ANALISIS SPASIAL KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN
ANGKA BEBAS JENTIK
1Agcrista Permata Kusuma,2Dyah Mahendrasari Sukendra 1
Magister Epidemiologi Sekolas Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro 2
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Semarang
E-mail: agcristapermatakusuma@gmail.com; dyahmahendra@yahoo.com
ABSTRAK
Pendahuluan: Puskesmas Kedungmundu merupakan wilayah endemis DBD dengan kasus yang tinggi. Diperlukan upaya dalam menentukan kebijakan strategi pengendalian vektor secara efektif dan efisien.Metode:Analisis spasial dalam SIG dapat digunakan untuk mengetahui pola penyebaran dan daerah potensi penularan DBD. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik menggunakan pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan sampel menggunakan sampel wilayah memperhatikan proporsi sampel dengan jumlah sampel 146 responden. Pengambilan titik koordinat menggunakan GPS. Analisis data menggunakan analisis univariat dan analisis spasial. Hasil: Hasil perhitungan statistik spasial ANN diperoleh nilai Z-score = -11,054 terdapat pola spasial kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu. Nilai ANN = 0,52 < 1, artinya pola penyebaran kejadian DBD yang terjadi adalah berkerumun.Diskusi:penelitian ini direkomendasikan agar masyarakat lebih meningkatkan perilaku 3M plus sebagai upaya pemberantasan sarang nyamuk.
Kata kunci:DBD, Angka Bebas Jentik, Analisis Spasial.
ABSTRACT
Introduction:Kedungmundu PHC is an endemich region with a high case. Be required to determine policy of vector control strategies effectively and efficiently. Methods:Spatial analsys in GIS can be used to determine the pattern of distribution and areas of DHF potential transmission. The type this research was analysis descriptive with cross sectional approach. The sampling technique used a sample area of attention to the proportion of the sample with 146 respondents of total sample. Capturing the coordinates used GPS. Data analisys used univariat and spatial analisys. Results: Result of ANN obtained a Z-score= -11,054, there was a spatial pattern of dengue cases in Kedungmundu PHC. ANN value = 0,52 < 1, it meant that the pattern of DHF distribution was clustered.Discussion:The proposed recommendation in order to people increase 3M plus behavior as mosquito eradication efforts.
Keywords:DHF, Figures Non larvae, Spatyal Analysis
PENDAHULUAN
Salah satu penyakit menular yang memiliki angka morbiditas dan mortalitas tinggi adalah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Bustan, 2007:5; Zulkoni, 2014:145). Kota Semarang merupakan wilayah dengan kasus DBD yang tinggi di Provinsi Jawa Tengah. Salah satu wilayahnya dengan kasus yang tinggi yaitu Puskesmas Kedungmundu. Kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Kedungumundu selama tahun 2010-2014 secara berurutan diantaranya IR
782,4/100.000 penduduk pada tahun 2010, IR
114,63 pada tahun 2011, IR 100,97/100.000 pada tahun 2012, IR 259,39/100.000 penduduk pada tahun 2013, IR 174,69/100.000 penduduk pada tahun 2014 (Laporan P2P Dinkes Kota Semarang, 2015).
juga dipengaruhi oleh kepadatan vektor nyamuk (Irianto, 2014:150).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan DBD di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu. Upaya yang dilakukan diantaranya pelaksanaan penyelidikan epidemiologi, pemeriksaan jentik nyamuk, pelaksanaan fogging, gerakan 3M
plus, dan sosialisasi tentang DBD kepada masyarakat, tetapi angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu masih menunjukkan jumlah kasus yang tinggi. Pihak Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Puskesmas Kedungmundu menjelaskan bahwa penularan DBD dapat terjadi karena kasus tertular dari kasus lain yang sudah terinfeksi sebelumnya di wilayah sekitarnya. Angka Bebas Jentik (ABJ) yang rendah yaitu kurang dari 95% artinya belum mencapai target nasional selama tahun 2010-2014 berturut-turut di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Pemantauan yang dilakukan dengan menggunakan tabel serta grafik belum bisa menunjukkan tren dan pola spasial. Berdasarkan informasi tersebut diperlukan upaya sebagai acuan program dalam menentukan kebijakan strategi pengendalian vektor secara efektif dan efisien. Teknik dan metodologi yang dapat digunakan sebagai upaya acuan program yang berfungsi untuk analisis kejadian penyakit di permukaan bumi yaitu analisis spasial (Achmadi, 2012:58).
Menurut Cromley dan Mc Lafferty (2002) dalam Achmadi (2012:58), analisis spasial merupakan kemampuan umum untuk menyusun atau mengolah data spasial ke dalam berbagai bentuk yang berbeda sedemikian rupa sehingga mampu menambah atau memberikan arti baru atau arti tambahan. Analisis spasial dapat digunakan untuk melakukan analisis persebaran faktor risiko yang ditularkan oleh binatang nyamuk vektor.Perangkat yang digunakan dalam mengumpulkan, menyimpan, menampilkan, dan menghubungkan data spasial dari fenomena geografis tersebut yaitu Sistem Informasi Geografi (SIG) (Achmadi, 2012:58). SIG dapat digunakan untuk memonitor perkembangan penyakit DBD yang membutuhkan penanganan khusus dan cepat (Kusumadewi, dkk, 2008:39).
Pendekatan spasial dengan penggunaan SIG penting untuk dilakukan karena dengan menggunakan analisis dalam SIG dapat diketahui kepadatan penduduk dan jentik dengan kekerapan atau angka kasus DBD (Achmadi, 2012:20). Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh M. R., Naim, et al (2014:31) menunjukkan hasil bahwa jarak rata-rata kasus dengan kasus DBD lainnya yaitu kurang dari 55 meter dengan pola cluster
terkonsentrasi pada dua area, memiliki nilai
ANN sebesar 0, 264, dan menjelaskan bahwa area dengan pola cluster tersebut terjadi pada area dengan populasi yang tinggi di Seremban. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Spasial Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Angka Bebas Jentik”. Pada penelitian ini untuk mengetahui pola penyebaran kejadian DBD berdasarkan angka bebas jentik danbuffer zone
kejadian DBD berdasarkan angka bebas jentik.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah survei deskriptif analitik dengan pendekatan studi
cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus DBD yang tinggal di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu yang terdaftar dalam laporan penderita DBD Puskesmas Kedungmundu dengan jumlah sebanyak 217 kasus dengan pengambilan sampel menggunakan sampel wilayah dengan memperhatikan proporsi sampel sebesar 146 responden.
HASIL
Pola Penyebaran DBD berdasarkan ABJ Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan persentase rumah yang negatif dengan larva
Aedes aegypti. Indonesia menggunakan
pengukuran ABJ sebagai alat ukur untuk
keberhasilan kegiatan PSN. ABJ tiap kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu memiliki angka yang variatif yaitu sebagai berikut:
Tabel 1.
Nilai ABJ Tiap Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu
No. Kelurahan Angka Bebas Jentik (ABJ)
1 Sendangmulyo 65,40%
2. Jangli 81,71%
3. Kedungmundu 88,15%
4. Sendangguwo 61,95%
5. Tandang 72,52%
6. Sambiroto 77,52%
7. Mangunharjo 76,93%
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan hasil bahwa ABJ di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu memiliki nilai yang variatif. Tiap kelurahan memiliki nilai yang berbeda dengan kelurahan lain. Kelurahan yang memiliki ABJ terendah yaitu Kelurahan Sendangguwo sebesar 61, 95%, sedangkan kelurahan dengan ABJ
tertinggi yaitu Kelurahan Kedungmundu sebesar 88, 15%.
Tabel 2 di bawah ini menjelaskan hasil perhitungan ANN berdasarkan perangkat lunak ArcGIS. Berikutnya, hasil pengolahan peta untuk mengetahui secara spasial pola penyebarannya berdasarkan ABJ.
Tabel 2.
Hasil PerhitunganAverage Nearest Neighbor Average Nearest Neighbor Summary
Observed Mean Distance 90,301050
Nearest Neighbor Ratio 0,521802
z-score -11,053892
p-value 0,000000
Berdasarkan perhitunganANNdi atas diperoleh
outputdengan nilai Z-score = -11,054. Nilai Z-score = -11,054 < -2,58 berarti H0 ditolak artinya terdapat pola spasial kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu. Hasil dari perhitungan ANN menunjukkan hasil nilai
ANN= 0,52 < 1, dapat disimpulkan bahwa pola penyebaran kejadian DBD yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu adalah berkerumun/clustered.
Berdasarkan perhitungan ANN tersebut menghasilkan jarak rata-rata antar kasus di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu yaitu 90,30 meter. Pola penyebaran DBD berdasarkan ABJ berdasarkan peta di bawah ini berkerumun terutama pada kelurahan yang memiliki ABJ paling rendah yaitu Kelurahan
Kelurahan Kedungmundu, dan Kelurahan Sambiroto, sedangkan kelurahan yang memiliki ABJ rendah diantaranya Kelurahan Sendangmulyo dan Kelurahan Sendangguwo. Hasil ABJ yang diperoleh dari jumantik ini diinformasikan pihak kesehatan kepada kepala wilayah/daerah setempat sebagai evaluasi dan dasar penggerakan PSN (Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Buffer zone Sebaran Kejadian DBD
berdasarkan ABJ
Peta di bawah ini merupakan hasil dari analisis
hidup selama 8-15 hari dan rata-rata jarak terbang per hari 30-50 meter. Indikasi umumnya nyamuk betina terbang atau berpindah 240-750 meter selama hidupnya (Ruliansyah, 2010:19).
ABJ pada semua kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu memiliki angka yang variatif, terdiri atas 2 kategori yaitu tinggi dan rendah berdasarkan tingkatannya. Kelurahan yang memiliki ABJ tinggi diantaranya Kelurahan Mangunharjo, Kelurahan Tandang, Kelurahan Jangli.
Gambar 1.
Peta Persebaran Kejadian DBD
Berdasarkan ABJ di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu.
Gambar 2.
Hasil dari peta menunjukkan bahwa pada zona penyebaran kasus DBD radius kurang dari 240 meter dapat terjadi hampir menyeluruh tidak hanya pada kelurahan yang tergolong memiliki ABJ rendah yaitu Kelurahan Sendangguwo (61,95%) dan Kelurahan Sendangmulyo (65,40%), tetapi juga pada kelurahan lainnya dengan nilai ABJ tinggi diantaranya Kelurahan Tandang dan Kelurahan Kedungmundu. Penularan dapat terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ABJ tergolong tinggi, karena tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya penularan kasus DBD tersebut dari wilayah lain di sekitarnya.
Penyebaran kasus dengan radius kurang dari 240 meter tersebut bahkan dapat meluas sampai pada wilayah luar dari wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu diantaranya Kabupaten Demak, Kecamatan Pedurungan, Kecamatan Candisari, dan Kecamatan Semarang Selatan. Radius
buffer 240-750 meter menunjukkan bahwa penularan dapat terjadi pada wilayah Kelurahan Sambiroto, Mangunharjo, dan Jangli yang memiliki nilai ABJ tinggi. Penyebaran tersebut juga sampai pada wilayah luar administrasi Puskesmas Kedungmundu, diantaranya Kabupaten Demak, Kecamatan Pedurungan, Candisari, Semarang Selatan, Kecamatan Gayam Sari, Kecamatan Banyumanik, Kelurahan Meteseh, Kelurahan Bulusan, dan Kelurahan Rowosari. Berikutnya, hanya sebagian kecil wilayah yang masih dalam radius >750 meter dari jangkauan jarak terbang nyamuk dari titik kasus, meliputi Kelurahan Jangli, Kelurahan Mangunharjo, Kelurahan Sambiroto, dan Kelurahan Tandang.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian analisis spasial pola penyebaran DBD berdasarkan ABJ memperlihatkan bahwa terdapat adanya pola kejadian DBD yang berkerumun atauclustered
(jarak rata-rata antar kasus 90,30 meter) terutama pada kelurahan yang memiliki ABJ paling rendah yaitu Kelurahan Sendangguwo dengan nilai 61,95%. Berikutnya, pada wilayah dengan nilai ABJ yang tinggi menunjukkan pola semakin tidak berkerumun. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Wiwik Setyaningsih dan Dodiet Aditya Setyawan (2014) yaitu berdasarkan hasil
analisis bivariat diperoleh nilai p sebesar 0,0001, artinya secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara ABJ dengan kejadian kasus DBD di Kecamatan Karangmalang.
Kejadian DBD pada setiap kelurahan tidak terlepas dari perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti,semakin tinggi ABJ pada suatu wilayah maka semakin rendah kasus DBD yang terjadi, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwasanya vektor perantara merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting pada penularan infeksi virus
Dengue (Irianto, 2014:149; Munsyir dan Ridwan, 2009:9).
Rata-rata kelurahan yang berada di wilayah kerja Pukesmas Kedungmundu sudah melakukan pemantauan jentik dengan baik, dan tidak jarang dihasilkan nilai ABJ <72% pada tiap kelurahan. Pemantauan kepadatan nyamuk sangat penting untuk dilakukan secara kontinu (Soemirat, 2014:212). Pemantauan sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh jumantik dan petugas kesehatan saja, tetapi dilakukan oleh masyarakat. Selama jentik yang ada di tempat-tempat perindukan tidak diberantas setiap hari, maka muncul nyamuk-nyamuk baru yang menetas terutama jika nyamuk terinfeksi virus
Dengue maka penularan penyakit terulang kembali (Irianto, 2014:153).
Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Widia Eka Wati, dkk (2009) di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan menunjukkan ada hubungan antara keberadaan jentik aedes aegpyti pada kontainer dengan kejadian DBD. Kegiatan 3M Plus harus lebih diintensifkan secara mandiri agar dapat mengurangi keberadaan jentik. Selain itu, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akhmad Riyadi, dkk (2012) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD dengan keberadaan larva Aedes aegpyti di Kelurahan Ballaparang Kecamatan Rappocini.
berada di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu. Informasi dari evaluasi ABJ masih belum dilaporkan kontinu ke masyarakat secara keseluruhan sehingga menyebabkan masyarakat tidak mengetahui bagaimana kondisi lingkungannya.
ABJ merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Strategi program DBD dapat mempengaruhi ABJ suatu wilayah. Strategi DBD tersebut diantaranya penyemprotan fokus pada lokasi ditemui kasus, penyuluhan gerakan masyarakat dalam PSN DBD, abatisasi selektif, dan kerja bakti melakukan kegiatan 3M (Irianto, 2014:151). Membunuh nyamuk memang belum bisa dilakukan selama masih terdapat jentik-jentik yang hidup. Oleh sebab itu, pembasmian jentik-jentik nyamuk merupakan upaya yang paling tepat dalam pencegahan DBD (Rinawati, 2012:68).
Berdasarkan hasil analisis buffer sebaran kejadian DBD berdasarkan ABJ menunjukkan bahwa pada zona penyebaran kasus DBD radius kurang dari 240 meter dapat terjadi hampir menyeluruh di semua wilayah baik pada wilayah dengan ABJ rendah maupun tinggi. Penyebaran kasus dengan radius kurang dari 240 meter tersebut bahkan dapat meluas sampai pada wilayah luar dari wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu. Wilayah luar tersebut diantaranya Kabupaten Demak, Kecamatan Pedurungan, Kecamatan Candisari, Kecamatan Gayam Sari, dan Kecamatan Semarang Selatan. Oleh sebab itu, upaya pengendalian vektor hendaknya dapat mencapai target secara nasional yaitu >95%. Berdasarkan Kepmenkes No.581 Tahun 1992, ABJ di Indonesia merupakan alat ukur yang digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan kegiatan PSN dalam upaya pengendalian vektor (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Berdasarkan hasil analisisbufferradius 240-750 meter menunjukkan bahwa seluruh kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu berpotensi untuk terjadinya penularan penyakit DBD. Selain itu, wilayah luar Puskesmas Kedungmundu meliputi Kabupaten Demak, Kelurahan Bulusan, Kelurahan Meteseh, Kelurahan Rowosari, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Candisari, Kecamatan Semarang Selatan, Kecamatan Gayam Sari, dan
Kecamatan Pedurungan juga memiliki potensi sebagai tempat penularan kasus DBD.
Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang tergolong sebagai penyakit yang berpotensi untuk terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB), baik secara periodik yang dapat diprediksi dan diantisipasi serta pencegahannya (Achmadi, 2012:103). Upaya pencegahan DBD tidak hanya dilakukan dan berfokus pada wilayah-wilayah yang terdapat kasus DBD ataupun kasus DBD yang tinggi, tetapi juga dilakukan pada semua wilayah sebagai upaya pemberantasan nyamuk sebagai penular. Mengingat bahwasanya semua wilayah berisiko untuk terjangkit penyakit DBD. Selama jentik yang ada di tempat-tempat perindukan tidak diberantas setiap hari, maka muncul nyamuk-nyamuk baru yang menetas terutama jika nyamuk terinfeksi virusDengue maka penluran penyakit terulang kembali (Irianto, 2014:150).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Kepmenkes No. 581/1992, upaya pemberantasan penyakit DBD dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat yang pelaksanaannya di desa atau kelurahan dilaksanakan melalui Pokja DBD-LKMD yang dibina secara berjenjang oleh Pokjanal Tim Pembina Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) tingkat kecamatan sampai dengan tingkat pusat (Irianto, 2014:150; Rinawati, 2012:68).
SIMPULAN DAN SARAN
SimpulanSetelah dilakukan penelitian tentang analisis spasial kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu dapat disimpulkan bahwa pola penyebaran DBD menunjukkan pola berkerumun atau clustered terutama pada kelurahan dengan ABJ yang paling rendah. Sebaran kejadian DBD berdasarkan ABJ menunjukkan bahwa dengan analisis buffer
semua kelurahan baik dengan nilai ABJ yang tinggi atau rendah berpotensi untuk terjadi penularan DBD.
Saran
penyebaran penyakit, dan membuat hipotesis dalam penyelesaian penyakit DBD sebagai upaya untuk mencegah dan mengendalikan penularan. Peneliti selanjutnya yang tertarik pada penelitian ini dapat menggunakan model data raster dalam pembuatan peta distribusi DBD. Peta dengan menggunakan data raster akan dapat dilakukan untuk analisis selanjutnya terkait dengan faktor yang mempengaruhi habitat binatang penular penyakit DBD, seperti topografi dan vegetasi
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kami sampaikan kepada Dekan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Ketua Program Studi Magister Epidemiologi, Bapak Ibu Dosen Program Studi Magister Epidemiologi, Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bapak Ibu dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Puskesmas Kedungmundu, dan Kecamatan Tembalang atas ijin dan bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendukung dalam proses pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. (2012). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Rajawali
Press,Jakarta.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2015).
Laporan P2P Dinas Kesehatan Kota
Semarang, Dinas Kesehatan Kota
Semarang, Semarang.
Irianto, Koes. (2014). Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Panduan Klinis, ALFABETA, Bandung.
________________, Ilmu Kesehatan Anak, ALFABETA, Bandung.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Buletin Jendela Epidemiologi Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, ISSN-2087-1546, Volume 2, Agustus 2010.
Kusumadewi, Sri, dkk. (2009). Informatika Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Munsyir, Mujida Abdul dan Ridwan Amiruddin. (2010). Pemetaan dan
Analisis Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Kabupaten Bantaeng Provinsi
Sulawesi Selatan, FKM UNHAS,
Makassar.
R., Naim M., Spatial-Temporal Analysis for Identification of Vulnerability to Dengue
in Seremban District Malaysia,
International Journal of Geoinformatics, Volume X. No. 1, Maret 2014, hlm. 31-38.
Rinawati. (2012). Kesehatan Keluarga, Suka Buku, Jakarta.
Riyadi, Akhmad, Hasanuddin Ishak, Erniwati Ibrahim. (2012). Pemetaan Densitas
Larva Aedes Aegypti Berdasarkan
Tindakan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) DBD di Kelurahan
Ballaparang Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2012, FKM UNHAS, Makassar.
Ruliansyah, Andri. (2010).Perspektif Informasi Keruangan (Geospasial) dalam Melihat
Fenomena Demam Berdarah Dengue,
Aspirator, Volume 2, No. I, 2010, hlm. 17-22.
Setyaningsih, Wiwik, Dodiet Aditya Setyawan. (2014). Pemodelan Sistem Informasi Geografis (SIG) pada Distribusi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen, Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 3, No. 2, November 2014, hlm. 106-214.
Wati, Widia Eka, Dwi Astuti, dan Sri Darnoto. (2009) Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan Tahun 2009,
Vektora, Volume III, No. 1, 2009, hlm. 22-34.