SPIRITUALITAS GEREJA PERSAHABATAN
1Memikirkan Ulang Konsep bergereja dalam Konteks Dunia yang Serba
Terhubung
Linna Gunawan2
Kejutan yang Tidak Mengejutkan
Satu dua tahun terakhir saya dibanjiri oleh permintaan dari berbagai gereja membawakan materi tentang kaum muda. Umumnya gereja-‐gereja tersebut meminta saya untuk memberikan “ilmu” bagaimana menghadapi kaum muda saat ini dan bagaimana membuat mereka “betah” berada di gereja. Mulai dari permintaan tentang karakteristik kaum muda sampai model ibadah yang paling ‘jitu’ bagi kaum muda masa kini. Rupanya gereja-‐gereja tersebut mulai kewalahan menghadapi munculnya generasi yang “asing”3 di tengah mereka,
sebagian lagi mereka merasa kuatir akan masa depan gereja yang mulai kosong kaum mudanya.
Saat The Barna Group melakukan survei tentang kaum muda dan gereja dalam konteks Amerika, banyak Gereja Amerika terkejut dan mulai melakukan berbagai strategi untuk menjangkau kaum muda. Barna menyebut angka 59% kaum muda (usia 18 – 29 tahun) Amerika drop out dari Gereja (Kinnaman and Hawkins, You Lost Me 2011, 23-‐25). Penelitian yang berlangsung sejak tahun 2007 – 2011 ini memberikan gambaran tajam tentang keterpisahan kaum muda dengan gereja. Sebenarnya hasil penelitian Barna ini bukanlah hasil yang
mengejutkan. Semuanya sudah diprediksi oleh para tokoh gereja Amerika tentang gereja akan kehilangan warga mudanya di masa depan. Namun selama ini prediksi semacam ini tidak terlalu dipedulikan oleh gereja. Setelah Barna mempublikasikan hasil temuannya ke arena publik,4 gereja seolah baru melihat
kenyataannya dari bangku-‐bangku gereja mereka yang tidak banyak terisi oleh kaum muda.
kaum muda bukan pula hal yang tiba-‐tiba terjadi di Indonesia. Misalnya saja, sejak tahun 1990-‐an jumlah kehadiran kaum muda GKI tidak sebanyak jumlah anak-‐anak yang hadir dalam aktivitas gereja.5 Entah mengapa dan kemana kaum
muda GKI, tidak ada yang bisa memberikan jawabnya.
Kenyataan ini mengajak kita untuk berefleksi tentang gereja pada konteks masa kini. Refleksi yang bukan mencari penyebab dan bagaimana mengatasi penurunan jumlah kehadiran kaum muda gereja, tetapi berefleksi tentang spiritualitas gereja pada konteks masa kini. Drop out kaum muda dari gereja merupakan akibat dari hubungan yang terputus antara kehidupan gereja dengan dunia masa kini; antara iman Kristen dengan kenyataan hidup sehari-‐hari; antara spiritualitas Kristen dengan pergumulan hidup umat Kristen sekarang ini.6
Gereja Persahabatan: mewujudkan Trinitas dalam kehidupan bergereja
masa kini.
Saat saya mengajarkan materi Allah Tritunggal dalam kelas katekisasi remaja, seorang peserta menanyakan mengapa kita harus mempelajari doktrin Allah Tritunggal yang rumit ini. Lebih lanjut dia bertanya tentang arti pentingnya mempelajari doktrin ini bagi hidupnya saat ini. Tentu saja pertanyaan ini
menjadi suatu tanda keterpisahan antara dogma gereja dengan kehidupan nyata. Kadangkala dogma harus diimani umat sebagai suatu kebenaran tanpa perlu umat memahami pentingnya bagi hidup beriman mereka sehari-‐hari.
Allan G. Harkness menyebut doktrin Trinitas sebagai doktrin yang kuat berbicara tentang komunitas. Allah Tritunggal menunjukkan Allah mewujud dalam persekutuan yang setara, terhubung dan inklusif. Ke-‐Tritunggal-‐an Allah mewujud pula dalam hubungan manusia dengan Allah serta sesamanya.
Hubungan Allah – manusia – sesama ini membentuk komunitas yang didasari oleh kasih yang terbuka. Ketika sebuah komunitas menghargai dan menerima sesamanya, maka komunitas ini sedang menunjukkan sifat relasional Allah dalam Trinitas. Harkness menambahkan, sifat relational Allah ini dalam
Senada dengan Harkness, Joas Adiprasetya menjelaskan Trinitas sebagai Allah dalam persekutuan yang menghargai kesetaraan, perbedaan dan kesatuan. Allah dalam persekutuan memiliki karakter persahabatan ilahi. Karena itu Adiprasetya menawarkan persahabatan sebagai konsep menggereja masa kini. Selain Trinitas, Adiprasetya juga menyebutkan persahabatan Kristus melalui kesediaan-‐Nya menjadi sahabat bagi manusia. Ketika gereja mengakui dirinya segambar dan serupa dengan Allah maka gereja pun menjadi gereja yang memiliki karakter persahabatan ilahi (Adiprasetya 2009).
Penggunakan kata “persahabatan” menjadi menarik ketika kita coba melihatnya pada konteks dunia saat ini. Kemajuan teknologi yang pesat, bukan hanya menyebabkan cepatnya arus informasi, tetapi juga munculnya beragam media sosial yang menghubungkan manusia dengan sesamanya. Media sosial memberi kesempatan bagi kita untuk berjumpa di dunia maya dengan sesama yang tinggal dekat maupun jauh dari tempat tinggal kita. Dalam hitungan detik, kita dapat menghubungi teman dari belahan bumi lain, begitu pula kita bisa mendapatkan informasi maupun kisah dari negara lain (Friedman 2007).8
Karena itu dunia kita sekarang disebut sebagai dunia yang terhubung. Manusia tidak dapat hidup tanpa terhubung dengan sesamanya.
Dalam konteks dunia seperti ini, menurut Jesse Rice dalam bukunya yang berjudul The Church of Facebook, manusia menjadikan koneksi (hubungan) sebagai sumber kebahagiaannya (Rice 2009, 28). Manusia takut terisolasi, terasing dari dunianya. Dalam koneksi, tambah Rice, manusia menemukan kenyamanan dan keamanan bagi dirinya. Masalahnya adalah apakah koneksi yang dimilikinya bersama orang lain atau komunitasnya adalah koneksi yang berkualitas (Rice 2009, 44-‐45).
Henry Nouwen mendefinisikan hubungan yang berkualitas lewat penderitaan manusia yang disebutnya sebagai “homeless” yaitu mereka yang tidak memiliki tempat di mana mereka dapat merasakan dicintai, aman, dipedulikan dan dilindungi (Rice 2009, 46).9 Jadi ketika kita mendapatkan
koneksi yang membuat orang merasa at home. Hanya satu kata, menurut Rice, yang dibutuhkan manusia dalam konteks masa kini, yaitu home (Rice 2009, 48). Apabila kita melihat kembali komunitas cinta kasih yang menjadi nilai utama dari doktrin Tritinitas, maka kita mengerti dengan jelas betapa
pentingnya gereja sebagai komunitas yang menciptakan home. Dengan jelas Bass mendefinisikan gereja sebagai home,10
“Gereja merupakan komunitas yang berproses, sebuah tempat dimana manusia belajar seni hidup melalui doa, discernment, kearifan, dan cerita kehidupan Kristen seiring dengan karunia Allah. Komunitas ini merupakan implementasi iman yang penuh kasih. Sebuah kehidupan yang tidak
ditentukan oleh doktrin yang ketat dan kepastian moral namun yang hidup melalui persahabatan sejati dan implementasi iman setiap hari” (Bass, The Practicing Congregation 2004).
Spiritualitas Gereja Persahabatan: Nilai dan Bentuk.
Edward C. Zaragosa dalam No Longer Servants, but Friends mengajak kita untuk menjadi sahabat bagi diri sendiri, sahabat bagi Allah, dan sahabat bagi sesame (Zaragoza 1999, 69). Ajakan Zaragosa menginspirasi saya untuk
menggali lebih dalam nilai-‐nilai persahabatan yang menjadi spiritualitas gereja persahabatan (Gunawan 2014).
§ Terbuka. Gereja saat ini dihadiri beragam orang dari suku, ras, tempat tinggal, latar belakang keluarga, pendidikan, ekonomi, prinsip hidup, dll. Gereja harus berani terbuka menerima siapa saja yang datang. Setiap orang mendapat pelayanan yang setara tanpa dibedakan. Siapapun diterima masuk dalam komunitas Gereja sekalipun mereka berbeda termasuk mereka yang cacat secara fisik dan mental, serta berbeda orientasi seksualnya. Gereja persahabatan yang terbuka juga berarti siap terbuka terhadap masukan dari siapa saja. Gereja juga berani terbuka terhadap perubahan dunia, termasuk terbuka untuk berubah sesuai dengan konteks di mana Gereja berada. Tanpa keberanian untuk
terbuka terhadap perubahan, Gereja akhirnya hanya menjadi “museum” yang dikagumi karena masa lampaunya saja.
Penghargaan terhadap talenta, bakat atau karunia setiap anggotanya menjadi salah satu ciri kasih yang menerima, dan hal ini perlu
dikembangkan oleh Gereja. Pengampunan kepada mereka yang melakukan dosa dan kesalahan pun mendapat tempat utama dalam persekutuan Gereja Persahabatan sebab persahabatan Kristus adalah menerima semua orang yang berdosa.
§ Otentik. Dalam komunitas gereja, orang dapat bebas menjadi dirinya secara otentik. Otentisitas memperlihatkan kejujuran hidup, menjadi diri sendiri bahkan penghargaan terhadap Allah yang telah menciptakan manusia sebagaimana adanya. Otentisitas juga menunjukkan bahwa kasih, yang menjadi dasar persahabatan, melenyapkan ketakutan untuk menjadi diri sendiri, bahkan menerima orang lain (1 Yoh. 4: 18). Gereja persahabatan membuat setiap anggotanya mendapatkan kebahagiaan karena kejujurannya dan kebebasan menerima dirinya sendiri serta orang lain. Keotentikan ini membuat orang berani untuk memiliki iman yang berantakan (messy spirituality).11 Kita mengakui iman kita tidak
selalu baik, tetapi kadang iman kita sedang menukik turun sehingga kita membutuhkan tangan Tuhan dan tangan sesama untuk menolong kita yang rapuh.
§ Percaya. Zaragosa menyebutkan bahwa persahabatan membangun kepercayaan
(Zaragoza 1999, 90-‐92). Membangun Gereja Persahabatan membutuhkan rasa
percaya dari seluruh anggotanya. Pertama, percaya kepada Tuhan yang
menciptakan dan memelihara hidupnya. Tanpa rasa percaya kepada Tuhan,
Gereja selalu dipenuhi dengan kekuatiran menghadapi masa depan, dan
ketakutan untuk melakukan perubahan dunia serta membawa Injil Kristus
keluar dari gedung gereja. Kedua, percaya kepada diri sendiri bahwa mereka
memiliki kemampuan, serta layak masuk dalam pekerjaan ladang pelayanan
Tuhan. Ketiga, percaya kepada sesama anggota bahwa mereka pun layak
menjadi rekan sekerja. Dalam membangun kepercayaan bersama anggota gereja,
proses regenerasi menjadi salah satu program yang perlu serius dikerjakan
dalam kehidupan Gereja Persahabatan. Regenerasi secara tidak langsung
memperlihatkan pemberian kepercayaan kepada orang lain. Sementara itu
pemulihan luka-‐luka masa lalu, maupun luka-‐luka/trauma pelayanan ketika
rangka membangun kultur kepercayaan bagi Gereja Persahabatan.
Diana Butler Bass mengenai perubahan orang Amerika dalam kehidupan berimannya. Pada tahun 1999 sebanyak 72% orang Amerika menyebut dirinya sebagai “spiritual but not religious.” Mereka mendefinisikan “spiritualitas” sebagai pengalaman hubungan dengan Allah dan sesama. Praktek dari iman. Sedangkan religius dikategorikan sebagai lembaga agama. Oleh karena itu orang Amerika pada waktu itu tidak tertarik dengan lembaga agama manapun
walaupun mereka tetap percaya kepada Tuhan (Bass, Christianity After Religion 2012, 92) . Namun pada tahun 2009 terjadi perubahan, orang Amerika menganut “spiritual and religious.” Religius tidak lagi dipahami secara sempit, hanya
“religion,” tetapi keterbukaan untuk mempraktekkan iman walaupun dilakukan dengan ritual (Bass, Christianity After Religion 2012, 93).
Seringkali ketika kita berbicara tentang praktek spiritualitas, kita terjebak pada bentuk. Beberapa kali dalam pembinaan ibadah kaum muda, saya selalu diminta untuk memberikan bentuk ibadah yang cocok untuk kaum muda. Oleh karena itu barangkali saat ini kita pun terjebak pada pertanyaan bagaimana bentuk gereja persahabatan, bagaimana prakteknya, bagaimana model ibadahnya, dll.
Bass mengatakan dalam konteks gereja masa kini, kita jangan terjebak pada bentuk program ketika berbicara tentang praktek spiritualitas. Anggaplah praktek spiritualitas sebagai sebuah karya seni yang harus kita rancang sesuai dengan diri kita dan dapat dinikmati oleh banyak orang. Oleh karena itu Bass mengajak kita untuk memahami praktek spiritualitas melalui tiga hal: the art of intention, the art of imitation, the Reign of God and the art of anticipation.
The art intention berbicara tentang praktek spiritual yang beragam bentuknya dan kita memilih secara bebas bentuk yang kita ingin praktekkan (Bass, Christianity After Religion 2012, 145-‐152). Gary Thomas dengan Sacred Pathway, misalnya, mengusulkan sembilan bentuk ibadah selain bentuk tradisional berdoa dan membaca Alkitab. Selain itu dalam the art intention terbuka terhadap pencampuran berbagai praktek spiritualitas dari berbagai tradisi dari agama dan kepercayaan lain. Misalnya, doa labirin yang
The art of imitation, menurut Bass, adalah tujuan dari praktek spiritualitas yang kita lakukan. Kita perlu tahu alasan mengapa kita melakukan praktek atau ritual ini. Kelalaian gereja pada masa lalu adalah praktek spiritualitas menjadi suatu ‘keharusan’ yang dipaksakan tanpa kita mengerti tujuan dari praktek tersebut. Praktek spiritualitas semestinya pertama-‐tama bertujuan untuk
mencontoh (imitasi) Yesus. Setelah itu, menurut Bass, kita lebih luas mencontoh para rasul, tokoh-‐tokoh Alkitab, tokoh-‐tokoh agama, orang terdekat dengan kita dan orang lain yang dapat kita jadikan contoh. Kita menangkap nilai hidup dari praktek yang dilakukan oleh tokoh-‐tokoh tersebut (Bass, Christianity After Religion 2012, 153-‐157).
Dalam the Reign of God and the art of anticipation Bass mengingatkan kita tentang hasil dari praktek spiritualitas yang kita lakukan jangan hanya untuk diri kita sendiri. Orang yang melakukan praktek spiritualitas yang tertuju kepada Tuhan sebenarnya dia akan melakukan apa yang diajarkan Tuhan bagi dunia ini. Karena itu praktek spiritualitas membuat kita melakukan tindakan keadilan, perdamaian, memelihara keharmonisan dan keutuhan ciptaan (Bass, Christianity After Religion 2012, 157-‐160).
Penutup: Model Gereja Persahabatan
Semasa studi beberapa tahun yang lalu, saya membantu sebuah gereja kecil beranggotakan 70-‐an orang Indonesia yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Satu hal yang membuat saya kagum saat pertama kali datang ke gereja tersebut adalah saya menyaksikan persekutuan yang hangat dan bersahabat. Seorang opa duduk dan bercakap santai dengan beberapa remaja dan pemuda. Beberapa ibu paruh baya sedang ngobrol asyik dengan pasangan kekasih. Beberapa orang remaja sedang bermain dengan sekelompok anak-‐anak usia 4 – 9 tahun. Begitu pula dua orang homeless ikut makan dan duduk satu meja dengan beberapa orang lanjut usia. Semua itu terjadi dalam satu ruangan besar dan terjadi setiap minggu.
kritik terhadap model pelayanan kategorial adalah pemisahan umat berdasarkan usia berdampak sistemik terhadap proses regenerasi. Hilangnya kaum muda dalam gereja merupakan akibat dari model pelayanan kategorial sebab selama ini telah meminggirkan umat golongan usia muda dari kehidupan gereja. Harkness dalam pendekatan intergenerational ministry-‐nya menyebutkan bahwa model ini memberikan nilai yang tinggi terhadap
komunitas yang mutualistik dan setara diantara anggota gereja. Pada model ini terjadi komunitas yang saling berbagi pengetahun dan pengalaman iman antar tiap generasi sehingga pertumbuhan iman komunitas terjadi secara holistik. Pada model ini, sikap saling menerima, terbuka untuk memberi diri, saling (Zaragoza 1999)percaya terjadi pada seluruh lapisan usia (Harkness 2012, 131-‐ 132).
Pertanyaannya, apakah model intergenerational ministry (atau church) dapat dikembangkan pada gereja-‐gereja di Indonesia dengan konteks budaya Timur yang ketat dengan hirarki dan senioritas? Apakah model gereja
persahabatan mungkin terjadi pada gereja-‐gereja di Indonesia yang telah lama hidup dalam tradisi ‘dari dulu sudah begitu?’ Tulisan ini menyisahkan
pertanyaan yang perlu dijawab dalam studi lebih lanjut mengenai gereja persahabatan sebagai model gereja dalam konteks masa kini.
Bibliography
Adiprasetya, Joas. GKI Pondok Indah. September 8, 2009.
www.gkipi.org/bergereja-‐antara-‐pelayanan-‐dan-‐persahabatan/ (accessed January 30, 2014).
Bass, Diana Butler. The Practicing Congregation. Virginia: The Alban Institute, 2004.
Bass, Diana Butler. Christianity After Religion. New York: HarperCollins Publishers, 2012.
Friedman, Thomas L. The World is Flat. New York: Picador USA, 2007.
Gunawan, Linna. "Gereja Persahabatan: Belajar dari Persahabatan Generasi Y." In Buku Peneguhan Pnt. Yesie Irawan Lie, by GKI Kayu Putih, edited by Linna
Gunawan. Jakarta: GKI Kayu Putih, 2014.
Harkness, Allan G. "Intergenerationality: Biblical and Theological Foundation." Christian Education Journal 9 (2012): 121-‐129.
Kinnaman, David. UnChristian. Grand Rapid: Baker Books, 2007.
Kinnaman, David, and Aly Hawkins. You Lost Me. Translated by Denny Pranolo. Bandung, West Java: PT. Visi Anugerah Bersama, 2011.
Smith, Christian, and Melinda Denton. Soul Searching: The Religious and Spiritual column27_ST_N.htm (accessed January 30, 2013).
Yaconelli, Michael. Messy Spirituality. Translated by Devi Sutarsi. Surabaya: Omid Rasa.” Saya terinspirasi memakai istilah “gereja persahabatan” dari rekan Joas Adiprasetya lewat tulisannya yang berjudul “Bergereja: Antara Pelayanan dan Persahabatan,” serta model gereja yang diusulkan oleh Diana Butler Bass yaitu Intentional Congregation dalam bukunya The Practicing Congregation.
2 Pendeta Jemaat GKI Kayu Putih, Jakarta dan pengajar paruh waktu STT Jakarta untuk matakuliah Homiletik dan Pembelajaran Jemaat.
3 Orang dewasa suka menyebut kaum muda sebagai generasi yang tidak mau diatur, semaunya bermunculan seputar youth ministry (pelayanan kaum muda) yang memberikan berbagai kemungkinan untuk melibatkan kaum muda dalam kehidupan gereja sebab mereka bukan hanya menjadi generasi masa depan gereja, tetapi generasi “now.”
Lost Me menyimpulkan bahwa kekristenan dianggap tidak lagi menjawab pergumulan orang Kristen dan dunia pada masa kini. Kekristenan maupun gereja dianggap terlalu kuno dan kaku dalam ajaran dan spiritualitas, padahal dunia sudah berubah dengan cepat. Dalam You Lost Me, kaum muda menyebut gereja sebagai penyebab dari kebingungan mereka dalam menjawab pergumulan hidup mereka. Demikian pula, dalam UnChristian, kekristenan dianggap menghasilkan orang Kristen yang palsu, yang mementingkan pencitraan dibandingkan melakukan ajaran Kristus secara nyata. Penelitian Barna mencatat pandangan negative kaum muda terhadap kekristenan: 91% menyatakan kekristenan sebagai antihomoseksual, 87% mengatakan orang Kristen melakukan penghakiman terhadap orang lain, 85% menyebutkan pengunjung gereja sebagai orang-‐orang munafik, dan 72% menyebut kekristenan tidak menyentuh kehidupan nyata. Hanya 41% yang mengatakan kekristenan sebagai sesuatu yang masuk akal; dan hanya 30% menyatakan kekristenan sebagai sesuatu yang relevan bagi konteks masa kini.
dari berbagai belahan dunia dalam hitungan detik, dengan sebutan “The World is Flat” sesuai dengan judul bukunya.
9 Tulisan menarik dari USA Today “Is True Friendship dying away,” Mark Vernon mengemukan sejumlah survei yang menyebutkan bahwa munculnya jejaring sosial dan teknologi
menyebabkan manusia kehilangan persahabatan yang sejati – persahabatan yang ada saat ini sangat dangkal. Orang memang punya banyak teman di berbagai tempat – kalau lihat
pertemanan kita di facebook memang bisa ribuan, tapi persabahatan tidak mendalam. Karena itu Vernon mengatakan saat ini orang mengalami kesepian di tengah keramaian/kerumunan – lonely in the crowd.
10 Mengapa kehadiran gereja sebagai home menjadi kebutuhan pada masa sekarang? Bass menyebut spiritualitas yang muncul ke permukaan saat ini adalah nomadic spirituality. Orang beragama atau keanggotaannya dalam gereja tidak menetap. Di sepanjang hidupnya, dia bisa berganti dan berpindah gereja atau agama. Dalam hal bergereja, Bass menambahkan, kalau dulu keanggotaan gereja menjadi hal yang mutlak; sekarang ini umat pergi ke gereja yang
membuatnya nyaman, kemudian mereka bisa dengan mudah berpindah ke gereja lain yang dinilai lebih nyaman daripada gereja sebelumnya. Dalam satu atau dua tahun bisa saja mereka berpindah dari satu gereja ke gereja lain. Bass menyebut orang Kristen sekarang seperti turis yang sedang menikmati wisata ‘rohani’ yang disebut Gereja
11 Mike Yaconnelli dalam Messy Spirituality mengisahkan kerapuhan manusia saat beriman. Menjadi otentik amat penting dalam hidup beriman sebab hidup iman kadang bergerak naik dan turun. Saat kita menjadi otektik dalam spiritualitas, mengakui kerapuhan kita, maka kita tahu bagaimana Tuhan berkarya secara ajaib dalam hidup ini. Kita pun dapat menghargai diri sendiri dan orang lain.