• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG PEND (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG PEND (1)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN DISERTASI

PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MULTIKULTURAL PLURALISTIK

(PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENGETAHUAN)

Oleh:

EDI SUSANTO NIM. F0150611

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)

PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MULTIKULTURAL PLURALISTIK (PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENGETAHUAN)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Ke-Islam-an pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya

Oleh:

EDI SUSANTO

NIM. F0150611

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(3)

PERSETUJUAN PROMOTOR

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI Tanggal 26 Mei 2011

Oleh

PROMOTOR

Prof. Drs. H. Syafiq A. Mughni, MA., Ph.D.

PROMOTOR

(4)

PERSETUJUAN TIM PENGUJI

Disertasi ini telah diuji dalam ujian tahap pertama pada tanggal 28 Juni 2011 dan dianggap layak untuk dilanjutkan pada ujian tahap ke dua

TIM PENGUJI

1. Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. Ketua _________

2. Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA. Sekretaris _________

3. Prof. Dr. H. Abd. A’la, MA. Promotor/Penguji _________

4. Prof. H. Syafiq A. Mughni, MA., Ph.D. Promotor/Penguji _________

5. Prof. Dr. H. Syamsul Arifin, M.Si. Penguji Utama _________

6. Prof. Dr. H. Zainul Arifin, MA Penguji _________

(5)

PENGESAHAN DIREKTUR

Disertasi ini telah diuji dalam ujian tahap pertama pada tanggal 28 Juni 2011 dan dianggap layak untuk dilanjutkan pada ujian tahap ke dua

TIM PENGUJI

1. Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. Ketua _________

2. Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA. Sekretaris _________

3. Prof. Dr. H. Abd. A’la, MA. Promotor/Penguji _________

4. Prof. H. Syafiq A. Mughni, MA., Ph.D. Promotor/Penguji _________

5. Prof. Dr. H. Syamsul Arifin, M.Si. Penguji Utama _________

6. Prof. Dr. H. Zainul Arifin, MA Penguji _________

7. Prof. H. Achmad Jainuri, MA., Ph.D. Penguji _________

Surabaya, Agustus 2011 Direktur

(6)

TRANSLITERASI ARAB-LATIN

ARAB INDONESIA ARAB INDONESIA

ء ‘ ض d}

ب B ط t

ت T ظ z}

ث Th ع ‘

ج J غ gh

ح h{ ف f

خ Kh ق q

د D ك k

ذ Dh ل l

ر R م m

ز Z ن n

س S ه h

ش Sh و w

ص s{ ي y

(7)

ABSTRAK

Edi Susanto; Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pendidikan Agama Islam

Multikultural Pluralistik (Perspektif Sosiologi Pengetahuan); Disertasi,

Promotor: Prof. Drs. H. Syafiq A. Mughni, MA., Ph.D dan Prof. Dr. H. Abd. A’la, MA., 2011.

Kata kunci: Nurcholish Madjid, Pendidikan Agama Islam Multikultural pluralistik, Sosiologi Pengetahuan

Disertasi ini bermaksud mendeskripsikan konsep Pendidikan Agama (Islam) dalam perspektif Nurcholish Madjid, background gagasan Nurcholish Madjid tentang Pendidikan Agama (Islam) multikultural pluralistik dan aplikasi perspektif Nurcholish Madjid tentang konsep Pendidikan Agama Islam multikultural pluralistik. Penelitian ini merupakan studi kombinatif antara studi pustaka dan penelitian lapangan, dengan menggunakan perspektif sosiologi pengetahuan. Sumber data menggunakan karya-karya Nurcholish Madjid dan data hasil observasi, wawancara dan data dokumenter. Hasil penelitian menunjukkan:

Pertama, Konsep pendidikan agama (Islam) multikultural-pluralistik yang

digagas Nurcholish Madjid bertitik tolak dari konsep filosofis-antropologis manusia sebagai ‘A bd A lla>h dan khalifah A lla>h yang kualitas kemanusiaannya berproses sehingga memerlukan muja>hadah dalam menyempurnakannya. Muja>hadah itu diproses melalui medium pendidikan agama (Islam) yang menekankan pada tercapainya nilai-nilai akhlak terpuji. Sebagai sebuah konsep filosofis, pemikiran Nurcholish Madjid masih bersifat umum dan berupa mozaik pemikiran yang memerlukan konstruksi yang lebih sistematis. Dalam konteks ini, Nurcholish membuka kesempatan kepada generasi penerusnya untuk memberi muatan terhadap konsep-konsep filosofis abstraktif tersebut sesuai dengan dinamika dan tuntutan zamannya.

Kedua, Gagasan Nurcholish Madjid tentang Pendidikan agama (Islam)

berwawasan multikultural dilatarbelakangi oleh beragam faktor. Latar belakang keluarga, lingkungan sosial, teman pergaulan, riwayat pendidikan yang diterima Nurcholish Madjid dan cara bacanya terhadap realitas dinamika sosial politik umat Islam Indonesia merupakan sekian banyak faktor yang mempengaruhi secara adequatif-simultantif terhadap refleksi pemikiran Nurcholish.

Ketiga, gagasan Nurcholish Madjid tentang Pendidikan Agama (Islam)

(8)

ABSTRACT

Edi Susanto; The Thought of Nurcholish Madjid on Multicultural-Pluralistic of Islamic

Education (Sociology of Knowledge Perspective), Dissertation, Promotors: Prof.

Drs. H. Syafiq A. Mughni, MA., Ph.D and Prof. Dr. H. Abd. A’la, MA., 2011.

Key words: Nurcholish Madjid, Multicultural-pluralistic of Islamic Education, Sociology Knowledge.

The dissertation tends to describe the concept of Islamic education from the perspective of Nurcholis Madjid, background of Nurcholis Madjid idea on multicultural-pluralistic of Islamic education, and the application of Nurcholis Madijid perspective on the concept of multicultural-pluralistic of Islamic education. This is a mixed-study combining library and field studies using the perspective of sociology knowledge. The source of data is on the basis of Nurcholish Madjid works, the result of observation, interview, and documentation. The study results:

Firstly, Nurcholis Madjid’s concept of multicultural-pluralistic of Islamic

education has a starting point at the concept of philosophical-anthropological human as

‘abd-A lla>h (Allah’s servant) and khalifah-A lla>h (Allah’s caliph). However, it takes a process to reach its qualified humanity as well as needs muja>hadah (war against deviation from the true principles of religion) to gain the completeness. Muja>hadah has been processed through the medium of Islamic education emphasizing on the creation of nobel attitude and behavior. As a philosophical concept, Nurcholis Madjid’s thought has a general character and a mosaic one that will take a systematic construction. In this context, Nurcholis opens opportunity for his next generation to contribute values toward those abstract-philosaphical concepts. These must match the dynamics and era claims.

Secondly, Nurcholish Madjid idea about multicultural-pluralistic of Islamic

education is relied on varied factors---family background; social environment; friendship; educationa background of Nurcholish Madjid; and the interpretation of Nurcholish Madjid on the reality of socio-political dynamics of Muslim in Indonesia. Those factors had simultaneously influenced toward the thinking reflection of Nurcholis.

Thirdly, the idea of Nurcholish Madjid about multicultural-pluralistic of Islamic

(9)
(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismi A lla>h wa A lhamdu li A lla>h wa la> hawla wa la> quwwata Illa> bi A lla>h. al-S}ala>t wa al-Sala>m ‘ala> Rasu>li A lla>h wa ‘ala> a>lihi> wa s}ahbihi> ajma’i>n. Inilah ungkapan pertama yang penulis ucapkan ketika disertasi ini selesai disusun, setelah melalui proses panjang, tertatih dan melelahkan. Selebihnya, hanya ucapan terima kasih yang tulus dan tiada tara yang dapat penulis sampaikan kepada semua pihak –yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu—yang telah membantu penyelesaian disertasi ini. Mereka terutama:

1. Prof. Drs. H. Syafiq A. Mughni, MA selaku promotor yang telah membimbing penulis selama penyusunan disertasi dengan penuh perhatian dan tanggung jawab. Pertanyaan beliau via SMS (short massage service) kepada penulis “sudah sampai mana disertasinya?” mendatangkan energi tersendiri bagi penulis untuk melanjutkan penulisan disertasi ini.

2. Prof. Dr. H. Abd. A’la, MA selaku promotor yang telah membimbing penulis selama penyusunan disertasi dengan penuh dedikatif dan bertanggungjawab. Masukan dan bimbingan beliau, benar-benar penulis rasakan sebagai gizi yang sangat bermanfaat dan do’a Bi Ismi A lla>h setiap penulis selesai berkonsultasi, sungguh penulis rasakan sebagai dorongan moral yang sangat bermakna dalam memompa semangat penulis yang –terlalu sering—melemah.

3. Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si selaku Rektor IAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA., mantan Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA selaku Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel yang baru yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa peserta Program Doktor.

4. Para dosen yang telah membimbing penulis selama menuntut ilmu di Program Doktor, mereka adalah Prof. Drs. H. Thoha Hamim, MA., Ph.D. Prof. Dr. H. Bisri Affandi, MA., Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA., Prof. Drs. H. Syafiq A. Mughni, MA., Ph.D., Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si., Prof. Dr. H. Machasin, MA., Prof. Dr. M. Amin Abdullah, MA., dan Prof. Dr. H. Ali Mufrodi, MA.

5. Para penguji disertasi tahap pertama, mereka adalah Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA., Prof. Drs. H. Syafiq A. Mughni, MA. Ph. D., Prof. Dr. H. Abd. A’la. MA., Prof. Drs. H. A. Jainuri, MA., Ph. D., Prof. Dr. H. Syamsul Arifin, M.Si., Prof. Dr. Nur Syam, M.Si dan Prof. Dr. H. Zainul Arifin, MA. Atas saran dan masukan dari mereka, disertasi ini menjadi lebih bermakna.

6. Dra. Hj. Mariatul Qibtiyah, MAg, mantan Ketua STAIN Pamekasan, yang telah berkenan memberikan izin belajar dan memberi bantuan dana pendidikan yang tidak sedikit. Juga kepada Dr. Idri, MAg, selaku Ketua STAIN Pamekasan yang baru, yang senantiasa memacu penulis untuk segera merampungkan penyelesaian disertasi

7. Para pengurus Yayasan Paramadina dan Yayasan Madania. Mereka adalah: Bapak Muslih Hidayat, mas Rahmat Hidayat, Bapak Ahmad Fuadi, Bapak M. Syaiful Imam, mas Mohammad Wahyuni Nafis, mas Mohammad Subhi Ibrahim, mas

Mohammad Monib, mas Taufiq Hidayat dan mas Moh. Shofan. Terima kasih sikap

(11)

kesediaan dan waktunya untuk wawancara –di tengah denyut kesibukan suasana Jakarta—dan pemberian buku-buku serta dokumen Yayasan yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian disertasi ini.

8. Para pegawai perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang telah memberi izin dan memberi suasana nyaman sehingga penulis betah seharian “berdomisili”, mas Subhi Ibrahim –dosen Agama Islam di Program Studi Falsafah dan Peradaban” Universitas Paramadina—yang telah bersedia mengcopykan beberapa buku penting dan langka. Juga pak Muslih Hidayat, yang juga telah mengcopykan beberapa dokumen berharga Yayasan Wakaf Paramadina.

9. Para teman kolega, mereka antara lain kakanda Syaiful Arif, Mohammad Kosim, Nor Hasan, M. Muchlis Solichin, Jamal Abd. Nasir, Mulyadi dan adinda Siswanto. Pertanyaan mereka “Kapan selesai”? “kapan maju”? setiap bertemu penulis, merupakan dorongan berharga dalam penyelesaian disertasi ini.

10. Saudara penulis, mbak Mus dan mas Gun yang telah memberi bantuan, material dan do’a serta selalu memberi solusi ketika penulis sakit dan mengalami masalah. Terima kasih pula kepada mas Agus dan mbak Su’adah di Jakarta yang telah memberikan tempat dan suasana nyaman ketika penulis selama kurang lebih 1 bulan mengadakan penelitian.

Ucapan terima kasih secara khusus dan tulus harus penulis sampaikan kepada

bunda Sudami dan ayahanda A lla>humma ighfir lahu> wa ‘irhamhu wa ‘a>fihi> wa’fu

‘anhu Rancap, yang karena pengorbanan, do’a dan air mata beliau berdua, akhirnya

penulis mampu menyelesaikan studi, sekalipun dengan berat dan tertatih. Terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada ayahanda mertua, A lla>humma ighfir lahu> wa

‘irhamhu wa ‘a>fihi> wa’fu ‘anhu Moh. Chotib dan bunda mertua Hamidah.

The last but not least, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan kasih sayang

serta kebanggaan yang setulusnya kepada istri penulis, Fatimatus Zahrah dan kepada anak-anak tersayang, Shafira Rizqiy Meydina (Vira) dan Davina Khalida Fitry (Diva) yang telah sedemikian berkorban mengurangi kenyamanannya dan rela kurang mendapat perhatian selama penulis menempuh studi S3.

Akhirnya, penulis menyadari kekurangan disertasi ini. Karena itu, pembaca berhak mengoreksi semuanya, tanpa tersisa. Namun, di balik kekurangannya, penulis tetap berharap semoga disertasi ini memberikan manfaat, sekecil apapun.

Billa>hi al-Tawfi>q wa al-Hida>yah

Pamekasan, 1 Agustus 2011

(12)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keragaman telah menjadi bagian sejarah dan realitas kehidupan kemanusiaan, sehingga ia merupakan fenomena alamiah yang eksistensinya tidak dapat dipungkiri. Namun pada realitas konkret, keragaman telah menjadikan manusia terjebak pada sikap-sikap destruktif. Adanya konflik antar berbagai komponen masyarakat dengan latar belakang SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).

Dari sekian banyak faktor pemicu, faktor perbedaan agama, bahkan perbedaan faham keagamaan, merupakan faktor yang tidak bisa dikesampingkan1. Kasus-kasus kerusuhan dan peperangan di berbagai belahan dunia, menunjukkan betapa agama telah dijadikan alat “penghancuran” manusia, di mana hal ini sangat bertentangan dengan ajaran semua agama2. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama berabad-abad, sejarah interaksi antarumat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalih dapat mencapai ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari yang Mahakuasa,3 pada hal sejatinya, setiap agama mengajarkan perdamaian, kebersamaan sekaligus menebar misi kemaslahatan4.

Atas dasar itu, menjadi penting untuk ditelusuri akar terjadinya konflik tersebut, terutama dari aspek model pola kepemelukan agama sekaligus kemudian, dicoba dikedepankan alternatif untuk mengatasi hal itu dengan bertitik tolak dari ajaran agama dan model kepemelukan terhadapnya.

Sehubungan dengan model kepemelukan terhadap agama, secara dikotomis, terdapat pola kepemelukan yang sedemikian tertutup dan kaku terhadap agama lain, dan juga terdapat pola kepemelukan agama yang bersikap positif terhadap perbedaan agama. Untuk model kepemelukan yang tertutup dan kaku terhadap perbedaan, dapat diidentifikasi pada model kepemelukan eksklusivistik. Kemudian, model kepemelukan yang bersikap terbuka terhadap perbedaan, dapat diidentifikasi pada pola kepemelukan dengan corak inklusivistik.

1

Periksa Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan (Yogyakarta: Lesfi, 2002). Bandingkan Ihsan Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, Samsu Rizal Panggabean, Pola-Pola Konflik Keagamaan di Indonesia (1990-2008). (Jakarta: Kerjasama Yayasan Wakaf Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM, The Asia Foundation, 2009). Lihat juga Abd. Moqsith Ghazali,

Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta: Katakita, 2009), 115.

2

M. Amin Abdullah menegaskan bahwa secara normatif, tidak ada satupun agama yang mendorong penganutnya untuk melakukan kekerasan terhadap penganut agama lain. Namun secara historis faktual, banyak sekali dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan oleh manusia dengan justifikasi agama. Periksa M. Amin Abdullah, “Kesadaran Multikultural: Sebuah Gerakan Interest Minimilization Dalam Meredakan Konflik Sosial”, M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), xiii.

3

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. (Bandung: Mizan, 1997), 40.Lihat pula Ahmad Syafii Maarif, “Masa Depan Islam Di Indonesia”, Abdurrahman Wahid, ed. Ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute, Maarif Institute, 2009), 7.

4

H.M. Ridlwan Nasir, “Kata Pengantar”, Thoha Hamim, et.al., Resolusi Konflik Islam Indonesia

(13)

Model-model kepemelukan terhadap agama tersebut tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan merupakan konstruksi yang ditentukan oleh pengalaman pendidikan (dalam maknanya yang luas) dari yang bersangkutan. Dalam rangka meminimalisasi eskalasi konflik dengan latar belakang perbedaan, para ahli kemudian mengupayakan model kepemelukan terhadap agama yang toleran dan bersikap positif terhadap perbedaan dan kemajemukan itu, sebab jika tidak demikian, konflik atas dasar sentimen perbedaan agama akan terjadi, karena agama –meminjam istilah Burhanuddin Daya-- mempunyai fungsi ganda yakni sebagai kekuatan pengikat ke dalam yang luar biasa dan semangat yang keras menyalakan pertentangan keluar (power of internal integrity and power of external conflict).5

Salah satu cara dalam membentuk model kepemelukan inklusivistik terhadap agama adalah melalui promosi dan aplikasi Pendidikan Agama (Islam) berbasis multikultural pluralistik

Pelaksanaan pendidikan agama berbasis dan berwawasan multikultural pluralistik tersebut semakin dirasakan urgen dan mendesak jika dikorelasikan dengan kenyataan bahwa kemajemukan agama dan kemajemukan lainnya, seperti kemajemukan etnis, antar golongan dan kemajemukan lainnya belakangan ini telah menjadi suatu hal yang memancing eskalasi konflik yang sedemikian mengental pekat sebagaimana telah disinggung di atas. Pada sisi lain, kondisi pendidikan agama yang diajarkan di sekolah sangatlah memprihatinkan6.

Atas dasar itu, sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai multikultural pluralistik secara aktif intensif sejak dini kepada terdidik sangat mendesak sehingga diharapkan nantinya mereka terbiasa dengan suasana berbeda, bahkan memandang perbedaan dan keberbagaian dalam seluruh aspek kehidupan merupakan sesuatu yang sudah semestinya, dalam arti tidak dapat ditolak eksistensinya, sekaligus –pada saat yang sama—secara teologis menyadari bahwa fenomena demikian merupakan Sunnat A lla>h (Devine order).

Upaya sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai multikultural-pluralistik tersebut antara lain disuarakan oleh Nurcholish Madjid. Diakui “hampir seluruh usia karir intelektual Nurcholish Madjid dihabiskan untuk mengembangkan paham pluralisme (dalam arti yang seluas-luasnya).7

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah konsep pendidikan agama (Islam) multikultural pluralistik dalam perspektif Nurcholish Madjid?

2. Mengapa Nurcholish Madjid menggagas pendidikan agama Islam bernuansa multikultural pluralistik?

3. Bagaimanakah aplikasi pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pendidikan agama Islam multikultural-pluralistik?

5

Periksa Burhanuddin Daya, “Hubungan Antar Agama di Indonesia”, dalam Ulumul Qur’an Nomor 4 Vol. IV, Th. 1993, 52-53. Bandingkan Kautsar Azhari Noer, “Menampilkan Agama Berwajah Ramah”,

Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban, Vol. 1 Nomor 1 Juli-September 2008), 82.

6

Periksa Tim Redaksi, “Pengantar Redaksi”, Th. Sumartana, et.al., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 2005), vii

7

(14)

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

1. Dapat lebih memahami konsep pendidikan agama Islam multikultural pluralistik dalam perspektif Nurcholish Madjid.

2. Dapat memahami background sosial keagamaan, sosial budaya dan politik pemikiran Nurcholish Madjid tentang pendidikan agama Islam multikultural-pluralistik.

3. Dapat dipahami aplikasi pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pendidikan agama Islam multikultural-pluralistik

Melalui pemahaman mendalam terhadap hal-hal di atas, diharapkan terbentuk suatu pemahaman dan kesadaran bahwa setiap konstruksi pemikiran senantiasa terkait dengan background sosio kultural dan intelektual yang bersangkutan, sehingga untuk mewujudkan perspektif dan penilaian yang adil, maka setiap upaya interpretasi mesti senantiasa dikaitkan dengan dinamika setting sosio-kultural dan intelektual setiap penggagasnya. Pada sisi lain, juga diharapkan dapat memberikan manfaat dengan membangun pemahaman bahwa setiap bentuk pemikiran terhadap teks --apalagi teks keagamaan-- senantiasa mewujudkan dinamika pemikiran dan pemahaman terhadap doktrin keagamaan tertentu.

Dengan wawasan tersebut, sikap empatik dan arif dalam menyikapi adanya pluralitas pemahaman teks-teks keagamaan dapat tumbuh subur, sekaligus --pada saat yang sama-- terwujud pula suatu kesadaran bahwa setiap bentuk pemikiran – bagaimanapun genuine-nya –senantiasa bersifat tentatif sekaligus terbuka untuk dikritisi.

D. Studi Terdahulu

Dalam penelitian ilmiah, satu hal penting yang mesti dilakukan peneliti adalah melakukan tinjauan atas penelitian-penelitian terdahulu. Hal ini lazim disebut dengan istilah prior research. Prior research penting dilakukan dengan alasan

pertama, untuk menghindari adanya duplikasi ilmiah, kedua, untuk membandingkan

kekurangan ataupun kelebihan antara penelitian terdahulu dan penelitian yang akan dilakukan. Ketiga, untuk menggali informasi penelitian atas tema yang diteliti dari peneliti sebelumnya.8

Kajian akademis tentang pendidikan multikultural di Indonesia, sesungguhnya bukan merupakan hal baru dan telah banyak ahli yang mengkajinya. Kajian tersebut antara lain dilakukan oleh HAR Tilaar,9 Choirul Mahfud,10 M. Ainul Yaqin,11 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi.12 Sedangkan kajian dalam bentuk buku yang lebih memfokuskan pada pendidikan agama, khususnya agama Islam multikultural pluralistik antara lain dilakukan oleh Syamsul Arifin13 dan Ahmad Barizi,14 M.

8

Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi: Kuam Muda NU Merobek Tradisi. (Yogyakarta: ArRuzz Media, 2007), 19-20.

9

HAR. Tilaar. Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. (Jakarta: Grasindo, 2004).

10

Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

11

M. Ainul Yaqin. Pendidikan Multikultural: Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

12

Ngainun Naim dan Achmad Sauqi. Pendidikan Multikultual: Konsep dam Aplikasi (Yogyakarta: Ar Ruzz Media Group, 2008).

13

(15)

Amin Abdullah,15Zainal Abidin,16Zakiyuddin Baidhawy,17 Mundzier Suparta,18 dan Abdullah Aly19.

Adapun kajian tentang pemikiran Nurcholish Madjid, juga bukan merupakan hal baru, dalam arti telah banyak peneliti yang menjadikan pemikiran Nurcholish Madjid sebagai fokus dari penelitiannya.

Dalam konteks ini, sepanjang pengetahuan peneliti, terdapat beberapa sarjana yang telah melakukan kajian terhadap pemikiran Nurcholish Madjid. Dari sejumlah tulisan tersebut, penulis belum mendapatkan satu karya pun yang secara otoritatif dan tuntas membahas secara khusus pemikiran pendidikan agama (Islam) Multikultural pluralistik dari tokoh tersebut.

Sehubungan dengan itu, penulis telah mengadakan penelitian tentang pendidikan agama Islam multikultural dalam perspektif Nurcholish Madjid, tetapi dalam pandangan penulis masih dangkal dan bersifat sekilas, terutama jika ditilik dari segi ketiadaan perspektif teoritisnya dan penggunaan metodologi penelitiannya.20

Kajian tentang pemikiran Nurcholish Madjid, pada umumnya lebih tertuju pada gagasannya yang lain seperti tentang relasi Islam dan demokrasi serta pluralisme, suatu fenomena yang sesungguhnya merupakan mainstream—itupun dengan kriterium penilaian, yang masih perlu diuji ulang dengan perspektif yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Kajian tersebut antara lain terlihat pada karya Nur Khalik Ridwan,21 Mohammad Kholil,22 Muhammad Kamal Hasan,23Fauzan Saleh,24 Siti Nadroh,25 Anas Urbaningrum,26 Greg Barton27,

mengekplorasi madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki tanggung jawab moral terhadap pemahamanmenyandingkan agama dengan pluralitas masyarakat. Periksa Arifin, “Pelembagaan Multikulturalisme Melalui Metode Living Values di Madrasah”, 15-38.

14

Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi: Rekonstruksi dan Aktualisasi Ikhtilaf dalam Islam (Malang: UMM Press, 2001).

15

M. Amin Abdullah. Pendidikan Agama Era Multikultural –Multireligius. (Jakarta: PSAP, 2005)

16

Zainal Abidin, ed. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme. (Jakarta: Balai Litbang Agama, 2009).

17

Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural.

18

Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Education Sebuah Refleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Jakarta: al-Ghazali Center, 2008).

19

Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren Telaah terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).

20

Edi Susanto, et.al., Pendidikan Agama Islam Multikultural: Perspektif Kritis atas pemikiran Nurcholish Madjid (Surabaya: eLKAF, 2008).

21

Periksa Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik Atas Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta: Galang Press, 2002).

22

Periksa Muhammad Kholil, Pluralisme Agama: Telaah Kritis atas Pemikiran Nurccholish Madjid.

(Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2007).

23

Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intellectual Responses to New Order Modernization in Indonesia

(Kuala Lumpur: Universitas Kebangsaan Malaysia, 1982).

24

Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. (Jakarta: Serambi, 2004), 327.

25

Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid. (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), 229. Hampir sama dengan tema tulisan Nadroh adalah karya Ahmad. A. Sofyan dan Royhan Madjid, Gagasan cak Nur Tentang Negara dan Agama (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003).

26

Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta: Republika, 2004).

27

(16)

Ahmad Amir Azis28, Jalaluddin Rakhmat et.al.,29 dan Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandi Ibrahim.30

Kajian tentang Nurcholish Madjid ketika sudah meninggal dilakukan oleh kolega dan teman sejawatnya juga tidak secara spesifik membahas tema multikulturalitas pendidikan agama (Islam) melainkan lebih tertuju pada sosok pemikiran dan integritas kepribadian tokoh ini dalam memperjuangkan ide dan gagasannya.31 Pun juga kajian sangat serius tentang noktah-noktah pemikiran Nurcholish Madjid yang dilakukan oleh Budhy Munawar Rachman tidak memfokuskan pada multikulturalitas pendidikan agama (Islam) tetapi merekam hampir keseluruhan gagasan Nurcholish Madjid secara ensiklopedis.32

Demikian juga, buku mutakhir tentang Nurcholish yang ditulis oleh Ahmad Gaus AF, lebih pada upaya rekam jejak momen-momen penting dalam kehidupan Nurcholis, sehingga lebih bersifat biografis.33 Demikian pula karya Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, yang bertema Islam dan Hak Asasi Manusia dalam

Pandangan Nurcholish Madjid. Buku ini berusaha memotret ijtihad Nurcholish

Madjid terkait dengan hak asasi manusia. Monib akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Nurcholish sebagai sarjana muslim yang berlatar belakang keilmuan klasik Islam, formulasi pemikiran tentang HAM-nya lebih khas sebagai kaum teolog. Namun demikian, sebagai penganut neo-Modernisme, Nurcholish berupaya melakukan kontekstualisasi atau reaktualisasi. 34

Namun demikian, belakangan peneliti mendapati kajian tentang pemikiran pendidikan Nurcholish Madjid yang merupakan tesis Muslihin di Leiden University dengan tema “Towards Peace Education: Nurcholish Madjid’s Islamic Education

Reform in Indonesia”. Sesuai dengan temanya, fokus kajian tesis ini adalah tentang

kiprah Nurcholish Madjid dalam mempromosikan pembaruan pendidikan yakni pendidikan berbasis perdamaian dan belum secara spesifik menyentuh substansi Pendidikan Agama (Islam) multikultural pluralistik35

Dari pembahasan di atas terlihat bahwa pemikiran Nurcholish Madjid tentang Multikulturalisme pendidikan agama (Islam) sudah pernah dibahas, namun tidak tuntas. Dengan demikian, ditinjau dari segi tokoh ataupun tema pemikirannya,

28

Ahmad Amir Azis, Neo-Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), 21. Keempat karakteristik di atas dapat disimpulkan dalam istilah yang juga sering diungkapkan kalangan neo modernis yakni al-Muh}a>faz}ah ‘ala> al-Qa>dim al-S{a>lih wa al-A khdh bi al-Jadi>d al-A slah} (memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik).

29

Jalaluddin Rakhmat et.al., Tarekat Nurcholishy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).

30

Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia. Pmikiran dan Aksi Politik Abdurahman Wahid, M. Amin Rais, Nurkholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Zaman Wacana Ilmu, 1998)

31

Muhammad Wahyuni Nafis & Ahmad Rifki, (ed). Kesaksian Intelektual: Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa, (Jakarta, Paramadina, 2005)

32

Dikatakan serius karena buku tersebut terdiri dari 4 jilid dengan jumlah 4000 halaman. Periksa Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban (Jakarta: Paramadina-CSL, Mizan, 2006)

33

Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Kompas, 2010)

34

Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish Madjid (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 298.

35

(17)

topik penelitian ini bukanlah merupakan masalah baru, sebab pada kenyataannya sudah ada yang menelitinya.

Meski demikian, penelitian ini dapat saja menghasilkan temuan baru yang berbeda dengan temuan sebelumnya, atau --jika tidak demikian-- dapat saja memperkuat kesimpulan penelitian yang sudah ada atau mengkoreksinya sehingga terbentuk suatu kesimpulan baru yang “mungkin” lebih proporsional, lebih adil atau tidak bias, karena telah ditopang oleh perspektif teoritik dan metode penelitian yang lebih memadai dan lebih teruji.

Dengan penggunaan perangkat yang demikian, diharapkan pula tidak terjadi upaya pengerdilan (membonsai)36 makna dan signifikansi pemikiran Nurcholish Madjid, meskipun disadari atau tidak, sang penulis –barangkali—tidak bermaksud melakukan hal demikian.

E. Perspektif Teoritik

Dalam sebuah penelitian ilmiah, perspektif teoritik sangat diperlukan. Signifikansinya antara lain untuk membantu memecahkan dan mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti. Selain itu, perspektif teoritik juga digunakan untuk memperlihatkan ukuran-ukuran atau kriteria yang dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu.37

Nurcholish Madjid adalah sosok manusia yang mempunyai latar belakang sosio-kultural dan pendidikan khas yang –boleh jadi—berbeda dengan manusia lainnya. Ia merupakan sosok manusia yang memiliki kesadaran akan pemikiran dan tingkah laku yang diaktualisasikan dalam menjalin komunikasi interaktif dengan komunitas di luar dirinya. Dengan demikian, segala bentuk pemikiran maupun tindakannya merupakan suatu pilihan yang sadar dan bertanggung jawab. Fenomena demikian, sampai batas tertentu, dapat dikaji dari perspektif sosiologi pengetahuan

(sociology of knowledge).

Istilah sosiologi pengetahuan untuk pertama kali diperkenalkan oleh Max Scheler dengan nama Wissenssoziologie.38 Adapun tokoh yang telah berjasa dalam mendefinisikan sosiologi pengetahuan dalam pengertian yang sangat spesifik adalah Peter L. Berger. Dia telah mendefinsikan kembali pengertian kenyataan dan pengetahuan dalam konteks sosial.39

Sosiologi pengetahuan merupakan ilmu baru yang menjadi cabang dari sosiologi yang mempelajari hubungan timbal balik antara pemikiran dan masyarakat. Sosiologi pengetahuan berupaya untuk menghubungkan ide-ide dengan realitas

36

Kecenderungan studi terhadap pemikiran tokoh yang terjadi selama ini, terutama tokoh-tokoh masyarakat, dapat dikategorikan secara bipolar, yakni kalau tidak membesarkannya, sehingga menjadi tokoh yang sedemikian simpatik dan heroik, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni membonsai, dalam arti mengerdilkan makna pemikiran sang tokoh, yang sesungguhnya hampir menghabiskan keseluruhan usia si tokoh tersebut.

37

Teuku Ibrahim Alfian, et.al., Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987), 4.

38

Periksa Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge (England: Penguin Books, 1991), 16.

39

Periksa Frans M. Parera, “Menyingkap Misteri Manusia sebagai Homo Faber”, pengantar edisi Indonesia buku Peter L. Berger dan Thoman Luckman. Periksa Peter L. Berger dan Thomas Luckmann,

(18)

masyarakat dan mengkaji setting historis tempat ide-ide itu diproduksi dan diterima. Sosiologi pengetahuan menaruh perhatian pada kondisi sosial atau eksistensial pengetahuan. Para sarjana dalam bidang ini tidak membatasi pada analisis sosiologis wilayah kognisi seperti tampak dari istilahnya, tetapi secara praktis juga menaruh perhatian pada semua produk intelektual, seperti filsafat dan ideologi, doktrin-doktrin politik dan pemikiran teologis. Terhadap semua bidang tersebut, sosiologi pengetahuan berusaha menghubungkan ide atau gagasan seseorang dengan realitas masyarakat. 40

Sosiologi pengetahuan dipilih sebagai perspektif teoritik penelitian ini karena bermanfaat untuk menjelaskan faktor-faktor sosial yang turut membentuk pemahaman dan sikap seseorang. Dalam Pandangan Karl Mannheim, sosiologi pengetahuan sangat bermanfaat untuk melihat keragaman pemikiran berdasarkan perbedaan perspektif dari setiap individu. Dikatakan, bahwa dengan menyadari perspektif yang berbeda dari setiap pengamat pengetahuan, kita dapat sampai pada satu persetujuan, dengan tanpa menyatakan pengetahuan siapa yang secara obyektif dan absolut paling benar.41 Dengan demikian, sosiologi pengetahuan melihat bahwa kebenaran suatu pengetahuan bukan lagi kebenaran obyektif atau kebenaran relatif, tetapi kebenaran relasional. Relasionisme bukan berarti tidak ada kriteria kebenaran bagi suatu pernyataan, melainkan pernyataan itu selalu dikaitkan dengan perspektif suatu situasi tertentu.42

Secara lebih operasional, penerapan perspektif sosiologi pengetahuan dalam studi ilmu-ilmu sosial telah banyak dikemukakan oleh Peter L. Berger, yang telah mengenalkan teori konstruksi sosial dengan menekankan penggunaan sosiologi pengetahuan untuk memahami produk pemikiran seseorang43.

Teori konstruksi sosial yang dikembangkan Berger merupakan turunan dari pendekatan dan teori yang berparadigma definisi sosial. Dalam perspektif paradigma definisi sosial, manusia merupakan kreator yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Manusia bukan merupakan korban dunia sosialnya sendiri, sebagaimana yang dikumandangkan oleh paradigma lain, yakni paradigma fakta sosial. Manusia bebas menentukan pilihan dengan pertimbangan faktor intern dan eksternal dirinya.44 Paradigma definisi sosial bertitik tolak dari pemikiran Max Weber (1864-1922). Dalam membangun teori sosiologi, Weber menjadikan tindakan individu sebagai pusat kajian. Ia sangat menekankan pada kajian tentang bagaimana individu memberikan makna terhadap hubungan sosial. Oleh karena itu, ia mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mengusahakan pemahaman interpretatif mengenai

40

Periksa Muhyar Fanani, Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 3.

41

Periksa Arief Budiman, “Dari Patriotisme Ayam dan Itik sampai Ke Sosiologi Pengetahuan: Sebuah Pengantar”, dalam Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pemikiran dan Politik.

Terj. F. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1991), xvii.

42

Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia, 306-307.

43

Bersama Thomas Luckmann, Peter L. Berger telah menulis risalah berjudul The Social Construction of Reality. Keduanya menyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial dan sosiologi pengetahuan harus menganalisis bagaimana hal tersebut terjadi.

44

(19)

tindakan sosial agar dapat diperoleh penjelasan kausal mengenai arah dan akibat-akibatnya.45

Metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial yang dikemukakan Weber inilah yang kemudian dikenal dengan pendekatan verstehen46. Menurut Weber, pendekatan verstehen mengharuskan seseorang untuk berempati dengan cara menempatkan diri dalam kerangka pemikiran orang yang perilakunya mau dijelaskan. Proses ini menunjukkan pentingnya konsep “mengambil peran” seperti yang terdapat dalam teori interaksionisme simbolik yang dipelopori oleh Herbert Blumer.

Teori interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis utama, yaitu (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka; (2) makna tersebut berasal dari hasil interaksi sosial seseorang dengan orang lain; (3) makna-makna tersebut disempurnakan dan dimodifikasi di saat proses interaksi sosial berlangsung.47

Implikasi dari perspektif tersebut berarti bahwa tindakan manusia bukan disebabkan “kekuatan luar” sebagaimana dikemukakan penganut mazhab fungsionalis-strukturalis, dan tidak juga dari “kekuatan dalam” sebagaimana diyakini kalangan reduksionis-psikologis. Tetapi, individu dipandang sebagai aktor yang membentuk obyek. Individu senantiasa merancang obyek yang berbeda, memberikan makna, menilai kesesuaiannya dengan tindakan dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut48. Karena itu, aktor selalu dalam posisi sadar dan senantiasa bertindak reflektif menghadapi obyek yang diketahui untuk kemudian diberikan makna berdasarkan simbol-simbol tertentu.

Secara lebih terinci, model sosiologi pengetahuan Peter L. berger dan Thomas Luckmann dirumuskan dalam suatu formula yang bersifat dialektis, yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.49 Eksternalisasi adalah penyesuaian diri

45

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terj. Robert MZ. Lawang (Jakarta: Gramedia, 1988), 214.

46

Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 201. Verstehen adalah suatu metode untuk memahami objek penelitian melalui insight, einfuhlung serta empati dalam menangkap dan memahami makna kebudayaan manusia, nilai-nilai, simbol-simbol, pemikiran-pemikiran serta kelakuan manusia yang memiliki sifat ganda. Verstehen ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran positivisme logis, yang mengembangkan penelitian dengan model-model pendekatan positivistik kuantitatif. Periksa Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner

(Yogyakarta: Paradigma, 2010), 165-166.

47

Margareth M. Poloma. Sosiologi Kontemporer. Terj. Tim Yosagama (Jakarta: Rajawali Pers,2000), 258.

48

Zainuddin Maliki, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik (Surabaya: LPAM, 2003), 236. Hampir paralel dengan teori interaksionisme simbolik adalah kerangka teori aksi (action Theory) yang mempunyai premis asumsi, pertama, tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Kedua, sebagai subyek manusia berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ketiga, dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, perangkat serta metode yang dipandang cocok untuk mencapai tujuannya. Keempat,

kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat diubah dengan sendirinya.

Kelima, manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang telah, sedang dan yang akan dilakukannya. Periksa Ritzer, Sosiologi Ilmu pengetahuan, 46.

49

Nursyam, Bukan Dunia yang Berbeda: Sosiologi Komunitas Islam. (Surabaya: Pustaka Eureka, 2005), 20. Karena itu, tugas pokok sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan adanya dialektika diri (the self)

(20)

dengan kondisi sosio-kultural sebagai produk manusia, obyektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi; dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya50.

Hubungan dialektis tersebut dapat dirumuskan dalam tiga momentum; masyarakat adalah produk individu, masyarakat adalah realitas obyektif dan individu adalah produk masyarakat. Ini berarti ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan berada di luar (objektivasi) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar seakan berada di dalam. Masyarakat adalah produk individu sehingga menjadi kenyataan obyektif melalui proses eksternalisasi dan individu juga produk masyarakat melalui proses internalisasi51

F. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi Kombinatif antara studi pustaka (library

research) dan penelitian lapangan. Untuk studi Pustaka, data primernya adalah

karya-karya Nurcholish Madjid yang membahas tentang fenomena multikultural pluralistik serta artikel-artikel lain yang ada kaitannya dengan fokus masalah. Sedangkan sumber data sekunder adalah karya tulis baik berupa buku maupun artikel yang membahas tentang Nurcholish Madjid terutama yang berkaitan langsung dengan fokus masalah ataupun karya yang bersifat umum, baik karya penulis Barat maupun karya penulis Muslim.

Analisis data atas studi pustaka dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis wacana (Discourse analisys)52 dan teknik analisis hermeneutik, artinya, pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid tentang pendidikan agama (Islam) multikultural pluralistik yang tersebar dalam berbagai karyanya akan dideskripsikan apa adanya untuk kemudian pemikiran tersebut dianalisis. Analisis wacana tersebut dilengkapi dengan analisis hermeneutik, yakni aktivitas interpretasi terhadap suatu

50

Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Terj. Hartono (Jakarta: LP3ES, 1991) , 5. Pada sisi lain, pilihan sadar Nurcholish Madjid untuk mempromosikan gagasan multikultural pluralistik dalam segala derivasinya dapat pula dilihat dari perspektif teori pilihan rasional (Rational Choice Theory,

dimana pilihan suatu sikap didasarkan pada pertimbangan rasional, dengan cost and benefit analysis, untung rugi sosial, sebagai akibat dari pilihan rasional yang telah dilakukannya. Teori ini dikembangkan oleh James S. Coleman, sosiolog dari Universitas Chicago. Coleman menyatakan bahwa “tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai dan pilihan (preferensi)”. Periksa George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Ter. Alimandan (Jakarta: Prenada Media, 2004), 394.

51

Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 37-38.

52

Diantara karakteristik analisis wacana adalah pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan

(21)

obyek yang mempunyai makna (meaningfull forms) dengan tujuan untuk menghasilkan pemahaman yang “obyektif”53.

Konsep obyektivitas dalam ilmu-ilmu sosial adalah berbeda dengan konsep obyektif menurut perspektif ilmu alam yang sedemikian positivistik. Obyektivitas dalam ilmu sosial lebih ditekankan pada tercapainya pemahaman (verstehen)54

sedangkan dalam ilmu alam, verstehen tidak dibutuhkan, tetapi yang dibutuhkan adalah ernklarenn (penjelasan).

Untuk itu salah satu persyaratan yang harus dilakukan adalah adanya interpretasi historis. Dalam rangka interpretasi historis ini, selain dituntut untuk mengetahui personalitas pengarang, juga perlu merujuk pada bacground sosio-kultural dimana pengarang hidup55 sehingga diharapkan terjadinya dialog imajinatif dengan pengarangnya meskipun hidup dalam kurun yang berbeda56. Dalam konteks inilah, perspektif sosiologi pengetahuan yang digunakan sebagai perspektif teoritik penelitian ini menemukan titik relevansinya.

Adapun studi lapangan dalam penelitian ini digunakan sebagai unsur pendukung. Dalam rangka mengungkap data lapangan, peneliti menggunakan observasi dan wawancara mendalam (depth interview). Jenis observasi yang digunakan adalah observasi partisipan yakni peneliti mengamati secara langsung dan terlibat dengan aktivitas sasaran untuk mengetahui fenomena yang relevan dengan tujuan penelitian. Dalam hal ini, peneliti mengamati dan berpartisipasi terhadap kegiatan kursus keislaman dan pengajian yang dilaksanakan di Paramadina57

Sedangkan wawancara dilakukan melalui wawancara bebas terstruktur secara mendalam face to face dengan para kolega Nurcholish Madjid di Yayasan Paramadina, Civitas akademika Universitas Paramadina Jakarta, khususnya dosen Pendidikan Agama Islam serta Pengurus Yayasan Madania Parung Bogor yang

53

Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutic: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique

(London: Routledge and Kegan Paul, 1980), 28.

54

Verstehen merupakan salah satu prinsip dalam studi fenomenologi, disamping epoche dan eiditic vision

. Epoche, berarti penundaan asumsi atau penilaian tentang apa yang ada di benak peneliti sampai suatu fenomena berbicara atau mengungkapkan datanya sendiri. Eiditic vision adalah visi atau kemampuan untuk mencari esensi fakta, verstehen adalah pemahaman tentang gagasan atau perasaan orang/masyarakat melalui manifestasi-manifestasi empirik dalam kebudayaan. Periksa Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 83. Lebih detail, Verstehen adalah suatu metode untuk memahami objek penelitian melalui insight, einfuhlung serta empati dalam menangkap dan memahami makna kebudayaan manusia, nilai-nilai, simbol-simbol, pemikiran-pemikiran serta kelakuan manusia yang memiliki sifat ganda. Verstehen ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran positivisme logis, yang mengembangkan penelitian dengan model-model pendekatan positivistik kuantitatif. Periksa Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif, 165-166. Meskipun penelitian ini tidak menggunakan fenomenologi sebagai pendekatan, tetapi beberapa prinsip dalam fenomenologi dengan “terpaksa dipinjam” untuk kepentingan akurasi data yang akan diperoleh, seperti menggunakan pendekatan deskriptif, bersikap empatik dan simpatik.

55

Bleicher, Contemporary Hermeneutic, 43.

56

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. (Jakarta: Paramadina, 1996), 132.

57

Adapun pengamatan langsung di SMA SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) Madania Parung Bogor, tidak peneliti laksanakan lantaran waktu penelitian ini dilaksanakan, SMA SBI Madania sedang libur akhir tahun. Sebagai gantinya, peneliti mendatangi Kantor Yayasan Madania di Grand Wijaya dan bertemu dengan Principal SMA Madania (Bapak Muhammad Wahyuni Nafis) dan pengurus lainnya, dan di situ peneliti mendapat penjelasan yang ekstensif tentang pola pendidikan di Madania berikut dokumentasi kegiatan pembelajaran di SMA tersebut. Peneliti juga memperoleh brosur dan booklet

(22)

menjadi informan kunci (key informan) dalam penelitian ini. Jenis wawancara lain yang digunakan adalah open ended interview, suatu bentuk wawancara dengan menanyakan tentang fakta-fakta suatu peristiwa kepada responden disamping opini mereka tentang suatu peristiwa.58

Disamping menggunakan kedua teknik di atas, peneliti menggunakan dokumentasi untuk menambah bukti atau verifikasi nama data dan menambah rincian spesifik guna mendukung informasi dan sumber-sumber lainnya serta membuat inferensi dari dokumen-dokumen tertentu. Dokumen dimaksud adalah dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti seperti (a) surat, pengumumam resmi, (b) brosur dan booklet, (c) dokumen administratif, (d) kliping-kliping dan artikel di media massa.

Terhadap data penelitian lapangan dianalisis melalui tiga tahapan, pertama, reduksi data, kedua, display data, dan ketiga, pengambilan kesimpulan serta verifikasi59. Reduksi data ditandai dengan proses editing, yakni menentukan dan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian, menyempurnakan catatan yang kosong, memperjelas sandi-sandi dan coretan-coretan sehingga dapat menghilangkan keraguan, mengubah kependekan-kependekan menjadi kalimat penuh dan sempurna, mengecek konsistensi data, kesesuaian jawaban dengan pertanyaan. Display data ditandai dengan proses unitizing, organizing, dan

categorizing yakni menyajikan data dalam bentuk kategori, baik dalam bentuk

matrik, grafik dan sebagainya. Pengambilan kesimpulan dan verifikasi, yakni aktivitas mencari pola, model, persamaan dan sebagainya dari data yang telah terkumpul untuk kemudian dapat ditarik kesimpulan yag lebih akurat. Data yang telah dikumpulkan di lapangan diedit, dikelompokkan berdasarkan ketegori jawaban, sehingga diketahui titik masalahnya untuk kemudian disimpulkan dan digeneralisasikan serta menghasilkan teori.

Untuk mengetahui keabsahan temuan penelitian lapangan, peneliti melakukan pengecekan dengan60:

1. Memperpanjang kehadiran, artinya peneliti menambah volume, intensitas atau waktu untuk meneliti apakah temuan data di lapangan bersifat kebetulan atau memang benar-benar terjadi.

2. Observasi yang diperdalam.

3. Triangulasi, artinya mengecek keabsahan temuan penelitian ini dengan menggunakan beragam metode, seperti mengontrol temuan observasi dengan wawancara dan sebaliknya serta membandingkan sekaligus mengkonfirmasi data yang diperoleh dari informan dengan informan lainnya.

4. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi, yakni hasil kerja peneliti didiskusikan untuk diketahui data apa yang perlu digali lebih lanjut dan hal apa yang perlu dieliminasi, sehingga akhirnya data penelitian yang terjaring benar-benar data yang representatif.

Dengan kombinasi penelitian pustaka dan penelitian lapangan, diharapkan diperoleh kesimpulan yang lebih utuh dan lebih memadai terhadap sasaran yang dikaji, sekaligus dapat menghindari bias yang terlalu lebar.

58

Robert K. Yin, Studi Kasus (Desain dan Metode). Ter. Djauhari Mudzakir (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 108-109.

59

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial. (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 86-87. Bandingkan Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, 162-164.

60

(23)

II. BIOGRAFI INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID

Nurcholish Madjid dilahirkan di Mojoanyar Jombang pada tanggal 17 Maret 1939 yang bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358 Hijriyah. Nurcholish Madjid diberi nama oleh orang tuanya dengan nama Abdul Malik. Perubahan nama menjadi Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun, karena Abdul Malik kecil sering sakit. Dalam tradisi Jawa, anak yang sering sakit dianggap “kabotan jeneng” (keberatan nama) dan karena itu perlu diganti. 61

Ayahnya, H. Abdul Madjid, seorang kyai lulusan pesantren Tebuireng, yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Ayah Nurcholish memiliki hubungan yang sedemikian dekat dengan tokoh pendiri Nahdhatul Ulama (NU) ini, yaitu sebagai murid dan sebagai menantu dari keponakan KH. Hasyim Asy’ari, Halimah, sebelum akhirnya bercerai secara baik-baik karena tidak memiliki keturunan. H}adra>t al-Shaikh KH. Hasyim Asy’ari pula yang mencarikan jodoh untuk istri berikutnya yang kemudian menjadi ibu kandung Nurcholish yaitu Hj. Fathonah,62 putri dari KH. Abdullah Sadjad, yang juga teman karib KH. Hasyim Asy’ari.

Nurcholish juga bersekolah di SR di Bareng dan pada sore harinya belajar di Madrasah al-Wat}aniyah, yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Secara akademik, ia termasuk anak yang cerdas dan ketika berusia 14 tahun tepatnya pada tahun 1952 ia dimondokkan oleh sang ayah ke Pesantren Darul ‘Ulum Rejoso Jombang63 dan di pesantren ini, Nurcholish berprestasi secara mengagumkan. 64 Di Darul ‘Ulum, Nurcholish hanya bertahan sekitar 2 tahun yakni sampai dengan tahun 1954. Penyebab ia hanya bertahan dalam durasi waktu singkat tersebut, bukan karena persoalan akademik, tetapi karena dua alasan: alasan kesehatan dan ideologi politik65 dan alasan terakhir inilah yang tampaknya sedemikian signifikan. Sebagaimana diketahui, H. Abdul Madjid, meskipun orang NU dan murid KH. Hasyim Asy’ari, ia adalah orang Masyumi, dan pendirian yang tetap berpartai Masyumi itu tetap dipegang erat oleh Abdul Madjid meskipun NU telah menyatakan keluar dari partai Masyumi.66 Oleh teman-temannya, Nurcholish dicemooh sebagai “anak Masyumi Kesasar”.67 Karena sering diejek itulah, Nurcholish meminta pada ayahnya untuk memindahkannya ke pesantren lain, dan pada tahun 1955, Nurcholish dipindahkan oleh ayahnya ke pondok pesantren Gontor Ponorogo, suatu pondok pesantren yang berbeda dengan sistem pendidikan pesantren pada umumnya sehingga pondok pesantren tersebut diidentifikasi

61

Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Kompas, 2010), 1.

62

Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki ed. Kesaksian Intelektual: Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa (Jakarta: Paramadina, 2005), xxix

63

Pesantren Darul Ulum merupakan salah satu dari pesantren terkenal di Jombang. Di samping Darul Ulum terdapat pesantren Tebuireng sebagai basis KH. Hasyim Asy’ari, Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras dan Mambaul Ma’arif, Denanyar.

64

Barton, Gagasan Islam, 74.

65

Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur. (Yogyakarta: Galang press, 2002), 48.

66

Barton, Gagasan Islam, 75.

67

(24)

sebagai pesantren modern68, yang dalam penilaiannya lebih dekat ke Masyumi, habitat Nurcholish.69 Di Gontor, Nurcholish selalu menunjukkan prestasi yang baik, sehingga dari kelas 1 ia langsung bisa loncat ke kelas 3. Di pesantren ini pula, ia banyak mempelajari bahasa asing terutama bahasa Arab70.

Setelah belajar di Gontor, Nurcholish melanjutkan ke IAIN Jakarta mengambil kuliah di Fakultas Adab jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Di Kampus ini pula ia berkenalan dengan –dan untuk kemudian aktif di-- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), suatu organisasi kemahasiswaan tertua di Indonesia dan sering diidentifikasi sebagai sayap liberal Islam.71 Di lembaga pendidikan tinggi yang kemudian dikenal sebagai “kampus pembaharu” ini pula Nurcholish menulis skripsi berjudul al-Qur’a>n ‘A rabiyun

Lughatan wa ‘A la>miyun Ma’nan (al-Qur’an secara Bahasa berbahasa Arab dan secara

Maknawi adalah Universal) dan menjadi sarjana terbaik pada tahun 1968.72

Minat Nurcholis Madjid terhadap kajian keislaman semakin mengkristal dengan keterlibatannya di HMI. Sehubungan dengan pilihan Nurcholish yang bergabung dengan HMI –dan tidak dengan organisasi kemahasiswaan lainnya—terdapat beberapa penilaian yang memandang bahwa pilihan tersebut kurang lazim. Kekuranglaziman itu, setidaknya jika ditilik dari segi latar belakang bahwa umumnya mahasiswa fakultas agama yang jarang bergumul dengan organisasi semacam HMI yang pada saat itu dianggap memiliki reputasi sebagai mitra kerja Masyumi. Pandangan semacam ini setidaknya dapat ditangkap dari kesan Greg Barton yang meneliti pemikiran Neo-Modernis Nurcholish Madjid. Sikap Nurcholish yang memilih HMI setidaknya kurang cocok jika ditinjau dari kultur teologinya. Terhadap hal ini, Barton berusaha melacak keterlibatan Nurcholish di HMI pada sosialisasinya di lingkungan yang paling dini (keluarga). Barton berkesan bahwa pilihan tersebut disebabkan pengaruh ayahnya agar Nurcholish memiliki rasa hormat yang tinggi pada para pemimpin Masyumi seperti Muhammad Natsir.73

68

Mengutip penelitian Lance Castles, Barton menjelaskan tentang sistem pendidikan di Gontor. Sebagai pesantren modern, Gontor sudah dikenal lama memadukan tradisi klasik dengan liberal sebagaimana secara sederhana direpresentasikan dalam bahasa pengantarnya. Pada masanya, sistem di Gontor diakui sebagai progresif. Periksa Barton, Gagasan Islam, 75. Lihat juga Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. (Jakarta: Paramadina, 1997), 26.

69

Ridwan, Pluralisme Borjuis, 48. Meski demikian, di pesantren Gontor setiap santri dibebaskan untuk menjadi NU atau Muhammadiyah.

70

Santri yang masuk di pesantren Gontor selama enam bulan wajib bercakap-cakap menggunakan bahasa Arab atau bahasa asing lainnya. Baru ketika duduk di kelas dua, seorang santri mulai diperbolehkan untuk belajar nahwu dan Sarraf. Demikian juga di kelas tiga, empat, lima dan enam.

71

Liberalisasi pemahaman keislaman menjadi salah satu kata kunci dalam training-training (pelatihan), diskusi atau debat-debat intelektual di HMI. Hal demikian, salah satunya disebabkan oleh pluralitas latar belakang tradisi keagamaan para anggotanya. Bahasan lebih elaboratif tentang potret dan sejarah HMI lihat Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Surabaya: Bina Ilmu, 1976). Victor Emmanuel Tanja, HMI: Sejarah dan Kedudukannya di Tengah-Tengah Gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia.

(Jakarta: Sinar Harapan, 1982).

72

Kemampuan berbahasa Asing Nurcholish Madjid, bukan hanya berbahasa Arab, tetapi ia juga fasih dalam berbahasa Inggris, Prancis dan fasih pula dalam berbahasa Persia. Untuk kursus bahasa Prancis, Nurcholish kursus di Alliance Francaise yang selesai pada tahun 1962.

73

(25)

Di HMI, ketokohan intelektual Nurcholish Madjid menemukan momentumnya, terbukti dia terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama dua periode berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-197174. Ia pun menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) periode 1967-1969. Dan untuk masa bakti 1969-1971, Nurcholish menjadi Wakil Sekretaris Umum International

Islamic Federation of Students Organisation (IIFSO)75

Dalam masa jabatan sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI, tepatnya pada tahun 1968, Nurcholish Madjid melakukan kunjungan ke Amerika Serikat. Kunjungan itu sendiri terjadi atas undangan pemerintah Amerika Serikat, melalui USIS (United

State of Islamic Student) dan berlangsung selama lima pekan. Di Amerika Serikat,

Nurcholish belajar lebih banyak tentang gagasan-gagasan Barat seperti liberalisme, sekularisme dan demokrasi.

Kunjungan internasional ini ikut menentukan warna intelektual Nurcholish Madjid di HMI, namun kemudian sekaligus bersifat kontroversial. Dikatakan menentukan, karena ilham pembaruan pemikiran Islam yang dilakukannya diperoleh dari kesimpulan perjalanan itu. Dikatakan kontroversial, karena sejak lawatan tersebut, oleh sejumlah kalangan –antara lain sebagaimana ditulis Ahmad Wahib—dinilai sebagai tonggak yang menandai pergeseran intelektual Nurcholish.76

Persentuhannya dengan berbagai tradisi dan kultur serta literatur dari berbagai sumber yang ditemuinya selama muhibah internasional itu, telah mendorong Nurcholish memproklamirkan pembaruan pemikiran Islam, melalui pidatonya pada tanggal 3 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Centre, Menteng Raya Jakarta Pusat dengan judul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.77 Pidato tersebut, dipandang sebagai titik tolak perubahan orientasi pemikiran Nurcholish, dari seorang muslim idealis menuju pandangan muslim realis-pragmatis. 78

Melalui pidato itu, Nurcholish dipandang telah melontarkan gagasan kontroversial. Dikatakan kontroversial karena dalam pidato itu, ia menyampaikan gagasannya tentang “Islam Yes, Partai Islam, No”, suatu gagasan yang dinilai “telah mengkhianati” kecenderungan umum umat Islam waktu itu. Pidato tersebut mengundang respon dan polemik menghebohkan dan disertai tudingan yang

74

Terpilihnya Nurcholish sebagai ketua umum PB HMI yang kedua kalinya dipandang oleh yang bersangkutan sebagai suatu insiden atau kecelakaan sejarah, sebab kongres HMI yang berlangsung di Malang –dalam pandangan Nurcholish—berjalan kurang sehat, yakni pertarungan dengan isu Jawa-luar Jawa, yang btidak menguntungkan bagi HMI beserta nilai pluralismenya. Waktu itu suara Jawa diwakili oleh Tawang Alun dan suara luar Jawa dipersonifikasikan pada Nazaruddin Nasution. Periksa Urbaningrum, Islamo-Demokrasi, 35. Lihat juga M. Dawam Rahardjo, “Djohan Effendi dalam Peta Pemikiran Gerakan Islam”, dalam Elza Peldi Taher, ed. Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi. (Jakarta: Indonesian Conference on Religion and Peace [ICRP], 2009), 6-7.

75

Barton, Gagasan Islam, 78.

76

Djohan Effendi dan Ismet Natsir, Peny. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib.

(Jakarta: LP3ES, 1981).

77

Pidato pada tanggal 3 Januari 1970 itu diadakan pada forum Halal Bihalal dan Silaturrahmi organisasi pemuda, pelajar dan mahasiswa muslim, yakni dari unsur Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami). Nurcholish bertindak sebagai pembicara tunggal, menggantikan Dr. Alfian. Periksa M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. (Bandung, Mizan, 1992), 18-19. Lihat pula Idem, “Djohan Effendi dalam Peta Pemikiran”, 2-11.

78

(26)

memojokkan bahwa Nurcholish telah berubah secara fundamental79 serta dinilai melawan arus kalangan Masyumi yang waktu itu sedemikian getol memperjuangkan visi Islam politik.80

Penolakan Nurcholish terhadap tendensi visi Islam politik Masyumi terkenal dengan jargon Islam Yes, Partai Islam No.81 Sehubungan dengan gagasan itu --atau lebih jelasnya pasca Nurcholish menyampaikan pidato pada tanggal 3 Januari 1970— banyak reaksi keras yang dialamatkan kepadanya. Reaksi keras tersebut terjadi, paling tidak, dapat dianalisis dari dua faktor. Pertama, pemikiran Nurcholish waktu itu berlawanan (kontras) dengan mainstream pemikiran politik tokoh-tokoh Islam waktu

itu82. Kedua, Nurcholish sudah terlanjur didaulat sebagai sosok Natsir Muda, yang

dalam seg-segi tertentu diharapkan mampu merepresentasikan sosok Mohammad Natsir dalam memperjuangkan aspirasi Umat Islam melalui visi politik Islam.

Menghadapi reaksi tersebut, Nurcholish Madjid semakin aktif dengan gagasan-gagasannya, dengan mendirikan Yayasan Samanhudi dan ia menjadi direkturnya selama tahun 1974-1976. Di Yayasan inilah, Nurcolish terlibat intensif berdiskusi dengan Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa dan Abdurrahman Wahid. Ketika itu pula, dia bersama-sama kawan-kawannya tersebut menerbitkan majalah Islam yang sedemikian provokatif dalam menyebarkan gagasan pembaruan yakni Mimbar Jakarta.

Tulisan-tulisannya di majalah ini menjadikannya dikritisi oleh orang-orang yang tidak sepaham dengannya83

Atas dasar itu, dalam sudut pandang Majalah Tempo –hingga batas tertentu— pemikiran Nurcholish telah menyebabkan Ormas-Ormas Islam yang telah menerima

79

Periksa Rahardjo, “Islam dan Modernisasi”, 19. Namun demikian, isi pidato itu, dalam pandangan Dawam Rahardjo, sesungguhnya menganjurkan kaum Muslimin membedakan mana yang substansial dan mana pula unsur temporal

80

Yang dimaksud dengan Islam Politik adalah upaya penyaluran nilai-nilai Islam melalui pendekatan, aspirasi dan representasi partai politik Islam, yang waktu itu sedemikian kental diartikulasikan. Visi ini acapkali diidentifikasi sebagai Islam struktural yang –dalam perspektif para ahli—dikontraskan dengan

pendekatan kultural. Untuk kasus Indonesia, gerakan struktural diwakili oleh Masyumi, Parmusi (pada masa Orde lama dan awal Orde Baru), gerakan Islam kontemporer semisal Front Pembela Islam, Lasykar Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dan partai-partai politik Islam (pada zaman Reformasi). Sedangkan gerakan kultural acapkali diidentifikasi sebagai gerakan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid dan KH. Abdurrahman Wahid melalui kiprahnya di NU pasca khittah. NU sebelum dicanangkan Khittah, yakni ketika masa Demokrasi Terpimpin, Orde Lama dan awal Orde Baru sebelum dicanangkannya Khittah,

menjadi organisasi politik atau setidaknya organisasi sosial kemasyarakatan dengan naluri politik yang memiliki tensi tinggi. Bahasan menarik tentang NU dan kiprah politiknya, periksa M. Ali Haidar,

Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994).

81

Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid. (Jakarta: Rajawali pers, 1999), 37.

82

Segara setelah kejatuhan rezim Soekarno, diantisipasi oleh para pemimpin Islam, dengan menyiapkan langkah-langkah yang memungkinkan politik Islam memainkan peran signifikan dalam rezim yang akan datang. Ini membuat para pemimpin Islam memandang bahwa pada saat itu mereka mempunyai kesempatan baik untuk memainkan peran politik. Muhammad Hatta –mantan wakil presiden pertama— berusaha mendirikan partai Islam baru, Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), tetapi ia mengurungkan niatnya karena beberapa alasan. Tokoh Muhammadiyah-pun berusaha menghidupkan kembali Partai Islam Indonesia (PII), partai yang didirikan oleh pemimpin Muhammadiyah tahun 1938, tetapi juga tidak pernah terwujud karena saran M. Natsir agar Muhammadiyah mendukung rehabilitasi Masyumi daripada mendirikan PII. Periksa M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), 31-35, khususnya catatan kaki nomor 28 dan 29 pada buku tersebut.

83

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 4 menunjukan bahwa Sektor perekonomian di Kabupaten Kubu Raya yang memiliki keunggulan kompetitif dengan peningkatan pertumbuhan sektor

menjadikan penulis untuk mengangkat judul “ GAYA KEPEMIMPINAN PADA RUMAH MAKAN PUTI MINANG CABANG HAJI MENA NATAR LAMPNG. SELATAN DALAM MENINGKATKAN KINERJA

Namun demikian, secara kumulatif penjualan mobil Astra tercatat turun dimana pada periode Januari-Juli 2020 penjualan tercatat sebesar 149,645 unit, turun 49.7% YoY

634.508,104 juta (47,35%) yang berarti bahwa sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Kota Sungai Penuh mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan

Pendapatan merupakan perkalian antara produksi peternakan atau pertambahan bobot badan akibat perlakuan (dalam kg hidup) dengan harga jual, sedangkan biaya pakan

Setelah diskusi dan menggali informasi dari Modul dan Internet, siswa dapat menyusun cara pemeriksaan kerusakan pada sistem kemudi, Kemudi Berat, Gerak bebas

diterima, hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh secara simultan antara beban kerja internal dan beban kerja eksternal terhadap kinerja karyawan operator,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan serta untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi keterbacaan pada empat puisi anak karya Muhammad