• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Warna dalam Budaya Batak Toba Kajian Metabahasa Semantik Alami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep Warna dalam Budaya Batak Toba Kajian Metabahasa Semantik Alami"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu warna, komponen

semantis, kategorisasi, makna, dan kebudayaan. Konsep-konsep tersebut perlu dibatasi untuk

menghindari salah tafsir bagi pembaca.

Konsep warna pada penelitian ini mengacu pada pendapat Wierzbicka (1990 ) yang

menyatakan bahwa pengertian dari istilah warna dalam bahasa tidak bisa secara pasti

merupakan respon dari saraf pada kepingan warna, tetapi lebih banyak dibandingkan dengan

pengertian dan kesadaran penutur asli dari suatu bahasa yang mempunyai istilah-istilah

tersebut. Beberapa kelompok masyarakat mengartikan warna sebagai istilah-istilah tertentu.

Misalnya, warna merah pada sekelompok masyarakat bukan hanya dipandang sebagai warna,

tetapi merupakan istilah dari keberanian. Setiap budaya memiliki istilah-istilah tersendiri

untuk setiap warna. Wierzbicka lebih jauh menjelaskan beberapa makna warna seperti coklat

menandakan kusam, kurang humor, hitam ditandakan kematian, kegelapan, misterius,

tersembunyi, takut, energi yang tidak diketahui, putih menandakan kebaikan, dingin, kosong,

pagi, abu-abu menandakan misterius, berawan, sedih, kesepian, isolasi, merah menandakan

darah, gairah, nafsu, bahaya, hijau menandakan pertumbuhan, alam, santai, oranye

menandakan kehangatan, dan cahaya. Wierbicka (1996 : 287) menyatakan bahwa warna

bukanlah merupakan konsep manusia karena ia bisa diciptakan pada setiap kelompok

masyarakat secara berbeda-beda seperti halnya konsep televisi, komputer, dan sebagainya.

Demikian pula dengan istilah warna itu sendiri bukanlah merupakan fenomena universal.

Komponen semantis secara sederhana dapat diartikan sebagai fitur yang dimiliki oleh

(2)

mengatakan bahwa komponen semantis mencakup kombinasi dari perangkat makna seperti

‘seseorang’, ‘sesuatu’, ‘mengatakan’, ‘melakukan’, ‘terjadi ’, ‘ini’, dan ‘baik’.

Kategorisasi adalah pengelompokan butir leksikal berdasarkan kesamaan komponen

semantisnya (Mulyadi, 2010: 169). Misalnya, ‘komponen X melakukan sesuatu dengan

sesuatu’ memuat anggota verba manjaljali ‘mencincang’, managil ‘memarang’, dan

mangarambas ‘membabat’ yang terdapat dalam satu ranah semantis yang sama.

Makna sebuah kata adalah konfigurasi dari makna asali untuk setiap kata

(Wierzbicka, 1996:170). Konfigurasi yang dimaksud adalah kombinasi antara satu makna

asali dengan makna asali yang lain yang membentuk sintaksis makna universal. Makna yang

dikaji dalam penelitian ini adalah makna denotasi.

Kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan kelompok masyarakat yang tercermin

dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan

untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk

mencapai kedamaian dan/atau kesejahteraan hidupnya (Sibarani, 2004:5 ; bandingkan

Koentjaraningrat 2009:146).

2.2Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori MSA (Metabahasa Semantik

Alami). Ada dua alasan penelitian ini menggunakan teori MSA. Pertama, definisi sebuah kata

diterangkan secara ilmiah. Kedua, makna asali digunakan sebagai metabahasa universal,

artinya konsep-konsep ini dileksikalkan secara ilmiah.

Teori MSA (Mulyadi, 2006) adalah teori yang dalam analisis maknanya

(3)

dua makna asali yang berbeda), aloleksi (terdiri dari aloleksi posisional, aloleksi

kombinatorial, aloleksi kasus,dan aloleksi infleksi), dan sintaksis makna universal (kombinasi

dari butir-butir leksikon makna asali yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan

perangkat morfosintaksisnya). Makna suatu kata dibatasi dengan menggunakan teknik

parafrase. Skenario semantis disusun dari perangkat makna asali dan melalui perangkat itu

dapat diungkapkan persamaan dan perbedaan makna kata. Deskripsi maknanya bersifat tuntas

dan tidak berputar-putar.

Asumsi dasar teori MSA berhubungan dengan prinsip semiotis yang menyatakan

analisis makna akan menjadi diskret dan tuntas dengan menggunakan perangkat makna asali

sebagai elemen akhir, yaitu sebuah perangkat makna tetap yang diwarisi manusia sejak lahir.

(Mulyadi, 2006)

Makna asali adalah seperangkat makna yang tidak berubah yang telah diwarisi oleh

manusia sejak lahir. Makna asali merupakan refleksi dari pembentukan pikiran (Goddard,

1994: 2 dalam Mulyadi, 2000: 41). Makna asali dapat diuraikan dengan tuntas dari bahasa

alamiah (ordinary language) yang merupakan satu-satunya cara menyajikan makna

(Wierzbicka, 1996: 31. Pada tahun 1972, dia menemukan empat belas buah makna asali,

kemudian pada tahun 1980 menjadi lima belas buah makna asali. Terakhir, Wierzbicka

(1996) dan Goddard (2006) mengusulkan 63 makna asali.

Tabel 2.1

Perangkat Makna Asali Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris

KOMPONEN ELEMEN MAKNA ASALI

Substantif

I AKU, YOU KAMU, SOMEONE

SESEORANG PEOPLE/PERSON,

ORANG, SOMETHING/THING

SESUATU/HAL. BODY TUBUH

(4)

Pewatas THIS INI, THE SAME SAMA,

Tindakan, peristiwa, gerakan, perkenaan BE (SOMEWHERE, THERE IS/ EXIST, ADA, HAVE/PUNYA, BE

(SOMEONE/SOMETHING) ADALAH (SESEORANG/SESUATU)

Hidup dan Mati LIVE HIDUP, DEAD MATI

Waktu WHEN/TIME BILA/WAKTU, NOW

SEKARANG, BEFORE SEBELUM,

AFTER SETELAH, A LONG TIME LAMA, A SHORT TIME SINGKAT, FOR SOME TIME SEBENTAR, MOMENT SAAT

Ruang WHERE/PLACE (DI) MANA/TEMPAT,

HERE (DI) SINI, ABOVE (DI) ATAS, BELOW (DI) BAWAH, FAR JAUH, NEAR DEKAT, SIDE SISI, INSIDE (DI) DALAM

KOMPONEN ELEMEN MAKNA ASALI

Konsep Logis NOT TIDAK, MAYBE MUNGKIN, CAN DAPAT, BECAUSE KARENA, IF JIKA

Argumentator VERY SANGAT, MORE LEBIH

Kesamaan LIKE/AS SEPERTI

Sumber: Mulyadi (2012:38) diadaptasi dari Goddard (2006)

Konsep dasar kedua, yaitu polisemi, merupakan bentuk leksikon tunggal yang dapat

mengekspresikan dua buah makna asali yang berbeda dan bahkan tidak memiliki hubungan

komposisi (nonkomposisi) sebab masing-masing mempunyai kerangka gramatikal yang

berbeda (Wierzbicka, 1996: 27-29).

Ada dua hubungan nonkomposisi yang paling kuat, yakni hubungan pengartian

(entailment-like relationship) dan hubungan implikasi (implikasional). Hubungan pengartian

(5)

Contoh: jika X MELAKUKAN SESUATU PADA Y, SESUATU TERJADI PADA Y.

Hubungan implikasi terdapat pada eksponen TERJADI dan MERASAKAN. Contoh: jika X

MERASAKAN SESUATU, SESUATU TERJADI PADA X. (Wierzbicka 1996:25-26 dalam

Mulyadi, 2006: 71).

Sintaksis makna universal, dikembangkan oleh Anna Wierzbicka pada akhir tahun

1980-an sebagai perluasan dari sistem makna asali (Goddard, 1998: 24). Dalam teori MSA,

makna memiliki struktur yang sangat kompleks, terdiri atas komponen yang berstruktur

seperti ‛aku menginginkan sesuatu’, ‛ini baik’, atau ‛ kau melakukan sesuatu yang buruk’.

Kalimat seperti ini disebut sintaksis makna universal. Ja di, sintaksis makna universal adalah

kombinasi dari butir-butir leksikon makna asali yang membentuk proposisi sederhana sesuai

dengan perangkat morfosintaksisnya (Mulyadi dan Siregar, 2006: 71). Unit dasar sintaksis

universal dapat disamakan dengan ‛ klausa’, yang dibentuk oleh substantif dan predikat serta

beberapa elemen tambahan sesuai dengan ciri predikatnya (Mulyadi dan Siregar, 2006: 71).

Contoh pola sintaksis makna universal dapat ditunjukkan seperti di bawah ini:

1. Aku memikirkan sesuatu yang baik.

2. Sesuatu yang buruk terjadi padamu.

3. Jika aku melakukan ini, orang akan mengatakan sesuatu yang baik tentang aku.

4. Aku tahu bahwa kamu orang baik.

5. Aku melihat sesuatu terjadi di sana.

6. Aku mendengar sesuatu yang baik.

Pola kombinasi yang berbeda dalam sintaksis makna universal mengimplikasikan

gagasan valensi. Contohnya, elemen MELAKUKAN, selain memerlukan ‛‛subjek” dan

‛‛komplemen” wajib (seperti seseorang melakukan sesuatu’), juga memerlukan ‛‛pasien”

(seperti ‛seseorang melakukan sesuatu kepada seseorang’. Begitu pula, MENGATAKAN, di

(6)

sesuatu’), juga memerlukan ‛‛pesapa” (seperti ‛ seseorang mengatakan sesuatu pada

seseorang tentang sesuatu’) (Mulyadi dan Siregar, 2006: 71).

Bahasa merupakan kebudayaan yang pertama dimiliki oleh setipa manusia dan bahasa

itu dapat berkembang karena akal atau sistem pengetahuan manusia (Sibarani, 2004:9).

Dalam hal ini, warna termasuk bahasa yang berfungsi sebagai sarana komunikasi dalam

budaya. Misalnya, kain berwarna merah yang ditancapkan di depan rumah seseorang

memberi informasi bahwa di rumah tersebut sedang berduka. Dari penejelasan tersebut, maka

bahasa memiliki beberapa fungsi sebagai sistem sosial. Fungsi bahasa yang digunakan dalam

penelitian ini mengacu pada pendapat Keraf (1979: 3-7) menyatakan bahwa bahasa memiliki

beberapa fungsi, yaitu sebagai (1) Alat untuk menyatakan ekspresi diri, (2) Alat komunikasi,

(3) Alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (4) Alat mengadakan kontrol sosial.

2.3Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai warna dalam budaya ini merupakan hal yang menarik, dalam

linguistik telah dilakukan beberapa telaah yang berkaitan dengan warna. Penulis akan

memaparkan beberapa tulisan dengan paradigma yang berbeda.

Nitiasih (2012) dalam artikelnya yang berjudul “Konsep Warna dalam Dewata Nawa

Sanga menjabarkan penelitiannya terhadap makna warna dalam konteks budaya Bali. Teori

MSA dan Semiotik digunakan karena dipandang mampu mengungkap tuntas realisasi

leksikal, struktur semantik, dan menelaah sistem tanda. Metode yang dipergunakan dalam

penulisan artikel ini terdiri dari dua metode yaitu, metode kepustakaan dengan teknik catat

untuk sumber data yang diambil dari sumber tertulis (Sudaryanto, 1996 : 33) dan metode

linguistik lapangan dengan teknik simak bebas lintas cakap untuk sumber data yang berasal

dari tuturan lisan informan. Penelitian yang dilakukan Nitiasih ini menunjukkan bahwa

(7)

konsep yang diciptakan berdasarkan simbol dan arah mata angin. Hal ini merupakan suatu

yang sangat alami mengingat dalam agama Hindu terdapat banyak simbol yang

dipergunakan. Simbol-simbol tersebut merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dengan

warna, tekstur, bentuk, fungsi, dan atribut lainnya yang dianggap sebagai sesuatu yang utuh

yang tidak dapat dipisah-pisahkan, karena istilah warna dianggap sebagai sesuatu yang secara

wajar mengandung domain semantik pada ‘dirinya’. Hal lainnya yang mempengaruhi konsep

warna dalam Dewata Nawa Sanga adalah adanya keuniversalan yang menggunakan

lingkungan sebagai kerangka referensi yang fundamental yang menimbulkan makna

konotatif, asosiatif, dan kolokatif pada warna yang ada di dalam Agama Hindu.

Deskripsi makna warna yang diperoleh dari hasil penelitian ini menemukan perbedaan

waktu kapan manusia dapat melihat atau apa yang disebut ‘siang hari dan kapan manusia

tidak dapat melihat atau ‘malam hari. Secara garis besar manusia cendrung untuk

membedakan secara universal antara melihat sesuatu yang kelihatan ‘ terang ‘ dan ‘ bersinar

’, dan juga melihat sesuatu yang kelihatan ‘ gelap ‘ dan ‘tidak mengkilap’. Perbedaan antara

warna ‘gelap‘ dan ‘ terang’ tersebut memegang peranan penting dalam bahasa-bahasa di

dunia. Bahasa Kuku di Australia menggunakan istilah bingaji dan ngumbu yang berarti

terang dan gelap yang juga dipergunakan untuk mengatakan warna ‘putih’ dan ‘ hitam’.

Penelitian Nitiasih memberikan kontribusi berupa teori, metode analisis dan data.

Masukan dari segi teori terlihat pada menganalisis sistem tanda dan mengupas tuntas realisasi

leksikal. Kemudian, masukan dari segi cara menganalisis warna terlihat pada penggunaan

parafrase yang bersumber dari perangkat makna asali.

Dyah (2012) dalam skripsinya yang berjudul ”Medan Makna Ranah Warna Dalam

Bahasa Indonesia, menjelaskan makna istilah-istilah warna yang terdapat dalam ranah

warna bahasa Indonesia. Teori yang digunakan adalah medan makna. Dalam pengumpulan

(8)

ini adalah istilah-istilah warna yang berasal dari Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Istilah-istilah warna ini dikelompokkan berdasarkan kriteria warna dasar B. Berlin dan Paul Kay.

Setelah dikelompokkan, istilah warna tersebut diklasifikasikan berdasarkan aspek semantis

untuk menemukan medan makna ranah warna dalam bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini

Dyah memberikan hasil penelitian istilah warna yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari

(contohnhya merah cabe, merah jingga, dan merah tua), tetapi tidak ada dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Sebaliknya, ada juga istilah warna yang terdapat dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia tetapi jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya kirmizi.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan muncul istilah warna yang baru

sejalan dengan perkembangan zaman.

Penelitian Dyah memberikan kontribusi dari segi metode yang bersifat deskriptif.

Masukan dari pengumpulan data terlihat pada penggunaan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Selanjutnya, masukan dari segi mengolah data terlihat pada cara pengolompokan data warna

berdasarkan aspek semantis.

Hui-Chih Yu (2014) dalam artikelnya yang berjudul “A Cross-Cultural Analysis of

Symbolic Meanings of Color” membahas mengenai lima warna dasar yang telah

diidentifikasi oleh dunia melalui banyak generasi dan perkembangan komunikasi. Teori yang

diterapkan adalah teori Kognisi Warna dan Makna Simbolis Warna. Dalam penelitian

Hui-Chih Yu menjelaskan setiap lima warna dasar masih memiliki konotasi positif dan negatif,

yang didasarkan pada tiga alasan. Pertama, budaya yang kuat cenderung mendominasi

popularitas dari warna, selama abad dua puluh, budaya Barat lebih kuat dari budaya lain.

Kedua, peristiwa penting yang terjadi di suatu negara besar, revolusioner bendera, yang mana

adalah berwarna merah, sehingga merah telah ditekankan karena merupakan warna darah dan

(9)

mempertahankan makna positif dari warna, sebagai contoh warna hitam mewakili kebenaran

atau martabat di negara Cina.

Setiap warna akan memiliki makna negatif yang tidak diakui secara luas. Dalam

penelitian ini, Hui-Chih Yu memberikan hasil bahwa warna berasal dari cahaya, sementara

matahari adalah sumber dari segala cahaya. Tidak ada cahaya maka tidak ada warna muncul.

Semua warna telah memberikan aspirasi untuk penyair, dan imajinasi bagi pelukis. Sejauh

ini, telah ditemunkan bahwa berbagai warna muncul di banyak puisi, dan banyak seniman

suka menggunakan berbagai warna untuk menggambarkan alam.

Amna A, Nabiha, dan Fakhrul (2011) dalam artikelnya yang berjudul “How Colors

are Semantically Construed in the Arabic and English Culture: A Comparative Study”

meneliti perbandingan warna dalam budaya Arab dan Inggris. Pada penelitian ini ditemukan

bahwa warna Arab dan Inggris memiliki fungsi yang lebih umum daripada perbedaan.

Klasifikasi dari istilah enam warna dalam kedua bahasa itu lebih dikategorikan menjadi dua

jenis, makna positif dan makna negatif, dan ini dilakukan berdasarkan pemahaman para

peneliti dari kognisi antara bahasa dan pengalaman. Terbukti, itu adalah alam manusia yang

berhubungan simbol linguistik deskriptif (hijau) untuk sesuatu yang secara fisik (misalnya

rumput), dan kemudian menyatakan pendapat tentang objek yang dijelaskan di dunia (warna

tanah dan langit).

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah semantik kognitif. Dalam penelitian

ini, peneliti mengacu pada makna etimologis dari istilah warna dan tersedia enam istilah

warna dasar Arab dan melintasi keenam istilah warna Inggris. Penelitian ini menggunakan

kategorisasi budaya kognitif untuk setiap jangka warna, tiga arti yang berbeda yang

diidentifikasi-arti dasar, makna perluasan dan makna tambahan. ‘Makna dasar’ mengacu

makna asali dari istilah warna, sedangkan ‘makna perluasan’ mengacu pada perluasan dari

(10)

yang telah lanjut disarikan dari makna perluasan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menunjukkan bagaimana dari warna yang diidentifikasi dalam budaya yang berbeda dari

bahasa Arab dan Inggris, dan dalam cara di mana kedua bahasa yang relevan dan berbeda

untuk setiap jenis warna.

Lebih lanjut Mazhitayeva dan Kaskatayeva (2013) dalam artikelnya yang berjudul

“Color Semantics: linguistic-cultural aspect” membahas kesatuan yang berhubungan dengan

penyusunan kata, yang di dalamnya mengandung elemen semantik warna. Pada penelitian ini

mencoba untuk mengungkapkan makna dari beberapa nama warna sebagai fenomena

penting, menangkap esensi dari bahasa kelompok etnis. Penelitian ini mengklarifikasi

kesimpulan ilmiah sebagai metodologis basis penelitian; analisis dari penamaan warna di

Kazakh dan bahasa Rusia dan perbedaan semantiknya dalam terjemahan. Subjek penelitian

ini dari yang berhubungan penyusunan kata ekspresi, menangkap kata-kata dan ekspresi

termasuk warna denotasi dari bahasa Kazakh: biru, coklat, kuning, merah, hitam, putih yang

menarik minat para peneliti tertarik dengan cara kelompok unit leksikal, nama-nama warna.

Dalam jurnal ini mempertimbangkan semantik dari warna-warna ini. Metode deskriptif dan

etimologis digunakan sebagai dasar metode penelitian.

Metode deskriptif dan interpretasi yang digunakan untuk menggambarkan studi

linguistik. Metode analisis komponen makna dan komparatif yang digunakan untuk

membangun penamaan warna semantik. Mirip dengan bahasa lain Kazakh kata bahasa

kombinasi yang berkaitan dengan penamaan warna dapat dipertimbangkan dalam kelompok

berikut seperti alam, manusia, sistem masyarakat soisal, tradisi dan adat istiadat, ritual dan

lain-lain untuk masyarakat Kazakh bangsa Nomad di zaman kuno, kegiatan hidup mereka

yang berhubungan erat dengan alam.

Hasil penelitian ini adalah mengetahui tradisi, adat-istiadat, mentalitas, karakter

(11)

etnis. Pada masa depan kita mempertimbangkan penelitian serba guna menggunakan istilah

penjelasan kata dan bentuk warna dalam literatur bahasa. Proses seperti itu sangat penting

dan berguna untuk menerjemahkan karya-karya dari suatu bahasa ke bahasa yang lain.

Penelitian ini membuat kesimpulan bahwa semantik warna dalam budaya linguistik dari

bahasa Kazakh tidak dapat selalu memadai diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, cara-cara

pembentukan ekspresi figuratif berbeda satu sama lain dalam Kazakh, Rusia dan bahasa

Jerman, komponen tidak selalu sesuai dengan satu sama lain dan dapat berbeda yang secara

historis didefinisikan oleh keadaan orang yang hidup.

Kontribusi yang diberikan dari hasil penelitian Mazhitayeva dan Kaskatayeva dapat

dilihat dari mengolah data yang mengelompokkan warna dari bahasa Rusia dan Kazakh.

Selanjutnya dari segi metode yang bersifat deskriptif untuk kemudian dikembangkan dalam

Referensi

Dokumen terkait

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, milik, pewatas, kesamaan, konsep logis, dan evaluator dengan makna asali

‛‛Verba Emosi Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Asahan: Kajian Semantik Lintas

skripsinya meneliti semantik verba “BAWA” dalam bahasa Batak Toba, Lumban. Gaol (2014) dalam skripsinya meneliti verba POTONG dalam bahasa

Selanjutnya, makna verba ‘AMBIL’ dibentuk oleh dua makna asali MELAKUKAN dan BERPINDAH yang berkombinasi untuk membentuk sintaksis makna universal ‛ X MELAKUKAN SESUATU PADA

Selanjutnya, makna verba ‘AMBIL’ dibentuk oleh dua makna asali MELAKUKAN dan BERPINDAH yang berkombinasi untuk membentuk sintaksis makna universal ‛ X MELAKUKAN SESUATU PADA

Selajutnya, makna verba kejadian dibentuk oleh dua makna asali TERJADI dan MELAKUKAN yang berkombinasi membentuk sintaksis makna universal ‘sesuatu terjadi pada seseorang/sesuatu

Budiasa, dalam Jurnal Ilmiah Indonesia (2011: 227-238), meneliti tentang Struktur Semantis Verba yang Bermakna Memotong dalam Bahasa

dengan makian yang terdapat dalam bahasa daerah lain.. Makian dalam