SKRIPSI
ISLAM RADIKAL DAN MODERAT DI INDONESIA
DALAM ESAI FOTO JURNALISTIK
MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA
(Studi Analisis Semiotik terhadap Makna Esai Foto Jurnalistik Tentang Islam di Indonesia dalam Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009)
Disusun Oleh :
Agoes Rudianto D 1207565
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
PERSETUJUAN
Disetujui Untuk Dipertahankan
Dihadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si Drs Subagyo, SU
PENGESAHAN
Telah Diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari :
Tanggal :
Panitia Penguji :
1. Ketua : Drs. Mursito, SU
NIP 19530727 198003 1001 ( ……… )
2. Sekretaris : Diah Kusumawati, M.Si
NIP. 19760101 260812 2002 ( ……… )
3. Penguji I : Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si
NIP 19580617 19870 21 001 ( ……… )
4. Penguji II : Drs Subagyo SU
NIP. 19520917 19800 31 001 ( ……… )
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Prof. Drs. Pawito Ph.D
M
MOOTTTTOO
· Semua akan indah pada waktunya, tapi hanya untuk orang yang mau berusaha
· Setiap perjalanan adalah pelajaran
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan karya sederhana ini untuk mereka, orang-orang yang telah
menjadikanku bisa berusaha dengan keras dan tekad untuk lulus :
· Bapak dan Ibu yang bagai nyala sepasang lilin di dalam hakiki kesabaran dan
jiwa kesederhanaannya, yang telah mendidik, membimbing dan membuatku
seperti sekarang ini, semoga diriku menambah kebanggaan serta tidak
mengecewakan keluarga.
· Buat adik-adikku Miko Bagus dan Basuki Wahyu Utomo, semoga bisa
KATA PENGANTAR
Alhamdulilllah Robbill’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT atas kebesaran rahmat dan karunia-Nya, serta sholawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Skripsi berjudul Islam Radikal dan Moderat di Indonesia Dalam Esai Foto
Jurnalistik Majalah National Geographic Indonesia(Studi Analisis Semiotik terhadap Makna Foto Jurnalistik Tentang Islam di Indonesia dalam Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009) ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini tidak terlepas dari
bimbingan dan petunjuk serta arahan dari berbagai pihak yang dengan penuh
kesadaran memberi dan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta motivasi baik
secara langsung maupun tidak langsung. Apabila ada rangkaian kata yang lebih indah
melebihi ucapan terima kasih, dengan segenap ketulusan dan keihklasan serta
kerendahan hati akan penulis sampaikan kepada yang terhormat dan tercinta Bapak
dan Ibu serta seluruh keluarga yang menanti keberhasilan atas doa, dukungan dan
kasih sayang yang diberikan selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Special thanks for ALLAH SWT dan Al-Qur’an ( penjawab semua keraguan dan misteri ).
2. Prof. Drs. Pawito Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret.
3. Dra Prahastiwi Utari, Ph D selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
4. Drs. Subagyo SU, selaku pembimbing akademik, yang telah berkenan
memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
5. Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si dan Drs. Subagyo SU selaku dosen
pembimbing yang telah merelakan waktu untuk membimbing penulis dalam
menyusun skripsi ini.
6. Segenap dosen pengajar yang telah memberikan bekal pengetahuan,
ketrampilan dan bimbingan selama menempuh pendidikan di FISIP
Universitas Sebelas Maret.
7. Terima kasih kepada redaksi Majalah National Geographic Indonesia yang
sudah memberi bantuan selama penulis melakukan penelitian dan
pengumpulan data.
8. Bapak, Ibu dan adik-adikku (Miko dan Wahyu) atas segala doa dan dukungan
untuk tetap bersabar dan berjuang menyelesaikan skripsi ini.
9. Amin Maulin Nastria, yang selalu mendukung di masa-masa sulit studiku dan
juga semua perhatiaanya hingga skripsi ini terselesaikan.
10.Keluarga keduaku, Hasan Sakri Gozali dan Kesturi Haryunani yang
selalu mengingatkan bahwa waktu itu terbatas. Juga Ratna, Elya dan
Eko yang menjadi tempat berbagi ilmu serta motivasi.
11.FFC dan semua penghuninya yang membawa saya menjadikan fotografi
bagian dari hidup saya.
12.Desk foto Fadjar Roosdianto, Verdy Bagus, Ratna Puspita Dewi, Dwi
Prasetyo, Sunaryo Haryo Bayu, Burhan Aris Nugraha, Widodo dan Wachid.
Serta rekan kerja di Harian Umum SOLOPOS lainnya yakni Anton
Prihantono, Rina Yurini, Danang Nur Ihsan, Yusmei Sawitri, Sholahudin
Muyazin, Priyono.
13.Teman-teman Pewarta Foto Indonesia (PFI) Solo Andika, Akbar, Nuno,
Taufan, Azzam, Arie, Jimbung, Arif, Mas Boy, Mas Gembeng, Mas Andri,
14.Semua saudara dan teman yang belum atau tidak tertulis disini, yang penulis
anggap telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, bukanlah
suatu ketidakinginan karena diri-dirimu telah terlukis dalam hatiku (dan juga
karena keterbatasan penulis dalam menyusun siapa saja yang harus
disebutkan), dan juga disebabkan akan keterburu-buruan penulis untuk segera
menulis ”these thanks to things” dikarenakan dateline untuk mendaftar wisuda yang sudah mepet.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala kebaikan kepada
semuanya, Amin. Penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari segi materi maupun dalam penyajiannya. Untuk itu
penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang disebabkan karena keterbatasan
penulis dan dengan segala kerendahan hati dan tangan terbuka penulis mengharapkan
adanya kritik serta saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan skripsi ini
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Mei 2011
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Kerangka Teori Kerangka Pemikiran 1. Semiotika... ... 11
2. Foto Jurnalistik... 24
3. Islam Radikal dan Moderat ... 31
4. Tempat Kejadian ... 33
F. Kerangka Pikir ... 34
G. Defenisi Konsep 1. Semiotik ... 36
2. Makna ... 36
3. Foto Jurnalistik... 37
4. Islam Radikal dan Moderat ... 37
H. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian... 38
2. Metode Penelitian... 38
3. Sumber Data... 39
BAB II DESKRIPSI MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA
A. Profil Majalah NGI ... 43
B. Visi Dan Misi Majalah NGI ... 44
C. Alur Peliputan ... 45
D. Pengawakan Redaksi ... 47
E. Fotografer James Natchwey ... 50
F. Liputan NGI Mengenai Islam di Indonesia ... 52
BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Konsep Esai Foto Islam di Indoensia... 55
B. Analisa Obyek Foto ... 56
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 109
B. Saran ... 112
ABSTRAK
Agoes Rudianto, D 1207565 : ISLAM RADIKAL DAN MODERAT DI INDONESIA DALAM ESAI FOTO JURNALISTIK MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA (Studi Analisis Semiotik terhadap Makna Esai Foto Jurnalistik Tentang Islam di Indonesia dalam Majalah National
Geographic Indonesia edisi Oktober 2009), Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 2011. Majalah mempunyai fungsi sebagai pemberi informasi kepada khalayak, informasi bisa berupa tulisan dan juga foto yang termuat. Foto jurnalistik yang menjadi salah satu bagian dari media massa mampu memberikan penjelasan secara virtual dalam suatu berita. Selain untuk kebutuhan berita, foto mempunyai pesan berita tersendiri yang ingin disampaikan melalui sebuah visual. Penelitian ini berfokus pada bagaimana membaca sebuah foto yang termuat dalam sebuah media massa, membaca makna dalam foto majalah.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotik Roland Barthes, yang berguna untuk menganalisis makna dalam foto jurnalistik di majalah. Analisis dilakukan secara kualitatif dengan unit analisis denotasi dan konotasi yang terdapat dalam objek penelitian yang berupa foto dan caption dalam majalah yang berjumlah sepuluh foto. Akhirnya temuan dari studi ini tidak lain adalah jawaban dari rumusan masalah sebelumnya, pembentukan makna yang secara keseluruhan diperoleh setelah melewati tahapan analisis, disertai dengan tahapan identifikasi hubungan pertandaan yang memakai model Barthez.
Pemeluk Islam di Indonesia terdiri dari berbagai kelompok gerakan keagamaan yang berbeda dalam pelaksanaan syariah. Perbedaan tersebut muncul karena dipengaruhi oleh pemahaman mengenai Al Quran dan Hadist yang berbeda pula. Ada kelompok yang berusaha menegakkan syariat Islam dengan kekerasan, sedangkan kelompok lainnya berusaha menyelaraskan syariat Islam dengan perkembangan jaman.
ABSTRACT
Agoes Rudianto, D 1207565: RADICAL AND MODERATE ISLAM IN
INDONESIA OF ESSAY JOURNALISTIC PHOTOGRAPHY IN
INDONESIAN NATIONAL GEOGRAPHIC MAGAZINE (Study of Semiotic analysis of The Meaning of Jornalistic Photography about Islam in Indonesia in Indonesia National Geographic Magazine 2009 October edition). Thesis. Major in Communication Science. Faculty of Social Science and Political Science. Sebelas Maret University of Surakarta. 2011
Magazine has a function as an information source for public, this information can be a written material and also photojournalism be contained in a publication. Photojournalism, as one part of mass media, are able to explain news virtually. In addition to needs of news, photojournalism has its own news message that needs to be to be conveyed through a visual. This research is focused on how to read a published photo in a mass media, read the meaning of a photo in a magazine.
The purpose of this research is finding out the meanings that contained in photos about Islam in Indonesia by James Natchwey on Indonesian National Geographic Magazine October 2009 edition. This research is an interpretative qualitative research. Data in this research is a qualitative data (non numeric data), so it is categorized as substantive data that will be interpreted with scientific reference.
The methodology used in this research is a semiotic analysis of Roland Barthes, which is useful for analyzing the meanings of photojournalism in magazines. The analysis is done qualitatively with the unit of analysis denotation and connotation contained in the object of research in the form of a photo and caption in the magazine, amounting to 10 photos. The result of this research is the answer of previous problem formulation, the whole of formation meaning is obtained after passing through the stages of analysis, followed by signified relation identification stage of Barthez’s model.
Moslem in Indonesia consists of various groups of different religious movements in the implementation of syariah. These differences arise because it is influenced by different understanding of Al-Quran and Hadist. There is a group trying to enforce Islamic laws by violence, while another group tried to harmonize Islamic law with the developmental period.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setahun setelah bom Bali 2002, terjadi pengeboman pertama hotel JW
Marriott di Jakarta, kemudian pada tahun 2004 serangan bom menimpa Kantor
Kedutaan Australia yang juga berada di Jakarta. Sementara pada tahun 2005 terjadi
tiga kali bom bunuh diri di Bali. Setelah cukup lama tidak terjadi aksi pengeboman
yang membuat pakar mulai yakin bahwa ancaman terorisme sudah sangat berkurang,
terjadilah pengeboman di Hotel Ritz-Carlton dan di Hotel JW Marriott. Semua
kejadian tersebut tersebar dibeberapa titik saja di negara Indonesia yang luas. Hal
tersebut menegaskan kekhawatiran dunia barat bahwa negara Indonesia menjadi
tempat berlindung para teroris.
Selama beberapa dasawarsa, masyarakat Indonesia semakin terbuka
keislamannya. Jama’ah mesjid bertambah banyak dan busana Muslim menjadi
semakin populer. Pada tahun 2000, semakin banyak pemerintah daerah yang mulai
memberlakukan peraturan yang diinspirasi oleh syariah atau hukum Islam dan
dukungan untuk partai politik Islam terus meningkat. Makin lama, kelompok militan
Islam yang mendukung perjuangan dengan kekerasan untuk membentuk Indonesia
Indonesia yang berpendapat bahwa keimanan mereka dapat hidup berdampingan
dengan mulus bersama kehidupan modern dan nilai-nilai demokrasi.
Penyebaran Islam ke Indonesia berlangsung secara bertahap dan damai. Islam
turut berperan mempersatukan penduduk yang sebelumnya terpecah-pecah menjadi
budaya kawasan tunggal. Pada saat VOC yang dikelola Belanda menguasai
perdagangan rempah-rempah pada abad ke-17, Islam telah menyebar ke hampir
semua masyarakat pesisir Indonesia.
Meskipun demikian, ketika penataan kembali dunia pasca Perang Dunia II
membuka jalan menuju kemerdekaan dari penjajahan Belanda, Presiden pertama
Indonesia Sukarno memilih untuk tidak menetapkan agama resmi negara.
Menciptakan republik Islam, menurut Sukarno, dapat mengucilkan kalangan
minoritas non-Muslim. Presiden kedua Indonesia Soeharto mengambil alih kekuasaan
pada 1966, ketika meletus kekerasan antikomunis yang menewaskan setengah juta
jiwa, dan untuk sementara waktu dia berhasil meredam kekejaman dan memupuk
pertumbuhan ekonomi. Namun, rezim pemerintahannya sarat penindasan dan bergaya
militer. Pengunduran diri Soeharto pada 1998 dipicu oleh gerakan pro-demokrasi
yang dipimpin mahasiswa, berkekuatan jutaan orang yang sebagian besar Muslim.
Namun, akhir rezim Suharto juga menegaskan perpecahan di dalam
masyarakat Muslim, antara pihak yang mendukung perpaduan tradisional antara
Islam dengan kepercayaan setempat dan pihak yang berupaya “menyucikan” Islam
dikobarkan antara lain oleh ide dan praktik yang berasal dari aliran Wahabi yang
ketat di Arab Saudi.
Radikalisme belakangan ini menjadi gejala umum di dunia Islam, termasuk di
Indonesia. Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba.
Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang oleh pendukung
gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam.
Islam radikal, tampaknya, terus mencoba melawan. Perlawanan itu muncul
dalam bentuk melawan kembali kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau
identitas yang menjadi taruhan hidup. Mereka berjuang untuk menegakkan cita-cita
yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial
lain. Mereka berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari
warisan masa lalu maupun konstruksi baru. Dan, berjuang melawan musuh-musuh
tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang
dipandang menyimpang.
Kini, gerakan radikal Islam telah terfragmentasi dalam beragam organisasi.
Namun, ada sejumlah benang merah yang bisa ditarik dari berbagai kelompok Islam
radikal. Yaitu, keyakinan yang sangat kuat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi
untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri ini, perjuangan yang tak kenal lelah
menegakkan syariat Islam, resistensi terhadap kelompok yang berbeda pemahaman
dan keyakinan, serta penolakan dan kebencian yang nyaris tanpa cadangan terhadap
Pasca tragedi 11 September 2001, Islam moderat di Asia Tenggara menjadi
kebalikan atas Islam radikal. Banyak tokoh dari dalam dan luar negeri yang berharap
agar Islam moderat tampil dan memberikan andil dalam meredam gejolak teror
berlabel agama.
Kondisi semacam ini mendorong umat Islam di Asia Tenggara merespon
maraknya terorisme berlabel agama dengan menggelar konferensi yang bermaksud
membalikkan berkembangnya pengaruh Islam radikal di kalangan umat Islam pada
umumnya, dan mencegah terbentuknya opini internasional yang mengidentikkan
Islam dengan terorisme. “Deklarasi Jakarta 2001”, yang merupakan hasil Summit of World Muslim Leaders, menyatakan bahwa Islam adalah agama moderat yang cinta damai, anti-kekerasan, dan tidak anti-kemajuan. Berikutnya adalah The Jakarta International Islamic Conference (JIIC) yang dilaksanakan atas kerjasama NU-Muhammadiyah pada tanggal 13-15 Oktober 2003. Konferensi ini ingin mempertegas
peran Islam moderat Asia Tenggara yang direpresentasikan oleh NU dan
Muhammadiyah dalam meredam gelombang radikalisme. 1
Saat ini, Islam di Indonesia terus berkembang dan sebagian terkotak-kotak
sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Islam radikal menunjukkan eksistensi
dengan munculnya sejumlah organisasi massa kerap menggelar razia tempat-tempat
maksiat semisal bar dan rumah penampungan tunsusila. Di sisi lain, Islam moderat
mendengungkan pentingnya hidup berdampingan dengan agama lain, bersikap
terbuka dalam beragama dan tidak mementingkan sikap eksklusif satu agama atas
agama lainnya.
Harus diakui bahwa media massa memegang peranan penting dalam
meningkatkan pemahaman bahwa umat Islam memang terbagi menjadi berbagai
golongan. Namun, untuk itu diperlukan pula kesamapahaman makna perbedaan agar
tidak dijadikan jurang pemisah dan perlunya toleransi dari berbagai golongan umat
Islam untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing.
Umat masih berdebat tentang bagaimana Islam sesungguhnya. Tetapi bila kita
mengamati foto-foto tentang praktik keagaamaan, serta keberagaman Islam yang ada
di Indonesia yang terdapat dalam majalah National Geographic Indonesia edisi
Oktober 2009, tak dapat dipungkiri lagi bahwa Islam di Indonesia memang terbagi
dalam berbagai kelompok. Tapi perbedaan bukanlah sebuah alasan untuk berselisih.
Dari berbagai cara yang digunakan dalam berkomunikasi, salah satu
mediumnya adalah fotografi. Fotografi adalah bahasa gambar yang merupakan hasil
akhir dari komunikasi percetakan.2 Sebagai salah satu media berkomunikasi, fotografi
menyampaikan makna-makna serta pesan yang terekam dalam wujud bingkai foto.
Penemuan fotografi sendiri bukanlah sebuah sensasi sekejap, melainkan
melalui proses yang panjang selama berabad-abad dan merupakan fenomena dimana
bidang fisika dan kimia yang dikaji oleh para ilmuwan dikombinasikan dengan
pencetusan ide para seniman. Kelahiran fotografi dicanangkan pada tahun 1839 di
Perancis. Pada tahun tersebut, di negara Perancis dinyatakan bahwa fotografi adalah
sebuah terobosan teknologi.3 Saat itu, rekaman dua dimensi seperti yang dilihat mata
telah dapat dibuat secara permanen.
Fotografi adalah seni mengamati keadaan dan efektivitas fotografi ditentukan
oleh kuat dan intensnya pengamatan., Hanya pengamatan dan keutusan hasil
pengamatan yang kuat akan menghasilkan foto bermutu. Fotografi hanya tersaji pada
selembar kertas, namun dengan keterbatasannya, apabila di olah dengan benar maka
sebuah foto akan memiliki kekuatan yang besar.4
Istilah “photojourmalism” pertama kali diperkenalkan dalam dunia kampus
(Universitas Missouri) oleh Prof. Clift Edom pada 19737., maka praktek jurnalisme
visual itu telah dikenalkan dengan sejumlah pendekatannya. Pada 1980 hingga 1908,
pendekatan tradisi foto dokumenter sosial diperkenalkan Jacob Riis dan Lewis Hine
sebagai reporter “New York Sun”.
Fotografi adalah bahasa gambar, berbeda dengan tulisan atau pesan yang
disampaikan dengan kata-kata, fotografi merupakan bentuk komunikasi yang dapat
dipahami oleh seluruh dunia. Tujuan hakiki dari fotografi adalah komunikasi. Dalam
merekam suatu gambar dengan menggunakan kamera foto, tidak banyak orang yang
melakukannya hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri. Kebanyakan orang
memotret sesuatu agar karya fotonya dapat dilihat orang lain.5
3
Arbain Rambey, Sejarah Fotografi dan Sejarah Teknologi, Kompas, 23 Juni 2003, hal 20
Sebuah foto jurnalistik yang baik bisa menjelaskan elemen minimal berita,
yaitu: what, who, where, when, why, dan how (5W+1H), sedang untuk foto kadang ada tambahan unsur: komposisi, isi, konteks, kreativitas, dan jelas.
Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto terkemuka “Magnum”
menjabarkan, “Foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar,
melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya
berlangsung seketika saat suatu citra tersembul mengungkap sebuah cerita.”
Fotografi jurnalistik muncul dan berkembang di dunia sudah lama sekali,
tetapi lain halnya dengan di Indonesia, foto pertama yang di buat oleh seorang warga
negara Indonesia terjadi pada detik-detik ketika bangsa ini berhasil melepaskan diri
dari belenggu rantai penjajahan. Alex Mendur (1907-1984) yang bekerja sebagai
kepala foto kantor berita Jepang Domei, dan adiknya Frans Soemarto Mendur
(1913-1971), mengabadikan peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia dengan kamera Leica, dan pada saat itulah pada pukul 10 pagi tanggal 17
Agustus 1945 foto jurnalis Indonesia lahir.
Semua foto pada dasarnya adalah dokumentasi dan foto jurnalistik adalah
bagian dari foto dokumentasi. (Kartono Ryadi, Editor foto Kompas). Perbedaan foto
jurnalistik dengan foto dokumentasi terletak pada pilihan, membuat foto jurnalis
berarti memilih foto mana yang cocok. (contoh : di dalam peristiwa pernikahan,
dokumentasi berarti mengambil / memfoto seluruh peristiwa dari mulai penerimaan
apakah public figure atau saat pemotongan tumpeng saat tumpengnya jatuh, itu akan jauh lebih menarik) hal lain yang membedakan antara foto dokumentasi dengan foto
jurnalis hanya terbatas pada apakah foto itu dipublikasikan atau tidak.
Kehadiran foto dalam media massa cetak memiliki 'suara' tersendiri dalam
mengkonstruksikan sebuah peristiwa. Bahasa foto merupakan bahasa visual yang
lebih mudah dipahami oleh semua orang yang bisa melihat dibandingkan dengan
bahasa verbal. Pers di Indonesia terutama media cetak yang dulunya sarat dengan
tulisan kini berubah menjadi dominasi gambar (foto). Hal ini terjadi karena
positioning, kompetisi dan tuntutan pasar mengharuskan media cetak tampil lewat komunikasi yang lebih memikat. 6
Dalam edisi Oktober majalah National Geographic Indonesia terdapat esai
foto mengenai gambaran umat Islam di Indonesia karya fotografer James Natchwey.
Foto-foto tersebut menampilkan aktifitas pemeluk agama Islam di Indoensia dari
berbagai sisi kehidupan, baik saat beribadah maupun berbaur dengan masyarakat
umum.
Sebagai contoh adalah foto Romaeni binti Hasan Basri yang mulai
mengenakan cadar pada semester terakhir ketika kuliah di Institut Kesenian Jakarta.
Teman-temannya menggodanya. Tetapi, mereka menjadi terbiasa. Foto tersebut
menggambarkan kehidupan Romaeni yang menggunakan cadar saat beraktifitas
bersama teman-temannya dari berbagai latarbelakang dan pemahaman tentang
agama.
Selain itu juga terdapat foto seorang anggota Front Pembela Islam (FPI) yang
mengenakan penutup kepala dengan tulisan semboyan ”Hidup terhormat atau mati
syahid” dengan huruf merah. Setiap tahun, mereka berpatroli di daerah permukiman
di Jakarta sebelum dan selama bulan suci Ramadan, mengintimidasi tempat maksiat,
seperti pemilik bar dan para tunasusila.
Lewat majalah ini juga definisi foto jurnalistik pun menjadi lebih melebar dan
meluas karena foto-foto yang terpilih tidak sekadar menyajikan sebuah peristiwa
penting dan kuat unsur dokumentasinya, tapi juga kuat dari segi unsur estetikanya.
Contoh mudah adalah dengan melihat sampul depan dari majalah ini yang
menunjukkan kaum wanita di komunitas An-Nadzir saat memulai salat dalam rangka
peryaan hari raya Kurban. Mukena seorang anak yang berwarna putih dengan
motifwarna-warni terlihat lebih menonjol dengan latar belakang mukena sejumlah
perempuan dewasa yang berwarna hitam pekat.
Diharapkan analisis dengan menggunakan teori semiotika pada skripsi ini
dapat mengungkapkan Islam di Indoensia dari sejumlah sisi, dari foto-foto yang
terdapat dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 yang
berisi esai foto jurnalistik berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat,
bernama Indonesia”
Faktor utama kajian dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu pesan dapat
diketahui pemaknaannya secara denotatif dan konotatif. Artinya bahwa makna yang
edisi Oktober 2009 dalam artikel berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat,
bernama Indonesia” dapat diketahui pemaknaannya secara tersirat dan tersurat.
Berangkat dari berbagai uraian diatas, penulis tertarik dengan asumsi bahwa
tidak semua pesan yang disampaikan melalui esai foto jurnalistik berjudul “Moderat
dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia” dalam majalah National
Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 dapat dengan mudah dipahami, maka
peneliti akan mencoba meneliti sekaligus mengintepretasikan makna dalam foto
jurnalistik tersebut agar dapat membuka tabir mengenai simbol-simbol Islam yang
kerap kali dipakai oleh masyarakat. Sebagai salah satu penelitian komunikasi,
penelitian ini setidaknya bisa memberikan makna yang lebih bisa dipahami dalam
pertukaran simbol Islam yang dipakai oleh media massa, seperti cadar atau polisi
syariah. Fotojurnalistik merupakan bagian dari sebuah media, kajian tentang foto
jurnalistik tentu membantu ilmu komunikasi dalam membuka pesan atau makna yang
ditampilkan fotojurnalistik sebagai bentuk berita yang dikonsumsi masyarakat luas.
B. Perumusan Masalah
Peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : Makna-makna apa yang
disampaikan fotografer James Nacthwey atas esai foto dalam majalah National
Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 yang berisi kumpulan foto jurnalistik
berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang disampaikan
fotografer James Nacthwey atas esai foto dalam majalah National Geographic
Indonesia edisi Oktober 2009 yang berisi foto jurnalistik berjudul “Moderat dan
Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia”.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
· Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
teoritis berupa penambahan kajian semiotika menggunakan kode-kode
fotografi untuk membedah makna pada foto jurnalistik.
2. Manfaat praktis
· Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi
media, pakar semiotika, pemerhati komunikasi, masyarakat akademis dan
masyarakat pada umumnya dengan memberikan pengetahuan secara lebih
mendalam bagaimana Islam di Indonesia dalam foto jurnalistik. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai titik balik untuk
melaksanakan penelitian serupa secara lebih mendalam.
E. Kerangka Teori
1. Semiotik
Ilmu komunikasi mencakup segala aspek ilmu sosial dan kebahasaan. Dalam
semiotika. Semiotika adalah ilmu tanda; berasal dari kata dalam bahasa Yunani
semeion yang berarti “tanda”. Secara sederhana, semiotika didefinisikan sebagai teori tentang tanda atau sistem tanda. Sedangkan tanda atau sign adalah sesuatu yang memiliki makna, yang mengkomunikasikan pesan-pesan kepada seseorang.7
Human minds ‘cognize’and ‘signify’ as complementary aspects of their capacity to think and feel. If we accept the metaphore of ‘higher’ and ‘lower’ levels of cognition, and the idea of seeing the ‘higher levels of cognition’ as those responsible for abstraction, language, discourse, institutions, law, science, music, visual arts, and cultural practicesn general, grounde in the use of conventionally established and intentionallyused signs (often called symbols), then semiotics is the discipline commited to the study of these ‘higher levels’.8
(Manusia memiliki kemamampuan untuk mengetahui dan menandai sebagai aspek yang saling melengkapi untuk berfikir dan merasakan.Konsep pengetahuan untuk memaknai itu sendiri masih terbagi ke dalam dua tingkatan yaitu tingkatan yang lebih tinggi dan tingkatan yang lebih rendah. Tingkat pengetahuan untuk memaknai tanda dengan tingkatan yang lebih tinggi terdapat pada bahasa, pidato, musik, hukum, senivisual dan kebudayaan pada umumnya. Semiotik merupakan disiplin ilmu untuk mengetahui pemaknaan tanda pada tingkat yang lebih tinggi).
Jika kita mengikuti Charles Sanders Peirce, maka semiotika tidak lain
daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal tentang tanda-tanda”
(the formal doctrine of signs); sementara bagi Ferdinand de Saussure, semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan
tanda-tanda di dalam masyarakat” (a science that studies the life of signs within
7 Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan, Pustaka Pelajar, 2002, hal 76 8
Andreassen, Lars. Brandt & Vang. “Cognitive Semiotics Issue 0 (Spring 2007)”,
society).9 Perbedaan pendekatan semiotik di antara keduanya adalah, bagi Peirce pendekatan semiotikanya lebih menekankan pada logika, sedangkan Saussure lebih
menekankan pada linguistik.
Some general features of the proposed domain of inquiry may be discerned. In the first place, Peirce’s early attention to the science of semiotic follows from an endeavour to find a definition of logic that would avoid the pitfalls of psychologism. This, it is evident that the representations, which the various branches of semiotic study, are not to be explicated by an examination of the actual workings of the human mind. Secondly, it is of some interest to note that semiotic is one member of the basic trivium of science, of which the other components are the science of forms (formal science) and the science of things (positive science). This primary trivium can be connected to his work on the theory of categories. In “An Unpsychological View of Logic” Peirce claims that form and matter can be abstracted from the phenomenon considered as an image or a representation. All three phenomenal aspects or elements may be generalised, giving three supposable objects: representations in general, things, and qualities. Positive science studies material things, while formal science examines qualitative forms for Semiotic, as the science of representations, would naturally be concerned with objects of the first kind, that is, with internal and external representations. Using later terminology, we could say that its proper domain is objects as thirds.10
(Beberapa tulisan umum mengemukakan domain penelitian yang bisa dilihat. Pertama, perhatian awal Peirce pada ilmu semiotik mengikuti dari usahanya menemukan definisi logic yang akan menghindarkan dari kesukaran ilmu psikologi. Demikian, ini adalah pendukung representasi dimana beberapa cabang studi semiotik tidak dapat dijabarkan oleh pemeriksaan dari pengerjaan aktual pemikiran manusia. Kedua, ini menjadi catatan yang menarik bahwa semiotik adalah satu anggota dari ilmu trivium dasar, dimana komponen lain seperti ilmu formal dan ilmu positif. Tribium utama ini bisa dihubungkan pada pengerjaannya dalam kategori teori. Dalam “An Unpsychological View of Logic” Pierce menyatakan bahwa bentuk dan masalah bisa dimasukkan dalam fenomena yang dapat dipertimbangkan sebagai gambar atau representasi. Ketiga aspek atau elemen fenomenal bisa digeneralisasikan, memberikan tiga objec perkiraan yaitu representasi secara umum, sesuatu dan kualitas. Ilmu positif mempelajari tentang suatu benda, sedangkan ilmu formal meneliti bentuk
9
Kris Budiman, Semiotika Visual, Yogyakarta, Penerbit Buku Baik, 2004, hal 3
10
Berger, Mats. The secret of rendering signs effective: the import of C. S. Peirce’s semiotic rhetoric.
kualitatif dari semiotik sebagai ilmu representasi yang secara alami menjadi berkonsentasi pada objek jenis pertama yaitu representasi internal dan eksternal. Menggunakan terminologi berikutnya, kita bisa katakan itu domain yang tepat adalah objek sebagai yang ketiga).
Menurut Peirce, sebuah tanda mengacu pada suatu acuan, dan representasi
adalah fungsi utamanya. Hal ini sesuai dengan definisi dari tanda itu sendiri, yaitu
sebagai sesuatu yang memiliki bentuk fisik, dan harus merujuk pada sesuatu yang
lain dari tanda tersebut. Dalam pengertian semiotik, yang termasuk tanda adalah
kata-kata, citra, suara, bahasa tubuh atau gesture, dan juga obyek.11
Tanda terdapat dimana-mana. Kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat,
lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Oleh karena itu, segala sesuatu bisa
menjadi sebuah tanda, misalnya struktur karya sastra, struktur film, orang, bangunan,
atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Peirce yang adalah ahli filsafat
Amerika menegaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Berarti,
sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi.12
Bahasa dianggap sebagai unsur terpenting dalam komunikasi. Dengan bahasa
tersebut, manusia mengadakan komunikasi satu dengan yang lainnya. Diantara
lambang-lambang atau simbol yang digunakan dalam proses komunikasi, seperti
bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya, bahasa adalah yang paling
banyak digunakan. Hanya bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang
kepada orang lain, apakah itu berbentuk ide, informasi atau opini. Baik mengenai hal
11
Ratna Noviani, op. cit, hal 77
12 Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba-serbi Semiotik, PT. Karya Nusantara, Jakarta, 1996, hal
yang konkret maupun yang abstrak. Bukan saja tentang hal atau peristiwa pada saat
sekarang, tetapi juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang.
Fotografi dapat dipadankan dengan bahasa, karena layaknya bahasa, fotografi
kerap berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi, yaitu dengan bahasa gambar.13
Di dalam fotografi, gambar adalah sarana bagi seorang fotografer untuk
mengungkapkan apa yang ingin disampaikan, sebagaimana kata-kata yang digunakan
oleh seorang penulis. Jadi melalui bahasa gambar tersebut, seorang fotografer
menyampaikan pesannya secara visual, yang mencakup berbagai jenis pesan, yaitu
berupa penyampaian pesan, ide, gagasan, visi, sikap fotografer dan penikmatnya.
Asumsi yang paling mendasar dari semiotika adalah menentukan bahwa
segala sesuatu adalah tanda. Prinsipnya, segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kesan arti dapat pula berfugsi sebagai tanda, dan kesan arti itu tidak perlu harus
berkaitan dengan kesan arti yang terbentuk dari sesuatu yang diartikan atau
ditandakan.14 Bukan hanya bahasa atau unsur-unsur komunikasi tertentu saja yang tak
tersusun sebagai tanda-tanda.
Pada dasarnya, konsep utama semiotika, mencakup tiga elemen dasar yang
dapat digunakan untuk melakukan intepretasi tanda, yaitu :
- Tanda (sign), adalah yang memimpin pemahaman obyek kepada subyek. Tanda selalu menunjukkan kepada suatu hal yang nyata, seperti benda,
13 FOTOMEDIA, Warna-warni : Memahami Arti Komposisi, Juni 1996, hal 27
kejadian, tulisan, peristiwa dan sebagainya. Tanda adalah arti yang statis,
lugas, umum, dan obyektif.
- Lambang (symbol), adalah keadaan yang memimpin pemahaman subyek kepada obyek. Pemahaman masalah lambang akan mencakup penanda
(signifier), dan petanda (signified). Penanda adalah yang menandai sesuatu yang tidak seorang pun manusia yang sanggup berhubungan dengan realitas
kecuali dengan perantara bernacam tanda. Menurut Ferdinand de Saussure,
tanda atau lambang mempunyai entitas, yaitu :
1) Signifier (sound image), tanda atau penanda, merupakan bunyi dari tanda atau kata
2) Signified (concept), makna atau petanda, merupakan suatu konsep atau makna dari tanda tersebut
Hubungan antara signifier dan signified menurut Saussure bersifat arbitrary, yang berarti tidak ada hubungan yang logis. Menurutnya, tanda
“mengekspresikan” gagasan sebagai kejadian mental yang berhubungan
dengan pemikiran manusia. Jadi secara implisit, tanda berfungsi sebagai alat
komunikasi antara dua orang manusia yang secara disengaja dan bertujuan
untuk menyatakan maksud.15
- Isyarat (signal), adalah suatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si subyek kepada obyek
Charles Sanders Peirce membagi tanda menjadi 3 kategori, yaitu icon, index, dan symbol.16
1. Icon (ikon)
Di dalam ikon, hubungan antara tanda dan obyeknya terwujud sebagai
kesamaan dalam berbagai kualitas yakni dalam kesamaan atau kesesuaian
rupa yang terungkap oleh penerimanya. Sebuah diagram peta, peta, atau
lukisan misalnya, memiliki hubungan ikonik dengan obyeknya, sejauh
diantaranya terdapat keserupaan.
2. Index (indeks)
Indeks adalah tanda yang mempunyai hubungan langsung dengan objek.
Indeks merupakan fakta yang lansung dapat ditangkap, dan disamping itu
masih memberikan informasi tambahan tentang fakta-fakta lain yang tidak
dapat ditangkap. Di samping itu masih memberikan informasi tambahan
mengenai fakta-fakta lain yang tidak dapat ditangkap secara langsung.
Misalnya, basah merupakan indikasi adanya air, atau kecepatan bicara
seseorang merupakan isyarat dari perasaan si pembicara. Dengan demikian,
semua isyarat komunikasi juga mrupakan tanda adanya indikasi.
3. Symbol (simbol)
Simbol adalah bentuk tanda yang terjadi karena hasil konsensus dari para
pengguna. Contoh simbol seperti menggelengkan kepala tanda tidak setuju
atau Sang merah putih yang merupakan simbol dari negara Indonesia.
Sebuah tanda dapat dikatakan sebagai ikon, indeks, maupun simbol, bahkan
kombinasi dari ketiganya. Dapat dijelaskan dengan ilustrasi berikut. Sebuah peta
adalah indeks, karena menunjukkan suatu tempat. Dapat pula disebut sebagai ikon,
apabila menunjuk pada tempat-tempat yang saling berhubungan secara topografis.
Dan juga bisa dikatakan sebagai simbol karena adanya sistem penotasiannya yang
harus dipelajari lebih dahulu.
Semiotik dapat dideskripsikan sebagai studi dan aplikasi dari tanda (sign). Tanda menjadi segalanya yang merefleksikan makna. Dalam hal ini, fotografi adalah
sebuah tanda, tanda yang memanifestasikan baik informasi maupun emosi. Dalam
perkembangannya saat ini, analisa semiologi merupakan metode yang diterapkan
untuk mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam kehidupan sosial, dia mungkin akan
menjadi bagian dari psikologi sosial dan dengan sendirinya psikologi umum.
Semiologi akan menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda tersebut
dan hukum apayang akan mengaturnya. Pendekatan yang digunakan dalam studi
hubungan antara pola persepsi dan pemaknaan inilah yang disebut semiologi.17
Penerapan analisa semiologi komunikasi secara pasti akan membuka peluang
untuk menyingkap lebih banyak arti dalam pesan yang disampaikan secara
keseluruhan, daripada yang mungkin akan dilakukan dengan hanya mengikuti kaidah
bahasa atau berpedoman dari arti kamus dan tanda-tanda yang terpisah.
Memperhatikan kecenderungan ini, kaitannya lalu dapat dikatakan bahwa sebenarnya
analisis semiotika lebih bersifat serba guna.
Seperti beberapa istilah lain yang dipakai dalam semiotik bergambar, fotografi
adalah pengertian umum gagasan, yang hal dalam hal ini adalah dengan analisis
semiotika untuk menyusunnya. Sebagaimana fotografi dirancang dengan cara tertentu
untuk menghasilkan sebuah tanda pada suatu permukaan yang akan menambah
khayalan dari pemandangan dunia yang diproyeksikan pada permukaan tersebut.18
Dalam hal ini, fotografi adalah sebuah tanda, tanda yang memanifestasikan baik
informasi maupun emosi. Menurut Aart Van Zoest, semiologi memiliki dua
pendekatan yang dipelopori oloh Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure.
Menurut Peirce, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda yang
memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna
pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Sedangkan kekhasan teori Saussure
terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagi sistem tanda.19
Peneliti akan menggunakan teori Roland Barthes yang dikenal sebagai
pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang
mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Pengolahan teks dalam praktek semiotika Roland Barthes didasarkan pada
beberapa kode-kode, yakni20:
1. Kode hermeneutik, kode ataupun teka-teki yang berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul pada teks.
18
Goran Sonesson, The Interne Semiotics Encyclopedia,www.arthist.lu.se diakses pada5 Februari 2010 pukul 18.45 WIB
19 Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoost, opcit, hal 1
2. Kode semik (makna konotatif), banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses
pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata
atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokan dengan konotasi kata atau frase
yang mirip.
3. Kode simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat
struktural.
4. Kode proaretik (kode tindakan), dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang
dibaca orang. Artiny semua teks bersifat naratif.
5. Kode gnomik (kode kultural), kode-kode ini merupakan acuan teks ke
benda-benda yang sudah diketahui dan dimodifikasi oleh budaya.
Tujuan analisis Barthes ini bukan hanya untuk membangun sistem klasifikasi
unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukan
bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau
teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari nyata.
Menurut Roland Barthes, semiotik tidak hanya meneliti mengenai penanda dan
petanda, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka secara keseluruhan.21 Barthes
mengaplikasikan semiologinya ini hampir dalam setiap bidang kehidupan, seperti
mode busana, iklan, film, sastra dan fotografi.
Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu
tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas
yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. 22 Sedangkan konotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang
didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti
(artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).
Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan
dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan. 23
Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap (two way of signification) seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.
Peta Tanda Roland Barthes
Sumber : Dikutip dari Paul Cobey & Litza Jansz, 1999, Introducing Semiotics, NY, Totem Book, hal
51 dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 2003,hal 69
Dari peta Brathes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda
(1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga
penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material.
Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan
namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya.
Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, yaitu
makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah cerita yang digunakan
untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi
Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara
untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Tidak ada mitos yang
universal pada suatu kebudayaan. Mitos ini bersifat dinamis. Mitos berubah dan
beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan
perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari
kebudayaan tersebut. Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda
berfungsi dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya
interkasi antara tanda dan pengguna / budayanya yang sangat aktif. 24
Teori tentang mitos tersebut kemudian diterangkannya dengan
mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signifed (petanda) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia akan menjadi mitos, dan
ketika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak
lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi. 25
Seperti pada gambar di bawah:
tatanan pertama tatanan kedua
realitas tanda kultur
bentuk
i s i
Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke
dalam sistem nilai budaya26
Denotasi dalam arti umum adalah makna yang sesungguhnya, bahkan
terkadang dirancukan sebagai referansi atau acuan. Denotasi adalah penggunaan
bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Namun menurut Barthes,
denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama. Sedangkan konotasi
merupakan signifikasi tingkat kedua.
25
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
Depok, Jakarta, 2008, hal 153
26 Alex Sobur, op. cit, hal 70
denotasi Penanda
petanda
konotasi
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi
pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.27
2. Foto Jurnalistik
Bahasa merupakan alat komunikasi. Hakekat fotografi bisa dipadankan
dengan bahasa. Fotografi kerap berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi.28
Tak berbeda dengen berita tulis, foto jurnalistik juga harus mengandung nilai berita,
yakni: Prominence / Importance, pentingnya suatu berita diukur dari dampaknya
bagaimana dia mempengaruhi anda. Korban yang meninggal lebih penting ketimbang
kerusakan materi. Human interest, suatu yang menarik perhatian orang seperti berita
mengenai seleberitis, gossip politik dan drama yang menceritakan kehidupan
manusia. Conflict / Controversy, konflik biasanya lebih menarik daripada
keharmonisan. The Unusual, suatu yang tidak biasa atau unik umumnya menarik.
Timeliness, berita adalah tepat waktu, artinya unsur kecepatan menyampaikan berita
sesuai waktu atau actual merupakan hal yang penting, melewatinya maka berita
tersebut dianggap sudah basi atau kadaluarsa. Proximity, kegiatan yang terjadi dekat
kita dinilai mempunyai nilai yang lebih tinggi.
Dasar foto jurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata.
Keseimbangan data tertulis pada teks gambar adalah mutlak.
27 Alex Sobur, op. cit, hal 71
Menurut Wilson Hicks, seorang redaktur foto majalah LIFE dan perintis
kemajuan foto jurnalistik, foto jurnalistik adalah gambar dan kata. Kombinasi dari
kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan
antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya.
Sementara untuk mengenali sifat foto jurnalistik itu, Wilson Hicks dalam
buku “Word and Pictures” menjabarkan tujuh karakteristik khas dalam ranting ilmu
komunikasi tersebut, yakni sebagai berikut :29
Pertama, dasar foto jurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata.
Keseimbangan data tertulis pada teks gambar adalah mutlak. Caption sangat
membantu informasi dan pengertian suatu imaji / gambar bagi masyarakat. Foto esai
yang sangat personal pun membutuhkan caption.
Kedua, medium foto jurnalistik biasanya tercetak (saat ini, media online pun dimasukkan dalam kategori ini), bisa media cetak, kantor berita, koran atau majalah
tanpa memperhatikan tirasnya. Berbeda sekali dengan foto penerangan yang
muatannya adalah kisah sukses yang biasanya positif, maka informasi yang disebar
dan foto jurnalistiknya adalah sebagaimana adanya, disajikan dengan
sejujur-jujurnya.
Ketiga, lingkup jurnalistik adalah manusia. Itu sebabnya seorang jurnalis harus punya
kepentingan mutlak kepada manusia. Posisinya berada dipuncak piramida sajian dan
pesan visual.
Keempat, bentuk liputan foto jurnalistik adalah suatu upaya yang muncul dari bakat
dan kemampuan seorang foto jurnalis yang bertujuan melaporkan beberapa aspek dari
berita itu sendiri. Tugas pewarta foto adalah melaporkan berita sehingga bisa
memberi kesan pembaca seolah-olah mereka hadir dalam peristiwa itu.
Kelima, foto jurnalistik adalah foto fotografi komunikasi, dimana komunikasi bisa
diekspresikan seorang foto jurnalis terhadap subjeknya. Objek pemotretan hendaknya
mampu dibuat berperan aktif dalam gambar yang dihasilkan sehingga lebih pantas
menjadi subjek aktif.
Keenam, pesan yang disampaikan dari suatu hasil visual foto jurnalistik harus jelas
dan segera bisa dipahami seluruh lapisan masyarakat. Pendapat pribadi atau
pengertian sendiri tidak dianjurkan dalam foto jurnalistik. Gaya pemotretan yang
khas dan bahkan polesan seni tidak menjadi batasan dalam berkarya. Yang penting
pesan harus tetap komunikatif bagi lapisan masyarakat luas.
Ketujuh, foto jurnalistik membutuhkan tenaga penyunting yang handal, berwawasan
visual luas, populis, arif dan jeli dalam menilai karya-karya foto yang dihasilakn,
serta mampu membina dan membantu mematangkan ide atau konsep sebelum
memberi penugasan. Penyuntingan meliputi pemilihan gambar, menyunting
teknisnya, saran-saran.
Sebuah foto sebenarnya dapat berdiri sendiri, namun jurnalistik tanpa foto
tidak akan lengkap, karena foto merupakan salah satu media visual untuk merekam
dan foto jurnalistik merupakan bagian dari foto dokumentasi. Karena foto
dokumentasi adalah sebutan yang dapat dikenakan pada semua foto berita dan
sejarah, yang bertujuan untuk merekam suatu peristiwa, untuk disimpan, sebagai
arsip.30 Yang membedakan di antara keduanya adalah pada apakah foto tersebut
dipublikasikan atau tidak.31
Ciri dalam foto jurnalistik memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri,
melengkapi berita atau artikel dan dimuat dalam media massa.32 Foto jurnalistik
terbagi menjadi beberapa bagian:
· Spot news / Hard News (Berita Hangat)
Foto beragam peristiwa yang langka dan dapat mengubah sejarah dunia,
seperti peristiwa bencana alam, kecelakaan yang merenggut ratusan jiwa,
hingga aksi terorisme.
· General news (Berita Umum)
Foto rekaman peristiwa yang terjadwal atau bersifat seremoni, seperti
kunjungan presiden, peresmian sebuah gedung, dan HUT suatu negara.
· Portraits / People in the News (Potret dalam segala kondisi)
Foto yang menyajikan karakteristik sesuai dengan hati sang subyek, apakah
dalam kondisi yang gembira atau sedih, seperti orang yang menangis karena
kehilangan saudara saat perang atau orang yang gembira setelah
memenangkan sebuah perlombaan.
30
R. M. Soelarko, Pengantar Foto Jurnalistik, PT Karya Nusantara, Bandung, 1985, hal 55
· Sports (Olahraga)
Foto event olahraga seperti turnamen sepakbola Piala Eropa.
· Culture and the Art
Foto kegiatan kebudayaan dan kesenian, seperti acara Grebeg Sekaten.
· Science and Technology
Foto peristiwa ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti penerbangan pesawat
ulang aling atau operasi kembar siam.
· Nature and Environment (Alam dan Lingkungan)
Foto peristiwa yang berhubungan dengan alam dan lingkungan, seperti
gunung meletus, banjir atau kebakaran hutan.
· Daily Life (Celah Kehidupan / Keseharian)
Foto kegiatan manusia sehari-hari. Kategori ini tidak terikat dengan unsur
kehangatan berita. Hal yang diutamakan dalam kategori foto ini adalah segi
keunikan, humor, maupun perjuangan seseorang dalam menjalani kehidupan
sehari-hari, seperti aktivitas pedagang asongan, pekerja bangunan atau
nelayan.
· Feature
Foto feature bukan sekedar snapshot, tapi usaha wartawan untuk memilih sudut pandang yang khas dan bukan sekedar didikte oleh peristiwa itu sendiri,
contoh, saat terjadi kebakaran, wartawan tidak hanya memotret api yang
menyala dan petugas pemadam kebakaran yang berusaha menjinakkan api,
tapi juga memotret ekspresi pemilik rumah yang sedih kehilangan tempat
tinggal. 33
· Esai foto
Kumpulan beberapa foto features yang dapat bercerita ini dibangun melalui
sebuah imaji, yaitu foto-foto yang bercerita secara sequentatif dan teks yang
menyertainya.34
Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek. Pertama, isi pesan (content of message), yang kedua adalah lambang (symbol). Kongkritnya, isi pesan itu adalah isi foto dan caption. Isi pesan yang bersifat latent, yakni pesan yang melatarbelakangi sebuah pesan, dan pesan yang bersifat manifest, yaitu pesan yang tampak tersurat.35 Dalam hal ini, isi pesan yang dimaksud adalah isi (content) dari esai foto jurnalistik dan foto features yang berupa lambang-lambang berbentuk foto begitu juga konteks
yang menyertainya.
Pada hakekatnya, esensi dari sebuah foto jurnalistik secara umum tidak
berbeda dengan jurnalistik tulis. Hanya saja dalam foto, yang menjadi media utama
adalah foto dengan bahasa visualnya. Dalam menyampaikan permasalahan yang akan
diangkat, foto merupakan elemen utama, sedangkan naskah atau caption yang menyertainya menjadi sekunder, atau bersifat sebagai komplemen. Karena elemen
33Yuniahi Agung, loc. cit. 34 FOTOMEDIA, loc. cit.
utamanya adalah foto, maka konsekuensinya foto harus mampu dalam menggantikan
kata-kata. Sementara hal-hal yang tidak bisa tergambarkan oleh foto, terungkap
sebagai naskah atau caption.36
Dalam foto jurnalistik yang baik, seorang fotografer jurnalistik harus
mengetahui teknik-teknik pengambilan foto secara baik sehingga akan mendapatkan
hasil yang baik pula. Yang dimaksud dengan proses teknik foto yaitu urutan atau
tahapan pengambilan objek yang dilakukan oleh fotografer sehingga menghasilkan
sebuah karya foto yang dapat dinikmati, melibatkan perasaan dan menggugah emosi
khalayak yang melihat hasil foto.
Urutan dan tahap pengambilan objek foto meliputi penggunaan kamera foto,
yang berarti seorang fotografer harus sudah memahami terlebih dahulu bagian-bagian
dari kamera seperti pengaturan kecepatan, pengaturan diafragma, dan pengaturan
ruang tajam yang merupakan hal-hal yang paling mendasar dalam fotografi, tetapi
sangat berpengaruh terhadap hasil foto yang akan dibuat.
Setelah itu, seorang fotografer juga harus memahami tentang pencahayaan,
artinya objek yang diabadikan membutuhkan pengukuran cahaya secara tepat agar
objek yang diambil terlihat secara jelas, yang secara teknik, penggunaan cahaya itu
melalui pengukuran gelang diafragma dan kecepatan. Komposisi objek juga salah
satu faktor pendukung yang akan memperkuat sebuah foto, artinya tata letak objek
yang meliputi aturan sepertigaan, aturan seperlimaan, serta irisan emas dan komposisi
frame yang berarti tata letak kamera yang meliputi posisi pengambilan gambar secara
horisontal dan vertikal37 juga harus dipahami. Baru setelah teknik fotografi yang
umum telah dikuasai, unsur jurnalistik akan ditambahkan, yang akan membuat foto
tersebut jadi mempunyai nilai berita.
Objek dan peristiwa merupakan hal yang sangat penting untuk diabadikan
oleh seorang fotografer. Hal ini bersifat natural mengingat insting dari seorang
fotografer yang sangat tinggi untuk selalu mengabadikan momen atau peristiwa yang
langka. Banyak hal yang dapat diperoleh dari suatu peristiwa atau objek foto, karena
biasanya menyangkut pokok pikiran dari sebuah artikel yang akan di muat dalam
media cetak.
Selain itu objek dan peristiwa yang akan diabadikan bersifat universal. Foto
jurnalistik yang diabadikan berdasarkan objek dan peristiwa harus memiliki isi berita
karena ukurannya, bukan seberapa jauh berita itu menjangkau tetapi bagaimana foto
itu dapat menyentuh emosi dan perasaan pembaca. Gambar-gambar yang diambil
oleh seorang fotografer juga harus bisa mewakili dari keadaan yang terjadi
sebenarnya. Hal ini harus dilakukan agar bisa dinikmati oleh pembaca dan juga untuk
menggugah emosi dan melibatkan perasaan pembaca melalui media cetak.
3. Islam Radikal dan Moderat di Indonesia
John L Esposito (1997) misalnya menyamakan istilah Islam politik dengan
“fundamentalisme Islam: atau dengan gerakan-gerakan Islam lainnya. Sementara
Oliver Roy (1994) cenderung menafsirkan Islam Politik sebagai aktivitas
kelompok yang meyakini Islam sebagai agama dan sekaligus ideologi politik. Sedikit
berbeda dengan Esposito, Roy lebih spesifik merujuk pada apa yang dia sebut sebagai
gerakan neofundamentalisme yang antara lain menghendaki berlakunya
pemberlakuan syariat Islam. 38
Istilah “fundamentalisme” biasanya dipakai untuk merujuk pada
gerakan-gerakan Islam politik yang berkonotasi negative seperti “radikal, ekstrem, militan”
serta “anti Barat/Amerika”. Namun, tak jarang pula julukan “fundamentalisme”
diberikan kepada semua orang Islam yang menerima Qur’an dan Hadist sebagai jalan
hidup mereka. Dengan kata lain kebanyakan dari penegasan kembali agama dalam
politik dan masyarakat tercakup dalam istilah fundamentalisme Islam. 39
Islam moderat bukanlah “Islam baru” seperti Islam liberal yang ingin
membuat syariat baru. Namun, Islam moderat adalah Islam asli. Ia adalah usaha
untuk mengembalikan umat Islam kepada Islam original sesuai dengan tuntunan
Nabi. Moderat dalam Islam bisa dilihat dari sikap tengah Islam terhadap ajarannya
yang berupa akidah, ibadah, akhlak, ruhani-materi, hukum, dan privat-publik.
Moderat di dalam Islam sangat cocok untuk agama abadi seperti Islam. Moderat di
dalam Islam berarti adil, istiqamah, bukti kebaikan, personifikasi keamanan, bukti
kekuatan, dan pusat.
Berbeda halnya dengan Islam radikal, Islam moderat menawarkan wacana
pembebasan yang mencerahkan, sebab tidak berpijak pada pendekatan kekerasan dan
38
Endang Turmudi, Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta:, LIPI Press, 2005, hal.2.
ketergesa-gesaan. Pembebasan dan keberpihakan pada kaum yang lemah diwujudkan
dalam bentuk yang elegan, sistematis, dan evolutif. Penggunaan metode dan
pendekatan inilah yang membedakan Islam moderat dengan Islam radikal.
Fakta membuktikan bahwa agama merupakan kebutuhan asasi manusia.
Karena itu, masalah agama adalah masalah yang senantiasa menyertai kehidupan
umat manusia sepanjang sejarah sebagaimana masalah sosial lainnya,seperti ekonomi
dan politik. Ilmu pengetahuan sosial, dengan berbagai paradigma dan metode,
dikembangkan dalam rangka mengkaji perilaku manusia, tak terkecuali perilaku
dalam beragama.
Perilaku dalam beragama meliputi, perilaku individu dalam hubungannya
dengan keyakinan yang dianut seperti pengalaman beragama, perilaku individu dalam
hubungannya dengan kelompok, perilaku individu dalam hubungannya dengan
kelompok pimpinannya, perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok,
perilaku individu dalam hubungannya dengan sistem simbol/doktrin agama tertentu,
perilaku kelompok dalam hubungannya dengan pemimpin, stratifikasi sosial, perilaku
pemimpin agama dalam sistem simbol, perilaku pemimpin agama dengan stratifikasi
sosial.
4. Tempat atau Kejadian
Tempat atau kejadian merupakan hal yang terpenting karena menyangkut
kapan dan dimana peristiwa itu terjadi. Selain itu kondisi sosiokultural masyarakat
dapat dikaitkan sebagai tempat atau kejadian yaitu sebagai pengukur sejauh mana
kejadian yang berlangsung dapat mempengaruhi pola pikir dan sejauh mana kondisi
tersebut berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
F. Kerangka Pikir
Kerangka pikir penelitian ini bertolak dari adanya aksi-aksi terorisme berupa
serangan bom yang terjadi di Indonesia, sementara di sisi lain sebagian umat Islam
berpikir terbuka dalam menjalankan syariat Islam. Maka dari itu, sesungguhnya umat
Islam di Indonesia terbagi menjadi sejumlah golongan yang mempunyai keyakinan
masing-masing dalam menjalankan syariatnya dan berbeda dalam perilaku beragama.
Padahal sesungguhnya Islam adalah agama yang membawa kedamaian.
Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009, menampilkan
sebuah liputan mengenai perilaku umat Islam di Indonesia dalam tulisan dan esai foto
jurnalistik. Dari sinilah peneliti tertarik untuk menganalisis perilaku beragama umat
Islam Indonesia dalam esai foto jurnalistik yang berjudul “Moderat dan Radikal
dalam Satu Tempat, bernama Indonesia” karya James Natchwey. Dari esai foto
Berbekal hasil analisis foto tersebut, peneliti kemudian menemukan model
Dalam penelitian ini, penjelasan konsep diperlukan sebagai dasar-dasar
konsep yang jelas bagi unsur-unsur masalah yang akan diteliti dengan tujuan
menghindari kesesatan, perbedaan pengertian ataupun penafsiran mengenai
variabel-variabel penelitian yang diketengahkan antara konsep peneliti dan pembaca.
Esai Foto jurnalistik karya James Natchwey di
1. Semiotik
Adalah konsep tentang lambang atau tanda ada beberapa perbedaan teori
antara ahli semiotik modern terutama dalam penerapan konsep-konsep dan hasil
karya. Perbedaan itu mungkin disebabkan oleh perbedaan yang mendasar. Penalaran
secara hipotesis dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda tersebut memungkinkan kita
untuk berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna terhadap apa
yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotik merupakan sebuah ilmu yang
mengkaji kehidupan tanda-tanda ditengah masyarakat tujuanya adalah untuk
menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah yang mengaturnya.
2. Makna
Makna adalah hasil dari perilaku menyandi. Suatu makna terdiri dari
lambang-lambang verbal maupun nonverbal yang mewakili perasaan dan pikiran
sumber pada suatu saat dan tempat tertentu. Meskipun encoding merupakan suatu kegiatan internal yang menghasilkan suatu pesan, pesannya itu sendiri besifat
eksternal bagi sumber. Pesan adalah apa yang harus sampai dari sumber ke penerima
bila sumber bermaksud mempengaruhi penerima.40 Pesan harus menggunakan suatu
alat untuk memindahkannya dari sumber ke penerima. Dalam hal ini fotografi
40 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, Panduan Berkomunikasi