• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Kebijakan Etika and Hukum TI. Ko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Kebijakan Etika and Hukum TI. Ko"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH KEBIJAKAN, ETIKA & HUKUM TI

Konstruksi Dasar Hukum

Cyber

(Studi Kasus : Kebijakan Hukum Mengenai

Regulasi Konten Digital di Indonesia)

Oleh :

Yunizar Fahmi [NIM. 17917131]

Program Studi Magister Teknik Informatika

Program Pascasarjana Fakultas Teknologi Industri

Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta

(2)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 2 KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

banyak sekali rahmat, petunjuk dan izinNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul “Konstruksi Dasar Hukum Cyber, Studi Kasus : Kebijakan Hukum Mengenai Regulasi Konten Digital di Indonesia”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad

SAW serta kepada para sahabatnya yang telah membawa kita dari alam kebodohan

menuju alam yang berilmu pengetahuan.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak

kekurangan mengingat terbatasnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh

sebab itu penulis sangat mengharapkan masukan berupa saran dan kritik yang

sifatnya melengkapi dan membangun sehingga kedepannya makalah ini akan

menjadi lebih baik. Penulis berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat

memberikan banyak manfaat serta kontribusi terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan.

Akhir kata, demikian yang dapat penulis sampaikan, mohon maaf jika

terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini.

Yogyakarta, November 2017

Penulis,

(3)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 3 DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... 1

KATA PENGANTAR ... 2

DAFTAR ISI ... 3

BAB I PENDAHULUAN ... 4

1.1 Latar Belakang ... 4

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penulisan ... 5

BAB II PEMBAHASAN ... 6

2.1 Definisi Hukum Cyber (Cyberlaw) ... 6

2.2 Pengertian Cybercrime ... 9

2.3 Implementasi Cyberlaw di Indonesia ... 11

2.4 Kebebasan di Cyberspace (Dunia Maya) ... 13

2.5 Definisi Konten Digital ... 13

2.6 Regulasi Konten Digital di Indonesia ... 16

2.5.1 Undang-Undang ITE ... 16

2.5.2 Regulasi Kemenkominfo ... 19

BAB III PENUTUP ... 24

3.1.Kesimpulan ... 24

3.2.Saran ... 24

(4)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 4 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pesatnya perkembangan teknologi informasi khususnya di dunia maya

(cyberspace) memberikan pengaruh yang signifikan dalam segala aspek kehidupan manusia modern. Pemanfaatan teknologi informasi juga tidak dapat dipungkiri

membawa dampak negatif yang tidak kalah banyak dengan manfaat positif yang

ada. Keberadaan teknologi informasi saat ini bagaikan “pedang bermata dua”,

karena selain memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan manusia,

tenyata dapat menjadi sarana untuk melakukan berbagai perbuatan melawan

hukum, termasuk tindak pidana (kejahatan). Berbagai bentuk kejahatan inilah yang

kemudian dikenal dengan istilah cybercrime.

Dengan adanya penyalahgunaan dan kendala hukum di bidang teknologi

informasi, saat ini telah lahir suatu sistem hukum baru yang dikenal dengan hukum

cyber. Istilah hukum cyber diartikan sebagai padanan kata Cyberlaw dalam Bahasa Inggris, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang

terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan

adalah hukum teknologi informasi (law of information technology) hukum dunia maya (virtual world law) dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual.

Sehubungan dengan pesatnya perkembangan cybercrime, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik atau yang disingkat UU ITE, yang kemudian direvisi menjadi

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 sebagai wujud dari cyberlaw di Indonesia. UU ITE merupakan payung hukum pertama yang mengatur khusus aktivitas dalam

dunia maya (cyberspace) di Indonesia. Materi yang diatur dalam UU ITE ialah menyangkut masalah yurisdiksi, perlindungan hak pribadi, azas perdagangan secara

e-commerce, azas persaingan usaha-usaha tidak sehat dan perlindungan konsumen, azas-azas hak atas kekayaan intelektual (HAKI), dan hukum Internasional serta

(5)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 5 Salah satu aspek yang diatur dalam hukum cyber yaitu pengaturan konten (content regulation), dalam hal ini konten digital (Sutiyoso, 2015). Konten digital adalah semua bentuk informasi digital yang terdiri dari tulisan, suara, gambar,

animasi, musik, video, film, permainan (game) atau kombinasi dari sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh (download) dengan memanfaatkan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet. Pelaksanaan Tata Kelola Internet

(internet governance) di Indonesia tidak hanya sekadar mencakup permasalahan teknologi, namun juga penataan konten yang ada di dunia maya (cyberspace) (Kemenkominfo, 2014).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka rumusan masalah

yang dibahas dalam penulisan makalah ini adalah “Bagaimana Mengetahui Kebijakan Hukum Mengenai Regulasi Konten Digital di Indonesia?”.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah menjelaskan konstruksi dasar

(6)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 6 BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hukum Cyber (Cyberlaw)

Cyberlaw adalah aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang

menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat

memulai online dan memasuki dunia maya (cyberspace). Cyber Law sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology) hukum dunia maya (virtual world law) dan hukum mayantara, istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi

berbasis virtual, dan berikut ini akan dijelaskan tentang beberapa aspek hukum

Cyberlaw yaitu: (Sutiyoso, 2014)

1. E-Commerce

2. Trademark/Domain

3. Privasi dan keamanan di internet (Privacy and Security on the internet) 4. Hak Cipta (Copyright)

5. Pencemaran nama baik (Defamation) 6. Pengaturan isi (Content Regulation)

7. Penyelesaian Perselisihan (Dispute Settlement)

Selain beberapa aspek, hukum cyber juga memiliki beberapa pro dan kontra dalam penerapan hukum cyber yaitu :

1. Munculnya kejahatan di internet pada awalnya terjadi pro dan kontra terhadap

penerapan hukum yang harus dilakukan.

2. Hal ini dikarenakan saat itu sangat sulit untuk menjerat secara hukum kepada

para pelakunya karena alasan yang menjadi kendala seperti berikut :

a) Sifat kejahatanya bersifat maya

b) Lintas Negara

(7)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 7 3. Munculnya pro dan kontra terhadap pertanyaan bisa atau tidaknya sistem hukum

tradisional mengatur aktivitas-aktivitas di internet, yang memiliki karakteristik

tersebut :

a) Karakteristik aktivitas di internet yang bersifat lintas batas, sehingga tidak

lagi tunduk pada batasan teritorial

b) Sistem hukum traditional (the existing law) yang justru bertumpu pada batasan-batasan terirorial dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab

persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di internet.

Berikut ini terdapat beberapa kelompok pendapat terkait dengan penerapan hukum

cyber:

1. Secara total menolak setiap usaha untuk membuat aturan hukum bagi

aktivitas-aktivitas di internet yang didasarkan atas sistem hukum yang konvensional

2. Penerapan sistem hukum konvensional untuk mengatur aktivitas-aktivitas di

internet sangat mendesak untuk dilakukan

3. Sintesis dari kedua kelompok diatas, yaitu bahwa aturan hukum yang akan

mengatur mengenai aktivitas di internet harus dibentuk secara evolutif dengan

cara menerapkan prinsip-prinsip common law secara hati hati dengan menitik beratkan kepada aspek tertentu dalam aktivitas cyberspace yang menyebabkan kekhasan dalam transaksi di internet.

Dalam penerapan hukum cyber, terdapat beberapa pendekatan alternatif yang dapat dilakukan, yaitu :

1. Dibuat suatu undang-undang khusus yang mengatur masalah tindak pidana di

bidang teknologi informasi

2. Memasukan materi kejahatan teknologi informasi kedalam amandemen KUHP

yang saat ini sedang di godok oleh tim department kehakiman dan HAM

3. Melakukan amandemen terhadap semua undang-undang yang diperkirakan akan

berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi

Alternatif yang digunakan dalam pembaharuan hukum pada bidang teknologi

informasi di Indonesia adalah dengan ditertibkannya Undang-Undang Nomor 11

tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang disingkat UU

(8)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 8 sebagai wujud dari cyberlaw di Indonesia. Adanya UU ITE, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dalam bidang teknologi informasi, terutama terkait

dengan aspek pidana dan keperdataanya.

Landasan fundamental di dalam aspek yuridis yang mengatur lalu lintas

internet sebagai hukum khusus, di mana terdapat komponen utama yang melingkupi

persoalan yang ada di dalam dunia maya (cyberspace) tersebut, yaitu:

1. Yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait. Komponen ini menganalisa dan

menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan diterapkan di dalam dunia

maya itu.

2. Landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan

berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab pihak yang

menyampaikan, aspek accountability, tangung jawab dalam memberikan jasa

online dan penyedia jasa internet (internet provider), serta tanggung jawab

hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet.

3. Aspek hak milik intelektual di mana ada aspek tentang patent, merek dagang

rahasia yang diterapkan, serta berlaku di dalam dunia cyber.

4. Aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di

masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang mempergunakan atau

memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari sistem atau mekanisme jasa yang

mereka lakukan.

5. Aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap pengguna dari internet.

6. Ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan didalam internet

sebagai bagian dari pada nilai investasi yang dapat dihitung sesuai dengan

prinsip-prinsip keuangan atau akuntansi.

7. Aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internet sebagai bagian dari

perdagangan atau bisnis usaha.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka kita akan dapat melakukan penilaian

untuk menjustifikasi sejauh mana perkembangan dari hukum yang mengatur sistem

dan mekanisme internet di Indonesia. Walaupun belum dapat dikatakan merata,

namun perkembangan internet di Indonesia mengalami percepatan yang sangat

(9)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 9 internet terus meningkat sejak paruh tahun 90-an. Salah satu indikator untuk

melihat bagaimana aplikasi hukum tentang internet diperlukan di Indonesia adalah

dengan banyak perusahaan yang menjadi provider untuk pengguna jasa internet di

Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang memberikan jasa provider di Indonesia

sadar atau tidak merupakan pihak yang berperan sangat penting dalam memajukan

perkembangan Cyber Law di Indonesia dimana fungsi-fungsi yang mereka lakukan

seperti :

1. Perjanjian aplikasi rekening pelanggan internet;

2. Perjanjian pembuatan desain home page komersial;

3. Perjanjian reseller penempatan data-data di internet server;

4. Penawaran-penawaran penjualan produk-produk komersial melalui internet;

5. Pemberian informasi yang di-update setiap hari oleh home page komersial;

6. Pemberian pendapat atau polling online melalui internet. Fungsi-fungsi di atas

merupakan faktor dan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang

berhubungan dengan aplikasi hukum tentang cyber di Indonesia. Oleh sebab itu

ada baiknya di dalam perkembangan selanjutnya, setiap pemberi jasa atau

pengguna internet dapat terjamin. Maka hukum tentang internet perlu

dikembangkan serta dikaji sebagai sebuah hukum yang memiliki displin

tersendiri di Indonesia.

2.2 Pengertian Cybercrime

Pemanfaatan teknologi internet juga tidak dapat dipungkiri membawa

dampak negatif yang tidak kalah banyak dengan manfaat positif yang ada.

Keberadaan internet saat ini bagaikan “pedang bermata dua”, karena selain

memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan manusia, tenyata dapat

menjadi sarana untuk melakukan berbagai perbuatan melawan hukum, termasuk

tindak pidana (kejahatan). Berbagai bentuk kejahatan inilah yang kemudian dikenal

dengan istilah ”cybercrime”.

Di Indonesia kasus Cyber Crime, kini menjadi perbincangan yang semakin

menarik. Semakin banyak kasus cyber crime menuntut semakin kuatnya kemanan

(10)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 10 milik pemerintah berhasil dirusak oleh hacker atau kasus pembobolan ATM

beberapa waktu yang lalu menjadi salah satu kasus cyber crime. Dalam beberapa

literatur, cyber crime sering diidentikkan sebagai computer crime. JAKARTA,

KOMPAS.com mengatakan bahwa, jumlah kasus cyber crime atau kejahatan di

dunia maya yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

(Kompas.com, 2015).

Hal tersebut melatarbelakangi berdirinya sebuah badan yang menangani

urusan cyber di Indonesia bernama Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) pada tahun 2017. Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) resmi dibentuk sejak

ditetapkannya Perpres No. 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber Sandi Nasional,

pada tanggal 19 Mei 2017. Pada peraturan tersebut, BSSN dibentuk dengan

mempertimbangkan bidang keamanan siber merupakan salah satu bidang

pemerintahan yang perlu didorong dan diperkuat sebagai upaya meningkatkan

pertumbuhan ekonomi nasional dan mewujudkan keamanan nasional.

Pembentukan BSSN merupakan upaya untuk menata Lembaga Sandi Negara

menjadi Badan Siber dan Sandi Negara guna menjamin terselenggaranya kebijakan

dan program pemerintah di bidang keamanan siber. (Ahmad, 2017).

Menurut Agus Raharjo bahwa teknologi informasi mendorong pemrintah atas

produk-peroduk teknologi informasi itu sendiri, seperti komputer, modem, sarana

untuk membangun jaringan internet dan sebagainya. Kedua, adalah memudahkan

transaksi bisnis terutama bisnis keuangan di samping bisnis-bisnis umum lainya”. (Raharjo, 200).

Meskipun belum ada kesepahaman mengenai definisi kejahatan teknologi

informasi, namun ada kesamaan pengertian universal mengenai kejahatan

komputer. Hal ini dapat dimengerti karena kehadiran komputer yang sudah

mengglobal mendorong terjadinya universalisasi aksi dan akibat yang dirasakan

dari kejahatan komputer tersebut. (Nitibaskara, 2001).

Memudahkan dalam penyebutan serta memelihara konsistensi dalam

pemakaian istilah, maka dalam tulisan akan mempergunakan istilah kejahatan

(11)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 11 Kejahatan dalam dunia maya (cybercrime) secara sederhana dapat diartikan sebagai jenis kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan media internet

sebagai alat bantu. Memang definisi ini relatif sederhana dan belum mencakup

semua aspek yang terkadang dalam kejahatan ini, tetapi pengertian ini kiranya dapat

dipakai sebagai pedoman dalam memahami jenis kejahatan ini.

Tindakan cybercrime dalam dunia maya mau tidak mau juga menuntut terbentuknya aturan hukum bagi kegiatan-kegiatan yang kita lakukan dalam dunia

maya. Meski tidak ada aturan khusus tentang cybercrime, namun Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronika juga turut memberi batasan dan tindakan hukum

bagi pelaku tindak kriminal yang merugikan di dunia maya.

Pembentukan peraturan perundang-undangan di dunia cyber berpangkal pada keinginan masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan, keadilan dan

kepastian hukum. Sebagai norma hukum cyber atau cyberlaw akan menjadi langkah general preventif atau prevensi umum untuk membuat jera para calon- calon

penjahat yang berniat merusak citra teknologi informasi Indonesia dimana dunia

bisnis indonesia dan pergaulan bisnis internasional. (Kurbalija, 2014)

Penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan dalam menghadapi

merebaknya cybercrime khususnya kejahatan e-commerce. Banyak faktor yang menjadi kendala, oleh karena itu, dalam membrantas kejahatan dalam dunia maya

ini (cybercrime) diperlukan penanganan yang serius serta melibatkan kerjasama internasional baik yang sifatnya regional maupun multilateral dan aparatur penegak

hukum harus benar-benar menggali, menginterpretasi hukum-hukum positif yang

ada sekarang ini yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan e-commerce.

2.3 Implementasi Cyberlaw di Indonesia

Meski Indonesia memiliki kebijakan teknologi informasi dan komunikasi

(TIK) yang cukup lengkap, realisasi dalam pembangunan infrastruktur TIK juga

harus diimbangi. Tanpa adanya realisasi yang mumpuni, kebijakan yang sudah

direncanakan hanya menjadi goresan tinta di atas kertas yang alpa untuk

(12)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 12 menjadi penting, karena hal ini dapat menjadi salah satu faktor pendukung

perkembangan ekonomi. Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan TIK adalah salah

satu kekuatan pendorong globalisasi dan pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia.

Perkembangan satelit, serat optik, teknologi mobile dan internet telah sangat

meningkatkan komunikasi global dan memfasilitasi pertukaran informasi antara

individu di dunia. Inovasi teknologi di bidang TIK telah mengurangi biaya

komunikasi dan memfasilitasi globalisasi pasar. (Nababan, 2015).

Berikut ini beberapa Undang-Undang Berkaitan Cyberlaw di Indonesia : 1. UU No. 8 tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan

2. UU No. 30 Tahun 200 Tentang Rahasia Dagang

3. UU No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri

4. UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten

5. UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek

6. UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

7. UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

8. UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Hukum cyber dibuat dengan tujuan untuk mendukung ketertiban

pemanfaatan teknologi informasi yang di gunakan oleh orang berkewarganegaraan

Indonesia, dan/atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia, orang asing,

atau badan hukum asing yang melakukan kegiatan atau transaksi dengan orang, atau

badan hukum yang lahir dan berkedudukan di Indonesia dan hak asasi manusia

(HAM).

Aspek penting dalam UU ITE :

1. Aspek Yuridiksi

2. Aspek Pembuktian Elektronik

3. Aspek Informasi dan perlindungan konsumen

4. Aspek tanda tangan elektronik dan pengamanannya

5. Aspek penyelenggaraan Sertifikasi elektronik

6. Aspek Transaksi Elektronik

7. Aspek nama domain

(13)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 13 9. Aspek peran pemerintah dan masyarakat

10. Aspek Perlindungan kepentingan umum

11. Aspek Perbuatan yang dilarang

2.4 Kebebasan di Cyberspace (Dunia Maya)

Perkembangan teknologi dunia maya terus meningkat dalam beberapa tahun

terakhir. Ruang lingkupnya terus meluas dengan jumlah user yang bertambah

seiring mudah dan murahnya akses bisa didapatkan. Dua hal yang kemudian

menjadi pemicu memasyarakatnya dunia maya adalah situs-situs jejaring sosial dan

kemunculan blog sebagai sebuah ranah pribadi berlaku sebagai identitas baru dalam

dunia maya.

Vitalnya keberadaan ranah dunia maya pada masa kini memberikan dorongan

tersendiri bagi negara untuk melakukan langkah khusus. Namun,

langkah-langkah tersebut tidak bisa disamaratakan untuk menangani semua kondisi yang

berkenaan dengan dunia maya. Karena seperti yang sudah dibahas terdapat

beberapa aspek kebebasan dalam dunia maya yang tidak sepenuhnya berbahaya

bagi keberlangsungan negara.

Untuk permasalahan cyber crime dan cyber warfare tentunya penanganan lebih khusus dan berbadan hukum lebih diperlukan. Pasalnya, kedua aksi itu

memberikan kerugian langsung kepada korban dan bahkan skala kerusakan yang

terjadi akibat cyber war bisa mencapai gangguan level setingkat negara mengingat

banyaknya digitalisasi di ranah bisnis maupun birokrasi maka serangan pada dunia

maya tersebut akan sangat merugikan dan berdampak masif.

Jadi dalam ranah dunia maya, negara pun tidak lepas menjadi pengguna

sekaligus pemegang kekuasaan yang mencoba mengendalikan ataupun menjaga

kekuasaannya di dunia nyata. Sikap di dunia maya biasanya ditentukan oleh

kebijakannya di dunia nyata. (Khanisa, 2013).

2.5 Definisi Konten Digital

Di era globalisasi ini, informasi dapat kita peroleh secara cepat dan mudah.

(14)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 14 koran dan majalah atau media elektronik seperti televisi dan media sosial.

Teknologi saat ini juga telah berkemabang dengan pesat, perkembangan teknologi

diawali dari munculnya teknologi cetak (mekanik), teknologi audio, hingga

teknologi film yang merupakan gabungan dari mekanik dan elektronik. Dari

penjelasan di atas, telah kita ketahui apa saja contoh-contoh media cetak. Lalu apa

yang dimaksud dengan media elektronik dan media cetak itu sendiri, konten media

elektronik adalah media yang menggunakan elektronik atau energi elektromekanis

bagi pengguna akhir untuk mengakses kontennya. Istilah ini merupakan kontras

dari media statis (terutama media cetak), yang meskipun sering dihasilkan secara

elektronis tapi tidak membutuhkan elektronik untuk diakses oleh pengguna akhir.

Sumber media elektronik yang familier bagi pengguna umum antara lain adalah

rekaman video, rekaman audio, presentasi multimedia, dan konten daring. Media

elektronik dapat berbentuk analog maupun digital, walaupun media baru pada

umumnya berbetuk digital. (Amani, 2015)

Media Elektronik (Electronic Media) terdapat perbedaan pokok antara media elektronik dan media statis jika ditinjau dari sisi pengguna akhir (penonton).

Didalam media elektronik, penonton membutuhkan media yang mengakses konten

informasi yang dipancarkan melalui pemancar televisi penonton membutuhkan

pesawat penerima televisi. Sementara itu dalam media statis, boleh jadi konten

informasi dibentuk dengan memakai alat bantu berupa piranti-piranti yang bekerja

secara elektronik, namun untuk mengakses konten informasi penonton tidak

membutuhkan media elektronik, sebagai contoh koran menggunakan mesin cetak

yang bekerja secara elektronik, namun orang tidak membutuhkan perangkat

elektronik apapun untuk membaca konten informasi yang termuat didalam koran

itu. Sumber utama media elektronik adalah rekaman video, rekaman audio,

presentasi multimedia, presentasi slide, CD-ROM serta konten online. Umumnya

konten media elektronik berwujud digital, meskipun mungkin ada pula yang berupa

analog. Setiap peralatan yang digunkan dalam proses komunikasi elektronik

(misalnya televisi, radio, telepon, komputer desktop, konsol game perangakat

(15)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 15 Salah satu wujud media elektronik berupa media digital yang dijalankan

melalui internet / hypermedia. Media digital merupakan bentuk media elektronik yang menyimpan data dalam wujud digital, bukan analog. Pengertian dari media

digital dapat mengacu kepada aspek teknis (misalnya hardis sebagai media

penyimpan digital) dan aspek transmisi (misalnya jaringan komputer untuk

penyebaran informasi digital), namun dapat juga mengacu kepada produk akhirnya

seperti video digital, audio digital, tandatangan digital serta seni digital.

Hypermedia sebenarnya merupakan perpanjangan logis dari istilah “hypertext” itu

sendiri digunakan oleh Ted Nelson dalam sebuah artikelnya pada tahun 1965.

Didalam hypertext grafis, audio, video dan teks biasa saling menggikat antara satu

dengan lainya sehingga membentuk media informasi non- linier umum. Contoh

hypermedia adalah word wide web hasil karya dari Tim Berners Lee yang terkenal

itu. World wide web memungkinkan orang menyajikan halaman-halaman web yang

terkait satu sama lain, maupun yang berdiri-sendiri. (Rianto, 2016).

Berbeda dengan media elektronik yang memerlukan alat elektronik untuk

membukanya. Karena media cetak terdapat dalam bentuk printing, kelebihan dari

media cetak adalah kita dapat membaca kontennya dimana saja. Kalimat didalam

media cetak juga lebih formal dan terperinci dari pada media elektronik. Tapi

kekurangan dari media cetak adalah, media cetak tidak dapat menyajikan pendapat

narasumber secara langsung (audio). Biasanya media cetak terdapat dalam bentuk

koran atau majalah. Namun ada beberapa hal yang dapat membuat media cetak

tertinggal dari media elektronik. Karena masyarakat saat ini lebih suka mencari

informasi di media elektronik dan internet. Banyak faktor yang menyebabkan hal

ini terjadi, salah satunya karena media elektronik lebih praktis dan dapat lebih cepat

diakses. Walaupun begitu media elektronik dapat tetap populer sampai sekarang.

Pengusaha media cetak dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam

mengembangkan produknya. Salah satu caranya dengan memanfaatkan teknologi

(16)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 16 2.6 Regulasi Konten Digital di Indonesia

Terdapat beberapa regulasi yang diangkat dalam penulisan makalah ini, yaitu

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik Bab VII Perbuatan

yang Dilarang. (Republik Indonesia, 2016).

Serta Peraturan Menkominfo Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Pengananan

Situs Internet Bermuatan Negatif Bab III Situs Internet Bermuatan Negatif.

(Kemenkominfo, 2014).

2.6.1 Undang-Undang ITE

Bab VII

Perbuatan yang Dilarang

Pasal 27

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar

kesusilaan.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau

pengancaman.

(17)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 17 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan

menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi

Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang

ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu

dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan

antargolongan (SARA).

Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti

yang ditujukan secara pribadi.

Pasal 30

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses

Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses

Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan

untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses

Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar,

menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Pasal 31

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan

intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik

Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan

intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau

Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan

(18)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 18 penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang sedang ditransmisikan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku

terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan

hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang

kewenangannya ditetapkan berdasarkan undangundang

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara

apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,

menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara

apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.

(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan

terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang

bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang

tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 33

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan

tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau

mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Pasal 34

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor,

mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki :

a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara

khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana

(19)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 19 b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang

ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan

memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27sampai

dengan Pasal 33.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika

ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik,

untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan

hukum.

Pasal 35

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan

manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

Pasal 36

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang

mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.

Pasal 37

Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia

terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

2.6.2 Peraturan Menkominfo Tentang Muatan Situs Internet BAB III

Situs Internet Bermuatan Negatif

Pasal 4

(5) Jenis situs internet bermuatan negatif yang ditangani sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 huruf a, yaitu:

a. pornografi; dan

b. kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan

(20)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 20 (6) Kegiatan ilegal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufbmerupakan

kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga

Pemerintah yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bab VI

Tata Cara Pemblokiran dan Normalisasi Pemblokiran

Bagian Kesatu

Penerimaan Laporan

Pasal 10

Tata cara penerimaan laporan meliputi:

b. Penerimaan laporan berupa pelaporan atas:

1. situs internet bermuatan negatif; atau

2. permintaan normalisasi pemblokiran situs.

c. Masyarakat menyampaikan laporankepada Direktur Jenderal melalui fasilitas

penerimaan pelaporan berupa e-mail aduan danatau pelaporan berbasis situs

yang disediakan;

d. Pelaporan dari masyarakat dapat dikategorikan sebagai pelaporan mendesak

apabila menyangkut :

1. privasi;

2. pornografi anak;

3. kekerasan;

4. suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); dan/atau

5. muatan lainnya yang berdampak negatif yang menjadi keresahan

masyarakatsecara luas.

Pasal 11

(1) Permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) harus

telah melalui penilaian di kementerian atau lembaga terkait dengan memuat

alamat situs, jenis muatan negatif, jenis pelanggaran dan keterangan;

(2) Permintaan pemblokiransebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan

oleh Pejabat berwenang kepada Direktur Jenderal, dengan dilampiri daftar

(21)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 21 (3) Terhadap permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Direktur Jenderal melakukan pemantauan terhadap situs yang dimintakan

pemblokirannya.

Bagian Kedua

Tindak Lanjut Laporan

Pasal 12

Kegiatan pengelolaan laporan meliputi:

a. Penyimpanan laporan asli ke dalam berkas dan database elektronik.

b. Peninjauan dan pengambilan sampel ke situs internet yang dituju; dan

c. Penyimpanan sampel gambar situs internet ke dalam berkas dan database

elektronik.

Pasal 13

Tata cara tindak lanjut laporan dari masyarakat, meliputi:

a. Melakukan kegiatan pengelolaan laporan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua

puluh empat) jam.

b. Apabila situs internet dimaksud merupakan situs bermuatan negatif :

1. Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam

TRUST+Positif apabila situs berupa domain;

2. Direktur Jenderal meminta kepada penyedia atau pemilik situs untuk

melakukan pemblokiran atau menghapus muatan negatif apabila situs berupa

selain nama domain;

3. apabila merupakan kondisi mendesak, Direktur Jenderal menempatkan

alamat situs tersebut dalam TRUST+Positif dalam periode 1 x 12 (satu kali

dua belas) jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada

Penyelenggara Jasa Akses Internet.

Pasal 14

Tata cara tindak lanjut laporan dari Kementerian/Lembaga meliputi:

a. Direktur Jenderal memberikan peringatan melalui e-mail kepada penyedia situs

(22)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 22 b. Dalam hal penyedia situs tidak mengindahkan peringatan sebagaimana angka 1

dalam waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam, maka dilakukan tindak

lanjut pengelolaan laporan.

c. Dalam hal tidak ada alamat komunikasi yang dapat dihubungi maka langsung

dilakukan tindak lanjut pengelolaan laporan.

d. Direktur Jenderal menyelesaikan pengelolaan laporan dalam waktu paling

lambat 5 (lima) hari kerja sejak pelaporan diterima.

e. Apabila situs internet dimaksud merupakan situs bermuatan negatif :

1. Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam

TRUST+Positif apabila situs berupa domain;

2. Direktur Jenderal meminta kepada penyedia atau pemilik situs untuk

melakukan pemblokiran atau menghapus muatan negatif apabila situs berupa

selain nama domain;

3. apabila merupakan kondisi mendesak, Direktur Jenderal menempatkan

alamat situs tersebut dalam TRUST+Positif dalam periode 24 (dua puluh

empat) jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada

Penyelenggara Jasa Akses Internet.

Pasal 15

Tata cara tindak lanjut laporan dari lembaga penegak hukum atau lembaga

peradilan meliputi:

b. Direktur Jenderal menyelesaikan pengelolaan laporan dalam waktu paling

lambat 3 (tiga) hari kerja sejak pelaporan diterima;

c. Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam TRUST+Positif;

d. Direktur Jenderal meminta kepada penyedia atau pemilik situs untuk melakukan

pemblokiran atau menghapus muatan negatif apabila situs berupa selain nama

domain;

e. Apabila merupakan kondisi darurat, Direktur Jenderal menempatkan alamat

situs tersebut dalam TRUST+Positif dalam periode 24 (dua puluh empat) jam

sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa

Akses Internet.

(23)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 23 Tata Cara Normalisasi

Pasal 16

(1) Pengelola situs atau masyarakat dapat mengajukan normalisasi atas

pemblokiran situs.

(2) Tata cara pelaporan normalisasi dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

10.

(3) Direktur Jenderal menyelesaikan pengelolaan laporan dalam waktu paling

lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak pelaporan diterima.

(4) Apabila situs internet dimaksud bukan merupakan situs bermuatan negatif,

Direktur Jenderal :

a. menghilangkan dari TRUST+Positif;

b. melakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet dan

Penyedia Layanan Pemblokiran atas proses normalisasi tersebut; dan

c. melakukan pemberitahuan (notifikasi) secara elektronik atas hasil penilaian

(24)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 24 BAB III

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penyusunan makalah yang telah dilakukan, dapat diperoleh

kesimpulan antara lain :

1. Telah disusun makalah yang membahas tentang konstruksi hukum cyber

dengan studi kasus kebijakan hukum mengenai regulasi konten digital di

Indonesia.

2. Terdapat beberapa regulasi yang ditulis dalam makalah ini yaitu

Undang-Undang Tentang Informasi Transaksi Elektronik, Bab VII Perbuatan yang

Dilarang. Serta Peraturan Menkominfo Tentang Pengananan Situs Internet

Bermuatan Negatif, Bab III Situs Internet Bermuatan Negatif.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan penulis untuk pengembangan makalah ini

antara lain :

1. Mengadakan sosialisasi dan edukasi mengenai kebijakan hukum mengenai

regulasi konten digital kepaada masyarakat.

2. Menegakkan regulasi konten digital tanpa melupakan kebebasan dalam

berpendapat dan berekspresi.

3. Aparat kepolisian secara proaktif dalam penegakan hukum terkait tindak

pidana pelanggaran konten digital dengan melibatkan beberapa pihak seperti

(25)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 25 DAFTAR PUSTAKA

Sutiyoso, Bambang. Manajemen, Etika dan Hukum Tekhnologi Informasi. UII Press : Yogyakarta, 2015.

Kurbalija, Jowan. Sebuah Pengantar Tentang Tata Kelola Internet. APJII : Jakarta, 2010.

Rianto, Joni. “Kebijakan Pemblokiran Dalam Penanggulangan Kejahatan Berbasis Konten Media Elektronik.” Tesis Program Magister Ilmu Hukum UII :

Yogyakarta, 2016.

Nitibaskara, Tubagus Ronny Rahman. Ketika Kejahatan Berdaulat, Sebuah. Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi. Peradaban : Jakarta, 2001.

Raharjo, Agus. Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002.

Khanisa. “Dilema Kebebasan Dunia Maya : Kajian Dari Sudut Pandang Negara.”

Widyariset Vol. 16 No. 1 (April 2013) : 23-30.

Budiman, Ahmad. “Optimalisasi Peran Badan Siber dan Sandi Nasional.” Majalah

Info Singkat DPR RI Vol. 9 No. 12 (Juni 2017) : 17-20.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik. Sekretariat Negara : Jakarta, 2008.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan

(26)

K o n s t r u k s i D a s a r H u k u m C y b e r 26 Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia. Peraturan Menkominfo Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Pengananan Situs Internet Bermuatan Negatif. Kemenkominfo RI : Jakarta, 2014.

Nababan, Pirhot dan Darwanto. “Kajian Kebijakan Teknologi Informasi dan Komunikasi.” Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), 2015.

http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2015/08/Kajian-Telekomunikasi_Final.pdf (Diakses 17 November 2017)

Amani, Alya Shabrina Zata. “Informasi dalam Bentuk Media Elektronik dan Media Cetak.” Kompasiana, 2015.

https://www.kompasiana.com/alyashabrina/informasi-dalam-bentuk-media-elektronik-dan-media-cetak_5607b118de22bdd00756df52 (Diakses 17

November 2017)

Kompas.Com. “Indonesia Urutan Kedua Terbesar Negara Asal "Cyber Crime" di Dunia.” Kompas.Com, 2015.

http://nasional.kompas.com/read/2015/05/12/06551741/Indonesia.Urutan.K

edua.Terbesar.Negara.Asal.Cyber.Crime.di.Dunia (Diakses 17 November

Referensi

Dokumen terkait

Islamic Law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj.. Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam,

Penelitian penulisan hukum ini memiliki berapa tujuan seperti berikut. a) Mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana atau kejahatan di dunia maya (cyber crime). b) Mengetahui

Di dunia, terdapat dua sistem hukum yang banyak digunakan oleh negara-negara yaitu Civil Law atau Eropa Kontinental dan Common Law atau Anglo Saxon. Dua sistem hukum tersebut

Hukum siber merupakan padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi

Jurnal Hukum EGALITAIRE Vol 1 Nomor 1 Agustus 2023 8 Penjahat dunia maya tidak hanya menggunakan kesalahan perhitungan tetapi juga memanfaat- kan teknologi informasi dalam pekerjaan