BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pendekatan Fungsionalisme Struktural
Pendekatan ini menekankan suatu keteraturan dan keseimbangan suatu
sistem dalam masyarakat. Dimana masyarakat merupakan suatu sistem sosial
yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan
saling menyatukan dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu
bagian memberi pengaruh pada satu bagian lainnya. Sehingga jika fungsional
maka struktur itu tidak akan ada bahkan menghilang dengan sendirinya (George
Ritzer, 2011: 21).
Suatu analisis fungsional terhadap keluarga menekankan hubungan antara
keluarga dan masyarakat luas, hubungan-hubungan internal di antara
subsistem-subsistem yang ada dalam keluarga dan atau hubungan di antara keluarga dan
kepribadian dari para anggota keluarga sebagai pribadi. Keluarga merupakan
fenomena yang universal. Dimana para individu anggota keluarga bertindak
sesuai dengan seperangkat norma dan nilai, yang telah disosialisasikan dalam cara
yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari sistem yang bersangkutan, di yakini
bahwa tindakan-tindakan yang independen jarang terjadi yang sifatnya adalah
asosial (T.O Ihromi, 1999 : 270).
Mengenai hubungan antar anggota keluarga, pendekatan fungsional
struktural lebih menyoroti pada peranan keluarga dalam proses sosialisasi yang
dialami oleh para anggota masyarakat. Dimana kelompok kekerabatan yang
dapat mengasuh anak-anak yang masih kecil sehingga akan dapat menjadi
anggota yang serasi untuk masyarakat luas (Parsons dan Bales dalam T.O Ihromi,
1999 : 271).
Proses sosialisasi pada masa kanak-kanak dapat digambarkan melalui
kerangka A-G-I-L yang diperkenalkan oleh Talcot Parsons dalam menganalisis
tindakan-tindakan sosial (T.O Ihromi,1999 : 37). Fase-fase proses sosialisasi
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Fase Laten merupakan fase dimana anak-anak belum merupakan kesatua
individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak sosial dengan
lingkungannya. Selain itu, lingkungan juga belum melihat anak sebagai
individu yang berdiri sendiri dan yang dapat mengadakan interaksi dengan
mereka.
2. Fase Adaptasi merupakan fase dimana anak mulai mengadakan
penyesuaian diri terhadap lingkungan sosialnya. Pada fase ini lah peran
orangtua menjadi sangat penting dan dominan, karena anak hanya akan
belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya. Hukuman
maupun penghargaan yang diberikan orangtua atas tingkah lakunya,
banyak memberikan pengertian kepada anak dalam belajar bagaimana
seharusnya mereka bertindak dalam kehidupannya.
3. Fase Pencapaian Tujuan merupakan fase dimana anak tidak hanya
menyesuaikan diri, tetapi sudah terarah pada maksud dan tujuan tertentu.
Ia akan cenderung mengukangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan
4. Fase Integrasi merupakan fase dimana anak sudah menjadi bagian dari
dirinya sendiri yang memang ingin dilakukannya sendiri. Norma dan nilai
yang ditanamkan oleh orangtuanya sudah menjadi anak atau katahi dari
anak, bukan lagi berasal dari luar diri anak.
Fokus lain dari pendekan ini adalah pengaruh timbal balik antara keluarga
dengan kepribadian. Dimana peranan masing-masing anggota keluarga baru dapat
memperoleh makna khususnya bila dikaitan dengan struktur keluarga tertentu.
Jadi keluarga membentuk jenis-jenis pribadi yang diinginkan maka dapat
melaksanakan fungsi-fungsinya, dimana dalam prosesnya, setiap warga
menyesuaikan kondisi-kondisi yang telah tercipta pada dirinya dimasa lampau
terhadap peranannya di masa kini.
2. 2 Struktur Sosial Masyarakat Jawa
Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan di bidang teknologi modern
telah mendatangkan kemajuan pada berbagai bidang kehidupan, salah satunya
kemajuan dalam bidang komunikasi. Majunya komunikasi berarti pula telah
membuka kesempatan yang lebih besar kepada anggota-anggota dari golongan
masyarakat, baik yang namanya suku, ras, maupun agama untuk berinteraksi dari
anggota-anggota masyarakat dari luar golongannya. Interaksi tersebut bukanlah
hal yang mustahil bila terlahir perkawinan antar suku, ras, bahkan antar agama
(Surbakti, 2009 dalam Deassy N.Y dkk).
Kemajuan dari berbagai aspek kehidupan menyebabkan terjadinya
interaksi masyarakat dari suatu golongan ke golongan lain, dimana interaksi ini
dapat pula berdampak pada terjadinya penikahan lintas agama. Fenomena
dihindari, terutama di kota-kota besar yang heterogen penduduknya, misalnya di
Pulau Jawa. Di pulau Jawa fenomena keluarga berbeda keyakinan ini tidak hanya
terjadi di kota-kota besar saja tetapi terjadi juga di desa-desa.
Masyarakat Jawa merupakan kelompok yang kental dengan kehidupan
religinya dan kebudayaan yang khas dan masih terjaga. Kekompleksitas
masyrakat Jawa ini sendiri telah menjadi kajian yang menarik oleh Clifford
Geerzt. Dimana Geerzt menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai
budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi
berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih
merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh
si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada
dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual
tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu
kelompok (Muhtadi Ridwan, 2010).
Pengamatan Geertz masyarakat Jawa merambah pada praktik hidup
penduduk setempat. Geertz juga mengambil penggolongan penduduk menurut
pandangan masyarakat jawa yang didasarkan pada kepercayaan, preferensi etnis
dan pandangan politik. Dia kemudian menemukan tiga inti struktur sosial yakni
desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan,
yakni abangan, santri dan priyayi. dimana secara ringkas tiga varian masyarakat
Jawa tersebut yaitu Abangan yang mewakili sikap menitikberatkan segi-segi
animisme sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan
dengan unsur-unsur petani di antara penduduk; Santri yang mewakili sikap
berhubungan dengan unsur pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur tertentu
di antara para petani); dan Priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi
Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi ( Muhtadi Ridwan, 2010).
Masyarakat suku jawa juga sangat kental dengan sistem kekerabatannya,
dimana sistem kekerabatan mereka bersifat billateral atau parental. Sistem
kekerabatan billateral ini artinya garis keturunan berasal dari bapak/ibu. Istilah-
istilah yang digunakan dalam sistem kekerabatan Jawa sebagai berikut:
1. Pakde dan Bude (uwa), yaitu semua kakak dari bapak dan ibu, baik
laki-laki maupun perempunan beserta suami dan istrinya.
2. Paklik (Paman) dan Bulik (bibi), yaitu semua adik dari ayah dan ibu,baik
laki-laki maupun perempuan beserta suami dan istrinya.
3. Nak Ndulur (Sepupu), yaitu anak dari pakde-bude dan paklik-bulik.
4. Misan, yaitu anak dari saudara sepupu.
Pada masyarakat Jawa, perkawinan dianggap ideal apabila diukur dari segi
keyakinan dan kesamaan adat yang menunjukan adanya pemilihan jodoh ideal.
Ukuran ideal bagi pria adalah perhitungan bibit, bebet, dan bobot. Sehingga
masyarakat Jawa memantangkan pernikahan sedarah. Maka perlu pertimbangan
yang sangat matang sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.
Melihat adanya struktur sosial dalam masyarakat Jawa yang terbagi menjadi
tiga varian ini dan kentalnya kebudayaan masyarakat Jawa ini, maka pada saat ini
dengan semakin meluasnya majunya zaman menjadi lebih modern kemungkinan
interaksi yang terjadi diantara golongan-golongan tersebut semakin nesar.
bisa saja terjadi. Begitu pula dengan peluang pernikahan berbeda keyakinan pada
golongan tersebut juga semakin besar.
2.3 Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok-kelompok manusia
(Gilin dan Gilin dalam Soerjono Soekanto, 2006: 55). Interaksi sosial tidak
terjadi jika tidak ada hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali
tidak memberikan pengaruh syaraf terhadap hubungan itu.Keberlangsungan suatu
interaksi sosial dipengaruhi oleh faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.
Faktor imitasi mendorong seseorang dalam mematuhi dan memahami
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Faktor sugesti berlangsung ketika
seseorang memberikan suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian
diterima oleh pihak lain, sehingga pemberian sugesti ini sebaiknya dilakukan oleh
seseorang yang memiliki bagian terbesar dalam suatu kelompok yang
berasangkutan. Identifikasi merupakan keinginan-keinginan dalam diri seseorang
untuk menjadi sama dengan yang lain, sehingga kepribadian seseorang dapat
terbentuk dalam proses ini. Proses simpati sebenarnya merupakan suatu proses
dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Pada proses ini perasaan
memegang peranan penting dalam memahami pihak lain dan bekerja sana
dengannya. Sehingga proses simpati akan berkembang di dalam suatu keadaan
Interaksi sosial akan terjadi jika adanya kontak sosial dan komunikasi
(Soerjono Soekanto, 2006 : 58). Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga
bentuk yaitu:
1. Antara orang-perorangan dimana kontak sosial yang terjadi pada
lingkungan keluarga yaitu pada proses sosialisasi.
2. Antara orang-perorangan dengan suatu kelompok manusia atau
sebaliknya dimana kontak sosial ini terjadi misalnya seseorang sedang
merasakan bahwa tindakan yang dilakukannya telah berlawanan dengan
norma-norma masyarakat.
3. Antara suatu kelompok manusia denga kelompok manusia lainnya, dimana
kontak sosial ini terjadi pada dua kelompok masyarakat yang saling
bekerjasama dalam suatu kompetisi untuk memperoleh suatu kemenangan
ataupun kekuasaan.
Komunikasi merupakan ketika seseorang memberikan suatu tafsiran pada
perilaku orang lain baik itu dalam berbentuk percakapan maupun sikap dan
perasaan-perasaan yang ingin di sampaikan oleh seseorang. Sehingga dengan
adanya komunikasi maka sikap dan perasaan seseorang atau kelompok dapat
diketahui dan dipahami oleh pihak lain. Dengan demikian, komunikasi dapat
memungkinkan seseorang atau kelompok melakukan kerjasama dengan kelompok
pihak lain, tetapi komuniksi juga tidak selalu menghasilkan kerjasama namun
dapat menghasilkan pertikaian jika terjadi kesalah pahaman.
Suatu proses belajar ataupun sosialisasi terjadi melalui interaksi yang
oleh orang tua atau nilai-nilai dimana orang yang menerima nilai-nilai tersebut
adalah anak. Hubungan yang terjadi di dalam keluarga biasanya dilakukan melalui
suatu kontak sosial dan komunikasi. Karena interaksi dapat diperoleh melalui
kontak sosial dan komunikasi. Sehingga interaksi dan komunikasi yang terjadi di
dalam keluarga akan saling mempengaruhi satu dengan yang lain dan saling
memberikan anggapan-anggapan yang berbeda satu sama lainnya. Melalui
interaksi maka akan terbentuk gambaran-gambaran tertentu sebagai hasil dari
komunikasi yang terjadi antara anak dan orangtua.
Keberhasilan sebuah proses sosialisasi tidak terlepas dari bagaimana
interaksi yang terjadi antara anak dan orangtua dalam keluarga, dimana interaksi
ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung yang berfungsi mengawasi
setiap kegiatan dan memberikan arahan-arahan kepada anak hingga menjadi
remaja. Dengan terjalinnya interaksi yang baik antara orangtua dan anak maka
proses sosialisasi akan berjalan dengan baik. Dalam hal ini maka terjadi
komunikasi interpersonal yang di lakukan antara anak dan orangtua ketika
sosialisasi terjadi.
Di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, hubungan antar pribadi
memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan masyarakat, terutama
ketika hubungan antar pribadi itu mampu memberikan dorongan kepada orang
tertentu yang berhubungan dengan perasaan, pemahaman informasi, dukungan,
dan berbagai bentuk komunikasi yang mempengaruhi citra diri orang serta
membantu orang untuk memahami harapan-harapan orang lain (Burhan
Bungin,2006: 260). Dalam proses sosialisasi dalam keluarga hubungan antara
komunikasi interpersonal antara orangtua dan anak di mana orangtua bertanggung
jawab dalam mendidik anak.
Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak di sini bersifat dua arah,
disertai dengan pemahaman bersama terhadap sesuatu hal di mana antara orang
tua dan anak berhak menyampaikan pendapat, pikiran, informasi atau nasehat.
Sehingga komunikasi interpersonal menjadi sangat penting karena prosesnya
memungkinkan berlangsungnya sebuah dialog. Dialog adalah bentuk komunikasi
interpersonal yang menunjukkan terjadinya interaksi.Pada proses sosialisasi
keluarga merupakan wadah dalam hubungan interpersonal antara orangtua dan
anak yang membawa suatu proses aktivitas transformasi nilai yang terkait dengan
perkembangan anak. Hubungan interpersonal muncul dalam bentuk komunikasi
keluarga antara orangtua dan anak. Hubungan interpersonal dalam keluarga
dikembangkan dalam tahapan hubungan interpersonal untuk mencapai tujuan
komunikasi keluarga.
2.4Keluarga Berbeda Keyakinan
2.4.1 Keluarga
Keluarga merupakan bentuk kelompok terkecil dalam masyarakat yang
sangat penting dalam pembentukan struktur sosial kemasyarakatan. Keluarga
memiliki sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan interpersonal,
dimana masing-masing anggota dalam keluarga dimungkinkan mempunyai
intensitas hubungan satu sama lain.
Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi pokok dimana menurut Vembriarto
dimana keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak dimana fungsi ini
merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat. Kedua, fungsi afeksi yang
tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dari
hubungan cinta kasih ini lahirlah hubungan persaudaraan, persahabatan,
kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan mengenai nilai-nilai yang menjadi
faktor penting bagi perkembangan kepribadian anak. Ketiga, Fungsi sosialisasi
yang menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak.
Melalui interaksi sosial dalam keluarga itu anak mempelajari pola-pola tingkah
laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka
perkembangan kepribadiannya.
2.4.2 Defenisi Keluarga Berbeda Keyakinan Agama
Pada hakikatnya, keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun
tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan bersama searah
dengan keturunannya yang merupakan suatu satuan yang khusus (Su’adah, 2005:
22). Maka dalam keluarga berbeda agama ini terdapat ikatan pernikahan,
kekerabatan, dan adopsi. Menurut Alden (Afny Hanindya, 2013) keluarga berbeda
keyakinan agama(Interfaith Family) merupakan sekelompok orang yang terkait
melalui hubungan (penikahan, adopsi, ataupun kelahiran) yang saling berbagi satu
sama lain serta para anggota keluarganya memiliki kepercayaan atau menganut
agama yang berbeda.
Keluarga berbeda keyakinan agama memiliki setidaknya dua keyakinan
dalam keluargatersebut, misalnya dalam keluarga tersebut ayah beragama Islam
keluarga tersebut, hal yang membedakan keluarga ini dengan keluarga pada
umumnya adalah ikatan pernikahan berbeda keyakinan (agama) yang disebut juga
interfaith marriage, mixed marriage, mixed faith marriage, atau interreligious
marriage (Robinson, 2005). Menurut Mandra & Artadi dalam Eoh (1996),
pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan
perbedaannya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa (Nine Is
Pratiwi : 5).
Menurut Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof.
Wahyono Darmabrata (Rosyida Widyaningrum, 2011) menjabarkan terdapat
empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya
dapat dilangsungkan yaitu sebagai berikut:
a. Meminta penetapan pengadilan.
b. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama. Perkawinan
menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain dari pasal 2
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pagi menikah sesuai
agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan.
c. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama, Penundukan diri
terhadap salah satu hukum agama mempelai lebih sering digunakan.
d. Menikah di luar negeri. Solusi terakhir adalah menikah di luar negeri.
Banyak artis yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan Australia untuk
melakukan perkawinan beda agama. Jika melakukan perkawinan di luar
mendapat akte dari negara itu, kemudian akte di bawa pulang untuk
dicatatkan saja. Artinya tidak memperoleh akte lagi dari negara.
Keluarga berbeda keyakinan merupakan keluarga yang dibangun dengan
pernikahan antar agama oleh pasangan suami dan istri. Dimana pernikahan antar
agama yaitu suatu ikatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang
memeluk agama dan kepercayaannya berbeda satu dengan yang lainnya.
Maksudnya adalah perkawinan pasangan yang berbeda agama dan masing-masing
tetap mempertahankan agama yang dianutnya.
2.5 Konsep Keluarga Bahagia Menurut Pandangan Sosiologi
Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk atas perkawinan yang
sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material yang layak dan
mempunyai hubungan serasi, seimbang dan selaras antar anggota keluarga serta
anggota keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Setelah keluarga
terbentuk, anggota keluarga yang ada di dalamnya memiliki tugas masing-masing.
Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang
disebut fungsi. Secara sosiologis, menurut Melly (1993), keluarga dituntut
berperan dan berfungsi untuk mencapai suatu masyarakat sejahtera yang dihuni
oleh individu (anggota keluarga) yang bahagia dan sejahtera. Fungsi keluarga
perlu diamati sebagai tugas yang harus diperankan oleh keluarga sebagai lembaga
sosial terkecil yang di akses pada
tanggal 10 Oktober 2013 pukul 7.35 WIB).
Di antara anggota keluarga tersebut, ayah, dan terutama ibu, menduduki
menjadi simbol disiplin dan kewibawaan serta keadilan. Figur yang paling
menentukan pribadi anak di kemudian hari adalah ibu. Ibu tetap menjadi obyek
lekat (attachment object) atau tambatan hati utama si anak.
Dalam keluarga yang berbeda keyakinan agama, tuntutan menjadi suatu
keluarga yang sejahtera dan bahagia menjadi sesuatu yang berat untuk
diwujudkan dibandingkan dengan keluarga pada umumnya. Konflik akan sering
terjadi ditengah perbedaan bentuk konflik dalam skala kecil seperti hanya
pertentangan antar orang yang bersifat pribadi. Dari kedua bentuk proses sosial
yang terjadi dalam sebuah keluarga beda agama adalah proses sosial yang
asosiatif yang terdiri dari kerjasama dan asimilasi. Kerjasama yang dimaksudkan
dalam hal ini adalah bagaimana seorang suami dan seorang istri yang berbeda
agama berusaha secara bersama- sama untuuk dapat mempertahankan
keluarganya agar dapat hidup harrmonis tanpa ada pertentangan meskipun ada
perbedaan namun mereka dapat saling menyesuaikan satu sama lain. Sementara
dalam proses sosial asimilasi dimana sang suami dan sang istri berusaha untuk
lebih meningkatkan sikap toleransi dalamm menjalankan kehidupan sehari- hari
sehingga benih- benih pertentangan dapat dicegah. Dengan demikian meski
berbeda keyakinan namun keluarga beda keyakinan dapat saling mmengerti dan
saling menyesuaikan satu sama lain sehingga dapat tercipta sebuah keluarga yang
serasi, selaras dan seimbang atau dengan kata lain harmonis (Sulvianty, 2012 :
ari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosyidah Widyaningrum (2011)
menemukan beberapa faktor yang menjadikan keluarga beda agama ini dapat
hidup harmonis dalam menjalani kehidupan berumah tangga diantaranya:
a. Rasa saling menyayangi antar anggota keluarga.
b. Adanya komunikasi yang sehat antar anggota kelompok sehingga semua
masalah dapat diselesaikan dengan baik.
c. Saling menghormati dan memberikan kebebasan dalam beribadah, bahkan
mendukung pasangannya untuk beribadah maka keharmonisan hidup
berumah tangga akan terwujud.
d. Ekonomi yang cukup juga menjadi salah satu faktor keharmonisan rumah
tangga beda agama ini, beberapa keluarga mengaku takut berpisah dengan
alasan tidak ada jaminan kesejahteraan jika ia memutuskan untuk berpisah.
e. Hadirnya anak adalah faktor yang menjadi dasar bagi sebagian keluarga
beda agama tetap mempertahankan kebersamaan mereka.
Sehingga untuk dapat memenuhi faktor-faktor tersebut proses sosial yang
terjadi dalam keluarga tersebut harus berjalan dengan baik. dimana proses sosial
yang dimaksud adalah proses asimilasi dan kerjasama yang terjadi antara anggota
keluarga terutama ayah dan ibu.
2.6 Pola Asuh
Pengasuhan anak adalah bagian dari proses sosialisasi yang paling penting
dan mendasar, karena cara pengasuhan anak berfungsi untuk mempersiapkan anak
untuk menjadi warga masyarakat. Pengasuhana berasal dari kata asuh ( to ear)
Wagne dan Funk dalam IPNB (1993 : 2) menyebutkan bahwa mengasuh itu
meliputi menjaga serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan kearah
kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster (IPNB, 1993: 2) yang
intinya bahwa mengasuh itu bimbingan menuju ke pertumbuhan ke arah
kedewasaan dengan memberikan pendidikan, makanan, dan sebagainya terhadap
mereka yang di asuh. Dengan demikian pengasuhan anak yang merupakan bagian
dari sosialisasi pada dasarnya berfungsi untuk mempertahankan kebudayaan
dalam suatu masyarakat tertentu.
Menurut Whiting dan Child dalam IPNB (1993 :2) dalam proses
pengasuhan anak harus diperhatikan yaitu orang-orang yang mengasuh dan
cara-cara penerapan larangan dan keharusan yang dipergunakan. Menurut mereka cara-cara
menerapkan larangan maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka
ragam. Tetapi pada prinsipnya cara pengasuhan anak ini setidak-tidaknya
mengandung sifat pengajaran (instructing), pengganjaran (rewarding), dan
pembujukan (inciting).
Pengasuhan anak tidak akan sama bentuknya di setiap keluarga dan setiap
suku. Pola pengasuhan ini sangat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan yang
didukung pula oleh faktor pendidikan, faktor stratifikasi sosial, faktor ekonomi,
dan faktor kebiasaan hidup orangtua dalam keluarga tersebut. Selain itu faktor
lingkungan misalnya tempat tinggal ataupun sistem kekerabatan pada suatu
masayarakat sekitarnya juga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang
Dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan langsung
dengan anak adalah orangtua. Pertumbuhan seorang anak berada dibawah asuhan
dan perawatan orangtua. Hal ini lah yang menyebabkan orangtua merupakan dasar
pertama bagi pembentukan kepribadian anak. Melalui orangtua, anak akan
beradaptasi dengan lingkungannya dalam proses pengenalan lingkungan
sekitarnya. Menurut Lembaga Riset Psikologi UI dalam IPNB (1990 : 1) dasar
pengembangan seorang anak telah diletakkan di tangan orangtua melalui
pengasuhan anak sejak anak itu memulai kehidupannya sebagai mahkluk sosial.
Masa anak-anak merupakan sangat penting dalam pembentukan karakter seorang
individu, karena pada masa ini orangtua akan menanamkan norma, nilai,
kebiasaan, sifat-sifat, dan aturan-aturan yang berlaku yang akan mempentuk pola
tingkah laku yang diharapkan masyarkat.
Secara teoritis menurut Baumrind dalam Fatchiah (2009 : 85) pola
pengasuhan anak terdiri dari tiga bentuk yaitu:
1. Pola Asuh Otoriter
Dalam pengasuhan otoriter ini orang tua memiliki kaidah-kaidah dalam
peraturan-peraturan yang kaku dalam mengasuh anaknya. Pola
pengasuhan ini identik dengan hukuman dan tingkah laku anak akan
dikekang secara kaku dan dan tidak ada kebebasan berbuat kecuali
perbuatan yang sudah di tetapkan oleh peraturan. Dengan demikian anak
tidak memperoleh kesempatan untuk mengendalikan
perbutan-perbuatannya. Perilaku orangtua dalam berinteraksi dengan anak
bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap
menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan dibalik aturan tersebut, serta
cenderung mengekang keinginan anaknya. Pola asuh otoriter dapat
berdampak buruk pada anak, yaitu anak merasa tidak bahagia, ketakutan,
tidak terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu tegang,
cenderung ragu, tidak mampu menyelesaikan masalah (kemampuan
problem solving-nya buruk), kemampuan komunikasinya buruk serta
mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari orangtua. Anak
menjadi tidak disiplin dan nakal, pola asuh seperti ini anak diharuskan
untuk berdisiplin karena keputusan dan peraturan ada ditangan orangtua.
2. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak dan
kewajiban orangtua dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi,
anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri
agar dapat berdiplin. Orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis
banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk berbuat keputusan
secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung anak untuk
memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan sedikit
menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Orangtua
menggunakan diskusi, penjelasan, dan alasan-alasan yang membantu anak
agar mengerti mengapa ia diminta untuk mematuhi semua aturan.
Orangtua lebih menekankan aspek penididikan ketimbang aspek hukuman.
Hukuman hanya diberikan ketika anak-anak menolak perbuatan yang
harus dilakukan secara sengaja namun tidak menggunakan kekerasan dan
laksanakan maka anak tersebut akan memperoleh pujian dari orangtua.
Orangtua demokratis adalah orangtua yang berusaha untuk menumbuhkan
kontrol dari dalam diri sendiri. Pola asuh demokratis dihubungkan dengan
tingkah laku anak-anak yang memperlihatkan emosional positif, sosial,
dan pengembangan kognitif.
3. Pola Asuh Permisif
Orangtua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku
anak, dan tidak memberikan hukuman kepada anak. Pola ini ditandai oleh
sikap orangtua yang membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri
tata cara yang memberikan batasan-batasan dari tingkah lakunya. Pada
saat terjadi hal yang berlebihan barulah orangtua bertindak . Pada pola
asuh ini pengawasan menjadi sangat longgar.
Orangtua belum tentu menggunakan satu pola asuh saja, ada
kemungkinan menggunakan tiga pola asuh tersebut sekaligus atau pun secara
bergantian. Penentuan penggunaan pola asuh ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu (So’adah 2005: 56):
1. Kenyamanan diri orangtua terhadap pola asuh itu sendiri. Artinya orangtua
akan mengevaluasi pola asuh yang diterapkan oleh orangtua mereka
sewaktu mengasuh mereka. Jika pola asuh yang diterima orangtua saat ia
kecil dianggap benar maka pola asuh yang sama akan diterapkan kepada
anak-anaknya dan sebaliknya, jika pola asuh tersebut dianggap salah maka
orangtua akan menggati pola asuh yang akan diterapkan.
2. Dipengaruhi oleh apa yang dianggap baik oleh masyarakat sekitar dari
3. Usia orangtua juga mempengaruhi pemilihan pola asuh ini, dimana
orangtua yang yang berusia masih muda cenderung menerapkan pola asuh
yang demokratis atau permisif dibandingkan dengan mereka yang sudah
lanjut usia.
4. Mengikuti kursus persiapan perkawinan atau kursus pemeliharaan anak
memberikan pengaruh terhadap pemilihan pola asuh terhadap anak, karena
orangtua akan lebih memahami apa yang dibutuhkan oleh anak sehingga
mereka cenderung memilih pola asuh demokratis.
5. Jenis kelamin orangtua yaitu wanita lebih mengerti tentang anak oleh
karena itu lebih demokratis dibandingkan dengan pria.
6. Status sosial ekonomi yang mempengaruhi orangtua dalam menggunakan
pola sosialisasi mereka bagi anak-anaknya.
7. Konsep peranan orangtua, dimana orangtua yang tradisional cenderung
lebih menggunakan pola asuh yang otoriter dibandingkan dengan orangtua
yang lebih modern.
8. Pada dasarnya orangtua berkemungkinan membedakan pola asuh antara
anak perempuan dan anak laki-laki.
9. Usia anak juga mempengaruhi pola asuh orangtua, sehingga pola asuh
otoriter sering diterapkan ketika anak masih kecil karena mereka belum
mengerti secara pasti mana yang baik dan mana yang buruk.
10.Kondisi anak, dimana bagi anak-anak yang agresif, lebih baik
menggunakan pola asuh yang otoriter, sedangkan anak-anak yang mudah
merasa takut dan cemas lebih tepat menggunakan pola asuh yang
2.7 Sosialisasi Agama Dalam Keluarga
Vembriarto (Khairuddin, 1997 : 63) menyimpulkan proses sosialisasi
adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan mana individu menahan,
mengubah impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil cara hidup atau
kebudayaan masyarakatnya. Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari
kebiasaan, sikap, ide-ide, nilai dan tingkah laku, dan standar tingkah laku dalam
masyarakat dimana ia hidup. Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam
proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem
dalam diri pribadinya.
Keluarga merupakan kelompok pertama yang akan mengenalkan
nilai-nilai kebudayaan kepada si anak dan dalam keluarga pula dialami antar aksi dan
disiplin pertama yang dikenakan kepadanya dalam kehidupan sosial. Menurut
Vebriarto (Khairuddin, 1997 : 63) pengaruh orang dewasa, pada umumnya anak
bersifat patuh dan menerimanya dengan percaya, atau disebut dengan “morality of
contraint”. Sebaliknya yang dipelajari anak melalui pergaulannya dengan teman
sebaya di sebut ”morality of coorporation”.
Vembriarto (Khairuddin 1997 : 69) menyataka bahwa kondisi-kondisi
yang menyebabkan pentingnya peranan keluarga dalam proses sosialisasi anak
yaitu:
1. Keluarga merupakan kelompok kecil yang saling berinteraksi secara
face-to-face, sehingga perkembangan anak dapat diikuti dengan
seksama oleh orangtuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam
2. Dalam mendidik anak orangtua harus mempunyai motivasi yang kuat.
Dimana motivasi yang kuat ini menghasilkan hubungan emosional
antara orang tua dan anak. Hubungan emosional lebih berarti dan
efektif dari pada hubungan intelektual dalam proses sosialisasi.
3. Karena hubungan sosial orangtua dan anak bersifat relatif tetap maka
orangtua memainkan peran sangat penting terhadap proses sosialisasi
anak.
Dalam keluarga juga terdapat tiga tujuan sosialisasi keluarga yaitu
pertama, penguasahan diri merupakan proses mengajar anak untuk menguasai
diri dapat dimulai dengan melatih anak misalnya tentang disiplin beribadah dan
penguasaan diri secara emosional. Tuntutan sosial ini merupakan pelajaran yang
paling berat dalam masyarakat. Kedua, Mengajarkan mengenai nilai-nilai dapat
dilakukan secara bersamaan dengan latihan penguasaan diri. Nilai-nilai
merupakan dasar dalam diri seseorang sehingga keluarga memegang peranan
penting dalam menanamkan nilai-nilai tersebut. Ketiga, . mempelajari mengenai
peranan sosial ini terjadi melalui proses interaksi sosial yang terjadi dalam
keluarga. Setelah anak mengalami perkembangan kesadaran diri sendiri yang
membedakan dirinya dengan orang lain, maka anak akan mulai mempelajari
peranan sosialnya yang sesuai dengan gambaran tentang dirinya.
Bentuk sosialisasi berbeda-beda dari setiap tahap kehidupan individu
dalam siklus kehidupannya. Pada masa kanak-kanak orangtua mempunyai
tanggung jawab yang besar dalam mengajarkan tentang kehidupan kepada
mereka. Kewajiban orangtua dalam proses sosialisasi di masa kanak-kanak ini
Pada masa remaja dalam proses sosialisasi ada suatu gejala yang disebut
Reverse socialization yang mengacu pada cara dimana orang lebih muda dapat
menggunakan pengaruh mereka kepada seseorang yang lebih tua. Menurut Mead (
T.O Ihromi, 1999 : 40) bahwa sosialisasi pada tahap ini banyak menyebabkan
perubahan sosial denga cepat. Dan pada masa dewasa sosialisasi yang dialami
adalah proses dimana individu dewasa mempelajari norma, nilai, dan peranan
yang baru dalam linkungan sosial yang baru pula. Prosesbelajar yang lebih
intensif belum tentu sama dengan nilai dan norma yang telah diperoleh pada
kesempatan sebelumnya, mungkin berbeda atau bahkan bertentangan, dan proses
ini di sebut resosialisasi.
Sosialisasi agama merupakan proses interaktif antar kelompok sosial yang
mempengaruhi keyakinan dan pemahaman keagamaan individu. Orang-orang
berinteraksi dengan berbagai kelompok sosilal yang berbeda, dengan orang-orang
, organisasi, dan prefensi agama. Prefensi ini membentuk menginformasikan
komitmen terhadap organisasi keagamaan . Individu mempunyai pengaruh
terhadap sosialisasi pengalaman dan pemahaman keagamaan untuk meningktkan
iman dan religiositas (keberagamaan) masyarakat. Sebaliknya, individu juga
memiliki hak yang cukup untuk menolak sosialisasi preferensi agama. Sosialisasi
tentang preferensi agama jelas penting, terutama dalam interaksi antara
masyarakat yang satu dengan yang lain serta interaksi antar individu dengan
organisasi.(
di akses pada tanggal 25 Agustus 2013 pukul 23:12 WIB)
Keluarga merupakan kelompok utama yang paling penting (par exellence).
sebelumnya merupakan suatu hipotesis yang dapat diterapkan pada keluarga.
Keluarga merupakan masyarakat terpenting di dalam penyebaran agama karena
penataan simbol-simbol dasar keagamaan di dalam prasadar tampaknya terjadi
pada proses sosialisasi dini masa kanak-kanak. Sering terjadi juga bahwa
keluargalah yang menyebarkan penafsiran dasar simbol-simbol dan
rumusan-rumusan pernyataan iman yang sederhana dari warisan keagamaan. Namun
demikian tidak ada jaminan akan adanya keselarasan antara penataan simbol,
pernyataan iman, dan isyarat-isyarat penafsiran yang diterima seorang anak
(Andrew M. Greeley, 1988: 119).
Menurut McCready (Andrew M. Greeley, 1988: 120) mengenai keabsahan
pendekatan sosialisasi terhadap agama bahwa perilaku keagamaan pada orang
dewasa dapat dijelaskan melalui variabel yang merefleksikan perilaku keagamaan
orang tua mereka. Hal ini terulang pula pada sosialisasi agama yang dilakukan
orangtua ke anak-anak remaja. Menurut McCready bahwa lambang-lambang
keagamaan menjukkan bahwa suasana kegembiraan keagamaan dalam lingkungan
keluarga mempengaruhi imajinasi keagamaan anggota keluarga dan melalui
imajinasi tersebut terbentuk pandangan dunia doa maupun komitmen sosial.
Sehingga tidak hanya perilaku orang tua saja yang dapat mempengaruhi
keagamaan anak, tetapi hubungan antara ayah dan ibu juga akan mempengaruhi
perilaku keagamaan anak pada masa dewasanya. Pengalaman sosialisasi
keagamaan yang paling penting di massa kanak-kanak ialah pemahaman anak
tentang apakah dunia ini aman atau berbahaya.
Agama sangat erat hubungannya dengan pengalaman masa kanak-kanak ,
terhadap agama. Semakin menyenangkan suasana keagamaan dalam keluarga
maka akan semakin besar pulakemungkinan seorang anak mempunyai
pengalaman akan kebaikan. Sehingga citra keagamaan yang hangat muncul di
dalam keluarga tersebut. Oleh karena itu, keluarga merupakan lembaga utama
dalam sarana sosialisasi agama yang pertama bagi seorang anak. Menurut Mc
Cready (Andrew M. Greeley, 1988: 127) bahwa ayah lebih banyak
mempengaruhi anak dibandingkan ibu, namun isteri lebih banyak mempengaruhi
suaminya . sehingga sosok ibu dianggap figur yang paling tepat dalam proses
sosialisasi agama kepada anak-anaknya. Sehingga ibu diharapkan lebih menguasai
tentang keagamaan sedangkan ayah menguasai bidang politik, karena ibu
merupaka sosok yag ahli dalam sosio-emosional sehingga dapat membentuk
hubungan sosial agama dalam keluarga tesebut.
2.8 Defenisi Konsep
1. Keluarga berbeda keyakinan adalah keluarga yang berasal dari pasangan
yang berasal dari iman yang berbeda, artinya pernikahan yang dilakukan
antara dua orang yang berbeda agama tersebut masing-masing tetap
mempertahankan agama yang dianutnya.
2. Pola asuh anak merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua
yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum,
pakaian, dan lain sebagainya) atau pun kebutuhan psikologis (afeksi atau
perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak
dapat hidup selaras dengan lingkungan. Namun dalam penelitian ini
peneliti memfokuskan pola asuh anak oleh orang tua dalam sosialisasi
3. Sosialisasi agama adalah merupakan proses interaktif antar kelompok
sosial yang mempengaruhi keyakinan dan pemahaman keagamaan
individu. Dimana dalam hal ini sosialisasi agama yang di teliti adalah
sosialisasi agama yang berlangsung di dalam keluarga yang berbeda
keyakinan agama.
4. Interaksi sosial adalah merupakan hubungan-hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan,
antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan
dengan kelompok manusia. Dimana interaksi sosial dapat terjadi jika