• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membongkar Mitos Efek Jera Hukuman Mati (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Membongkar Mitos Efek Jera Hukuman Mati (1)"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Membongkar Mitos Efek Jera Hukuman Mati

1

Rusman Nurjaman2

Perdebatan mengenai kontradiksi penerapan hukuman mati di negeri ini terus bergulir. Terlebih karena dalam satu-dua tahun terakhir ini pemerintah kembali menerapkan praktik hukuman mati secara eksesif. Tahun 2013, berdasarkan data dari Kejaksaan Agung, tercatat ada 5 terpidana yang telah dieksekusi. Dan di awal tahun ini 6 orang terpidana mati telah dieksekusi.

Kejaksaan Agung menerangkan bahwa eksekusi mati tanggal 18 Januari kemarin merupakan gelombang pertama. Artinya, masih bakal ada eksekusi mati gelombang selanjutnya di tahun ini. Ironisnya, kecenderungan penerapan meningkatnya eksekusi mati tersebut justru terjadi setelah sebelumnya Indonesia sempat memasuki masa jeda tentunya memupus harapan bagi terbukanya pembaharuan hukum pidana yang cukup peka terhadap perspektif hak asasi manusia seiring adanya suksesi rezim pemerintahan.

Hukuman mati vis a vis Hak untuk hidup

Indonesia memang masih mempertahankan penerapan hukuman mati (retentionist). Dari segi aturan hukum perundang-undangan, hal ini merujuk pada adanya 13 perundang-undangan mencantumkan pasal yang memberi ancaman pidana mati di luar KUHP. Para pendukungnya umumnya mempercayai anggapan bahwa efek hukuman mati bakal efektif sebagai sarana penggentar (deterrence) bagi kemungkinan dilakukannya kejahatan sejenis. Dengan begitu, hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan.

Padahal, dari segi konstitusi, praktik hukuman mati sesungguhnya tak relevan karena bertentangan dengan hak untuk hidup (rights to life). Jaminan mengenai perlindungan hak hidup ini termaktub dalam konstitusi (Pasal 28 huruf A dan huruf I UUD 1945). Hak untuk hidup juga diatur dalam instrumen hukum HAM internasional Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 6, yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005. Bahkan, kedua instrumen hukum tersebut menyatakan bahwa hak hidup merupakan hak yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights).

ICCPR sendiri dirumuskan berdasarkan semangat untuk menghapus hukuman mati. Oleh karena itu, setiap negara yang mengikatkan diri dalam perjanjian internasional tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan segala upaya dalam penghapusan hukuman mati. Lebih lanjut, ICCPR menyatakan bahwa setiap umat manusia memiliki

1

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tribun Manado, 24 Januari 2015. 2

(2)

hak inheren untuk hidup dan hak tersebut harus dilindungi oleh hukum. Pasal 6 ICCPR menjelaskan hak hidup tersebut secara spesifik.

Pasal 6 ICCPR juga menoleransi bagi negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan mati hanya boleh dijatuhkan terhadap pelaku bentuk kejahatan yang paling serius (more serious crime) dan dilakukan untuk situasi yang sangat khusus dan tidak bertentangan dengan Kovenan. Ketentuan lebih lanjut soal ini dijelaskan dalam Komentar Umum Pasal 6 Paragraf 7.

Namun, pemerintah sepertinya gagal dalam menjabarkan apa yang dimaksud dengan kejahatan yang paling serius tersebut. Dalam praktiknya, penerapan jaminan perlindungan hak hidup, sebagaimana diatur dalam konstitusi, masih jauh panggang dari api.

Menuju Dunia tanpa Hukuman Mati

Situasi praktik hukum pidana di negeri ini tampak kontras sekali dengan tren global yang kini tengah bergerak menuju penghapusan pidana mati. Amnesty Internasional mencatat, hingga tahun 2014 terdapat 140 negara telah menghapus hukuman mati baik dalam aturan hukum maupun dalam praktik (abolitionist in law or practice). Di antara mereka, terdapat 98 negara di dunia yang menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan (abolitionist for all crimes).

Dalam satu dekade terakhir (2004-2013), terdapat 13 negara yang menghapus hukuman mati. Tentunya tren global yang terus meningkat ini tak lepas dari seruan PBB. PBB menyerukan agar setiap negara yang masih memberlakukan hukuman mati untuk melakukan moratorium hukuman mati. Selain itu, PBB menyerukan semua negara agar meratifikasi Protokol Opsional Kedua ICCPR untuk penghapusan hukuman mati (Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty) yang dirumuskan melalui Resolusi Majelis Umum PBB pada Desember 1989.

Sebagai negara yang masih mempertahankan hukuman mati (retentionist), Indonesia berada di luar hiruk-pikuk dunia internasional tersebut. Tahun 2010, menanggapi Resolusi Majelis Umum PBB tahun 2010, Indonesia tetap menolak untuk menghapus hukuman mati. Terakhir, Indonesia juga belum menanggapi rekomendasi Komite ICCPR mengenai langkah moratorium hukuman mati yang harus dijawab pemerintah tahun 2014 silam.

Mitos Efek Jera

Selain persoalan konseptual dan kecenderungan global di atas, penerapan hukuman mati di Indonesia juga terbentur persoalan praktis. Hal ini dikarenakan situasi hukum kita diwarnai oleh sistem hukum yang korup. Selain karena proses peradilan yang tidak transparan, juga banyak berkeliaran mafia hukum. Sehingga, orang yang tak bersalah bisa terjerat kasus hukum dan dikenai hukuman. Dalam situasi demikian, pemberlakuan hukuman mati pun akhirnya menjadi bermasalah karena orang yang lugu dalam sistem hukum yang buruk pasti akan kena. Studi Amnesty International (2013) berhasil mengungkap bahwa para terpidana mati sebagian besar justru adalah korban praktik

(3)

Contoh seperti ini pernah terjadi pada kasus vonis mati Ruben Pata Somba dan anaknya, Markus Pata Somba oleh Pengadilan Negeri Makale, Tana Toraja. Mereka menjadi terpidana pelaku pembunuhan berencana terhadap satu keluarga Andrias Pandin di Tana Toraja, Sulawesi Selatan menjelang Natal tahun 2005 silam. Vonis mati pengadilan terhadap Ruben dan anaknya tersebut menjadi persoalan karena pelaku pembunuhan yang sebenarnya ternyata sudah berhasil ditangkap dan membuat pengakuan pada 2006 silam bahwa Ruben dan anaknya bukan pelaku pembunuhan.

Itulah mengapa gagasan penghapusan hukuman mati (abolisonist) bertumpu pada dua argumen berikut. Pertama, tidak dapat diperbaikinya lagi kemungkinan terjadinya kekeliruan (error judiciaire) karena yang bersangkutan telah meninggal. Kedua, penerapan hukuman mati tak pernah memicu turunnya angka kejahatan, karena statistik tidak menunjukkan demikian. Efek jera yang selama ini menjadi jantung argumen penerapan hukuman mati tak pernah terbukti, baik di Indonesia maupun di negara di belahan bumi yang lain. Riset yang dilakukan oleh PBB juga menunjukkan bahwa tak tak ada bukti ilmiah yang meyakinkan bahwa hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan. Pada titik ini, pemberlakuan hukuman mati jelas telah kehilangan landasan argumentatifnya. Sebab, efek jera yang dibayangkan ternyata hanya mitos belaka.

Ke depannya, dalam rangka menuju penghapusan hukuman mati secara bertahap, salah satu agenda mendesak yang harus ditempuh adalah mengganti KUHP warisan rezim kolonial dengan KUHP baru. Inilah yang menjadi PR bagi pemerintahan Jokowi-JK di ranah pembaharuan hukum pidana. Lantas persoalannya kemudian, bisakah kita berharap pada rezim baru ini untuk melahirkan RUU KUHP yang dilandasi oleh semangat untuk menghargai dan melindungi hak hidup warganya atau dengan kata lain tak lagi memasukkan pasal pemutus nyawa di dalamnya?

Proses pembaharuan hukum pidana di negeri ini tampak begitu alot. Proses perumusan RUU KUHP, misalnya, menyisakan persoalan substansial lantaran masih mencantumkan pasal pencabut nyawa. Padahal sejumlah ketentuan terkait dengan tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP tersebut sebetulnya dilandasi semangat penghormatan dan perlindungan HAM yang mengarah pada penghapusan hukuman mati seiring dengan kecenderungan yang terjadi di seluruh dunia saat ini.

Penghapusan hukuman mati di negeri ini tampak masih berupa jalan panjang nan berliku. Namun demikian, terdapat beberapa langkah jangka pendek yang dapat ditempuh pemerintah dalam rangkan penghapusan hukuman mati secara bertahap.

Pertama, melakukan moratorium hukuman mati sebagaimana yang disarankan oleh Komite ICCPR. Kedua, meminimalisir kasus kejahatan yang dikenakan hukuman mati.[]

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk dari sisi teknik mengunakan metode dimensioning LTE untuk menghitung jumlah site yang dibutuhkan dan untuk sisi

Secara umum proses yang terjadi yaitu partikel-partikel kecil zat penyerap (adsorben) ditempatkan di dalam suatu adsorber (kolom adsorpsi),kemudian fluida dialirkan melalui

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa trainer audio mixer beserta jobsheet berbasis animasi yang telah dikembangkan

Konsep ini muncul dalam berbagai bentuk pelaksanaan di dalam Masyarakat In- donesia, dimana dapat disimpulkan bahwa konsep pemaafan yang ada dalam masyarakat adat tidak serta

Sistem Informasi Manajemen Aset Teknologi Informasi dan Komunikasi yang akan dirancang adalah berbasis Web dengan menggunakan suatu media jaringan komputer

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan, disiplin kerja dan lingkungan kerja terhadap kinerja karyawan pada Rmah Sakit Umum Graha

Infesiensi juga terjadi pada total aset, yaitu meningkat yang tidak diimbangi dengan peningkatan nilai sales, sehingga mengakibatkan keadaan TATO yang

Elemen-elemen desain yang berperan penting dalam perancangan sebuah buku antara lain: (a) Grid , yaitu elemen tak kasat mata membentuk jaringan yang terdiri dari garis horizontal