• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Kreativitas di Era Pluralisme dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makna Kreativitas di Era Pluralisme dan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Makna Kreativitas di Era Pluralisme

dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Seni Rupa Oleh : Hariyanto

Jurusan Seni dan Desain, FS, UM

Abstrak:

Praktik penciptaan karya seni rupa kontemporer di Indonesia Dipengaruhi oleh wacana pluralisme yang membawa slogan Serba boleh. Kreativitas dalam penciptaan seni rupa tidak lagi dipersyarati oleh kebaruan dan keaslian ciptaan. Para perupa kontemporer kini bebas berkarya dengan idiom parodi, ironi, alegori, eklektik, dengan strategi apropriasi.Lembaga pendidikan seni belum menyesuaikan kurikulum dan struktur lembaga. Makalah ini membahas, pluralisme dalam seni rupa kontemporer Indonesia; makna kreativitas dalam seni rupa kontemporer; dan pendidikan seni rupa menyikapi perubahan makna kreativitas. Kata kunci: makna, kreativitas, pluralisme.

Praktik penciptaan karya seni rupa hingga saat ini masih dilihat oleh sebagian orang sebagai kegiatan kreatif. Pada kegiatan kreatif itu akan menghasilkan produk kreatif yang di dalamnya akan nampak nilai-nilai kebaruan (novelty) , keaslian(originality), dan keunikan yang meliputi aspek bentuk, aspek teknik, dan aspek gagasan dari si pencipta karya seni. Paradigma seni rupa modern yang menganut paham universalisme hanya mengakui kualitas karya seni rupa berdasarkan pertimbangan kebaruan dan keaslian ciptaannya.

(2)

Berakhirnya sejarah seni rupa juga bisa dilihat dari semakin beragamnya karya seni rupa yang dihasilkan oleh para perupa. Keberagaman karya seni rupa merupakan efek dari paham serba boleh (anything goes) yang dianut oleh perupa kontemporer. Semua jenis karya seni rupa layak tampil di depan publik dengan derajat yang sama. Paham anything goes telah mendorong para perupa melakukan apa saja dalam berkarya seni rupa. Kebebasan tanpa batas ini memberi peluang terjadinya “lintas batas” seperti lintas media, lintas gagasan, lintas disiplin, dan sebagainya. Dalam wacana seni rupa kontemporer telah muncul suatu ungkapan Joseph Beuys, “Setiap manusia adalah seniman” (Wikipedia,2012), dan Andy Warhol, “apapun dapat menjadi sebuah karya seni rupa” (Danto,1999:63), serta dapat ditambahkan “penciptaan karya seni rupa dapat dilakukan dengan cara apapun”.

Seni rupa kontemporer memberi ruang bagi demokratisasi seni rupa, para perupa bebas untuk menampilkan perbedaan gagasan, perbedaan media, perbedaan teknik, perbedaan cara kerja, dan sebagainya. Dianutnya paham anything goes oleh para perupa kontemporer telah menyurutkan kepercayaan terhadap nilai kebaruan dan nilai keaslian yang dianut oleh paradigma seni rupa modern. Dampak dari demokratisasi seni rupa ini kemudian memunculkan pertanyaan yang mendasar yaitu, “apakah kreativitas masih diperlukan?” Kreativitas yang menjadi tolok ukur kualitas sebuah karya seni rupa, kini dipertanyakan kebermaknaannya. Pada masa lalu kreativitas mensyaratkan adanya kebaruan dan keaslian. Dalam era pascasejarah seni rupa, kreativitas tidak lagi mempersoalkan kebaruan dan keaslian.

Keterbukaan seni rupa kontemporer terhadap keberagaman karya seni rupa, merupakan wujud dari praktik posmodernisme yang identik dengan pluralisme. Pluralisme seni rupa, dimaksudkan untuk menunjukkan adanya keragaman besar pada gerakan seni, mode, dan genre. Makalah ini membahas : pluralisme dalam seni rupa kontemporer Indonesia; makna kreativitas dalam seni rupa kontemporer; dan pendidikan seni rupa menyikapi perubahan makna kreativitas. Pluralisme dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia

(3)

biennale seni rupa (kontemporer), kelahiran profesi kurator, internasionalisasi seni rupa kontemporer Indonesia, institusi pasar (galeri komersial, dealer, balai lelang, dan menejemen seni ), meningkatnya praktik seni media baru, dan sebagainya.

Piliang (2003, 231-237) menyatakan bahwa posmodernisme adalah sebuah wacana yang dibangun oleh pluralitas ideologi, yang di dalamnya berbagai keyakinan dan kepercayaan hidup dalam ruang dan waktu yang sama. Pluralitas ini terfragmentasi menjadi dua yaitu pluralisme dan relativisme. Pluralisme adalah pandangan yang menghargai kemajemukan, serta penghormatan terhadap liyan (the others) yang berbeda-beda dan beraneka warna, yang membuka diri terhadap keyakinan-keyakinan berbeda tersebut, serta yang melibatkan diri dalam proses dialog, dalam rangka mencari persamaan. Relativisme adalah pandangan yang percaya bahwa nilai dan kebenaran ditentukan oleh pandangan hidup dan kerangka berpikir setiap individu atau masyarakat yang didalamnya semua hal mengandung kebenaran relatif.

Menurut Suzi Gablik istilah posmodernisme memiliki kesamaan arti dengan istilah pluralisme. Kedua istilah itu menunjuk pada hilangnya keyakinan dalam sebuah arus-utama stilistik, seolah-olah seluruh sejarah gaya tiba-tiba mengalami kemandekan. Pluralisme menghapuskan kontrol, dan memberi kesan bahwa apapun diperbolehkan.(Gablik, 1988:73)

Pluralisme dalam sejarah seni rupa ditandai dengan diterimanya beragam jenis karya seni rupa dengan derajat yang sama. Dalam situasi seperti itu sulit ditentukan kualitas sebuah karya seni rupa karena tiadanya kriteria yang disepakati. Pluralitas seni rupa berakibat pada sulitnya membedakan antara karya seni dengan benda sehari-hari seperti ditunjukkan pada karya seni Pop dan benda siap pakai (readymade) dalam karya instalasi. Slogan serba boleh (anything goes) dalam pluralisme seni rupa kontemporer didukung oleh pendapat Joseph Beuys yang menyatakan “Semua orang dapat menjadi seniman”, dan pernyataan Andy Warhol, “Apapun bisa menjadi karya seni”.

(4)

sebagai periode seni rupa pascakesejarahan (posthistorical). Seni rupa pascasejarah adalah seni rupa yang diciptakan dalam kondisi “objective pluralism”, disana tidak terdapat arah kesejarahan yang dimandatkan untuk seni rupa masuk ke dalamnya, setidaknya hingga sejarah seni rupa ditentukan secara internal.

Donald Kuspit (2007:91), dalam bukunya berjudul The End of Art dengan istilah yang berbeda menyatakan bahwa kondisi dimana perbedaan antara imajinasi kreatif dan realitas banal yang digunakan sebagai material mentah telah menjadi kabur, disebut sebagai pascaseni (postart). Model dalam reproduksi pasca artistik yang menggunakan akal ironis tertentu ini adalah Marcel Duchamp. Barang temuan atau benda siap pakai (readymade) memiliki identitas ganda, sebagai artefak sehari-hari dan juga sebagai karya seni rupa. Artefak fungsional secara sosial telah diubah menjadi masterpieces artistik sublim oleh tindakan kreatif (creative act) Duchamp. (Kuspit,2007:22).

Di dalam sejarah seni rupa kontemporer Indonesia, konsep pluralisme sudah dipraktikkan oleh para perupa anggota Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia pada tahun 1975-1979 dan tahun 1987. Karya yang ditampilkan mereka cukup beragam dan mulai menampilkan karya-karya instalasi dan karya-karya drawing yang pada saat itu belum lazim. Salah satu tuntutan dari manifesto gerakan yang diberi judul “Lima jurus gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia” berisi tentang keberagaman gaya (pluralisme):

Mendambakan “kemungkinan berkarya” dalam arti keragaman gaya dalam karya seni rupa Indonesia. Menghujani seni rupa Indonesia dengan kemungkinan-kemungkinan baru, mengakui semua kemungkinan tanpa batasan, sebagai pencerminan sikap “mencari”. Dari sini, menantang semua penyusutan kemungkinan, antara lain sikap pengajaran “cantrikisme” di mana gaya seorang guru diikuti murid-muridnya, yang sebenarnya bisa berbuat lain, memperkaya kemungkinan “gaya” seni rupa Indonesia.(Supangkat,1979:xix)

(5)

bahwa karya-karya itu layak mendapat perhatian dan pengamatan sama besar seperti yang biasa diberikan kepada lukisan atau patung. (Hasan,2001:219-221)

Tahun 1992 di Yogyakarta diselenggarakan Pameran Biennale Seni Lukis Yogyakarta III. Panitia pameran hanya membatasi jenis karya lukisan saja untuk dipamerkan, sedangkan pesertanya juga dibatasi usia minimal 35 tahun. Kriteria pembatasan peserta dan jenis karya ini kemudian menimbulkan reaksi keras di kalangan perupa muda dan perupa dari luar seni lukis. Bersamaan dengan pelaksanaan pameran Biennale yang resmi, sekelompok perupa muda dan mahasiswa yang terdiri dari Kelompok Bulak Sumur dan mahasiswa FSRD ISI Yogyakarta membuat kegiatan tandingan dengan judul Binal Esperimental yang terdiri dari pameran seni instalasi, performance art, pentas musik, dan lain sebagainya. Dadang Christanto dan Krisbudiman, dengan mengutip pandangan Foucault menyatakan bahwa suatu “kebenaran” tergantung siapa yang menguasai diskursus. Diskursus seni lukis “resmi” Biennale sebagai bentuk kekuasaan untuk menentukan “kebenaran” nilai estetik tertentu secara hegemonik. Binal tidak berupaya untuk membantuk “Barisan sakit hati”, tetapi lebih pada kesadaran pluralism seni dan ingin merayakan keberagaman.(Bernas, 2 Agustus 1992).

Menurut Agus Burhan (2007), periode sejarah seni rupa Indonesia sejak 1974 hingga akhir abad XX mengikuti ‘paradigma estetik kontekstualisme pluralistis’, sedangkan kecenderungan sejak pergantian abad lalu disebut ‘paradigma Sintesis Baru’

Internasionalisasi karya seni rupa kontemporer Indonesia sejak tahun 1990-an ditandai dengan keikutsertaan perupa Indonesia pada even seni rupa kontemporer Internasional seperti biennale dan triennale di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika. Pada pameran-pameran internasional itu para perupa Indonesia banyak menampilkan karya-karya alternatif seperti instalasi, performance art, video, fotografi, mural dan sebagainya. Di dalam negeri sendiri mulai terjadi perubahan nama Biennale Seni Lukis (Jakarta dan Yogyakarta) menjadi Biennale seni Rupa dimana karya-karya alternatif diterima dengan status yang sama. CP Biennale dan ArtJog (Artfair) pada awal abad XXI menambah peluang para perupa kontemporer merayakan keberagaman seni rupa. Penghargaan seni seperti Phillip Morris dan Indonesian Art Award semakin meningkatkan minat berkarya seni rupa kontemporer.

(6)

performance art, fotografi, video, sound art, seni serat, dan sebagainya. Teknik untuk karya dua dimensi meliputi, sketsa, arsir, sapuan, kolase/temple, cetak fotografi, dan sebagainya. Karya tiga dimensi dapat dikerjakan dengan teknik cor, pahat, las, sambung, asambalase, jahit, dan sebagainya. Gagasan yang diangkat oleh para perupa kontemporer sangat beragam meliputi, sosial politik, ekonomi, budaya, urban, pribadi, domestik (jender), agama, hubungan internasional, dan sebagainya. Identitas perupa menjadi aspek keragaman yang menonjol dalam seni rupa kontemporer Indonesia, mereka berasal dari kalangan diaspora Tionghoa, perupa etnis Minang (Sakato), perupa etnis Bali (Sanggar Dewata), ekspatriat, perupa perempuan, perupa gay/lesbian, perupa otodidak (Kelompok Sepi), perupa desa (KUD), perupa kelompok-kelompok komunitas, perupa individu yang tidak membentuk komunitas, dan lain sebagainya.

Makna Kreativitas dalam Seni Rupa Kontemporer

Pluralitas dalam seni rupa kontemporer yang memberi kebebasan tanpa batas terhadap penciptaan karya seni rupa menimbulkan pertanyaan terutama yang berhubungan dengan masalah kreativitas. Konsep kreativitas dalam penciptaan karya seni rupa modernis selalu terkait dengan inovasi dan keaslian. Menurut Stenberg (2002:3), kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan karya yang baru (orisinal) dan yang sesuai (berguna). Harris (2006:73-74), menyatakan bahwa kreativitas artistik adalah, kualitas yang inovatif, inspiratif, dan visioner. Orisinalitas yang dituntut oleh seni rupa modernis sudah tidak sesuai dengan praktik seni rupa kontemporer yang tidak mempedulikan lagi aspek itu. Fenomena meremehkan orisinalitas sudah cukup lama terjadi pada seni rupa modern seperti terlihat pada karya-karya Pop dari Andy Warhol yang mereproduksi karya seniman sebelumnya atau mereproduksi citra artis pop atau tokoh tertentu. Peminjaman objek dari karya perupa sebelumnya juga dilakukan para perupa Dada, dan para perupa feminis yang menggunakan media fotografi seperti Sherrie Levine dan Barbara Kruger. Praktik peminjaman objek visual dari karya perupa lain yang menjadi ciri menonjol dalam seni rupa kontemporer ini sering disebut apropriasi.

(7)

(1993: 923-928),  pengarang atau seniman adalah sumber utama dari ekspresi dan merupakan pencipta (kreator) yang jenius dari sebuah karya dan juga sebagai produk ideologis.

Roland Barthes(1977:142-148) menyatakan bahwa pengarang (seniman) adalah figur modern yang dihasilkan oleh masyarakatnya sejak akhir abad pertengahan dengan empirisme Inggris, rasionalisme Perancis, dan keyakinan personal dari Reformasi yang menemukan prestise pada individu. Karya-karya yang dihasilkan secara tiranis berpusat pada pengarangnya, orangnya, sejarahnya, seleranya dan pada hasratnya. Krauss (1993:1060-1065),  menambahkan bahwa orisinalitas dan kebaruan yang diharapkan dari karya-karya seniman/pengarang modernis menuntut mereka melakukan penemuan teknik dan gaya yang inovatif secara terus menerus. Peniruan dan pengulangan terhadap bentuk alam dan seni yang sudah ada dianggap sebagai tindakan yang tidak kreatif dan tidak orisinal. Modernisme dan avant-garde adalah fungsi dari apa yang disebut sebagai wacana orisinalitas, dan wacana itu melayani banyak kepentingan yang lebih luas seperti museum, sejarawan dan para pembuat seni.

Orisinalitas dan inovasi yang dituntut oleh kaum modernis pada akhirnya mendapat kritik dari kaum strukturalis/poststrukturalis. Roland Barthes (1977:  142­148)  melalui tulisannya "Death of the Author" menyatakan bahwa secara linguistik pengarang/seniman (author) hanyalah seorang yang menulis (scriptor). Penulis modern (scriptor) lahir bersama dengan “teks”, di mana teks adalah jaringan dari kutipan-kutipan, yang dihasilkan dari ribuan sumber budaya. Seseorang yang dapat memahami setiap kata-kata tertulis adalah “pembaca” (reader). Tulisan-tulisan yang digambarkan berasal dari berbagai budaya dan kemudian menjadi hubungan dialog serta parodi. Hanya terdapat satu tempat bagi multisiplitas tulisan, ia adalah pembaca, bukan pengarang. “Kelahiran dari pembaca harus ditebus dengan kematian pengarang”.

Wacana kematian pengarang ini berpengaruh dalam sistem produksi maupun konsumsi seni rupa kontemporer pada saat ini. Seniman atau pengarang tidak lagi menjadi pusat peciptaan dan karya seni rupa tidak lagi dituntut untuk menghasilkan karya yang memiliki kriteria orisinal. Para perupa kontemporer tidak lagi dianggap sebagai seniman jenius yang terpisah dari lingkungan sosialnya. Pesan atau tema menjadi lebih penting dari pada bentuk maupun estetika. Pesan atau tema menjadi lebih penting dari pada bentuk maupun estetika. Strategi visual yang digunakan oleh para perupa kontemporer lebih dimudahkan dengan adanya teknologi.

(8)

dari kata Latin “appropriare” yang memiliki arti “menjadikan milik sendiri”. “To appropriate” pada saat ini memiliki arti, mengambil sesuatu untuk kegunaan diri seseorang dan kata sifat dari “appropriate” berarti menjadi milik diri seseorang, privat dan cocok. Kata “appropriate” juga memiliki konotasi yang sinis yaitu penculikan atau pencurian. Penerapan kata appropriasi pada seni rupa dan sejarah seni rupa pada masa sekarang ini berhubungan dengan adopsi karya seni rupa dari unsur-unsur yang ada lebih dulu. Appropriasi juga bisa bermakna “peminjaman” atau “pengaruh”, dari produksi dan resepsi sebuah karya seni rupa.

Appropriasi menjadi standar dalam produksi karya seni rupa kontemporer pada saat ini. Terdapat berbagai macam teknik appropriasi dalam produksi karya seni rupa kontemporer seperti misalnya: remix, copy-paste, collage, montage, dan kutipan. Strategi appropriasi dalam seni rupa kontemporer merupakan bentuk kritik terhadap mitos orisinalitas, kepengarangan dan aura dalam seni modernis. Mitos seni modernis tersebut biasanya dikaitkan dengan dominasi perupa laki-laki, sehingga banyak perupa perempuan melakukan dekonstruksi terhadap mitos itu. Para perupa perempuan seperti, Sherie Levine, Barbara Kruger dan Cindy Sherman banyak menghasilkan karya kontemporer dengan strategi appropriasi melalui karya-karya fotografi dengan tujuan untuk mengkritik mitos orisinalitas dan aura seni rupa modernis yang bersifat patriarkhis.

Para perupa perempuan Indonesia, khususnya dari Yogyakarta sedikit sekali yang memanfaatkan fotografi, mereka lebih senang menggunakan teknik kriya seperti keramik dan tekstil (serat) yang bersifat feminin dan oleh kaum modernis dipandang sebagai bukan seni murni. Penggunaan teknik kriya dalam seni rupa kontemporer oleh perupa perempuan bermakna sebagai kritik terhadap hirarki dalam seni rupa modern di mana seni lukis lebih murni dibanding dengan kriya. Strategi appropriasi banyak dilakukan oleh para perupa Indonesia baik perempuan maupun laki-laki.

(9)

Praktik seni rupa kontemporer di Indonesia yang cenderung memberi ruang pada pluralisme dengan slogan anything goes, menyebabkan tidak adanya kepastian terhadap kriteria estetik dari sebuah karya seni rupa. Batasan yang jelas tentang kriteria estetis sulit ditemukan karena dalam seni rupa kontemporer tidak mengutamakan aspek estetis. Para perupa justru sering bermain dengan istilah batasan, misalnya dengan memunculkan istilah “menembus batas”, “melintas batas”, “melampaui batas”. Istilah “lintas-batas” di dalam wacana dan praktik seni rupa kontemporer menunjukkan bahwa istilah “orisinalitas” dan gaya individual yang tunggal sudah tidak dianggap penting. Karakter dari karya seni rupa kontemporer adalah hibrid atau eklektik, berwajah ganda. Werbner (1997:15) menyatakan bahwa semua budaya selalu hibrid. Sebagai diskripsi budaya, hibriditas adalah tanpa makna karena memusiumkan budaya sebagai sebuah benda. Pernyataan Werbner ini sejalan dengan pendapat Lyotard (2004:173) yang menyatakan bahwa eklektisisme adalah derajat nol dari budaya umum kontemporer. Karakter hibrid dalam karya seni rupa kontemporer yang didukung oleh kedua pendapat itu bisa ditambahkan dengan pendapat Bakhtin (1981:358) yaitu bahwa hibriditas adalah campuran dari dua bahasa, sebuah pertemuan antara dua kesadaran linguistik.

Seni rupa kontemporer yang didukung oleh teori postmodern memiliki dorongan alegori. Alegori yang murni adalah elemen struktural di dalam sastra, sebuah teks dibaca melalui teks lainnya. Menurut Encyclopedia of Postmodernism (Taylor dan Winquist, 2001:6) “alegori” berasal dari kata Yunani allos= lain dan agoreuei = bicara. Pengertian yang lebih luas, alegori termasuk semua karya sastra, sejak semua teks dapat dibaca secara “lain”. Jonathan Harris (2006:12) mendefinisikan alegori di dalam karya seni rupa, adalah karya seni rupa yang dikomunikasikan melalui arti simbolis, menunjukkan pengkodean makna, meskipun tidak memerlukan komunikasi yang koheren, atau pesan tunggal.

(10)

Indonesia yang menggunakan strategi alegori diantaranya adalah para perupa dengan basis realis seperti, Ronald Manullang, Sigit Santosa, Agus Suwage, Pramuhendra, dan lain-lain.

Karakteristik lain dari karya seni rupa kontemporer adalah digunakannya strategi parodi atau ironi. Pengertian parodi menurut Hutcheon (2000:32) adalah satu bentuk imitasi tetapi , akan tetapi suatu imitasi yang berkecenderungan ironik. Parodi adalah pengulangan yang dilengkapi dengan ruang kritik yang mengungkapkan perbedaan daripada persamaan. Hutcheon(2004:148) menambahkan bahwa parodi menggugat asumsi humanis tentang orisinalitas dan keunikan artistik serta konsep kepemilikan dan hak milik kapitalis. Melalui parody dan reproduksi lain, konsep orisinalitas sebagai sesuatu yang langka, tunggal, dan berharga(secara estetis dan bisnis) dipertanyakan kembali. Banyak perupa Indonesia yang menggunakan pendekatan parodi pada karya mereka, beberapa perupa yang menggunakan parodi misalnya Heri Dono, Agus Suwage, Ronald Manullang, S. Teddy dan lain-lain.

Para perupa Gerakan Seni Rupa Baru secara sadar menggunakan kata parodi untuk menamai pameran mereka pada tahun 1987 yaitu dengan tajuk “Parodi Pasaraya Dunia Fantasi”. Para perupa dari komunitas Apotik Komik dan Taring Padi seringkali menggunakan gambar sebagai media mengungkapkan kritik sosial yang bernuansa parodi. Pada awalnya ketika para perupa dari Taring Padi dan Apotik Komik masih penuh semangat menggunakan ruang publik urban untuk mempresentasikan gagasan mereka melalui seni publik (mural, stensil, banner). Kini para individu anggota kedua komunitas itu sibuk dengan karir pribadinya masing-masing, maka media seni publik yang bertujuan menolak pasar, justru ditinggalkan demi kompromi dengan pasar.

(11)

Perupa perempuan juga menggunakan media kriya tekstil dan kriya keramik dalam presentasi karya mereka. Media kriya tekstil digunakan oleh Caroline Rika Winata, Tiarma Sirait, Kelompok Simponi dan lain-lain. Para perupa perempuan yang menggunakan media kriya keramik antara lain adalah Titarubi, Koniherawati, Endang Lestari, Dona Prawita Arisuta, dan lain-lain. Perupa perempuan seperti Mella Jaarsma menggunakan berbagai bahan seperti kain, kulit, tulang, kepompong, dan sebagainya. Bahan-bahan sehari-hari itu dijahit, disambung, ditempel sehingga menjadi karya instalasi wearable misalnya dalam seri karya kostum kerudung dan shelter. Rennie Emonk, seorang perupa perempuan menggunakan media kayu, resin, akrilik, dan sebagainya untuk menghasilkan karya bercitra mainan mirip boneka. Pada pameran Boys are Toys, Rennie menciptakan boneka-boneka tokoh laki-laki dengan bentuk dasar phallus. Perupa Astari lebih sering menggunakan media lukis dan kadang-kadang menggunakan seni objek untuk mempresentasikan gagasan keperempuanannya. Meskipun para perupa perempuan menggunakan media yang beragam, tetapi tema intinya sama yaitu relasi dirinya dengan laki-laki dan identitas perempuan. Hal lain yang sama dari mereka adalah penggunaan strategi apropriasi dengan pendekatan parodi, alegori, ironi, dan hibridasi (eklektik).

Para perupa kontemporer Indonesia merayakan pluralisme dengan menciptakan karya seni rupa yang beragam baik dari gagasan, media, dan teknik. Slogan “Apapun Boleh” dalam pluralisme postmodern disambut dengan produktivitas masing-masing perupa tanpa harus terbebani oleh konsep orisinalitas seperti pada paradigma modernis. Donald Kuspit (2004:141) menegaskan bahwa modernisme ditandai dengan kreativitas primal, sedangkan posmodernisme ditandai dengan reproduksi skunder. Tidak percaya kepada orisinalitas, adalah tidak percaya kepada orisinalitas.

Pendidikan Seni Rupa Menyikapi Perubahan Makna Kreativitas

(12)

Mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya. Pendidikan Seni Budaya memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan multikultural. Mata pelajaran Seni Budaya bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. : 1). Memahami konsep dan pentingnya seni budaya; 2). Menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya; 3). Menampilkan kreativitas melalui seni budaya; 4). Menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional, maupun global. Ruang lingkup mata pelajaran Seni Budaya meliputi, seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni teater. Mata pelajaran seni rupa, mencakup keterampilan dalam menghasilkan karya seni rupa murni dan terapan.(BSNP, 2006:225-226)

(13)

Prinsip multikultural dapat dilihat pada KD apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara dan mancanegara. KD apresiasi untuk seni tradisional ditunjukkan pada, mengidentifikasi karya seni kriya di wilayah Nusantara, menampilkan sikap apresiatif terhadap karya seni kriya di wilayah Nusantara. Pada kelas XII, KD apresiasi meliputi: menjelaskan keunikan karya seni rupa modern/kontemporer, menjelaskan perkembangan seni rupa modern/kontemporer Mancanegara, dan menampilkan sikap apresiatif terhadap karya seni rupa modern/kontemporer. Seni rupa kontemporer pada kelas XII dijadikan materi apresiasi, sedangkan pada KD ekspresi di kelas XII, tidak secara eksplisit mode kreasi yang diharapkan dengan paradigma seni rupa modern apa paradigm seni rupa kontemporer. Jika membandingkan dengan praktik seni rupa kontemporer yang sudah menjadi arus utama, maka praktik berekspresi seni rupa di sekolah belum bisa diketahui dengan pasti. Slogan apapun boleh dalam pluralisme seni rupa kontemporer belum tentu dipahami atau diminati oleh para guru seni rupa di sekolah. Paham itu merupakan wujud dari demokrasi seni rupa yang menghilangkan hirarki media dan material seni rupa, menghapus dominasi kulit putih terhadap kulit berwarna, menghapus dominasi seni maskulin terhadap seni feminin, menghapus hirarki benda seni dengan benda non seni.

Kreativitas hanya efektif jika diwujudkan dalam bentuk ekspresi, oleh karena itu dengan KD yang sudah ada tersebut para guru dapat memberi kesempatan kepada peserta didik untuk dapat berekspresi atau berkreasi dengan strategi apropriasi, parodi, alegori sesuai dengan paradigm seni kontemporer.

Praktik seni rupa kontemporer dalam art world Indonesia mengarah pada “pasar”, baik di tingkat lokal maupun Asia Tenggara dan Asia. Banyak pihak ikut terlibat dalam pergerakan pasar seni rupa kontemporer. Para pelaku yang terlibat di dalamnya yaitu perupa, kurator, kolektor, galeri, balai lelang, menejemen seni, media, dan sebagainya. Pendidikan tinggi seni rupa secara langsung mungkin tidak terlibat, tetapi para mahasiswa dan dosen secara pribadi. Para kurator Indonesia sebagian besar adalah tenaga pengajar di perguruan tinggi seni rupa. Para kurator justru banyak mendapat pengalaman dari luar kampus, karena kegiatan pameran seni rupa kontemporer di galeri-galeri komersial di kota-kota pusat seni sangat tinggi intensitasnya. Peran kurator sangat diperlukan baik oleh perupa maupun pemilik galeri, untuk merancang konsep pameran dan membuat tulisan kuratorial.

(14)

menunjukkan perubahan yang berarti. Praktek seni rupa kontemporer di luar kampus memiliki logikanya sendiri dan membuat acuan sendiri. Para perupa kontemporer sebagian besar bekerja secara lintas disiplin, mereka memiliki multikeahlian yang secara teknis dibantu oleh artisan atau tenaga ahli, Para perupa lebih cenderung berperan sebagai konseptor daripada eksekutor karya seni. Keahlian ganda ini tidak dapat dipelajari di dalam kampus, karena sistim pendidikan tinggi seni di Indonesia (S1) masih bersifat monodisiplin, dan masih mengikuti paradigma modernis dimana seni murni dibedakan dengan seni kriya dan desain. Pendidikan untuk calon kurator dan menejemen seni (S1) belum tersedia, sehingga para kurator yang ada saat ini sebagian besar hasil belajar dari pengalaman. Program studi di Fakultas Seni Rupa semestinya disederhanakan hanya Penciptaan Seni, Pengkajian Seni, Menejemen Seni, Pendidikan seni, dan Pengkoleksian & Restorasi seni.

Simpulan

Wacana pluralisme postmodern telah berpengaruh kuat pada praktik seni rupa kontemporer di Indonesia. Para perupa dengan sukacita merayakan kebebasan berkarya tanpa terikat oleh criteria dan aturan yang ketat dalam berkarya seni rupa. Orisinalitas dan kebaruan menjadi yang syarat kreativitas pada seni modernis yidak lagi memiliki kekuatan. Para perupa kontemporer mengabaikan orisinalitas dan kebaruan, sebagai gantinya para perupa kontemporer kini beramai-ramai menggunakan strategi apropriasi dengan bentuk parodi, ironi, alegori, eklektik, dan sebagainya.

Pendidikan seni di tingkat menengah maupun perguruan tinggi belum menyesuaikan diri dengan perkembangan seni rupa kontemporer di lapangan. Struktur lembaga dan kurikulum pendidikan seni rupa belum disejajarkan dengan praktik di lapangan, sehingga perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia kurang mendapat dukungan berupa pengkajian dan penelitian resmi dari pihak lembaga pendidikan seni rupa. Kondisi ini dimanfaatkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan kekuatan modal untuk mempengaruhi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia sesuai dengan keinginan mereka.

Daftar Pustaka:

Bakhtin, Mikhail, 1981, The Dialogic Imagination, terj. Caryl Emerson dan Michael Honquist, Austin: University of Texas.

Barthes, Roland, 1977, ‘The Death of Author’, dalam , Image-Music-Text, Terjemahan,ed, Stephen Healt ,New York: Hill and Wang.

(15)

BSNP, 2006, Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA, Jakarta.

Burhan , Agus 2007, ‘Indonesian Art Paradigm’ dalam katalog pameran seni rupa TITIAN MASA : The Collection of The National Gallery of Indonesia, 13 November – 2 Desember 2007 di Balai Seni Lukis Negara (National Art Gallery Malaysia).

Danto, Arthur C., 1999, “Philosopher as Andy Warhol”, dalam Danto, Arthur C., Philosophizing Art: Selected Essays, Berkeley dan Los angeles: University of California.

________., 1997, After The End of Art: Contemporary Art and The Pale History, Princeton: University of Princeton Press.

________, 1998, The Wake of Art, Criticism, Philosophy, and The End of Taste, Amsterdam: G- B Art International Imprint.

en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Beuys, diakses 4 November 2012.

Foucault, Michel, 1993, ‘What is an Author’ dalam Charles Harrison dan Paul Wood,ed, Art in Theory 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas Cambridge, Massachussets: Blacwell.

Hutcheon, Linda, 2000, A Theory of Parody: The Teaching of Twentieth Century Art Forms, New York: Methuen.

_______, 2004, Politik Posmodernisme, alih bahasa Apri Danarto, Yogyakarta:Jendela. Gablik, Suzi, 1988, Has Modernism Failed? London: Thames and Hudson.

Harris, Jonathan, 2006, Art History: The Key Concepts, New York: Routledge.

Hasan,Asikin, ed, 2001, Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, Jakarta:Yayasan Kalam.

Krauss, Rosalind, 1993, “The Orginality of the Avant-Garde” dalam Charles Harrison dan Paul Wood,ed, Art in Theory 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas (Cambridge, Massachussets: Blacwell, 1993

Kuspit, Donald, 2007, The End of Art, New York: Cambridge University Press.

Lyotard, Jean-Francois, 2004, dan Posmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan, Jakarta: Teraju.

Nelson, Robert S., 2003, ‘Appropriation’, dalam Robert S. Nelson dan Richard Shift,ed, : Critical Terms for Art History ,Chicago dan London, University of Chicago Press, . Owens, Craig, 1993, “The Allegorical Impulse Towards Theory of Posmodernism”, dalam

Harrison, Charles dan Wood Paul, Art in Theory, An Anthology of Changing Ideas, Cambridge, Massacussets: Blackwell.

Piliang,Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Yogyakarta:Jalasutra.

Soehardjo, AJ. ,2005, Pendidikan Seni Dari Konsep Sampai Program, Buku Satu, Malang: Jurusan Seni dan Desain FS UM.

Supangkat,Jim, 1979, Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia: Kumpulan Karangan, Jakarta: PT. Gramedia.

Taylor, Victor E. dan Winquist, Charles E., 2001, Encyclopedia of Posmodernism, London:Routledge.

Referensi

Dokumen terkait

Hanya saja, menggunakan sosial media tidak hanya berupa mengisi akun dengan data dan gambar kemudian diunggah begitu saja, didalamnya ada sebuah permainan

Di Negara Republik Indonesia, hak paten dirumuskan sebagai bak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu

Setelah dianalisis data mengenai penerapan pembelajaran menggunakan pendekatan realistik yang dilakukan guru melalui proses pengamatan terhadap proses pembelajaran ternyata

Dalam penelitian ini sampel berupa serum sapi potong dikoleksi dari peternak dan sampel daging, hati serta lemak dari pasar tradisional asal Blora dan Wonogiri dianalisis untuk

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa maqamat wara’ adalah kedudukan spiritual hamba yang menjauhkan diri dari hal-hal syubhat dan tidak berfaedah demi

Judul : Upaya Preventif Human Trafficking (Khususnya Terhadap Perempuan dan Anak) Bagi Masyarakat Desa Sedayu, Kelurahan Kalisegoro, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Program :

Semakin tinggi perputaran tenaga kerja akan sering terjadi pergantian (keluar/masuk) tenaga kerja yang berarti pula akan merugikan perusahaan. Adanya keterbatasan sumber daya

Selain itu, didalam kulit buah semangka diketahui adanya kandungan likopen yang berguna untuk perawatan kulit yang berjerawatdan bermanfaat memberikan perawatanterhadap sel