• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Ekonomi Hijau Green Economic dala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsep Ekonomi Hijau Green Economic dala"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMIC) DALAM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM

DI INDONESIA UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Ida Nurlinda1

Abstract

Natural resources is one of the most important environmental elements that needs to be qualitatively and quantitatively preserved to guard human’s life. Since 1972 environmental aspect has become one of the development issues, however, it is proven that the development is still based on economic evolution and override social and environmental aspects hence poverty and environmental damage problem still arise. Green economic concept became the major factor of

sustainable development since economic is not only aimed to extent welfare, but also expected to offer justice upon the population, environmental and natural resources. The philosophical idea behind the concept is the balance between the welfare and social justice by decreasing ecology and environmental damage risks.

The establishment of national legislation, management policy and the utilization of natural resources, particularly the implementatition, are becoming essential. The authorization towards the rights to use and other entitlements of natural resources that are obtained without proper regulation needs a complete arrangement that is based by the efficiency of the utilization, method of comsumption and sustainable production by inserting economic and

environmental costs. Further, the principles of natural resources management as stipulated in the People’s Consultative Assembly (MPR-RI) No. IX/MPR/2001 nedd implementation to restructure related regulation.

Keywords: Natural Resources, Green Economic, Sustainable Development

A. Pendahuluan

Meskipun perhatian dunia terhadap masalah-masalah lingkungan hidup sudah dituangkan sejak 40 tahun yang lalu, dengan diselenggarakannya Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm pada tahun 1972, namun kenyataannya dunia masih menghadapi 2 masalah besar, yaitu masalah pemenuhan kesejahteraan rakyat di satu sisi, serta masalah pelestarian fungsi lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam sebagai penopang kehidupan manusia di sisi lain. Kedua masalah ini pada

(2)

kenyataannya memang selalu dipertentangkan. Kegiatan pembangunan ekonomi untuk memenuhi kesejahteraan rakyat selama ini di Indonesia lebih banyak berbasis kepada sumber daya alam, mengingat Indonesia memiliki kuantitas dan kualitas sumber daya alam yang sangat baik. Hal demikian menyebabkan aspek perlindungan dan pelestarian lingkungan terabaikan, dan menimbulkan beragam permasalahan lingkungan, seperti pencemaran air dan/atau udara, kerusakan kualitas tanah, kebakaran dan kerusakan hutan, alih fungsi lahan pertanian, perubahan iklim dan sebagainya. Kondisi demikian pada akhirnya mendorong timbulnya kantong-kantong kemiskinan pada masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber daya alam dan lingkungan tersebut.

Berbagai upaya menanggulangi masalah di atas telah dilakukan, baik pada tingkat global, regional maupun lokal, namun degradasi lingkungan terus terjadi, dan bersifat sistemik. Artinya, faktor-faktor penyebab timbulnya permasalahan lingkungan bersifat saling berkaitan dan saling

mempengaruhi.Terjadinya kebakaran hutan yang semakin meluas dan semakin sering terjadi misalnya, selain disebabkan oleh faktor alam (anomali iklim), juga merupakan konsekuensi logis dari meluasnya kebijakan perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI) menggantikan hutan alam. Pembangunan HTI seringkali memicu kebakaran hutan dan lahan karena pembersihan lahan dilakukan dengan cara pembakaran2. Contoh lain misalnya, tingginya kegiatan pembangunan suatu wilayah yang memacu pembangunan infrastruktur telah mendorong timbulnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Data Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian pada tahun 2005 menunjukkan bahwa setiap tahun sekitar 187.720 Ha sawah telah beralih fungsi ke penggunaan non pertanian, terutama di pulau Jawa3. Alih fungsi lahan ini pada akhirnya menimbulkan kantong-kantong kemiskinan yang tidak

2 Chay Asdak, Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Jalan Menuju Pembangunan Berkelanjutan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2012: hlm. 3

(3)

jarang menimbulkan masalah lingkungan seperti banjir, sanitasi dan kawasan permukiman yang kumuh.

Meskipun produk domestik bruto dunia pada tahun 2011 sudah mencapai 77,2 triliun dollar AS, namun lebih dari 900 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan4. Hal ini mendorong isu kemiskinan menjadi salah satu fokus dalam Koferensi Pembangunan Berkelanjutan, Rio +20 pada 20-22 Juni 2012. Dua topik besar yang menjadi fokus Konfrensi Rio+20 ini adalah5:

1. Ekonomi hijau (green economy) dalam konteks pembangunan berkelanjutan untuk penghapusan kemiskinan;

2. Kerangka institusi untuk pembangunan berkelanjutan.

United Nation Environment Programme (UNEP) memberikan pengertian ekonomi hijau sebagai kegiatan perekonomian yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial di satu sisi, tetapi di sisi lain mampu menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap

lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam. Menurut UNEP, ekonomi hijau merupakan kegiatan perekonomian yang rendah karbon, tidak

mengandalkan bahan bakar fosil, hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial6. Rumusan demikian, seringkali dicurigai bahwa pembangunan ekonomi hijau sarat dengan kepentingan-kepentingan perdagangan karbon (carbon trading) yang mengemuka dalam perundingan tahunan Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC/United Nations Framework Convention on Climate Change) tentang Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD/Reducing Emissions from Deforestation and Degradation).

Meski demikian, sebagai sebuah paradigma pembangunan, ekonomi hijau perlu dikedepankan dalam rangka pemerintah melakukan kebijakan

4 Akhmad Fauzi, Ekonomi Hijau untuk Bumi, Artikel pada Surat Kabar Harian KOMPAS, Jakarta, 7 Juli 2012: hlm. 7

5 www.unep.org/wed/greeneconomy, Towards Green Economy, diunduh 3 Juni 2012

(4)

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, untuk mencegah kerusakan lingkungan serta pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Masalah-masalah lingkungan perlu diintegrasikan (diinternalisasikan) ke dalam perencanaan pembangunan ekonomi7. Namun tentunya pada tataran implementasi hal ini tidak mudah. Banyak hal yang harus disiapkan untuk mendukung kebijakan tersebut termasuk politik hukum yang berlaku atas pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam. Sepanjang kebijakan pemerintah masih menjadikan tanah dan sumber daya alam sebagai bahan baku utama untuk menghasilkan devisa tanpa disertai upaya-upaya perlindungannya, maka paradigma ekonomi hijau hanya sebatas slogan belaka.

Berdasarkan paparan permasalahan di atas, dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Sejauhmana konsep ekonomi hijau (green economy) dapat

diterapkan dalam pengaturan lingkungan hidup di Indonesia, untuk mendukung pembangunan berkelanjutan?

2. Apakah penerapan konsep ekonomi hijau (green economy) juga penting dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam?

Untuk menjawab permasalahan yang telah diidentifikasikan di atas, maka perlu dilakukan penelitian. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan juridis normatif, dalam arti menggunakan data sekunder sebagai bahan utama penelitian. Data sekunder terdiri atas bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang terkait materi penelitian, bahan hukum sekunder berupa bahan kepustakaan baik literatur, jurnal, artikel yang terkait dengan materi penelitian. Selain itu, untuk memberi

penjelasan lebih lanjut pada bahan hukum primer dan sekunder,

(5)

dipergunakan bahan hukum tersier berupa kamus hukum. Mengingat materi penelitian terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup, maka penelitian ini pun menggunakan pendekatan ilmu-ilmu di luar ilmu hukum seperti ilmu ekonomi dan ilmu lingkungan itu sendiri.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu memaparkan dan menganalisis data yang diperoleh dari data sekunder untuk kemudian dianalisis secara juridis kualitatif, dengan menggunakan metode penafsiran hukum dan konstruksi hukum. Data yang bukan berupa bahan hukum (ekonomi, lingkungan) tetap dianalisis dengan perspektif hukum.

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Internalisasi Konsep Ekonomi Hijau (Green Economy) dalam Pengaturan Lingkungan Hidup di Indonesia untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga pembangunan harus didasarkan pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)8. Dalam laporan World Commission on Environment and Development

(WCED) pada tahun 1987 yang berjudul Our Common Future, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs9. Dalam laporan WCED tersebut diidentifikasi pula beberapa masalah kritis yang perlu dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan lingkungan dalam konsep pembangunan yang berkelanjutan, yaitu10:

a. Mendorong pertumbuhan dan meningkatkan kualitas;

b. Mendapatkan kebutuhan pokok mengenai pekerjaan, makanan, energi, air dan sanitasi;

8 Makmun, Green Economy: Konsep, Implementasi dan Peranan Kementerian Keuangan, Artikel dalam Jurnal “Ekonomi dan Pembangunan”, LIPI, volume XIX (2) 2011: hlm. 3.

9 Lihat Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 2006: hlm. 15.

(6)

c. Menjamin tingkat pertumbuhan penduduk yang mendukung keberlanjutan;

d. Melakukan konservasi dan kemampuan sumber daya ; e. Orientasi teknologi dan mengelola risiko;

f. Memadukan pertimbangan lingkungan ekonomi dalam proses pengambilan keputusan.

Dengan demikian, masalah-masalah pembangunan sangat erat kaitannya dengan masalah ekonomi dan lingkungan, sehingga sejak awal paradigma pembangunan berkelanjutan muncul, dirasa perlu mengantisipasi masalah-masalah yang timbul terkait dengan kegiatan pembangunan (ekonomi) dengan lingkungan. Hal di atas dirasa sudah sangat mendesak untuk di atasi, mengingat pada kenyataannya, yang dominan menentukan adalah kepentingan ekonomi. Kepentingan lingkungan selalu diletakan di bawah kepentingan ekonomi. Hal ini menunjukan paradigma pembangunan yang keliru. Ekonomi harus menjadi subsistem dari lingkungan11. Bukan sebaliknya. Inilah esensi pembangunan berkelanjutan dari perspektif pembangunan ekonomi.

Dalam perkembangannya, era globalisasi membawa konsekuensi pada masalah ketahanan ekonomi. Lemahnya ketahanan ekonomi suatu negara berdampak pada ketahanan ekonomi negara lainnya. Suatu negara mempunyai ketahanan ekonomi yang baik jika mempunyai kemampuan ekonomi yang tidak tergoncangkan oleh ketidak-pastian yang ditimbulkan oleh globalisasi, serta mampu memberikan

kesejahteraan yang meningkat pada rakyatnya melalui pembangunan12. Atas dasar hal tersebut, kemudian berkembang konsep ekonomi hijau (green economy), sebagai konsep yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan penghapusan kemiskinan. Namun mengingat tidak adanya model pembangunan berkelanjutan yang sama untuk seluruh negara, maka konsep ekonomi hijau difahami secara berbeda pula,

11 Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Penerbit KOMPAS, Jakarta, 2010: hlm. 135.

(7)

dengan mempertimbangkan berbagai kendala pada masing-masing negara.

Secara sederhana, pengertian ekonomi hijau dirumuskan sebagai kegiatan perekonomian yang tidak merugikan atau merusak

lingkungan. Sementara itu, United Nation Environment Programme

(UNEP) mengaitkan pengertian ekonomi hijau dengan makna ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial, dengan memberikan pengertian bahwa13:

Greening the economy refers to the process of reconfiguring business and infrastructure to deliver better returns on natural, human and economic capital investments, while at the same time reducing

greenhouse gas emissions, extracting and using less natural recources, creating less waste and reducing social disparities.

Dengan demikian ekonomi hijau merupakan kegiatan ekonomi yang selain dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir kegiatan ekonomi, juga diharapkan memberi dampak tercapainya keadilan, baik keadilan bagi masyarakat maupun lingkungan dan sumber daya alam itu sendiri. Filosofi ekonomi hijau adalah adanya keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi rakyat dan keadilan sosial dengan tetap mengurangi resiko-resiko kerusakan lingkungan dan ekologi14. Dalam hal inilah esensi ekonomi hijau sebagai model pembangunan ekonomi yang berbasis pembangunan berkelanjutan.

Konsep ekonomi hijau (green economy) menjadi paradigma dalam pembangunan berkelanjutan yang penting dalam menanggulangi dampak perubahan iklim yang terjadi. Ekonomi hijau kurang lebih menjadi jawaban dari ekonomi coklat, yaitu kegiatan ekonomi yang memproduksi banyak karbon. Ekonomi coklat merupakan kegiatan ekonomi yang menggunakan energi secara tidak efisien (boros) tetapi

13 www.unep.org/greeneconomy, diunduh 3 Juni 2012.

(8)

secara sosial tidak cukup inklusif, yaitu tidak melibatkan banyak orang dalam proses pengambilan keputusannya15. Dalam kaitannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan bahan tambang dan mineral batu bara misalnya, kegiatan ekonomi coklat sangat dominan. Selain berdampak buruk pada kualitas lingkungan, munculnya kasus-kasus pertambangan di Freeport atau Newmont menunjukan bahwa secara sosial masih sangat eksklusif, tidak mewujudkan keadilan sosial. Manfaat dari eksploitasi tambang tersebut sebagian besar dinikmati hanya oleh sebagian kecil orang/kelompok dalam bentuk izin atau hak-hak

pemanfaatan yang diperolehnya. Padahal dampak negatif dari kegiatan pertambangan tersebut justru ditanggung oleh masyarakat sekitar yang menanggung kerusakan lingkungan16. Hal inilah yang ingin

diminimalisir/dihindari melalui pembangunan berparadigma ekonomi hijau (green economy).

Dalam kaitannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, ekonomi hijau harus dapat merubah pola pemanfaatan sumber daya alam yang eksploratif dan berjangka pendek ke pola pemanfaatan sumber daya alam yang berorientasi jangka panjang, mengacu pada 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan (pilar ekonomi, pilar sosial dan pilar ekologis), serta bertumpu pada daya dukung dan daya tampung lingkungan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam pada pilar ekonomi, sosial dan ekologis merupakan syarat penting mewujudkan pembangunan berkelanjutan, sebagaimana disepakati dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002. Ketiga pilar tersebut harus dijalankan secara terintegrasi dan saling memperkuat satu sama lain17. Implementasinya memang tidak mudah,

15 Sonny Mumbunan, Ekonomi Hijau dan Pemerintahan Bersih,

www.perspektifbaru.com, diunduh 1 Juni 2012.

16 Hariadi Kartodihaedjo dan Hira Jhamtani (penyunting), Politik Lingkungan dan kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing Indonesia-Ford Foundation, Jakarta, 2006: hlm. 7

(9)

karena yang sering terjadi adalah justru pertentangan diantara ketiga pilar pembangunan tersebut18. Dalam kaitan dengan implementasi ketiga pilar pembangunan berkelanjutan di atas, maka konsep ekonomi hijau melengkapinya, bahkan ekonomi hijau menjadi motor penggerak pembangunan berkelanjutan.

Ekonomi hijau menurut Cato, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut19: a. Suatu ekonomi hijau merupakan ekonomi yang berbasis lokal; b. Dalam ekonomi hijau, orang-orang akan berhubungan satu

dengan yang lain lebih dulu dan baru kemudian berdagang. Pasar dipandang sebagai tempat bersosialisasi dan persahabatan yang menyenangkan di mana berita dan pandangan politik dipertukarkan seperti halnya barang dan uang;

c. Ekonomi hijau sangat mungkin melibatkan distribusi aset dengan menggunakan harta warisan yang ditingkatkan dan pajak

capital gain;

d. Dalam ekonomi hijau, pajak kemungkinan digunakan juga secara strategis untuk mempengaruhi kekuasaan dan perilaku bisnis. Dominasi neoliberal dari pembuatan keputusan

mengakibatkan pergeseran pajak dari korporasi ke pendapatan dari penduduk swasta;

e. Ekonomi hijau akan dipandu oleh nilai keberlanjutan daripada oleh nilai uang;

f. Ekonomi hijau akan meninggalkan kecanduan pada

pertumbuhan ekonomi dan mengarah pada ekonomi steady-state;

g. Ekonomi hijau akan menjadi ekonomi yang ramah di mana hubungan dan komunitas menjadi pengganti konsumsi dan teknologi;

18 Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009: hlm. 212.

(10)

h. Ekonomi hijau memberi peran yang lebih luas bagi ekonomi informal dan sistem koperasi dan berbasis komunitas yang saling mendukung;

i. Dalam ekonomi hijau, sistem kesehatan akan fokus pada pengembangan kesehatan yang baik dan penyediaan perawatan primer, berbasis lokal daripada obat berteknologi tinggi dan perusahaan farmasi yang luas;

j. Ekonomi hijau akan menggantikan bahan bakar fosil dan sistem pertanian intensif dengan pertanian organik dan berbagai sistem seperti pertanian dengan dukungan komunitas, di mana manusia terhubung lebih dekat dengan sumber pangannya.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup tidak memberikan pengertian atau ciri-ciri ekonomi hijau. Namun terkait ekonomi lingkungan (yang tentu saja berbeda maknanya dengan ekonomi hijau), UUPPLH menyinggungnya dalam kaitannya dengan instrumen ekonomi lingkungan. Pasal 1 angka 33 UUPPLH menegaskan bahwa instrumen ekonomi lingkungan adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah,

pemerintah daerah atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengertian tersebut tentunya tidak memadai untuk ditafsirkan bahwa kebijakan ekonomi tersebut dalam konteks ekonomi hijau, karena hanya mengarah kepada isu pelestarian fungsi

lingkungan saja, belum mengarah pada isu kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai isu utama dalam ekonomi hijau. Namun dalam konteks penafsiran hukum yang memperluas (extensif interpretatie) maka pemahaman isu pelestarian fungsi lingkungan harus dimaknai termasuk juga isu kesejahteraan dan isu keadilan sosial.

(11)

atas Pasal 42 dan Pasal 43 UUPPLH tersebut, kiranya pada tataran peraturan pelaksanaan UUPPLH dapat mengakomodasikan ciri-ciri ekonomi hijau pada prinsip-prinsip ekonomi lingkungan dan pada akhirnya dapat dituangkan dalam bentuk kaidah antara (tussennorm) ataupun kaidah pelaksana (casusnorm). Internalisasi aspek instrumen ekonomi ke dalam aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat sekaligus disertai dengan unsur-unsur “ekonomi hijau”nya, sehingga pengaturan itu tidak saja mencakup aspek pelestarian lingkungan saja tetapi juga aspek kesejahteraan dan keadilan sosial, sebagai ciri utama ekonomi hijau.

Pasal 42 dan Pasal 43 UUPPLH dapat dimaknai sebagai kaidah antara (tussennorm) yang menjembatani prinsip-prinsip dasar hukum

lingkungan, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan termasuk di dalamnya prinsip-prinsip ekonomi hijau, sebagai kaidah dasar

(grundnorm) dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Sebagai kaidah antara (tussennorm), Pasal 42 dan Pasal 43 UUPPLH harus dapat menjadi cantolan (ratio legis/reasoning) terbentuknya kaidah-kaidah pelaksana (casusnorm) dari pengaturan tentang ekonomi hijau dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian internalisasi konsep ekonomi hijau dalam pembangunan nasional mempunyai dasar hukum yang baik.

Misalnya penegasan Pasal 42 UUPPLH yang menyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah “wajib” mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan. Ketentuan ini harus dimaknai dengan penafsiran sistematis dan penafsiran sosiologis. Secara sistematis maksudnya bahwa memaknai ketentuan tersebut harus beserta mengkaji dan memaknainya dengan sumber-sumber hukum formal lainnya seperti hukum kebiasaan/adat, traktat/perjanjian ataupun yurisprudensi. Tidak cukup hanya sebatas peraturan

(12)

maksudnya bahwa memaknai ketentuan tersebut harus sejalan dengan tujuan dan manfaat ketentuan itu dibuat. Dengan demikian harus memperhatikan aspek kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Dengan memaknai Pasal 42 UUPPLH disertai penafsiran hukum sistematis dan sosiologis, maka hakikat dasar dari ekonomi hijau untuk pelestarian lingkungan dapat termasuk didalamnya. Uraian mengenai instrumen ekonomi lingkungan yang meliputi perencanaan

pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan serta insentif dan/atau disinsentif sebagaimana diuraikan pada Pasal 43 UUPPLH beserta penjelasannya, harus ditafsirkan juga dari perspektif penafsiran hukum sistematis dan sosiologis, sehingga paradigma ekonomi hijau dapat termasuk ke dalamnya.

Terkait dengan penganggaran kegiatan pembangunan, ketentuan Pasal 45 UUPPLH dapat dimaknai sebagai penganggaran kegiatan

pembangunan yang berorientasi pada aspek lingkungan (green

budgeting), karena Pasal 45 UUPPLH mewajibkan kepada Pemerintah dan DPR serta Pemda dan DPRD mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan serta program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Selain itu, Pemerintah juga wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan yang memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup yang baik. Senada dengan ketentuan Pasal 45 UUPPLH, Pasal 46 UUPPLH pun menetapkan ketentuan yang sama dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan.

Dengan demikian, meskipun secara eksplisit kaidah-kaidah pengaturan ekonomi hijau dalam hukum positif Indonesia yang mengatur

(13)

berlaku. Hal tersebut juga harus ditunjang oleh aparatur pelaksana yang menjalankan peraturan dan kebijakan secara green procurement

dan mengedepankan good governance. Dengan demikian, ekonomi hijau dapat menjadi paradigma dalam pembangunan (ekonomi) Indonesia yang berwawasan lingkungan.

2. Urgensi Konsep Paradigma Ekonomi Hijau (Green Economy) dalam Pengaturan dan Kebijakan Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Mendukung Pembangunan

Berkelanjutan

Penerapan konsep ekonomi hijau (green economy) pada peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup saja sebagaimana dikemukakan di atas, kiranya tidak cukup. Hal tersebut seyogianya diterapkan pula pada seluruh sektor yang terkait dengan bidang dan/atau sektor pembangunan, lebih khusus lagi pada kegiatan pembangunan yang menggunakan sumber daya alam sebagai bahan dasar kegiatannya. Disinilah arti penting sinergi ketiga pilar (ekonomi, sosial dan ekologi) dari pembangunan berkelanjutan. Di mana kegiatan pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan selain ditujukan untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, membawa dampak yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi tetap mengedepankan upaya-upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan.

Menurut The Global Green Economy Index, paling tidak ada 4 dimensi yang dipakai untuk mengukur keberhasilan suatu negara

(14)

ramah lingkungan, dan kegiatan ekonomi seperti wisata yang berdimensi lingkungan20. Peran aktif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam berbagai pertemuan internasional terkaitan penyelamatan lingkungan dan sumber daya alam, belumlah cukup. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana implementasinya dalam hukum positif Indonesia, yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan. Dengan demikian, konsep ekonomi hijau (green economy) harus menjadi paradigma dalam pengaturan dan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini dikarenakan pembangunan ekonomi nasional masih memanfaatkan sumber daya alam sebagai sumber utama dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui pajak, retribusi ataupun bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam seperti migas, tambang, perkebunan, kehutanan dan sebagainya.

Agar hal tersebut dapat berlangsung tanpa merusak dan menurunkan kualitas lingkungan dan sumber daya alam itu sendiri, maka konsep ekonomi hijau pun perlu diinternalisasikan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan berbagai sumber daya alam yang ada. Baik itu ke dalam peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan, migas, kehutanan, perkebunan, kelautan dan pesisir maupun pertanahan. Proses internalisasi konsep ekonomi hijau (green economy) dalam pengaturan dan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, harus didasari oleh prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang terdapat dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yaitu:

a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan NKRI; b. Menghormati dan menjunjung tinggi HAM;

c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasikan keanekaragaman dalam unifikasi hukum;

(15)

d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas SDM Indonesia;

e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;

f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agraria/ sumber daya alam;

g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi

mendatang dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;

h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;

i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor

pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;

j. Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya

agraria/sumber daya alam;

k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat) masyarakat dan individu;

l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.

Kedua belas prinsip pengelolaan sumber daya alam di atas, jika disimpulkan mengerucut pada 3 prinsip utama, yaitu21:

a. Prinsip demokratis, dalam dimensi kesetaraan antara pemerintah dengan rakyat, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan

(16)

good governance dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam;

b. Prinsip keadilan, dalam dimensi filosofis baik keadilan intergenerasi maupun keadilan antar generasi dalam upaya mengakses sumber daya agraria;

c. Prinsip keberlanjutan, dalam dimensi kelestarian fungsi dan manfaat yang berdaya guna dan berhasil guna.

Ketiga prinsip utama tersebut kiranya selaras dengan pilar ekonomi, pilar sosial dan pilar ekologi dari pembangunan berkelanjutan. Pilar ekonomi dan sosial harus mengacu pada prinsip demokrasi dan keadilan, sedangkan pilar ekologi tentunya harus mengacu pada prinsip keberlanjutannya. Untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam ke dalam pengaturan dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam, terutama pada tataran pelaksanaan, maka political will pemerintah menjadi hal yang sangat penting22.

Political will diwujudkan dengan merumuskan peraturan perundang-undangan hijau ( green regulation) dan menumbuhkan kebijakan hijau (green policy) untuk melaksanakan praktek pembangunan yang ramah lingkungan (environmentally-friendly practices)23. Tanpa political will pemerintah, prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam tersebut kehilangan roh-nya, tidak bermakna apapun. Hal ini tentunya untuk sulit mendorong pengusaha sebagai partner pemerintah untuk melakukan kegiatan pembangunan ekonomi yang berbasis ekonomi hijau (green economy).

22 Hasim Purba, Reformasi Agraria dan Tanah untuk Rakyat: Sengketa Petani vs Perkebunan, artikel pada Jurnal Law Review, Volume X, No. 2 November 2010: hlm. 174

(17)

C. Penutup

Internalisasi konsep ekonomi hijau (green economy) ke dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam serta pelestarian lingkungan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan Indonesia, merupakan suatu keniscayaan. Sebagai suatu keniscayaan, maka menjadi tanggung jawab dan kewajiban kita semua untuk mewujudkannya. Dokumen The Future We Want yang dihasilkan pada Konferensi Rio+20 bulan Juni 2012 yang lalu menunjukan komitmen bangsa-bangsa di dunia untuk melakukan pembangunan

berparadigma ekonomi hijau.

Untuk mewujudkan hal itu, Indonesia perlu merubah pola pembangunan ekonominya dari mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi ke

pembangunan ekonomi yang mengoptimalisasikan pertumbuhan itu sendiri, karena pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan telah membawa dampak sosial pada masyarakat berupa kemiskinan,

ketimpangan ekonomi dan sosial, serta berdampak pada merosotnya kualitas lingkungan dan keanekaragaman hayati. Dengan demikian pembangunan Indonesia harus beralih dari pembangunan ekonomi yang mengejar pertumbuhan menjadi pembangunan yang mensinergikan pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan.

(18)

Daftar Pustaka

Akhmad Fauzi, Ekonomi Hijau untuk Bumi, Artikel pada Surat Kabar Harian KOMPAS, Jakarta, 7 Juli 2012

Cato, M.S., Green Economics: An Introduction to Theory, Policy and Practice, earthscan, London, 2009, dalam Sudarsono Soedomo, Ekonomi Hijau: Pendekatan Sosial, Kultural dan Teknologi, makalah pada Diskusi “Konsep Ekonomi Hijau/Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan untuk Indonesia, Jakarta 14 Juli 2010

Chay Asdak, Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Jalan Menuju Pembangunan Berkelanjutan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2012

Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan dalam Rangka Pengelolaan (termasuk Perlindungan) Sumber Daya Alam berbasis Pembangunan Sosial Ekonomi, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003

---, Fungsi dan Peran Asuransi dalam Perlindungan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Makalah pada Seminar Nasional “Peran Asuransi

Lingkungan dalam Pemberian Ganti Kerugian bagi Masyarakat dan Pemulihan Lingkungan, Fakultas Hukum Unpad, Bandung 13 September 2012

Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian, Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Lahan, Jakarta, 2005

Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Penerbit KOMPAS, Jakarta, 2010

Hariadi Kartodihaedjo dan Hira Jhamtani (penyunting), Politik Lingkungan dan kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing Indonesia-Ford Foundation, Jakarta, 2006

Hasim Purba, Reformasi Agraria dan Tanah untuk Rakyat: Sengketa Petani vs Perkebunan, artikel pada Jurnal Law Review, Volume X, No. 2 November 2010

(19)

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 2006

Laksmi Dhewanthi, Kebijakan Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup: Asuransi bagi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Makalah pada Seminar Nasional “Peran Asuransi Lingkungan dalam Pemberian Ganti Kerugian bagi Masyarakat dan Pemulihan Lingkungan, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 13 September 2012

Makmun, Green Economy: Konsep, Implementasi dan Peranan Kementerian Keuangan, Artikel dalam Jurnal “Ekonomi dan Pembangunan”, LIPI, volume XIX (2) 2011

Maria Sumardjono, Transnasional Justice atas Hak Sumber Daya Alam, tulisan dalam buku Himpunan tulisan Komnas HAM: Keadilan dalam Masa Transisi, Komnas HAM-Jakarta, 2001

Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan antar Konsep dan Realitas, Ceramah umum ulang tahun Otto Soemarwoto ke-80 di Universitas Padjadjaran, Bandung, 20 Februari 2006

Towards Green Economy, www.unep.org/wed/greeneconomy, , diunduh 3 Juni 2012

Sonny Mumbunan, Ekonomi Hijau dan Pemerintahan Bersih,

www.perspektifbaru.com, diunduh 1 Juni 2012.

Velix Wanggai, Menuju Ekonomi Hijau, Artikel pada Jurnal Nasional, Jakarta, 28 Juni 2012

Referensi

Dokumen terkait

Metode wawancara digunakan peneliti untuk memperoleh data secara umum dan luas tentang hal-hal yang menonjol, penting dan menarik untuk diteliti lebih mendalam yaitu data

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 15 responden selama 30 hari yang menderita kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Buaran Kabupaten Pekalongan sebelum dilakukan

No Nama Perusahaan Kode Saham. 37 Bentoel International

Model pembelajaran experiential learning yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran yang menekankan pada proses pembangunan pengetahuan lewat

Walaupun demikian untuk memperoleh gambaran intensitas curah hujan di DAS Citarik dilakukan berdasarkan penyelidikan Van Breen di Indonesia (Joyce dan Wanny,--) yaitu

Secara umum informasi dapat didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya yang

Konsumen yang memiliki citra yang positif terhadap suatu merek, akan lebih. memungkinkan untuk

a) Pilihlah sayuran daun yang bentuk daunnya utuh b) Pilihlah yang warna merah marunnya merata c) Tidak ada bagian yang rusak / busuk karena mikroba. Sifat dan karakteristik selada