• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI II. A. Emosi II. A. 1. Definisi emosi - Parental Emotional Coaching untuk Meningkatkan Kemampuan Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI II. A. Emosi II. A. 1. Definisi emosi - Parental Emotional Coaching untuk Meningkatkan Kemampuan Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Emosi

II. A. 1. Definisi emosi

Kata emosi berasal dari bahasa Prancis emotion, dari kata emouvoir, yang berarti kegembiraan. Selain itu emosi juga berasal dari bahasa Latin emovere yang

berarti “luar” dan movere yang berarti “bergerak”. Lahey (2003) mengatakan

emosi merupakan suatu hal yang dihasilkan oleh fisiologis yang menyebabkan

munculnya reaksi emosi. Reaksi ini tidak dapat dibaca namun hanya dapat dilihat

dari ekspresinya dan perilaku saja.

Menurut Prezz dalam Syukur (2011) emosi merupakan reaksi tubuh saat

menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi sangat berkaitan erat

dengan aktivitas kognitif (berfikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi

yang dialaminya. Reaksi manusia terhadap hadirnya emosi, disadari atau tidak

memiliki dampak yang bersifat membangun atau merusak. Dengan demikian bisa

dikatakan emosi tidak hanya merupakan reaksi terhadap kondisi diri sendiri

maupun luar diri sendiri, tetapi juga upaya pencapaian ke arah pembentukan diri

menuju hidup yang transendental (spiritual).

Sementara itu, menurut Lazarus (dalam Gross, 2002) menyatakan bahwa

emotions represent the ‘wisdom of the ages” – emosi-emosi mengambarkan

“kebijaksanaan usia”, membutuhkan respon-respon yang telah teruji waktu

terhadap masalah-masalah adaptif yang berulang. Hal yang penting,

(2)

tertentu, emosi-emosi hanya membuat kita lebih berkemungkinan untuk

mengambil tindakan tertentu. Hal inilah yang membuat kita mampu untuk

mengatur emosi kita. Saat merasa takut, kita bisa saja lari, namun tidak selalu

akan berlari. Saat marah, kita bisa saja menghantam sesuatu, tetapi juga tidak

selalu. Bagaimana kita meregulasi emosi kita merupakan suatu persoalan dari

bagaimana kesejahteraan (well-being) tidak mungkin dipisahkan dari kaitannya dengan emosi kita.

Menurut Frijda (dalam Nyklicek, Vingerhoets, Zeelenberg, 2011) emosi

adalah fenomena dasar dari fungsi manusia, secara normalnya memiliki nilai

adaptif untuk meningkatkan keefektifan kita dalam hal mencapai tujuan kita

dalam arti yang lebih luas. Pada level antar individu, emosi membantu

menginformasikan kepada orang lain mengenai emosi yang mendasari dan

maksud suatu perilaku. Pertukaran informasi antar masing-masing orang

merupakan hal yang penting bagi suatu hubungan antar manusia, hal yang

menentukan dari kesejahteraan sosial dan psikologis. Selain itu juga berfungsi

sebagai intrapersonal atau hubungan dengan dirinya sendiri. Seperti dalam hal memperoleh insight kedalam nilai personal seseorang yang penting untuk mengambil suatu keputusan.

Berdasarkan dari berbagai definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa

emosi adalah respon kognitif, perasaan, dan perilaku yang muncul akibat stimulus

(3)

II. A. 2. Ciri-ciri utama emosi

Tiga ciri utama dari emosi menurut Gross (2007) merupakan prototype

yang berhubungan dari penyebab awal adanya emosi, respon terhadap emosi, dan

hubungan antara penyebab awal adanya emosi dan respon terhadap emosi. Ketiga

ciri-ciri utama tersebut adalah:

1. Emosi-emosi akan mencul saat seseorang berada pada suatu situasi dan

melihat sesuatu yang berhubungan dengan tujuannya. Apapun tujuannya,

dan apapun sumber makna dari situasinya bagi seseorang, hal ini

memberikan arti bagi seseorang, dan arti ini bisa membangkitkan emosi

seseorang. Berdasarkan arti tersebut terjadi perubahan dari waktu ke waktu

(baik perubahan berarti dalam situasi itu sendiri maupun perubahan pada

arti situasinya), maka emosi juga akan berubah.

2. Emosi itu berbagai jenis.

3. Emosi lebih menekankan pada pentingnya kualitas – hal ini seperti yang

dikemukakan Frijda (1986) yang membuat istilah “ control precedence” –

berarti bahwa emosi-emosi bisa menginterupsi apa yang sedang kita

lakukan dan memaksa masuk kedalam kesadaran kita. Bagaimanapun,

emosi sering bersaing dengan respon lain yang juga dihasilkan dari

lingkungan sosial dimana emosi itu berperan. Kemampuan emosi untuk

berubah sudah ditekankan oleh William James (1884), yang menyatakan

bahwa emosi sebagai respon kecenderungan yang bisa dihasilkan dari

berbagai cara. Aspek ketiga dari emosi inilah yang menjadi hal penting

untuk analisa regulasi emosi karena ciri ini membuat regulasi bisa

(4)

Berdasarkan dari ketiga ciri emosi diatas dapat disimpulkan bahwa emosi

dapat muncul saat seseorang melihat tujuannya, emosi itu terdiri dari berbagai

jenis dan emosi itu dapat diubah dan diregulasi. Ciri yang ketiga bahwa emosi

dapat diregulasi atau diatur ini yang menjadi dasar dari analisa regulasi emosi.

II.A.3. Bagian-Bagian Emosi

Secara umum emosi yang terdapat di dalam diri manusia terdiri dari dua

bagian yaitu emosi positif dan emosi negatif. Hal-hal positif dan negatif memang

sellau datang silih berganti dalam kehidupan kita. Terkadang, kita terlalu egois

dalam menyikapi kondisi yang di alami, karena ingin semua hal yang terjadi

berjalan positif atau mungkin juga kita tidak mampu bersabar menunggu waktu

datangnya hal positif setelah terjebak sekian lama dalam kondisi yang negatif.

a. Emosi Positif

Emosi positif adalah emosi yang mampu menghadirkan perasaan

positif terhadap seseorang yang mengalaminya. Hill (dalam

Syukur, 2011) mengatakan bahwa terdapat tujuh macam emosi

yang masuk dalam emosi positif, diantaranya adalah hasrat,

keyakinan, cinta, seks, harapan, romansa dan antusiasme. Ketujuh

emosi tersebut merupakan bentuk emosi yang paling dominan,

kuat, dan paling umum digunakan dalam usaha kreatif. Jenis emosi

ini dapat menunjang keberhasilan karir dan dianggap tidak

merugikan orang lain. Seberapa besar keberhasilan dari emosi

(5)

Dari kenyataan yang sering terjadi, energi emosi positif lebih baik

digunakan dalam proses mengingat jika dibandingkan dengan

energi emosi negatif. Emosi yang positif akan menghadirkan

perasaan senang, sebab emosi ini dapat membuat otak ingin

mengenang kembali bayangan tersebut. selain itu emosi positif

juga dapat menumbulkan sebuah motivasi karena memang

memiliki unsur motivasi yang luar biasa kuat. Untuk

menumbuhkan emosi positif ini kita harus mampu mengalahkan

energi yang terkandung dalam muatan emosi negatif.

b. Emosi Negatif

Emosi negatif merupakan emosi yang selalu identik dengan

perasaan tidak menyenangkan dan dapat mengakibatkan perasaan

negatif pada orang yang mengalaminya. Biasanya emosi negatif ini

berada di luar batas kewajaran, seperti marah-marah yang tidak

terkendali, berkelahi, menangis meraung-raung, tertawa keras dan

terbahak-bahak bahkan timbulnya tindakan kriminal. Umumnya,

emosi negatif menimbulkan permasalahan yang dapat menganggu

orang yang mengalaminya, bahkan berdampak pada orang lain dan

masyarakat secara luas. Biasanya, orang yang mengalami emosi

negatif cenderung lebih memperhatikan emosi-emosi yang bernilai

negatif, seperti sedih, marah, cemas, tersinggung, benci, jijik,

prasangka, takut, curiga dan lain sebagainya. Emosi semacam itu

(6)

1. II.A.4. Jenis-jenis emosi

Hurlock (1993) mengatakan bahwa ada 5 jenis emosi pada anak,

diantaranya adalah :

a. Marah

Penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran mengenai

permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang hebat dari anak

lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan ledakan amarah yang

ditandai dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat

atau memukul orang lain.

b. Takut

Kebiasaan atau ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan

berperan penting dalam menimbulkan rasa takut, seperti cerita-cerita,

gambar – gambar, acara televisi, radio maupun film yang mengandung

unsur yang menakutkan. Biasanya reaksi awal anak untuk rasa takut adalah

panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menghindar,

bersembunyi, menangis dan menghindari situasi yang menakutkan.

c. Cemburu

Anak menjadi cemburu apabila ia menginar bahwa minat dan perhatian

orangtuanya beralih kepada orang lain di dalam keluarga. Biasanya

kehadiran adik yang baru lahir. Anak yang lebih muda dapat

mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkannya

dengan kembali berperilaku seperti anak kecil, seperti mengompol, pura –

pura sakit atau menjadi nakal. Perilaku ini semua bertujuan untuk menarik

(7)

d. Gembira atau senang

Anak merasa gembira biasanya dikarenakan mendapatkan nilai yang bagus,

hadiah, dan pujian. Anak mengungkapkan kegembiraanya dengan

tersenyum dan tertawa, melompat – lompat atau memeluk benda atau orang

yang dapat membuatnya bahagia.

e. Sedih

Anak – anak merasa sedih karena kehilangan segala sesuatu yang

dicintainya atai sesuatu yang dianggap penting bagi dirinya apakah itu

orang, binatang atau benda mati seperti mainan. Secara khas anak

mengungkapkan kesedihannya dengan menangis dan dengan kehilangan

minat terhadap kegiatan normalnya termasuk makan.

Berdasarkan lima jenis emosi yang biasanya terjadi pada anak maka dalam

penelitian ini juga akan diteliti mengenai emosi-emosi tersebut yaitu marah, sedih,

cemburu, takut dan senang atau gembira.

II. A. 5. Fungsi Emosi

Bagi manusia, dalam teori Coleman dan Hammen dalam Syukur (2011),

emosi tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan diri atau sekedar

mempertahankan hidup. Emosi pada manusia seperti yang dikemukakan oleh

Martin dalam buku Psikologi Belajar, juga memberikan fungsi sebagai pembangkit energi yang memberikan kegairahan dalam hidup manusia. Emosi

juga berfungsi sebagai messenger artinya adalah emosi yang terjadi dalam diri seseorang dapat membawa pesan atau informasi. Emosi memberitahukan kita

(8)

kita cintai dan sayangi, sehingga kita dapat memahami dan melakukan sesuatu

yang tepat dengan kondisi tersebut.

Dalam konteks ini, emosi bukan hanya pembawa informasi (messenger) dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga dalam komunikasi interpersonal.

Lebih dari itu, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.

Setiap emosi yang ada dalam diri kita memberikan rangsangan terhadap

pemikiran, khayalan baru dan tingkah laku yang baru.

II.B.6. Ekspresi Emosi

Emosi adalah keadaan internal yang memiliki perwujudan secara

ekstrenal. Meskipun yang bisa merasakan emosi adalah orang yang

mengalaminya, namun orang lain kerap bisa mengetahuinya karena emosi

terekspresikan dalam berbagai bentuk. Emosi dapat diekspresikan dalam bentuk

verbal maupun nonverbal. Syukur (2011) mengatakan bahwa ada beberapa jenis

ekspresi emosi yang menunjukkan kepribadian seseorang, diantaranya adalah:

a. Ekspresi wajah

Semua emosi yang dialami manusia akan diekspresikan melalui

raut wajah. Hanya dengan melihat wajah seseorang, kita bisa

dengan tepat menebak emosi yang sedang dialami oleh orang lain

tersebut. Kita paham wajah orang yang sedang marah, sedih,

bahagia, takut atau terkejut. Dalam hal ini, wajah saat marah dan

(9)

b. Ekspresi vokal

Nada suara seseorang akan berubah seiring dengan emosi yang

sedang dialaminya. Seseorang yang sedang marah, nada suaranya

pasti akan terdengar meninggi. Demikian juga seseorang yang

sedang bahagia, ia akan berbicara dengan lepas dan lancar.

Sementara itu, seseorang yang sedang mengalami gangguan jiwa

dan mengalami kesedihan, kemungkinan besar nada suaranya akan

terbata-bata, bahkan tidak berbicara.

c. Perubahan fisiologis

Saat kita merasakan perubahan sebuah emosi, terdapat perubahan

fisiologis yang mengiringinya, baik yang bisa kita rasakan atau

tidak. Saat takut, kita akan merasakan detak jantung yang

meningkat, berdebar-debar, kaki dan tangan gemetar. Selain itu,

kita juga merasakan bulu kuduk merinding, otot wajah menegang,

berkeringat, kencing di celana, dan lain sebagainya. Bahkan,

perubahan tersebut jarang juga diketahui oleh orang lain.

d. Gerak dan isyarat tubuh

Sering kali, emosi emosi seseorang akan diekspresikan melalui

gerak dan isyarat tubuh. Terkadang, kita cukup mengetahui

seseorang sedang gugup atau jatuh cinta hanya dari bahasa

tubuhnya. Ia akan menjadi tidak hati-hati, banyak melakukan

gerakan yang tidak perlu, sering melakukan kesalahan berkeringan

(10)

dicintainya lebih sering, duduk condong padanya, tersenyum lebih

lebar dan lain-lain.

e. Tindakan-tindakan emosional

Banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk

mengekspresikan emosi yang dialaminya. Ketika emosi marah

melanda, terkadang seseorang hanya diam. Diam dianggap sebagai

salah satu tindakan yang mencerminkan keadaan emosionalnya.

Namun, tidak jarang kira melihat emosi seseorang yang sedang

marah dengan membentak, memaki bahkan memukul. Sementara

itu, saat seseorang sedang dirundung kesedihan, ia hanya sanggup

mengapresiasikannya dengan menangis.

II. A. 7. Perkembangan regulasi emosi

Dodge dan Garber (1991) menyatakan bahwa regulasi dari sistem-sistem

respon sering dianggap sebagai suatu prestasi perkembangan karena hal ini

merupakan koordinasi yang tidak diperoleh langsung saat kita dilahirkan sehingga

biasanya diperoleh pada masa-masa awal kehidupan. Kopp (1989) menyatakan

bahwa regulasi awalnya diperoleh dari lingkungan eksternal (pengasuh) dan tugas

perkembangan hubungan antara bayi dan pengasuh adalah untuk mentransfer

kontrol tersebut pada bayi. Pada bulan pertama kehidupan, peristiwa-peristiwa

yang terjadi tanpa disadari, seperti mengisap, memutar kepala, dan pergerakan

tangan ke mulut merupakan hasil pembelajaran terhadap adanya stimulus negatif

(11)

bulan-bulan pertama kehidupan, yang membuat bayi mampu memiliki kendali atas

respon-respon motorik dan fisiologis. Selain itu, menurut Malatesta dan Walden

adanya fungsi pengaturan dari interaksi antara bayi dan pengasuh, yang kemudian

nantinya akan menjadi sumber informasi yang akan menjadi kontrol perilaku yang

tidak nampak terutama pada hal-hal yang negatif.

Pada saat bayi mulai matang, kemampuan kognitifnya mulai berkembang

(seperti diskriminasi, perencanaan, dan selective attention) membuat mereka sudah mulai bisa untuk melakukan regulasi emosi. Seluruh kegiatan ini didukung

dan dimonitor oleh pengasuh. Diantara yang paling penting pada pencapaian

perkembangan dikaitkan dengan munculnya regulasi emosi adalah pencapaian

kemampuan berbahasa dan berkomunikasi. Menangis menjadi sangat

komunikatif, membuat bayi mampu untuk menunjukkan isyarat kepada pengasuh

saat regulasi eksternal diperlukan. Dan menangis berubah menjadi sinyal-sinyal

nonverbal, seperti melihat kepada ibunya saat dipaparkan stimulus yang baru atau

ambigu, kemudian dengan munculnya bahasa.

II. B. Anak Tunarungu

II. B. 1. Definisi anak tunarungu

(12)

memakai alat bantu dengar, kehilangan pendengaran yang sangat besar tidak bisa

membuat mereka bisa mengerti sebuah percakapan jika hanya mengandalkan

telinganya saja. Hal ini berbeda dengan seseorang yang mengalami kesulitan

pendengaran (hard of hearing) yaitu seseorang yang memiliki kehilangan pendengaran yang signifikan sehingga memerlukan adapatasi khusus. Berg (1986)

menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan anak yang memiliki kesulitan

pendengaran dapat merespon percakapan dan stimulus auditori lainnya. Dengan

kata lain, kemampuan bahasa dan berbicara anak yang mengalami kesulitan

pendengaran yang mengalami penurunan atau keterlambatan bisa berkembang

dengan saluran suara (auditory channel). Anak-anak yang mengalami kesulitan pendengaran mampu menggunakan pendengaran mereka memahami suatu

percakapan, terutama jika menggunakan bantuan alat bantu dengar.

Somantri (2007) menyatakan bahwa tunarungu dapat diartikan sebagai

suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat

menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.

Batasan pengertian anak tunarungu banyak diungkapkan oleh para ahli. Seperti

menurut Dwidjosumarto (dalam Somantri, 2007) yang mengemukakan bahwa

seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu.

Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli atau tunarungu adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran

tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera

pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk

(13)

hearing aids. Selain itu Salim (dalam Somantri, 2007) juga menyimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan

kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya

sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam

perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus

untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.

Memperhatikan batasan-batasan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan

bahwa tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian

(hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya tidak berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.

II. B. 2. Klasifikasi tunarungu

Menurut Somantri (2007) klasifikasi tunarungu dibagi menjadi dua, yaitu

secara etiologis dan menurut tarafnya:

a. Klasifikasi secara etiologis

Yaitu pembagian yang berdasarkan sebab-sebab, dalam hal ini penyebab

ketunarunguan ada beberapa faktor, yaitu:

1. Sebelum dilahirkan

a) Salah satu atau kedua orang tua menderita tunarungu atau

mempunyai gel sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominan

gen, resesif gen, dan lain-lain.

b) Karena penyakit; sewaktu ibu mengandung terserang suatu

(14)

kehamilan tri semester pertama, yaitu pada saat pembentuka ruang

telinga. Penyakit itu adalah rubella, moribili, dan lain-lain.

c) Karena keracunan obat-obatan, pada suatu kehamilan ibu

meminum obat-obatan terlau banyak, ibu seorang pencandu

alkohol, atau ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya, sehingga

dia meminum obat penggugur kandungan, hal ini akan dapat

menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan.

2. Saat kelahiran

a) Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan

dibantu dengan penyedotan.

b) Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya.

3. Setelah kelahiran (post natal)

a) Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak

(meningitis) atau infeksi umum, seperti difteri, morbili, dan lain-lain.

b) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.

c) Kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran

bagian dalam, misalnya jatuh.

b. Klasifikasi menurut tarafnya

Menurut Heward (1995) ada beberapa tingkatan dari kerusakan

pendengaran dan berbagai pengaruhnya pada anak. Tidak ada dua anak yang

benar-benar memiliki pola pendengaran yang sama. Anak-anak mendengar suara

(15)

mendengar sama bervariasi dari hari ke hari. Beberapa tingkatan dari kerusakan

pendengaran adalah sebagai berikut:

a. Gangguan pendengaran lebih ringan(27-40 dB)

Anak dengan gangguan pendengaran slight loss bisa memiliki kesulitan mendengar samar-samar atau pidato yang jauh dan anak-anak ini biasanya

tidak memiliki kesulitan dalam situasi sosial.

b. Gangguan pendengaran ringan (41-55 dB)

Anak dengan gangguan pendengaran ringan masih bisa memahami

percakapan dengan jarak 3-5 kaki (face to face) dan bisa kehilangan sekitar 50% diskusi di kelas jika suaranya samar-samar atau tidak sejajar

dengan garis penglihatan. Bisa memiliki keterbatasan kosakata dan

ketidakteraturan dalam berbicara.

c. Gangguan pendengaran sedang(56-70 dB)

Anak yang mengalami gangguan pendengaran sedang hanya bisa mengerti

percakapan dengan suara keras, kesulita dalam diskusi kelompok semakin

meningkat, berkemungkinan adanya gangguan berbicara, kesulitan dalam

penggunaan pemahaman bahasa dan berkemungkinan memiliki kosakata

yang terbatas.

d. Gangguan pendengaran berat(71-90dB)

Anak yang mengalami gangguan pendengaran berathanya bisa mendengar

suara dengan jarak 1 kaki dari telinga mereka dan mampu untuk

mengidentifikasi suara-suara pada lingkungan, mampu untuk membedakan

huruf hidup tetapi tidak dengan konsonan (huruf mati). Kemampuan

(16)

tidak bisa berkembang secara spontan jika kehilangan pendengaran

dimulai pada sebelum usia 1 tahun.

e. Gangguan pendengaran sangat berat(91 dB atau lebih)

Pada anak yang mengalami gangguan pendengaran pada tahap sangat

berat, mereka bisa mendengar beberapa suara keras tetapi lebih

menggunakan sensasi getaran dibandingkan dengan gaya suara. Lebih

menekankan pada penglihatan dibandingkan dengan pendengaran untuk

berkomunikasi. Kemampuan berbahasa dan berbicara berkemungkinan

besar mengalami kerusakan dan kemampuan ini tidak berkembang secara

spontan jika kehilangan pendengaran pada masa prelingual.

Dwidjokusumo (dalam Somantri, 2007) mengemukakan klasifikasi

menurut taraf dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk kepentingan

pendidikan ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Tingkat I, Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB,

penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar

secara khusus.

b. Tingkat II, Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB,

penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus,

dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan

latihan berbahasa secara khusus.

c. Tingkat III, Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB.

(17)

Penderita dari tingkat I dan II dikatakan mengalami ketulian. Dalam

kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan berbicara, mendengar berbahasa,

dan memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan

kemampuan mendengar dari tingkat III dan IV pada hakekatnya memerlukan

pelayanan pendidikan khusus.

II. B. 3. Sejarah perkembangan tunarungu

Wouk (2011) menyatakan bahwa pada beberapa tahun awalnya,

orang-orang yang menderita tunarungu memiliki kehidupan yang terisolasi, terpisah dari

kehidupan sehari. Sekarang hal ini tidak sepenuhnya benar. Saat para peneliti

menemukan berbagai cara yang berbeda untuk menentukan masalah pendengaran,

mereka juga memiliki cara untuk memperbaikinya. Pada tahun 1995, pemenang

dari Miss America merupakan seorang yang mengalami kehilangan pendengaran

semenjak bayi. Untuk pertama kalinya dalam 75 tahun sejarah miss Amerika

dimenangkan oleh seorang yang menderita kecacatan. Setelah beberapa abad

lamanya orang tunarungu mengalami diskriminasi yang mengerikan. Lebih dari

2000 tahun yang lalu, fisuf yunani yaitu Aristoteles dan Plato menyatakan bahwa

orang tunarungu tidak bisa mendapatkan pengajaran dan pada zaman romawi

kuno seorang tunarungu tidak mendapatkan hak penuh sebagai seorang warga

negara.

Pada abad ke 16 hingga 17 tepatnya pada tahun sekitar tahun 1500 an.

Seorang doktor berkebangsaan Itali dan seorang ahli matematika yang bernama

Girolamo Cardano menjadi tertarik terhadap ketulian karena anak tertuanya tidak

(18)

dengan serangkaan gambar yang diajarkan sehingga bisa mengajar orang yang

tuli. Dia menyebut sebagai kode-kode images visual sehingga Cardano menjadi

orang pertama yang menyatakan bahwa Plato dan Aristoteles salah karena orang

tunarungu bisa diajar. Sekitar 1 abad kemudian, doktor berkebangsaan Ingris yang

bernama John Buwler sepakat dengan Cardano. Buwler mengajarkan orang

berkomunikasi dengan menggunakan tangan mereka. Dia mengajarkan orang

tunarungu menggunakan untuk pergerakan tangan untuk mengekspresikan pikiran

mereka. Dia menyarankan bahasa tanda alphabet. Perbedaan pergerakan tangan

dan jari bisa menunjukan huruf-huruf. Dengan perpindahan tangan ini, orang

tunarungu bisa menghasilkan kata-kata.

Pada tahun 1980 an, Alexander Graham Bell, penemu telepon, adalah

salah satu dari orang yang percaya bersuara akan lebih baik daripada bahasa

isyarat. Tunarungu sudah menjadi bagian dari dirinya semenjak dia masih kecil

karena memiliki ibu yang tuli, dan sebagai anak dia berbicara dengan bahasa

isyarat tetapi semenjak dia mengajar pada anak tunarungu dan menikahi salah

seorang muridnya maka Bell dan yang lain percaya bahwa jika hanya

menggunakan bahasa isyarat maka akan menghambat seseorang berkomunikasi

hanya dengan orang yang tunarungu. Dengan belajar bersuara, maka orang

tunarungu bisa berbicara dengan setiap orang sehingga pada tahun 1880, para

pendidik anak tunarungu mengadakan sebuah pertemuan dunia. Mereka

memutuskan unruk menghentikan untuk mengajarkan bahasa isyarat dan hanya

mengajarkan mereka bersuara.

Pada abad 20-an, sekolah hanya membantu orang tunarungu untuk

(19)

fisik mereka. Hal ini berlangsung sampai abad 20 dan kemudian terjadi

perubahan. Selama bertahun-tahun mulai ada beberapa cara tradisional untuk

menyembukan ketulian dan sebagian besar dari cara tersebut tidak masuk akal

seperti meletakan ranting di telinga dari pagi hingga malam hari. Selain itu, ada

juga dengan memakan lada sehingga mereka bersin dengan anggapan bersin akan

menyembuhkan ketulian. Salah satu metode tertua adalah candling dengan cara meletakan lilin di dekat telinga mereka untuk menarik kotoran telinga.

Setelah abad 20, para penemu menemukan alat untuk membuat suara lebih

terdengar keras semacam terompet di telinga yang diadaptasi dari penemuan

telepon dari Alexander Graham Bell. Selanjutnya dengan bentuk yang lebih

kecil, terdiri dari mikrophone kecil yang bisa meningkat suara dan membuat

suaranya terdengar lebih keras. Namun, hal ini hanya efektif dalam ruangan

yang tenang, namun tidak membantu saat seseorang berada di restoran yang ribut

karena segala sesuatunya termasuk latar suara yang bising juga ikut terdengar

lebih keras sehingga banyak orang yang menyudahi memakai alat ini karena

alasan tersebut. Saat ini ada alat terbaru, yaitu alat bantu dengar digital yang

terbuat dari komputer sangat kecil yang mengubah suara menjadi kepingan data.

Komputer tersebut tetap bisa menjaga agar latar suara bising tetap terdengar lebih

pelan dan menghasilkan suara yang lebih pelan dibandingkan dari suara yang

terdekat. Alat bantu dengar digital lebih rumit dibandingkan dengan model yang

terdahulu. Satu alat telah dirancang untuk kebutuhan pengguna tertentu, tetapi

alat bantu ini memiliki ukuran yang lebih kecil dan lebih cerdas, dan

(20)

pengguna maka tidak perlu mengganti alat yang baru hanya dilakukan

penyesuaian.

Dillon (dalam Dornan, 2010) menyatakan bahwa alat bantu dengar terdiri

dari suatu microphone yang mengubah suara kedalam elektro, suatu cetakan

telinga yang mengubah suara kedalam telinga, suatu pengeras suara untuk

meningkatkan kekuatan dari sinyal elektrik, suatu miniatur loudspeaker, sepasang alat untuk memperkuat suara kedalam terusan telinga dan sebuah

baterai. Alat bantu dibelakang telinga (Behind Ear Aid) adalah alat bantu dengar yang paling sesuai untuk anak-anak dan alat bantu dengar yang sesuai secara

bilateral direkomendasikan untuk anak-anak dengan bilateral hearing loss

(American Academy of Audiology, 2004). Alat bantu dengar digital adalah alat

yang menerima suara dan membuatnya menjadi digital atau gelombang suara

dibagi menjadi unit yang kecil, diskrit unit sebelum menjadi amplifikasi. Alat

bantu dengar digital bisa diprogram dan disesuaikan pada lingkungan akustik

juataan waktu per detik. Teknologi digital juga membuat hal ini menjadi

(21)

II. B. 4. Perkembangan emosional anak tunarungu

Goldstein (2005) menyatakan bahwa perkembangan emosional dan

motivasional tidak bisa dianggap sesuatu yang terpisah. Sesuatu yang

menyenangkan akan dicari dan sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari.

a. Severe/profound congenital hearing loss

Pada saat anak baru lahir mereka tidak begitu banyak memiliki

pengalaman auditori. Sehingga pada kondisi tantrum yang

dikombinasikan dengan pengaruh dari hambatan fisik dan kata-kata

yang menenangkan tidak ada. Anak yang mengalami gangguan

pendengaran akan mengacau saat menghadapinya dan menutup mata

dengan air mata yang mengalir seperti juga anak normal lainnya.

Hanya dengan adanya sentuhan yang menetap. Anak kecil yang marah

cenderung untuk mengangkat bahu dan bergerak meninggalkan.

Sebagai akibatnya anak dengan profound congenital hearing loss

berkemungkinan akan mengalaminya dalam waktu yang lebih lama,

ledakan kemarahan dan kejengkelan yang tak henti-henti, menjadi

kurang terbuka terhadap bujukan.

Bayi yang mengalami gangguan pendengaran, saat mereka

ditinggalkan, saat kontak mata mereka telah hilang, mereka merasa

terisolasi. Tidak adanya isyarat auditori menyebabkan baik sering

mengalami keterkejutan singkat. Reaksi terhadap keterkejutan adalah

(22)

b. Moderate congenital hearing loss

Masih adanya kemungkinan bahwa frekuensi rendah dalam

percakapan bisa didengar. Dan juga berdampak bisa mendeteksinya

suara bising. Walaupun pengalaman auditori masih lemah, pada masa

awal perkembangan suara-suara yang menenangkan dan bersenandung

akan menjadi efektif. Nada dan bukan isi yang penting. Pada akhirnya,

saat komunikasi verbal merupakan elemen kunci , suatu

ketidakmampuan untuk memahami dengan segera atau mampu untuk

mengekspresikan pikiran yang mengarahkan pada frustasi. Seperti

yang diprediksi bahwa kelompok anak ini juga menunjukkan lebih

banyak tanda-tanda dari kemarahan dan keras kepala.

c. Mild congenital and fluctuating hearing losses

Mild hearing loss bisa jadi yang paling terprovokasi. Jika anak berbicara dan secara jelas memahami dalam suatu situasi dia

diharapkan bisa merespon pada keseluruhan situasi. Namun hal ini

justru yang tidak bisa dilakukan oleh banyak anak yang mengalami

mild hearing loss. Untuk situasi berikutnya dalam beberapa cara yang salah karena saat pada hari yang bagus segala sesuatunya tersenyum

dan pada hari yang buruk (poor hearing) instruksi dan penjelasan susah untuk diikuti atau tidak berhasil diselesaikan. Karena mereka

dianggap suka membantah mereka mudah terprovokasi untuk

mengeluarkan respon marah, yang bisa menjadi ke bentuk temper

(23)

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa gambaran emosional

pada anak yang mengalami gangguan pendengaran atau tunarungu kategori ringan

sampai sedang adalah seringnya mereka marah-marah dengan perilaku

tantrumnya dan juga terkadang menjadi mengeluarkan emosi-emosi yang

menunjukkan penarikan diri.

II. C. Parental Emotional Coaching

II. C. 1. Landasan awal parental emotional coaching

Pelatihan orangtua dalam emotional coaching diawali dengan penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Gottman et al. (dalam Coffrin, 2007) pada 56

pasang suami istri di Illinois dengan anak mereka saat berusia empat atau lima

tahun yang kemudian ditelaah kembali ketika berusia tujuh atau delapan tahun.

Penelitian longitudinal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

sikap orangtua dan respon emosional anak (baik pada diri mereka maupun anak

mereka) dan regulasi emosi anak, tingkah laku, keterampilan sosial, dan performa

akademik (dalam Havinghurst, 2009). Gottman et al, (dalam Cook, 2004)

menemukan bahwa meta emotion coaching mempengaruhi hubungan antara tingkah laku orangtua dalam pengasuhan dan keterampilan sosial anak.

Gottman dan koleganya (dalam Coffrin, 2007) melakukan penelitian

mengenai parents’meta philoshopy yang mengacu pada serangkaian pikiran dan

perasaan yang terorganisir mengenai emosi orangtua dan emosi anak. Berdasarkan

hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa meta emosi pada dasarnya bervariasi

untuk masing-masing orangtua. Beberapa orangtua memandang bahwa

(24)

yang lainnya memandang sebagai emosi yang wajar sehingga memerlukan atensi

atau indikator-indikator yang membantu bahwa ada sesuatu yang salah atau terjadi

hal yang mengecewakan dan hal lainnya yang perlu diatasi. Perbedaan makna dari

emotional arousal juga ditemukan oleh yang lainnya (contohnya, Haviland-Jones, Gebelt & Stapley, 1997; Thompson, Flood, && Lundquist, 1995).

Dalam penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan pada parents’meta

philoshopy (Gottman dan koleganya, 1996) ada dua tipe dasar dari perilaku pola asuh terhadap emosi-emosi: emotion dismissing dan emotion coaching. Orangtua yang memiliki pola asuh emotion dismissing memandang bahwa kesedihan dan kemarahan anak sebagai racun, atau berpotensi akan membahayakan anak.

Mereka percaya bahwa tugas mereka adalah mengubah emosi negatif ini secepat

mungkin dan menjelaskan kepada anak bahwa emosi tersebut tidak penting.

Selain itu, orangtua tersebut bisa jadi tidak melihat adanya alasan anak untuk

bersedih, sebagai contoh komentar orangtua yang pertama adalah, “Apa anak

harus bersedih mengenai...?” (Gottman dan koleganya, 1996). Sehingga pada

akhirnya orangtua memandang kemarahan anak (tanpa adanya kelakuan buruk)

sebagai alasan yang sudah cukup untuk menghukum anak. Orangtua ini memiliki

filosofi meta-emotion menyamakan emosi negatif dengan keegoisan, kehilangan kontrol, ketidakpedulian, atau kegagalan. Namun hal ini bukan berarti bahwa

orangtua ini selalu keras. Pada kenyataannya, Gottman menemukan bahwa

orangtua dengan pola asuh ini bisa jadi sensitif terhadap perasaan anak mereka

dan ingin membantu, tetapi pendekatan mereka terhadap perasaan-perasaan

(25)

Sementara itu, orangtua yang memiliki teknik pola asuh yang emotional coaching akan sangat menyadari terhadap perasaan anak dan sering membuat suatu pelajaran saat anak sedang mengalami emosi negatif sebagai suatu cara

untuk mengikutsertakan anak dan mengajari mereka mengenai emosi-emosi.

Orangtua yang mendengarkan anak dan menggunakan berbagai strategi untuk

membantu anak mereka mengatur emosi. Hal ini akan membawa berbagai

keuntungan seperti pemahaman emosi yang lebih baik dan akan lebih mudah

memperbaiki dari situasi yang tidak menyenangkan. Terkait pola pengasuhan,

terdapat tiga macam gaya pengasuhan yaitu

a. Gaya pengasuhan suka menghina(derogation)

Merupakan pengasuhan negatif dimana orangtua bertingkah laku

dengan mengkritik, mengejek anak, dan tidak sabar ketika

mengajarkan sesuatu kepada anak.

b. Gaya pengasuhan yang hangat (warmth)

Orangtua yang menunjukkan kehangatan terhadap anak.

c. Gaya pengasuhan scaffolding

Orangtua responsif dan hangat terhadap anak, tapi berbeda dengan

pengasuhan warmth, orangtua mengajarkan anak hal-hal baru dan memberi struktur ketika berhadapan dengan situasi dimana mereka

harus mengajarkan anak suatu hal (ketika mengajarkan suatu

permainan, orangtua dengan gaya pengasuhan ini bisa

menjelaskan dengan tenang tujuan dan prosedur permainan,

menunggu anak untuk mencoba dan memberi pujian ketika anak

(26)

Secara lebih spesifik, emotion coaching berkorelasi negatif dengan

derogatory parenting dan berkorelasi positif dengan scaffollding (praising parent behavior).

II. C. 2. Definisi Parental Emotional Coaching

Menurut Gottman (1996) emotional coaching mencakup lima komponen, yaitu:

1. Aspek pertama yaitu menyadari munculnya emosi anak, bahkan jika emosi

tersebut hanya memiliki intensitas yang rendah. Hal ini membuat orangtua

memungkinkan untuk mengenali tanda-tanda awal dari kesedihan dan

kemarahan anak dan mengaitkannya dengan emosi negatif yang pernah

terjadi, sebelum mulai meningkat ke intensitas yang tinggi.

2. Emotion coaching parent memandang emosi-emosi negatif dari anak merupakan suatu kesempatan untuk melakukan keakraban dan pengajaran

kepada anak. Orangtua ini memandang kesedihan, sebagai informasi

penting dan suatu isyarat bahwa sesuatu telah salah dan menggunakan

ekspresi dari anak mereka ini untuk sebagai cara untuk membuat

hubungan dengan mereka. Contohnya, orangtua memberi skor yang tinggi

pada variabel perasaan dekat dengan anak-anak mereka saat mereka

merasa sedih (Gottman et al., 1997).

3. Komponen yang bertujuan untuk memvalidasi atau berempati pada emosi

negatif anak. Hal ini mencakup komunikasi dengan anak bahwa

merupakan sesuatu yang wajar apabila mengalami emosi negatif pada

(27)

4. Emotional coaching parents membantu anak memberi label terhadap emosi negatif. Yaitu, orangtua membantu anak untuk menempatkan

perasaan mereka ke dalam kata-kata yang dapat meningkatkan

pemahaman mereka dari pengalaman emosi yang pernah mereka alami..

5. Komponen dari emotion coaching mengacu pada pemecahan masalah anak. Hal-hal ini bisa mencakup membuat batasan waktu sebagai contoh,

“Ok jika kamu marah, namun kamu tidak boleh memukul adikmu,

mengambarkan perilaku yang tepat, dan membantu anak untuk

memperjelas tujuan dan strategi-strategi untuk mencapainya.

Berdasarkan pada penjelasan diatas bahwa dapat disimpulkan bahwa

emotional coaching terdiri dari lima komponen. Komponen tersebut dimulai pada saat orangtua mulai menyadari emosi anak muncul, emosi negatif yang muncul

tersebut dianggap sebagai media pembelajaran bagi anak dan sarana orangtua

untuk memiliki hubungan yang lebih dekat dengan anak mereka. Selain itu,

bagaimana orangtua bisa memastikan dan berempati terhadap emosi negatif yang

dialami oleh anak, membantu anak memberikan label terhadap emosi negatif yang

sedang dialami anak sehingga akhirnya bisa mencari pemecahan masalah terhadap

emosi negatif yang sedang dialami anak. Namun, dalam penelitian ini juga

memasukan emosi gembira atau senang dari emosi dasar manusia selain dari

(28)

II. C. 3. Kecenderungan reaksi orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak berdasarkan teori Gottman

Gottman & DeClaire (1998) menjelaskan bahwa ada empat gaya

pengasuhan yang berkaitan dengan reaksi orangtua dalam menghadapi emosi

negatif anak, yaitu orangtua yang mengabaikan (dimissing style), tidak menyetujui (disaproving style), membebaskan (laissez-faire), dan pelatih emosi (the emotion coaching style). Umumnya orangtua lebih dominan pada satu gaya. Namun demikian, penggunaan gaya lain dapat terjadi sesekali. Berikut penjelasan dari

empat gaya tersebut (Gottman & DeClaire, 1998; Gottman & Talaris Institute,

2004):

1. Orangtua yang mengabaikan (dimissingstyle)

Orangtua yang mengabaikan emosi negatif anak didasari oleh

keyakinan emosi negatif adalah sesuatu yang tidak perlu atau justru

berbahaya, dan perlu dihindari. Akibatnya, mereka menghindari

emosi-emosi tersebut, berusaha “memperbaiki” perasaan anak, atau

berupaya mengalihkan mereka dari perasaan tersebut. Mereka

berpendapat tidaklah sehat “menyimpan” emosi berlama-lama. Bila

mereka terlibat dalam penyelesaian masalah dengan anak-anak

mereka, mereka memusatkan perhatian pada yang dibutuhkan untuk

“mengatasi” emosi, bukan pada emosi itu sendiri.

Sebagian dari orangtua yang mengabaikan emosi negatif anak

cenderung meremehkan perasaan anak karena anak-anak dalam

pandangan mereka “hanyalah anak-anak”. Mereka berpandangan

(29)

yang rusak atau masalah di tempat bermain) adalah “hal-hal kecil”,

terutama bila dibandingkan dengan kecemasan-kecemasan orang

dewasa mengenai hal-hal seperti kehilangan pekerjaan. Hal ini bukan

mengisyaratkan bahwa setiap orangtua yang mengabaikan tidak

mempunyai kepekaan. Pada kenyataannya, banyak yang merasa sangat

akrab dan melindungi mereka.

Dengan orangtua yang cenderung mengabaikan emosi negatif, anak

dapat merasa, seringkali diabaikan ketika ia merasakan emosi yang

kuat. Anak belajar untuk percaya bahwa emosi seperti sedih atau

marah adalah sesuatu yang buruk dan perlu diperbaiki segera. Anak

tidak belajar bagaimana mengatasi emosi, dan dapat mengalami

kesulitan untuk itu ketika ia mengalami kekecewaan.

2. Orangtua yang tidak menyetujui (disapproving style)

Orangtua semacam ini mempunyai banyak persamaan dengan orangtua

yang mengabaikan emosi-emosi anaknya, dengan beberapa perbedaan;

secara mencolok orangtua tersebut kritis dan tidak berempati saat anak

mengambarkan pengalaman-pengalaman emosional. Mereka bukan

sekedar mengabaikan, menyangkal, atau meremehkan emosi-emosi

negatif anak, mereka tidak menyetujuinya. Hal ini dilandasi keyakinan

bahwa emosi-emosi negatif adalah hal yang tidak dapat diterima dan

dapat dikontrol. Sehingga, jangankan memahami emosi anak, orangtua

justru memberikan disiplin atau menghukum anak karena emosi yang

(30)

Penelitian menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan oleh orangtua

yang cenderung menolak maka akan mengalami kesulitan dalam

menyakini penilaian mereka sendiri, tumbuh dengan perasaan “ada

sesuatu yang salah” pada diri mereka, cenderung memiliki harga diri

yang rendah, mengalami kesulitan dalam melakukan regulasi emosi,

mengalami kesulitan berkonsentrasi, belajar, dan bersosialisasi dengan

anak lain.

3. Orangtua laissez faire

Orangtua yang menerima emosi anak, bersedia menerima tanpa syarat

perasaan-perasaan apa saja yang diungkapkan anak mereka. Orangtua

seperti ini penuh empati terhadap anak dan mereka memberitahukan

anak-anak mereka bahwa apapun yang mereka alami, orangtua

memperbolehkannya. Tetapi, orangtua tidak memberikan bimbingan

kepada anak mereka tentang bagaimana mengatasi emosi-emosi

negatif.

Orangtua menginginkan agar anak mengetahui bahwa

mengekspresikan emosi adalah suatu hal yang positif, dan apapun

tingkah laku yang ditunjukkan anak mereka akan selalu dicintai.

Terkait emosi negatif, orangtua cenderung melihat amarah dan

kesedihan sebagai suatu masalah “melepaskan uap”, membiarkan anak

mengungkapkan emosi-emosinya, maka pekerjaan sebagai orangtua

telah selesai. Kesadaran tentang bagaimana menolong anak-anak untuk

belajar dari pengalaman emosional tergolong rendah. Karenanya,

(31)

anak dan banyak yang merasa kesulitan menentukan batas-batas

tentang tingkah laku.

Pada dasarnya, pendekatan ini baik dalam beberapa hal, tetapi tidak

cukup adekuat untuk membantu perkembangan emosional bagi anak.

Dengan orangtua laissez-faire, anak dapat merasa cukup nyaman untuk mengekspresikan perasaaanya. Akan tetapi, tanpa adanya batasan akan

perilaku maupun bimbingan untuk mengatasi emosi, anak tidak belajar

untuk mengatasi emosi dengan cara yang tepat. Dampaknya, anak

kurang memiliki kemampuan untuk menenangkan diri ketika

mengalami emosi negatif, mengalami kesulitan untuk menangkap

isyarat-isyarat sosial, sehingga dapat lebih sulit untuk menjalin atau

mempertahankan hubungan pertemanan.

4. Pelatih emosi (theemotion coaching style)

Dalam beberapa segi, para orangtua pelatih emosi tidaklah berbeda

dengan orangtua laissez-faire. Kedua kelompok tampaknya menerima perasaan anak mereka tanpa syarat. Tidak satupun dari kedua

kelompok ini mencoba mengabaikan atau menyangkal perasaan anak

mereka. Namun, ada perbedaan-perbedaan penting antara kedua

kelompok, antara lain para orangtua pelatih emosi berfungsi sebagai

pemandu anak ketika anak mengalami pengalaman emosional. Mereka

tidak hanya menerima emosi anak, tapi juga memberi batasan-batasan

terhadap tingkah laku yang tidak tepat, mengajar anak dalam mengatur

perasaan, menemukan ungkapan-ungkapan yang tepat untuk perasaan

(32)

Dengan dibesarkan oleh orangtua yang melatih emosi, anak merasa

dihargai dan diberikan rasa nyaman ketika seluruh emosi dirasakannya

diterima. Pada saat yang bersamaan, anak belajar bahwa ada

batasan-batasan ketika emosi dirasakan begitu kuat. Anak menerima empati

ketika ia marah atau kecewa dan bimbingan untuk mengatasi emosi.

Selain itu, anak belajar untuk menghargai perasaannya dan

memecahkan masalah.

II. D. Parental Emotional Coaching Untuk Meningkatkan Kemampuan Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu

Anak yang terlahir dengan kondisi tunarungu memiliki konsekuensi

terhadap dirinya sendiri dan lingkungan di sekitarnya. Banyak penelitian

menunjukan seseorang tunarungu bisa juga mempengaruhi psikososialnya.

Terutama pengaruh yang negatif, tetapi pengaruh positif juga pasti ada. Area-area

yang paling banyak terpengaruh akibat keadaan seseorang yang tunarungu adalah

area komunikasi dan bahasa. Hal ini mempengaruhi dalam hal penyampaian

informasi dan keinginan sehingga akan berpengaruh terhadap adanya masalah

sosialisasi dan emosi.

Emosi adalah suatu perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang

berada dalam suatu keadaan atau interaksi yang dianggap penting baginya

(Santrock, 2002). Perkembangan emosi merupakan suatu hal yang harus

diperkenalkan atau diajarkan kepada anak sejak dini. Setiap orang harus dapat

(33)

mengajarkan emosi kepada anaknya sejak kecil artinya mereka telah mengurangi

rentan terjadinya konflik dengan orang lain.

Eisenberg dan koleganya (Eisenberg, Cumberland & Spinrad, 1998;

Fabes, Poulin, Eisenberg, & Madden-Derdich, 2002) berpendapat bahwa fokus

dari proses sosialisasi emosi dan pengaruhnya terhadap kompetensi emosi

seharusnya berada pada keluarga, dimana komunikasi emosi dipercaya sebagai hal

pertama yang penting. Sehingga, orangtua memainkan peranan penting dalam

mengajari anak mengenai emosi dan pengalaman emosi. Parke (dalam Cofrin,

2002) menyatakan bahwa orangtua mensosialisasikan emosi-emosi anak mereka

dengan cara berinteraksi dan mengajari dan melatih mereka mengenai emosi

(seperti membantu anak untuk mengidentifikasi dan memberi label mengenai

emosi mereka dan orang lain). Cara orangtua mengenalkan tentang emosi dapat

melalui ekspresi wajah, misalnya saat menunjukkan rasa marah, senang, sedih,

terkejut dan takut dapat diperlihatkan melalui dahi yang berkerut, mata serta

mulut. Pendapat lain dikemukakan oleh Thompson dalam Santrock (2002) bahwa

orangtua merupakan pihak yang dapat membantu anak-anak dalam menyalurkan

emosi mereka yang sangat beragam. Orangtua dapat mengajarkannya dengan

membuat label pada emosi tersebut serta melatih anak untuk berhadapan dengan

emosi itu secara efektif

Hasil penelitian dari Gottman menyatakan bahwa anak-anak dari

emotional-coaching parents menunjukkan kemampuan regulasi emosi yang lebih tinggi, kemampuan yang lebih besar untuk memberikan fokus atensi, dan masalah

perilaku yang lebih sedikit berdasarkan dari penilaian oleh guru (Gottman et al.,

(34)

(Eisenberg dan Fabes, 1994; Eisenberg, Fabes, dan Losoya, 1997) menyatakan

bahwa hasil positif dari anak sebagai akibat dari orangtua yang bereaksi terhadap

emosi negatif anak dengan cara yang positif. Mereka berpendapat bahwa anak

yang merasa diterima berdasarkan pengalaman mereka dan mengekspresikan

emosi negatif dan apa yang mereka pelajari dengan cara yang membangun untuk

mengatasi emosi-emosi negatif ini lebih mungkin untuk merasakan simpati

kepada orang lain, bertindak tepat secara sosial, berperilaku positif, dan

konsekuensinya, disukai oleh guru dan teman-teman.

Orangtua diharapkan bisa memiliki gaya pengasuhan yang scaffolfing

dimana orangtua bisa responsif dan hangat terhadap anak, selain itu juga

mengajarkan anak hal-hal baru dan memberikan struktur pemecahan ketika

berhadapan dengan situasi dimana harus mengajarkan anak mengenai suatu hal.

Gaya pengasuhan ini berkorelasi positif dengan emotional coaching. Sementara itu, saat menghadapi emosi negatif anak maka gaya pengasuhan yang diharapkan

adalah orang tua bisa menjadi pelatih emosi setelah mendapatkan program parental emotional coaching. Dengan dibesarkan oleh orangtua yang bisa menjadi pelatih emosi, anak merasa dihargai dan diberikan rasa nyaman ketika seluruh

emosi dirasakannya. Anak bisa menerima empati ketika ia marah atau kecewa dan

bimbingan untuk mengatasi emosi. Selain itu, anak belajar untuk menghargai

perasaanya dan memecahkan masalah. Hasil ini akan dilihat dari kemampuan

orangtua untuk bisa menerapkan problem focused reaction yaitu sejauhmana orangtua membantu anak dalam memecahkan masalah yang menjadi penyebab

(35)

II. E. Hipotesa

Dalam penelitian ini diajukan hipotesa atau jawaban sementara terhadap

permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesa dalam penelitian ini

adalah:

H0 : tidak terdapat perbedaan kemampuan dalam menghadapi emosi

negatif anak tunarungu sebelum dan sesudah mengikuti program

parental emosional coaching

Ha : terdapat perbedaan kemampuan dalam menghadapi emosi

negatif anak tunarungu sebelum dan sesudah mengikuti program

(36)

Skema Permasalahan, Realitas, Intervensi, dan Kondisi yang Diharapkan

Permasalahan :

1. Bayi yang terlahir dengan keterbatasan tidak mampu mendengar dan mendapat diagnosa tunarungu

2. Memiliki hambatan dalam bahasa dan komunikasi 3. Memerlukan penyesuaian dalam ekspresi emosi

Realitas : orangtua binggung dalam memahami ekspresi emosi negatif anak

Intervensi : Parental emotional coaching kepada orangtua untuk meningkatkan kemampuan orangtua

Referensi

Dokumen terkait

masyarakat itulah yang kemudian disebut dengan nation building dalam konteks bangsa Indonesia.. Nation Building merupakan istilah yang merujuk pada usaha membina

Pada Blok ini mahasiswa akan mempelajari tentang health, holism and the individual, nursing, healing, caring, siklus kehidupan manusia, prefessional, acountability and

Selain itu, melihat periodesasi penelitian dimulai dari tanggal 1 Juni dan 31 Agustus 2014 di mana pada 3 (tiga) bulan itu didominasi oleh peristiwa menjelang dan

Masyarakat Nias pada saat ini telah menjadikan citra visual adu zatua sebagai konsep produk kerajinan yang layak untuk diperjualbelikan sebagai objek benda budaya dari

Bahasa Indonesia yang baik dan benar digunakan dengan sangat efisien dalam sebagian besar penulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar digunakan dengan sangat efisien dalam

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua dan guru menjawab bahwa pentingnya bahasa Inggris pada anak usia dini, semakin dini anak-anak diajarkan semakin

Taigi ir jø saugumo jausmas neatitinka jø viktimiðkumo (t. tikimybës tapti nusikaltimo aukomis) lygio [3, p. Minëtø tyrimø palyginimas su atitinkamais duomenimis ið 19

Kesimpulannya aplikasi kumpulan kisah dalam Al Qur’an adalah sebagai media dalam mengetahui kisah- kisah yang terdapat dalam Al Qur’an dan ayat -ayat yang menjelaskan