BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan
Bila kita cermati kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi
kemiskinan pada masyarakat telah dilaksanakan pada era pemerintahan Soeharto,
antara lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil),
KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan
Pinjam Koperasi Unit Desa), UEDSP (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam),
PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT
(Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), PPK (Program
Pengembangan Kecamatan), P2KP (Program Penanggulanan Kemiskinan
Perkotaan), PDMDKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis
Ekonomi), dan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri
Perdesaan.
Pada masa lalu program pemberdayaan masyarakat, biasanya dibuat di
tingkat pusat (atas) dan dilaksanakan oleh Instansi Propinsi dan Kabupaten
(bersifat top down). Masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut tidak
diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberi masukan. Hal ini dilakukan
untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan dan menganggap masyarakat tidak
mempunyai kemampuan untuk menganalisa kondisi dan merumuskan persoalan
serta kebutuhan-kebutuhannya. Dalam pandangan ini masyarakat ditempatkan
diubah pada PNPM Mandiri yaitu dengan cara melibatkan masyarakat yang
bersangkutan.
PNPM merupakan program penanggulangan kemiskinan yang melibatkan
koordinasi Bank Indonesia melalui program keuangan mikro bersama Bank
Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bekerja sama
dengan lembaga-lembaga keuangan milik masyarakat seperti Lembaga Dana dan
Kredit Pedesaan (LDKP) dan Kelompok Swadaya Masyarakat( KSM).
Program pemberdayaan masyarakat ini dapat dikatakan sebagai program
pemberdayaan masyarakat terbesar di tanah air. Dalam pelaksanaannya, program
ini memusatkan kegiatan bagi masyarakat Indonesia paling miskin di wilayah
perdesaan. Program ini menyediakan fasilitasi pemberdayaan masyarakat atau
kelembagaan lokal, pendampingan, pelatihan, serta dana Bantuan Langsung untuk
Masyarakat (BLM) kepada masyarakat secara langsung. Besaran dana BLM yang
dialokasikan sebesar Rp 750 juta sampai Rp 3 miliar per kecamatan, tergantung
jumlah penduduk (Pedoman Umum PNPM Mandiri).
Dalam PNPM Mandiri Perdesaan, seluruh anggota masyarakat diajak
terlibat dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif, mulai dari proses
perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana
sesuai kebutuhan paling prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan kegiatan
dan pelestariannya. Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan berada di bawah
binaan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Departemen
Dalam Negeri. Program ini didukung dengan pembiayaan yang berasal dari
alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), alokasi Anggaran
pemberi bantuan di bawah koordinasi Bank Dunia. Pengelolaan dana bergulir
pada PNPM pada hakekatnya melibatkan 3 (tiga) unsur dalam hal ini yaitu : (1)
Unit Pengelola Kegiatan (UPK) sebagai pengelola dan penyalur seluruh dana
bergulir di tingkat kecamatan. (2) Kelompok peminjam sebagai pengelola dan
sekaligus penyalur dana bergulir kepada anggotanya pada tingkat desa. (3) Tim
pengelola kegiatan di desa sebagai fasilisator antara kelompok peminjam dan
UPK di tingkat kecamatan. (4) Unit Pengelola Kegiatan: UPK dan TPK
Perguliran dana diberikan kepada kelompok-kelompok yang ada di desa.
Adapun mekanisme pelaksanaan dana bergulir diawali oleh kelompok
peminjam sebagai pemanfaat dana bergulir, dengan cara pengajuan proposal
pinjaman kepada Penganggung jawab Operasional Kegiatan (PJOK). Proposal
tersebut pemaparkan tentang data anggota kelompok. Besarnya jumlah pinjaman
paling sedikit Rp 1.500.000,00 sampai dengan Rp 2.000.000,00 dengan tingkat
suku bunga sebesar 1,5% perbulan dengan sistem falte rate, yang akan diangsur
selama 12 kali. Sampai dengan pertengahan tahun 2012 dana yang dikelola
sebesar 1,8 milyar rupiah. UPK menjalankan kegiatan simpan pinjam pada
kelompok SPP layaknya lembaga keuangan, dengan menjalankan salah satu peran
yaitu memberikan kredit pada masyarakat. Masyarakat dalam hal ini Kelompok
SPP bila ingin melakukan pinjaman maka prosedur/mekanisme yang ditempuh
sama halnya bila mengajukan pinjaman di lembaga keuangan, yaitu persyaratan
yang harus dipenuhi (tanpa jaminan), tingkat suku bunga pinjaman, dan kewajiban
angsuran dalam waktu satu bulan. Sedangkan sanksi terhadap peminjam yang
wanprestasi dikenakan pada kelompok. (dalam sri widayati, jurnal ilmiah
2.2. Teori Sistem Sosial
Menurut Talcott Parsons sebagai pemilik teori ini mengatakan bahwa,
masyarakat adalah suatu sistem sosial yang dilihat secara total. Bilamana sistem
sosial dilihat sebagai sebuah sistem parsial, maka masyarakat itu dapat berupa
setiap jumlah dari sekian banyak sistem yang kecil-kecil, misalnya keluarga,
sistem pendidikan dan lembaga-lembaga keagamaan. Menurut Parsons sistem
sosial cenderung bergerak ke arah keseimbangan atau stabilitas. Dengan kata lain
keteraturan merupakan norma sistem. Bilamana terjadi kekacauan norma-norma,
maka sistem akan mengadakan penyesuaian dan mencoba kembali mencapai
keadaan normal. Menurut Parsons terdapat fungsi-fungsi atau
kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap sistem yang hidup demi
kelestariannya. Dua pokok penting yang masuk dalam kebutuhan fungsional ini
adalah:
1. Berhubungan dengan kebutuhan sistem internal atau kebutuhan sistem
ketika berhubungan dengan lingkungannya (sumbu internal-eksternal).
2. Berhubungan dengan pencapaian sasaran atau tujuan serta sarana yang
perlu untuk mencapai tujuan itu (sumbu instrumental-consummatory).
(dalam Margaret. M. Poloma, 2007: 171-172).
Agar sistem bisa hidup dan berlangsung dengan baik, terdapat
syarat-syarat fungsional dan persoalan penting yang harus dihadapi, yakni:
1. Adaptasi ( Adaptation), yaitu melindungi dan mendistribusikan alat-alat
fisik dari anggota-anggotanya jika ingin survive, makanan dan
perlindungan merupakan syarat minimum yang harus dipenuhi, yang
selalu mellibatkan produksi dan distribusi.
2. Pencapaian tujuan (Goal Attainment), yakni menentukan, mengatur,
menfasilitasi pencapaian tujuan dan kesepakatan.
3. Integrasi (Integration), adalah hubungan-hubungan sosial yang melindungi
secara kooperatif dan terkoordinasi dalam sistem. Jadi ada koordinasi
internal yang membangun cara berpautan. Masyarakat harus menjamin
ukuran koordinasi dan kontrol diantara elemen-elemen internal dari
berbagai bagian pada sistem sosial, layaknya peran dan status sosial yang
telah merumuskan mana yang boleh atau tidak.
4. Latensi (Latency), dimana terdapat pemeliharaan pola-pola yang
didalamnya terdapat motivasi perilaku yang diinginkan. Sistem harus
mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam keadaan seimbang.
(dalam Rachmad K. Dwisusilo, 2008: 121).
Parsons mengembangkan suatu kerangka konseptual yang mencermikan
hubungan sistematis antara sistem-sistem sosial. Hal yang paling penting dari
konseptualisasi sistem adalah konsep pelembagaan atau institusionalisasi, yang
mengacu pada pola-pola interaksi yang relatif stabil antara pelaku-pelaku dalam
kedudukan masing-masing. Pola-pola demikian diatur secara normatif
dipengaruhi oleh pola-pola kebudayaan. Pengaruh nilai-nilai tersebut mungkin
1. Nilai yang mengatur perilaku peranan dapat mencerminkan nilai-nilai
umum dan kepercayaan dalam kebudayaan.
2. Nilai-nilai kebudayaan pada pola-pola lainnya mungkin menjiwai sistem
kepribadian, dan mempengaruhi struktur kebutuhan dari sistem, yang
menentukan kehendak pelaku untuk menetapkan peranan-peranan dalam
sistem sosial.
Parsons memandang institusionalisasi baik sebagai proses maupun
struktur. Sebagai suatu proses institusionalisasi dapat digolongkan ke dalam
tipe-tipe tertentu dengan cara berikut:
1. Para pelaku dengan beraneka ragam orientasi memasuki situasi tempat
mereka harus berinteraksi.
2. Cara pelaku berorientasi merupakan pencerminan dari struktur
kebutuhannya dan bagaimana struktur kebutuhan itu telah diubah oleh
penjiwaan pola-pola kebudayaan.
3. Melalui proses interaksi tertentu, muncullah kaidah-kaidah pada saat para
pelaku saling menyesuaikan orintasi masing-masing.
4. Kaidah-kaidah itu timbul sebagai suatu cara saling menyesuaikan diri, dan
juga membatasi pola-pola kebudayaan umum.
5. Selanjutnya kaidah-kaidah itu mengatur interaksi yang terjadi kemudian,
Melalui cara-cara itu pola-pola institusionalisasi tercipta dipelihara dan
diubah. Apabila interaksi telah melmbaga, maka dapat dikatakan terdapat suatu
sistem sosial . suatu sistem sosial tidak harus merupakan masyarakat yang
menyeluruh, namun setiap pola interaksi yang diorganisasi baik secara mikro
mupun makro, merupakan suatu sistem sosial. Apabila pusat perhatian diarahkan
pada masyarakat secara total atau bagian-bagiannya yang mencakup himpunan
pola-pola peranan yang terlembaga.
Ada berbagai mekanisme pengendalian sosial khusus, yaitu:
1. Pelembagaan atau institusionalisasi yang mecerminkan peranan-peranan
yang diharapkan, dan menetralisasikan harapan-harapan yang saling
bertentangan.
2. Sanksi-sanksi antar pribadi yang dihormati para pelaku.
3. Aktifitas-aktifitas ritual melalui mana para aktor menyalurkan pelbagai
paranan dan sekaligus memeperkuat pola-pola kebudayaan yang dominan.
4. Struktur nilai-nilai penyalur ketegangan yang memisahkan potensi untuk
menyimpang dengan pola-pola intitusional normal.
5. Struktu-struktur reintegrasi yang fungsinya mengembalikan
kecenderungan-kecenderungan untuk menyimpang kearah yang normal.
6. Pelembagaan kekuatan dan paksaan ke dalam sektor-sektor tertentu sistem
2.3. Lembaga Sosial
Istilah lembaga berasal dari kata institution yang menunjuk pada pengertian tentang sesuatu yang telah mapan (established). Dalam pengertian sosiologis, lembaga dapat dilukiskan sebagai suatu organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Menurut R. M. Mac. Iver lembaga merupakan bentuk-bentuk atau kondisi prosedur yang mapan, yang menjadi karakteristik bagi aktifitas kelompok. Kelompok yang melaksanakan patokan tersebut, disebut asosiasi. Lembaga mencakup berbagai aspek yaitu, kebiasaan, tata kelakuan, norma atau kaidah hukum.( dalam Abdulsyani, 2007:76).
Menurut Soejono Soekanto (1982, dalam Abdulsyani, 2007:77), bahwa tumbuhnya lembaga sosial oleh karena manusia dalam hidupnya memerlukan keteraturan, maka dirumuskan norma-norma dalam masyarakat. Mula-mula norma tersebut terbentuk secara tidak sengaja, namun lama-kelamaan norma itu dibuat secara sadar. Dalam sosiologi ada empat tingkatan dalam proses pelembagaan, pertama: cara (usage) yang menunjuk pada suatu perbuatan. Kedua: cara (folkways), yaitu perbuatan yang selalu berulang-ulang dalam setiap usaha mencapai tujuan tertentu. Ketiga: apabila kebiasaan itu kemudian diterima sebagai patokan atau norma pengatur kelakuan bertindak, maka didalamnya sudah terdapat unsur pengawas, dan jika terjadi penyimpangan, pelakunyaakan dikenakan sanksi. Keempat: tata kelakuan yang semakin kuat yang mencerminkan kekuatan pola kelakuan masyarakat yang mengikat para anggotanya, tata kelakukan semacam ini disebut adat-istiadat (custom).
Menurut H.M. Johnson (1960, dalam Abdulsyani, 2007:78), bahwa suatu norma terlembaga (institutionalized) dalam suatu sistem sosial tertentu, apabila dipenuhi paling sedikit tiga syarat yakni:
1. Bagian terbesar dari warga suatu sistem sosial menerima norma tersebut.
2. Norma tersebut telah menjiwai bagian terbesar warga-warga sistem sosial tersebut.
3. Norma tersebut bersanksi.
Lembaga kemasyarakatan merupakan kumpulan norma-norma sosial yang dianggap dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai pola kemsyarakatan yang berlaku. Dalam hal ini perilaku seseorang secara nyata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, sedikitnya tidak berlaku atau dianggap suatu perbuatan yang sekunder. Keberlakuan suatu lembaga kemasyarakatan biasanya ditentukan oleh faktor kepentingan umum, seperti kepentingan kesejahteraan bersama, gotong-royong dan berbagai keputusan sosial lainnya.
masyarakat. Misalnya norma kesusilaan secara nurani anggota masyarakat selalu menghindari perbuatan yang melanggar kesopanan dan hukum.
Menurut Soejono Soekanto, lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1. Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan.
2. Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan.
3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (sosial control), yaitu artinya suatu sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
Menurut Gillin and Gillin, lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa ciri umum, yaitu:
1. Suatu lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi pada pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujudmelalui aktifitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.
2. Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri semua lembaga kemasyarakatan.
3. Lembaga kemasyarakatan mempunyai suatu atau beberapa tujuan tertentu.
4. Lembaga kemasyarakatn mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan.
5. Lambang-lambang biasanya juga merupakan ciri yang khas dari lembaga kemasyarakatan