• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pendidikan Agama Islam Multikultural Pluralistik

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL PLURALISTIK A Konstruksi Konsep Nurcholish Madjid tentang Pendidikan Agama Islam

D. Aplikasi Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pendidikan Agama Islam Multikultural Pluralistik

Sebagai seorang pemikir, gagasan-gagasan Nurcholish Madjid seringkali mendahului zamannya, sehingga dinilai sebagai visioner dan kontroversial, bahkan sangat abstrak, sehingga memerlukan dukungan untuk mewujudkannya.152 Keberadaan Yayasan Wakaf Paramadina, Universitas Paramadina dan Madania

Boarding School dapat dipandang sebagai sarana dalam mewujudkan dan

mensosialisasikan gagasan-gagasan Nurcholish secara formal.

Karakter keislaman yang ingin dikembangkan oleh Paramadina adalah sebentuk wawasan dan perilaku keislaman yang sangat mementingkan dimensi kesejarahan, apresiatif terhadap khazanah intelektual Islam dan berbagai dinamikanya, baik yang klasik maupun modern, pembentukan wawasan dan sikap

148

Periksa Affan Gaffar, “Islam dan Politik dalam Era orde Baru Mencari Bentuk Artikulasi Yang Tepat”, Ulumul Qur’an Jurnal Ilmu dan Kebudayaan. Nomor 2 Vol. IV, Th. 1993, 18-25.

149

Dalam istilah Komaruddin Hidayat –sebagaimana dikutip M. Syafi’i Anwar—telah melahirkan kohesi antara umat dengan pemerintah. Periksa M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), 238.

150

Pandangan steriotype tersebut antara lain adalah kesan pragmatisme—dalam pandangan politik Nurcholish Madjid—ditengah hegemoni kekuasaan politik Orde Baru

151

Dalam konteks ini Yudi Latif mengutip Max Weber yang menyatakan:”Para intelektual seringkali berhadapan dengan dilema antara memilih integritas intelektual atau kontigensi-kontigensi ekstra intelektual, antara arus ide yang rasional atau kejumudan dogmatik. Setiap keputusan yang memilih pilihan yang kedua akan berarti melakukan pengorbanan intelek”Periksa Latif. “Nurcholish Madjid Kebesaran dalam Kesalahpahaman”,xxiv.

152

Dalam istilah Ahmad Fuady dan Muhammad Wahyuni Nafis, gagasan-gagasan Nurcholish memerlukan “kaki-kaki”, sehingga menjadi konkret. Universitas Paramadina dan Madania Boarding School merupakan upaya konkretisasi gagasan Nurcholish Madjid dimaksud. Wawancara penulis dengan Ahmad Fuady dan Muhammad Wahyuni Nafis di Kantor Yayasan Madania di Grand Wijaya Jakarta Selatan pada 28 Juni 2010.

keislaman yang terbuka, santun, kritis dan apresiatif terhadap perbedaan ekspresi keagamaan. Karena itu, tema-tema kajian di Paramadina bertitik tolak dari ajaran universal Islam yang sangat menekankan titik kesamaan (kalimat sawa>’) antara semua pengikut semua nabi dan rasul.

Universitas Paramadina, juga dapat dipandang sebagai obsesi Nurcholish dalam membentuk dan mengembangkan lembaga riset dan pendidikan kelas satu – dengan model Universitas Chicago tempat dia memperoleh gelar doktor—yang tidak hanya merangsang profesionalisme, tetapi juga juga bertujuan menyuntikkan kepekaan religius serta cara berpikir dan perilaku yang etis, bermoral dan toleran. Lebih jauh, dalam mewujudkan keunggulan berbasis intelektual, etis dan toleran seluruh mahasiswa –yang beragama Islam—dari semua program studi mesti mengikuti mata kuliah Pendidikan Agama Islam di Paramadina dengan tema sebagai berikut:

1. Islam, Agama Pasrah 2. Allah

3. Kenabian, Konsep Keselamatan Islam

4. Wahyu, Sejarah al-Qur’an dan Petunjuk Penafsirannya 5. Muhammad dan Sunnah

6. Hari Akhir dan Kematian 7. Takdir dan Dinamika Manusia 8. Shalat: Teori, Praktik dan Maknanya 9. Puasa Ramadhan

10. Zakat: Upaya Islam mewujudkan Kesetiakawanan Sosial 11. Haji: Ritual dan Makna Simboliknya

12. Keluarga dan Implikasi Hukumnya dalam al-Qur’an 13. Tafsir atas Konsep Ahl al-Kitab dalam al-Qur’an 14. Islam di Nusantara

15. Islam dan Isu-Isu Keislaman. 153

Disamping Universitas Paramadina, SBI Madania –yang merupakan metamorfose dari SMU Madania Boarding School—merupakanperwujudan formal gagasan multikultural-pluralistik Nurcholish. SBI Madania ini memilikisiswa yang tidak hanya beragama Islam, tetapi banyak yang menganut agama lain.154 Karena

153

Nanang Tahqiq dan M. Subhi Ibrahim, ed. Pendidikan Agama Islam di Paramadina (Jakarta: Universitas Paramadina, 2007), 2. Buku ini ditulis oleh Tim Penulis yaitu: Abdul Hadi WM., Abdul Moqsith Ghazali, Asep Usman Ismail, Aan Rukmana, Dida Darul Ulum, Euis Laelasari, Lukman Hakim, M. Subhi Ibrahim, Nanang Tahqiq dan Novriantoni Kahar. Dengan menyimak komposisi tema atau materi Pendidikan Agama Islam di Paramadina dan memahaminya dalam perspektif James A. Banks, maka komposisi materi Pendidikan Agama (Islam) tersebut sudah termasuk dalam kategori

transformative level –dan tidak sekedar additive level—dalam mana komposisi demikian merupakan karakteristik dari Universitas Paramadina. Periksa James A. Banks and Cherry A. McGee Banks,

Multicultural Education: Issues and Perspectives (Boston: Allyyn and Bacon, 1989), 192. Demikian pula, ditinjau dari segi teori pengembangan kurikulum pendidikan multikultural dari Donna M. Gollnick, komposisi materi dan juga pola pembelajaran pendidikan agama Islam di Universitas Paramadina sudah masuk dalam kategori pendidikan agama Islam berbasis multikultural, karena telah memuat konsep- konsep multikultural seperti konsep keragaman, penghargaan, keadilan, toleransi, diskriminasi dan steriotip. Periksa Donna M. Gollnick & Philip C. Chinn, Multicultural Education in a Pluralistic Society.

(London: CV. Mosby Company, 1983), 305.

154

Dalam wawancara peneliti dengan Bapak M. Wahyuni Nafis dan Bapak M. Ahmad Fuadi pada tanggal 1 Juli 2010 di Kantor Yayasan Madania di Gedung Grand Wijaya Jakarta Selatan dinyatakan

itu kekhasan lainnya dari lembaga pendidikan yang dikelola oleh Yayasan Madania adalah:

Dalam kurikulumnya –di samping merujuk kepada Kurikulum Pendidikan Nasional—juga memberi bobot tambahan yang relevan dengan kehidupan modern serta mencerahkan intelektualitas dan spiritualitas siswanya. Kurikulum pendidikan agama, misalnya diarahkan menjadi media penyadaran umat, sehingga tumbuh pemahaman yang tidak eksklusif. Membangun harmonisasi agama-agama di tengah kehidupan masyarakat plural yang menghasilkan corak paradigma yang tidak rigid dan toleran. 155

Pada sisi lain, SMA Madania juga menyediakan guru-guru agama sesuai dengan agama yang dianut terdidik156. Sehubungan dengan ini, Budhy Munawar Rachman menyatakan:

Memang ada suatu eksperimen yang dilakukan di Madania (TK, SD, SMP dan SMU milik Paramadina). Dengan sistem active learning sejak SD, setiap anak biasanya mendapatkan pendidikan agama sesuai agamanya masing- masing. Juga ada sistem moving class: ketika pelajaran agama, mereka pindah ke kelas agama masing-masing. Ada macam-macam kelas agama terpisah-pisah; Christian class, Catholic class, Islamic class dan lain-lain. Jadi pasal 13 ayat 1 A RUU Sisdiknas sudah kami lakukan di Madania. Nah,

karena kami mau menekankan pluralisme agama, di masa-masa tertentu, misalnya tiga bulan sekali, kami adakan spiritual atau religion fair atau “pekan raya agama”. Setiap kelas-kelas agama akan berhias diri, simbol- simbol agama juga ditampilkan dan setiap anak akan datang berkunjung, melihat dan mungkin bertanya pada guru agama, apa artinya pohon natal. Di sana kita jumpai Budha yang sedang melakukan meditasi, tampilan ka’bah dan lain-lain. Semua anak bisa melihat simbol-simbol keagamaan yang sangat ekspresif dan penuh nilai kesakralan. Itu jadi pengalaman tersendiri bagi anak-anak. Karena masih bersifat eksperimen, kami belum tahu apa yang terjadi. Akan tetapi, dari segi sikap, anak-anak jadi sangat terbuka. Siswa-

bahwa siswa SBI Madania di semua tingkatan ada yang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Saksi Yehovah. Dan untuk mentransformasikan ajaran agama tersebut, pihak Madania mendatangkan guru sesuai dengan agama yang dipeluk siswa. Dalam hubungan ini, Franz Magnis Suseno mengakui bahwa kurang lebih 20 % siswa Madania adalah non Muslim, dan mereka yang non Muslim itu mendapatkan pelajaran agama menurut agama masing-masing. Dalam konteks ini, menurut Magnis, Nurcholish dan rekannya Komaruddin Hidayat telah berusaha memfasilitasi komunikasi lintas agama, yang mengantarkan pada terwujudnya tradisi multikultural pluralistik. Periksa Nafis, Kesaksian Intelektual, 104.

155

Taufik Hidayat, “Merajut Semangat Pluralisme”, xii. Lihat juga Suhadi Cholil, ed. Resonansi Dialog Agama dan Budaya: Dari Kebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural sampai RUU Anti Pornografi

(Yogyakarta: Centre for Religious and Cross-cultural Studies [CRCS] Sekolah Pascasarjana UGM, 2008), 30-31.

156

Pada tahun pelajaran 2009-2010 persentase siswa non Islam di seluruh Grade Madania –mulai dari

Grade 1-12 adalah 5,8% beragama Katholik (47 orang), 4,9 % Protestan (40 orang), 0,5% Hindu (4 orang), 0,6 % Budha (5 orang) dan 0,7 % beragama Saksi Jehovah (6 orang) dari jumlah total siswa 817 orang. Pada tahun pelajaran 2010-2011 dengan jumlah total siswa 686 pada seluruh grade pendidikan, jumlah siswa yang beragama Katholik 42 orang (5,4%), Protestan 39 orang (5%), Hindu 4 orang (0,5%), Budha 5 orang (0,6%) dan Saksi Jehovah 8 orang (1%). Sumber Data: SBI Madania yang dikirim via email oleh Drs. Mohamad Wahyuni Nafis, MA., Principal SBI Madania.

siswa SD yang masih fresh pikirannya dan masih belum dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang suka mengklaim orang lain kafir, misalnya, akan bisa menerima temannya yang berbeda agama dengan baik. Yang menarik, orang tua yang melihat anaknya datang ke spiritual fair kadang juga kaget, “Kok anak saya diberitahu tentang agama lain?”. Jadi, masalahnya bukan sebatas persoalan guru yang belum siap, tetapi orang tua juga. Ini masalah besar; kami ditantang untuk menyiapkan guru yang siap mendidik sekaligus bisa menjadi orang tua. Kami tidak mungkin mengajarkan wawasan pluralisme, tetapi guru-gurunya bukan pluralis. Bahaya sekali dan akan merusak ide besar kami. Makanya, orang tua juga harus mendapatkan training atau semacam acara bulanan di mana mereka bisa memahami pluralisme.157

Eksperimentasi pemberian pendidikan agama yang dilaksanakan oleh Madania yang pluralistik multikultural sebagaimana dinyatakan di atas, jelas menunjukkan betapa besar dan membekasnya pengaruh konsep pemikiran Nurcholish Madjid untuk menampilkan nilai-nilai substansi Islam –sesuai dengan kerangka ke-Islaman yang dipahaminya—dalam tatanan masyarakat yang plural- multikulturalistik ini. Pada sisi lain, ditinjau dari perspektif James A. Banks, kurikulum pendidikan agama Islam di Madania sudah sangat bernuansa multikultural-pluralistik karena sudah melampaui additive level, yakni telah menggunakan transformative level, dalam arti sudah menjadi kekhasan tersendiri dari SBI Madania.158

Demikianlah, beberapa upaya diseminasi dan sosialisasi secara formal terhadap gagasan Nurcholish Madjid. Adapun upaya diseminasi dan sosialisasi non formal pemahaman atau pemikiran keagamaannya antara lain dilakukan dengan:

Pertama, penerbitan buku-buku karya Nurcholish Madjid. Dengan

penerbitan buku tersebut, maka pemikiran Nurcholish tersosialisasi dan tersebar secara luas. Sebagaimana diakui Budhy Munawar, komunitas Paramadina selama ini hanya dipahami sebagai para alumni KKA dan pengajian Paramadina, padahal, para stake holder ide-ide Nurcholish dan Paramadina tidak sulit ditemukan di mana-mana kendatipun mereka mungkin tidak pernah bertemu dengan Nurcholish atau datang ke Paramadina. Berkat sosialisasi gagasan melalui seminar, buku dan ekspose media massa, jaringan ide Paramadina berserakan dalam kesadaran banyak orang yang menjadi semacam “massa mengambang”.159

157

Wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Budhy Munawar Rachman pada 8 Mei 2003 dan dimuat pada situs JIL tanggal 11 Mei 2003.

158

Periksa Banks, Multicultural Education, 192. Demikian pula ditinjau dari perspektif teori pengembangan kurikulum pendidikan, komposi struktur materi dan pelaksanaan pendidikan agama di SBI Madania sudah berkategori pendidikan agama Islam multikultural, dengan indikator, pertama, komposisi materinya sudah mengandung konsep tentang keragaman, penghargaan, keadilan, toleransi dan steriotip.

Kedua, dalam aplikasinya, pendidikan agama di SBI Madania ditransformasikan oleh guru yang seagama dengan agama siswa. Periksa Gollnick, Multicultural Education, 305. Ketiga, pada semua level di SBI Madania sudah diintegrasikan Living Values Education (LVE) atau pendidikan nilai. Nilai-nilai yang ditanamkan kepada terdidik mencakup unit-unit: Kedamaian, penghargaan, Cinta, Toleransi, Kejujuran, Kerendahan Hati, Kerja sama, Kebahagiaan, Tanggung Jawab, Kesederhanaan, Kebebasan dan Persatuan. Sumber Data: Wawancara dengan M. Wahyuni Nafis di Kantor Yayasan Madania (Grand Wijaya, Jakarta Selatan) pada 1 Juli 2010. Elaborasi tentang Living Values Education, periksa Diane Tillman, Living Values Activities for Young Adults. Ter. Risa Praptono (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2004).

159

Gaus, Api Islam, 195. Dari komunitas Paramadina sendiri telah lahir berbagai kantong kegiatan yang dibentuk atas inisiatif para peserta seperti Sosma(Sosial Paramadina) yang melakukan kegiatan-kegiatan

Kedua, pelaksanaan kajian-kajian semacam kursus, pelatihan dan diskusi bulanan. Tidak ada petunjuk bahwa dosen Paramadina harus memiliki pandangan yang sama dengan Nurcholish, tetapi jelas bahwa semuanya sepakat pada satu hal yang menjadi prinsip Paramadina: Menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan menghargai perbedaan.

Ketiga, Pada matra lain, diseminasi non formal gagasan Nurcholish

ditemukan dalam pelaksanaan Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML)160

yang kemudian berkembang menjadi Nurcholish Madjid Society (NCMS).

V. PENUTUP A. Kesimpulan

1. Konsep pendidikan agama (Islam) multikultural-pluralistik yang digagas Nurcholish Madjid bertitik tolak dari konsep filosofis-antropologis manusia sebagai ‘A bd A lla>h dan khalifah A lla>h yang kualitas kemanusiaannya belum selesai (berproses) sehingga memerlukan perjuangan (muja>hadah) dalam menyempurnakannya. Muja>hadah itu diproses melalui medium pendidikan – termasuk pendidikan agama (Islam)—yang menekankan pada tercapainya nilai- nilai akhlak terpuji dalam konteks kemajemukan yang sudah merupakan Sunnat

A lla>h seperti keterbukaan, sikap inklusif, menyadari dan menerima

kemajemukan sebagai design Tuhan serta berusaha mencari titik temu (kalimat

sawa>’). Sebagai sebuah konsep filosofis, pemikiran Nurcholish Madjid masih

bersifat umum dan berupa mozaik pemikiran yang memerlukan konstruksi yang lebih sistematis. Dalam konteks ini, Nurcholish membuka kesempatan kepada generasi penerusnya untuk memberi muatan terhadap konsep-konsep filosofis abstraktif tersebut sesuai dengan dinamika dan tuntutan zamannya.

2. Pendidikan agama (Islam) berwawasan multikultural yang digagas Nurcholish Madjid diawali dengan pintu masuk pembaruan pemikiran Islam dilatari oleh beberapa faktor. Latar belakang keluarga, lingkungan sosial, teman pergaulan dan riwayat pendidikan yang diterima Nurcholish Madjid serta cara bacanya terhadap realitas dinamika sosial politik umat Islam merupakan sekian banyak faktor yang mempengaruhi secara simultan terhadap refleksi pemikiran Nurcholish tentang Islam dan dinamikanya dalam pergulatan masyarakat Indonesia.

3. Gagasan Nurcholish Madjid tentang Pendidikan Agama (Islam) Multikultural Pluralistik diaplikasikan secara nyata melalui kegiatan Yayasan Paramadina dan Yayasan Madania dengan segala amal usahanya yang ia dirikan bersama para koleganya yang secara konsisten dan ekstensif mempraktikkan nilai-nilai

penyantunan, Serambi Paramadina, yang mewadahi para alumni KKA maupun pengajian yang pada usia Paramadina yang kelima jumlahnya telah mencapai ribuan.

160

NMML (Nurcholish Madjid Memorial Lecture) sampai disertasi ini ditulis telah berlangsung tiga kali. Acara ini merupakan acara tahunan Yayasan Wakaf Paramadina. Yang pertama, diisi dengan orasi ilmiah Goenawan Mohamad. Yang kedua diisi oleh Komaruddin Hidayat, dan yang ketiga diisi oleh Ahmad Syafii Maarif dengan judul orasi “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita”. Untuk yang ketiga ini sudah dibukukan. Periksa Ihsan Ali Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean, Peny. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (Jakarta: Paramadina, 2010).

pluralisme, inklusivisme dan keterbukaan dalam ber-Islam, sehingga mewujudkan genre baru dalam wawasan dan aktualisasi ke-Islaman yang tidak lagi rikuh dalam mengapresiasi lokalitas dan menghadapi modernitas. Praktik nilai-nilai di atas dicobatanamkan melalui konstruksi dan muatan kurikulum Pendidikan Agama Islam yang lebih bernuansa toleran, terbuka dan alergi pada

truth claim. Muatan kurikulum yang demikian ini, hingga tahapan tertentu

menjadi “bertabrakan” –bahkan mendekonstruksi—dengan paham ke-Islaman yang sudah berkembang dan telah mapan (established), sehingga mendatangkan perspektif steriotyping. Terhadap reaksi demikian, Nurcholish tetap bertahan – dan justru memantapkan basis teologis dan mengembangkan—terhadap apa yang diyakininya sebagai benar, sembari tetap memberikan kesempatan kepada “yang lain” untuk juga tumbuh berkembang.