• Tidak ada hasil yang ditemukan

Background Gagasan Nurcholish Madjid tentang Pendidikan Agama Islam Multikultural

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL PLURALISTIK A Konstruksi Konsep Nurcholish Madjid tentang Pendidikan Agama Islam

C. Background Gagasan Nurcholish Madjid tentang Pendidikan Agama Islam Multikultural

Hermeneutika130 memberi pelajaran bahwa suatu pemikiran tidak lepas dari konteks sosial, pengalaman hidup dan medan interaksi dari penggagasnya. Perspektif demikian, dapat dijadikan pintu masuk dalam menelaah background

gagasan Nurcholish Madjid tentang pendidikan agama (Islam) berparadigma multikultural-pluralistik. Background tersebut dapat ditelisik dari segi pertama,

latar belakang lingkungan sosial keluarga, Nurcholish dibesarkan dalam genealogi struktur keluarga yang sudah bernuansa multikultural. Misalnya, meskipun ayah Nurcholish berasal dari komunitas pesantren, tetapi dia tidak hidup dalam

127

Seseorang yang telah memahami dan menyadari akan pluralisme, sesungguhnya telah mengamalkan filosofi al-Qur’an wa fawqa kulli dhi> ‘ilmin ‘ali>m (dan di atas setiap orang yang berilmu, ada Dia Yang Maha Berilmu) (QS.Yusuf/12: 76). Pandangan dasar inilah –menurut Nurcholish—yang mesti diinsyafi dalam mencoba memahami sesuatu, khususnya agama, sehingga bertitik tolak dari perspektif tersebut, relativisme dan kenisbian suatu pemahaman dapat dikonstruksi dan dikembangkan lebih lanjut sehingga menstimulasi dinamika pengembangan intelektualitas dan selanjutnya dapat mengantarkan pada kemajuan kehidupan.

128

Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, lxxxiv.

129

Ibid.

130

Hampir sama dengan hermeneutika adalah sosiologi pengetahuan juga memahami bahwa pemikiran senantiasa terkait dengan konteks historis dan sosial dari penggagasnya. Bedanya adalah, hermeneutika termasuk rumpun disiplin filsafat sehingga kajiannya lebih bernuansa filosofis, sedangkan sosiologi pengetahuan merupakan salah satu cabang ilmu sosiologi, sehingga wilayah kajiannya lebih bernuansa sosiologis. Meski demikian, hermeneutika banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan sosiologi pengetahuan.

lingkungan pesantren. Ketika Nurcholish lahir di Mojoanyar, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, kawasan ini masih didominasi kaum abangan (kaum Muslim yang tidak menjalankan syari’at Islam).131

Kedua, pendidikan. Pendidikan yang dialami Nurcholish Madjid sejak awal

telah bernuansa Multikultural-pluralistik. Nurcholish kecil, disamping bersekolah di Sekolah Rakyat, tercatat juga sebagai siswa angkatan pertama Madrasah al- Wathaniyah yang didirikan untuk mengimbangi pendidikan sekular.132 Setamat dari SR tahun 1953, Nurcholish dimasukkan oleh ayahnya ke Pesantren Darul Ulum, desa Rejoso Kecamatan Paterongan, dan kemudian karena berbagai faktor, dipindahkan ke Pesantren Darus Salam Gontor Ponorogo, suatu pesantren yang menggunakan bahasa Arab, Inggris dan Belanda sebagai bahasa komunikasi kesehariannya, sehingga sangat memberi akses kepada santrinya untuk menelaah literatur berbahasa asing133. Santri pondok pesantren Gontor juga berlatar belakang sosio-kultural yang multikultur dan para pengasuh pesantren Gontor sangat memahami fenomena itu sehingga membebaskan para santrinya untuk memilih mazhab (fiqh) sesuai pilihannya. Setamat dari Gontor pada tahun 1960, Nurcholish kemudian mengabdi selama setahun di almamaternya,134. Untuk kemudian melanjutkan ke Fakultas Adab jurusan Sastra Arab Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Latar pendidikan pluralis-multikultur yang dialami Nurcholish semakin kentara ketika dia berguru kepada Leonard Binder dan kemudian pindah ke Fazlur Rahman untuk meraih Philosophy of Doctor-nya di Chicago University (1978-1984). Interaksinya dengan para ilmuwan dari berbagai latar belakang disiplin ilmu, dari berbagai etnis dan agama, sampai batas tertentu telah ikut juga membentuk wawasan Nurcholish tentang pluralisme.

Ketiga, kepustakaan dan horizon bahan bacaan. Nurcholish adalah seorang

kutu buku yang memiliki minat bacaan sangat tinggi, sehingga wawasannya luas dan mendalam. Ketika masih di Gontor, Nurcholish sudah membaca Hero with the

Thousand Thesis, Mysticism East and West, dan Civilization on Trial karya Arnold

J. Toynbee. Dia juga sudah terbiasa membaca koran berbahasa Inggris The Jakarta

Times dan Reader’s Diggest.135Ketika kuliah aktif di IAIN Jakarta ini, dia memilih

131

Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Kompas, 2010), 3. Namun, ayah Nurcholish pada tahun 1946, mendirikan madrasah, yang merupakan sekolah Islam pertama di desa ini dan madrasah inilah yang mengawali terbentuknya tradisi pendidikan Islam di Kecamaten Bareng.

132

Madrasah al-Wathaniyah pada awalnya merupakan sekolah pelengkap untuk membekali anak-anak dengan pendidikan agama yang memadai, yang tidak didapati di SR. untuk tujuan itu, Nurcholish mengenyam pendidikan rangkap. Pagi hari, ia sekolah di SR, dan sore harinya belajar di madrasah al- Wathaniyah. Guru-guru di SR semuanya beragama Kristen. Karena itu salah seorang pamannya pernah melarang Nurcholish belajar di SR. Tetapi H. Abdul Madjid tetap membiarkan Nurcholish belajar di SR, karena ia menganggap, bagaimanapun pendidikan umum tetap penting. Gaus, Api Islam, 7.

133

Nurcholish Madjid –dan juga santri Gontor lainnya—sejak masih di Gontor sudah terbiasa dan terlatih dengan komunikasi bahasa asing, terutama Arab dan Inggris dan juga membaca karya Hamka, Tasawuf Modern. Periksa Gaus, Api Islam, 20.

134

Ketika mengabdi ini, Nurcholish mengajar mata pelajaran ilmu Balaghah, suatu disiplin ilmu bahasa yang sangat sulit dan hanya dipegang oleh guru senior. Tetapi Nurcholish, sudah terbiasa menggantikan guru mata pelajaran itu sejak masih kelas 5 di Gontor. Ini menunjukkan bahwa Nurcholish dalam hal kemampuan berbahasa Arabnya tidak diragukan, dan memang dia memperoleh pengakuan bahwa penguasaannya terhadap bahasa asing (Arab, Inggris dan Perancis), ilmu agama dan kemampuannya dalam menguasai ilmu-ilmu sosial humaniora sama piawainya

135

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai basis kiprahnya, dan masa inilah interaksi multikulturalitasnya sangat intensif. Ketika ia dipercaya menjadi Ketua Umum PB HMI, Nurcholish berkesempatan mengunjungi universitas di Amerika Serikat untuk kemudian berkunjung ke Timur Tengah. Kunjungan-kunjungan tersebut –sampai batas tertentu—jelas berpengaruh kepada perkembangan pemikiran Nurcholish. Di Amerika, ia bersentuhan dengan berbagai pemikiran semacam pemikiran Robert N. Bellah, Harvey Cox, Talcott Parsons, Aldous Huxley dan Marshall GS. Hodgson. Di sana dia juga bertemu dengan tokoh-tokoh Islam seperti Hasan Turabi, Dr. Farid Mustafa, berkunjung dan berdiskusi dengan

Moslem Student Association of North America and Canada (MSA), dan berdiskusi

dengan aktivis Student for Democratic Society (SDS) –sebuah gerakan kiri radikal—dan bertemu dengan tokoh-tokoh Indonesia seperti Dorodjatun Kunjoro Djakti, Ruslan Abdul Ghani (Duta Besar Indonesia untuk Amerika waktu itu) dan Soejatmoko, yang memberinya sebuah buku karya Erich Fromm, Socialist

Humanism. Di Timur Tengah, mayoritas dia bertemu dengan aktivis organisasi

bawah tanah seperti organisasi Ikhwa>n al-Muslimi>n dan Jam’iyah al-Isla>miyah al- T {ala>bah di Pakistan, yang mayoritas dikejar-kejar oleh rezim penguasa karena haluan politiknya yang radikal. Persentuhannya secara intensif dengan pemikiran dan karya beragam intelektual, jelas sangat mempengaruhi konstruksi dan visi intelektual Nurcholish.

Keempat, background komunitas pertemanan. Dikaji dari komunitas

pertemanan dan persahabatan, pergaulan Nurcholish Madjid juga sangat multikultural-pluralistik. Ketika masih mahasiswa di IAIN Jakarta, Nurcholish bersentuhan langsung dengan Buya Hamka136, imam Masjid Agung Al-Azhar. Keakraban dan kedekatannya dengan Hamka inilah yang memberikan ruang aktualisasi bagi Nurcholish untuk mengisi khotbah dan pengajian di masjid itu137. Hal ini, sedikit banyak telah mempengaruhi wawasan dan pemahaman keagamaan Nurcholish138

136

Buya Hamka adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang memiliki kecenderungan sufistik, seorang budayawan dan sastrawan sekaligus, sehingga sosok Hamka merupakan sosok Muhammadiyah yang langka, unik dan memiliki tendensi pemikiran keagamaan yang sedikit berbeda dengan ulama Muhammadiyah yang berciri khas berpaham keagamaan yang dekat kepada paham Islam murni (pure Islam). Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah termasuk salah satu gerakan pembaruan di Indonesia yang mengajak umat Islam untuk mempraktikkan secara murni al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.

137

Nurcholish mulai tinggal di asrama masjid al-Azhar pada tahun 1963 dan baru pindah ketika menikah pada tahun 1969. Dalam waktu yang cukup lama itu, ia menjalin hubungan akrab dengan Buya Hamka. Tak jarang, Nurcholish diberi kepercayaan oleh Hamka untuk menggantikannya dalam memberi ceramah, terutama sehabis shalat subuh. Diceritakan bahwa suatu ketika Nurcholish menyimak ceramah Hamka dan merasa terjemahan ayat al-Qur’an yang disampaikannya kurang pas. Lalu sambil mengiringinya pulang, Nurcholish menyampaikan apakah tidak lebih baik kalu ayat itu diterjemahkan begini, lalu ia menyebut terjemahan ayatnya. Ternyata Hamka membenarkannya. Hal itu, bagi Nurcholish menunjukkan bahwa Hamka adalah ulama yang sangat bijak. Bukan saja tidak tersinggung, Hamka justru makin menunjukkan keakrabannya dengan Nurcholish. Periksa Gaus, Api Islam, 32.

138

Dalam pandangan Komaruddin Hidayat, Nurcholish sangat mengagumi ulama yang mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya dan semangat al-Qur’an itu sehingga dakwah dan paham keislaman yang ditawarkan Hamka sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota. Inilah salah satu kontribusi Buya Hamka terhadap Nurcholish dalam mengembangkan dakwah di kalangan kelas menengah muslim metropolitan, yang menjadi ciri khas dakwah Paramadina. Periksa Nafis, Kesaksian Intelektual, 56-60.

Demikian pula, dengan aktifnya Nurcholish di HMI, yang memiliki latar belakang anggota dengan disiplin ilmu dan orientasi pemikiran yang dinamis dan heterogen, HMI merupakan lahan subur untuk tumbuhnya wawasan dan pemikiran yang terbuka, dinamis dan kritis,139 serta merupakan akses untuk perkenalan dengan tokoh-tokoh penting. Karena itu, bagi Nurcholish, melancarkan ide-ide kontroversial dan polemis dipandang merupakan hal biasa, dan dianggap sebagai

psychologycal striking force, yang tidak harus direaksi secara berlebihan.

Setelah menjadi Ketua Umum PB HMI sampai berangkat ke Chicago University pada tahun 1978, bersama aktivis lainnya mendirikan Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi (LKIS) pada tahun 1973 yang banyak bergerak dalam mempromosikan gagasan pembaruan pemikiran Islam. Di lembaga ini, Nurcholish bertemu kembali dengan sejawat lamanya seperti Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sekembalinya tokoh ini dari belajarnya di Irak.

Satu hal yang penting dicatat dari pertemuan di lembaga tersebut adalah pembentukan Forum Diskusi Mingguan yang karena jatuh pada tiap hari Rabu, kemudian lebih dikenal sebagai “Majelis Reboan”. Pada forum diskusi ini berkumpul tokoh-tokoh intelektual muda dari berbagai background keilmuan, sosial dan orientasi politik—sehingga dapat dikatakan bersifat pluralis- multikultural—tetapi memiliki konsern yang sama, yakni pembaruan pemikiran Islam. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Syu’bah Asa, Abdurrahman Wahid, Ekky Sjahruddin, Sugiat Ahmad Sumadi, Ahmad Rifa’i, Mosolly Noor, Muhammad Yahya, Utomo Danandjaja, K.Y. Wassil, Usep Fathuddin, Kafrawi Ridwan, AM. Fatwa, Fahmi Saifuddin dan Abdullah Sarwani140. Topik yang dikaji di kelompok ini adalah isu politik dengan narasumber Abdurrahman Wahid, dan isu-isu keislaman dengan narasumber Nurcholish Madjid141. Melalui aktivitas di

139

Polemik dan perbedaan pendapat merupakan hal biasa di HMI. Antara Nurcholish Madjid dengan tokoh-tokoh HMI yang lain, seperti Endang Saifuddin Anshari, Miftah Faridl, Ahmad Wahib, Djohan Effendi dan M. Dawam Rahardjo sudah terbiasa berbeda pemikiran dan perbedaan itu dijadikan sebagai wahana untuk mematangkan suatu konsep. Periksa Gaus, Sang Pelintas Batas, 70-73.

140

Latar belakang para pegiat Majelis Reboan sangat beragam, baik dari segi kultur, aktivitas dan latar belakang keilmuan. Misalnya M. Dawam Rahardjo adalah anggota Muhammadiyah, berpikiran liberal dan peneliti di LP3ES. Ahmad Wahib adalah anggota Limited Group binaan Mukti Ali, sosok yang dilahirkan di Sampang, Madura dan memiliki pemikiran keislaman yang liberal. Djohan Effendi adalah anggota limited Group yang sangat akrab dengan Ahmad Wahib, bekerja di Departemen Agama, konsern dengan pluralisme agama dan sangat akrab dengan Abdurrahman Wahid. Syu’bah Asa, seorang wartawan senior Tempo, tamatan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga dan berlatar belakang keluarga NU dan sekaligus sebagai seorang budayawan. Abdurrahman Wahid, tokoh NU, berpemikiran Liberal dan sangat konsern dengan pembelaan kalangan minoritas. Ekky Sjahruddin adalah mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia), mantan Wartawan dan Direktur Pan Pasific serta aktivis Golkar. Sugiat Ahmad Sumadi adalah seorang dokter, hafid al-Qur’an dan berlatar belakang NU. Utomo Dananjaya adalah aktivis PII dan penyokong utama pemikiran Nurcholish sekaligus memiliki kedekatan dengan Nurcholish. Usep Fathuddin adalah aktivis PII dan karyawan Departemen Agama. AM. Fatwa adalah tokoh Muhammadiyah, mantan aktivis HMI, mantan tahanan politik pada masa Orde Baru mantan Wakil Ketua MPR RI pasca Orde Baru. Fahmi Saifuddin adalah aktivis NU dan putra KH. Saifuddin Zuhri, mantan Ketua PB NU.

141

Periksa Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Ter. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina- Pustaka Antara, 1995), 83. Lihat pula Urbaningrum, Islamo-Demokrasi, 52-53; Gaus, Api Islam, 150-151; idem, Sang Pelintas Batas Biografi Djohan Effendi (Jakarta: ICRP-Kompas, 2009), 150.

Yayasan Samanhudi ini pula, Nurcholish berkenalan dengan Dr. Taufik Abdullah, Direktur Leknas LIPI dan banyak memperdalam ilmu-ilmu sosial darinya.142

Pasca Nurcholish Madjid kembali dari Chicago University, rekan sejawatnya di Majelis Reboan143 berusaha membuat lembaga yang lebih representatif dalam rangka mengintensifkan gerakan pembaruan pemikiran Islam, sehingga—melalui proses yang panjang, kurang lebih 2 tahun setelah kedatangan Nurcholish dari Chicago—disepakati berdirinya Paramadina.144

Dalam menjalankan aktivitas di Paramadina ini, Nurcholish menjalin persahabatan secara intelektual dengan berbagai kalangan, termasuk dari kalangan lintas agama. Tercatat misalnya, Nurcholish sangat akrab dengan Romo Franz Magnis Suseno (rohaniwan Katholik dan Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara); Harry Tjan Silalahi (Direktur CSIS), Sudhamek AWS (Ketua Umum Majelis Budhayana Indonesia) dan intelektual lainnya.

Kelima, background Cara Baca Nurcholish Madjid terhadap Realitas Politik

Umat Islam Awal Kelahiran Orde Baru. Pilihan Nurcholish pada posisi liberalisasi pemikiran –yang berbeda dengan posisi sebelumnya bukanlah pilihan yang serta merta, melainkan suatu pilihan yang didasarkan pada pertimbangan rasional

(rational choice), dalam mana pertimbangan rasional tersebut –antara lain

disebabkan oleh:

a. Pengaruh yang datang dari “komunitas epistemik-nya”, yang berupa lingkaran– lingkaran diskusi kelompok kecil secara informal yang diikuti oleh rekan-rekan terdekatnya. Komunitas itu kemudian dikenal sebagai “Majelis Reboan”, dalam mana eksponennya merupakan cikal bakal pendiri Yayasan Wakaf Paramadina. b. Nurcholish juga mengadakan diskusi dengan para pemimpin Masjumi seperti

Prawoto Mangkusasmito, Mohamad Roem, dan Osman Raliby. Dari mereka, Nurcholish mendapat kesan bahwa orang-orang tersebut tidak benar-benar menganggap ide mengenai negara Islam sebagai harga mati atau prioritas yang mendesak. Dalam pandangannya: Mereka memang memiliki sebuah ide bagaimana kira-kira negara Islam, namun hal itu harus dicapai lewat mekanisme-mekanisme demokratis. Bahkan orang seperti Roem, tidak mencita-citakan negara Islam, meskipun dia tetap simpati dengan para pendukung cita-cita itu145.

142

Minatnya dibidang ilmu sosial semakin dipupuk ketika berkenalan dengan Harsja W. Bachtiar, yang waktu itu baru saja selesai Ph.D dari Harvard University dalam bidang sosiologi. Setiap Rabu, ia mengikuti diskusi-diskusi seputar penelitian sosial dan perkembangan kontemporer disiplin sosiologi di LIPI.

143

Periksa Kembali catatan kaki no. 58 di atas.

144

Orang-orang yang terlibat dalam pendirian Paramadina adalah mereka yang terlibat aktif dalam Majelis Reboan. Akibatnya, muncul isu bahwa Majelis Reboan Pecah. Dalam perkembangan lebih lanjut, semakin banyak orang yang terlibat, terutama para aktivis alumni HMI, sehingga Paramadina awal pernah disebut “gang HMI”, padahal disitu ada orang NU seperti Sugiat Ahmad Sumadi, dan orang-orang PII seperti Ahmad Rifa’i, Moosolly Noor, Mohamad Yahya dan Utomo Danandjaja. Periksa Gaus, Api Islam, 151.

145

Periksa Mohamad Roem, “Tidak Ada Negara Islam”, Surat-Sulat Politik Nurcholish Madjid- Mohamad Roem. Laksmi Pamuntjak, et.al. ed. Jakarta: Djambatan, 2004: 1-11. Bandingkan Latif, “Nurcholish Madjid Kebesaran dan Kesalahpahaman”, xxi.

c. Adanya pemahaman Nurcholish –dan para kolega dekatnya—terhadap hubungan antara Islam dan negara yakni:146

1. Tidak ada bukti yang tegas bahwa al-Qur’an dan Sunnah mewajibkan kaum Muslim untuk mendirikan negara Islam. Eksperimentasi politik Nabi Muhammad –dalam pengamatan Nurcholish—tidak mengandung proklamasi berdirinya sebuah negara Islam.

2. Diakui bahwa Islam memberi seperangkat prinsip sosial politik. Meskipun demikian, Islam bukanlah ideologi dan ideologisasi Islam dapat dianggap sebagai mereduksi Islam.

3. Karena Islam dipahami sebagai agama yang kekal dan universal, maka pemahaman kaum Muslim terhadapnya tidak boleh dibatasi hanya kepada pengertian formal dan legalnya –khususnya yang dibangun dalam konteks ruang dan waktu tertentu—melainkan, pemahaman itu harus didasarkan kepada penafsiran yang menyeluruh, yang menerapkan petunjuk tekstual dan doktrinalnya ke dalam situasi dan konteks kontemporernya.

4. Nurcholish percaya bahwa hanya Allah yang mengetahui kebenaran mutlak. Dengan demikian, sebenarnya hampir tidak mungkin bagi seorang manusia untuk menjangkau realitas Islam yang mutlak, sehngga pemahaman kaum Muslim terhadap doktrin-doktrin keagamaannya, pada dasarnya bersifat tentatif dan karenanya dapat berubah. Karenanya, tidak seorang pun dapat mengklaim bahwa pemahamannya tentang Islam adalah yang paling benar dan paling otoritatif.

Dengan dasar-dasar pikiran tersebut, Nurcholish Madjid –dan intelektual- intelektual baru lainnya147—menyerukan corak perjuangan Islam yang lebih substantif dan tidak bersifat simbolis, sehingga menjatuhkan pilihan pada usaha pembaruan pemikiran dan tidak menemukan alasan untuk tidak menerima bentuk negara seperti yang ada. Reinterpretasi Nurcholish Madjid dan kawan- kawan terhadap gagasan-gagasan Islam tentang politik dan kenegaraan telah membentuk citra Islam yang inklusif, ramah dan ilmiah di mata pemerintah, sehingga mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi terwujudnya hubungan yang ramah antara umat Islam dan pemerintah Orde Baru dan

146

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia

(Jakarta: Paramadina, 1998), 134-135. Bandingkan dengan R. William Liddle yang mengidentifikasi empat gagasan utama kaum substansialis. Pertama dan paling mendasar adalah pandangan bahwa substansi atau kandungan iman dan amal lebih penting dari pada bentuknya. Kedua, pesan-pesan al- Qur’an dan hadi>th yang bersifat abadi dalam esensinya dan universal dalam maknanya harus ditafsirkan kembali oleh masing-masing generasi kaum Muslim sesuai dengan kondisi sosial yang berlaku pada masa mereka. Kaum substansialis menggunakan beberapa istilah, seperti sekularisasi, desakralisasi, reaktualisasi dan pribumisasi. Ketiga, karena pada akhirnya tidak akan ada seorang manusiapun, betapapun “hebatnya” ia, yang dapat memastikan bahwa pemahamannya atas kehendak dan perintah Tuhan lebih baik dan lebih benar dari pada pemahaman manusia lainnya, maka kaum Muslim harus bersikap toleran terhadap sesamanya dan terhadap kaum non-Muslim. Keempat, kaum Muslim substansialis menerima struktur pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk negara Indonesia yang final. Periksa R. William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Sebuah Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, Woodward. ed., Jalan Baru Islam, 285-286.

147

Istilah “intelektual baru” ini berasal dari Bahtiar Effendy, dalam mengidentifikasi sosok pemikir muda Islam waktu itu yakni Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Adi Sasono, Ahmad Syafi’i Maarif, Kuntowijoyo dan M. Amien Rais. Ibid., 212-213. Sedangkan R. William Liddle menyebutnya sebagai kaum substansialis.

antagonisme lama antara Islam dan negara menjadi berakhir.148 Dampak positifnya adalah akses dan keikutsertaan umat Islam –terutama kalangan cendekiawan—untuk berkiprah dalam negara Orde Baru menjadi lebih terbuka terbuka149

Namun tidak urung, pilihan Nurcholish yang mengambil langkah gerakan pembaruan –meskipun telah berjasa dalam mengubah image negara terhadap Islam dan telah melahirkan proliferasi artikulasi model pemahaman Islam—tetap saja mendatangkan perspektif stigmatis (cenderung disalahpahami) terhadap pemikirannya.150 dan sekalipun demikian, Nurcholish tetap konsisten hingga akhir hayatnya. Konsistensi inilah –dalam pandangan Yudi Latif—merupakan sebuah momen menentukan bagi penasbihannya sebagai seorang intelektual garda depan.151

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa ide-ide Nurcholish Madjid untuk sebagian merupakan hasil pembacaan dan pergumulannya terhadap realitas dalam maknanya yang luas dan mencakup. Dalam pembacaan dan pergumulan itu, latar belakang sosio-kultural, pendidikan dan pergaulannya yang lintas batas dan lintas budaya –bahkan lintas agama—ikut mewarnai dalam konstruksi gagasan dan ide-idenya yang visioner serta–acapkali dinilai sebagai— kontroversial.

D. Aplikasi Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pendidikan Agama Islam