• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM RADIKAL DAN MODERAT DI INDONESIA DALAM ESAI FOTO JURNALISTIK MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ISLAM RADIKAL DAN MODERAT DI INDONESIA DALAM ESAI FOTO JURNALISTIK MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ISLAM RADIKAL DAN MODERAT DI INDONESIA

DALAM ESAI FOTO JURNALISTIK

MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA

(Studi Analisis Semiotik terhadap Makna Esai Foto Jurnalistik Tentang Islam di Indonesia dalam Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009)

Disusun Oleh :

Agoes Rudianto D 1207565

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

PERSETUJUAN

Disetujui Untuk Dipertahankan

Dihadapan Panitia Penguji Skripsi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si Drs Subagyo, SU

(3)

PENGESAHAN

Telah Diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari :

Tanggal :

Panitia Penguji :

1. Ketua : Drs. Mursito, SU

NIP 19530727 198003 1001 ( ……… )

2. Sekretaris : Diah Kusumawati, M.Si

NIP. 19760101 260812 2002 ( ……… )

3. Penguji I : Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si

NIP 19580617 19870 21 001 ( ……… )

4. Penguji II : Drs Subagyo SU

NIP. 19520917 19800 31 001 ( ……… )

Mengetahui,

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Prof. Drs. Pawito Ph.D

(4)

M

MOOTTTTOO

· Semua akan indah pada waktunya, tapi hanya untuk orang yang mau berusaha

· Setiap perjalanan adalah pelajaran

(5)

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan karya sederhana ini untuk mereka, orang-orang yang telah

menjadikanku bisa berusaha dengan keras dan tekad untuk lulus :

· Bapak dan Ibu yang bagai nyala sepasang lilin di dalam hakiki kesabaran dan

jiwa kesederhanaannya, yang telah mendidik, membimbing dan membuatku

seperti sekarang ini, semoga diriku menambah kebanggaan serta tidak

mengecewakan keluarga.

· Buat adik-adikku Miko Bagus dan Basuki Wahyu Utomo, semoga bisa

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilllah Robbill’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT atas kebesaran rahmat dan karunia-Nya, serta sholawat dan

salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Skripsi berjudul Islam Radikal dan Moderat di Indonesia Dalam Esai Foto

Jurnalistik Majalah National Geographic Indonesia(Studi Analisis Semiotik terhadap Makna Foto Jurnalistik Tentang Islam di Indonesia dalam Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009) ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis sadar sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini tidak terlepas dari

bimbingan dan petunjuk serta arahan dari berbagai pihak yang dengan penuh

kesadaran memberi dan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta motivasi baik

secara langsung maupun tidak langsung. Apabila ada rangkaian kata yang lebih indah

melebihi ucapan terima kasih, dengan segenap ketulusan dan keihklasan serta

kerendahan hati akan penulis sampaikan kepada yang terhormat dan tercinta Bapak

dan Ibu serta seluruh keluarga yang menanti keberhasilan atas doa, dukungan dan

kasih sayang yang diberikan selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Special thanks for ALLAH SWT dan Al-Qur’an ( penjawab semua keraguan dan misteri ).

2. Prof. Drs. Pawito Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret.

3. Dra Prahastiwi Utari, Ph D selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

(7)

4. Drs. Subagyo SU, selaku pembimbing akademik, yang telah berkenan

memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

5. Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si dan Drs. Subagyo SU selaku dosen

pembimbing yang telah merelakan waktu untuk membimbing penulis dalam

menyusun skripsi ini.

6. Segenap dosen pengajar yang telah memberikan bekal pengetahuan,

ketrampilan dan bimbingan selama menempuh pendidikan di FISIP

Universitas Sebelas Maret.

7. Terima kasih kepada redaksi Majalah National Geographic Indonesia yang

sudah memberi bantuan selama penulis melakukan penelitian dan

pengumpulan data.

8. Bapak, Ibu dan adik-adikku (Miko dan Wahyu) atas segala doa dan dukungan

untuk tetap bersabar dan berjuang menyelesaikan skripsi ini.

9. Amin Maulin Nastria, yang selalu mendukung di masa-masa sulit studiku dan

juga semua perhatiaanya hingga skripsi ini terselesaikan.

10.Keluarga keduaku, Hasan Sakri Gozali dan Kesturi Haryunani yang

selalu mengingatkan bahwa waktu itu terbatas. Juga Ratna, Elya dan

Eko yang menjadi tempat berbagi ilmu serta motivasi.

11.FFC dan semua penghuninya yang membawa saya menjadikan fotografi

bagian dari hidup saya.

12.Desk foto Fadjar Roosdianto, Verdy Bagus, Ratna Puspita Dewi, Dwi

Prasetyo, Sunaryo Haryo Bayu, Burhan Aris Nugraha, Widodo dan Wachid.

Serta rekan kerja di Harian Umum SOLOPOS lainnya yakni Anton

Prihantono, Rina Yurini, Danang Nur Ihsan, Yusmei Sawitri, Sholahudin

Muyazin, Priyono.

13.Teman-teman Pewarta Foto Indonesia (PFI) Solo Andika, Akbar, Nuno,

Taufan, Azzam, Arie, Jimbung, Arif, Mas Boy, Mas Gembeng, Mas Andri,

(8)

14.Semua saudara dan teman yang belum atau tidak tertulis disini, yang penulis

anggap telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, bukanlah

suatu ketidakinginan karena diri-dirimu telah terlukis dalam hatiku (dan juga

karena keterbatasan penulis dalam menyusun siapa saja yang harus

disebutkan), dan juga disebabkan akan keterburu-buruan penulis untuk segera

menulis ”these thanks to things” dikarenakan dateline untuk mendaftar wisuda yang sudah mepet.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala kebaikan kepada

semuanya, Amin. Penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan, baik dari segi materi maupun dalam penyajiannya. Untuk itu

penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang disebabkan karena keterbatasan

penulis dan dengan segala kerendahan hati dan tangan terbuka penulis mengharapkan

adanya kritik serta saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi

kesempurnaan skripsi ini

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta, Mei 2011

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Kerangka Teori Kerangka Pemikiran 1. Semiotika... ... 11

2. Foto Jurnalistik... 24

3. Islam Radikal dan Moderat ... 31

4. Tempat Kejadian ... 33

F. Kerangka Pikir ... 34

G. Defenisi Konsep 1. Semiotik ... 36

2. Makna ... 36

3. Foto Jurnalistik... 37

4. Islam Radikal dan Moderat ... 37

H. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian... 38

2. Metode Penelitian... 38

3. Sumber Data... 39

(10)

BAB II DESKRIPSI MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA

A. Profil Majalah NGI ... 43

B. Visi Dan Misi Majalah NGI ... 44

C. Alur Peliputan ... 45

D. Pengawakan Redaksi ... 47

E. Fotografer James Natchwey ... 50

F. Liputan NGI Mengenai Islam di Indonesia ... 52

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Konsep Esai Foto Islam di Indoensia... 55

B. Analisa Obyek Foto ... 56

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 112

(11)

ABSTRAK

Agoes Rudianto, D 1207565 : ISLAM RADIKAL DAN MODERAT DI INDONESIA DALAM ESAI FOTO JURNALISTIK MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA (Studi Analisis Semiotik terhadap Makna Esai Foto Jurnalistik Tentang Islam di Indonesia dalam Majalah National

Geographic Indonesia edisi Oktober 2009), Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 2011. Majalah mempunyai fungsi sebagai pemberi informasi kepada khalayak, informasi bisa berupa tulisan dan juga foto yang termuat. Foto jurnalistik yang menjadi salah satu bagian dari media massa mampu memberikan penjelasan secara virtual dalam suatu berita. Selain untuk kebutuhan berita, foto mempunyai pesan berita tersendiri yang ingin disampaikan melalui sebuah visual. Penelitian ini berfokus pada bagaimana membaca sebuah foto yang termuat dalam sebuah media massa, membaca makna dalam foto majalah.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotik Roland Barthes, yang berguna untuk menganalisis makna dalam foto jurnalistik di majalah. Analisis dilakukan secara kualitatif dengan unit analisis denotasi dan konotasi yang terdapat dalam objek penelitian yang berupa foto dan caption dalam majalah yang berjumlah sepuluh foto. Akhirnya temuan dari studi ini tidak lain adalah jawaban dari rumusan masalah sebelumnya, pembentukan makna yang secara keseluruhan diperoleh setelah melewati tahapan analisis, disertai dengan tahapan identifikasi hubungan pertandaan yang memakai model Barthez.

Pemeluk Islam di Indonesia terdiri dari berbagai kelompok gerakan keagamaan yang berbeda dalam pelaksanaan syariah. Perbedaan tersebut muncul karena dipengaruhi oleh pemahaman mengenai Al Quran dan Hadist yang berbeda pula. Ada kelompok yang berusaha menegakkan syariat Islam dengan kekerasan, sedangkan kelompok lainnya berusaha menyelaraskan syariat Islam dengan perkembangan jaman.

(12)

ABSTRACT

Agoes Rudianto, D 1207565: RADICAL AND MODERATE ISLAM IN

INDONESIA OF ESSAY JOURNALISTIC PHOTOGRAPHY IN

INDONESIAN NATIONAL GEOGRAPHIC MAGAZINE (Study of Semiotic analysis of The Meaning of Jornalistic Photography about Islam in Indonesia in Indonesia National Geographic Magazine 2009 October edition). Thesis. Major in Communication Science. Faculty of Social Science and Political Science. Sebelas Maret University of Surakarta. 2011

Magazine has a function as an information source for public, this information can be a written material and also photojournalism be contained in a publication. Photojournalism, as one part of mass media, are able to explain news virtually. In addition to needs of news, photojournalism has its own news message that needs to be to be conveyed through a visual. This research is focused on how to read a published photo in a mass media, read the meaning of a photo in a magazine.

The purpose of this research is finding out the meanings that contained in photos about Islam in Indonesia by James Natchwey on Indonesian National Geographic Magazine October 2009 edition. This research is an interpretative qualitative research. Data in this research is a qualitative data (non numeric data), so it is categorized as substantive data that will be interpreted with scientific reference.

The methodology used in this research is a semiotic analysis of Roland Barthes, which is useful for analyzing the meanings of photojournalism in magazines. The analysis is done qualitatively with the unit of analysis denotation and connotation contained in the object of research in the form of a photo and caption in the magazine, amounting to 10 photos. The result of this research is the answer of previous problem formulation, the whole of formation meaning is obtained after passing through the stages of analysis, followed by signified relation identification stage of Barthez’s model.

Moslem in Indonesia consists of various groups of different religious movements in the implementation of syariah. These differences arise because it is influenced by different understanding of Al-Quran and Hadist. There is a group trying to enforce Islamic laws by violence, while another group tried to harmonize Islamic law with the developmental period.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setahun setelah bom Bali 2002, terjadi pengeboman pertama hotel JW

Marriott di Jakarta, kemudian pada tahun 2004 serangan bom menimpa Kantor

Kedutaan Australia yang juga berada di Jakarta. Sementara pada tahun 2005 terjadi

tiga kali bom bunuh diri di Bali. Setelah cukup lama tidak terjadi aksi pengeboman

yang membuat pakar mulai yakin bahwa ancaman terorisme sudah sangat berkurang,

terjadilah pengeboman di Hotel Ritz-Carlton dan di Hotel JW Marriott. Semua

kejadian tersebut tersebar dibeberapa titik saja di negara Indonesia yang luas. Hal

tersebut menegaskan kekhawatiran dunia barat bahwa negara Indonesia menjadi

tempat berlindung para teroris.

Selama beberapa dasawarsa, masyarakat Indonesia semakin terbuka

keislamannya. Jama’ah mesjid bertambah banyak dan busana Muslim menjadi

semakin populer. Pada tahun 2000, semakin banyak pemerintah daerah yang mulai

memberlakukan peraturan yang diinspirasi oleh syariah atau hukum Islam dan

dukungan untuk partai politik Islam terus meningkat. Makin lama, kelompok militan

Islam yang mendukung perjuangan dengan kekerasan untuk membentuk Indonesia

(14)

Indonesia yang berpendapat bahwa keimanan mereka dapat hidup berdampingan

dengan mulus bersama kehidupan modern dan nilai-nilai demokrasi.

Penyebaran Islam ke Indonesia berlangsung secara bertahap dan damai. Islam

turut berperan mempersatukan penduduk yang sebelumnya terpecah-pecah menjadi

budaya kawasan tunggal. Pada saat VOC yang dikelola Belanda menguasai

perdagangan rempah-rempah pada abad ke-17, Islam telah menyebar ke hampir

semua masyarakat pesisir Indonesia.

Meskipun demikian, ketika penataan kembali dunia pasca Perang Dunia II

membuka jalan menuju kemerdekaan dari penjajahan Belanda, Presiden pertama

Indonesia Sukarno memilih untuk tidak menetapkan agama resmi negara.

Menciptakan republik Islam, menurut Sukarno, dapat mengucilkan kalangan

minoritas non-Muslim. Presiden kedua Indonesia Soeharto mengambil alih kekuasaan

pada 1966, ketika meletus kekerasan antikomunis yang menewaskan setengah juta

jiwa, dan untuk sementara waktu dia berhasil meredam kekejaman dan memupuk

pertumbuhan ekonomi. Namun, rezim pemerintahannya sarat penindasan dan bergaya

militer. Pengunduran diri Soeharto pada 1998 dipicu oleh gerakan pro-demokrasi

yang dipimpin mahasiswa, berkekuatan jutaan orang yang sebagian besar Muslim.

Namun, akhir rezim Suharto juga menegaskan perpecahan di dalam

masyarakat Muslim, antara pihak yang mendukung perpaduan tradisional antara

Islam dengan kepercayaan setempat dan pihak yang berupaya “menyucikan” Islam

(15)

dikobarkan antara lain oleh ide dan praktik yang berasal dari aliran Wahabi yang

ketat di Arab Saudi.

Radikalisme belakangan ini menjadi gejala umum di dunia Islam, termasuk di

Indonesia. Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba.

Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang oleh pendukung

gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam.

Islam radikal, tampaknya, terus mencoba melawan. Perlawanan itu muncul

dalam bentuk melawan kembali kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau

identitas yang menjadi taruhan hidup. Mereka berjuang untuk menegakkan cita-cita

yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial

lain. Mereka berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari

warisan masa lalu maupun konstruksi baru. Dan, berjuang melawan musuh-musuh

tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang

dipandang menyimpang.

Kini, gerakan radikal Islam telah terfragmentasi dalam beragam organisasi.

Namun, ada sejumlah benang merah yang bisa ditarik dari berbagai kelompok Islam

radikal. Yaitu, keyakinan yang sangat kuat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi

untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri ini, perjuangan yang tak kenal lelah

menegakkan syariat Islam, resistensi terhadap kelompok yang berbeda pemahaman

dan keyakinan, serta penolakan dan kebencian yang nyaris tanpa cadangan terhadap

(16)

Pasca tragedi 11 September 2001, Islam moderat di Asia Tenggara menjadi

kebalikan atas Islam radikal. Banyak tokoh dari dalam dan luar negeri yang berharap

agar Islam moderat tampil dan memberikan andil dalam meredam gejolak teror

berlabel agama.

Kondisi semacam ini mendorong umat Islam di Asia Tenggara merespon

maraknya terorisme berlabel agama dengan menggelar konferensi yang bermaksud

membalikkan berkembangnya pengaruh Islam radikal di kalangan umat Islam pada

umumnya, dan mencegah terbentuknya opini internasional yang mengidentikkan

Islam dengan terorisme. “Deklarasi Jakarta 2001”, yang merupakan hasil Summit of World Muslim Leaders, menyatakan bahwa Islam adalah agama moderat yang cinta damai, anti-kekerasan, dan tidak anti-kemajuan. Berikutnya adalah The Jakarta International Islamic Conference (JIIC) yang dilaksanakan atas kerjasama NU-Muhammadiyah pada tanggal 13-15 Oktober 2003. Konferensi ini ingin mempertegas

peran Islam moderat Asia Tenggara yang direpresentasikan oleh NU dan

Muhammadiyah dalam meredam gelombang radikalisme. 1

Saat ini, Islam di Indonesia terus berkembang dan sebagian terkotak-kotak

sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Islam radikal menunjukkan eksistensi

dengan munculnya sejumlah organisasi massa kerap menggelar razia tempat-tempat

maksiat semisal bar dan rumah penampungan tunsusila. Di sisi lain, Islam moderat

mendengungkan pentingnya hidup berdampingan dengan agama lain, bersikap

(17)

terbuka dalam beragama dan tidak mementingkan sikap eksklusif satu agama atas

agama lainnya.

Harus diakui bahwa media massa memegang peranan penting dalam

meningkatkan pemahaman bahwa umat Islam memang terbagi menjadi berbagai

golongan. Namun, untuk itu diperlukan pula kesamapahaman makna perbedaan agar

tidak dijadikan jurang pemisah dan perlunya toleransi dari berbagai golongan umat

Islam untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing.

Umat masih berdebat tentang bagaimana Islam sesungguhnya. Tetapi bila kita

mengamati foto-foto tentang praktik keagaamaan, serta keberagaman Islam yang ada

di Indonesia yang terdapat dalam majalah National Geographic Indonesia edisi

Oktober 2009, tak dapat dipungkiri lagi bahwa Islam di Indonesia memang terbagi

dalam berbagai kelompok. Tapi perbedaan bukanlah sebuah alasan untuk berselisih.

Dari berbagai cara yang digunakan dalam berkomunikasi, salah satu

mediumnya adalah fotografi. Fotografi adalah bahasa gambar yang merupakan hasil

akhir dari komunikasi percetakan.2 Sebagai salah satu media berkomunikasi, fotografi

menyampaikan makna-makna serta pesan yang terekam dalam wujud bingkai foto.

Penemuan fotografi sendiri bukanlah sebuah sensasi sekejap, melainkan

melalui proses yang panjang selama berabad-abad dan merupakan fenomena dimana

bidang fisika dan kimia yang dikaji oleh para ilmuwan dikombinasikan dengan

pencetusan ide para seniman. Kelahiran fotografi dicanangkan pada tahun 1839 di

Perancis. Pada tahun tersebut, di negara Perancis dinyatakan bahwa fotografi adalah

(18)

sebuah terobosan teknologi.3 Saat itu, rekaman dua dimensi seperti yang dilihat mata

telah dapat dibuat secara permanen.

Fotografi adalah seni mengamati keadaan dan efektivitas fotografi ditentukan

oleh kuat dan intensnya pengamatan., Hanya pengamatan dan keutusan hasil

pengamatan yang kuat akan menghasilkan foto bermutu. Fotografi hanya tersaji pada

selembar kertas, namun dengan keterbatasannya, apabila di olah dengan benar maka

sebuah foto akan memiliki kekuatan yang besar.4

Istilah “photojourmalism” pertama kali diperkenalkan dalam dunia kampus

(Universitas Missouri) oleh Prof. Clift Edom pada 19737., maka praktek jurnalisme

visual itu telah dikenalkan dengan sejumlah pendekatannya. Pada 1980 hingga 1908,

pendekatan tradisi foto dokumenter sosial diperkenalkan Jacob Riis dan Lewis Hine

sebagai reporter “New York Sun”.

Fotografi adalah bahasa gambar, berbeda dengan tulisan atau pesan yang

disampaikan dengan kata-kata, fotografi merupakan bentuk komunikasi yang dapat

dipahami oleh seluruh dunia. Tujuan hakiki dari fotografi adalah komunikasi. Dalam

merekam suatu gambar dengan menggunakan kamera foto, tidak banyak orang yang

melakukannya hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri. Kebanyakan orang

memotret sesuatu agar karya fotonya dapat dilihat orang lain.5

3

Arbain Rambey, Sejarah Fotografi dan Sejarah Teknologi, Kompas, 23 Juni 2003, hal 20

(19)

Sebuah foto jurnalistik yang baik bisa menjelaskan elemen minimal berita,

yaitu: what, who, where, when, why, dan how (5W+1H), sedang untuk foto kadang ada tambahan unsur: komposisi, isi, konteks, kreativitas, dan jelas.

Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto terkemuka “Magnum”

menjabarkan, “Foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar,

melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya

berlangsung seketika saat suatu citra tersembul mengungkap sebuah cerita.”

Fotografi jurnalistik muncul dan berkembang di dunia sudah lama sekali,

tetapi lain halnya dengan di Indonesia, foto pertama yang di buat oleh seorang warga

negara Indonesia terjadi pada detik-detik ketika bangsa ini berhasil melepaskan diri

dari belenggu rantai penjajahan. Alex Mendur (1907-1984) yang bekerja sebagai

kepala foto kantor berita Jepang Domei, dan adiknya Frans Soemarto Mendur

(1913-1971), mengabadikan peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan Republik

Indonesia dengan kamera Leica, dan pada saat itulah pada pukul 10 pagi tanggal 17

Agustus 1945 foto jurnalis Indonesia lahir.

Semua foto pada dasarnya adalah dokumentasi dan foto jurnalistik adalah

bagian dari foto dokumentasi. (Kartono Ryadi, Editor foto Kompas). Perbedaan foto

jurnalistik dengan foto dokumentasi terletak pada pilihan, membuat foto jurnalis

berarti memilih foto mana yang cocok. (contoh : di dalam peristiwa pernikahan,

dokumentasi berarti mengambil / memfoto seluruh peristiwa dari mulai penerimaan

(20)

apakah public figure atau saat pemotongan tumpeng saat tumpengnya jatuh, itu akan jauh lebih menarik) hal lain yang membedakan antara foto dokumentasi dengan foto

jurnalis hanya terbatas pada apakah foto itu dipublikasikan atau tidak.

Kehadiran foto dalam media massa cetak memiliki 'suara' tersendiri dalam

mengkonstruksikan sebuah peristiwa. Bahasa foto merupakan bahasa visual yang

lebih mudah dipahami oleh semua orang yang bisa melihat dibandingkan dengan

bahasa verbal. Pers di Indonesia terutama media cetak yang dulunya sarat dengan

tulisan kini berubah menjadi dominasi gambar (foto). Hal ini terjadi karena

positioning, kompetisi dan tuntutan pasar mengharuskan media cetak tampil lewat komunikasi yang lebih memikat. 6

Dalam edisi Oktober majalah National Geographic Indonesia terdapat esai

foto mengenai gambaran umat Islam di Indonesia karya fotografer James Natchwey.

Foto-foto tersebut menampilkan aktifitas pemeluk agama Islam di Indoensia dari

berbagai sisi kehidupan, baik saat beribadah maupun berbaur dengan masyarakat

umum.

Sebagai contoh adalah foto Romaeni binti Hasan Basri yang mulai

mengenakan cadar pada semester terakhir ketika kuliah di Institut Kesenian Jakarta.

Teman-temannya menggodanya. Tetapi, mereka menjadi terbiasa. Foto tersebut

menggambarkan kehidupan Romaeni yang menggunakan cadar saat beraktifitas

bersama teman-temannya dari berbagai latarbelakang dan pemahaman tentang

agama.

(21)

Selain itu juga terdapat foto seorang anggota Front Pembela Islam (FPI) yang

mengenakan penutup kepala dengan tulisan semboyan ”Hidup terhormat atau mati

syahid” dengan huruf merah. Setiap tahun, mereka berpatroli di daerah permukiman

di Jakarta sebelum dan selama bulan suci Ramadan, mengintimidasi tempat maksiat,

seperti pemilik bar dan para tunasusila.

Lewat majalah ini juga definisi foto jurnalistik pun menjadi lebih melebar dan

meluas karena foto-foto yang terpilih tidak sekadar menyajikan sebuah peristiwa

penting dan kuat unsur dokumentasinya, tapi juga kuat dari segi unsur estetikanya.

Contoh mudah adalah dengan melihat sampul depan dari majalah ini yang

menunjukkan kaum wanita di komunitas An-Nadzir saat memulai salat dalam rangka

peryaan hari raya Kurban. Mukena seorang anak yang berwarna putih dengan

motifwarna-warni terlihat lebih menonjol dengan latar belakang mukena sejumlah

perempuan dewasa yang berwarna hitam pekat.

Diharapkan analisis dengan menggunakan teori semiotika pada skripsi ini

dapat mengungkapkan Islam di Indoensia dari sejumlah sisi, dari foto-foto yang

terdapat dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 yang

berisi esai foto jurnalistik berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat,

bernama Indonesia”

Faktor utama kajian dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu pesan dapat

diketahui pemaknaannya secara denotatif dan konotatif. Artinya bahwa makna yang

(22)

edisi Oktober 2009 dalam artikel berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat,

bernama Indonesia” dapat diketahui pemaknaannya secara tersirat dan tersurat.

Berangkat dari berbagai uraian diatas, penulis tertarik dengan asumsi bahwa

tidak semua pesan yang disampaikan melalui esai foto jurnalistik berjudul “Moderat

dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia” dalam majalah National

Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 dapat dengan mudah dipahami, maka

peneliti akan mencoba meneliti sekaligus mengintepretasikan makna dalam foto

jurnalistik tersebut agar dapat membuka tabir mengenai simbol-simbol Islam yang

kerap kali dipakai oleh masyarakat. Sebagai salah satu penelitian komunikasi,

penelitian ini setidaknya bisa memberikan makna yang lebih bisa dipahami dalam

pertukaran simbol Islam yang dipakai oleh media massa, seperti cadar atau polisi

syariah. Fotojurnalistik merupakan bagian dari sebuah media, kajian tentang foto

jurnalistik tentu membantu ilmu komunikasi dalam membuka pesan atau makna yang

ditampilkan fotojurnalistik sebagai bentuk berita yang dikonsumsi masyarakat luas.

B. Perumusan Masalah

Peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : Makna-makna apa yang

disampaikan fotografer James Nacthwey atas esai foto dalam majalah National

Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 yang berisi kumpulan foto jurnalistik

berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia”.

(23)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang disampaikan

fotografer James Nacthwey atas esai foto dalam majalah National Geographic

Indonesia edisi Oktober 2009 yang berisi foto jurnalistik berjudul “Moderat dan

Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia”.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

· Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

teoritis berupa penambahan kajian semiotika menggunakan kode-kode

fotografi untuk membedah makna pada foto jurnalistik.

2. Manfaat praktis

· Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi

media, pakar semiotika, pemerhati komunikasi, masyarakat akademis dan

masyarakat pada umumnya dengan memberikan pengetahuan secara lebih

mendalam bagaimana Islam di Indonesia dalam foto jurnalistik. Selain itu,

penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai titik balik untuk

melaksanakan penelitian serupa secara lebih mendalam.

E. Kerangka Teori

1. Semiotik

Ilmu komunikasi mencakup segala aspek ilmu sosial dan kebahasaan. Dalam

(24)

semiotika. Semiotika adalah ilmu tanda; berasal dari kata dalam bahasa Yunani

semeion yang berarti “tanda”. Secara sederhana, semiotika didefinisikan sebagai teori tentang tanda atau sistem tanda. Sedangkan tanda atau sign adalah sesuatu yang memiliki makna, yang mengkomunikasikan pesan-pesan kepada seseorang.7

Human minds ‘cognize’and ‘signify’ as complementary aspects of their capacity to think and feel. If we accept the metaphore of ‘higher’ and ‘lower’ levels of cognition, and the idea of seeing the ‘higher levels of cognition’ as those responsible for abstraction, language, discourse, institutions, law, science, music, visual arts, and cultural practicesn general, grounde in the use of conventionally established and intentionallyused signs (often called symbols), then semiotics is the discipline commited to the study of these ‘higher levels’.8

(Manusia memiliki kemamampuan untuk mengetahui dan menandai sebagai aspek yang saling melengkapi untuk berfikir dan merasakan.Konsep pengetahuan untuk memaknai itu sendiri masih terbagi ke dalam dua tingkatan yaitu tingkatan yang lebih tinggi dan tingkatan yang lebih rendah. Tingkat pengetahuan untuk memaknai tanda dengan tingkatan yang lebih tinggi terdapat pada bahasa, pidato, musik, hukum, senivisual dan kebudayaan pada umumnya. Semiotik merupakan disiplin ilmu untuk mengetahui pemaknaan tanda pada tingkat yang lebih tinggi).

Jika kita mengikuti Charles Sanders Peirce, maka semiotika tidak lain

daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal tentang tanda-tanda”

(the formal doctrine of signs); sementara bagi Ferdinand de Saussure, semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan

tanda-tanda di dalam masyarakat” (a science that studies the life of signs within

7 Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan, Pustaka Pelajar, 2002, hal 76 8

Andreassen, Lars. Brandt & Vang. “Cognitive Semiotics Issue 0 (Spring 2007)”,

(25)

society).9 Perbedaan pendekatan semiotik di antara keduanya adalah, bagi Peirce pendekatan semiotikanya lebih menekankan pada logika, sedangkan Saussure lebih

menekankan pada linguistik.

Some general features of the proposed domain of inquiry may be discerned. In the first place, Peirce’s early attention to the science of semiotic follows from an endeavour to find a definition of logic that would avoid the pitfalls of psychologism. This, it is evident that the representations, which the various branches of semiotic study, are not to be explicated by an examination of the actual workings of the human mind. Secondly, it is of some interest to note that semiotic is one member of the basic trivium of science, of which the other components are the science of forms (formal science) and the science of things (positive science). This primary trivium can be connected to his work on the theory of categories. In “An Unpsychological View of Logic” Peirce claims that form and matter can be abstracted from the phenomenon considered as an image or a representation. All three phenomenal aspects or elements may be generalised, giving three supposable objects: representations in general, things, and qualities. Positive science studies material things, while formal science examines qualitative forms for Semiotic, as the science of representations, would naturally be concerned with objects of the first kind, that is, with internal and external representations. Using later terminology, we could say that its proper domain is objects as thirds.10

(Beberapa tulisan umum mengemukakan domain penelitian yang bisa dilihat. Pertama, perhatian awal Peirce pada ilmu semiotik mengikuti dari usahanya menemukan definisi logic yang akan menghindarkan dari kesukaran ilmu psikologi. Demikian, ini adalah pendukung representasi dimana beberapa cabang studi semiotik tidak dapat dijabarkan oleh pemeriksaan dari pengerjaan aktual pemikiran manusia. Kedua, ini menjadi catatan yang menarik bahwa semiotik adalah satu anggota dari ilmu trivium dasar, dimana komponen lain seperti ilmu formal dan ilmu positif. Tribium utama ini bisa dihubungkan pada pengerjaannya dalam kategori teori. Dalam “An Unpsychological View of Logic” Pierce menyatakan bahwa bentuk dan masalah bisa dimasukkan dalam fenomena yang dapat dipertimbangkan sebagai gambar atau representasi. Ketiga aspek atau elemen fenomenal bisa digeneralisasikan, memberikan tiga objec perkiraan yaitu representasi secara umum, sesuatu dan kualitas. Ilmu positif mempelajari tentang suatu benda, sedangkan ilmu formal meneliti bentuk

9

Kris Budiman, Semiotika Visual, Yogyakarta, Penerbit Buku Baik, 2004, hal 3

10

Berger, Mats. The secret of rendering signs effective: the import of C. S. Peirce’s semiotic rhetoric.

(26)

kualitatif dari semiotik sebagai ilmu representasi yang secara alami menjadi berkonsentasi pada objek jenis pertama yaitu representasi internal dan eksternal. Menggunakan terminologi berikutnya, kita bisa katakan itu domain yang tepat adalah objek sebagai yang ketiga).

Menurut Peirce, sebuah tanda mengacu pada suatu acuan, dan representasi

adalah fungsi utamanya. Hal ini sesuai dengan definisi dari tanda itu sendiri, yaitu

sebagai sesuatu yang memiliki bentuk fisik, dan harus merujuk pada sesuatu yang

lain dari tanda tersebut. Dalam pengertian semiotik, yang termasuk tanda adalah

kata-kata, citra, suara, bahasa tubuh atau gesture, dan juga obyek.11

Tanda terdapat dimana-mana. Kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat,

lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Oleh karena itu, segala sesuatu bisa

menjadi sebuah tanda, misalnya struktur karya sastra, struktur film, orang, bangunan,

atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Peirce yang adalah ahli filsafat

Amerika menegaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Berarti,

sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi.12

Bahasa dianggap sebagai unsur terpenting dalam komunikasi. Dengan bahasa

tersebut, manusia mengadakan komunikasi satu dengan yang lainnya. Diantara

lambang-lambang atau simbol yang digunakan dalam proses komunikasi, seperti

bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya, bahasa adalah yang paling

banyak digunakan. Hanya bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang

kepada orang lain, apakah itu berbentuk ide, informasi atau opini. Baik mengenai hal

11

Ratna Noviani, op. cit, hal 77

12 Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba-serbi Semiotik, PT. Karya Nusantara, Jakarta, 1996, hal

(27)

yang konkret maupun yang abstrak. Bukan saja tentang hal atau peristiwa pada saat

sekarang, tetapi juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang.

Fotografi dapat dipadankan dengan bahasa, karena layaknya bahasa, fotografi

kerap berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi, yaitu dengan bahasa gambar.13

Di dalam fotografi, gambar adalah sarana bagi seorang fotografer untuk

mengungkapkan apa yang ingin disampaikan, sebagaimana kata-kata yang digunakan

oleh seorang penulis. Jadi melalui bahasa gambar tersebut, seorang fotografer

menyampaikan pesannya secara visual, yang mencakup berbagai jenis pesan, yaitu

berupa penyampaian pesan, ide, gagasan, visi, sikap fotografer dan penikmatnya.

Asumsi yang paling mendasar dari semiotika adalah menentukan bahwa

segala sesuatu adalah tanda. Prinsipnya, segala sesuatu yang dapat menimbulkan

kesan arti dapat pula berfugsi sebagai tanda, dan kesan arti itu tidak perlu harus

berkaitan dengan kesan arti yang terbentuk dari sesuatu yang diartikan atau

ditandakan.14 Bukan hanya bahasa atau unsur-unsur komunikasi tertentu saja yang tak

tersusun sebagai tanda-tanda.

Pada dasarnya, konsep utama semiotika, mencakup tiga elemen dasar yang

dapat digunakan untuk melakukan intepretasi tanda, yaitu :

- Tanda (sign), adalah yang memimpin pemahaman obyek kepada subyek. Tanda selalu menunjukkan kepada suatu hal yang nyata, seperti benda,

13 FOTOMEDIA, Warna-warni : Memahami Arti Komposisi, Juni 1996, hal 27

(28)

kejadian, tulisan, peristiwa dan sebagainya. Tanda adalah arti yang statis,

lugas, umum, dan obyektif.

- Lambang (symbol), adalah keadaan yang memimpin pemahaman subyek kepada obyek. Pemahaman masalah lambang akan mencakup penanda

(signifier), dan petanda (signified). Penanda adalah yang menandai sesuatu yang tidak seorang pun manusia yang sanggup berhubungan dengan realitas

kecuali dengan perantara bernacam tanda. Menurut Ferdinand de Saussure,

tanda atau lambang mempunyai entitas, yaitu :

1) Signifier (sound image), tanda atau penanda, merupakan bunyi dari tanda atau kata

2) Signified (concept), makna atau petanda, merupakan suatu konsep atau makna dari tanda tersebut

Hubungan antara signifier dan signified menurut Saussure bersifat arbitrary, yang berarti tidak ada hubungan yang logis. Menurutnya, tanda

“mengekspresikan” gagasan sebagai kejadian mental yang berhubungan

dengan pemikiran manusia. Jadi secara implisit, tanda berfungsi sebagai alat

komunikasi antara dua orang manusia yang secara disengaja dan bertujuan

untuk menyatakan maksud.15

- Isyarat (signal), adalah suatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si subyek kepada obyek

(29)

Charles Sanders Peirce membagi tanda menjadi 3 kategori, yaitu icon, index, dan symbol.16

1. Icon (ikon)

Di dalam ikon, hubungan antara tanda dan obyeknya terwujud sebagai

kesamaan dalam berbagai kualitas yakni dalam kesamaan atau kesesuaian

rupa yang terungkap oleh penerimanya. Sebuah diagram peta, peta, atau

lukisan misalnya, memiliki hubungan ikonik dengan obyeknya, sejauh

diantaranya terdapat keserupaan.

2. Index (indeks)

Indeks adalah tanda yang mempunyai hubungan langsung dengan objek.

Indeks merupakan fakta yang lansung dapat ditangkap, dan disamping itu

masih memberikan informasi tambahan tentang fakta-fakta lain yang tidak

dapat ditangkap. Di samping itu masih memberikan informasi tambahan

mengenai fakta-fakta lain yang tidak dapat ditangkap secara langsung.

Misalnya, basah merupakan indikasi adanya air, atau kecepatan bicara

seseorang merupakan isyarat dari perasaan si pembicara. Dengan demikian,

semua isyarat komunikasi juga mrupakan tanda adanya indikasi.

3. Symbol (simbol)

Simbol adalah bentuk tanda yang terjadi karena hasil konsensus dari para

pengguna. Contoh simbol seperti menggelengkan kepala tanda tidak setuju

atau Sang merah putih yang merupakan simbol dari negara Indonesia.

(30)

Sebuah tanda dapat dikatakan sebagai ikon, indeks, maupun simbol, bahkan

kombinasi dari ketiganya. Dapat dijelaskan dengan ilustrasi berikut. Sebuah peta

adalah indeks, karena menunjukkan suatu tempat. Dapat pula disebut sebagai ikon,

apabila menunjuk pada tempat-tempat yang saling berhubungan secara topografis.

Dan juga bisa dikatakan sebagai simbol karena adanya sistem penotasiannya yang

harus dipelajari lebih dahulu.

Semiotik dapat dideskripsikan sebagai studi dan aplikasi dari tanda (sign). Tanda menjadi segalanya yang merefleksikan makna. Dalam hal ini, fotografi adalah

sebuah tanda, tanda yang memanifestasikan baik informasi maupun emosi. Dalam

perkembangannya saat ini, analisa semiologi merupakan metode yang diterapkan

untuk mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam kehidupan sosial, dia mungkin akan

menjadi bagian dari psikologi sosial dan dengan sendirinya psikologi umum.

Semiologi akan menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda tersebut

dan hukum apayang akan mengaturnya. Pendekatan yang digunakan dalam studi

hubungan antara pola persepsi dan pemaknaan inilah yang disebut semiologi.17

Penerapan analisa semiologi komunikasi secara pasti akan membuka peluang

untuk menyingkap lebih banyak arti dalam pesan yang disampaikan secara

keseluruhan, daripada yang mungkin akan dilakukan dengan hanya mengikuti kaidah

bahasa atau berpedoman dari arti kamus dan tanda-tanda yang terpisah.

Memperhatikan kecenderungan ini, kaitannya lalu dapat dikatakan bahwa sebenarnya

analisis semiotika lebih bersifat serba guna.

(31)

Seperti beberapa istilah lain yang dipakai dalam semiotik bergambar, fotografi

adalah pengertian umum gagasan, yang hal dalam hal ini adalah dengan analisis

semiotika untuk menyusunnya. Sebagaimana fotografi dirancang dengan cara tertentu

untuk menghasilkan sebuah tanda pada suatu permukaan yang akan menambah

khayalan dari pemandangan dunia yang diproyeksikan pada permukaan tersebut.18

Dalam hal ini, fotografi adalah sebuah tanda, tanda yang memanifestasikan baik

informasi maupun emosi. Menurut Aart Van Zoest, semiologi memiliki dua

pendekatan yang dipelopori oloh Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure.

Menurut Peirce, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda yang

memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna

pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Sedangkan kekhasan teori Saussure

terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagi sistem tanda.19

Peneliti akan menggunakan teori Roland Barthes yang dikenal sebagai

pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang

mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.

Pengolahan teks dalam praktek semiotika Roland Barthes didasarkan pada

beberapa kode-kode, yakni20:

1. Kode hermeneutik, kode ataupun teka-teki yang berkisar pada harapan pembaca

untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul pada teks.

18

Goran Sonesson, The Interne Semiotics Encyclopedia,www.arthist.lu.se diakses pada5 Februari 2010 pukul 18.45 WIB

19 Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoost, opcit, hal 1

(32)

2. Kode semik (makna konotatif), banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses

pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata

atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokan dengan konotasi kata atau frase

yang mirip.

3. Kode simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat

struktural.

4. Kode proaretik (kode tindakan), dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang

dibaca orang. Artiny semua teks bersifat naratif.

5. Kode gnomik (kode kultural), kode-kode ini merupakan acuan teks ke

benda-benda yang sudah diketahui dan dimodifikasi oleh budaya.

Tujuan analisis Barthes ini bukan hanya untuk membangun sistem klasifikasi

unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukan

bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau

teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari nyata.

Menurut Roland Barthes, semiotik tidak hanya meneliti mengenai penanda dan

petanda, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka secara keseluruhan.21 Barthes

mengaplikasikan semiologinya ini hampir dalam setiap bidang kehidupan, seperti

mode busana, iklan, film, sastra dan fotografi.

Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu

tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan

(33)

hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas

yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. 22 Sedangkan konotasi adalah

tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang

didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti

(artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).

Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan

dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan. 23

Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap (two way of signification) seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.

Peta Tanda Roland Barthes

(34)

Sumber : Dikutip dari Paul Cobey & Litza Jansz, 1999, Introducing Semiotics, NY, Totem Book, hal

51 dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 2003,hal 69

Dari peta Brathes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda

(1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga

penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material.

Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan

namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya.

Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, yaitu

makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah cerita yang digunakan

untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi

Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara

untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Tidak ada mitos yang

universal pada suatu kebudayaan. Mitos ini bersifat dinamis. Mitos berubah dan

beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan

perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari

kebudayaan tersebut. Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda

berfungsi dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya

interkasi antara tanda dan pengguna / budayanya yang sangat aktif. 24

Teori tentang mitos tersebut kemudian diterangkannya dengan

mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signifed (petanda) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia akan menjadi mitos, dan

(35)

ketika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak

lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi. 25

Seperti pada gambar di bawah:

tatanan pertama tatanan kedua

realitas tanda kultur

bentuk

i s i

Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke

dalam sistem nilai budaya26

Denotasi dalam arti umum adalah makna yang sesungguhnya, bahkan

terkadang dirancukan sebagai referansi atau acuan. Denotasi adalah penggunaan

bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Namun menurut Barthes,

denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama. Sedangkan konotasi

merupakan signifikasi tingkat kedua.

25

Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

Depok, Jakarta, 2008, hal 153

26 Alex Sobur, op. cit, hal 70

denotasi Penanda

petanda

konotasi

(36)

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi

pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.27

2. Foto Jurnalistik

Bahasa merupakan alat komunikasi. Hakekat fotografi bisa dipadankan

dengan bahasa. Fotografi kerap berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi.28

Tak berbeda dengen berita tulis, foto jurnalistik juga harus mengandung nilai berita,

yakni: Prominence / Importance, pentingnya suatu berita diukur dari dampaknya

bagaimana dia mempengaruhi anda. Korban yang meninggal lebih penting ketimbang

kerusakan materi. Human interest, suatu yang menarik perhatian orang seperti berita

mengenai seleberitis, gossip politik dan drama yang menceritakan kehidupan

manusia. Conflict / Controversy, konflik biasanya lebih menarik daripada

keharmonisan. The Unusual, suatu yang tidak biasa atau unik umumnya menarik.

Timeliness, berita adalah tepat waktu, artinya unsur kecepatan menyampaikan berita

sesuai waktu atau actual merupakan hal yang penting, melewatinya maka berita

tersebut dianggap sudah basi atau kadaluarsa. Proximity, kegiatan yang terjadi dekat

kita dinilai mempunyai nilai yang lebih tinggi.

Dasar foto jurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata.

Keseimbangan data tertulis pada teks gambar adalah mutlak.

27 Alex Sobur, op. cit, hal 71

(37)

Menurut Wilson Hicks, seorang redaktur foto majalah LIFE dan perintis

kemajuan foto jurnalistik, foto jurnalistik adalah gambar dan kata. Kombinasi dari

kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan

antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya.

Sementara untuk mengenali sifat foto jurnalistik itu, Wilson Hicks dalam

buku “Word and Pictures” menjabarkan tujuh karakteristik khas dalam ranting ilmu

komunikasi tersebut, yakni sebagai berikut :29

Pertama, dasar foto jurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata.

Keseimbangan data tertulis pada teks gambar adalah mutlak. Caption sangat

membantu informasi dan pengertian suatu imaji / gambar bagi masyarakat. Foto esai

yang sangat personal pun membutuhkan caption.

Kedua, medium foto jurnalistik biasanya tercetak (saat ini, media online pun dimasukkan dalam kategori ini), bisa media cetak, kantor berita, koran atau majalah

tanpa memperhatikan tirasnya. Berbeda sekali dengan foto penerangan yang

muatannya adalah kisah sukses yang biasanya positif, maka informasi yang disebar

dan foto jurnalistiknya adalah sebagaimana adanya, disajikan dengan

sejujur-jujurnya.

Ketiga, lingkup jurnalistik adalah manusia. Itu sebabnya seorang jurnalis harus punya

kepentingan mutlak kepada manusia. Posisinya berada dipuncak piramida sajian dan

pesan visual.

(38)

Keempat, bentuk liputan foto jurnalistik adalah suatu upaya yang muncul dari bakat

dan kemampuan seorang foto jurnalis yang bertujuan melaporkan beberapa aspek dari

berita itu sendiri. Tugas pewarta foto adalah melaporkan berita sehingga bisa

memberi kesan pembaca seolah-olah mereka hadir dalam peristiwa itu.

Kelima, foto jurnalistik adalah foto fotografi komunikasi, dimana komunikasi bisa

diekspresikan seorang foto jurnalis terhadap subjeknya. Objek pemotretan hendaknya

mampu dibuat berperan aktif dalam gambar yang dihasilkan sehingga lebih pantas

menjadi subjek aktif.

Keenam, pesan yang disampaikan dari suatu hasil visual foto jurnalistik harus jelas

dan segera bisa dipahami seluruh lapisan masyarakat. Pendapat pribadi atau

pengertian sendiri tidak dianjurkan dalam foto jurnalistik. Gaya pemotretan yang

khas dan bahkan polesan seni tidak menjadi batasan dalam berkarya. Yang penting

pesan harus tetap komunikatif bagi lapisan masyarakat luas.

Ketujuh, foto jurnalistik membutuhkan tenaga penyunting yang handal, berwawasan

visual luas, populis, arif dan jeli dalam menilai karya-karya foto yang dihasilakn,

serta mampu membina dan membantu mematangkan ide atau konsep sebelum

memberi penugasan. Penyuntingan meliputi pemilihan gambar, menyunting

teknisnya, saran-saran.

Sebuah foto sebenarnya dapat berdiri sendiri, namun jurnalistik tanpa foto

tidak akan lengkap, karena foto merupakan salah satu media visual untuk merekam

(39)

dan foto jurnalistik merupakan bagian dari foto dokumentasi. Karena foto

dokumentasi adalah sebutan yang dapat dikenakan pada semua foto berita dan

sejarah, yang bertujuan untuk merekam suatu peristiwa, untuk disimpan, sebagai

arsip.30 Yang membedakan di antara keduanya adalah pada apakah foto tersebut

dipublikasikan atau tidak.31

Ciri dalam foto jurnalistik memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri,

melengkapi berita atau artikel dan dimuat dalam media massa.32 Foto jurnalistik

terbagi menjadi beberapa bagian:

· Spot news / Hard News (Berita Hangat)

Foto beragam peristiwa yang langka dan dapat mengubah sejarah dunia,

seperti peristiwa bencana alam, kecelakaan yang merenggut ratusan jiwa,

hingga aksi terorisme.

· General news (Berita Umum)

Foto rekaman peristiwa yang terjadwal atau bersifat seremoni, seperti

kunjungan presiden, peresmian sebuah gedung, dan HUT suatu negara.

· Portraits / People in the News (Potret dalam segala kondisi)

Foto yang menyajikan karakteristik sesuai dengan hati sang subyek, apakah

dalam kondisi yang gembira atau sedih, seperti orang yang menangis karena

kehilangan saudara saat perang atau orang yang gembira setelah

memenangkan sebuah perlombaan.

30

R. M. Soelarko, Pengantar Foto Jurnalistik, PT Karya Nusantara, Bandung, 1985, hal 55

(40)

· Sports (Olahraga)

Foto event olahraga seperti turnamen sepakbola Piala Eropa.

· Culture and the Art

Foto kegiatan kebudayaan dan kesenian, seperti acara Grebeg Sekaten.

· Science and Technology

Foto peristiwa ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti penerbangan pesawat

ulang aling atau operasi kembar siam.

· Nature and Environment (Alam dan Lingkungan)

Foto peristiwa yang berhubungan dengan alam dan lingkungan, seperti

gunung meletus, banjir atau kebakaran hutan.

· Daily Life (Celah Kehidupan / Keseharian)

Foto kegiatan manusia sehari-hari. Kategori ini tidak terikat dengan unsur

kehangatan berita. Hal yang diutamakan dalam kategori foto ini adalah segi

keunikan, humor, maupun perjuangan seseorang dalam menjalani kehidupan

sehari-hari, seperti aktivitas pedagang asongan, pekerja bangunan atau

nelayan.

· Feature

Foto feature bukan sekedar snapshot, tapi usaha wartawan untuk memilih sudut pandang yang khas dan bukan sekedar didikte oleh peristiwa itu sendiri,

(41)

contoh, saat terjadi kebakaran, wartawan tidak hanya memotret api yang

menyala dan petugas pemadam kebakaran yang berusaha menjinakkan api,

tapi juga memotret ekspresi pemilik rumah yang sedih kehilangan tempat

tinggal. 33

· Esai foto

Kumpulan beberapa foto features yang dapat bercerita ini dibangun melalui

sebuah imaji, yaitu foto-foto yang bercerita secara sequentatif dan teks yang

menyertainya.34

Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek. Pertama, isi pesan (content of message), yang kedua adalah lambang (symbol). Kongkritnya, isi pesan itu adalah isi foto dan caption. Isi pesan yang bersifat latent, yakni pesan yang melatarbelakangi sebuah pesan, dan pesan yang bersifat manifest, yaitu pesan yang tampak tersurat.35 Dalam hal ini, isi pesan yang dimaksud adalah isi (content) dari esai foto jurnalistik dan foto features yang berupa lambang-lambang berbentuk foto begitu juga konteks

yang menyertainya.

Pada hakekatnya, esensi dari sebuah foto jurnalistik secara umum tidak

berbeda dengan jurnalistik tulis. Hanya saja dalam foto, yang menjadi media utama

adalah foto dengan bahasa visualnya. Dalam menyampaikan permasalahan yang akan

diangkat, foto merupakan elemen utama, sedangkan naskah atau caption yang menyertainya menjadi sekunder, atau bersifat sebagai komplemen. Karena elemen

33Yuniahi Agung, loc. cit. 34 FOTOMEDIA, loc. cit.

(42)

utamanya adalah foto, maka konsekuensinya foto harus mampu dalam menggantikan

kata-kata. Sementara hal-hal yang tidak bisa tergambarkan oleh foto, terungkap

sebagai naskah atau caption.36

Dalam foto jurnalistik yang baik, seorang fotografer jurnalistik harus

mengetahui teknik-teknik pengambilan foto secara baik sehingga akan mendapatkan

hasil yang baik pula. Yang dimaksud dengan proses teknik foto yaitu urutan atau

tahapan pengambilan objek yang dilakukan oleh fotografer sehingga menghasilkan

sebuah karya foto yang dapat dinikmati, melibatkan perasaan dan menggugah emosi

khalayak yang melihat hasil foto.

Urutan dan tahap pengambilan objek foto meliputi penggunaan kamera foto,

yang berarti seorang fotografer harus sudah memahami terlebih dahulu bagian-bagian

dari kamera seperti pengaturan kecepatan, pengaturan diafragma, dan pengaturan

ruang tajam yang merupakan hal-hal yang paling mendasar dalam fotografi, tetapi

sangat berpengaruh terhadap hasil foto yang akan dibuat.

Setelah itu, seorang fotografer juga harus memahami tentang pencahayaan,

artinya objek yang diabadikan membutuhkan pengukuran cahaya secara tepat agar

objek yang diambil terlihat secara jelas, yang secara teknik, penggunaan cahaya itu

melalui pengukuran gelang diafragma dan kecepatan. Komposisi objek juga salah

satu faktor pendukung yang akan memperkuat sebuah foto, artinya tata letak objek

yang meliputi aturan sepertigaan, aturan seperlimaan, serta irisan emas dan komposisi

frame yang berarti tata letak kamera yang meliputi posisi pengambilan gambar secara

(43)

horisontal dan vertikal37 juga harus dipahami. Baru setelah teknik fotografi yang

umum telah dikuasai, unsur jurnalistik akan ditambahkan, yang akan membuat foto

tersebut jadi mempunyai nilai berita.

Objek dan peristiwa merupakan hal yang sangat penting untuk diabadikan

oleh seorang fotografer. Hal ini bersifat natural mengingat insting dari seorang

fotografer yang sangat tinggi untuk selalu mengabadikan momen atau peristiwa yang

langka. Banyak hal yang dapat diperoleh dari suatu peristiwa atau objek foto, karena

biasanya menyangkut pokok pikiran dari sebuah artikel yang akan di muat dalam

media cetak.

Selain itu objek dan peristiwa yang akan diabadikan bersifat universal. Foto

jurnalistik yang diabadikan berdasarkan objek dan peristiwa harus memiliki isi berita

karena ukurannya, bukan seberapa jauh berita itu menjangkau tetapi bagaimana foto

itu dapat menyentuh emosi dan perasaan pembaca. Gambar-gambar yang diambil

oleh seorang fotografer juga harus bisa mewakili dari keadaan yang terjadi

sebenarnya. Hal ini harus dilakukan agar bisa dinikmati oleh pembaca dan juga untuk

menggugah emosi dan melibatkan perasaan pembaca melalui media cetak.

3. Islam Radikal dan Moderat di Indonesia

John L Esposito (1997) misalnya menyamakan istilah Islam politik dengan

“fundamentalisme Islam: atau dengan gerakan-gerakan Islam lainnya. Sementara

Oliver Roy (1994) cenderung menafsirkan Islam Politik sebagai aktivitas

(44)

kelompok yang meyakini Islam sebagai agama dan sekaligus ideologi politik. Sedikit

berbeda dengan Esposito, Roy lebih spesifik merujuk pada apa yang dia sebut sebagai

gerakan neofundamentalisme yang antara lain menghendaki berlakunya

pemberlakuan syariat Islam. 38

Istilah “fundamentalisme” biasanya dipakai untuk merujuk pada

gerakan-gerakan Islam politik yang berkonotasi negative seperti “radikal, ekstrem, militan”

serta “anti Barat/Amerika”. Namun, tak jarang pula julukan “fundamentalisme”

diberikan kepada semua orang Islam yang menerima Qur’an dan Hadist sebagai jalan

hidup mereka. Dengan kata lain kebanyakan dari penegasan kembali agama dalam

politik dan masyarakat tercakup dalam istilah fundamentalisme Islam. 39

Islam moderat bukanlah “Islam baru” seperti Islam liberal yang ingin

membuat syariat baru. Namun, Islam moderat adalah Islam asli. Ia adalah usaha

untuk mengembalikan umat Islam kepada Islam original sesuai dengan tuntunan

Nabi. Moderat dalam Islam bisa dilihat dari sikap tengah Islam terhadap ajarannya

yang berupa akidah, ibadah, akhlak, ruhani-materi, hukum, dan privat-publik.

Moderat di dalam Islam sangat cocok untuk agama abadi seperti Islam. Moderat di

dalam Islam berarti adil, istiqamah, bukti kebaikan, personifikasi keamanan, bukti

kekuatan, dan pusat.

Berbeda halnya dengan Islam radikal, Islam moderat menawarkan wacana

pembebasan yang mencerahkan, sebab tidak berpijak pada pendekatan kekerasan dan

38

Endang Turmudi, Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta:, LIPI Press, 2005, hal.2.

(45)

ketergesa-gesaan. Pembebasan dan keberpihakan pada kaum yang lemah diwujudkan

dalam bentuk yang elegan, sistematis, dan evolutif. Penggunaan metode dan

pendekatan inilah yang membedakan Islam moderat dengan Islam radikal.

Fakta membuktikan bahwa agama merupakan kebutuhan asasi manusia.

Karena itu, masalah agama adalah masalah yang senantiasa menyertai kehidupan

umat manusia sepanjang sejarah sebagaimana masalah sosial lainnya,seperti ekonomi

dan politik. Ilmu pengetahuan sosial, dengan berbagai paradigma dan metode,

dikembangkan dalam rangka mengkaji perilaku manusia, tak terkecuali perilaku

dalam beragama.

Perilaku dalam beragama meliputi, perilaku individu dalam hubungannya

dengan keyakinan yang dianut seperti pengalaman beragama, perilaku individu dalam

hubungannya dengan kelompok, perilaku individu dalam hubungannya dengan

kelompok pimpinannya, perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok,

perilaku individu dalam hubungannya dengan sistem simbol/doktrin agama tertentu,

perilaku kelompok dalam hubungannya dengan pemimpin, stratifikasi sosial, perilaku

pemimpin agama dalam sistem simbol, perilaku pemimpin agama dengan stratifikasi

sosial.

4. Tempat atau Kejadian

Tempat atau kejadian merupakan hal yang terpenting karena menyangkut

(46)

kapan dan dimana peristiwa itu terjadi. Selain itu kondisi sosiokultural masyarakat

dapat dikaitkan sebagai tempat atau kejadian yaitu sebagai pengukur sejauh mana

kejadian yang berlangsung dapat mempengaruhi pola pikir dan sejauh mana kondisi

tersebut berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

F. Kerangka Pikir

Kerangka pikir penelitian ini bertolak dari adanya aksi-aksi terorisme berupa

serangan bom yang terjadi di Indonesia, sementara di sisi lain sebagian umat Islam

berpikir terbuka dalam menjalankan syariat Islam. Maka dari itu, sesungguhnya umat

Islam di Indonesia terbagi menjadi sejumlah golongan yang mempunyai keyakinan

masing-masing dalam menjalankan syariatnya dan berbeda dalam perilaku beragama.

Padahal sesungguhnya Islam adalah agama yang membawa kedamaian.

Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009, menampilkan

sebuah liputan mengenai perilaku umat Islam di Indonesia dalam tulisan dan esai foto

jurnalistik. Dari sinilah peneliti tertarik untuk menganalisis perilaku beragama umat

Islam Indonesia dalam esai foto jurnalistik yang berjudul “Moderat dan Radikal

dalam Satu Tempat, bernama Indonesia” karya James Natchwey. Dari esai foto

(47)

Berbekal hasil analisis foto tersebut, peneliti kemudian menemukan model

Dalam penelitian ini, penjelasan konsep diperlukan sebagai dasar-dasar

konsep yang jelas bagi unsur-unsur masalah yang akan diteliti dengan tujuan

menghindari kesesatan, perbedaan pengertian ataupun penafsiran mengenai

variabel-variabel penelitian yang diketengahkan antara konsep peneliti dan pembaca.

Esai Foto jurnalistik karya James Natchwey di

(48)

1. Semiotik

Adalah konsep tentang lambang atau tanda ada beberapa perbedaan teori

antara ahli semiotik modern terutama dalam penerapan konsep-konsep dan hasil

karya. Perbedaan itu mungkin disebabkan oleh perbedaan yang mendasar. Penalaran

secara hipotesis dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda tersebut memungkinkan kita

untuk berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna terhadap apa

yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotik merupakan sebuah ilmu yang

mengkaji kehidupan tanda-tanda ditengah masyarakat tujuanya adalah untuk

menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah yang mengaturnya.

2. Makna

Makna adalah hasil dari perilaku menyandi. Suatu makna terdiri dari

lambang-lambang verbal maupun nonverbal yang mewakili perasaan dan pikiran

sumber pada suatu saat dan tempat tertentu. Meskipun encoding merupakan suatu kegiatan internal yang menghasilkan suatu pesan, pesannya itu sendiri besifat

eksternal bagi sumber. Pesan adalah apa yang harus sampai dari sumber ke penerima

bila sumber bermaksud mempengaruhi penerima.40 Pesan harus menggunakan suatu

alat untuk memindahkannya dari sumber ke penerima. Dalam hal ini fotografi

40 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, Panduan Berkomunikasi

Gambar

menjabarkan, “Foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya
gambar ke verbal. Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda
GAMBARAN UMUM MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA,
Gambaran Dunia
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga perlu adanya penambahan tenaga kerja baik pegawai, maupun kontrak sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat; Terbatasnya jumlah aparat, selain kemampuan

Studi lebih spesifik yang dilakukan di Korea Association of Health Promotion didapatkkan hasil yang tidak hubungan signifikan antara kadar asam urat dengan tekanan darah

oleh karena itu keseriusan dalam belajar maupun latihan, termasuk pula dari segi melatih diri untuk beribadah, merenungkan dan melakukan firman Tuhan dalam ibadah

Aktivitas yang cukup sering dilakukan oleh peserta didik memperhatikan materi pelajaran yang disampaikan, menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, mengerjakan lembar

Kuesioner yang digunakan terdiri dari kuesioner untuk mengetahui keragaan usahatani petani mitra (Lampiran 1), kuesioner tentang pelaksanaan kemitraan yang dirasakan

dari fasa α aluminium serta partikel Si semakin besar dari spesimen dengan. casting modulus 3 ke spesimen dengan casting modulus

TUMBUHAN SALA (CYNOMETRA RAMIFLORA LINN.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ALOKSAN ” Karya Haryoto, Tanti Azizah

Sehubungan dengan adanya Kebutuhan sarana dan prasarana yang di perlukan oleh Lembaga TK AISYIYAH 5, dengan hormat kami mengajukan permohonan agar dapat memperoleh dana