BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Batak Toba merupakan kelompok kesatuan sosial dari bagian subsuku
masyarakat suku Batak yang berada di daerah Sumatera Utara, khususnya sebagai asal
lahirnya yang kemudian menyebar ke berbagai daerah. Masyarakat Batak Toba tinggal di
sekitar Danau Toba dan bagian selatan Danau Toba, yang setelah pemekaran berada di daerah
Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan
Kabupaten Samosir.
Sering nilai-nilai tidak sempat digali, baik dikarenakan ketidakmampuan pemilik
budayanya, atau karena trend dari keseragaman global. Contohnya adalah warna dalam
budaya Batak Toba. Seperti yang diketahui, warna dalam budaya Batak Toba memiliki tiga
ciri khas warna, yaitu hitam, putih, dan merah. Bagi masyarakat Batak Toba sesuai tradisi
yang ada, ketiga warna ini merupakan representasi dari Debata Na Tolu (tiga dewa). Ketiga
dewa dalam masyarakat Batak Toba, yakni Batara Guru, Sorisohaliapan, dan Mangalabulan
(Rajamarpodang, 1995: 368). Dalam keyakinan Batak Toba, kepada Debata Na Tolu inilah
masa depan bumi dan kehidupannya diserahkan oleh Mulajadi Nabolon (sosok Pencipta).
Ruang lingkup kekuasaan-Nya berada di lapis pertama alam semesta yang terdiri dari unsur
planet/bumi atau disebut Banua Tonga/Dunia Tengah. Pada prinsipnya kolaborasi Debata Na
Tolu itu adalah Mulajadi Nabolon. Dengan pengertian lain, Debata Na Tolu merupakan
bagian dari masing-masing fungsi Mulajadi Nabolon.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas makna warna oleh para teoretisi dikatakan
memiliki makna majemuk pada kata-kata seperti merah, kuning, hitam dan putih mempunyai
hitam memiliki dua belas sinonim yang rata-rata bersifat ofensif termasuk ‘noda’, ‘iblis’, ‘
jelaga’, ‘curang’, ‘ganas’, ‘dahsyat’ ; dan terdapat 134 sinonim untuk warna putih yang
hampir semuanya berarti postif seperti ‘murni’, ‘bersih’, ‘suci’, ‘inosen’ (Nitiasih: 2012).
Dalam sistem kebudayaan masyarakat Batak Toba terdapat aturan-aturan yang secara
kompleks mengatur bagaimana manusia bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, baik
itu aturan secara tertulis maupun lisan yang berasal dari leluhur mereka. Aturan-aturan
tersebut meliputi sistem kepercayaan (yang berhubungan dengan Tuhan), sistem kekerabatan,
sistem sosial, sistem mata pencaharian, sistem perkawinan, adat-istiadat, dan lain-lain yang
dijalankan secara turun-temurun dari leluhur masyarakat Batak Toba yang kemudian
diteruskan hingga saat ini.
Masyarakat Batak Toba pada generasi masa kini meneruskan dan menjalankan
sistem-sistem yang sudah ada sejak dahulu tersebut dan kemudian secara universal memiliki
harapan untuk meneruskan sistem tersebut kepada generasi selanjutnya dengan
menyelaraskan sistem dari kebudayaan yang masyarakat Batak Toba miliki di mana pun
mereka berdomisili serta menyesuaikannya dengan keadaan yang selalu berkembang dan
berubah. Namun perubahan-perubahan pola pelaksanaan sistem-sistem kebudayaan yang
dilakukan tersebut tetap dalam makna yang sama sesuai harapan para leluhur menggagas
sistem-sistem tersebut dahulunya dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba.
Dalam budaya Batak Toba warna tidak hanya merujuk pada benda, tetapi warna juga
menunjukkan simbol kepercayaan dan kebudayaan masyarakat. Warna–warna dalam budaya
Batak Toba tergolong unik karena terdapat makna yang berbeda dalam ranah warna yang
sama. Misalnya, dalam Ulos Batak Toba, yaitu putih melambangkan kehidupan, merah
melambangkan kepahlawanan dan keberanian, kuning melambangkan kekayaan dan
lahir kesucian, merah melambangkan kecerdasan dan wawasan yang luas sehingga lahir
kebijaksanaan, dan hitam melambangkan kewibawaan dan kepemimpinan. Warna putih pada
Sorisohaliapan melambangkan kesucian sesuai dengan tugasnya untuk mengajak manusia
bertobat, hitam pada Batara Guru melambangkan kebijaksanaan sesuai dengan fungsinya
sebagai hakim agung, dan merah pada Mangalabulan sebagai lambang kekuatan
(Rajamarpodang, 1995: 368-369).
Wierzbicka (1996) menyatakan bahwa warna merupakan sesuatu yang sangat spesifik
yang sangat sulit untuk diberikan pemaknaannya karena pada semua budaya orang-orang
lebih tertarik untuk mengungkapkan makna warna melalui proses ‘melihat’ yang sifatnya
sangat contextualized. Oleh karena itulah penguraian makna warna berdasarkan sudut
pandang filsafat, kepercayaan, mitos dan hal-hal yang berhubungan dengan budaya suatu
masyarakat, tidak dapat hanya berdasarkan makna konseptualnya saja akan tetapi
memerlukan penguraian makna secara lebih rinci yaitu melalui penggunaan makna asali.
Cara pengungkapan/pengkajian makna yang tidak hanya mendeskripsikan makna dari
perspektif semantik saja, tetapi menggabungkannya dengan tradisi filsafat, logika dan
pendekatan tipologis, oleh Wierzbicka disebut dengan metabahasa semantik alami .
Perlu diketahui bahwa penelitian terhadap warna telah dilakukan oleh beberapa
peneliti, seperti Berlin dan Kay (1969) mengkaji dari segi psikolinguistik pada hampir seratus
bahasa, tetapi yang diteliti secara lebih terperinci adalah dua puluh bahasa. Mereka
menyatakan bahwa hanya ada delapan kategori warna yang bersifat semesta. Hasan, Nabiha
dan Fahrul (2010) meneliti bagaimana warna-warna dalam budaya Inggris dan Arab, sebuah
studi perbandingan. Selanjutnya Chi Yu pada 2014 meneliti tentang analisis lintas budaya
terhadap makna simbolik warna. Lebih jauh penelitian terhadap warna dikembangkan oleh
Indonesia”. Nitiasih (2012) dalam artikelnya meneliti Konsep Warna dalam Dewata Nawa
Sanga.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penguraian/ penjelasan tentang konsep warna
dalam Batak Toba yang sifatnya sangat khusus karena sangat tergantung dengan budaya dan
kepercayaan masyarakat Batak Toba, perlu dikaji berdasarkan analisis metabahasa semantik
alami. Warna dalam budaya Batak Toba merupakan peristiwa kebudayaan yang menarik
untuk diteliti. Menarik untuk diteliti karena setiap budaya memiliki warna yang berbeda dan
fungsinya dalam budaya tersebut.
1.2Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dipaparkan di atas, permasalahan yang akan dikaji melalui
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana fungsi warna dalam budaya Batak Toba?
2. Bagaimana makna warna dalam budaya Batak Toba?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui fungsi warna dalam budaya Batak Toba.
2. Untuk mengetahui makna warna dalam budaya Batak Toba.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan infromasi
kepada masyarakat Batak Toba tentang makna warna, sehingga konsep
warna yang ada tidak diterima begitu saja sebagai sebuah mitos yang harus
diikuti tanpa pengertian yang logis, akan tetapi dapat dipahami dan
dimaknai dengan lebih baik.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis berupa
fakta-fakta di lapangan dalam meningkatkan daya, kritis dan analisis