• Tidak ada hasil yang ditemukan

Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup Menjelang Masa Pensiun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup Menjelang Masa Pensiun"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

---

Hlm. 67 – 92

Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup Menjelang Masa Pensiun

Hamim Rosyidi

Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya

Abstraksi: Suatu kondisi psikologis yang terjadi pada setiap pekerja yang mengalami dan merasa sudah tiba saatnya untuk berhenti bekerja (pensiun) tentu saja juga tidak sama. Pensiun oleh beberapa pekerja dapat dianggap sebagai suatu masa yang dinanti-nantikan, tetapi juga ada yang menganggap sebagai suatu masa yang mencemaskan, sehingga tidak tahu apa yang akan dilakukannya kelak apabila dirinya pensiun. Penelitian ini mengkaji bagaimana gambaran religiusitas dan kebermaknaan hidup menjelang masa pensiun pada para dosen di lingkungan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Metode kualitatif dipakai sebagai pendekatan dalam penelitian ini, karena teknik ini untuk memahami realitas rasional sebagai realitas subjektif khususnya para dosen. Proses observasi dan wawancara mendalam bersifat sangat utama dalam pengumpulan data. Dari observasi diharapkan mampu menggali religiusitas dan kebermaknaan hidup menjelang pensiun pada dosen dilingkungan IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Hasil penelitian ini mendeskripsikan bagaimana gambaran informan mengenai dimensi-dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark yang meliputi Religious Practice ( the Ritualistic Dimension); Religious Belief (the Ideological Dimension); Religious Knowledge (the Intellectual Dimension); Religious Feeling (the Experiental Dimension); dan Religious Effect (the Consequential Dimension). Serta dimensi-dimensi kebermaknaan hidup yang mengacu pada Bastaman (1996), yaitu : Dimensi Personal; Dimensi Sosial; dan Dimensi Nilai-nilai

Kata Kunci: Religiusitas, kebermaknaan hidup, masa pensiun

(2)

Pendahuluan

Pensiun merupakan masa ketika seseorang diberhentikan dari pekerjaannya sesuai dengan batas usia pensiun yang telah ditetapkan dalam aturan pensiun yaitu usia 56 tahun, sedangkan untuk pengajar saat mencapai usia 65 tahun. Dalam kajian psikologi perkembangan, usia menjelang pensiun dikategorikan sebagai usia dewasa lanjut (late adolescence). Robert Atchley (dalam Santrock, 2002), menyatakan bahwa individu akan mengalami 7 fase pensiun: Fase Jauh (Remote Phase); Fase Mendekat (Near Phase); Fase Bulan Madu (Honey-Moon Phase); Fase Kecewa (Disenchantment Phase); Fase Re-orientasi (Reorientation Phase); Fase Stabil (Stability Phase) dan Fase Akhir (Termination Phase).

(3)

lanjut tidak dapat berfungsi secara mandiri lagi dan mencukupi kebutuhannya sendiri.

Suatu kondisi psikologis yang terjadi pada setiap pekerja yang mengalami dan merasa sudah tiba saatnya untuk berhenti bekerja (pensiun) tentu saja juga tidak sama. Pensiun oleh beberapa pekerja dapat dianggap sebagai suatu masa yang dinanti-nantikan, tetapi juga ada yang menganggap sebagai suatu masa yang mencemaskan, sehingga tidak tahu apa yang akan dilakukannya kelak apabila dirinya pensiun. Beberapa hal yang menyebabkan kecemasannya datang diantaranya adalah : belum tahu apa yang akan dikerjakannya di rumah, penghasilan yang diterimanya akan menurun dari penghasilannya saat ini, kesempatan bertemu dengan teman-teman kerjanya sudah seperti terputus, bagi yang mempunyai jabatan sudah tidak akan menerima “perlakuan” istimewa lagi (seperti berbagai fasilitas yang dirasakannya saat masih bekerja), dll. Individu yang mengalami hal-hal demikian dapat dikatakan sedang mengalami Post Power Syndrome, yaitu suatu sindroma kecemasan yang dialami oleh seseorang yang kehilangan kekuasaan (power).

Havighurst (dalam Hurlock, 2000) membagi orang usia lanjut dalam dua kategori umum atas sikap mereka terhadap pensiun. Kategori pertama disebut “pengalih peran” (transformer) mereka yang mampu dan mau mengubah gayahidupnya dengan mengurangi kegiatan-kegiatan berdasarkan pilihan sendiri dengan menciptakan gaya hidup yang baru dan menyenangkan diri mereka sendiri. Hal ini mereka lakukan dengan cara melepaskan berbagai peran lama dan menjalankan peran baru. Mereka sendiri jarang rileks dan tidak mengerjakan apapun, kecuali mereka mengembangkan hobi, melakukan perjalanan, dan menjadi aktif dalam berbagai pertemuan yang diadakan oleh masyarakat. Kategori kedua disebut “pemelihara peran”(maintainers), seperti yang dijelaskan sebelumnya, mereka jarang rileks dan tidak mengerjakan apapaun tetapi apa yang mereka lakukan merupakan lanjutan dari apa yang telah mereka lakukan bertahun-tahun sebelumnya.

(4)

dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagamaan seseorang akanmeliputi berbagai macam sisi atau dimensi.Dengan demikian, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak.Sedangkan Makna hidup adalah hal-hal yang oleh seseorang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya.Lebih lanjut Bastaman, (1995), mengemukakan kebermaknaan hidup adalah kualitas penghayatan individu terhadap seberapa besar individu mampu mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya, menunjukkan corak kehidupan yang penuh gairah dan optimisme dalam kehidupan sehari-hari serta seberapa jauh individu telah berhasil mencapai tujuan-tujuan hidupnya dalam rangka memberi makna atau arus kepada kehidupannya.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian diskriptitf kualitatif yaitu penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk kata-kata dan gambar, kata-kata-kata-kata disusun dalam kalimat, misalnya kalimat hasil wawancara antara peneliti dan informan. Penelitian kualitatif bertolak dari filsafat konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh individu-individu. Penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut perspektif partisipan.

Pengambilan sumber data penelitian ini menggunakan teknik “purpose

sampling” yaitu pengambilan sampel didasarkan pada pilihan penelitian tentang

aspek apa dan siapa yang dijadikan fokus pada saat situasi tertentu dan saat ini terus-menerus sepanjang penelitian, sampling bersifat purpossive yaitu tergantung pada tujuan fokus suatu saat (Nasution , 2006). Informan penelitian adalah Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya yang menjelang pensiun (maksimal 5 tahun sebelum usia pensiun, 65 tahun) berjumlah 3 orang.

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif pada umumnya menggunakan teknih observasi, wawancara, dan studi dokumenter, atas dasar konsep tersebut, maka ketiga teknik pengumpulan data diatas digunakan dalam penelitian ini.

(5)

Religiusitas

Religiusitas oleh McDaniel dan Burnett (dalam Vittel, 2009) didefinisikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan disertai dengan komitmen untuk mengikuti prinsip-prinsip yang diyakini ditetapkan oleh Allah. Gagasan bahwa religuisitas seseorang (kereligiusan) dapat memengaruhi penilaian individu, keyakinan dan perilaku dalam berbagai situasi, akan muncul menjadi intuitif (Singh, 2005). Religiusitas memiliki pengaruh baik pada sikap dan perilaku manusia (Weaver dan Agle, 2002). Delener (1994) juga mengungkapkan bahwa religiusitas merupakan nilai penting dalam struktur kognitif individu konsumen yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Dradjat mengemukakan istilah kesadaran agama (religious consciousness), merupakan segi agama yang terasa dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi, atau dapat dikatakan sebagai aspek mental dalam agama. Pengalaman agama (religious experience) atau unsur perasaan dalam kesadaran agama yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan. Apapun yang dikatakan para ahli untuk menyebut aspek religius didalam diri manusia, kesemuanya menunjuk kepada suatu fakta bahwa kegiatan-kegiatan religius itu memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.

Religiusitas menurut Alport dan Ross (Wicaksono dan Meiyanto, 2003) memiliki dua aspek orientasi yaitu orientasi religius intrinsic (instrinsic religious) dan orientasi religius ekstrinsik (extrinsic religious).Orientasi religius intrinsik menunjuk kepada bagaimana individu menghidupkan agamanya (lives his/her religion) sedangkan orientasi religius ekstrinsik menunjuk kepada bagaiman individu menggunakan agamanya (uses his/her religion).Singkatnya, orientasi religius intrinsic melihat setiap kejadian melalui kacamata religius, sehingga tercipta makna Danahue (Wicaksono dan Meiyanto, 2003).Sebaliknya orientasi religious ekstrinsik lebih menekankan pada konsekuensi emosional dan social Swanson dan Byrd (Wicaksono dan Meiyanto, 2003).

(6)

Menurut Glock dan Stark dimensi religiusitas, yaitu : (dalam Poloutzian, F.R., 1996) ada lima

a. Religious Practice ( the Ritualistic Dimension).

Tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya, seperti shalat, zakat, puasa dan sebagainya.

b. Religious Belief (the Ideological Dimension).

Sejauh mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, Malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, neraka dan yang lain-lain yang bersifat dogmatik.

c. Religious Knowledge (the Intellectual Dimension)

Seberapa jauh seseorang mengetahuai tentang ajaran agamanya. Hal ini berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran dalam agamanya.

d. Religious Feeling (the Experiental Dimension)

Dimensi yang terdiri dari perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya.

e. Religious Effect (the Consequential Dimension)

Dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya. Misalnya ikut dalam kegiatan konversasi lingkungan, ikut melestarikan lingkungan alam dan lain-lain.

Kebermaknaan Hidup

Menurut pandangan Frankl ( 1970 ) makna hidup harus dilihat sebagai suatu yang sangat objektif karena berkaitan dengan hubungan individu dengan pengalamannya dalam dunia ini, meskipun makna hidup itu sendiri sebenarnya suatu yang objektif, artinya benar-benar ada dan dialami dalam kehidupan. Frankl ( 1985 ) menyebutkan bahwa makna hidup sebagai sesuatu hal yang bersifat personal, dan bisa berubah seiring berjalanya waktu maupun perubahan situasi dalam kehidupannya. Individu seolah-olah ditanya apa makna hidupnya pada setiap waktu maupun situasi dan kemudian harus mempertanggungjawabkan. Menurut Yalom (dalam Bastaman, 1996) pengertian makna hidup sama artinya dengan tujuan hidup yaitu segala sesuatu yang ingin dicapai dan dipenuhi.

(7)

(Erikson dalam Cremers, 1989). Benar, beres dan tepat dalam mengambil tindakan atau keputusan baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun orang lain akan menimbulkan rasa penuh makna. Rasa penuh makna tersebut tercapai ketika subjek merasa telah menyesuaikan diri secara memadai dengan tata nilai yang menjadi kerangka orientasi hidupnya (Koeswara, 1992). Berdasar penelitian Crurabaugh dan Maholick (dalam Koeswara, 1992) seseorang yang merasa hidupnya bermakna mampu menggunakan mekanisme pertahanan iaf secara memadai dibanding dengan subjek yang kurang bermakna hidupnya.

Penelitian yang dilakukan Crumbaugh dan Maholick tersebut mendukung pernyataan Bastaman mengenai sikap individu yang menghayati hidupnya bermakna. Bastaman (1995) mengatakan bahwa orang yang menghayati hidupnya bermakna menunjukkan kehidupan yang penuh gairah dan optimis, terarah, dan bertujuan, mampu beradaptasi, luwes dalam bergaul dengan tetap menjaga identitas diri dan apabila dihadapkan pada suatu penderitaan ia akan tabah dan menyadari bahwa ada hikmah di balik penderitaan.

Bagi kaum beragama Tuhan merupakan sumber dari segala sumber makna dalam hidup. Jadi agama untuk membantu manusia menginterpretasikan hidup dan kematiannya (Gordon, 1992). Agama mengisi kekosongan akan koordinasi dan adaptasi langsung terhadap ruang habitatnya (Berger dkk, 1992). Frankl (dalam Bastaman, 1996) mengakui adanya makna hidup yang universal, mutlak dan paripurna. Bagi golongan non agamis hal ini mungkin berupa semesta alam, ekosistem, kemanusiaan, ideologi atau pandangan sumber makna Yang Maha Sempurna dengan agama sebagai wujud tuntunannya.

Frankl (dalam Bastaman, 1996) berpendapat seseorang yang memiliki makna hidup orientasi kuat terhadap makna akan memiliki apa saja yang disebut dengan a live prolonging or enven a live saving effect, yaitu pengaruh yang memberikan kekuatan untuk tetap bertahan hidup karena keyakinan adanya makna di balik penderitaan yang dihadapinya. Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting dan berharga, serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan berharga. ( Bastaman, 1996).

(8)

Maka hidup ini benar-benar terdapat dalam kehidupan itu sendiri, walaupun dalam kenyataannya tidak mudah ditemukan karena sering tersirat dan tersembuyi didalamnya. Bila makna hidup ini berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan bermakna dan berharga yang pada gilirannya akan menimbulkan perasaan bahagia.

Bastaman (1996), terdapat komponen-komponen yang potensial dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan mengembangkan kehidupan bermakna sejauh diaktualisasikan. Komponen ini ternyata cukup banyak ragamnya, tetapi semuanya dapat dikategorikan dalam menjadi tiga Dimensi yaitu :

a. Dimensi Personal

Unsur-unsur yang merupakan Dimensi personal adalah :

1. Pemahaman diri (self insight), yakni meninggkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik.

2. Pengubahan sikap (changing attitude), dari semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup dan musibah yang terelakkan.

b. Dimensi Sosial

Unsur yang merupakan Dimensi sosial adalah dukungan sosial (social supprot), yakni hdirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dpat dipercaya dan selalu bersedia memberikan bantuan pada saat-saat diperlukan.

c. Dimensi Nilai-nilai

Adapun unsur-unsur dari Dimensi nilai-nilai meliputi :

1. Makna hidup (the meaning of live), yakni nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan mengarah kegiatan-kegiatanya.

2. Keikatan diri (self commitment), terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan.

3. Kegiatan terarah (directed activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-poteni pribadi (bakat, kemampuan, keterampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup.

(9)

yaitu keberhasilan mengembangkan penghayatan hidup bermakana dilakukan dengan jalan menyadari dan mengaktualisasikan potensi kualitas-kualitas insani.

Kesadaran akan pentingnya makna hidup manusia tidak muncul begitu saja, namun didukung oleh beberapa komponen, Bastaman (2007) mendeteksi adanya komponen yang menentukan berhasilnya perubahan hidup tidak bermakna menjadi bermakna, sebagai berikut : (1) Pemahaman Diri (self insight); Meningkatnya kesadaran akan buruknya kondisi pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik. (2) Makna Hidup ( the meaning of life); Nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya. (3) Perubahan-perubahan Sikap (changing attitude); Dari yang tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah. (4) Keikatan Diri (self commitment); Terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan. (5) Kegiatan Terarah (directed activities); Upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi pribadi (bakat, kemampuan, dan keterampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna tujuan hidup. (6) Dukungan Sosial (social support) Hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia membantu pada saat-saat yang diperlukan.

Menurut Bastaman (1996) menyederhanakan dan memodifikasi metode Logoanalysis sebagai berikut :

a. Pemahaman Pribadi

Mengenali secara objektif kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan lingkungan, baik yang masih merupakan potensi maupun yang telah teraktualisasi untuk kemudian kekuatan-kekuatan itu dikembangkan dan kelemahan-kelemahan dihambat dan dikurangi.

b. Bertindak positif

Mencoba menerapkan dan melaksanakan dalam perilaku dan tindakan-tindakan nyata sehari-hari yang dianggap baik dan bermanfaat. Bertindak positif merupakan kelanjutan dari berfikir positif.

c. Pengakraban Hubungan

Secara sengaja meningkatkan hubungan yang baik dengan pribadi-pribadi tertentu ( misalnya anggota keluarga, teman, rekan kerja, tetangga ), sehingga masing-masing merasa saling menyayangi, saling membutuhkan dan bersedia bantu-membantu.

(10)

Berupaya untuk memahami dan memenuhi tiga ragam nilai yang dianggap sebagai sumber makna hidup yaitu nilai-nilai kreatif ( kerja, karya ), nilai-nilai penghayatan ( kebebaran, keindahan, kasih, iman ), dan nilai-nilai bersikap ( menerima dan mengambil sikap yang tepat atas derita yang tidak dapat dihindari lagi ).

e. Ibadah.

Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri pada sang pencipta yang pada akhirnya memberikan perasan damai, tentaram, dan tabah. Ibadah yang dilakukan secar terus-menerus dan khusuk memberikan perasan seolah-olah dibimbing dan mendapat arahan ketika melakukan suatu perbuatan.

Hasil Dan Pembahasan

Religiusitas Dosen Menjelang Masa Pensiun

Pada dimensi keyakinan/ideologi yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut, misalnya pada soal antara usaha manusia dan takdir, gambaran penjelasan dari informan menunjukkan hal yang relatif sama yaitu tidak selalu memiliki hubungan yang linier antara keduanya. Antara usaha manusia dan takdir memiliki wilayah yang berbeda, sebagaimana penjelasan berikut :

“usaha manusia dan takdir adalah dua sisi yang berbeda. Usaha manusia merupakan kewajiban, ikhtiar atau usaha manusia, sementara takdir merupakan hak prerogatif Tuhan, sekaligus batas akhir dari usaha manusia untuk berhasil atau tidak” (TS-03)

Penjelasan ini hendak menandaskan bahwa manusia memiliki keterbatasan untuk memprediksi atau menentukan hasil-hasil atau akibat dari buah tindakannya. Kewajiban manusia hanya dibatasi pada maksimalisasi usahanya, sementara dampak atau akibat adalah murni urusan Tuhan, atau Tuhan-lah yang memiliki kehendak dengan segala ketentuan-ketentuan-Nya.

Pendapat senada disampaikan oleh SAD-02 :

“kewajiban manusia berikhtiar dan berdo’a, namun hak Tuhan untuk mengabulkan atau menolak do’a hambanya. Apapun keputusan Tuhan, sebagai manusia kita mesti berhusnudzon dengan apapun kehendak-Nya, karena hal demikian mesti yang terbaik buat kita”.

(11)

ketentuan-Nya, manusia harus menerimanya, karena sesungguhnya Dia-lah yang mengetahui segala sesuatu yang terbaik buat hambanya.

Pendapat diatas mencerminkan proporsionalitas antara dua peran dan dua wilayah yang berbeda. Peran-peran manusia dilakukan sesuai dengan proporsinya, namun diluar itu ketentuan Tuhan sebagai penentu akhirnya. Usaha dan do’a menjadi satu paket yang berjalan seiring, disertai dengan keyakinan penuh adanya kekuatan diluar diri manusia, yang diatas segala-galanya.

Pendapat yang berbeda berkaitan dengan “kewenangan wilayah” manusia dan Tuhan disampaikan oleh AC-01, sebagai berikut :

“baik dan buruk adalah takdir Allah, manusia dalam panggung kehidupan ini hanya sekedar wayang, tidak memiliki daya apapun kecuali harus taat (manut) dengan skenario Allah SWT. Bagi saya tidak ada sedikitpun perilaku manusia termasuk yang jahat tanpa sepengetahuan Allah SWT”. Fungsi manusia hanya menjalankan peran (wayang) dari sebuah lakon yang sudah ditentukan oleh dalang/sutaradara (Tuhan). Semua kebaikan atau keburukan sudah digariskan oleh Tuhan, dan manusia tinggal menjalani garis tersebut (pasrah).

Dalam kepasrahan tersebut, seseorang harus bisa menseimbangkan pandangan atau perspektif manusia dan Tuhan-nya untuk mewujudkan sikap nerimo atau ikhlas, karena segala sesuatu yang buruk bagi manusia belum tentu bagi Tuhan, dan demikian juga sebaliknya. Hal ini disampikan AC-01 lebih lanjut :

“Karena itu memahami realita kehidupan termasuk takdir dalam perspektif manusia terkadang tidak cukup dan tidak pas. Karena itu suatu saat kita mesti memposisikan dalam perspektif Tuhan, sehingga dengan lapang hati akan bias memahami apapun yang terjadi”.

(12)

“bagi saya, surga dan neraka merupakan konsekuensi dari kehidupan dunia. Ia disediakan sebagai instrumen motivator amaliah manusia dari Tuhannya” (SAD-02)

Penjelasan lain menyebutkan :

“surga dan neraka adalah bagian dari amaliah manusia di dunia yang nanti sama-sama kita buktikan kebenarannya” (TS-03)

Untuk menuju ke arah surgawi, maka seseorang harus mempersiapkannya selama hidup di dunia, dengan segala perbuatan baik. Perbuatan baik akan menjadikan perjalanan akherat kelak mernjadi lancar. Tentang hal ini disampaikan oleh AC-01 :

“bagi saya dunia dan akherat itu satu kesatuan. Kematian harus dipahami sebagai terminal dari etape dunia menuju etape berikutnya. Jika etape awal (dunia) seseorang sudah prepare/siap, maka wajar jika di akherat nanti perjalanannya lebih lancar, tidak ada kendala. Dan lancar itulah maknanya surga bagi kalangan agamawan” (AC-01)

Pada pemahaman akan dinamika kehidupan ketika dikaitkan dengan nilai-nilai ke-Tuhan-an, narasumber memahami bahwa apapun yang terjadi adalah bentuk teguran, sebagai ekspresi kasih sayang Tuhan kepada hambanya.

“bagi saya, ujian, cobaan, dan teguran dari Allah adalah dinamika kehidupan. Agar tidak frustasi saya lebih mengkategorikannya sebagai teguran (rasa sayang) Allah kepada hamba-Nya” (SAD-02).

Cara memaknai yang demikian menjadikan seseorang lebih ‘damai’ dalam menjalani kehidupan dengan segala dinamikanya. Dengan demikian, kalimat kunci dalam situasi ini adalah kemampuan seseorang dalam mengembangkan pikiran positif, yang berimplikasi pada pengendalian dari hal-hal yang negatif. Sudah barang tentu, ketika teguran itu datang, maka kewajiban manusia untuk lebih memperbaiki segala sesuatunya ke arah yang lebih sempurna.

Selain kemampuan mengembangkan pikiran positif, dalam mengahdapi berbagai dinamika kehidupan, maka sikap sabar, selalu bersyukur, dan menghindarkan dari sikap takabur adalah kata kunci berikutnya. Nilai-nilai tersebut ketika dimiliki oleh seseorang, akan menjadikan orang tersebut memiliki kesiapan dalam mengahadapi situasi apapun. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh TS-03 :

(13)

Termasuk ujian yang diterima oleh TS-03 adalah anak pertamanya yang mengalami cacat fisik. Ketabahan dan kesabaran untuk menerima kenyataan menjadi energi yang memperkuatnya dalam menjalani dinamika kehidupan.

Pernyataan yang ‘reflektif dan logis’ tentang dinamika kehidupan disampaikan oleh AC-01, sebagai berikut :

“kehidupan ini dinamis memang, kadang dibawah kadang di atas. Ujian, cobaan, hukuman, bahkan teguran adalah sesuatu yang wajar. Tapi bagi saya semuanya bergantung pada manusianya sendiri. Artinya dalam hidup ini filsafat bakal ngunduh wohing pakerti (memetik amal perbuatan) pasti terjadi. Seperti saya ini, sekarang anak-anak saya tidak mau hormat kepada saya, saya bias memahaminya. Mereka merasa saya khianati dulu ketika saya harus cerai dengan ibunya” (AC-01).

Sementara pada pemahaman tentang do’a sebagai senjata seorang muslim, informan memahami sebagai bentuk ihtiyar, amaliah, disertai dengan keyakinan bahwa Tuhan akan mengabulkan do’a hamba-Nya, sebagaimana disampaikan oleh SAD-02 :

“ tiap hari dalam akhir sholat kita mesti berdo’a sebagai wirid (amaliah ubudiyah). Tetapi dalam berbagai hal atau keadaan ketika kita mengharap atau menghadapi problema, kita mesti berdo’a kepada Tuhan. Dan saya sangat yakin Tuhan akan mengabulkan do’a, terutama do’a yang dipanjatkan oleh ibu bagi anaknya, ditempat dan waktu yang mustajabah” (SAD-02)

Pemahanan lain dari informan, bahwa do’a adalah merupakan energy Tuhan yang harus diminta, dan juga merupakan kebutuhan manusia, terlepas dari apakah Tuhan akan mengabulkan atau tidak do’a tersebut, yang semuanya menjadi otoritas-Nya secara mutlak. Penegasan pengertian ini seperti disampaikan berikut ini :

“do’a itu separo dari ikhtiar kita, dan yang separo lagi harus didapatkan dari usaha mati-matian. Tapi yang terpenting dari do’a adalah karena do’a itu kebutuhan teologis manusia. Kabul atau tidak, pokoknya kalau sudah berdo’a saya merasa puas” (TS-03)”

Pendapat yang sebangun juga disampaikan berikut :

(14)

Pengharapan dan kepasrahan berjalan secara simultan dalam memahami do’a. Sebagai bagian dari ikhtiar, maka do’a harus dilakukan. Selanjutnya, lebih dari itu adalah menjadi kewenangan Tuhan, karena Dia yang memahami segala sesuatu yang terbaik bagi hamba-Nya.

Dalam dimensi praktek agama/peribadatan yang mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya, informan tidak banyak terlibat dalam praktek-praktek atau kegiatan-kegiatan tersebut. Ketersediaan waktu yang habis untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan utama menjadi factor yang tidak memungkinkan bagi informan untuk banyak terlibat dalam kegiatan social, meskipun disadari hal demikian penting adanya, seperti disampaikan oleh AC-01 berikut :

“kegiatan sosial menurut saya harus diikuti, mengingat habitat kita nanti kalau sudah pensiun kan jadi warga masyarakat biasa. Tetapi kan mesti dimaklumi, kayak saya ini kan berangkat pagi dan pulang larut malam (tolak Mojosari-Surabaya) sehingga terbatas sekali waktu untuk kegiatan social, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Tapi kan hari Sabtu dan Minggu sering juga di pakai di IAIN atau dinas” (AC-01)

Motivasi dari keterlibatan para informan dalam kegiatan social lebih cenderung ke motivasi yang pragmatis sifatnya, seperti yang disampaikan oleh AC-01, bahwa keterlibatan dalam kegiatan social masyarakat adalah murni untuk ngguyupi masyarakat dan tidak ada pamrih lain. Ketika ada kegiatan-kegiatan masyarakat yang membutuhkan partisipasi atau kehadiran warga secara fisik, AC-01 cenderung membantu secara financial, karena pertimbangan usia yang mulai tua.

SAD-02 tidak banyak terlibat dalam kegiatan social di kampong, atau dalam bahasa lain bersikap pasif dalam kegiatan masyarakat maupun kegiatan masjid. Organisasi yang pernah diikuti adalah NU (dulu aktif di PBNU dan sekarang sudah tidak aktif lagi). Motivasi keterlibatannya hanya untuk status social saja.

Sementara TS-03 memilih aktif di PNPM dengan keterlibatan sebagai anggota didalamnya. Pilihan tersebut dipahami oleh TS-03 sebagai konsekuensi dari kehidupan social bersama masyarakat.

(15)

yang banyak menyita waktu, sebagaimana yang mengenai AC-01 sebagao berikut :

“ tradisi di kampong saya, tahlil dan manakib tetap ada. Tapi ya nggak mungkin saya bias mengikuti. Yang penting saya tidak anti, dan tetap support. Sesekali kita dating sudah cukup membangun perasaan mereka bahwa kita bagian dari mereka. Toh mereka mafhum bahwa kita PNS” (AC-01)

Kesibukan sebagai PNS dan jarak yang harus ditempuh antara Surabaya-Mojosari setiap hari, membuat AC-01 tidak banyak memiliki waktu untuk terlibat dalam kegiatan social keagamaan di kampong tempat tinggalnya. Selain kesibukan yang telah menyita waktu, setting kawasan tempat tinggal juga turut mempengaruhi tingkat keterlibatan informan, seperti gambaran penjelasan berikut :

“saya hidup di kawasan perkotaan, yaitu di Kapasan. Saya betul-betul terisolir dari komunitas social, paling-paling kegiatan saya cuma bersih-bersih rumah, seperti nyapu atau yang lain. Selebihnya saya ke kampus IAIN” (SAD-02)

Dalam dimensi pengalaman yang berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang, seperti pada pelaksanaan ibadah-ibadah yang menjadi kewajiban seorang muslim (yang mampu) yaitu ibadah haji, para informan memberikan keterangan yang variatif. Ada yang sudah melaksanakan sejumlah delapan kali, ada yang dua kali, dengan ada yang disertai dengan pengalaman spiritual dan ada juga yang tidak. Namun ada juga yang sebaliknya yaitu belum pernah melakukan sama sekali.

SAD-02 telah melakukan haji delapan kali, sebagaimana keterangannya berikut :

“ saya sudah mulai menunaikan ibadah haji delapan kali. Tahun 1983 itu yang pertama. Tiga kali saya biaya sendiri, yang selebihnya biaya dinas atau karena sebagai petugas. Karena saya meniti karir dari bawah hingga kakanwil, maka saya sudah merasa haji sejak dari kelas sederhana sampai dengan VVIP. Bahkan satu tenda di Arafah dengan menteri pernah saya rasakan. Semuanya saya niatkan untuk ibadah. Namun uniknya tak pernah sekalipun saya mengalami peristiwa magis atau sacral dalam seluruh ritual haji selama delapan kali tersebut” (SAD-02)

Pengalaman berbeda dalam melaksanakan ibadah haji, dirasakan oleh AC-01, sebagai berikut :

(16)

Mekah yang saya alami adalah ketika saya habis berdo’a yang terbaik keluarga, saya telpon ibu yang di Lumajang. Subhanallaah…. Ibu itu tidak pernah merestui pernikahanku dengan A (inisial). Bahkan sampai aku berangkat haji tidak berani pamit. Tapi begitu saya habis berdo’a dan telpon ibu, hati ini tersentak karena ibu mulai saat itu baru bias memahami pernikahan kami yang kedua ini” (AC-01)

Kondisi berbeda dialami oleh TS-03, yaitu belum pernah menunaikan ibadah haji, meskipun hasrat hati sangat ingin melakukan ibadah tersebut, seperti penyampaiannya berikut :

‘saya belum pernah menunaikan ibadah haji. Saya iri dan kadang menangis kalau memperhatikan rombongan orang naik haji ke juanda. Jika saya bersepeda saya berhenti dan meneteskan air mata. Mungkinkah suatu saat saya menjadi bagian jamaah yang ada dalam bis seperti itu ?” (TS-03) Pada dimensi pengetahuan agama, yang mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi agama, TS-03 memiliki latar belakang pengetahuan agama yang komplet, setidaknya kalau diukur dari sisi pendidikan formal, sebagaimana penyampaiannya berikut :

“sekolah saya MI, Tsanawiyah, PGA, yang semuanya saya jalani dengan bondo nekad dengan nderek kyai. Setelah itu lanjut ke SP IAIN, dan pascasarjana. Tamat MI, orang tua nyuruh saya untuk ngenger agar dapat pedhet (anak sapi) agar saya bias sekolah. Akhirnya saya jual seekor kambing dan berangkat untuk ngenger pak kyai” (TS-03).

Sementara SAD-02 menempuh pendidikan dengan kombinasi antara pendidikan umum dan agama, yaitu :SR, SMP, PGAP, SP IAIN, IAIN, dan pasca sarjana. Pada pemahaman tentang perbedaan antara pendidikan umum dengan pendidikan agama, ada perbedaan cara pandang dalam melihatnya, antara yang melihatnya keduanya berbeda sebagaimana paparan berikut :

“pendidikan umum dan agama tentu sangat berbeda. Pendidikan agama utamanya di pesantren lebih banyak pada pendidikan perilaku. Tampaknya pendidikan umum di Diknas lebih berorientasi pada teori yang kering dari moral agama” (TS-03)

Pemahaman yang disampaikan TS-03 sebangun dengan karir pendidikannya yang sejak dini telah menempuh pendidikan agama di MI, yang dilanjutkannya dengan ngenger ke kyai.

(17)

“Bagi saya pendidikan umum dan agama jelas sangat mendasar perbedaannya. Sejelek apapun pendidikan berbasis agama masih lebih bagus ketimbang pendidikan umum semata” (SAD-02).

Pemahaman yang berseberangan disampaikan oleh AC-01, yang melihat bahwa antara pendidikan umum dan agama adalah sama saja, sebagaimana berikut :

“pendidikan umum dan agama itu sama saja. Anak itu apa kata lingkungan keluarga, khususnya ibunya. Lihat sekarang banyak alumni pesantren yang moralitasnya juga tidak lebih baik dari yang sekolah umum. Jadi landasan moral itu bergantung pada lingkungan keluarganya” (AC-01)

Kalau mau di teliti lebih jauh, pemahaman-pemahaman tersebut sesungguhnya tidak ada perbedaan secara diametral, terutama dari sisi moral pendidikannya. Keduanya sama-sama melihat bahwa factor eksternal memiliki peran signifikan dalam membangun moral; factor eksternal yang pertama di wakili oleh lingkungan pesantren, dan yang kedua diwakili oleh lingkungan keluarga. Dalam kajian sosiologis, semuanya termasuk dalam paradigma fakta social.

Dimensi terakhir dari religiusitas adalah dimensi konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari, atau dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya. Dalam beberapa kasus atau kondisi keberagamaan di Indonesia, misalnya korupsi oleh orang Islam, dan konflik atas nama agama, menurut SAD-02 terjadi karena pemahaman agama yang jauh dari spirit spiritualisme, dan Negara yang tidak serius mengatur kehidupan keberagamaan.

SAD-02 mengatakan :

“perilaku tercela di Indonesia tetap ada mengiringi maraknya kehidupan beragama, karena beragama di Indonesia masih sebatas pengetahuan syar’i belaka, jauh dari spirit spiritualisme. Maraknya kekerasan antar golongan di Indonesia, terjadi karena pemerintah tidak serius dalam membuat regulasi melalui PP atau UU dan sebagainya. Kayaknya negara sekarang ini mengatur kehidupan beragama seperti samben, main-main saja” (SAD-02)

Pemahaman agama yang hanya pada level permukaan atau kulit saja, dianggap sebagai biang maraknya perilaku-periaku yang tercela, seperti yang diungkapkan oleh AC-01 berikut :

(18)

dimensi kulitnya, bukan isinya. Kita terlalu fiqh sentris, tidak pada nilai (value) dari pesan moral ajaran itu. Saya kira kelemahan kita disitu, ketika nyata-nyata barang haram atau korupsi dihalalkan hanya karena aqad yang dirubah. Itu kan bodohnya kita, dan cerdasnya ahli fiqh. Karena itu sudah saatnya kita beragama dengan hati” (AC-01)

Kalangan Islam mestinya tahu tentang korupsi yang dilarang, namun mereka tidak berdaya dan tidak mampu mengendalikan diri dari perilaku-perilaku koruptif. Hal ini disampaikan oleh TS-03 sebagai berikut :

“perilaku korupsi dan penyimpangan lain dilakukan oleh orang Islam, karena mereka tidak berdaya mengendalikan diri. Mereka tahu semua bahwa perilakunya melanggar hokum, hanya tidak berdaya. Menurut saya perilaku kejujuran perlu dikampanyekan secara revolusioner, cultural, sehingga yang diperlukan adalah sanksi social yang berat jika melanggar aturan” (TS-03)

Guna menghindarkan perilaku kekerasan atau konflik atas nama agama, pemerintah harus mengakomodir kelompok-kelompok tersebut, sekaligus sebagai bagian dari tanggung jawabnya ketika terjadi konflik-konflik tersebut. Pendapat-pendapat berikut menggambarkan hal tersebut.

“adanya kelompok agama yang anarkhis, karena mereka tidak mendapatkan apresiasi yang cukup dari negara. Mereka baik, ingin negaranya sehat dari perilaku kemungkaran. Saya setuju keberadaan FPI. Mereka melihat peran polisi lemah, polisi perlu dibantu. Hanya yang perlu dibenahi adalah pada tataran prosedurnya” (TS-03)

“pandangan saya adalah perilaku anarkhis antar kelompok agama, murni menjadi tanggung jawab tokoh agama, kyai atau ulama, dan pemerintah. Perpecahan itu kadang oleh para politisi di openi untuk ngunduh proyek” (AC-01)

Spirit yang diusung oleh pendapat-pendapat tersebut hakekatnya adalah sama, yaitu penting mendudukkan segala sesuatu secara proporsional. Tradisi beragama haruslah utuh dilaksanakan secara murni dan konsekuen, dengan tidak hanya berhenti pada hal-hal yang artificial saja, tetapi haruslah masuk pada hal-hal yang substansial. Selain itu Negara sebagai pemegang mandate kekuasaan, haruslah menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, yaitu serius dalam mengelola keberagaman dan menegakkan hokum sehingga potensi-potensi pelanggaran bias dir edam dan diminimalisir.

(19)

Menurut Bastaman (1996), bahwa kebermaknaan hidup secara garis besar meliputi tiga dimensi, yaitu : dimnesi personal, dimensi social, dan dimensi nilai-nilai.

Dimensi personal memiliki unsure-unsur antara lain : (1) pemahaman diri, yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, (2) pengubahan sikap, yakni dari semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah yang tak terelakkan.

Pada dimensi personal ini bias digambarkan diri informan yang menjadi subyek kajian ini, antara lain :

- TS-03, Beliau adalah orang yang sederhana, hidupnya neriman apa adanya, dan tidak pernah ngoyo dalam menjalaninya. Taqwim mengalami cobaan dalam hidupnya, yang dipahaminya sebagai cobaan berat, yaitu merawat anaknya yang mengalami keterbelakangan mental. Dalam menghadapi cobaan ini, Taqwim terus berusaha pada setiap malam memohon kepada Allah untuk diberi ketabahan serta ditunjukkan hikmah di balik ujian atau cobaan ini.

Dalam menjaga keseimbangan dalam hidup, antara social dan keagamaan, Taqwim banyak melibatkan diri dalam kehidupan kampong dan kegiatan masjid. Salah satu kegiatan yang diikutinya adalah PNPM, dengan menjadi anggota aktif, tanpa berhasrat untuk jadi pimpinan. Sementara secara jasmani diimbanginya dengan melakukan olah raga ringan seperti tenis meja. Porsi untuk kebutuhan social dan privasi bias dikelola dengan baik sehingga tidak ada masalah dan tidak ada yang saling dirugikan. Hanya pada porsi hubungan kekerabatan tergolong rendah karena keluarga besar saling berjauhan dan pada umumnya banyak yang menjadi petani miskin di desa. Bagi Taqwim, keluarga dan lingkungan tetangga adalah yang paling utama. Dan bagi Taqwim, kunci yang menjadi dasar dalam menjaga keseimbangan hidup adalah agama, dengan salah satu aplikasi dari nilai agama yang diikutinya adalah tidak boleh kekenyangan ketika makan, yang artinya seseorang harus menghindari isrof atau sikap berlebihan.

(20)

Namun pada sisi lain, kondisi keluarga ini belum sepenuhnya sesuai dengan harapannya. Kalau boleh, TS-03 tidak menginginkan ada anaknya yang cacat, tapi kenyataannya ada anaknya yang memiliki kebutuhan khusus. Pada sisi pendidikan, sebagai orang tua, TS-03 menginginkan pendidikan yang terbaik bagi putra-putranya, tidak seperti saat ini yang hanya asal kuliah. Tetapi membangun dan mewujudkan harapan lebih, sulit diwujudkan oleh TS-03, karena menyadari posisinya yang hanya PNS.

- SAD-02, Sosoknya lebih cenderung ke birokrat dan lemah dalam kehidupan sosialnya. Kegiatan mengajar dilakukan karena semangat dan ingin tidak segera pension. Salim memiliki prinsip bahwa hidup adalah mengalir, segala sesuatunya dinikmati dengan enak dan nyaman, termasuk ketika mengalami mutasi jabatan. Salim merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, dan prinsip yang selalu dipegangnya adalah selalu berhusnudzon pada iradah Allah, disertai dengan keyakinan bahwa tidak mungkin Allah memberikan sesuatu yang jelek bagi hamba-Nya, selama hamba-Nya mau memahami. Seringkali hamba-Nya yang suka nggegemongso (memaksakan kehendak pada Allah). Itu yang tidak tepat bagi kehidupan manusia.

Dalam hidupnya, Salim tidak pernah mengalami cobaan yang berarti. Kehidupan ritual dan social keagamaan dijalankan secara seirama, dan secara fisik Salim masih tampak sehat meskipun tidak pernah mengatur pola makan. Juga tidak pernah secara khusus membagi waktu secara ketat antara kehidupan public maupun privat. Salim mengalir dan berprinsip bahwa ketika bertemu, ya itulah waktu yang telah disediakan.

- AC-01 merasa bahwa dirinya adalah manusia yang aneh, dan telah banyak merepotkan keluarga; anak, istri dan semuanya. Tapi dibalik itu, beliau merasa bahwa dirinya masih memberikan manfaat, dan pula bahwa kondisi yang teralami adalah titah Allah.

(21)

sampaikan, sebagai hikmah dan pembelajaran dari peristiwa pahit yang dialaminya.

Cobaan yang dialami AC-01 kini sudah berlalu, dan tetap dengan pemahaman bahwa segala sesuatunya berlalu atas kehendak Allah. Menghadapi perkembangan dan situasi baru, Adurrahman tidak berhenti-berhenti mengucap syukur, terutama ketika mendapati anak-anaknya yang dulu menjadi korban perceraian, tumbuh dengan baik, tidak nakal, dan tidak bermain-main dengan narkoba. Meskipun masih menyisakan kebencian dan cercaan, tapi AC-01 bersyukur karena anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang baik. AC-01 meyakini seiring perjalanan waktu, lambat laun, semuanya akan berubah ke arah yang semakin baik.

Kegiatan social dan ritual keagamaan, bagi AC-01 harus berjalan seimbang. Semuanya memiliki sisi kekurangan dan kelebihannya, sambil menyebutkan contoh tentang terapi sholat bahagia Ali Aziz yang sesungguhnya kurang disetujuinya, karena dirasakan hanya cocok untuk kalangan miskin saja, dan prinsip shodaqoh Yusuf Mansyur yang disenanginya, meskipun hanya dirasakan cocok bagi kalangan orang-orang kaya saja. Prinsipnya, bagi AC-01, antara social dan ritual harus berjalan linier.

Keseimbangan dalam hidup diatur sedemikian rupa. Pola makan di atur (diet) beriringan dengan usianya yang semakin bertambah tua. Sementara untuk waktu public dan privat juga bias berjalan secara seimbang. Bagian dari gaya hidup yang dikembangkan oleh AC-01 adalah kebiasaan silaturrahmi dan member kepada saudara-saudara yang kurang mampu. “Gek di gawe opo kalau memang ada, toh itu juga bagian mereka yang dititipkan ke saya”, ucap beliau tentang kebiasaannya berbagai kepada sesame.

Dalam kehidupan kelompok, AC-01 lebih mendominasi dibanding kawan-kawannya yang lain. Keseimbangan antara ritual sosial dan silaturrahmi tetap dijaganya, semata-mata karena keinginannya untuk membuat hidup lebih bermanfaat bagi yang lain. Pada kehidupan-kehidupan sosial yang menuntut keterlibatan atau peran, AC-01 memposisikan diri di belakang, meskipun tetap memberikan dukungan penuh.

(22)

murah. Bagi AC-01, anak-anak itu adalah anugerah Allah yang tidak ternilai harganya, sehingga harus di openi dengan sebaik-baiknya.

Dalam menjalani kehidupan ini, dengan waktu yang terus berjalan tanpa bisa diulangi, satu prinsip yang dipegang teguh adalah sikap jujur. Bagi AC-01, sikap jujur adalah kunci sukses dalam segala bidang kehidupan.

AC-01 menyadari bahwa segala sesuatunya terus berjalan hingga mendekati titik akhir, termasuk dalam karir kepegawaiannya. Menyongsong masa pensiun sekaligus menghindari kondisi shock, AC-01 telah merencanakan untuk tetap mengajar, meskipun harus dengan tanpa imbalan. Segala kemungkinan telah dipersiapkan, termasuk gaji yang akan berkurang, usia yang semakin menua, fisik yang semakin rapuh, hingga kematian yang akan menjemputnya kelak. Semua berjalan alamiah dan pasti akan terjadi, sehingga tidak ada sesuatupun yang harus ditakutkan.

Simpulan dan Saran

Menurut Glock dan Stark dimensi religiusitas, yaitu ada lima : Religious

Practice ( the Ritualistic Dimension), tingkatan sejauh mana seseorang

mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya, seperti shalat, zakat, puasa dan sebagainya. Religious Belief (the Ideological Dimension), sejauh mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, Malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, neraka dan yang lain-lain yang bersifat dogmatik. Religious Knowledge (the Intellectual Dimension), seberapa jauh seseorang mengetahuai tentang ajaran agamanya. Hal ini berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran dalam agamanya. Religious Feeling (the Experiental Dimension), dimensi yang terdiri dari perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya. Religious Effect (the Consequential Dimension), Dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya. Misalnya ikut dalam kegiatan konversasi lingkungan, ikut melestarikan lingkungan alam dan lain-lain.

(23)

pendapat dan sikap orang-orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi yang kita terima dari masa lampau. (b) Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan, terutama pengalaman-pengalaman mengenai: Keindahan, keselarasan, dan kebaikan di dunia lain (faktor alami). Konflik moral (faktor moral), pada pengalaman ini seseorang akan cenderung mengembangkan perasaan bersalahnya ketika dia berperilaku yang dianggap salah oleh pendidikan sosial yang diterimanya, misalnya ketika seseorang telah mencuri dia akan terus menyalahkan dirinya atas perbuatan mencurinya tersebut karena jelas bahwa mencuri adalah perbuatan yang dilarang.

Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif), dalam hal ini misalnya ditunjukkan dengan mendengarkan khutbah di masjid pada hari jum’at, mendengarkan pengajian dan ceramah-ceramah agama. (c) Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan-kebutuhan terhadap: 1) keamanan, 2) cinta kasih, 3) harga diri, dan 4) ancaman kematian. Pada faktor ini, untuk mendukung ke empat kebutuhan yang tidak terpenuhi yang telah disebutkan, maka seseorang akan menggunakan kekuatan spiritual untuk mendukung. Misal dalam ajaran agama Islam dengan berdo’a meminta keselamatan dari Allah SWT. (d) Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual).

(24)

pribadi (bakat, kemampuan, keterampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Para pegawai yang memasuki masa menjelang pensiun mampu mempersiapkan diri secara maksimal agar tetap memiliki kebermaknaan hidup ketika menjalani masa pension, serta pentingnya aspek religiusitas sebagai bagian terpenting dalam menjalani kehidupan. Penelitian ini membutuhkan pengembangan-pengembangan kajian agar dinamikanya semakin komprehenship. Oleh karena itu, peneliti lanjut perlu mengkaji lebih mendalam lagi pada hal-hal tertentu misalnya, bagaimana peran lingkungan keluarga, dukungan rekan seprofesi/sekantor, dan lainsebagainya.

Daftar Pustaka

Adisubroto, D., 1987., Orientasi Nilai Orang Jawa Serta Ciri-Ciri Kepribadiannya. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM

Ancok, D dan Suroso, F. N. 2001. Psikologi Islami,. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar

Bagus, Takwin, 2007., Psikologi Naratif: membaca Manusia Sebagai Kisah, Yogyakarta : Jalasutra,

Bastaman, H.D. 2007., Logoterapi Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Kehidupan Bermakna. Jakarta: Rajawali Press.

Bastaman, H.D. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Bastaman, H.D. 1996. Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: Paramadina

Banister, Peter, dkk., 1994., Qualitative Methods in Psychology; a Research Guide. Buckingham : Open University Press.

Bungin Burhan. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif; Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial lainnya.Jakarta: Gramedia Pustaka

Daradjat, Z. 1989 Psikologi agamaTarate bandung.

Djamaludin, Ancok,. 2006., Logoterapi: Terapi psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi, Yogyakarta :Kreasi Wacana.

(25)

Delener. Nejdet. 1994. “Religious Contrasts in Consumer Decision Behaviour Patterns: Their Dimensions and Marketing Implications”. Journal of Marketing, Vol. 28, PP. 36-53.

Driyarkara, N., 1987., Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan.

Darwati, T.E., 2003, Hubungan Antara Kemasakan Sosial Dengan Kompetensi Interpersonal Pada Remaja, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.

Dister, N.S. 1988. Psikologi Agama. Yogyakarta : Kanisius

Echols, J.M, and Shadily, H. 1983. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta :Penerbit P.T. Gramedia.

Frankl, V. E.. 2003. Logoterapi: Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi.Terjemahan M. Murtadlo. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana

Frankl, Viktor E, 2008., Optimisme di Tengah Tragedi analisis logoterapi, Bandung : Nuansa,

George Ritzer, 1985.,Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: CV Rajawali.

Glock dan Stark dalam Poloutzian, F.R., Psychology of religion.(Needham Heigthts,Massachusetts: A Simon & Schuster Comp, 1996)

Glock, C & R, Stark., 1965., Religion And Society In Social Tension. USA: Rand McNally and Company

Hamim Rosyidi,2002,(Tesis) Religiusitas dan Self Confiden Sebagai Predictor Prokrastinasi Akademik di Lingkungan IAIN Sunan ampel Surabaya,

Hamim Rosyidi, (jurnal) Kepribadian dalam perspektif Al Furqan, Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam volume 02, No.01, Juni 2012.

Hurlock, Elizabeth. B., 2000.,Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan (edisi kelima) Jakarta: Erlangga

Koeswara, Logoterapi: Psikoterapi Viktor Frankl, ( Yogyakarta : Kanisius, 1992) Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1992.Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber

Tentang MetodeMetode Baru. UI Press. Jakarta.

Madjid, R. 1997. Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan. Bandung : Mizan Pustaka

(26)

Poerwandari, K., 2001. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga

Robert Henry Thouless, 1971., An introduction to the psychology of religion (London, CambridgeUniversity Press

Singh, J. Jatingder. 2005. “Religiosity and Consumer Ethics”. Journal of Business Ethic, Vol. 57 PP. 175-181.

Thouless, H. Robert. 2000. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan

Untuk meningkatkan penjualan produk sebuah perusahaan diperlukan strategi dan pendekatan yang sesuai dengan kebutuan perusahaan dan dapat menembus tujuan

lingkungan masyarakatnya, atau dengan kata lain guru menjadi bintang yang memiliki sinar kecemerlangan, berjanji untuk memberikan kemanfaatan bagi orang lain, dan pada

Capsula articularis terletak pada permukaan posterior dari tendon m. quadriceps femoris dan didepan menutupi patella menuju permukan anterior dari femur diatas tubrositas

Hal ini didukung oleh pendapat Hart (1990) yang menyatakan bahwa eugenol merupakan senyawa fenol yang memiliki gugus alkohol sehingga dapat melemahkan dan

Variasi rasio glukosa:xilosa pada media fermentasi bertujuan untuk mengetahui pengaruh glukosa terhadap produksi xiJitol dan menentukan konsentrasi glukosa optimum

Laporan Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mecapai gelar Ahli Madya Diploma III Teknik Informatika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Adapun Objek Daya Tarik Wisata yang termasuk dalam kriteria wisata alam di Satuan Kawasan Talaga Kabupaten Majalengka yang memiliki berbagai jenis obyek wisata alam,