BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Konsep Fenomenologi Alfred Schutz
Pemikiran Alfred Schutz tentang fenomenonologi dipengaruhi oleh dua tokoh yaitu
Edmun Husserl dan Max Weber dengan tindakan sosial, pemikiran dua tokoh ini sangat
kental dalam teori Alfred Schutz tentang pengetahuan dan pengalaman intersubjektif dalam
kehidupan sehari-hari yang melacak karakteristik kesadaran manusia yang sangat
fundamental, dengan memperlihatkan korelasi antara fenomenologi Transendental (Edmund
Husserl) dan verstehende soziologia (Max Weber). Karena Schutz memandang bahwa
keseharian sosial sebagai sesuatu yang intersubjektif.
Max Weber dalam Wirawan 2012, dalam memperkenalkan konsep pendekatan
verstehen untuk memahami makna tindakan seseorang, berasumsi bahwa seseorang dalam
bertindak tidak hanya sekadar melaksanakan, tetapi juga menepatkan diri dalam lingkungan
berpikir dan perilaku orang lain. Konsep pendekatan ini lebih mengarah pada suatu tindakan
bermotif pada tujuan yang hendak dicapai atau in order to motive (Waters, 1994 34-35 dalam
Wirawan, 2012). Menurut Schutz, tindakan subjektif para aktor tidak munjul begitu saja,
tetapi ia ada melalui suatu proses panjang untuk dievaluasi dengan mempertimbangkan
kondisi sosial, ekonomi, budaya, norma etika agama atas dasar tingkat kemampuan
pemahaman sendiri sebelum tindakan itu dilakukan. Dengan kata lain sebelum masuk pada
tataran in order to motive, menurut Schutz, ada tahapan because motive yang mendahuluinya
(Waters, 1994 34-35 dalam Wirawan, 2012).
Selanjutnya Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada bentuk subjektivitas yang
disebut intersubjektivitas. Konsep ini menunjukkan kepada dimensi kesadaran umum dan
kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling berintegrasi. Intersubjektivitas yang
memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi, tergantung kepada pengetahuan tentang peranan
masing-masing yang diperoleh melalui pengalaman yang bersifat pribadi. Konsep
intersubjektivitas ini mengacu kepada suatu kenyataan bahwa kelompok-kelompok sosial
saling menginterprestasikan tindakannya masing-masing dan pengalaman mereka juga
diperoleh melalui cara yang sama seperti yang dialami dalam interaksi secara individual.
Faktor saling memahami satu sama lain baik antar individu maupun antar kelompok ini
Dalam teori fenomenologi Alfred Schutz ada dua yang hal yang perlu diperhatikan
yaitu Aspek Pengetahuan dan Tindakan. Esensi dari pengetahuan dalam kehidupan sosial
menurut Alfred Schutz adalah Akal untuk menjadi sebuah alat kontrol dari kesadaran
manusia dalam kehidupan kesehariannya. Karena akal merupakan sesuatu sensorik yang
murni dengan melibatkan, penglihatan, pendengaran, perabaan dan sejenisnya yang selalu
dijembatani dan disertai dengan pemikiran dan aktivitas kesadaran. Unsur-unsur
pengetahuan yang terkandung dalam fenomenologi Alfred Schutz adalah dunia keseharian.
Dunia keseharian adalah merupakan hal yang paling fondasional dalam kehidupan manusia
karena harilah yang mengukir setiap kehidupan manusia. Konsep tentang sebuah tatanan
adalah merupakan sebuah orde yang paling pertama dan orde ini sangat berperan penting
dalam membentuk orde-orde selanjutnya. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagi
kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif bagi mereka
sebagai satu dunia yang koheren (Berger&Luckamn, 1990: 28). Tindakan sosial yang terjadi
setiap hari adalah proses dimana terbentuk berbagai makna (Cambell, 1990 : 89). Ada dua
fase pembentukan tindakan sosial.
Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi
pengelaman-pengelamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengelaman pribadinya.
Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak dapat berdiri sendiri, karena ia
memiliki makna yang memerlukan penafsiran yang lebih lanjut. Tujuan dari fenomenologi,
seperti yang dikemukakan oleh Husserl, adalah untuk mempelajari fenomena manusia tanpa
mempertanyakan penyebabnya, realitas yang sebenarnya, dan penampilannya. Husserl
mengatakan, “Dunia kehidupan adalah dasar makna yang dilupakan oleh ilmu pengetahuan.”
Kita kerap memaknai kehidupan tidak secara apa adanya, tetapi berdasarkan teori-teori,
refleksi filosofis tertentu, atau berdasarkan oleh penafsiran-penafsiran yang diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan, situasi kehidupan, dan kebiasaan-kebiasaan kita.
Alfred berpendapat bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila
manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain
memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti. Pemahaman secara
subyektif terhadap sesuatu tindakan sangat menentukan terhadap kelangsungan proses
interaksi sosial. Baik bagi aktor yang memberikan arti terhadap tindakannya sendiri maupun
bagi pihak lain yang akan menerjemahkan dan memahaminya serta yang akan beraksi atau
bertindak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh aktor. Schutz mengkhususkan perhatiannya
menunjuk kepada pemisahan keadaan subyektif atau secara sederhana menunjuk kepada
dimensi dari kesadaran umum ke kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling
berintegrasi. Intersubyektivitas yang memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi, tergantung
kepada pengetahuan tentang peranan masing-masing yang diperoleh melalui pengalaman
yang bersifat pribadi.
2.2. Konsep Kebudayaan dan Makna Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sanskerta yang berarti akal,
kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk) sehingga kebudayaan
diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani
dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani
sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia.
Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara dalam (Widyosiswoyo 1992), berarti buah
budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan
zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan buktii kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan
damai.Sedangkan Sutan Takdir Alisyahbana dalam (Widyosiswoyo 1992), mengatakan
bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir sehingga menurutnya pola
kebudayaan itu sangat luas. Sebab, semua tingkah laku dan perbuatan tercangkup didalamnya
dan dapat diungkapkan pada basisi dan cara berpikir termasuk didalamnya perasaan karena
perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.
Koentjaranigrat mengatakan dalam (Widyosiswoyo 1992), bahwa kebudayaan antara
lain berarti keseluruan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar
beserta keseluruhan dari hasil budi pakertinya.
Pada prisipnya kebudayaan dapat dikelompok-kelompokan. Hal itu dimungkinkan
karena adanya unsur-unsur kebudayaan atau cabang-cabang kebudayaan yang tepat.
Kebudayaan dibagi kedalam unsur-unsur, sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan,
teknologi kesenian, filsafat dan religi. Disamping itu ada pula yang membagi kebudayaan
kedalam unsur-unsur seperti: pola-ploa komunikasi, bentuk-bentuk jasa, pertukaran barang
pemerintahan, praktek religi, dan magi mtologi, filsafat, ilmu, keseniam dan rekreasi
(Widiarto, 2005).
Ditinjau dari dimensi wujudnya, menurut Koentjaranigrat dalam (Widiarto, 2005)
kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu sebagai suatu kompleks gagasan, konsep dan
pikiran manusia atau ide-ide manusia, dan wujud sebagai suatu kompleks aktivitas atau
tingkah laku manusia, serta wujud sebagai benda-benda atau fisik. Budaya dalam wujud
benda yang statis. Sedengkankan budaya dalam bentuk kompleksitas gagasan dan
kompleksitas aktivitas bersifat dinamis yang didalamnya berisi sisitem nilai yang masi
dipegang teguh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai ini menjadi pedoman untuk tingkah
laku (Widiarto, 2005).
a. Wujud Kebudayaan Sebagai Ide, (alam ide) menepati kedudukan yang utama,
dan dapat berupa pikiran, gagasan, renungan, cita-cita, konsep-kosep, teori dan
sebagainya. Kebudayaan ideal bersifat abstrak, tidak dapat dilihat, dirasakan,
dan diraba. Tetapi dapat dibaca melalui tulisan, dilhat sebagai mikrofilm atau
mikrofis dan didengar melalui kaset, radio, dan televisi, didengar secara lisan
dan lain sebagainya.
b. Kebudayaan Sebagai Tingkah dapat berupa kegiatan atau aktivitas manusia
dalam pergaulan dalam masyarakat. Jenis kebudayaan tingkah laku dapat
dilihat dan diamati karena bersifat transparan atau konkret. Apalagi jenis
kebudayaan tingkah laku ini dapat dibuat foto, lukisan ataupun difilkan.
c. Kebudayaan Sebagai Benda Fisik dapat berupa hasil karya manusia berbentuk
benda. Karena bersifat kokret maka dapat dilihat, dirasakan, dipegang,
dipindahkan, dipugar dan sebagainya. Kebudayaan fisik itu beraneka ragam,
dari tingkat yang sederhana sampai tingkat yang canggih. Dalam kehidupan
sehari-hari ketiga wujud kebudayaan itu tidak terlepas dan berdiri
sendiri-sendiri. Ketiga bercampur menjadi satu sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Artinya gagasan/ide-ide mengilhami manusia untuk beraktivitas yang pada
gelirannya dapat menghasilkan karya-karya budaya besar (Widiarto, 2005).
2.3. Konsep Modernisasi dan Perubahan Budaya
Pada dasarnya semua bangsa dan masyarakat di dunia ini senatiasa terlibat dalam
proses modernisasi, meskipun kecepatan dan arah perubahannya berbeda-beda antara
hampir tidak bisa dibatasi ruang lingkup dan masalahnya, mulai dari aspek sosial, ekonomi,
budaya, politik, dan seterusnya. Konsep modernisasi dalam arti khusus yang disepakati teori
modernisasi di tahun 1950-an dan tahun 1960-an, di definisikan dalam tiga cara: historis,
relatif, dan analisis. Menurut definisi historis, modernisasi sama dengan westernisasi atau
Amerikanisasi. Modernisasi dilihat sebagai gerakan menuju cita-cita masyarakat yang
dijadikan model. Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu arah perubahan ke
arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah proses perubahan dari cara-cara
tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju, dimana dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (Abdulsyani, 1994).
Perubahan sosial budaya merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan
pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang
terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat
dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Dinamika kebudayaan
identik dengan perubahan unsur- unsur kebudayaan universal, yang apabila ditinjau dalam
kenyataan kehidupan suatu masyarakat, tidak semua unsur mengalami perkembangan yang
sama. Ada unsur kebudayaan yang mengalami perubahan secara cepat, ada pula yang lambat,
bahkan sulit berubah. Apabila mengkaji pengertian kebudayaan menurut Antropolog Inggris
Edward Burnett Tylor (dalam Warsito 2012: 49) sebagai suatu kompleks keseluruhan yang
meliputi pengetahuan, keyakinan, kesenian, hukum, moral, adat, semua kemampuan dan
kebiasaan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat maka tingkat perubahan
unsur tersebut menjadi sangat variatif antara satu masyarakat dengan masyarakat yang
lainahan sosial.
Transformasi budaya merupakan perubahan yang menyangkut nilai-nilai dan struktur
sosial. Proses perubahan struktur akan menyangkut masalah disiplin sosial, solidaritas sosial,
keadilan sosial, sistem sosial dan mobilitas sosial. Transformasi budaya yang tidak berakar
pada nilai budaya bangsa akan mengendorkan disiplin sosial dan solidaritas sosial. Dan pada
gilirannya unsur keadilan sosial akan sukar diwujudkan (Kartodirdjo, 1992;145).
2.4. Rumah Adat (Uma Kalada) Sebagai Pusat Budaya
Bagi masyarakat Sumba Barat Daya terkususnya Desa Omba Rade Uma Kalada
merupakan bagian dari kebudayaan yang tidak lepas dari kehidupannya, Uma Kalada ini bisa
yang telah menjadi serupa dewa (marapu) di Uma Kalada merupakan tempat persekutuan,
tempat pertemuan, dan tempat mengadakan ritual-ritual keagamaan. Pada jaman dulu orang
Sumba sering melaksanakan ritual-ritual keagamaan yang disebut Hamayang (ritual doa,
sembahyang). Ritual-ritual tersebut ditujukan kepada roh-roh nenek moyang, karena orang
Sumba percaya bahwa roh-roh nenek moyang tersebut adalah pemelihara orang-orang yang
masih hidup.
Marapu merupakan tata nilai mendasar yang dipegang dan dianut oleh masyarakat
Sumba. Tidak berbeda dengan sistem kepercayaan umumnya Marapu mempunyai dua
peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sumba. Pertama, Marapu berperan sebagai
pedoman hidup, tingkah dan laku masyarakat Sumba. Marapu sendiri mempunyai
aturan-aturan atau hukum. Aturan-aturan tersebut dapat didefinisikan sebagai ”pedoman untuk berprilaku menurut tata-cara Marapu”. Aturan-aturan itu tidak hanya akal budi dan pengertian manusia, melainkan dengan seluruh pola kehidupannya. Sebagai sistem kepercayaan yang
mempunyai aturan-aturan, sampai dengan saat ini masih dapat diterima karena keseluruhan
tata nilai diarahkan pada kebaikan kehidupan manusia.
Kedua, Marapu berperan sebagai penolong. Artinya ketika manusia (masyarakat
Sumba) mampu untuk menjalankan aturan-aturan dalam Marapu maka ia akan selamat.
Selamat dimaksudkan dengan (1). Berhasil dalam segala usahanya didunia, pertanian,
peternakan dll. (2). Akan dilindungi oleh Sang Pencipta melalui roh nenek moyang dalam
segala malapetaka. (3) ketika meniggal setelah rohnya melayang-layang diangkasa rohnya
akan masuk pada langit kedelapan (Surga).
Pemahaman ini sangat mempengaruhi pola-pola tindakan masyarakat Sumba
akhirnya. Salah satu contohnya adalah upacara kematian. Upacara kematian dirayakan
dengan menyembelih korban seperti kerbau, kuda, sapi, babi dll, kemudian dimakamkan
sebagai jamuan upacara kematian. Mayat dikubur dengan pakaian lengkap, dengan tumpukan
kain sarung serta perhiasan seperti, mas maupun perak. Hal ini dilakukan oleh masyarakat
Sumba dengan harapan bahwa korban yang berupa, kain sarung, serta perhiasan, merupakan
bekal bagi roh yang meninggal dalam perjalanan dari langit lapisan pertama hinggan langit
lapisan kedelapan (Surga).
Simbolisasi Rumah Adat masyarakat di Pulau Sumba memandang rumah adat mereka
sebagai simbolisasi tubuh manusia yang terdiri dari kepala, badan dan anggota tubuh,
atap atau menara (toko uma). Dan sebagaimana kepala yang merupakan tempat
beradanya otak (pusat kehidupan atau jiwa manusia) menara rumah orang Sumba juga
dianggap sebagai tempat beradanya jiwa keluarga. Disinilah hasil ladang sebagai
sumber kelangsungan hidup badaniah disimpan, juga harta benda pusaka yang
merupakan sumber kehidupan ruhaniah (spiritual). Bagian badan dilambangkan
dengan bagian rumah tempat hunian (bei uma).
2.5.Kerangka Pikir
Dinamika MasyarakatDesa Omba Rade
Uma Kalada Sebagai Pusat Budaya
Motif Sebab dan Motif Tujuan Modernisasi Uma
Kalada Modernisasi Uma Kalada
Perpektif masyarakat tentang modernisasi
Uma Kalada
Rumah adat atau yang biasa disebut juga dengan Uma Kalada di Pulau Sumba
dipandang memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat, dimana menggambarkan
tingkat sosial pemiliknya, dan kekerabatan yang kuat antara pemiliknya dan memiliki
makna dan nilai tersendiri bagi penghuni rumah adat maupun masyarakat yang ada
di daerah tersebut. Fenomena yang terjadi sekarang dimana proses perubahan dalam
masyrakat terjadi dalam pengertian bahwa terjadinya perubahan sosial-budaya pada
masyarakat yang sedang berkembang. Dalam perubahan tersebut mengakibatkan
Rumah Adat ini terpinggirkan dengan kehidupan yang lebih maju dan
penemuan-penemuan yang baru seperti teknologi, pengetahuan, politik dan sebagainya. Dimana
masyarakat sekitarnya lebih menonjolkan hal-hal baru seperti penggunaan