dipengaruhi oleh ikatan primordialisme, khususnya masalah etnis dan agama. Secara tidak langsung, hal ini akan memengaruhi kebijakan yang diambil pemerintahan serta implementasi kebijakannya. Masyarakat yang mengimplementasikan kebijakan ini pun akan turut menerapkan budaya politik primordial ini, sehingga budaya politik ini mengakar dalam masyarakatnya sendiri dan sulit dihilangkan.

Dan ketiga, dibutuhkan power sharing di antara kedua etnis mayoritas ini untuk mengurangi kerusuhan maupun konflik kekerasan yang akan merugikan banyak pihak.

Power sharing yang dilaksanakan dengan menciptakan kabupaten etnis oleh pemerintah pasca-Orde Baru ini telah berhasil meredam pecahnya konflik dan telah mengubah daerah Landak dan Bengkayang yang dulunya rawan konflik menjadi daerah yang tenang. Dengan demikian, ikatan primordialisme dalam politik identitas etnis ini akan terus memengaruhi sistem politik yang berjalan di Kalimantan Barat. Namun dengan upaya konsolidasi yang dilakukan, setidaknya budaya politik primordialisme di Kalimantan Barat telah dicegah agar tidak menimbulkan kerusuhan dan konflik kekerasan.

DAFTAR PUSTAKA

(15)

Haboddin, M. ‘Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal’, Jurnal Studi Pemerintahan,

vol. 3, no. 1, Februari 2012, p. 109-126.

Buku

Abdillah, U., Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Indonesiatera, Magelang, 2002.

Alfian dan Sjamsuddin, N. (eds.), Profil Budaya Politik Indonesia, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991.

Geertz, G., Interpretation of Culture, Basic Books Inc. Publisehers, New York, 1973.

Heywood, A., Political Theory: an Introduction, 3rd edn, Palgrave Macmillan, New York, 2004.

Mas’eod, M. dan MacAndrews, C. (eds.), Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006.

Nordholt, H. S. (eds.),. Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007. Schiller, J., Jalan Terjal Reformasi Lokal, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999. Sulhan, M., Dayak yang Menang Indonesia yang Malang: Representasi Identitas Etnik

Dayak di Media Masa, FISIPOL UGM, Yogayakarta, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah juga memperkirakan investasi otonom naik sebesar 50 % dan proporsi Investasi terhadap tingkat bunga tidak berubah maka tentukan berapa tingkat bunga yang dikehendaki

Untuk menyamakan jumlah responden antara kelompok kasus dan kontrol, 1 responden pada kelompok kehamilan normal juga dikeluarkan, sehingga jumlah sampel yang

In experiment 1, 96 subjects were evaluated: 20 first episode schizo- phrenia patients, [SCZ1] 20 chronic schizophrenia patients in acute exacerbation [SCZ2], 19 bipolar patients,

Twenty ®ve growing crossbred bulls ( Bos indicus Bos taurus ) were used in a randomised block design experiment for 196 days to determine the effect of grainless concentrate

STRUKTUR & BAHAN

Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan bentuk penggunaan lahan yang menjadi konflik antara orangutan ( Pongo abelii ) dengan masyarakat di desa sekitar

Untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas pariwisata Indonesia, diperlukan adanya akselerasi pengembangan destinasi pariwisata di daerah, untuk kemudian ditetapkan

Hasil penelitian yang dilakukan pada Pegawai Kantor Dinas Pemerintah Kabupaten Toba Samosir memperoleh data bahwa variabel Motivasi Kerja dan Kreatifitas Kerja