TEANTEANAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN SOSIAL BUDAYA
SKRIPSI SARJANA
DISUSUN OLEH
NAMA : EVELINA SITINJAK NIM : 110703019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN
TEANTEANAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN SOSIAL BUDAYA
SKRIPSI SARJANA
NAMA : EVELINA SITINJAK NIM : 110703019
LEMBAR PENGESAHAN Disetujui Oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Sumurung Simorangkir, SH, M.Pd.
NIP : 19560911 198610 1001 NIP : 19590427 198702 2001 Dra. Asni Barus, M.Hum.
Diketahui oleh : Departemen sastra daerah
Ketua
PENGESAHAN Diterima Oleh:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk
Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Bidang Ilmu Bahasa
dan Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Pada:
Tanggal:
Hari:
Fakultas Ilmu Budaya USU
Dekan
NIP: 195110131976031001 Dr. Syahron Lubis, M.A
PANITIA UJIAN:
NO Nama Tanda Tangan
1. Drs. Warisman Sinaga, M.Hum
2. Dra. Herlina Ginting, M.Hum
3. Drs. Sumurung Simorangkir, SH, M.Pd
4. Dra. Asni Barus, M.Hum
DISETUJUI OLEH:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
MEDAN, MEI 2015
KETUA
Departemen Sastra Daerah
KATA PENGANTAR
Penulis terlebih dahulu mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa atas kasih dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesehatan,
kekuatan, serta pertolongan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi
ini di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini
yaitu “Teanteanan Dalam Masyarakat Batak Toba: Kajian Sosial Budaya.
Penulis berharap skripsi ini menjadi bahan informasi yang berguna bagi
pembaca. Untuk memudahkan pemahaman skripsi ini, penulis membaginya
menjadi lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, anggapan
dasar, dan gambaran umum lokasi penelitian. Bab kedua merupakan tinjauan
pustaka yang mencakup kepustakaan yang relevan dan landasan teori.Bab ketiga
merupakan metode penelitian yang mencakup metode dasar, lokasi penelitian,
instrument penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan data, dan
metode analisis data. Bab keempat merupakan pembahasan tentang permasalahan
yang ada pada rumusan masalah, serta bab kelima merupakan kesimpulan dan
saran.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, karena itu penulis
berharap kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga apa yang diuraikan dalam skripsi ini berguna bagi kita semua.
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis tiada hentinya mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa atas selesainya skripsi ini.Selanjutnya ucapan terima kasih penulis
tujukan kepada orang-orang yang sudah banyak membantu penulis dan
memberikan arahan, motivasi, bimbingan, dan semangat maupun saran yang
penulis terima dari semua pihak, sehingga setiap kesulitan yang dihadapi dapat
terselesaikan. Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis mengucapkan
terima kasih yang tidak terhingga kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara .
2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra
Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Sastra
Daerah Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara, serta Dosen Wali yang
telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama
perkuliahan.
4. Bapak Drs. Sumurung Simorangkir, SH, M.Pd, selaku Dosen Pembimbing
I yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama mengerjakan
skripsi ini.
5. Ibu Dra. Asni Barus, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama mengerjakan
6. Bapak dan Ibu Dosen di Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara, khususnya ibu Dra. Asriaty Purba. M.Hum
yang telah memotivasi dan membimbing penulis dalam skripsi dan
perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
dan seluruh staf pegawai yang telah membantu penulis.
7. Teristimewa buat orangtua penulis, Ayahanda tercinta S. Sitinjak (+) dan
Ibunda tersayang S. Harianja yang terus memberikan cinta kasih yang
tiada henti dan setiap doa-doa bagi penulis. Saya akan selalu berusaha
untuk membuat kalian bahagia. Terimakasih buat mama ku yang tersayang
( I LOVE YOU DADDY AND MOM).
8. K’Lastri, K’ Junita, B’ Jandri, B’ Hendra, B’ Badiaman, B’ Andvrison,
dan adikku Sanjay Riko yang penulis cintai terima kasih atas motivasi ,
dukungan, dan bantuan yang sudah diberikan kepada penulis. Semoga kita
semua memperoleh kebahagian, juga abang ipar dan kakak ipar yang
sudah memberikan dukungan buat penulis, serta keponakanku yang
lucu-lucu Alpharo. Gibran, Mekar, Renata, Mei, Rina, Arta, Bona, Untung, dan
Fordiaz yang sudah membuat penulis selalu terhibur sewaktu penulisan
skripsi ini.
9. Kepada keluarga besar Sitinjak dan Harianja, terima kasih atas semua
dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
10.Kepada Ito dan eda saya (Op.Patio), terima kasih atas dukungan yang sudah diberi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
11.Buat sobat –sobatku Ina Doris, Vera, Naomi, Tivando, Patra, Tiffani,
Berliana, Herawati, Rijal, Derin, Eva, Melisa thanks buat dukungan dan
motivasinya, serta canda tawa yang selalu membuat penulis tak berhenti
ngakak.
12.Sobat-sobatku yang tidak dapat disebut namanya satu per satu, terima
kasih atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
13.Buat Stambuk‘011 Jefry, Willy, Rekno, Suriady, Edep, etc,,,,,yang penulis
sayangi, berjuang terus ya biar mendapat gelar sarjana dan terima kasih
atas dukungannya.
Atas semua ini penulis tidak dapat membalas budi hanya dengan setulus
hati penulis menyerahkan kepada Tuhan Maha Pengasih, semoga Tuhan
ABSTRAK
Evelina Sitinjak, 2015. Judul skripsi: Teanteanan dalam masyarakat Batak Toba: Kajian Sosial Budaya. Terdiri dari 5 bab.
Dalam penelitian ini penulis membahas tentang TEANTEANAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN SOSIAL BUDAYA. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pembagian teanteanan, kedudukan anak perempuan Batak Toba, peranan Dalihan Na Tolu, nilai-nilai sosial budaya dalam pembagian teanteanan, pengembangan sistem nilai budaya, serta dampak sosial budaya dalam pembagian teanteanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembagian teanteanan, kedudukan anak perempuan Batak Toba, peranan Dalihan Na Tolu dalam pembagian teanteanan, nilai-nilai sosial budaya, serta dampak sosial budaya.Metode yang dipergunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik penelitian lapangan.Penelitian ini menggunakan teori sosial budaya. Adapun nilai sosial budaya dalam pembagian teanteanan ini meliputi: sistem kekerabatan yang merupakan nilai sosial budaya dalam pembagian teanteanan yang didalamnya terdapat peranan Dalihan Na Tolu, tanggung jawab penuh para ahli waris terhadap harta tersebut, kasih sayang sebagai bukti bahwa orangtua rela mewariskan harta bendanya kepada anaknya, saling menghormati sesama ahli waris baik anak sulung maupun anak bungsu, dan juga pertentangan para ahli waris dalam waktu pembagian teanteanan.
Ab\s\trk\
aeepelin sitni\jk\. 2015. JdL\ s\rpi\si tean\teann\ dlm\ ms\yrkt\ btk\ tob: kjian\sosial\ Bdy. tre\diri dri 5 bb\.
dlm\ penelitian\ Ini peNlsi\ mme\bhs\ tne\t^ tean\teann\ dlm\ ms\yrkt\ btk\ tob: kjian\ sosial\ Bdy. mslh\ dlm\ penelitian\ Ini adlh\ bgImn pme\bgian\ tean\teann\, keDDkn\ ank\ perme\Pan\ btk\ tob, pernn\ dlihn\ n toL, nilInilI sosial\ Bdy dlm\ pme\bgian\ tean\teann\, pe<em\b<n\ ssi\tme\ nilI Bdy, sre\t dm\pk\ sosial\ Bdy dlm\ pme\bgian\ tean\teann\. penelitian\ Ini bre\TJan\ Un\tK\ me<etHI pme\bgian\ tean\teann\, keDDkn\ ank\ perme\Pan\ btk\ tob, pernn\ dlihn\ ntoL, nilI nilI sosial\ Bdy dlm\ pme\bgian\ tean\teann\, pe<em\b<n\ ssi\tme\ nilI Bdy, sre\t dm\pk\ sosial\ Bdy. metode y^ dipre\Gnkn\ dlm\ me<nlissi\ mslh\ penelitian\ Ini adlh\ metode Kalittpi\ de<n\ tke\nki\ penelitian\ lp<n\. Penelitian\ Ini me^Gnkn\ teaori sosial\ Bdy. adpN\ nilI sosial\ Bdy dlm\ pme\bgian\ tean\tean\ Ini meliPti: ssi\tme\ kekerbtn\ y^meRpkn\ nilI sosial\ Bdy dlm\ pme\bgian\ tean\teann\ y^ didlm\[ tre\dpt\ pernn dlihn\ ntoL, t^G^ jwb\ penH\ pr ah\li wrsi\ tre\hdp\ hr\t tre\sebT\, kshi\ sy^ sebgI bK\ti bh\w aor^Ta rel mewrsi\kn\ hr\t bne\d[ kepd ank\[, sli^ m^hro\mti sesm ah\li wrsi\baIk\ ank\ SL^ mUnP\ ank\ B^S, dn\ Jg pre\tne\t<n\ pr ah\li wrsi\ dlm\ pme\bgian\ tean\teann\.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
UCAPAN TERIMA KASIH ... ii
ABSTRAK ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR ISTILAH ... X BAB I PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
1.5 Anggapan Dasar ... 6
1.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Kepustakaan yang Relevan ... 9
2.2 Landasan Teori ... 9
2.2.1 Pengertian Sosial Budaya ... 10
2.2.2 PengertianTeanteanan ... 15
2.2.3 Pengertian Adat Istiadat ... 17
2.2.4 PengertianDalihan Na Tolu ... 18
BAB III METODE PENELITIAN ... 20
3.1 Metode Dasar ... 21
3.3 Instrumen Penelitian... 22
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 22
3.5 Metode Analisis Data ... 23
BAB IV PEMBAHASAN ... 25
4.1 Pembagian Teanteanan ... 25
4.2 Kedudukan Anak Perempuan Batak Toba ... 31
4.2.1 Kedudukan dalam Keluarga ... 31
4.2.2 Hak anak perempuan Batak ... 34
4.3 Peranan Dalihan Na Tolu dalam pembagian Teanteanan ... 43
4.4 Konsep nilai sosial budaya dan dampak sosial budaya ... 46
4.4.1 Nilai sosial budaya ... 46
4.4.1.1 Sistem kekerabatan... 47
4.4.1.2 Kasih sayang ... 48
4.4.1.3 Tanggung jawab ... 49
4.4.1.4 Saling menghormati ... 49
4.4.1.5 Pertentangan ... 50
4.4.2 Sistem Nilai Budaya ... 50
4.4.2.1 Hidup manusia ... 51
4.4.2.2 Karya manusia ... 51
4.4.2.3 Kedudukanmanusia dalam ruang dan waktu... 52
4.4.2.4 Hubungan manusia dengan alam ... 52
4.4.2.5 Hubungan manusia dengan sesamanya ... 53
4.4.3.1 Proses asosiatif dalam pembagian teanteanan ... 55
4.4.2.2 Proses disosiatif dalam pembagian teanteanan... 55
BAB V KESIMPULAN ... 56
5.1 Kesimpulan ... 56
5.2 Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 60
LAMPIRAN ... 62
Lampiran 1. Contoh surat pernyataan pembagian harta warisan ... 62
Lampiran 3. Daftar pertanyaan ... 64
Lampiran 4.Data informan ... 65
Lampiran 4.Foto informan ... 67
Lampiran 5.Surat izin penelitian ... 68
DAFTAR ISTILAH
1. Batu ni assimun: harta yang biasa diberikan pewaris kepada cucu berupa emas dan hewan peliharaan
2. Dondon tua: ditekan, ditindih, warisan dari kakek berupa sebidang sawah 3. Harta pauseang: harta pemberian, kebanyakan terdiri dari sebidang tanah
yang diberikan ayah kepada puterinya yang sudh menikah
4. Indahan arian: nasi siang, pemberian kepada cucu ahli waris perempuan berupa tanah
5. Pande bosi: tukang besi
6. Punsu tali: tanah sekadar yang diberikan kepada cucu 7. Siampudan: anak bungsu
8. Sihahaan: anak sulung
ABSTRAK
Evelina Sitinjak, 2015. Judul skripsi: Teanteanan dalam masyarakat Batak Toba: Kajian Sosial Budaya. Terdiri dari 5 bab.
Dalam penelitian ini penulis membahas tentang TEANTEANAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN SOSIAL BUDAYA. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pembagian teanteanan, kedudukan anak perempuan Batak Toba, peranan Dalihan Na Tolu, nilai-nilai sosial budaya dalam pembagian teanteanan, pengembangan sistem nilai budaya, serta dampak sosial budaya dalam pembagian teanteanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembagian teanteanan, kedudukan anak perempuan Batak Toba, peranan Dalihan Na Tolu dalam pembagian teanteanan, nilai-nilai sosial budaya, serta dampak sosial budaya.Metode yang dipergunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik penelitian lapangan.Penelitian ini menggunakan teori sosial budaya. Adapun nilai sosial budaya dalam pembagian teanteanan ini meliputi: sistem kekerabatan yang merupakan nilai sosial budaya dalam pembagian teanteanan yang didalamnya terdapat peranan Dalihan Na Tolu, tanggung jawab penuh para ahli waris terhadap harta tersebut, kasih sayang sebagai bukti bahwa orangtua rela mewariskan harta bendanya kepada anaknya, saling menghormati sesama ahli waris baik anak sulung maupun anak bungsu, dan juga pertentangan para ahli waris dalam waktu pembagian teanteanan.
Ab\s\trk\
aeepelin sitni\jk\. 2015. JdL\ s\rpi\si tean\teann\ dlm\ ms\yrkt\ btk\ tob: kjian\sosial\ Bdy. tre\diri dri 5 bb\.
dlm\ penelitian\ Ini peNlsi\ mme\bhs\ tne\t^ tean\teann\ dlm\ ms\yrkt\ btk\ tob: kjian\ sosial\ Bdy. mslh\ dlm\ penelitian\ Ini adlh\ bgImn pme\bgian\ tean\teann\, keDDkn\ ank\ perme\Pan\ btk\ tob, pernn\ dlihn\ n toL, nilInilI sosial\ Bdy dlm\ pme\bgian\ tean\teann\, pe<em\b<n\ ssi\tme\ nilI Bdy, sre\t dm\pk\ sosial\ Bdy dlm\ pme\bgian\ tean\teann\. penelitian\ Ini bre\TJan\ Un\tK\ me<etHI pme\bgian\ tean\teann\, keDDkn\ ank\ perme\Pan\ btk\ tob, pernn\ dlihn\ ntoL, nilI nilI sosial\ Bdy dlm\ pme\bgian\ tean\teann\, pe<em\b<n\ ssi\tme\ nilI Bdy, sre\t dm\pk\ sosial\ Bdy. metode y^ dipre\Gnkn\ dlm\ me<nlissi\ mslh\ penelitian\ Ini adlh\ metode Kalittpi\ de<n\ tke\nki\ penelitian\ lp<n\. Penelitian\ Ini me^Gnkn\ teaori sosial\ Bdy. adpN\ nilI sosial\ Bdy dlm\ pme\bgian\ tean\tean\ Ini meliPti: ssi\tme\ kekerbtn\ y^meRpkn\ nilI sosial\ Bdy dlm\ pme\bgian\ tean\teann\ y^ didlm\[ tre\dpt\ pernn dlihn\ ntoL, t^G^ jwb\ penH\ pr ah\li wrsi\ tre\hdp\ hr\t tre\sebT\, kshi\ sy^ sebgI bK\ti bh\w aor^Ta rel mewrsi\kn\ hr\t bne\d[ kepd ank\[, sli^ m^hro\mti sesm ah\li wrsi\baIk\ ank\ SL^ mUnP\ ank\ B^S, dn\ Jg pre\tne\t<n\ pr ah\li wrsi\ dlm\ pme\bgian\ tean\teann\.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya.Letak geografis
Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan perbedaan kebudayaan yang
mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakat.Setiap masyarakat di
dunia ini pasti memiliki kebudayaan yang berbeda dari masyarakat
lainnya.Menurut Maryaeni (2005:1), kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Hal ini dapat dilihat pada suku-suku yang terdapat di Indonesia.salah satu
contohnya adalah suku Batak. Suku Batak terdiri atas lima (5) sub suku yaitu,
Batak Toba, Batak Angkola Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pakpak, dan
Batak Karo. Kelima sub suku ini tentunya memiliki kebudayaan yang berbeda,
baik itu tata adat perkawinan, pemakaman, dan juga dalam pembagian warisan.
Dalam hal ini penulis mengambil pembahasan tentang teanteanan atau harta
warisan dalam masyarakat Batak Toba.Pembagian teanteanan dalam masyarakat
Batak Toba disepakati menjadi suatu tradisi maupun adat istiadat yang merupakan
aktivitas sosial budaya.
Berbicara tentang pembagian teanteanan atau harta warisan berarti
membutuhkan pemikiran, dan perhatian orang kearah suatu kejadian penting
dalam suatu keluarga, yaitu kepala keluarga atau seorang bapak meninggal dunia.
segala macam harta benda, misalnya: tanah (sawah, ladang dan kebun), rumah,
ternak, kain, emas, pakaian, dan lain sebagainya yang ditinggalkan oleh seorang
bapak pada waktu meninggal. Jenis teanteanan dalam budaya Batak Toba bukan
hanya benda yang berwujud saja, melainkan juga kedudukan/jabatan pewaris
merupakan bagian dari harta warisan.
Tentunya dalam pelaksanaan pembagian teanteanan juga tidak lepas dari
norma adat Batak Toba. Menurut Haar (1976:17),aturan dalam warisan adalah
aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan
dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Menurut Vergouwen (1986:361), warisan dalam
masyarakat Batak Toba berarti “mengenai harta peninggalan orang mati”.
Akibat banyaknya suku, agama, kepercayaan, serta kekerabatan yang
berbeda-beda, maka diduga cara pembagian teanteanan atau harta warisan pun
berbeda. Tetapi ini semua adalah pengaruh dari sistem kekeluargaan yang dianut
oleh masyarakat adat atau dengan kata lain dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan
suatu masyarakat. Menurut Prodjodikoro (1976:24), di Indonesia di kenal tiga
sistem kekeluargaan yaitu:
1) Sistem kebapakan atau patrilineal,
2) Sistem keibuan atau matrilineal, dan
3) Sistem kebapak-ibuan atau parental.
Dalammasyarakat Batak Toba dikenal sebagai masyarakat yang menganut
sistem kekeluargaan patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah.Hal ini
terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari marga
atau laki-laki dalam masyarakat adat Batak Toba dapat dikatakan lebih tinggi dari
kaum wanita.Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah.Apalagi
pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria
terutama dalam hal pendidikan.
Pembagian teanteanan atau harta warisan dalam masyarakat Batak Toba pada umumnya yang mendapat warisan adalah anak laki-laki, sedangkan
perempuan mendapatkan bagian dari orangtua suaminya atau dengan kata lain
pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. MasyarakatBatak
Toba juga membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam struktur
sosialnya.
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam
berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi,
budaya, dan hukum. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam
berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukkan hubungan yang
sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila
dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.
Sebelumnya teanteanan dalam budaya Batak Toba sudah pernah dikaji oleh vergouwen dalam bukunya tentang masyarakat dan hukum adat Batak Toba
yang dibahas hanya pembagian teanteanan.Akan tetapi pada penelitian ini penulis
akan membahas nilai sosial budaya dan dampak sosial budaya yang terkandung
dalam pembagian teanteanan dalam masyarakat Batak Toba.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas maka dilakukan penelitian
dengan mengkaji konsep nilai sosial budaya dan dampak sosial budaya dalam
pembagian teanteanan atau harta warisan.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk menghindari pembahasan atau pembicaraan yang menyimpang dari
permasalahan, penulis membatasi masalah agar pembahasan terarah dan
terperinci.Perumusan masalah sangat penting bagi pembuatanskripsi ini, karena
dengan adanya perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah
sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah
merupakan suatu bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau
pemecahan.Bentuk perumusan berupa kalimat pertanyaan yang menarik atau
dapat mengubah perhatian.
Adapun masalah yang dibahas adalah:
1) Bagaimana carapembagian teanteanan dalam masyarakat Batak Toba di
Kecamatan Onan Runggu Kabupaten Samosir?
2) Bagaimana kedudukan anak perempuan dalam adat Batak Toba?
3) Bagaimana peranan Dalihan Na Tolu dalam pembagian teanteanan?
4) Bagaimana konsep nilai sosial budaya dan pengembangan sistem nilai
budaya dalam pembagianteanteanan pada masyarakat Batak Toba?
1.3 Tujuan Penelitian
Suatu pekerjaan yang dilaksanakan agar memperoleh hasil yang baik
perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui pembagian teanteanan dalam masyarakat Batak
Toba menurut adat Batak Toba.
2) Untuk mengetahui kedudukan anak perempuan dalam adatBatak Toba.
3) Untuk mengetahui peranan Dalihan Na Tolu dalam pembagian
teanteanan.
4) Menguraikan konsep nilaisosial budaya dan pengembangan sistem nilai
budaya dalam pembagian teanteanan pada masyarakat Batak Toba.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pembaca khususnya
terhadap penulis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagi peneliti sendiri, menambah wawasan yang lebih luas tentang kajian
Sosial budaya dalam pembagian teanteanan pada masyarakat Batak
Toba,serta untuk melengkapi salah satu syarat ujian dalam menempuh
gelar Sarjana Sastra di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera
Utara, Medan.
2) Bagi para akademisi dan peneliti, Sebagai bahan informasi tentang data
empiris mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bidang sosial budaya
khususnya dalam bidang proses pembagian teanteanandalam
masyarakat Batak Toba, dan juga sebagai bahan perbandingan bagi para
3) Menambah khasanah kepustakaan, khususnya di Perpustakaan
Departemen Sastra Daerah.
1.5Anggapan Dasar
Dalam melakukan suatu penelitian sangat perlu anggapan dasar. Menurut
Arikunto (1996:65), “Anggapan dasar adalahsuatu hal yang diyakini
kebenarannyaoleh penelitiyang harus dirumuskan secara jelas”. Maksud
kebenaran disini adalahapabila anggapan dasar tersebut dapat dibuktikan
kebenarannya.
Maka penulis berasumsi bahwa pembagian teanteanan atau harta warisan
ini ini masih ada dalam masyarakat Batak Toba dan mengingatkan kepada
pembaca, khususnya pada masyarakat Batak Toba supaya tidak memaksakan
kehendaknya untuk melakukan hal-hal yang tidak baik yang melanggar norma dan
etika adat Batak Toba.
1.6Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.6.1 Letak Geografis Kecamatan Onan Runggu
Kecamatan Onan Runggu terletak di Kabupaten Samosir Propinsi
Sumatera Utara dengan luas wilayah 60,9 km, dengan ketinggian 904-1.355 meter
di atas permukaan laut. Kecamatan Onan Runggu sendiri memiliki dua belasdesa
diantaranya adalah Desa Onan Runggu, Desa Rinabolak, Desa Pakpahan, Desa
Sitinjak, Desa Harian, Desa Hutahotang, Desa Sungkean, Desa Sitamiang. Desa
Jarak Desa Rinabolak ke kantor Kecamatan Onan Runggu sekitar 4 km.
Desa Rinabolak adalah daerah yang menjadi tempat penelitian tentang pembagian
teanteanan. Kecamatan Onan Runggu terletak dengan batas wilayah: - Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Simanindo
- Sebelah selatan berbatasan dengan danau toba sebelah timur
- Sebelah baratberbatasan dengan Kecamatan Nainggolan
- Sebelah timur berbatasan dengan danau toba
Data tersebut bersumber dari kecamatan Onan Runggu Kabupaten Samosir.
1.6.2 Keadaan Penduduk
Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di Desa Rinabolak adalah suku
Batak Toba yang telah lama mendiami desa tersebut. Desa Rinabolak merupakan
tanah ulayat marga sitinjak dan penduduk Desa Rinabolak rata-rata marga
Sitinjak, sedangkan marga yang lain adalah marga-marga pendatang yang
bermukim di Desa Rinabolak.
Penduduk yang berada di Desa Rinabolak rata-rata mata pencahariannya
adalah bertani.Produk pertanian unggulan di desa ini adalah padi, dan kopi.Namun
sebahagian kecil masyarakat yang tinggal di pinggiran danau toba juga bekerja
sebagai nelayan.Namun demikian, tidak sedikit juga yang bekerja pada instansi
pemerintahan.
1.6.3 Budaya Masyarakat
Penduduk desa Rinabolak mayoritas suku batak toba yang telah lama
mendiami Onan Runggu, dan terkenal akan budaya Tobanya. Masyarakat Batak
Toba yang mempunyai ciri khas pada budaya masyarakatnya sendiri, salah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan yang Relevan
Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukankajian
pustaka.Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung
pemecahan masalah dalam suatu penulisan.Paparan atau konsep-konsep tersebut
bersumber dari pendapat para ahli, data emperisme (pengalaman penelitian),
dokumentasi, dan nalar penelitian yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang
relevan. Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah ilmu sosial
budaya dasar oleh Abdulkadir Muhammad 2008, buku Robert Sibarani 2004
tentang Antropolinguistik, dan buku T.M Sihombing
1986tentangkebiasaan-kebiasaan adat istiadat, serta buku Vergouwen 2004tentang masyarakat dan
hukum waris adat BatakToba. Selain itu digunakan sumber bacaan lainnya tentang
pembagianteanteanan atau harta warisan dalam masyarakat Batak Toba.
2.2 Landasan Teori
Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani) yang artinya
kebulatan alam atau realita.Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah
teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam
proposisi yang terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi sebagai wahana untuk
meramalkan atau menjelaskan suatu fenomena”.
Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini, penulis menggunakan
teori sosial budaya oleh Abdulkadir Muhammad (2008:81) dengan mengkaji
konsep nilai dan sistemnilai budaya dalam pembagian teanteanan tersebut, dan didukung dengan teori Robert Sibarani (2004:19) dengan mengkaji dampak sosial
budaya dalam pembagian teanteanan pada masyarakat Batak Toba. Sistem nilai
budaya mencakup dua (2) bagian yaitu: 1) kebudayaan yang mencakup konsep
kebudayaan dan nilai-nilai insani atau manusiawi. 2) sistem nilai budaya yang
mencakup konsep nilai dan sistem nilai budaya dan pengembangan sistem nilai
budaya.
2.2.1Pengertian Sosial Budaya
Menurut Muhammad (2008:75), sosial merupakan segala sesuatu
mengenai masyarakat atau kemasyarakatan atau dapat juga berartisuka
memperhatikan kepentingan umum, sedangkan budaya berasal dari kata sanskerta
“buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti budi atau akal”. Jadi
budaya adalah segala hal yang bersangkutan dengan budi atau akal yang
mengandung cinta, rasa dan karsa, dapat berupa kesenian, pengetahuan, moral,
hukum, adat-istiadat, ataupun kepercayaan. Jadi sosial budaya adalah keseluruhan
sistem nilai, norma, adat istiadat, pola aktivitas, pola pandang, kebiasaan, hasil
karya, dan kearifan tradisional yang mempengaruhi tingkah laku seseorang dan
Menurut Muhammad (2008:81), sosial budaya tentunya tidak lepas dari
sistem nilai budaya, yang terdiri dari dua (2) bagian yaitu:
1) Konsep Nilai dan Sistem Nilai Budaya
Menurut Koenjaraningrat nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang
hidup dalam alam pikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal
yang mereka anggap amat mulia.Sistem nilai budaya ada dalam suatu masyarakat
dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak.Oleh karena itu, nilai budaya
yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menetukan alternatif, alat-alat,
dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia.
Menilai berarti memberi pertimbangan untuk menentukan apakah sesuatu itu
bermanfaat atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah.Hasil penilaian disebut
nilai (value).Nilai adalah segala sesuatu tentang baik dan buruk.Manusia lebih
menghendaki nilai kemanfaatan/kegunaan daripada kerugian, nilai kebaikan
daripada keburukan, dan nilai kebenaran daripada kesalahan.Alasannya adalah
nilai kerugian, keburukan, dan kesalahan itu tidak berarti apa-apa, bahkan dapat
menjadi sumber kehancuran, kemiskinan, dan kebodohan dalam masyarakat.
Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan
manusia dalam tingkatan yang paling abstrak. Sistem tata kelakuan lain yang
tingkatnya lebih konkret, seperti peraturan, hukum, dan norma-norma semuanya
berpedoman pada sistem nilai budaya tersebut. Sistem nilai nilai budaya demikian
kuat meresap dalam jiwa warga masyarakat, sehingga sukar diganti dengan nilai
Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada
sejumlah nilai budaya satu dengan yang lain berkaitan hingga merupakan suatu
sistem. Sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan
yang memberi motivasi kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.
2) Pengembangan Sistem Nilai Budaya
Dalam pengembangan sistem nilai budaya terdapat lima (5) masalah
pokok dalam kehidupan manusia yaitu
a. Hidup manusia
Mengenai hidup manusia, bahwa ada kebudayaan yang memandang
hakikat hidup manusia adalah buruk dan menyedihkan, karena itu harus dihindari
dengan usaha agar hidup menjadi lebih baik dan menggembirakan.
b. Karya manusia
Mengenai karya manusia, bahwa ada kebudayaan yang memandang
hakikat karya manusia untuk memungkinkan manusia hidup.Ada pula kebudayaan
yang memandang hakikat karya manusia untuk memberi manusia kedudukan atau
kehormatan dalam masyarakat.
c. Kedudukan manusia dalam ruang waktu
Mengenai kedudukan manusia, bahwa ada kebudayaan yang memandang
hakikat waktu hidup manusia lebih mementingkan kehidupan di masa sekarang,
dan ada pula yang berorientasi sejauh mungkin pada kehidupan manusia di masa
yang akan datang, karena itu perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat
penting.
Mengenai hubungan manusia dengan alam, bahwa ada kebudayaan yang
memandang hakikat alam itu dapat dilawan, karena itu manusia harus
menaklukkan alam dan mengambil manfaatnya.Ada pula kebudayaan yang
memandang hakikat alam itu baik dan indah, karena itu manusia harus harmonis
dengan alam dan memelihara hubungan baik antara manusia dan alam
lingkungannya.
e. Hubungan manusia dengan sesamanya
Mengenai hubungan manusia dengan sesamanya, bahwa ada kebudayaan
yang memandang hakikat hubungan sesama manusia lebih mementingkan
hubungan horizontal antara sesama manusia, karena itu ada ketergantungan antara
sesamanya, antara lain jiwa tolong menolong. Ada pula kebudayaan yang
memandang hakikat hubungan sesama manusia lebih mementingkan hubungan
vertikal, yaitu hubungan dengan penguasa. Ada pula kebudayaan yang
memandang hakikat hubungan sesama manusia itu individualistis, yaitu menilai
tinggi usaha atas kekuatan sendiri, karena itu dia memerlukan bantuan orang lain.
3)Dampak sosial budaya
Menurut Sibarani (2004:18), dampak sosial budaya terdiri dari adanya
hubungan asosiatif dan proses disosiatif. Hubungan asosiatif adalah hubungan
yang bersifat positif, artinya hubungan ini dapat mempererat atau memperkuat
jalinan atau solidaritas kelompok.Adapun hubungan sosial disosiatif merupakan
hubungan yang bersifat negatif, artinya hubungan ini dapat merenggangkan atau
menggoyahkan jalinan atau solidaritas kelompok yang telah terbangun.
Proses asosiatif meliputi:
Kerja sama adalah suatu usaha kerja sama antara individu tertentu. Kerja
atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan bersama. Kerja sama timbul karena
adanya orientasi para individu terhadap kelompoknya.
b. Akomodasi
Adanya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara individu
dan kelompok sehubungan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang
berlaku dalam masyarakat.
c. Akulturasi
Akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia
dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsurdari suatu
kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun diterima dan diolah
ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu.
d. Asimilasi
Asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan
manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul
secara intensif sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan itu
berubah menjadi unsur kebudayaan campuran.
e. Integrasi sosial
Integrasi sosial adalah proses yang memperlihatkan individu-individu atau
golongan-golongan melibatkan diri seperlu mungkin ke dalam masyarakat besar.
Proses disosiatif (oppositional process) meliputi:
Persaingan adalah proses sosial yang melibatkanindividu atau kelompok
yang bersaing untuk mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan.
b. Kontravensi
Kontravensi merupakan proses persaingan dan pertikaianyang ditandai
oleh gejala-gejala adanya ketidakpuasan dan ketidakpastian terhadap diri
seseorang atau terhadap suatu rencana.
c. Pertentangan (conflict)
Pertentangan merupakan proses sosial yang melibatkan individu atau
kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak
lawan yang disertai ancaman atau kekerasan.
2.2.2 Pengertian Teanteanan
Dalam masyarakat Batak Toba, teanteanandisebut dengan harta
warisanyang artinya harta kekayaan yang akan diteruskan oleh pewaris ketika ia
masih hidup atau setelah meninggal dunia, untuk dikuasai atau dimiliki oleh para
ahli waris menurut sistem kekerabatan dan pewarisan yang berlaku dalam
masyarakat adat.Menurut Prodjodikoro (1976:8),warisan ialahsoal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.
Menurut Sihombing (1986:118), teanteananatau harta warisan itu bisa
merupakan segala macam harta benda, misalnya: tanah (sawah, ladang dan
ditinggalkan oleh seorang bapak pada waktu meninggal. Selain itu ada juga
mengartikan bahwa warisan itu adalah bendanya, dan penyelesaian harta benda
seseorang kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat. Menurut
Prodjodikoro (1976:24),yang termasuk subyek hukum dalam hukum waris adat
Batak adalah:
1) Pewaris
Pewaris merupakan orang atau subyek yang berkedudukan sebagai pemilik harta
kekayaan yang meneruskan/mewariskan harta peninggalannya ketika ia masih
hidup atau ketika ia sudah meninggal dunia. Pada suku Batak Toba yang disebut
pewaris adalah pihak laki-laki.
2) Ahli waris
Ahli waris adalah semua orang yang berhak menerima bagian dalam harta
warisan, yaitu anggota keluarga dekat dari pewaris yang berhak dan berkewajiban
menerima penerusan harta warisan, baik berupa barang berwujud maupun tidak
berwujud, seperti kedudukan, tanggung jawab adat, dan lain-lain.Menurut asas
hukum waris adat Batak Toba, yang berhak atas warisan seorang ayah hanyalah
anak laki-laki.
Obyek warisan adat Batak Toba adalahteanteanan, yaitu harta benda yang
dimiliki oleh si pewaris yang diteruskan semasa hidupnya atau yang ditinggalkan
oleh pewaris yang sudah meninggal dunia, dan diteruskan dalam keadaan tidak
terbagi-bagi.Jenisnya adalah:
Harta kekayaan yang dibawa oleh suami dan istri ke dalam perkawinan
sebagai modal di dalam kehidupan rumah tangga yang bebas dan berdiri
sendiri.Harta bawaan itu dapat berupa tanah, kebun dan perhiasan lainnya.
2) Harta Pencaharian Bersama Suami Istri
Harta ini adalah harta yang diperoleh oleh keluarga itu sebagai hasil kerja
sama antara suami dan istri dalam rangka biaya kehidupan rumah tangga, Harta
ini kelak dapat ditinggalkan dan diteruskan kepada keturunan mereka.
3) Kedudukan atau Jabatan dalam Adat
Kedudukan sebagai "Raja Adat” hal ini bersifat turun temurun, akan tetapi
biasanya jabatan ini hanya diturunkan atau diteruskan oleh anak laki-laki.
2.2.3 Pengertian Adat Istiadat
Pengertian adat istiadat ini banyak dikemukakan oleh para ahli. Adat
sendiri secara umum menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh
orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu
luasnya pengertian adat istiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat memiliki adat
istiadat yang berbeda.Adat istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat
atau bangsa. Tingkat peradaban, cara hidup yang modern seseorang tidak dapat
menghilangkan tingkah laku atau adat istiadat yang hidup dan berakar dalam
masyarakat.
Menurut Hoetomo(2005:16), adat disebutsebagai aturan yang lazim
disimpulkan bahwa adat istiadat adalah sebuah aturan yang ada dalam suatu
masyarakat yang di dalamnya terdapat aturan-aturan kehidupan manusia
sertatingkah laku manusia didalam masyarakat tersebut.
Menurut Koentjaraningrat (2009:153), sistem nilai budaya merupakan
tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan
karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam
alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai,
berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu
pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga
masyarakat.
2.2.4 Pengertian Dalihan Na Tolu
Menurut Sihombing (1986:71), Dalihan Na Tolu yang disebut juga dengan
Dalihan Nan Tungku tiga yang biasanya disingkat dengan DNT, adalah suatu
ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak. Di
dalam DNT, terdapat tiga (3) unsur hubungan kekeluargaan, yang sama dengan
tungku sederhana dan praktis yang terdiri dari tiga (3) buah batu. Ketiga unsur
hubungan kekeluargaan itu ialah:
a) Dongan sabutuha (teman semarga)
b) Hulahula (keluarga dari pihak istri)
c) Boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki kita)
Dalihan Na Tolu juga terdiri atas tiga makna yakni somba marhula-hula,
manat mardongan tubu, elek marboru. Dari falsafah Dalihan Na Tolu di atas,
kehidupan sehari-hari. Selain itu, hubungan kekerabatan yang dimiliki masyarakat
sangat erat.
Dalihan Na Nolu bagi masyarakat Batak Toba merupakan struktur yang
memegang peranan yang penting dalam menetapkan keputusan-keputusan, serta
mengatur keselarasan hidup masyarakat Batak.Dalihan Na Tolu dalam masyarakat
Batak dikenal dengan adanya sistem marga sesuai dengan adat patrilineal yang
dianut masyarakat Batak.
Dalihan Na Tolu mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda. Hak dan
kewajiban ini sesuai dengan adanya kedudukan atau status mereka ketika duduk
sama dalam menyelesaikan persoalan atau dalam hal pengambilan
keputusan.Kedudukan ini tidak mutlak disetiap kesempatan, karena bisa saja pada
suatu waktu kelompok dongan sabutuha menjadi kelompok boru ataupun dengan
kelompok hula-hula dan sebaliknya.
Dalam dalihan harus selalu ada api yang menyala untuk menjadikan tungku itu betul-betul berfaedah dan dapat memberi hasil yang sangat dibutuhkan
orang. Demikian pula DNT, api solidaritas harus tetap menyala agar semangat
gotong royong yang hebat tetap timbul dalam pekerjaan-pekerjaan adat dan
usaha-usaha yang lain sehingga pekerjaan yang bagaimana pun beratnya dapat
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi berasal dari kata metode dan logos, metode artinya cara yang
tepat untuk melakukan sasuatu; logos artinya ilmu pengetahuan. Sudaryanto
(1982:2), “Metodologi adalah cara melakukan sesuatu dengan menggunakan
pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan”. Dengan kata lain,
metodologi merupakan proses, dan prinsip-prinsip yang kita gunakan untuk
mendekati masalah dan mencari jawaban.
Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan,
dan menganalisis, sampai dengan menyusun laporan.Jadi metode penelitian
adalah ilmu mengenai jalan yang dilewati untuk mencapai suatu
pemahaman.Menurut Maryaeni (2005:1), penelitian (research) merupakan usaha memahami fakta secara rasional empiris yang ditempuh melalui prosedur kegiatan
tertentu sesuai dengan cara yang ditentukan peneliti.
Dalam konteks penelitian, istilah fakta memiliki pengertian tidak sama
dengan kenyataan, tetapi lebih mengacu pada sesuatu dari pada kenyataan exact,
dan sesuatu tersebut terbentuk dari kesadaran seseorang seiring dengan
yang terbentuk dalam pikiran seseorang tersebut belum tentu secara konkret, dapat
dilihat dan ditemukan dalam kenyataan yang sebenarnya.
3.1Metode Dasar
Metode dasar yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode atau
pendekatan kualitatif.Maryaeni (2005:1), menjelaskan metode penelitian kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan yang sifatnya individu, keadaan atau gejala dari kelompok
yang diamati.Metode ini dilakukan agar dapat mengumpulkan dan menyajikan
data secara faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi
daerahnya.
Dipilihnya pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pada dua
alasan.Pertama, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini mengenai
pelaksanaan pembagian teanteanan dalam budaya Batak Toba menurut hukum
waris adat, yang dilaksanakan pada di Desa Rinabolak. Proses pembagian
teanteanan ini membutuhkan sejumlah data lapangan yang sifatnya aktual dan kontekstual. Kedua, pemilihan pendekatan ini didasarkan pada keterkaitan
masalah yang dikaji dengan sejumlah data.Dari kedua alasan tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa dalam penelitian ini cocok dikaji melalui pendekatan
kualitatif.
Lokasi penelitian berada di Desa Rinabolak, Kecamatan Onan Runggu,
Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara.Alasan penulis untuk memilih
lokasi penelitian ini adalah karena sampai saat ini pembagian teanteanan di
kecamatan ini masih terlaksana, dan juga sistem pembagian teanteanan di
kecamatan ini pun sering diperbincangkan oleh masyarakat, karena perbedaan
struktur sosial antara laki-laki dan perempuan.Hal inilah yang membuat penulis
tertarik dalam memilih tempat penelitian ini.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan sebuah alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab
permasalahan penelitian.Penulis menggunakan instrumen penelitian berupa daftar
pertanyaan yang diajukan penulis dalam melaksanakan wawancara dengan
informan. Alat bantu yang digunakan yaitu:
1) Alat rekam (tape recorder)
2) Pulpen
3) Buku tulis
4) Daftar pertanyaan
3.4Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ialah sebuah cara penelitian dalam pengkajian data
baik dari tinjauan pustaka maupun penelitian lapangannya.
Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai
a. Metode observasi
Metode ini dilakukan untuk mengamati secara langsung daerah tempat
penelitian untuk mendapatkan informasi yang mampu memberikan informasi data
yang dibutuhkan, tehnik yang dipergunakan penulis adalah teknik catat.
b. Metode wawancara
Menurut Bungin (2001:133), metode wawancara adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai. Metode ini
dilakukan langsung mewawancarai informan guna memperoleh informasi yang
lebih lengkap tentang pembagian teanteanan dalam masyarakat Batak
Toba.Teknik yang digunakan yaitu teknik catat dan teknik rekam.
c. Metode kepustakaan
Dalam penelitian ini juga akan diteliti data sekunder. Dengan demikian, data
yang akan dijadikan dalam penelitian ini menggunakan metode
kepustakaan.Metode ini juga merupakan salah satu sumber data penelitian
kualitatif yang sudah lama digunakan karena sangat bermanfaat. Dalam metode
ini penulis juga mencari buku-buku pendukung yang berkaitan dengan masalah
dalam penulisan proposal skripsi ini dengan menggunakan teknik catat.
3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah metode atau cara dalam mengolah data mentah
diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam
menalar sesuatu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif.Menganalisis data kualitatif, boleh dikatakan sebagai suatu kegiatan
yang berlangsung secara terus-menerus, bukan hanya suatu saat setelah penelitian
usai. Pekerjaan ini merupakan proses yang berkelanjutan, bukan kegiatan sesaat.
Dalam metode kualitatif dan teori sosial budaya penulis menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menuliskan data yang diperoleh dari lapangan.
2) Data yang diperoleh diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
3) Setelah data diterjemahkan kemudian diklasifikasikan sesuai dengan objek
penelitian.
4) Setelah diklasifikasikan, data-data dianalisis sesuai dengan kajianyang telah
ditetapkan.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Pembagian Teanteanan Dalam Masyarakat Batak Toba
Dalam pembagian teanteanan, yang mendapatkan warisan adalah anak
laki-laki karena masyarakat Batak menganut sistem kekeluargaan patrilineal,
sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orangtua suaminya, atau
dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Akan
tetapi, bukan berarti anak perempuan tidak mendapat bagian dari harta warisan.
Pembagian teanteanan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan karena pembagian teanteanan atau harta warisan tersebut ada kekhususan, yaitu anak laki-laki bungsu atau dalam bahasa bataknya disebut Siampudan, dan dia yang
mendapatkan warisan yang khusus.Harta warisan yang dimaksud di sini yaitu
harta peninggalan orangtua yang bersih dari hutang, dan siap untuk dibagi oleh
para ahli waris.
Pada zaman dahulu, jika pewaris tidak memiliki anak laki-laki, maka
hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya (dongan sabutuha).Sementara anak
syarat saudara ayah (dongan sabutuha) yang memperoleh warisan tersebut harus
menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka
berkeluarga. Seperti bunyi filsafat orang Batak:
Molo ni arit tarugi sai pir doi jala pora
Molo tinean uli
Teanon ma dohot gora
Artinya: Jika dikikis lidi ijuk
Selalu saja suka patah
Kalau sesuatu diemban
Bersiaplah menanggung resiko
Maksudnya: Kalau kita menerima harta warisan karena meninggalnya sesorang,
maka kita harus turut juga bertanggung jawab atas kesejahteraan
rumah tangga anak-anak yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal tersebut (pewaris).
Akan tetapi, pernyataan ini pun sudah mulai bergeser karena adanya faktor
era globalisasi. Pada saat ini pembagian teanteanan dalam masyarakat Batak Toba
khususnya di kecamatan Onan Runggu, dimana jika pewaris tidak memiliki anak
laki-laki, maka harta warisan tersebut langsung dibagi oleh anak perempuannya
berdasarkan keadilan dan kasih sayang.
Kalau pewaris yang meninggal itu tidak mempunyai keturunan, istilah
orang yang pupur, karena takut kalau penyakit pupur itu menular
kepadanya.Maka, harta warisan orang pupur itu biasanya dihabiskan saja dengan
mengadakan pesta-pesta.Istilah Batak untuk itu ialah digalegalehon, artinya
dibuat oranglah patung kayu menyerupai orang pupur itu, yang dinamai oleh
orang Batak sigale-gale dan dibuatlah patung itu menari-nari (manortor).
Pada waktu pembagian teanteanan dipanggillah raja huta (penetua adat), tulang (paman), namboru (saudara perempuan ahli waris), dan orang yang ada di kampung tersebut, dengan tujuan agar ada yang mendengar dan menjadi saksi.
Para saksi ini akan diberi ingot-ingot (berupa uang) sebagai tanda bahwa harta
warisan itu sudah sah dibagi oleh para ahli waris sesuai dengan norma adat Batak
Toba. Segala macam harta benda pewaris tersebut, seperti tanah, rumah, dan
ternak merupakan milik (ripe-ripe) oleh ahli waris laki-laki.
Anak bungsu merupakan ahli waris yang mendapat bagian yang paling
banyak, seperti rumah induk, tanah, dan bahkan jika ada kedudukan atau jabatan
dari pewaris, maka jabatan itu diberikan kepada anak yang bungsu. Dengan
alasan, bahwa anak yang bungsu yang lebih lama tinggal dengan orangtuanya, dan
wajar kalau anak bungsu yang mendapatkannya.
Akan tetapi, anak sulung (sihahaan) juga berhak atas keistimewaan
tambahan (hasurungan), dia mendapatkan tanah yang disebut dengan hauma
panggoaran, karena sebagai anak lelaki yang paling tertua, dia telah memberi hak kepadanya untuk menyandang gelar yang begitu didambakan (Ompu ni N).
Pada masyarakat Batak Toba, telah menjadi kebiasaan untuk
memberikan tanah kepada anak perempuan yang sudah menikah dan kepada anak
batak) jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu: Tanah
(Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon
Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Harta pauseang ini diberikan oleh saudara laki-laki ahli waris tersebut (ibotona), akan tetapi ini semua bukan
menjadi hak anak perempuan, melainkan hanya pemberian.
Akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak
dilakukan oleh masyarakat Batak, khususnya yang sudah merantau dan
berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih
adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat
Batak Toba khususnya di kecamatan Onan Runggu, saat ini sudah hampir
mengikuti aturan hukum di Indonesia.
Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari adat Batak Toba tersebut
yaitu anak laki-laki harus bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan
kekerabatan dalam suku Batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan
warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang
Batak berada, adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang.
Jenis harta warisan yang paling umum pada masyarakat Batak Toba yaitu:
1. Tano (tanah)
Tanah yang dimaksud disini yaitu: sawah, ladang, dan kebun. Dalam
masyarakat Batak Toba, khususnya yang tinggal di Desa Rinabolak Kecamatan
Onan Runggu Kabupaten Samosir, tanah dibagi rata oleh semua ahli waris, dan
ahli waris yang paling banyak mendapatkannya adalah anak bungsu.Hal ini
(patuahon ama) dan anak bungsu yang berhak tinggal di kampung tersebut, dan
juga si bungsu lah yang menjadi ahli waris yang paling banyak.
Akan tetapi, anak laki-laki yang tertua pun mendapat tanah yang disebut
dengan tanah tambahan atau haumahasurungan yang tidak bisa diganggu gugat
oleh ahli waris lainnya. Hal ini terjadi karena anak sulung yang memberi gelar
kepada pewaris (Ompu ni N), dan harta ini pun harus diteruskan oleh cucunya di
kemudian hari. Suatu pemberian yang khusus ini diberikan kepada anak sulung
agar dialah yang menjadi penyandang sahala para leluhur, dan tanah ini biasanya
tanah yang terletak di bagian hulu.
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa anak perempuan juga sudah mendapat
bagiannya berupa sawah yang disebut dengan hoban. Akan tetapi semua ini
terjadi jika ahli waris laki-laki setuju dengan pernyataan itu.Hoban ini pun sudah
menjadi bagian warisan untuk anak perempuan di kecamatan Onan Runggu.
Jika para ahli waris sepakat untuk tidak membagi teanteanan tersebut,
maka harta peninggalan itu pun akan diletakkan di bawah kepemilikan bersama
(ripe-ripean, hatopan). Bagian dari harta peninggalan seperti ini biasanya berupa
tanah tegalan yang tidak bisa dibagi-bagi, karena bisa saja tanah itu barang kali
pada awalnya merupakan tanah yang ditanami di sekeliling kampung yang
didirikan oleh leluhur dan pada akhirnya ditinggalkan.
Harta semacam ini tidak bisa dibagi-bagi karena harta milik bersama.
Seperti pepatah mengatakan: tung na so boi impul iba di ugasan ni dongan na
marripe-ripe, artinya kita tidak bisa serakah terhadap apa yang menjadi milik bersama. Contohnya: di belakang rumah bapak Sirait, terdapat pohon durian yang
pengakuan bapak Sirait bahwa durian itu merupakan milik bersama (ripe-ripe),
meskipun durian tersebut tumbuh di dekat rumahnya.
2. Jabu (rumah)
Sesuai dengan hasil penelitian, bahwa rumah diberikan kepada anak bungsu
(siampudan), karena si bungsu lah yang akan tinggal di kampung tersebut, dan
juga si bungsu lah yang menjadi pengganti pewaris dalam bidang apapun di
kampung tersebut. Rumah tidak bisa diganggu gugat oleh ahli waris yang lainnya,
kecuali ada mufakat yang lain dari para ahli waris.
Jika pada suatu ketika ada diantara ahli waris lainnya berkehendak rumah
itu, boleh juga asal dia mampu memberi uang (semacam ganti rugi) kepada
saudara-saudaranya atau sesuai dengan mufakat keluarga tersebut.Hal ini serupa
disebut dengan istilah bahasa Batak “manantani”.Akan tetapi, semua itu hanya
terjadi jika anak bungsu setuju atas permintaan tersebut.
Jika pewaris tidak mempunyai anak laki-laki maka anak perempuan sulung
pun sudah bisa mendapatkan rumah tersebut, dengan alasan supaya ada yang
menjaga kampung tersebut.Jika anak perempuan yang paling bungsu ingin rumah
itu boleh juga, sesuai dengan mufakat ahli waris tersebut.
Berdasarkan adat Batak kuno, barang yang sering dipakai oleh pewaris
seperti: hujur (pedang), piso (pisau), gajut (tempat tembakau), hohos (ikat pinggang) , semua itu di berikan kepada cucu laki-laki yang tertua, dan ulos yang
yang sulung (helana). Jika pewaris mempunyai kedudukan/jabatan semasa
hidupnya, maka jabatan tersebut turun kepada ahli waris laki-laki bungsu.
Akan tetapi, pembagian teanteanan atau harta warisan di kecamatan Onan
Runggu sudah mulai bergeser, di mana perhiasan dari pewaris itu dominannya
diberikan kepada ahli waris perempuan. Hal ini sudah sering terjadi sewaktu
pembagian teanteanan di kecamatan tersebut, dengan alasan bahwa perhiasan wajar diberikan kepada anak perempuan, karena harta pusaka sudah milik ahli
waris laki-laki, dan juga anak perempuan yang mengurus orangtuanya semasa
hidupnya, misalnya: jika pewaris sakit sewaktu hidupnya, maka yang paling
banyak mengurus hanya anak perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, bahwa keluarga besar Rus
Samosir telah melakukan pembagian teanteanan akhir tahun 2014, mereka yang
berjumlah 10 orang bersaudara (7 laki-laki dan 3 saudara perempuan). Mereka
mendapat bagian tanah masing-masing, anak bungsu (laki-laki) mendapatkan
tanah lebih banyak, dan anak sulung mendapatkan tanah khusus, yang disebut
tanah hasurungan, dan anak paitonga (ditengah) juga mendapat tanah sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat oleh para ahli waris.Sisa tanah tersebut
diberikan kepada anak perempuan.Rumah khususnya diberikan kepada anak
laki-laki bungsu.
Jika pewaris memiliki harta seperti perhiasan, maka harta tersebut di
berikan kepada anak perempuan.Dari pernyataan ini, bahwa laki-laki dan
perempuan sudah mendapat bagian masing-masing.
Kata kedudukan mengandung arti tingkatan atau martabat, keadaan yang
sebenarnya, status keadaan atau tingkatan orang.Kedudukan dalam hal ini dapat
diartikan sebagai status atau tingkatan seseorang di dalam mengemban dan
melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga, kerabat dari
masyarakat.
Masyarakat di Kecamatan Onan Runggu yang mayoritas Batak Toba
merupakan salah satu masyarakat adat yang hidup dengan sistem kekerabatan
mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal), dimana kedudukan antara anak
laki-laki dan perempuan dibedakan.
Anak laki-laki merupakan generasi penerus marga dari pihak bapaknya,
sedangkan anak perempuan tidak. Hal ini dikarenakan, setelah anak perempuan
menikah maka marganya tidak akan dipakai tetapi masuk kepada marga dari
keluarga suaminya, tetapi selama anak perempuan belum kawin dia masih tetap
kelompok ayahnya.
Dalam adat Batak kuno bahwa derajat anak perempuan lebih rendah
daripada laki-laki. Hal ini dapat dilihat dalam pesta-pesta Batak sampai hari ini
termasuk di kota metropolitan seperti Jakarta, kita tidak pernah menyaksikan ada
perempuan duduk di barisan depan untuk ikut berbicara dan mengambil suatu
keputusan. Akan tetapi, mereka ada di barisan belakang dan diam, atau sibuk di
dapur sebagai pembantu (parhobas) saja.
Dalam adat Batak ada beberapa istilah dalam kedudukan perempuan antara
lain:
2. mangan tuhor ni boru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan)
3. holan anak do sijalo teanteanan (anak laki-laki yang berhak menerima harta warisan)
Pada masa dulu anak laki-laki sangat dibedakan dengan anak perempuan
dalam perhatian keluarganya, karena anak perempuan nantinya akan masuk ke
dalam marga suaminya. Juga bila anak laki-laki berhasil maka saudara anak
perempuan bangga apabila saudara laki-laki (ito) nya berhasil.
Namun pemahaman sudah mulai bergeser, bukan saja anak laki-laki yang
diberi perhatian lebih, namun anak perempuan juga telah sama diperhatikan dalam
hal pendidikan, perhatian, dan kasih sayang. Bahkan suatu saat kelak bahwa
tingkat taraf hidup bukan saja di lihat dari keberhasilan anak laki-laki saja tetapi
juga anak perempuan, dan bila anak perempuan menikah dan suaminya juga bisa
mengangkat derajat kehidupan dari suatu keluarga tersebut.
Dalam keseharian, anak laki-laki tetap kerap lebih diistimewakan di
banding anak perempuan, karena anak laki-laki yang membawa nama keluarga
lebih dijunjung dengan melakukan berbagai usaha supaya dapat sekolah
setingi-tingginya yang akhirnya diharapkan memperoleh nama dan kedudukan di tengah
masyarakat.
Anak perempuan sedari kecil dilatih untuk hormat kepada saudara laki-laki
walaupun lebih muda dari dia. Perempuan dilatih untuk melayani anak laki-laki,
bahkan untuk hal-hal yang bisa dilakukan sendiri. Misalnya: mengambil piringnya
ketika mau makan, dan pekerjaan rumah lainnya. Akibatnya, seorang perempuan
yang harus ditaatinya, dan kepentingan merekalah yang harus didahulukan.
Konsep ini akan diturunkan lagi kepada putrinya kelak.
Ketidakadilan dalam keluarga Batak Toba tidak sulit ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Ketidakadilan ini dialami oleh anak perempuan terlihat
dalam adat, seperti: peran dalam pesta, hak kepemilikan, pembagian harta
warisan, dan hak mengeluarkan pendapat.
Desakan ekonomi seakan lebih kuat untuk mengiring perempuan atau
siapa pun saat ini masuk dalam sebuah lingkaran yang tidak pernah ketemu
dimana ujung pangkalnya.Perjuangan Kartini untuk menyetarakan kedudukan
laki-laki dan perempuan terbilang hampir berhasil saat ini.
Namun menurut pendapat bapak Parlindungan Sitinjak, bahwa kedudukan
anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga tidak akan pernah sama 100%.
Pernyataan ini juga didukung oleh Sindar Harianja dengan pepatah yang di
lontarkannya, “Anakhon hi do hamoraon di ahu”, tidak disebutkan “Boruki do
hamoraon di ahu”. Jadi masih ada pilih kasih, tapi bila dibandingkan antara zaman dulu dengan zaman sekarang, terdapat perubahan cukup banyak.
Kedudukan anak perempuan di kecamatan Onan Runggu sudah mulai ke
arah persamaan struktur sosial laki-laki dan perempuan. Untuk itu anak
perempuan dianggap sebagai ahli waris, meskipun bagian yang diterima tidak
sama dengan ahli waris laki-laki.
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan bahwa dalam pembagian
teanteanan di kecamatan Onan Runggu bahwa ada alasan anak perempuan dianggap sebagai ahli waris.Salah satunya adalah untuk mewujudkan keadilan dan
4.2.2 Hak Anak Perempuan Batak dalam Pembagian Teanteanan
Di dalam penelitian ini akan dijelaskan terlebih dahulu, bahwa yang
dimaksud dengan perempuan Batak adalah semua perempuan Batak yang sudah
menikah maupun yang belum menikah. Perempuan Batak yang sudah menikah
dalam hal ini adalah janda dari orang laki-laki Batak yang meninggal dunia dan
perkawinannya berlangsung dengan sah sesuai dengan adat Batak Toba.
Ahli waris dalam adat Batak Toba adalah laki-laki.Namun anak
perempuan melalui upacara adat dapat meminta bagian dari harta kekayaan
ayahnya baik semasa hidup ayahnya maupun sesudah meninggal dunia.Ada
pemberian yang dapat dilakukan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya
selagi masih kecil.Ada harta bawaan serta panjarnya yang diserahkan pada
pertunangan anak perempuan, ada pemberian yang diserahkan sesudah dan selama
dia berumah tangga, atau yang diserahkan kepada anak-anaknya.
Tetapi apa yang dapat diterima anak perempuan tersebut tidaklah dalam
arti hak, melainkan hanya pemberian dengan mengimbau kepada saudara
laki-lakinya (ito), agar diberi sebagian dari kekayaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Jika tidak ada anak laki-laki, imbauan tersebut bisa ditujukan kepada paman atau
kerabat yang dari pewaris.
Biasanya anak perempuan harus mengajukan permintaannya itu kepada
ayahnya di saat ayahnya menjelang ajal, atau kepada saudara laki-lakinya bila
ayahnya sudah tiada.Namun permintaan ini tidak dapat dilakukan bila masih ada
anak laki-laki yang belum kawin dan anak perempuan tersebut belum menikah.
Besarnya bagian yang diserahkan kepada anak perempuan tergantung dari
dan kepentingan semua adik laki-laki dan adik perempuan.Jika ibu masih hidup
dan anak-anak perempuan belum menikah, maka si ibu disetujui mengelola bagian
terbesar harta kekayaan tersebut.
Warisan jatuh ke tangan laki-laki, namun tidak berarti anak perempuan
tidak mendapat bagian. Apakah perempuan mendapat bagian atau tidak akan
sangat tergantung pada kebaikan hati saudara laki-lakinya. Secara tradisional
falsafahnya adalah anak perempuan kawin dengan anak orang lain. Mengapa ia
harus mendapat warisan.
Namun prinsip ini sekarang sudah mulai bergeser khususnya di kecamatan
Onan Runggu, bahwa anak perempuan juga mendapat teanteanan seperti anak
laki-laki.Harta disebut juga dengan benda bergerak seperti, perhiasan, ternak, dll,
dan inilah yang paling dominan diberikan kepada anak perempuan. Harta
peninggalan yang ditinggalkan oleh orangtua dapat berupa benda tidak bergerak
seperti: rumah, sawah, ini diberikan khusus buat anak laki-laki.
Tapi benda-benda lain seperti perhiasan lebih dominan diberikan kepada
anak perempuan.Hal ini juga sering terlihat dalam praktik pembagian teanteanan
di kecamatan ini, karena anak perempuan yang lebih banyak mengurus pewaris
semasa hidupnya.
Berdasarkan norma adat Batak Toba bahwa anak perempuan tidak boleh
mewarisi harta pusaka berupa: tanah (tano), rumah (jabu), dan sawah (hauma),
karena harta ini merupakan harta yang di peroleh dari kakeknya (ompung) yang
telah meninggal. Sesuai dengan wawancara di lapangan pernyataan di atas sudah
mulai bergeser, dimana anak perempuan sudah bisa mewarisi harta tersebut
Perempuan boleh mendapat bagian dari harta ayahnya berupa tanah.
Menurutnya perempuan pada waktu kawin mendapat hadiah yang disebut ulos na
so ra buruk, bisa berupa tanah, dan kebun. Ada lagi yang disebut dengan hoban, yaitu sebidang tanah yang ada mata airnya. Hoban ini juga bisa diberikan kepada
anak perempuan. Hadiah lain yang biasa diberikan kepada anak perempuan adalah
perhiasan.
Dalam norma adat Batak Toba, anak perempuan tidak boleh memperoleh
hak untuk mewarisi barang-barang menetap dari harta peninggalan orangtuanya.
Dalam masyarakat Batak Toba, anak perempuan dengan anak laki-laki
mempunyai kedudukan yang timpang, dimana anak perempuan pada posisi yang
lemah, khususnya dalam pembagian teanteanan.
Pemberian harta benda dari orangtua kepada anak-anaknya baik laki-laki
atau perempuan disebut istilahnya dengan "Holong Ate" (kasih
sayang).Pemberian-pemberian harta benda ini mempunyai istilah
berbeda-beda.Harta benda yang diberikan kepada anak laki-laki disebut dengan istilah
"harta Panjaean"sedangkan harta yang diberikan kepada anak perempuan disebut dengan "harta Pauseang".Harta pauseang artinya harta atau pemberian yang
tidak bisa diganggu gugat.
Selain dari harta pauseang maupun panjaean, masih ada lagi harta bawaan yang fungsinya sama dengan pauseang dan panjaean, antara lain:
1) Indahan arian,
Indahan arian merupakan pemberian sebidang tanah oleh seorang ayah kepada anak perempuannya apabila anak perempuan tersebut telah mempunyai
2) Batu ni assimun
Batu ni assimun merupakan pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya yang sudah mempunyai anak, berupa hewan peliharaan dan emas.
Jadi pemberian ini ditujukan kepada cucu pewaris tersebut.
3) Dondon tua
Istilah Dondon Tua dapat diterjemahkan dengan “dibebani nasib baik” (dondon=ditindih, ditekan). Dondon tua merupakan pemberian seorang ayah
kepada anak laki-laki yang sudah mempunyai keturunan, misalnya, sebidang
sawah yang diberikan kepada cucunya yang paling besar dan si cucu baru boleh
menerima setelah kakek meninggal dunia, dengan harapan agar sahala dari usia
tua sang kakek beserta kesejahteraannya turun kepada turunan utama galur silsilah
yang akan menyembah roh kakek kalau sudah berada di alam baka.
4) Punsu tali
Punsu tali merupakan pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya misalnya berupa tanah.Pemberian ini merupakan pemberian
terakhir dan baru dapat diterima oleh anak perempuannya apabila si ayah
meninggal dunia.
5) Ulos na so ra buruk
mulai membangun rumah tangga.Ulos na so ra buruk ini biasanya berupa sawah
yang disebut dengan hoban yang artinya sawah yang dekat dengan mata air.
Dalam keadaan demikian, anak perempuan masih mempunyai kesempatan
bagian dari sinamot orangtuanya, lewat ulos dan pauseang (tanda sayang). Dalam membela kesamaan kesetaraan derajat antara anak perempuan dengan anak
laki-laki sekarang ini dalam norma adat Batak Toba ada ungkapan: “Sarupa adop
marmeme anak dohot boru”, artinya merawat anak laki-laki dan perempuan sama saja. Hal ini terlihat bahwa saat ini kesetaraan derajat anak laki-laki dan
perempuan sudah hampir sama khususnya dalam pembagian teanteanan.
Pemberian indahan arian dan batu ni assimun juga boleh diberikan sewaktu pewaris masih hidup, akan tetapi jika anak perempuannya sudah
mempunyai keturunan. Cara meminta indahan arian dan batu ni assimun ini juga
harus berdasarkan adat (di bagasan adat) yang disertai dengan beberapa undangan
terdekat, misalnya ketiga unsur Dalihan Na Tolu tersebut.
Contoh cara meminta indahan arian dan batu ni assimun
Suhut :Ia nungnga dilehon hamu amang eme sanggulan, ba, onpe, lehon hamu ma amang uma sibonian ni i (indahan arian)
Artinya : Ayah sudah memberikan harta berupa padisanggulan, danayah
berikanlah harta berupa tanah!
Artinya: Ia anakku, semua yang kamu katakan itu adalah benar. Jadi, kalau
masalah tanah, ayah tidak mempunyai tanah yang begitu banyak.
Akan tetapi, masih ada tanah dekat kampung raja gabe, kalau di
garap menghasilkan padi 20 karung. Tanah tersebutlah yang bisa
ayah berikan untuk anakku.
Suhu