• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berpuasa Seperti Rasulullah Shalalahu Alaihi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Berpuasa Seperti Rasulullah Shalalahu Alaihi"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

FIKIH PUASA

PRAKTIS

Berpuasa Seperti Rasulullah

Shalalahu Alaihi

(2)

Kata Pengantar

“Islam dibangun atas lima perkara; kesaksian tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah, menegakan sholat, menunaikan zakat, dan naik haji ke baitul haram, serta puasa Ramadhan.”1

Ramadhan memang istimewa bagi kaum Muslim. Pasalnya, Allah SWT telah memenuhi bulan itu dengan keberkahan, rahmat, dan ampunan yang melimpah ruah. Sayangnya, kesempatan emas itu justru disia-siakan oleh sebagian besar kaum Muslim. Mereka melewatkan bulan Ramadhan seperti tahun-tahun sebelumnya; yakni, mengisi bulan Ramadhan dengan kegiatan-kegiatan mubadzir dan sia-sia.

Semua ini disebabkan karena, banyak kaum Muslim yang belum memahami makna hakiki dari Ramadhan, bahkan, sebagian besar diantara mereka awam terhadap hukum-hukum seputar puasa dan bulan Ramadhan. Akhirnya, mereka melalui bulan Ramadhan dengan amalan-amalan yang tidak memberikan pengaruh berarti bagi kehidupan mereka.

Untuk itu, harus ada buku panduan praktis yang bisa memandu mereka untuk memahami semua hal yang berhubungan dengan ibadah di bulan Ramadhan. Ini ditujukan agar kita bisa melewati bulan Ramadhan dengan amalan-amalan berkualitas, bukan malah mengisi bulan Ramadhan dengan aktivitas-aktivitas yang sia-sia dan tidak memberikan pengaruh apapun bagi kehidupan kita. Betapa Rasulullah Saw telah menyindir orang-orang yang melalaikan ibadah di bulan Ramadhan. Di dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Saw bersabda, “Alangkah kecewanya orang yang sejak tiba bulan Ramadhan hingga habis bulan tidak diberi ampunan.”

Sesungguhnya, orang yang menyia-nyiakan bulan Ramadhan, pasti akan menuai penyesalan. Sebab, ia telah melalaikan ibadah di bulan Ramadhan. Akibatnya, puasanya hampa belaka, dan hanya sekedar memperoleh haus dan dahaga.2 Ia juga tidak pernah mendapat keberkahan, rahmat dan ampunan dari Allah SWT.

Lalu, apa yang mesti kita perbuat untuk menyambut bulan Ramadhan tahun ini? Apakah bulan Ramadhan terus kita lewati dengan permainan-permainan yang melalaikan; dengan begadang setiap malam; ataukah kita malah kesal dan keberatan dengan kedatangannya? Na’udzubillah min dzalik!

Seyogyanya, seorang hamba yang shalih harus menyambut bulan Ramadhan dengan taubat nashûhâ, dan disertai tekad yang bulat untuk meraih kebaikan sebanyak-banyaknya di bulan suci ini. Sudah semestinya pula kita mengisi bulan Ramadhan dengan amal-amal shalih; dan tidak lupa selalu memohon kepada Allah SWT agar Dia menolong kita dalam menunaikan ibadah dengan baik.

Demikianlah, risalah ini saya sajikan dengan penuh rasa rindu, disertai penghormatan yang tulus, tercurah dari lubuk hati paling dalam, serta sebagai wujud kecintaan penulis kepada seluruh kaum

1

HR. Bukhâri 1/47, dan Muslim 16, dari Ibn Umar ra.

2HR. Ibn Mâjah 1/539; ad-Darimi 2/211; Ahmad 2/441, 373; al-Baihaqi 4/270; dari jalan Said al-Muqbiri dari Abu

(3)

Muslim karena Allah SWT. Akhirnya, semoga risalah ini bisa menjadi masukan bagi kita semua untuk semakin memantapkan tekad dan semangat untuk beribadah sebanyak-banyaknya selama bulan Ramadhan. Marilah kita membulatkan niat kita untuk menjalankan puasa di bulan Ramadhan ini semaksimal mungkin. Sebab, belum tentu tahun depan kita bisa menjumpai bulan yang penuh berkah ini.

Akhirnya, penulis memohon kepada Allah, semoga kita semua dipertemukan olehNya di dalam Surga yang penuh kemuliaan dan rahmat. Penulis juga berharap agar saudara dan saudariku sekalian sudi kiranya menerima risalah ini dengan lapang dada dan ikhlash. Penulis juga mengharapkan nasihat dari ikhwan wa akhwat. Semoga Allah memelihara kita semua, dan memudahkan urusan kita. Wallahu muwaffiq ila aqwamith tharîq.

(4)

Daftar Isi

Kata Pengantar ...2

Daftar Isi ...4

BAB I - RAMADHAN, MENUJU KESATUAN UMMAT ISLAM...8

Persatuan dan Kesatuan Umat Islam dari Masa ke Masa ...9

Wajib Mengembalikan Kesatuan Umat ...12

Bersatu dalam Naungan Daulah Khilafah Islamiyyah...13

Dalil Al-Qur’an ...13

BAB II - RAMADHAN: MOMENTUM MENANGGULANGI KEMISKINAN ...22

Mendorong Ukhuwah Islamiyyah...22

Membelanjakan Harta di Jalan Allah...24

Koreksi Kebijakan Pemerintah ...26

BAB III - KHUTHBAH RASULULLAH SAW ...28

BAB IV - PERSIAPAN MENYAMBUT BULAN RAMADHAN...32

Persiapan Nafsiyah (Kejiwaan)...32

Persiapan Fikriyah (Ilmu) ...32

Persiapan Jasadiyah (Fisik)...33

Persiapan Materi ...33

Persiapan Ramadhan Untuk Anak Kita ...33

Mengenalkan Ramadhan Lewat Cerita ...34

Membangun Suasana yang Kondusif...34

Persiapan Fisik ...35

Mengajak Anak Untuk Bersahur Bersama...35

Nilai Plus Puasa Bagi Anak ...35

BAB V - TARGHIB PUASA RAMADHAN...37

Pengampunan Dosa...37

Dikabulkannya Do’a dan Pembebasan Api Neraka...37

Orang yang Puasa Termasuk Shidiqin dan Syuhada ...38

BAB VI - PENETEPAN AWAL AKHIR RAMADHAN DAN PERSATUAN UMMAT ISLAM...39

Islam dan Tradisi Diskusi ...39

Melihat Perbedaan...40

Hisab dan Ru’yat...42

Kritik atas Mathla’ ...45

Bagaimana Bila Ru’yat Bertentangan dengan Hisab? ...50

Pendapat yang Rajih...52

BAB VII - HUKUM SEPUTAR PUASA...54

Definisi Puasa ...54

(5)

a. Niat ...54

b. Menahan Diri Dari Hal-Hal yang Membatalkan Puasa ...55

Syarat Wajib Puasa ...56

a. Islam ...56

b. Baligh ...56

c. Berakal ...57

d. Suci dari haid dan nifas (bagi wanita)...57

e. Muqim, dan tidak sedang safar ...57

f. Sanggup berpuasa ...57

Syarat Sah Puasa ...58

Puasa Ramadhan Bagi Wanita Hamil dan Menyusui ...58

Pendapat yang Rajih...60

Mendiskusikan Dalil-Dalilnya ...60

Jawaban atas Beberapa Sanggahan ...61

Ancaman Bagi Orang yang Meninggalkan Puasa...63

Cara Mengqadha’ Puasa...64

Waktu Mengqadha’ Puasa ...64

Membayar Fidyah ...65

Adab Berbuka Puasa ...67

a. Menyegerakan Berbuka...67

b. Berbuka Sebelum Sholat Maghrib ...68

c. Berbuka dengan Korma dan Air...68

d. Doa yang Diucapkan Ketika Berbuka...68

e. Memberi Makan Orang yang Puasa ...69

Hikmah Makan Sahur ...70

Kriteria Miskin yang Berhak Mendapatkan Zakat...75

BAB VIII - MENGGAPAI TAQWA DENGAN PUASA ...77

BAB IX - RAMADHAN: BULAN MENSUCIKAN DIRI...80

Kekeliruan Memahami Tazkiyatu an-Nafs ...80

Taubah yang Hakiki dan Ketakwaan yang Total ...85

Kehidupan Ramadhan dan Pasca Ramadhan di Masa Rassulullah Saw dan Para Sahabat ...86

BAB X - AL-QUR’AN SEBAGAI PETUNJUK DAN SUMBER HUKUM ...87

Al-Qur’an Sebagai Manhajul Hayah (Metode Hidup)...89

(6)

BAB XI - JIHAD DI BULAN RAMADHAN...94

Pembukaan Kota Makkah dan Pemusnahan Patung Berhala...98

Penaklukan Sepanyol ...98

Kemenangan Melawan Tentara Salib ...98

Kemenangan Atas Tentara Mongol ...98

Umat Islam Saat Ini...99

BAB XII - TUNTUNAN PRAKTIS AMALAN HARIAN DI BULAN RAMADHAN ...100

BAB XIII - TADARRUS AL-QUR’AN ...101

BAB XIV - URGENSI TSAQÂFAH ISLAMIYYAH ...104

Ruang Lingkup Ilmu-Ilmu Islam ...105

Strategi Tafaqquh Fiddin ...105

BAB XV - SHOLAT TARWIH...108

Anjuran Melaksanakan Qiyam dan Tarwih di Bulan Ramadhan ...109

Sholat Tarwih Secara Berjamaah...109

I’tikafnya Wanita dan Kunjungannya ke Masjid ...116

BAB XVII - LAILATUL QADAR...118

Keistimewaan Lailatul Qadar...118

Waktu Datangnya Lailatul Qadar ...120

Tanda-Tanda Lailatul Qadar ...121

Langkah-Langkah Mengoptimalkan Ibadah di Malam Lailatul Qadar ...122

BAB XVIII - IEDUL FITHRI ...125

Memaknai Kebahagiaan Iedul Fithri...125

Menjadikan Lebaran Lebih Bermakna...126

Waktu Pelaksanaan Sholat Ied...128

Sahkah Sholat Ied Fithri Dikerjakan Dua Kali dan Tidak Pada Waktunya? ...129

Mengerjakan Sholat Dua Kali...129

Hukum Sholat Jum’at pada Hari Raya Iedul Fithri...131

Pendapat yang Rajih...132

Keterangan Hukum Pertama ...132

Keterangan Hukum Kedua...133

Keterangan Hukum Ketiga...134

(7)

BAB XIX - KUMPULAN KHUTHBAH IEDUL FITHRI ...135

Khuthbah 1: Kembali pada Fitrah, Kembali pada Syari’ah Kunci Kemenangan Umat Islam ...135

Khuthbah 2: Meraih Kemenangan Iedul Fithri Dengan Taubat ...141

(8)

BAB I - RAMADHAN, MENUJU KESATUAN UMMAT ISLAM

Sesungguhnya, ibadah shiyam di bulan Ramadhan merupakan salah satu syiar yang bisa dijadikan momentum untuk menyatukan kaum Muslim, sekaligus mengingatkan mereka, bahwa Rabb mereka adalah umat yang satu, agama mereka pun satu, kiblat mereka sama, dan tujuan mereka juga satu. Lebih dari itu, Ramadhan juga bisa dijadikan tonggak untuk mengokohkan kedudukan mereka sebagai ummat wahidah yang berbeda dengan ummat manusia lainnya. Puasa Ramadhan seharusnya juga mengingatkan mereka, bahwa ummat Islam tidak boleh hidup dalam keterpecahbelahan; dimana sekarang ini kaum Muslim terpecah belah menjadi lebih dari lima puluh negara boneka yang sangat lemah dan kerdil. Puasa Ramadhan mestinya juga mengingatkan, bahwa kita tidak boleh hidup tanpa Khilafah yang akan menyatukan mereka serta tidak boleh terus menerus hidup tanpa penerapan syari’at Islam yang menjadikan mereka mulia dan bahagia.

Seperti bulan-bulan Ramadhan sebelumnya, datangnya bulan Ramadhan tahun ini, harusnya dijadikan ajang bagi kaum Muslim untuk melakukan koreksi (muhasabah) dan pengkajian. Benar, kita harus mengoreksi diri kita sendiri, sebelum dihisab oleh Allah SWT. Apa andil yang sudah kita berikan kepada Islam hingga saat ini? Apakah kita telah berupaya menghidupkan hukum-hukum Islam yang telah hilang? Apakah kita juga sudah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mematikan bid’ah dan menghidupkan Sunnah? Apakah kita telah melakukan amar ma’ruf nahi munkar? Apakah kita sudah turut mengemban dakwah Islam serta bergabung dalam aktivitas untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah? Ataukah kita malah ridha dengan kondisi sekarang ini dan justru melakukan aktivitas sebaliknya? Dan apakah kita hanya berdiam diri dari aktivitas untuk menerapkan syari’at Islam dan rela hidup dibawah syari’at (hukum) kufur?

Bila kita amati dengan seksama, kita akan mendapatkan kenyataan, bahwa ummat Islam saat ini terus ditekan dan didzalimi lebih keras lagi dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Namun, pada saat yang sama, ummat juga merasa, bahwa tidak ada yang dapat melepaskan dirinya dari keburukan yang menimpa mereka selain Allah SWT. Ummat juga merasakan, semua pihak kini telah mengerumuni dan dengan rakus merobek dan memakan dagingnya. Keadaan semacam ini telah diuraikan dan disinggung oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya, “Kelak, bangsa-bangsa lain akan memperebutkan kalian, sebagaimana (mereka) memperebutkan makanan untuk meremukannya.” [HR. Abû Dâwud,

dari ats-Tsauban].

(9)

Persatuan dan Kesatuan Umat Islam dari Masa ke Masa

Persatuan umat Islam mulai tampak secara kongkrit sejak berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah. Pada saat itu, Rasulullah Saw berkedudukan sebagai kepala negara (ra’isu ad-daulah), hakim (qadhi), dan sekaligus panglima angkatan bersenjata (qa’idul jaisy). Di kota Madinah Rasulullah Saw membangun persatuan umat atas dasar ukhuwah Islamiyah yang berasaskan ‘aqidah Islamiyah, sesuai firman Allah SWT:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara…” (Qs. al-Hujarât [49]: 10).

Setelah itu, golongan Anshar —terdiri dari qabilah Aus dan Khazraj— dan golongan Muhajirin yang terdiri dari orang-orang Quraisy bersatu dan bersaudara di bawah naungan '‘aqidah Islam. Bahkan ada beberapa shahabat Rasulullah Saw yang berada di luar golongan-golongan tersebut, seperti Bilal Habsyi dari Habasyah (sekarang Ethiopia), Shuhaib ar-Rumi dari Romawi (Eropa), dan Salman al-Farisi dari Persia (Iran). Mereka semua adalah bersaudara satu sama lain, sebagaimana Rasulullah Saw juga telah mempersaudarakan sesama kaum Muslim atas dasar Islam. Beliau Saw pernah mencanangkan proyek “muakhkha” (penyaudaraan). Beliau menyaudarakan dirinya dengan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib bersaudara dengan maulanya Zaid. Abu Bakar ash-Shiddiq disaudarakan dengan Kharijah bin Zaid. Umar bin Khaththab disaudarakan dengan Uthban bin Malik Khazraji. Thalhah bin Ubaidilah disaudarakan dengan Abu Ayyub al-Anshori; dan Abdurrahman bin Auf disaudarakan dengan Sa’ad bin ar-Rabi’.3 Ukhuwah ini benar-benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari tatkala mereka saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing dalam berdagang, bertani, dan yang lainnya.

Eksistensi persatuan umat Islam semakin ditegaskan di dalam Piagam Madinah (Watsiqah Madinah) yang mengatur interaksi sesama kaum Muslim maupun antar kaum Muslim dengan non-muslim (Yahudi) di Madinah. Dengan perjanjian ini, Rasulullah Saw bermaksud membangun masyarakat Islam berdasarkan asas yang tetap dan kokoh, yaitu ‘aqidah Islamiyah. Dalam kitab-kitab sirah dan hadits disebutkan antara lain teks piagam tersebut:

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Nabi Saw antara orang-orang mu’min dan muslim dari golongan Quraisy dan Yatsrib…: “Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu (ummah wahidah), yang berbeda dengan orang-orang lain…”4

Dari teks di atas terlihat dengan jelas, bahwa umat Islam merupakan satu kesatuan. Namun tidak berarti bahwa negara Islam hanya akan dihuni oleh warga negara yang beragama Islam saja. Orang-orang kafir pun dapat menjadi warga negara Daulah Islamiyyah. DI dalam Piagam Madinah itu juga diatur interaksi golongan Yahudi dengan kaum Muslim.

Setelah wafatnya Rasulullah Saw, persatuan dan kesatuan umat tetap terjaga, setelah para shahabat berkonsensus untuk membai’at seorang Khalifah saja sebagai kepala negara. Secara global dapat dikatakan, bahwa kewajiban mengangkat seorang Khalifah ini tetap dilaksanakan oleh kaum Muslim

3 Lihat as-Sirah an-Nabawiyah, jld. 2, hal. 123-126, karya Ibn Hisyam dan as-Sirah al-Halabiyah, jld. 2, hal. 292-293. 4

(10)

sepanjang sejarah hingga tahun 1342 H (1924 M), yakni, tatkala kaum kafir penjajah berhasil meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah dan memenggal-menggal Dunia Islam menjadi negara-negara kerdil yang lemah.5

Memang, dalam sejarah Islam ada fenomena yang menunjukkan seolah-olah kaum Muslim pernah tidak bersatu di bawah satu negara. Sebenarnya tidak demikian. Perlu dipahami, para Khalifah terdahulu umumnya tidak mengadopsi (mentabanni) hukum-hukum tertentu mengenai sistem pemerintahan, meskipun mereka mengadopsi hukum-hukum tertentu dalam bidang perekonomian dan bidang lainnya. Hal ini mengakibatkan sebagian Khalifah dan Wali mendapatkan kesempatan untuk menjalankan roda pemerintahan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kesatuan dan kekuatan negara, meskipun tidak sampai mempengaruhi keberadaan negara Islam. Para Wali pada saat itu diberi kekuasaan umum (al-wilâyah al-‘âmmah) dan otoritas yang luas sebagai wakil dari Khalifah. Hal ini menyebabkan munculnya keinginan dan hasrat memimpin dalam diri mereka, sehingga mereka bertindak seperti orang yang terpisah atau tidak memiliki hubungan dengan Khalifah di pusat. Para Wali itu hanya mencukupkan diri dengan membai’at Khalifah, mendoakannya di mimbar-mimbar masjid pada saat sholat Jum’at atau hari-hari raya, mencetak mata uang atas nama Khalifah, dan hal-hal formalitas lainnya. Sementara itu, urusan pemerintahan secara riil ada di tangan mereka. Kenyataan ini menyebabkan wilayah-wilayah ini menjadi seperti negara-negara yang berdiri sendiri, yang sebenarnya tidaklah demikian. Inilah yang dapat menerangkan keberadaan kekuasaan Hamdaniyyin, Saljuqiyyin, dan yang lainnya, yang terkadang dipahami —secara kurang tepat— oleh sebagian penulis sejarah sebagai negara-negara Islam yang independen.6

Sesungguhnya, kekuasaan umum (al-wilâyah al-‘âmmah) tidak berpengaruh terhadap kesatuan negara. Hal ini pernah terjadi pada shahabat Amr bin al-‘Ash yang memiliki wilayah kekuasaan umum di Mesir, atau Mu’awiyah bin Abi Sofyan yang juga memiliki kekuasaan umum di Syam. Meskipun demikian, pada saat itu mereka —sebagai seorang wali— tidak berdiri sendiri atau memisahkan diri dari Khalifah sedikit pun. Kesatuan negara tetap terjaga karena kuatnya kepemimpinan para Khalifah.

Tetapi tatkala kepemimpinan para Khalifah lemah dan para Wali membiarkan hal ini, muncullah penampakan adanya negara di wilayah-wilayah kekhilafahan Islam. Padahal, sesungguhnya wilayah ini masih berada di bawah teritorial Khilafah dan menjadi bagian integral darinya. Negara Khilafah tetap merupakan satu kesatuan dan tidak pernah berubah menjadi semacam “federasi wilayah”. Sebab, Khalifahlah yang mengangkat dan memberhentikan para Wali. Mereka tidak berani untuk tidak mengakui kepemimpinan Khalifah, bagaimana pun kuatnya kepemimpinan mereka.

Dengan demikian, negara Khilafah tetap merupakan satu kesatuan utuh yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Dialah yang memegang segala kewenangan kenegaraan di setiap bagian teritori negara, di pusat (ibu kota), di berbagai wilayah, kota, dan desa.7

Adapun peristiwa sejarah yang menunjukkan adanya Khilafah di Andalusia dan munculnya Khilafah golongan Fathimiyin di Mesir, dimensinya berbeda dengan dimensi menonjolnya kekuatan wilayah

5

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyyah, cet 2, hal. 100.

6Idem, hal. 103; Dr. Abdul Halim ‘Uwais, Dirasah li Suquthi Tsalatsina ad-Daulah al-Islamiyyah. 7

(11)

seperti telah diterangkan. Saat itu Andalusia telah dikuasai oleh para Wali yang melepaskan diri dari pusat Khilafah. Namun demikian, Wali yang ada di sana tidak dibai’at sebagai Khalifah untuk kaum Muslim, tetapi —seperti disebut-sebut kemudian— sebagai Khalifah untuk penduduk Andalusia saja, bukan untuk seluruh kaum Muslim. Wilayah Andalusia menganggap dirinya sebagai wilayah yang tidak masuk dalam teritori Khilafah, mirip dengan kondisi yang ada di Iran pada masa Daulah Utsmaniyah. Dengan demikian, Khalifah bagi seluruh kaum Muslim tetap satu dan tetap memegang kekuasaan umum bagi mereka. Dengan kata lain, di Andalusia sebenarnya tidak muncul Khalifah kedua. Yang terjadi adalah munculnya satu wilayah yang tidak masuk dalam teritorial Khilafah.

Sedangkan munculnya Khilafah golongan Fathimiyin di Mesir, sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai Khilafah kedua dalam tubuh umat Islam. Fakta yang terjadi saat itu, adalah adanya upaya untuk memindahkan kekuasaan Khilafah kepada Ahlul Bait, sesuai dengan pemahaman Islami yang mereka adopsi, bahwa Khilafah harus dipegang oleh Ahlul Bait. Peristiwa ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh golongan ‘Abbasiyin tatkala mereka mengambil kekuasaan dari golongan Umawiyin. Seperti diketahui, golongan ‘Abbasiyin telah membangun pengaruh mereka di Persia dan Irak, lalu membai’at Khalifah dan meruntuhkan Khilafah Umawiyin. Demikian pula halnya dengan Khilafah Fathimiyin. Mereka membai’at seorang Khalifah untuk memindahkan kekuasaan Khilafah kepada golongan mereka saja (ahlul bait) hingga waktu tertentu saat berakhirnya kekuasaan mereka. Sementara itu, Khilafahan Abbasiyin masih tetap ada dan terus bertahan. Oleh karena itu, berdirinya kekuasaan pemerintahan Fathimiyin di Mesir bukan merupakan Khilafah kedua di tubuh umat (setelah adanya Khilafah Abbasiyin di Baghdad), melainkan hanya upaya untuk memindahkan kekuasaan Khilafah dari satu golongan ke golongan lain.8

Jelaslah, negara Islam (Khilafah) dalam sejarahnya tetap merupakan satu kesatuan, tak pernah terpecah-belah menjadi beberapa negara. Yang terjadi adalah usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan sesuai dengan persepsi Islami tertentu mengenai pemerintahan, kemudian usaha ini berakhir; sementara itu Khilafah yang sah terus eksis dan tetap satu. Di antara bukti yang menunjukkan bahwa Khilafah merupakan satu kesatuan, adalah adanya keleluasaan berpindah dan bepergian bagi kaum Muslim dari satu negeri ke negeri Islam lain. Seorang Muslim yang bepergian melintasi beberapa negeri Islam tak pernah ditanya dari mana asalnya seperti orang asing, atau dimintai izin pindah dan izin tinggal. Sebab, negeri-negeri Islam adalah satu, di bawah Khilafah Islamiyah yang satu.

Kondisi seperti ini tetap berlangsung di sepanjang sejarah Islam, hingga akhirnya kaum penjajah kafir berhasil menghancurkan Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924 M melalui agennya Musthofa Kamal Attaturk yang murtad. Sejak itu nasib kaum Muslim menjadi terpuruk hingga taraf yang terendah, terlunta-lunta, ternista, dan terhina dalam belenggu ide nasionalisme dan patriotisme. Ide ini (nasionalisme dan patriotisme) sengaja disebarluaskan oleh imperialis Barat sebagai racun untuk membunuh hasrat bersatu kaum Muslim sebagai umat Islam yang satu. Lebih dari itu, ide ini juga dijadikan alat untuk melestarikan perpecahan umat Islam, agar kaum Muslim terus dijajah, dieksploitir, dan dikendalikan oleh imperialis Barat yang kafir.

(12)

Wajib Mengembalikan Kesatuan Umat

Sesungguhnya, dalam lintasan sejarahnya, umat Islam selalu hidup dalam satu kesatuan, yakni hidup dalam satu institusi, satu negara, di bawah kepemimpinan seorang pemimpin (Khalifah/Imam).

Hal tersebut merupakan suatu kewajiban atas kaum Muslim —sebagaimana kewajiban sholat, shaum, dan jihad— sesuai firman Allah SWT:

“Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…” (Qs. Ali-‘Imran [3]: 103).

Rasulullah Saw dalam masalah ini bersabda:

“Barangsiapa mendatangi kalian —sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah)— dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia!” [HR. Muslim].

“Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR. Muslim].

“Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].

Dalil-dalil di atas menegaskan adanya kewajiban bersatu bagi kaum Muslim atas dasar Islam (hablullah), bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya. Nash-nash di atas juga mewajibkan kaum Muslim untuk hidup di bawah satu kepemimpinan, yaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah dan bercerai-berai. Barangsiapa yang berupaya untuk memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, maka sanksi syar’i baginya adalah jelas dan tegas: hukuman mati!

Di samping al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijma’ Shahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berkata, “Tidak halal kaum

Muslim mempunyai dua pemimpin (Imam).” Perkataan ini didengar oleh para shahabat dan tidak satupun dari mereka yang mengingkari. Oleh karena itu, hal ini telah menjadi ijma’ (konsensus) di kalangan mereka.

Bahkan sebagian fuqaha menggunakan Qiyas —sumber hukum keempat— untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam al-Juwaini berkata, “Para ulama kami (madzhab Syafi’i) tidak membenarkan

akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!”

(13)

menjadi suaminya. Dengan kata lain, Imam/Khalifah untuk kaum Muslim wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki.9

Dari sini dapat dipahami, bahwa kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah adalah satu kewajiban syar’i yang harus segera diwujudkan. Jika mereka lalai mewujudkannya, mereka akan memikul dosa besar di hadapan Allah kelak di Hari Kiamat nanti. Kaum Muslim wajib berjuang demi terwujudnya kesatuan umat di bawah naungan negara Khilafah, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah umat Islam tempo dulu. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila para imam-imam madzhab

⎯Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad⎯ bersepakat bulat bahwa kaum Muslim di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah saja. Syaikh Abu Bakar al-Jaziri menyatakan, “Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad)

rahimahumullah bersepakat pula bahwa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat maupun tidak.”10

Dengan berjuang secara ikhlas dan bersungguh-sungguh, InsyaAllah, cita-cita ini akan tercapai, sesuai janji Allah SWT:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa…” (Qs. an-Nûr [24]: 55).

Bersatu dalam Naungan Daulah Khilafah Islamiyyah

Secara ringkas, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani mendefinisikan Daulah Khilafah dengan,

“kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.”11

Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya. Adapun dalil yang menunjukkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah sebagai berikut.

Dalil Al-Qur’an

Di dalam Qur’an memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:

9

Syaikh Dr. Muhammad Khair Haekal, Wahdatul Muslim fi asy-Syai’ah al-Islamiyyah, majalah al-Wa’ie, hal. 6-13,

no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Juli 1998 M.

10Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld. 5, hal. 416. 11

(14)

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada RasulNya dan ulil amri di antara kalian.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 59).

Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, yaitu al-Hâkim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha’, berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu. Sebab, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya hanya berhukum mandub saja. Oleh karena itu, mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab, adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajiban menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri akan menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Walhasil, mewujudkan ulil amri itu adalah wajib. Sebab, jika tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyî’ al-hukm asy-syar’i).

Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah Saw untuk mengatur urusan kaum Muslim berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:

“Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 48).

“Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 49).

Dalam kaidah ushul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini, tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah Saw. Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Adapun yang dimaksud dengan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as-sulthan). Sebab, dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, yaitu negara Khilafah.

Dalil As-Sunnah

(15)

Nabi Saw mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadits ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap Muslim. Sebab, bai’at baru ada di leher kaum Muslim kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah. Rasulullah Saw bersabda:

“Bahwasanya Imam itu bagaikan perisa (tameng), dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung.” [HR. Muslim].

“Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak.” Para shahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka.” [HR. Muslim].

“Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Muslim].

Hadits pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah Saw bahwa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahwa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum Muslim. Pernyataan Rasulullah Saw bahwa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faidah-faidah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan RasulNya, apabila mengandung celaan (adz-dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at-tarki). Apabila perintah itu mengandung pujian (al-mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al-fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu berarti bersifat pasti (fardhu). Oleh karena itu, hadits pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya menegakkan Khilafah. Sebab, tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.

Hadits ketiga menjelaskan keharaman kaum Muslim keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as-sulthan). Ini juga menunjukkan, bahwa keberadaan Khilafah adalah wajib. Sebab, seandainya hal ini tidak wajib, Nabi Saw tidak mungkin sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Semua ini menegaskan bahwa mendirikan pemerintahan bagi kaum Muslim hukumnya adalah wajib.

(16)

Dalam hadits ini Rasululah Saw telah memerintahkan kaum Muslim untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum Muslim, yaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, niscaya tidak mungkin Nabi Saw memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, yaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.

Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil as-Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya menegakkan Khalifah bagi kaum Muslim.

Dalil Ijma’ Shahabat

Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Shahabat menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah Saw hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridhwanullah ‘alaihim.

Ijma’ Shahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah. Hal ini tampak jelas saat mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah Saw dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu keharusan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah melakukan kesibukan lain sebelum jenazah sempurna dikebumikan. Namun, para shahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah Saw, sebagian di antaranya, justru lebih mendahulukan upaya-upaya untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sebagian shahabat lain juga mendiamkan shahabat yang menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah tersebut; bahkan mereka juga menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi Saw sampai dua malam. Padahal, mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.

Sejarah juga menunjukkan, bahwa seluruh shahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai wajibnya mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah Saw maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu, Ijma’ Shahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.

Penerapan Kaidah Syar’iyah

Ditilik dari analisis ushul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam ushul fiqh dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama, Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fa huwa wâjib (Jika

(17)

Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara itu, hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Oleh karena itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.

Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam di atas telah menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajiban dari Allah SWT atas seluruh kaum Muslim.

Pendapat Para Ulama

Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitabnya mengatakan, “Menegakkan khilafah Islamiyyah

berhukum fardlu kifayah atas kaum muslim di seluruh dunia Islam…Menegakkan khilafah tak ubahnya dengan kewajiban-kewajiban lain yang difardlukan oleh Allah SWT…mengabaikan kewajiban ini adalah kemaksiyatan terbesar yang akan diganjar dengan adzab yang sangat pedih…”12

Seluruh imam madzhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya,

“Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) —rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya…”13

Tak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah ⎯termasuk Khawarij dan Mu’tazilah⎯ tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nash-nash syara’ yang telah jelas.

Imam asy-Syaukani menyatakan, “Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah,

(Khilafah) adalah wajib menurut syara’.”14

Ibn Hazm mengatakan, “Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syi’ah, dan

seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah).”15

Imam Abu Ya’la Muhammad al-Husain al-Firai al-Hanbali menyatakan, “Mengangkat khalifah

merupakan kewajiban.”16

Imam Ahmad berkata, “Akan ada fitnah yang sangat besar jika tidak ada imam yang mengurusi

urusan masyarakat.”17

12Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, jld. 2, hal. 15. 13Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld. 5, hal. 416. 14Nailul Authar, jld. 8, hal. 265.

(18)

Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah berkata, “Harus dipahami bahwa wilayat an-nâs (mengurus urusan

masyarakat –tertegaknya Khilafah Islamiyyah) merupakan kewajiban teragung diantara kewajiban-kewajiban agama yang lain, bahkan agama ini tidak akan tegak tanpa adanya khilafah Islamiyyah.”18

Imam al-Mawardi menyatakan, “Khilafah berkedudukan sebagai wakil nubuwwah…ia juga

bertugas menjaga agama dan kehidupan dunia…ia adalah sistem pemerintahan yang harus ditegakkan berdasarkan ijma’…mengangkat seorang khalifah hukumnya adalah wajib atas jama’ah al-Islamiyyah…”19

Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn berkata, “Kita tidak mungkin bisa menetapkan

sesuatu perkara ketika negara tidak lagi memiliki imam dan peradilan telah rusak…”20

Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib ⎯bukan haram apalagi bid’ah— dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah, Imam Ibn Mandzur,21 Imam al-Qalqasyandi,22 Imam az-Zamakhsyari,23 Imam Ibn Katsîr,24 Imam al-Baidhawi,25 Imam ath-Thabari,26 Ibn ‘Abd al-Barr,27 Imam al-Mawardi,28 Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah,29 Imam al-Ghazali,30 Ibn Khaldun,31 Imam al-Qurthubi,32 Ibn Hajar al-Haitsami,33 al-Hâfidz Ibn Hajar al-Asqalâni,34 Imam an-Nawawi,35 Prof. Dr. Dhiya’uddin ar-Rais,36 Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq,37 Syaikh Abdul Qadir Audah,38 Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi,39 Syaikh Sulaiman ad-Diji,40 Syaikh Muhammad Abduh,41 dan masih banyak lagi yang lainnya.

17

Imam Abu Ya’la, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hal. 19. Keterangan Imam Ahmad ini terdapat di dalam riwayat

Muhammad bin ‘Auf bin Sofyan al-Himashi.

18Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Maridh, hal. 375. 19

Abu al-A’lâ al-Maududi, al-Hukumah al-Islamiyyah, al-Mukhtâr al-Islami, cet-I, tahun 1977, diterjemahkan dalam

bahasa Arab oleh Ahmad Idris.

20 Lihat juga Syarhnya oleh

az-Zabidi, jld. 2, hal. 233.

21Lisân al-‘Arab, hal. 26.

22Mâtsirul al-Inafah fi Ma’âlim al-Khilafah, jld. 1, hal. 16. 23Tafsîr al-Kasysyâf, jld. 1, hal. 209.

24Tafsîr al-Qurân al-‘Adzim, jld 1, hal. 70. 25Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, hal. 602. 26Tharikhal-Umam wa al-Muluuk, jld. 3, hal. 277.

27Al-Isti’âb fi Ma’rifat ash-Ashhâb, jld. 3, hal. 1150 dan Târikh al-Khulafâ’, hal. 137-138. 28Al-Ahkam ash-Shulthaniyah, hal. 5.

29As-Siyasah Asy-Syar’iyah, hal. 161, Majmu’ al-Fatawa, jld. 28, hal. 62, dan Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah, jld.

1, hal. 137-138.

30Al-Iqtishâd fi al-I’tiqad, hal. 97. 31Al-Muqaddimah, hal. 167, 519.

32Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, jld. 1, hal. 264 33Ash-Shawa’iqul Muhriqah, hal. 17.

34Fath al-Bârî, jld. 13, hal. 176.

35Syarh Shahîh Muslim, jld. 12, hal. 205. 36Al-Islam wa al-Khilafah, hal. 99. 37Asy-Syura, hal. 26.

38Al-Islam wa Audha’una as-Siyasiyah, hal. 124. 39Qawaid Nizham al-Hukum fi al-Islam, hal. 248. 40Al-Imamah al-‘Uzhma, hal. 75.

(19)

Metode Mendirikan Khilafah

Dalam hal ini perlu ditegaskan 2 (dua) prinsip. Pertama, seluruh aktivitas kaum Muslim wajib bersandar kepada hukum syara’, bukan bersandar kepada selainnya, seperti kepentingan sesaat, hawa nafsu, atau akal. Karena itu, perjuangan umat untuk mendirikan Khilafah harus berdasarkan kepada hukum-hukum syara’, tidak boleh didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang non-syara’. Keterikatan kepada syari’at Islam adalah kewajiban tiap muslim. Kedua, umat Islam wajib mengambil suri teladan (uswah hasanah) dari Nabi Muhammad Saw dalam masalah ini. Sebab, Rasulullah Saw telah memberi teladan bagaimana cara mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Kita wajib meneladani manhaj (metode) Rasulullah Saw ini. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (Qs. al-Ahzab [33]: 21).

“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian’.” (Qs. Ali-‘Imran [3]: 31).

“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (Qs. al-Hasyr [59]: 7).

Atas dasar itu, langkah-langkah untuk mendirikan Khilafah Islam harus bersandar kepada 2 (dua) prinsip di atas. Adapun langkah-langkah untuk mendirikan Khilafah dapat disarikan sebagai berikut:

Pertama, perjuangan harus dilakukan secara jama’i (berkelompok). Sebab mendirikan Khilafah

adalah tugas yang berat yang tidak akan mampu dipikul oleh individu-individu. Karena itu, umat wajib berkelompok (berjama’ah) untuk mendirikan Khilafah. Sebab, tanpa berkelompok tak mungkin kewajiban mulia itu dapat terealisir secara sempurna. Kaidah syara’ menetapkan, Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fa huwa wâjib (Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya

sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya).

Selain itu, berdirinya jamaah yang menyeru kepada Islam dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar adalah wajib pula berdasarkan firman Allah SWT:

(20)

Dengan demikian, penegakan Khilafah tidak ditempuh melalui jalur selain politik. Jadi, mendirikan Khilafah paling tepat dilakukan oleh sebuah kelompok politik. Tidak tepat bila mendirikan Khilafah ditempuh melalui jalur selain politik, misalnya jalur yang dilakukan kelompok yang mengadakan kegiatan sosial-kemasyarakatan (seperti membangun sekolah dan rumah sakit; membantu fakir miskin, anak-anak yatim atau orang-orang jompo dan sebagainya), atau kelompok yang bergerak dalam peribadatan dan amalan-amalan sunnah, atau kelompok yang menerbitkan buku-buku keislaman, mentakhrij hadits-hadits Nabi Saw, dan sebagainya.

Memang, semua itu adalah amal shalih, bukan amal salah. Namun tidak tepat kalau itu dimaksudkan sebagai langkah atau jalur menuju berdirinya Khilafah.

Ketiga, perjuangan tidak menggunakan cara kekerasan (fisik), misalnya dengan membentuk

milisi-milisi bersenjata untuk menyerang penguasa. Sebab, aktivitas Rasulullah Saw di Makkah terbatas hanya pada dakwah secara lisan dan tidak melakukan kegiatan apapun yang bersifat fisik sampai beliau Hijrah. Bahkan tatkala tokoh-tokoh Madinah menawarkan kepada beliau pada Bai’atul Aqabah II agar mereka diizinkan memerangi penduduk Mina dengan pedang, Rasulullah Saw menjawab, “lam nu’mar bi dzalika ba’du (Kami belum diperintahkan [untuk melakukan yang demikian( perang)]).”

Kekuatan fisik yang dimaksud dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan Jihad. Jihad tetap berlangsung terus hingga hari Kiamat. Apabila musuh-musuh kafir menyerang salah satu negeri Islam, maka wajib atas kaum Muslim yang menjadi penduduk negeri itu untuk menghadapinya.

Keempat, perjuangan harus menempuh tahap-tahap (marhalah) yang dicontohkan Rasulullah Saw.

Dengan mendalami sirah Rasulullah Saw di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan suatu Daulah Islam di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan jelas tujuan-tujuannya. Dari sirah Rasulullah Saw inilah kita mengambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini. Berdasarkan sirah Rasulullah Saw tersebut, kita dapati terdapat 3 (tiga) tahapan (marhalah) berikut: Pertama, Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (marhalah at-tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran Islam dalam rangka pembentukan kerangka tubuh jama’ah/kelompok. Kedua, Tahapan Berinteraksi dengan Umat (marhalah tafa’ul ma’a al-ummah), yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Ketiga, Tahapan Pengambilalihan Kekuasaan (marhalah Istilâm al-hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

(21)

mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Makkah), yang pada akhirnya secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam.

Adapun tahap kedua, dilaksanakan Rasulullah Saw setelah turunnya firman Allah SWT:

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpa linglah dari orang-orang yang musyrik.” (Qs. al-Hijr [15]: 94).

Rasulullah Saw diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, ‘aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.

Beliau menyerang dan mencela setiap ‘aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat al-Qur’an masih turun secara berangsur-angsur. Ayat al-Qur’an tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat al-Qur’an turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.

Sedangkan tahap ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan, ditempuh dengan cara melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah Rasulullah Saw, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang dengan peristiwa Bai’at Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah Saw sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah Saw setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.

(22)

BAB II - RAMADHAN: MOMENTUM MENANGGULANGI

KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan salah satu momok dalam kehidupan umat manusia. Benar, ia benar-benar menjadi momok menakutkan, tidak hanya bagi negara-negara berkembang dan negara-negara miskin, tetapi juga bagi negara-negara maju.

Kemiskinan dapat digolongkan dalam tiga kategori; kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan natural. Kemiskinan struktural disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan pejabat, dan lain-lainnya. Intinya kemiskinan struktural ini terjadi karena faktor-faktor buatan manusia.

Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju.

Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.

Dari ketiga katagorisasi kemiskinan di atas, pada dasarnya kemiskinan berpangkal pada masalah distribusi kekayaan yang timpang dan tidak adil. Karena itu, Islam menekankan pengaturan distribusi ekonomi yang adil agar ketimpangan di dalam masyarakat dapat dihilangkan. Allah SWT berfirman:

“… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (Qs. al-Hasyr [59]: 7).

Agar harta tersebut tidak berhenti di tangan orang-orang kaya saja, maka, melalui momentum Ramadhan yang suci ini, kita harus menghidupkan ukhuwah Islamiyyah di tengah-tengah masyarakat, mendorong mereka membelanjakan hartanya di jalan Allah, dan mengkoreksi kebijakan pemerintah yang tidak adil.

Mendorong Ukhuwah Islamiyyah

Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah membangun kepedulian antara sesama anggota masyarakat. Dalam Islam kepedulian terhadap sesama ini diikat kokoh dengan tali persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyyah). Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara …” (Qs. al-Hujarât [49]: 10).

(23)

saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya; dan siapa saja yang membebaskan seorang muslim dari kesulitan, Allah SWT akan membebaskannya dari suatu kesulitan di hari kiamat…”42

“Seorang Muslim adalah saudara (akhun) bagi Muslim lainnya.” [HR. Muslim].

Kekuatan persaudaraan Islam diibaratkan sebagai satu tubuh, di mana jika ada satu anggota badan yang sakit maka seluruh badan merasakan sakit pula. Rasulullah Saw bersabda:

“Perumpamaan kaum Muslim dalam kasih sayang dan tolong-menolong mereka adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh menderita sakit maka seluruh tubuh ikut menopang dengan terus berjaga tidak tidur semalaman dan merasakan demam.” [HR. Muslim].

Begitu pula jika ada saudara kita menderita karena tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kitapun turut merasakan penderitaan mereka sehingga mendorong kita untuk menolong mereka.

Kepedulian terhadap sesama inilah yang sangat jarang kita temui saat ini, terlebih lagi di kota-kota besar. Kehidupan masyarakat disibukkan dengan rutinitas pekerjaan hingga perhatian mereka terhadap sesamanya terabaikan. Hal ini menjadi sekat yang menghalangi kepedulian antar anggota masyarakat.

Ketidakpedulian ini diperparah dengan sikap sebagian masyarakat yang menerapkan pola hidup hedonistik dan konsumtif. Bukan pemandangan aneh di Indonesia bahwa pada saat dampak krisis masih sangat terasa dan sebagian besar masyarakat memikul beban hidup yang sangat berat, barang-barang mewah tetap mendapatkan pasarannya di Indonesia, mobil-mobil mewah tetap berseliweran di jalan raya. Sementara itu, banyak pula yang berbelanja di Orchard Road Singapura walau hanya sekedar membeli perhiasan, pakaian dan sepatu.

Masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas Muslim tidak merasakan dirinya sebagai satu tubuh. Penderitaan sebagian masyarakat tidak turut dirasakan sebagian masyarakat lainnya yang hidup berkecukupan. Kondisi tersebut mengisyaratkan ada sesuatu yang salah dalam pemikiran dan pola hidup masyarakat.

Lantas, mengapa orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi tidak peduli terhadap yang lainnya? Di antara mereka yang tidak peduli tersebut tidak hanya sekedar “Islam KTP” saja, tetapi juga mereka yang rajin melaksanakan sholat dan menunaikan ibadah haji.

Permasalahan ini berpangkal pada dangkalnya pemahaman mereka terhadap ‘aqidah Islam. Kedangkalan pemahaman tersebut menyebabkan seseorang sudah merasa cukup menunaikan ibadah mahdah saja, seperti sholat, puasa, zakat dan haji. Mereka tidak mengetahui bahwa hubungan terhadap sesama manusia yang dilandasi ketaqwaan dalam urusan kehidupan sehari-hari seperti masalah kepedulian sosial juga merupakan ibadah bahkan wajib dilaksanakan.

Allah SWT menganggap orang yang tidak peduli terhadap sesamanya sebagai orang yang tidak beriman. Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadits qudsi, bersabda, “Tidak beriman kepadaKu,

42

(24)

orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu tetangganya kelaparan.” Dalam hadits lain, Rasulullah Saw bersabda:

“Siapa saja di antara orang mukmin yang memberi makan saudaranya sesama mukmin yang lapar, niscaya Allah akan memberinya buah-buahan Surga. Siapa saja di antara orang mukmin yang memberi minum saudaranya sesama mukmin yang dahaga, niscaya Allah akan memberinya minuman Rahiqul Makhtum.”43

Karena itu, untuk membuktikan kepada Allah bahwa kita beriman tidak cukup hanya dengan ibadah ritual saja. Sudah seharusnya anggota masyarakat yang berkecukupan peduli terhadap orang-orang miskin, dengan landasan bukan saja karena hal tersebut sebagai suatu kewajiban tetapi muncul dari kesadaran bahwa kita sendirilah yang turut memberikan andil atas kemiskinan yang menimpa saudara-saudara kita.

Membelanjakan Harta di Jalan Allah

Implimentasi kepedulian sosial yang dibingkai dalam ukhuwah Islamiyyah adalah dengan membelanjakan harta di jalan Allah. Allah SWT berfirman:

“Dan nafkahkanlah (harta kalian) di jalan Allah.” (Qs. al-Baqarah [2]: 195).

Rasulullah Saw bersabda:

“Wahai anak Adam, sesungguhnya jika kamu memberikan kelebihan hartamu maka itu sangat baik bagimu dan jika kamu menahannya, itu sangat jelek bagimu. Kamu tidak akan dicela karena kecukupan. Dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu, dan tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah.”44

Menafkahkan harta di jalan Allah berarti mengeluarkan harta dan membelanjakannya pada hal-hal yang diwajibkan dan disunnahkan Allah, seperti menafkahi keluarga, mengeluarkan zakat, memberi makan fakir miskin, menghidupi anak yatim, memberikan sedekah bagi orang-orang yang membutuhkan dan memberikan harta untuk kepentingan umum.

Sebagian harta yang kita miliki sebenarnya ada yang bukan menjadi hak kita, tetapi hak orang-orang miskin. Atas dasar itu, wajar jika Allah menyuruh kita menafkahkannya untuk orang lain. Allah berfirman:

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Qs. adz-Dzâriyât [51]: 19).

Ini karena Islam memandang bahwa seluruh harta yang ada di dunia ini (bahkan seluruh alam semesta ini) sesungguhnya adalah milik Allah, berdasarkan firman Allah:

43HR. at-Tirmidzi, dengan sanad hasan. 44

(25)

“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu.” (Qs. an-Nûr [24]: 33).

Dari ayat ini dapat dipahami, bahwa harta yang dikaruniakan Allah kepada manusia sesungguhnya merupakan pemberian Allah yang dikuasakan kepadanya. Hal itu dipertegas dengan mendasarkan pada firman Allah:

“Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (Qs. al-Hadîd [57]: 7).

Penguasaan (istikhlaf) ini berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak pemilikan, tetapi bukan pemilikan yang sebenarnya. Allah sangat mencela orang-orang yang kikir mengeluarkan hartanya untuk menolong sesamanya. Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (jangan terlalu kikir dan jangan boros) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 29).

Sungguh sangat ironis, pada saat masih sebagian besar masyarakat sangat membutuhkan bantuan dari saudara-suadaranya yang berkecukupan, banyak sekali orang Indonesia yang “mengendapkan” uangnya dalam bentuk tabungan dan deposito di dalam dan di luar negeri. Mereka mengamankan dan membungakan uangnya; bukan ditujukan untuk mempersiapkan kebutuhan yang dibenarkan agama. Akibatnya, harta mereka menjadi tidak produktif dan tidak bermanfaat bagi orang lain.

Padahal, Allah SWT dengan tegas melarang penimbunan harta. Sebab, penimbunan harta hanya akan membatasi peredaran harta pada segelintir orang saja. Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (Qs. at-Taubah [9]: 34).

Maksud emas dan perak dalam ayat tersebut adalah harta yang berujud mata uang. Ayat tersebut mengancam orang-orang yang menyimpan uangnya dengan tujuan mengendapkannya meskipun mereka telah mengeluarkan zakat dari harta yang disimpannya itu.

Bahkan dalam suatu riwayat pernah kedapatan seorang ahlu shuffah yang meninggal, sementara di dalam kain penutup badannya terdapat 1 dinar, kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Sekali celaka.” Kemudian ada lagi yang meninggal dan ditemukan 2 dinar, Rasulullah bersabda, “Dua kali celaka.” Para ahlu shuffah tersebut bukanlah orang-orang kaya, melainkan orang miskin yang untuk membayar zakat saja belum sampai nishabnya. Akan tetapi, karena mereka menyimpan harta (menimbun) tanpa tujuan yang dibenarkan agama, Rasulullah mengabarkan kecelakaan bagi mereka. Firman Allah SWT:

(26)

Untuk itu, sudah seharusnya kita, terutama yang memiliki kelebihan harta agar peduli terhadap sesama dengan cara membelanjakan harta di jalan Allah. Pembelanjaan harta di sini hendaknya tidak hanya sebatas membayar zakat yang kuantitasnya dibatasi. Akan tetapi, kuantitasnya hendaknya ditingkatkan dengan cara dengan meningkatkan jumlah shadaqah dan infaq; baik yang diberikan secara langsung kepada fakir miskin maupun yang diberikan dalam bentuk modal produktif.

Koreksi Kebijakan Pemerintah

Di samping membangun kepedulian sosial di tengah-tengah masyarakat dengan ukhuwah Islamiyyah, kemiskinan juga harus dituntaskan melalui kebijakan ekonomi pemerintah yang tepat.

Pada dasarnya, kemiskinan yang menimpa masyarakat lebih disebabkan karena kekeliruan sistemnya, dalam hal ini kebijakan pemerintah. Selama Orde Baru, kebijakan ekonomi pemerintah bertumpu pada pertumbuhan ekonomi bukan pada pemerataan ekonomi. Akibatnya, meskipun Orde Baru berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah gagal mengurangi kesenjangan, apalagi menciptakan pemerataan ekonomi.

Pada masa Orde Reformasi sekarang, kebijakan ekonomi pemerintah semakin jauh keberpihakannya pada rakyat. Berbagai subsidi yang sangat dibutuhkan rakyat satu persatu mulai dikurangi dan dicabut. Sementara itu, aset-aset negara yang produktif dan menguasai hajat hidup orang banyak, seperti Indosat dan PT Semen Gresik, dijual kepada asing. Berbagai produk perundang-undangan juga sangat menguntungkan investor asing dan cenderung merugikan rakyat kecil.

Memang, kondisi Indonesia sekarang ini semakin kacau. Korupsi menggurita dan terang-terangan dilakukan. Sementara itu, penegakkan hukum semakin jauh dari harapan. Para pejabat pemerintah dan elit politik lainnya saling sikut dan sibuk memikirkan kedudukan politiknya daripada memperhatikan secara serius bagaimana memperbaiki kehidupan rakyat. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa para pemimpin kita tidak amanah dan tidak mampu mewujudkan sistem yang bisa menjamin kesejahteraan masyarakat.

Dalam paradigma Islam, pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Kepemimpinan adalah amanat untuk mengurus orang-orang atau rakyat yang dipimpin. Rasulullah Saw mengumpamakan pemimpin laksana penggembala (ra’in). Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).”45

“Sesungguhnya imam (pemimpin) itu adalah laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung (bagi dirinya).”46

45HR. Bukhâri dan Ahmad, dari sahabat Abdullah bin Umar ra. 46

(27)

Oleh karena itu, menjadi pemimpin dan penguasa bukan untuk bersenang-senang ataupun untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang tidak berfaedah menurut agama.

Ironisnya, ketika seorang terpilih sebagai bupati, walikota, gubernur, presiden, ketua DPR dan MPR, mereka beserta para pendukungnya bersuka cita dan mengucapkan selamat. Padahal, terpilihnya seseorang sebagai pemimpin adalah suatu pertaruhan antara neraka dan surga. Sebab, mereka akan memikul amanah yang sangat berat. Apakah dengan kepemimpinannya, ia akan mengangkat rakyatnya pada derajat yang lebih tinggi ataukah justru berbuat zalim terhadap mereka.

Berdasarkan hadits Nabi Saw di atas, seharusnya fungsi pemerintahan adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Ini berarti dalam bidang ekonomi pemerintah harus mengupayakan kesejahteraan bagi setiap rakyatnya dengan mengatur distribusi kekayaan secara adil. Adapun langkah-langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk mewujudkan hal ini adalah sebagai berikut.

Pertama, pemerintah harus melakukan kebijakan yang bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok

bagi setiap anggota masyarakat; seperti pakaian, makanan, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Pemerintah bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan sandang, makanan dan perumahan kepada rakyatnya. Bagi rakyat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut, maka keluarga dekatnya berkewajiban memberikan bantuan. Jika keluarga dekatnya juga tidak mampu, maka kewajiban itu harus dipikul oleh negara. Adapun mengenai pelayanan pendidikan dan kesehatan, hendaknya diberikan secara gratis oleh negara kepada setiap anggota masyarakat. Kebijakan ini langsung diarahkan kepada setiap individu, sehingga dengan memecahkan masalah ini, kemiskinan tiap individu terpecahkan.

Pemerintah juga harus memberikan kesempatan yang sama kepada rakyat untuk mendapatkan pendidikan. Sebab, dengan adanya pendidikan bagi semua orang, maka setiap anggota masyarakat dapat meningkatkan skill dan kecerdasan yang sangat dibutuhkan untuk bekerja, atau untuk bidang-bidang profesi lainnya; misalnya pembangunan dan industri negara.

Kedua, pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mendorong perekonomian

mereka. Pemerintah melalui kebijakan fiskal dan regulasi, harus memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat dalam hal permodalan, sumber daya dan pemasaran.

Ketiga, pemerintah harus menegakkan hukum dan memberantas korupsi dengan tegas. Ketegasan ini

harus dilandasi oleh keteladanan sang pemimpin, agar para pejabat dan staf di bawahnya mengikuti jejak dirinya. Sebagaimana yang dicontohkan Nabi Saw dalam sabdanya, “… sekiranya Fathimah putri Rasulullah mencuri, pasti kopotong tangannya.”

(28)

BAB III - KHUTHBAH RASULULLAH SAW

Imam Ibn Khuzaimah dalam kitab at-Targhib (jld. 2, hal. 217-218), meriwayatkan sebuah hadits

dari sahabat Salman ra yang mengatakan, bahwa Rasul Saw pada hari terakhir bulan Sya’ban berkhutbah di hadapan kaum Muslim, sebagai berikut:

“Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan dinaungi oleh suatu bulan yang agung lagi penuh berkah, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan; bulan yang Allah telah menjadikan puasaNya suatu kewajiban dan qiyam (sholat) pada malam harinya suatu tahawwu’ (ibadah sunnah yang sangat dianjurkan). Siapa saja yang mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan (sunnah) di dalamnya, (ia diganjar pahala) sama seperti menunaikan kewajiban (fardhu) di bulan yang lain. Dan siapa saja yang menunaikan kewajiban di bulan Ramadhan, (ia diganjar pahala) sama dengan orang yang mengerjakan 70 kali kewajiban tersebut di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu pahalanya adalah surga (al-jannah). Ramadhan itu adalah bulan memberikan pertolongan dan bulan Allah menambah rizki para mukmin di dalamnya. Siapa saja yang pada bulan itu memberikan makanan berbuka kepada orang yang puasa, maka perbuatan itu menjadi pengampunan atas dosa-dosanya, ke-merdekaan dirinya dari api neraka, dan ia mendapatkan pahala seperti pahala orang berpuasa yang diberinya makanan berbuka itu tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu.”

Para sahabat berkata, “Ya Rasululullah, tidak semua dari kami memiliki makanan berbuka untuk orang-orang yang berpuasa.” Rasulullah Saw pun menjawab, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan sebutir korma sekalipun atau sekedar seteguk air atau sehirup susu. Bulan Ramadhan ini adalah bulan yang permulaannya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka. Siapa saja yang meringankan beban dari orang yang dikuasainya (hamba sahaya atau bawahannya), niscaya Allah mengampuni dosanya dan membebaskannya dari api neraka. Karena itu perbanyaklah empat perkara di bulan Ramadhan ini. Dua perkara yang dengannya kalian menyenangkan Tuhan kalian dan dua perkara lainnya sangat kalian butuhkan. Dua perkara yang kalian lakukan untuk menyenangkan Tuhan kalian adalah: mengakui dengan sesungguhnya bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan kalian memohon ampunan kepadaNya. Adapun dua perkara yang sangat kalian butuhkan adalah kalian memohon surgaNya dan berlindung dari api neraka. Siapa saja yang memberi minum kepada orang yang berpuasa niscaya Allah akan memberinya minum dari air kolamku dengan suatu minuman yang dia tidak merasa haus lagi sesudahnya hingga ia masuk surga.”

Khutbah singkat Rasul Saw tersebut berisi sejumlah informasi dan pesan penting yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap Mukmin. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa sekarang ini kita hidup pada suatu masa yang jauh dari Rasul; dan pada saat yang sama gambaran utuh kehidupan Islam telah hilang dari muka bumi ini.

Ada tiga belas informasi dan pesan penting dari khutbah singkat Rasul Saw di atas, yaitu:

Pertama, bulan Ramadhan adalah bulan agung (Syahrun ‘Azim) yang penuh berkah (Syahrun

(29)

segala bulan (Sayidus Syuhur). Oleh karena itu, kaum muslimin harus menyiapkan diri memasuki bulan ini dengan penyambutan yang luar biasa. Tidak boleh mereka melewatkannya begitu saja atau menjalaninya biasa-biasa saja.

Kedua, di dalam keagungan bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang sangat utama bagi ummat

manusia yaitu Lailatul Qadar (malam kemuliaan yang nilainya lebih baik dari 1000 bulan, atau sekitar sekitar 83 tahun 4 bulan). Imam Ibn Jarir meriwayatkan suatu hadits dari Mujahid yang mengatakan, bahwa ada seorang lelaki Bani Israil yang setiap malam selalu sholat hingga pagi hari, kemudian pada siang hari ia selalu berjihad melawan musuh-musuh Allah hingga sore hari. Hal itu dilakukannya secara terus-menerus selama seribu bulan. Lalu Allah SWT menurunkan firmanNya, “Lailatul Qadar (malam kemuliaan) itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Qs. al-Qadar [97]: 3). Walhasil, beramal

shalih pada malam kemuliaan di bulan Ramadhan itu pahalanya lebih baik dan lebih besar daripada pahala amalan orang Bani Israil tersebut.47

Ketiga, pada bulan ini Allah SWT mewajibkan shaum sebulan penuh (lihat Qs. al-Baqarah [2]:183)

yang tujuannya adalah agar kita meningkatkan keimanan dan ketaqwaan semaksimal mungkin. Pada bulan-bulan lain ibadah puasa hukumnya hanyalah sunnah dan bilangan harinya tidak sampai sebulan penuh. Imam Bukhâri dalam kitab Fath al-Bârî (jld. 4, hal. 173), meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah

ra, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah Saw kadang-kadang terus-menerus berpuasa (sunnah) sampai-sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berbuka. Kadang-kadang beliau terus-menerus berbuka sampai-sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa (sunnah). Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan dan saya tidak pernah melihat beliau banyak berpuasa lebih dari bulan itu pada bulan Sya’ban.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau Saw ibadah puasa Ramadhan selama hidup sembilan kali, delapan kali sebulan penuh selama 29 hari dan sekali selama 30 hari.

Keempat, selain mewajibkan ibadah puasa di siang hari, Allah SWT menganjurkan ibadah sunnah di

malam hari berupa qiyamul lail yang kemudian dikenal dengan sholat Terawih. Rasul Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memfardhukan shaum di bulan Ramadhan kepada kalian dan aku syari’atkan kepada kalian agar mendirikannya (dengan sholat Terawih). Barangsiapa yang mempuasai dan mendirikannya karena iman dan mengharapkan ridha Allah SWT niscaya ia keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari ia dikeluarkan dari ibunya.” [HR.an-Nasâ’i dan Ahmad].

Kelima, Allah SWT menawarkan pahala luar biasa kepada kaum Muslim yang rajin beribadah di

bulan Ramadhan. Siapa saja melakukan amalan sunnah di bulan Ramadhan akan dinilai sama dengan melakukan amalan wajib di bulan lain. Orang yang mengerjakan amalan fardhu di bulan itu, dilipatgandakan 70 kali pahalanya. Oleh karena itu, di bulan Ramadhan kaum Muslim panen pahala. Sebab, jika ia melaksanakan sholat lima waktu terus menerus selama sebulan, akan dinilai oleh Allah SWT seperti mengerjakannya dalam 70 bulan. Sedangkan sholat-sholat sunnah seperti rawatib, dhuha, tahiyatul masjid, Terawih malam hari, dan lain-lain diganjar pahala setara dengan sholat fardhu pada bulan lain. Orang yang membayar shadaqah dianggap sama dengan membayar zakat pada bulan lain. Sedangkan yang membayar zakat dinilai seperti 70 kali membayar zakat pada bulan lain. Siapa saja yang umrah di bulan Ramadhan akan mendapatkan pahala setara dengan yang pergi haji.48 Karena

Referensi

Dokumen terkait

Banyaknya Tamu Asing dan Dalam Negeri yang Menginap di Hotel Berbintang Per Bulan Menurut Jenis Hotel di Papua Barat

Tanpa adnya pengaruh motivasi belajar dan status sosial ekonomi orang tua maka besarnya nilai minat melanjutkan studi ke perguruan tinngi (Y) adalah

(2017) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa Debt to Equity Ratio memiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga saham, karena apabila perusahaan memiliki nilai DER yang

Terpilihnya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB serta puncak kekecewaan Indonesia terhadap PBB merupakan alasan Indonesia untuk keluar dari

bagian dari seluruh himpunan pengetahuan yang ditimbun oleh seorang individu selama hidupnya itu, seringkali hilang dari akalnya yang sadar, atau dalam “kesadarannya”,

Tasawuf mulai masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia dan tasawuf mengalami banyak perkembangan itu ditandai dengan banyaknya berkembang ajaran tasawuf

Jika menjawab “TIDAK” pada salah satu pertanyaan di atas, maka pelajarilah kembali materi tersebut dalam Buku Teks Pelajaran (BTP) dan pelajari

Sikap ilmiah lainnya yang ditunjukkan oleh siswa kelas IV pada saat. pembelajaran IPA yaitu sikap