• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islamisasi ilmu dengan model Integralisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Islamisasi ilmu dengan model Integralisa"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAMISASI ILMU DENGAN MODEL INTEGRALISASI

A. PENDAHULUAN

Salah satu istilah yang paling populer dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata “islamisasi”. Menurut Echols dan Hasan sadily, kata islamisasi berasal dari bahasa inggris islamization yang berarti pengislaman. Dalam kamus Webster, islamisasi bermakna to bring within islam. Makna yang lebih luas adalah menunjukkan pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.

Dalam konteks islamisasi ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmu (thalib al-ilmi) nya, bukan ilmu itu sendiri. Begitu pula yang harus mengakui bahwa manusia berada dalam suasana dominasi ketentuan Tuhan secara metafisik dan aksiologis adalah manusia selaku pencari ilmu.

Dalam pembahasan ini akan membahas islamisasi pengetahuan yang dikenalkan oleh Ismail Raji Al-faruqi

B. PEMBAHASAN Islamisasi Ilmu

Berbicara tentang islamisasi ilmu, tentunya tidak lepas daripada adanya pandangan bahwa perkembangan “ilmu” telah melebihi kadar peranan akal dalam pembentukan suatu “ilmu” sehingga berspekulasi terlalu jauh. Sehingga timbul upaya untuk menarik kembali ilmu sendiri, sehingga harus berlandaskan Islam.

(2)

berpikir dan bertindak (epistemologis dan aksiologis) masyarakat Barat dengan Islam.1

Sejalan dengan itu, Hanna Djumhana Bastaman seorang pakar psikologi dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa islamisasi ilmu adalah upaya menghubungkan kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti menghubungkan kembali sunnatullah (hukum alam) dengan al-Quran, yang keduanya sama-sama ayat Tuhan.

Sementara itu, menurut Naquib al-Attas, islamisasi ilmu adalah upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi dan prinsip-prinsip sekuler, sehingga terbentuk pengetahuan baru yang sesuai fitrah Islam. Dalam pandangan Naquib, berbeda dengan Nasr, islamisasi ilmu berkenaan dengan perubahan ontologis dan epistemologis, terkait dengan perubahan cara pandang dunia yang merupakan dasar lahirnya ilmu dan metodologi yang digunakan, agar sesuai dengan konsep Islam.2

Dengan pemaknaan Islamisasi ilmu sebagaimana diungkapkan para ahli di atas, artinya Islam hanya digunakan sebagai upaya alat sterilisasi terhadap perkembangan ilmu modern. Dengan kata lain, defenisi tersebut belum mencapai substansi Islam sesungguhnya. Hal inilah menimbulkan anggapan bahwa Islam hanya lebih memilih bersikap defense (bertahan) terhadap perkembangan ilmu modern, sehingga memunculkan pula istilah “labelisasi Islam”. Kondisi inilah yang tidak disutujui oleh Kuntowijoyo dalam ungkapan awalnya dalam buku

Islam sebagai Ilmu dengan mengatakan bahwa :

”...Saya tidak lagi memakai ‘Islamisasi pengetahuan’, dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti ‘Islamisasi pengetahuan’ menjadi ‘pengilmuan islam’. Dari reaktif menjadi proaktif....’Pengilmuan Islam’ adalah proses, ‘Paradigma Islam’ adalah hasil, sedangkan ‘Islam sebagai ilmu’ adalah proses dan hasil sekaligus...”

Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan pada hakikatnya muncul sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam. Kemajuan yang dicapai sains

(3)

modern telah membawa pengaruh yang menakjubkan, namun di sisi lain juga membawa dampak yang negatif, karena sains modern (Barat) kering nilai atau terpisah dari nilai agama. Di samping itu islamisasi Ilmu Pengetahuan juga merupakan reaksi atas krisis sistem pendidikan yang dihadapi umat Islam, yakni adanya dualisme sistem pendidikan Islam dan pendidikan modern (sekuler) yang membingungkan umat Islam.3

Gagasan awal islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat konferensi dunia pertama tentang pendidikan muslim di Makkah, pada tahun1977 yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University. Ide islamisasi ilmu pengetahuan dilontarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam makalahnya “Islamisizing social science” dan syekh Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya “Preliminary Thoughts on the Nature of knowledge and the Aims of Education”. Menurut al-Attas bahwa tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam adalah tantangan pengetahuan, bukan bentuk kebodohan, pengetahuan yang disebarkan ke seluruh dunia Islam oleh peradaban Barat. Menurut al-Faruqi bahwa sistem pendidikan Islam telah dicetak dalam sebuah Karikatur Barat, sehingga dipandang sebagai inti dari malaise atau penderitaan yang dialami umat. Ia mengkritik sains Barat telah terlepas dari nilai dan harkat manusia dan nilai spiritual dan harkat dengan Tuhan.4

Bagi al-Faruqi, pendekatan yang dipakai adalah dengan jalan menuang kembali seluruh khazanah sains Barat dalam kerangka Islam yang prakteknya tidak lebih dari usaha penulisan kembali buku-buku teks dan berbagai disiplin ilmu dengan wawasan ajaran Islam. Sedang menurut al-Attas adalah dengan jalan pertama-tama sains Barat harus dibersihkan dulu unsur-unsur Islam yang esensial dan konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan komposisi yang merangkum pengetahuan inti. Bahkan dewasa ini muncul pendekatan baru yaitu merumuskan landasan filsafat ilmu yang islami sebelum melakukan islamisasi pengetahuan. Sejalan dengan kedua tokoh di atas, Sayyid Husein Nasr mengkritik sains Barat, karena menyebabkan kehancuran manusia dan alam. Oleh karena itu, Nasr

3 Nata, Abuddin, dkk. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 150.

(4)

menganjurkan agar semua aktivitas keilmuan harus tunduk kepada norma agama dan hukum-hukum suci Islam. Sayangnya, Nasr tidak merinci langkah selanjutnya islamisasi sains. Ia cenderung menggambarkan prinsip umum dari bangunan sains agar tidak terpisah dari muatan nilai agama.5

Untuk merealisasikan gagasannya tentang islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi meletakkan fondasi epistemologinya pada prinsip tauhid. Al-al-Faruqi menegaskan bahwa prinsip tauhid harus menjadi landasan atau fondasi utama dalam upaya pengembangan ilmu dalam Islam. Sehingga perkembangan ilmu itu sesuai dengan maslahat umat. Fondasi ini tentunya tidak akan ditemukan dalam pengembangan ilmu Barat. Tanpa fondasi tersebut, ilmu yang ditawarkan Barat di satu sisi memberi manfaat, namun di sisi lain memberi dampak buruk bagi manusia itu sendiri.

Sebagai penggagas utama ide islamisasi ilmu pengetahuan, Al-Faruqi memberikan gambaran tentang bagaimana islamisasi itu dilakukan. Al-Faruqi menetapkan lima program sasaran dari rencana kerja islamisasi ilmu, yaitu:

1. Penguasaan disiplin ilmu modern. 2. Penguasaan khazanah Islam.

3. Menentukan relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu.

4. Mencari cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu-ilmu modern.

5. Mengarahkan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rancana Allah swt.6

Lima sasaran rencana kerja islamisasi di atas, menunjukkan bahwa islamisasi ilmu menghendaki umat Islam untuk senantiasa memiliki kemauan untuk mengembangkan, berinovasi, sehingga perkembangan ilmu tetap berlandaskan Islam. Tentunya, ketika ilmu berlandaskan Islam, maka ilmu tersebut mustahil memberikan efek negatif terhadap manusia itu sendiri.

5 Nata, Abuddin, dkk. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 152

(5)

Terpenting sebenarnya adalah bagaimana umat Islam terus melakukan tunggal ilmu pengetahuan. ilmu pengetahuan yang diberikan pada manusia hanya merupakan bagian terkecil dari ilmu-Nya, namun manusia diberi kebebasan untuk meraih ilmu sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu sangatlah tidak pantas jika ada manusia yang bersikap sombong dalam masalah ilmu. Keyakinan ini pada akhirnya melahirkan perdebatan dikotomi ilmu dalam pemikiran Islam, dengan istilah kelompok ilmu “antroposentris” dihadapkan dengan kelompok ilmu “teosentris”.

Berdasarkan argumen epistemologi, ilmu pengetahuan antroposentris dinyatakan bersumber dari manusia dengan ciri khas akal (rasio) sedangkan ilmu pengetahuan teosentris dinyatakan bersumber dari Tuhan dengan ciri khas “kewahyuan”. Maka terbentuklah pertentangan antara wahyu dan akal.7

Salah satu metode dalam proses pengilmuan Islam yaitu integralisasi. Integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Al-Quran beserta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi). Ilmu integralistik adalah ilmu yang menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu-ilmu integralistik tidak akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme). Diharapkan bahwa integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.8

Terdapat konsep dalam struktur integrasi ilmu pengetahuan dalam Islam. Adanya kategorisasi alam semesta dalam Islam yang terbagi menjadi tiga

7 Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.. hlm. 204.

(6)

kategori; 1. Alam nyata, 2. Alam gaib idhafi (nisbi) dan 3. Alam gaib hakiki (mutlak). Alam gaib idhafi dan alam nyata adalah lapangan ilmu dan kebudayaan, sedangkan alam gaib hakiki merupakan lapangan agama. Sedangkan semua masalah yang berada dalam medan empirik (wilayah pengalaman) manusia, tetapi belum diteliti, masuk ke dalam gaib idhafi.9 Secara struktural, objek alam nyata sepenuhnya dapat diterima indra jasmaniah manusia. Objek alam gaib idhafi

secara langsung tidak bisa ditangkap oleh indra jasmaniah biasa, tetapi dengan indra khusus jasmaniah manusia yang disebut dengan naluri, perasaan, imajinasi, dan pikiran. Sementara alam gaib hakiki lebih pada sumber indra terdalam dan tersembunyi yang dimiliki makhluk manusia, yaitu fitrah hati nurani.

Menurut penulis, untuk menyatukan ilmu pengetahuan ketiga aspek di atas sangat berhubungan. Objek alam nyata dan alam gaib itulah yang disebut dengan realita dan iman. dalam memandang ilmu pengetahuan kita tak hanya melihat realita yang nampak di permukaan tetapi wahyu Tuhan juga sangat mempengaruhi hal tersebut.

C. PENUTUP

Sementara integralisme memandang bahwa integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Al-Quran beserta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi). Ilmu integralistik adalah ilmu yang menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu-ilmu integralistik tidak akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme). Diharapkan bahwa integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.

Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam. Kemajuan yang dicapai sains modern telah membawa pengaruh yang menakjubkan, namun di sisi lain juga membawa dampak yang negatif, karena sains modern (Barat) kering nilai terpisah dari nilai

(7)

agama. Di samping itu islamisasi Ilmu Pengetahuan juga merupakan reaksi atas krisis sistem pendidikan yang dihadapi umat Islam, yakni adanya dualisme sistem pendidikan Islam dan pendidikan modern (sekuler) yang membingungkan umat Islam.

Upaya mengintegrasikan ilmu merupakan hal yang sangat mendesak untuk dilakukan oleh umat Islam saat ini, dan memberikan rumusan-rumusan terhadap bagaimana konsep ilmu pengetahuan dalam Islam yang integratif. Islam pada hakikatnya tidak pernah mengenal adanya usaha untuk meminggirkan salah satu di antara berbagai sumber ilmu, yaitu indera, akal, dan agama (wahyu). Bahkan jika diamati lebih jauh sebenarnya ketiga-tiganya memiliki keterkaitan atau keterhubungan yang tidah bisa dipisahkan satu sama lain. Pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal upaya memunculkan ide integrasi ilmu.

(8)

Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Muliawan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nata, Abuddin dkk. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Referensi

Dokumen terkait

Adapun alasan penulis memilih media gambar berseri karena media ini sangat menarik bagi anak dan menambah semangat anak dalam membaca permulaan untuk untuk meningkatkan

Terlihat nilai mean perbedaan antara tekanan darah sebelum dan sesudah mengkonsumsi obat amlodipine 5mg dan pisang cavendish (sunfresh) adalah 16,67/10,00 mmHg

Industri Peralatan (Pressure Vessel, Heat Exchanger, Boiler, Air Cooler dan Pipe

Hasil : Dari 19 penjamah makanan sebagian besar berjenis kelamin perempuan (52.6%), tingkat pendidikan sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan setara SMA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh frekuensi pencucian terhadap kualitas bakso ikan Gabus serta menentukan frekuensi pencucian yang tepat dan

Dengan melihat latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah dalam penulisan karya ilmiah ini, yaitu: Sejauh mana penggunaan smartphone dapat memberikan

Az átmeneti gazdaságok vállalatai túllendülhetnek a múlt örökségén, és ké- pesek lehetnek modern szervezeti környezet kialakí- tására (Themistocleous et al.,

Kekurangan dari zat pewarna sintetik adalah tidak menghasilkan aroma, ada pewarna yang tidak cocok untuk makanan dan beresiko menimbulkan penyakit.b. Pewarna sintetik